Kehausan beladjar semakin njata kelihatan, dibandingkan dengan sebelum perang.
Orang-orang tua tjukup sedar pula, bahwa pendidikan anak-anak mereka jang sudah terlantar semasa pendudukan Djepang, demikian djuga selama pertempuran-pertempuran dengan Belanda, sekarang harus diusahakan kembali. Dan rupanja tidaklah usah sampai mendjadi halangan jang prinsipiil untuk menjekolahkan anak-anak pada sekolah-sekolah jang dipulihkan kembali semasa N.S.T. itu, dimana urusan-urusan pengadjaran adalah dipusatkan di Djakarta pada Departement van Onderwijs, Kunst & Wetenschappen (O.K.W.), jang dikemudikan oleh Belanda.
Rumah-rumah sekolah mulai ramai lagi oleh murid-murid, baik pada tingkatan rendah, maupun pada tingkatan landjutan.
Akan tetapi lebih-lebih ditingkatan rendah segera terasa kekurangan tenaga guru. Ini lebih tiada mengherankan, dimana guru-guru lama tidak atau belum kembali semuanja kelapangannja semula, sehingga untuk mentjukupkan djumlah guru jang kurang itu terpaksa pula dipadakan pemakaian tenaga-tenaga pengadjar jang tiada atau belum beridjazah disamping jang beridjazah.
Tentang pengadjaran landjutan, dibandingkan dengan sebelum perang, dapat ditjatat kemadjuan, jaitu bagi murid-murid tamatan Mulo, dibuka kemudian kesempatan untuk melandjutkan peladjaran pada V.H.O. (Voorbereidend Hoger Onderwijs), jang diadakan di Medan. Dengan demikian, peladjar-peladjar jang akan menempuh pengadjaran menengah, tak usah buat sementara waktu memikirkan bagaimana meninggalkan kampung halaman untuk meneruskan peladjaran diluar pulau Sumatera.
Sesudah sekolah-sekolah teratur kembali, maka pada tahun 1949 didjalankanlah kembali peraturan pembajaran wang sekolah.
Dalam pada itu didaerah-daerah jang masih tetap dikuasai oleh Republik, berlangsunglah kegiatan jang menjapu bersih kembali segala peraturan Djepang jang militair-fascistis itu. Lalu disusunlah kembali pengadjaran sebagaimana dahulu, akan tetapi ditambahi dengan pengadjaran dan pendidikan ,,nasional" (langkah pertama nasionalisasi pendidikan dan pengadjaran !) untuk menghapuskan dan mengikis habis perasaan-perasaan rendah diri, jang telah ditanamkan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda dan pemerintah fasis pendudukan Djepang.
Pengadjaran buat Sekolah Rendah Umum (H.I.S. lama) ditetapkan lamanja 6 tahun dengan menghilangkan bahasa Belanda. Disamping itu sekolah rendah lama jang berbahasa Indonesia (Sekolah Desa dan Sekolah Sambungan) disatukan kembali dengan ditambahi 1 kelas mendjadi pengadjaran rendah 6 tahun, sehingga terdapatlah perpaduan pengadjaran umum untuk tingkatan rendah, jang oleh Kementerian Pendidikan, Pengadjaran & Kebudajaan (P.P.K.) diberi nama „Sekolah Rakjat".
Oleh karena selama masa-masa pergolakan, jaitu sedjak pendaratan Djepang hingga berketjamuknja bertempuran-bertempuran dengan ten-
748