Lompat ke isi

Ijmak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ijmak atau Ijma' (bahasa Arab: إجماع) adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis dalam suatu perkara yang terjadi.

Secara etimologi ijma’ mengandung dua arti, yang pertama memiliki arti kesepakatan atau consensus. Seperti perkataan seseorang: yang berarti kaum itu telah sepakat tentang yang demikian itu. Arti kedua dengan arti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu.[1] Kata ijma secara bahasa berarti” kebetulan tekad terhadap suatu persoalam” atau “kesepakatan tentang suatu masalah” Menurut istilah ushul fiqih seperti yang di kemukakan oleh abdul karim zaidan kesepakatan para mujtahid dari kelapangan umat islam tentang hukum syara pada suatu masa setelah rasullah wafat.

Menurut Muhammad Abu Zahra, para ulama sepakat bahwa ijma sah untuk di jadikan sebagi dalil hukum. meskipun demikian,mereka berbeda pendapat mengenai jumlah pelaku kesepakatan sehingga dapat di anggap sebagai ijma yang mengikat umat islam. Menurut madzhab maliki, kesepakatan sudah di anggap ijma meskipun hanya merupakan kesepakatan penduduk madinah yang dikenal dengan ijma ahl al madinah. Menurut kalangan syiah, ijma adalah sepekatan para imam di kalangan mereka. Adapun jumhur ulama, menurut Muhammad Abu Zahra, Ijma di anggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid. Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidan, ijma baru di anggap sah terjadi ketika itu seluruh ulama mujtahid sepakat akan ijma tersebut.

Unsur-unsur Ijma'

[sunting | sunting sumber]
  • Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dari kalangan umat Islam (ulama).
  • Suatu kesepakatan yang dilakukan haruslah dinyatakan secara jelas.
  • Yang melakukan kesepakatan tersebut adalah mujtahid.
  • Kesepakatan tersebut terjadi setelah wafatnya Rasulullah.
  • Yang disepakati itu adalah hukum syara' mengenai suatu masalah/peristiwa hukum tertentu.

Macam-macam Ijma'

[sunting | sunting sumber]

Ijma' umat terbagi menjadi dua:

  • Ijma' Qauli, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' mengeluarkan pendapatnya dengan lisan ataupun tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya.
  • Ijma' Sukuti, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' diam, tidak mengatakan pendapatnya. Diam di sini dianggap menyetujui. Para mujtahid baik seluruh ataupun sebagian dari mereka tidak menyampaikan pendapat secara tegas dan jelas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan atau dijelaskan oleh mujtahid lain yang hidup di masanya, Ijma Sukuti disebut juga Ijma Rukhsah. Jadi ijma ini didasarkan pada asumsi karena kesepakatannya melalui pernyataan atau perbuatan sebagian ulama terhadap suatu hukum, dan setelah informasi ini menyebar, sebagian ulama lain diam dan tidak berpendapat meski telah cukup waktu untuk menelaah hukum tersebut. Berkenaan dengan kehujjahan ijma sukuti, terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama, ada sebagian yang berpendapat dapat dianggap sebagai ijma yang sah dan ada juga yang berpendapat bahwa ijma sukuti bukanlah hujjah. Mayoritas ulama Hanafiyah, Imam Ahmad bin Hambal, sebagian ulama Syafi’iyah, Imam Malik dan jumhur ulama berpendapat bahwa ijma sukuti dapat dijadikan sebagai hujjah.[1] Menurut Ulama Hanafiyah, ijma sukuti menjadi hujjah apabila ketetapan hukum yang memasyarakat dan ada jeda waktu bagi mujtahid untuk mengkajinya, serta tidak ada hal yang ditakutkan mujtahid untuk menyatakan pendapatnya. ----[1] DR. Misbahuddin, S. Ag., M. Ag, Ushul Fiqih I, ; Makassar: Alauddin University Press 2013

Menurut Imam Hanafi kedua macam ijma' tersebut adalah ijma' yang sebenarnya. Menurut Imam Syafi'i hanya ijma' yang pertama saja yang disebut ijma' yang sebenarnya.

Selain ijma' umat tersebut masih ada macam-macam ijma' yang lain, yaitu:

  • Ijma' sahabat
  • Ijma' Khalifah yang empat
  • Ijma' Abu Bakar dan Umar
  • Ijma' ulama Madinah
  • Ijma' ulama Kufah dan Basrah
  • ijma' itrah (golongan Syiah)

Sandaran ijma'

[sunting | sunting sumber]

Ijma' tidak dipandang sah, kecuali apabila ada sandaran, sebab ijma' bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Sandaran tersebut dapat berupa dalil qath'i yaitu Qur'an dan Hadis mutawatir, juga dapat berupa dalil zhanni yaitu Hadis ahad dan qiyas.

Pendapat Ulama

[sunting | sunting sumber]

Kata ijma’ secara sistematik baru pada masa madzhab awal seperti yang di sepakati oleh jumhur ulama sunni, bahwa ijma adalah kesepakatan para mujtahid umat islam di suatu masa sesudah nabi SAW terhadap suatu urusan. Menurut Al Amidi, ijma seperti yang di kutip oleh Amir Syafarudin yaitu kesepakatan sejumlah ahlulhalil wal aqdi ,deaangkan menurut jumhur ulama ushuk fiqih yang lain seperti Abu Zahra dan Wahab Khalaf merumuskan ijma dengan kesepakatan atau konsensus para mujtahid dan umat muhammad pada suatu massa setelah wafatnya rasullah saw terhadap suatu hukum syara mengenai suatu kasus atau peristiwa.

Definisi yang di berikan oleh Imam Abu Hanifah tentang ijma seperti yang di definiskan oleh jumhur ulama sunni lainnya yaitu kesepakatan para mujtahid ulama islam di suatu masa sesudah masa nabi saw terhadap suatu urusan, Sedangkan definisi yang di pakai oleh Imam Malik bin Anas yaitu bahwa ijma merupakan persetujuan pendapat ahl halli wal aqdi dari umat, karena menurunnya suatu urusan yang telah di ijma maka ia telah di ijma oleh para ahli fiqih dan ahli ilmu dan mereka tidak berselisih di dalamnya Sedangkan, Imam Ahmad bin Hanbal sendiri berpendapat bahwa ijma tidak mungkin terjadi dan sangat sulit untuk mengetahuinya karena ijma tidak mungkin terjadi selain pada masa sahabat.

Menurut penegasan ulama Hanafiyah bahwa abu hanifah ijma adalah salah satu hujjah agama dan mereka tidak membeda-bedakan antar macam-macam ijma itu (Ijma' Qauli dan Ijma' Sukuti). adapun Imam Hanafiyah menetapkan ijma hanya melalui logika (dalil akal).

Sementara menurut Imam Malik ijma penduduk madinah yang dapat di jadikan hujjah yaitu ijma mereka terhadap masalah masalah yang telah di tetapkam oleh rasullah SAW. Imam Syafi’i menyimpulkan bahwa tidak dapat seorang mendakwakan ijma kecuali pada sekumpulan fardu yang di tetapkan agama.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  • "Usul Fiqh", oleh A. Hanafie, M.A., Cetakan ketiga 1962, halaman 125-128
  • "Ushul Fiqh", oleh Drs. H Abd. Rahman Dahlan, M.A., Cetakan pertama 2010, halaman 145-147