Lompat ke isi

Bumiku Yang Subur/Bab 2

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

2. Subayang dan Lembah Mangkisi.

Mari Lis ajak adik-adik, kakak-kakak, ibu-ibu dan bapak-bapak ber temasa. Tidak usah berjalan, tak perlu naik bus dan kendaraan lainnya. Duduk saja yang baik dan tenang. Dan lebih baik kalau ada selembar peta Sumatera Barat. O, ada? Silakan mengembang dan memperhatikannya.

Tampak kah kota Payakumbuh? Itu adalah ibu kota Kabupaten Lima Puluh Kota. Dijuluki orang dengan kota "Gelamai". Gelamai dalam dalam istilah yang lain disebutkan 'dodol'. Gelamai Payakumbuh ini sedaaaap sekali tetapi amat liat sekali. Sebab dibuat dari tepung beras pulut. Namun banyak pula ragamnya, karena ada pula yang dibuat dari tepung beras biasa. Tetapi yang terkenal ialah gelamai sepulut ini.

Jadi Payakumbuh berteman dengan kota Garut di Pariangan, Jawa Barat, Garut terkenal pula dengan dodolnya. Tetapi antara dodol Garut dengn gelamai Payakumbuh jauh sekali bedanya. Gelamai sepulut Payakumbuh ini amat liat dan agak susah mengirisnya. Untuk lama tahannya disimpan dalam tempurung kelapa. Aneh, yaaa? Dua buah tempurung kelapa diisi dengan gelamai lalu dipertautkan kembali rapat-rapat. Gelamai yang disimpan begini awet sampai satu tahun. Tetapi di pasar tak ada dijual gelamai dalam tempurung ini.

Ada pula gelamai yang dibuat dalam buluh. Dibuat dari tepung beras biasa. Namanya 'gelamai di buluh'. Menjelang bulan Puasa dan sebelum Lebaran hampir setiap rumah membuat gelamai di buluh ini.

Sekarang mari kita mulai perjalanan kita.

Sekarang kita turutkan jalan arah selatan. Satu kilo meter dari kota kita sampai di Labuh Silang. Disana jalannya bersimpang empat. Yang ke kanan ke Situjuh, Barulak dan terus ke Batu Sangkar. Yang ke kiri melewati Tiakar, Payobasung dan sampai ke Taram. Sebelum sampai di Labuh Silang kita melewati sebuah jambatan diatas batang Agam. Nama jambatan itu ialah Jambatan Ratapan Ibu. Dinamakan demikian sebagai dalam masa agresi banyak para pejuang kita mati ditembak serdadu Belanda diatas jambatan itu. Untuk peringatan disana sekarang dibangun sebuah tugu berbentuk patung seorang wanita yang menunjuk ke arah batang Agam.

Enam kilo meter dari kota kita sampai di Batang Tabit. Disana terdapat sebuah permandian yang ramai dikunjungi orang. Dari situ pula sumber air untuk ledeng di kota Payakumbuh. Enam kilo meter dari sana atau 12 kilo meter dari kota Payakumbuh kita sampai disebuah daerah yang bernama Gadut. Jangan salah-salah. Di daerah Kabupaten Agam terdapat pula sebuah desa yang bernama Gadut juga. Di Padang ada pula yang bernama Ulu Gadut. Malahan di Negeri Sembilan (Malaysia) terdapat sebuah kampung yang bernama Sungai Gadut.

Disana terdapat sebuah pekan yang ramainya setiap hari Rabu (Arbaa). Sehingga dinamakan Pakan Rabaa. Pekannya ramai. Dahulu tempat kedudukan camat. Disana ada sebuah sekolah SMP.

Kira-kira setengah kilo meter menjelang Pakan Rabaa itu terdapat sebuah tikungan. Dari sana sangat bagus pemandangan ke arah timurnya. Kelihatan sebuah dataran yang luas dan amat subur. Penuh dengan sawah-sawah, pokok-pokok kelapa, bukit-bukit kecil yang disana dinamakan 'ngalau'. Ngalau itu menghasilkan kapur. Membelah dataran itu dari utara ke selatan mengalir sebatang sungai yang bernama Batang Sinamar. Sungainya tidak kelihatan yang tampak hanya palungnya saja.

Di perbatasan horison (ditepi langit) berbaris-baris bukit barisan yang berlapis-lapis. Yang kelihatan hanyalah sebaris saja. Selainnya terlindung. Di beberapa tempat ada puncak-puncaknya. Semua puncak itu ada bernama. Yang Lis ketahui ialah bukit Cermin dan bukit Tembilang. Kedua bukit itu seakan-akan terkuak, disebelah belakangnya membelintang sebuah bukit pula yang bernama bukit Situka Jaring. Ada juga kisahnya nama bukit itu.

Di sebelah timur barisan bukit itu ialah daerah Kampar Kir (Riau Daratan). Rupanya zaman dulu orang-orang yang datang dari daerah itu membawa jaring (jengkol). Dan di bukit itu lah diadakan 'barter', pertukaran barang-barang. Oleh sebab itu lah dinamakan bukit itu Situka Jaring (tuka=tukar).

Antara kedua bukit pertama tapi terdapat sebuah lembah. Dalam lembah itu mengalir sebatang anak sungai kecil, namanya batang Mangkisi. Itulah salah satu jalan untuk masuk kedalam daerah hutan itu. Pada mulut lembah itu terletaklah sebuah desa kecil namanya 'Lurah Bukit'. Itulah desa tempat Lis tinggal. Tak berapa buah rumah yang ada disana, hitung belasan saja.

Tetapi pada waktu Lis ber kisah itu bila orang lewat malam hari di tikungan itu akan terlihat kelap kelip cahaya lampu listerik berpencaran disana sini. Itu bukan listerik dari P.L.T.A. Tetapi adalah listerik usaha pribadi seorang penduduk Lurah Bukit. Dan penduduk itu ialah papa Lis sendiri.

Kalau kita memasuki daerah perbukitan itu yang sekali gus merupakan daerah rimba raya, setengah hari perjalanan kita akan sampai di sebuah tempat yang bernama Subayang. Disana ada pula sebatang anak sungai kecil yang bernama batang Subayang juga. Airnya mengalir ke daerah Riau. Di Subayang itu tidak ada desa yang didiami manusia. Yang ada hanyalah sebuah berkas desa yang pernah di huni manusia. Entah pabila masanya. Tetapi tentu sudah lama sekali. Sekarang masih dapat dilihat di tempat itu bekas-bekas perumahan, tebat-tebat ikan, kuburan, dan tanda-tanda bahwa disitu dahulu ada sebuah negeri yang di diami oleh manusia. Kemudian tempat itu ditinggalkan dan semua penduduknya pindah ketempat yang lebih baik. Ialah ke daerah yang sudah Lis ceritakan diatas tadi.

Pada zaman sekarang banyak juga orang datang ke Subayang itu. Untuk mencari kayu perumahan, mencari ikan di batang Subayang itu. Ikannya banyak sekali, Maklum jarang di tangkap orang.

Waktu Lis membuat kisah ini daerah Subayang itu sedang ramai pula di kunjungi orang. Bukan mencari kayu, tidak mencari hasil hutan lainnya dan tidak pula untuk menangkap ikan. Mereka sedang ramai-ramai mencari 'garu'. Garu itu sejenis bahan yang terdapat dalam kayu. Kalau dibakar baunya wangi sekali. Tetapi mencarinya sukar sekali. Garu itu terletak dalam batang-batang kayu yang besar. Sehingga pohon-pohon raksasa itu harus ditebang dan di belah-belah mencari garu-nya. Kadang-kadang ada ditemui sedikit. Seringkali hampa saja. Tetapi pernah juga orang mendapatnya dalam jumlah yang banyak. Sampai ber kilo-kilo. Harga garu itu mahal sekali.

Ada sebuah pemeo:

Sudah gaharu, cendana pula,
Sudah tahu bertanya pula.

Gaharu inilah agaknya yang dicari mereka. Kayu itu harum baunya, banyak dipergunakan orang Cina. Dalam bahasa Latin,- bahasa orang ahli ilmu,- dinamakan 'aquilaria malaccensis'.

Suatu kesimpulan yang didapat ialah: Bahwa bumi tanah air kita tercinta ini banyak sekali mengandung kekayaan yang belum di olah, digali dan diusahakan. Baik kekayaan itu terdapat pada lapisan buminya, dalam tanahnya, dalam lautnya, ya dimana-mana saja.

Nih, kisahnya sebuah lagi:

Di daerah perbukitan itu antara Lurah Bukit dengan Subayang terdapat sebuah tempat yang bernama 'Tambang'. Untuk sampai kesana harus melintasi dua buah bukit yang bernama bukit Indo Jao dan bukit Tambang. Apa sebab dinamakan tempat itu dengan Tambang? Disana pada masa dulu memang benar-benar ada sebuah tambang. Tidak tanggung-tanggung ialah tambang emas.

Untuk melanjutkan kisahnya terpaksa Lis harus menyeleweng pula sedikit. Ya supaya jelas situasinya bukan?

Nama kenegarian kami Balai Panjang. Satu dari kenegarian yang susun bersusun dari selatan ke utara. Dari selatannya : Sitanang, lalu Batu Payung, dan kenegarian kami Balai Panjang. Kemudian Bukit Sikumpar dan sesudah itu kenegarian Mungo. Semuanya ber ekor di daerah Seberang Air tempat bukit barisan itu dan ber kepala di gunung Sago. Kenegarian Batu Payung, Balai Panjang dan Bukit Sikumpar pada waktu dulu bersatu yang dinamakan Tebing Tinggi. Mesjid Tebing Tinggi itu sekarang masih ada letaknya hampir sepemeluk orang laki-laki dewasa. Konon kabarnya dibawa dahulu dari daerah Suliki puluhan kilo meter dari Tebing Tinggi. Membawanya ditarik saja bersama-sama. Begitu hebat semangat gotong royong pada jamannya nenek moyang kita dahulu.

Kita kembali pada kisah tambang tadi.

Sebagai sudah diceritakan daerah kami itu terdiri dari bukit barisan dan sekali gus hutan rimba. Banyak hasil-hasilnya yang dapat diambil dalam hutan itu. Kayu, rotan, damar, buah-buahan, bambu, d.l.l.

Pada satu kali penduduk desa kami melihat serombongan penduduk kenegarian Mungo masuk kedalam hutan. Tentu mereka mencari apa-apa hasil hutan. Waktu kembali mereka rupanya membawa bambu. Jenis bambu ini ada puluhan pula macamnya. Di daerah kami bambu dinamakan 'betung'. Betung inipun banyak pula kaumnya. Untuk tiang atau pembuluh yang ber ukuran besar dipergunakan 'betung sungguh'. Ukurannya besar, tebal dan kuat. Walau kuat dan besar rebungnya sedap dimakan.

Untuk keperluan biasa dipergunakan 'betung danto'. Untuk membuat gelamai buluh,- lihat cerita Lis terdahulu.- dipakai 'talang' atau 'paring'. Maka paring inilah yang dibuat perian alias tempat air guna penjemput dan penyimpan air oleh kaum ibu.

Nah, jenis betung yang dibawa penduduk Mungo itu ialah jenis 'paring' ini. Setiap mereka membawa beberapa ruas paring ini yang rupanya sudah dibuat parian.

Sekali,.... dua kali,.... sudah berkali-kali rombongan itu memasuki hutan dan ketika pulangnya setiap mereka membawa parian. Akhirnya peristiwa itu menjadi tanda tanya bagi seorang penduduk Lurah Bukit yang bernama Tu' Layau. Biasanya jika orang masuk hutan dan membawa buluh mereka membawa dalam ukuran panjang-panjang. Sampai di kampung baru di potong-potong menurut keperluan. Dan anehnya pula perian yang disandang mereka kelihatannya amat berat. Apakah isinya?

Tu' Layau ingin menyelidiki hal itu. Tentu saja dengan cara rahasia. Maka pada suatu kali rombongan itu masuk hutan Tu' Layau mengikuti mereka diam-diam. Rombongan itu bermalam dalam hutan. Biasanya kalau orang mencari buluh tak pernah bermalam di hutan. Sesuatu yang aneh pula. Akhirnya mereka sampai di daerah yang kemudian bernama 'Tambang' itu. Apa yang dikerjakan mereka? Mereka menggali batu-batu bukit itu kemudian di pecah-pecah. Dibuat pematang-pematang supaya bingkah-bingkah batu itu jangan hanyut. Sebab rupanya mereka sudah menyediakan saluran air untuk menggenanginya.

Air itu digenangkan di tempat itu lalu di kacau-kacau. Sebentar-sebentar mereka membungkuk mengambil sesuatu yang berkilauan dari batu bercampur kersik dan tanah itu. Apa itu yang berkialauan? Tidak lain ialah: emas, yaa, emaaaas......

Tu' Layau yang mengintip pekerjaan mereka dari atas sebatang pohon besar dan rimbun daunnya menjadi melotot matanya. Seakan-akan bola matanya hampir terbudur keluar. Rupanya rombongan itu mencari emas. Mana emas yang didapat dimasukkan mereka ke dalam sebuah perian.

Daerah tempat mereka mencari emas itu termasuk kenegarian Balai Panjang. Tetapi bagaimana melarang mereka? Tu' Layau tidak punya keberanian. Dan tidak tahu pula caranya. Tetapi akhirnya dia mendapat satu cara pula yang licin dan halus.

Pada suatu malam rombongan yang bermalan di hutan itu mendapat gangguan. Mereka tidur di sebuah pondok yang dibuat begitu saja. Dimuka pondok dibuatnya sebuah unggun yang besar. Unggun itu mendatangkan hawa panas dan cahaya terang. Binatang buas tak berani datang ke tempat unggun itu. Jadi ada beberapa macam pula gunanya.

Sebelum tidur rombongan itu asyik bercakap-cakap, seenaknya dengan suara keras. Barangkali tentang rencana mereka dengan emas-emas yang sudah didapatnya. Atau tentang apa saja.

Tiba-tiba,...... ya tiba-tiba......

Terdengar suara 'huuuu,....huuuu,...huuuuu....' yang aneh dan menakutkan. Kemudian tampak ada sesuatu yang muncul dari kelompok hutan. Dalam cahaya api unggun yang muncul itu terlihat samar-samar. Sebuah sosok yang hitam legam, tinggi besar, bergoyang kian kemari. Kepalanya amat besar dan ada juga matanya besar dan merah,.....

Lalu dari arah yang lain muncul satu lagi,.....

Mata anggota rombongan yang sedang asyik ngomong-ngomong sekitar api unggun itu terbeliak sebesar-besar jengkol.
Apa pula yang bermunculan ini? Mereka tak dapat memberi nama makhluk-makhluk hitam legam yang bermunculan itu. Ia datang terhuyung-huyung dan kini sudah menjadi tiga.......

Akhirnya mereka menemui juga nama makhluk itu yang diteriakkan sekuat-kuatnya oleh seorang anggota rombongan:

"Hantuuuuuuu,..... hantuuuu,....!"

Mereka bertemperasan lari, pontang panting. Yang satu diikuti oleh yang lain. Tak tentu tujuannya.

Akibat gangguan hantu-hantu itu mereka tak pernah datang lagi. Sepilah daerah pertambangan itu. Dan tak pernah emas dicari lagi. Yang tertinggal hanyalah sebuah anak air disebelah bawah daerah pertambangan itu, yang dinamakan 'Anak air Siran'. Anak air itu berasal dari air yang digenangkan di daerah tambang itu dan sudah berubah airnya menjadi merah.

Kini tambang itu tak pernah dikerjakan lagi. Padahal kemungkinan emasnya masih ada. Malahan masih banyak yang terpendam dalam buminya.

Belum habis cerita kita tentang emas.

Menurut kepercayaan orang emas itu ada 'induk’nya. Induk emas itu ada yang berbentuk bola menyala, ada yang berbentuk ular yang menyala juga. Induk emas itu terbang kesana kemari. Sering dilihat orang induk emas itu melayang-layang diatas permukaan air batang Sinamar. Atau dalam daerah perbukitan itu. Ke daerah pertambangan itu acap kali juga induk emas itu datang.

Walau bagaimana semuanya itu memberi tanda bahwa di daerah kami ini ada terdapat emas. Pernahkah Pemerintah mengadakan 'survey' di daerah ini? Entahlah, mana Lis tahu.
Semoga paduka bapak yang mulia Menteri Pertambangan Republik Indonesia membaca juga kisah ini sehingga tergeraklah hati beliau untuk mengadakan survey (penyelidikan adanya barang-barang tambang) di daerah ini.

Masih ada sekelumit kisah lagi tentang soal tambang ini.

Pada suatu kali,- hari dan tahunnya Lis tak ingat lagi,— muncullah beberapa buah pesawat helikopter ke daerah ini. Heli itu ber markas di Padang Mengatas yaitu tempat peternakan yang terkenal di lereng gunung Sago.

Setiap hari heli itu melayang ke daerah Seberang Air dan menghilang dibalik bukit barisan. Entah apa yang diselidikinya dan entah apa yang dikerjakannya. Lis tentu tak tahu pula. Mungkin menyelidiki tambang emas itu.

Tetapi kemudian terbetik berita bahwa heli itu melakukan survey sebab di daerah bukit barisan itu mungkin terdapat: ....... uranium.

Kemudian heli itu tak muncul-muncul lagi. Yang muncul kini.... papa dan mak. Merekalah yang sedang melakukan 'survey' di daerah Lembah Mangkisi itu. Keduanya sering pergi ke Lembah Mangkisi itu. Kata papa beliau sedang mencari tempat berusaha untuk membuka.... tambang.

Ah, mungkin papa sedang melakukan survey. Dan kemudian akan membuka tambang emas atau uranium. Barangkali papa sudah dapat membuat kredit dan membuka tambang emas yang terpendam itu. Sebab hantu-hantu yang bermunculan mengusir orang-orang penambang itu ialah Tu' Layau dengan dua orang temannya. Merekalah yang membuat hantu-hantu dengan menyelimuti tubuhnya dengan ijuk. Dan Tu' Layau itu ialah kakek dari ibu mak.

Waddduuh, jika papa membuka tambang emas itu. Papa akan menjadi seorang jutawan. Jika papa sudah menjadi seorang jutawan kami akan melanjutkan sekolah. Entah ke Jawa entah ke Amerika. Dan masing-masing kami berulang kesekolah dengan sepeda motor. Papa dan mak akan membeli.... mobil Sedan,....

Astaga! Lis rupanya sudah melamun. Tak mungkin papa membuka tambang emas itu. Papa tidak punya modal. Papa tidak punya pengetahuan tentang soal tambang menambang emas itu. Tetapi katanya akan membuka tambang dalam hutan itu. Tambang apa?

Untuk mengetahuinya adik-adik, uni-uni, kakak-kakak, ibu-ibu dan bapak-bapak mohon bersabar dengan kelanjutan kisah ini.




.//.