Paradoks Olbers
Paradoks Olbers, juga dikenal paradoks langit malam, adalah paradoks yang menyatakan bahwa langit malam seharusnya tidak gelap dalam (asumsi) alam semesta yang tidak terbatas dan tidak berubah. Paradoks ini dinamai setelah Heinrich Olbers, astronom berkebangsaan Jerman, yang merumuskannya pada tahun 1823.[1]
Paradoks ini didasarkan pada asumsi bahwa alam semesta itu seragam di arah manapun, tidak berubah, dan tidak terbatas baik dalam ukurannya maupun umurnya.[2] Besarnya magnitudo sebuah bintang akan berkurang seiring dengan kuadrat jaraknya, tetapi jumlah bintang pada jarak tertentu juga akan bertambah dengan kuadrat jaraknya. Oleh karena itu, peluang bintang yang muncul dalam arah tertentu antara jarak x dengan x + δ adalah sama untuk semua x. Peluang ini terbatas, tetapi jumlah bintangnya tak terbatas sehingga kemungkinan bintang pada jarak tertentu sama dengan satu. Namun, jika bintangnya muncul dari segala arah, maka langit akan seterang matahari di segala penjuru alam semesta.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Olbers bukanlah orang yang pertama kali mengemukakan masalah ini. Menurut Edward Robert Harrison, astronom berkebangsaan Britania Raya, orang yang pertama kali mengemukakannya adalah Thomas Digges pada tahun 1576. Ia adalah orang yang pertama kali menjelaskan Heliosentrisme Copernicus dalam bahasa Inggris dan mengemukakan alam semesta tanpa batas dengan banyak bintang tak terhingga.[3] Johannes Kepler juga pernah meneliti masalah ini pada tahun 1610 dan masalah ini dikembangkan pada abad ke-19 berkat Edmond Halley dan Jean-Philippe Loys de Cheseaux.[4]
Solusi
[sunting | sunting sumber]Penyair Edgar Allan Poe adalah orang pertama yang mengusulkan kemungkinan solusinya pada tahun 1848. Ia mengusulkan bahwa ukurannya yang terbatas dari alam semesta yang dapat diamati tampaknya menyelesaikan paradoks Olbers.[5]
Solusi lain yang cukup umum adalah bahwa cahaya dari bintang jauh diserap oleh debu antarbintang. Akan tetapi, penyerapan oleh debu antarbintang akan membuat debu tersebut menjadi lebih hangat dan mulai memancarkan cahaya.[6]
Dengan asumsi bahwa alam semesta tidak terbatas, tetapi dibatasi waktu sehingga memiliki permulaan, maka cahaya bintang yang lebih jauh dari ct, dimana c adalah kecepatan cahaya dan t adalah usia alam semesta, belum mencapai Bumi saat ini.
Teori fraktal memberikan penjelasan teoretis lain dari paradoks Olbers. Bisa dibayangkan bahwa akan ada bintang-bintang yang jumlahnya tidak terbatas, tetapi bintang-bintang ini tidak pernah bertemu dengan Bumi dari kebanyakan segala arah.
Radiasi latar belakang gelombang mikro kosmis bisa memberikan solusi paradoks Olbers. Ketika alam semesta dimulai, suhu alam semesta setara dengan suhu efektif Matahari, sehingga langit benar-benar putih. Namun, akibat dari perluasan alam semesta, cahaya ini telah mengalami pergeseran merah yang besar, sehingga sekarang yang tersisa hanya radiasi gelombang mikro. Oleh karena itu, perluasan alam semesta dan pergeseran merah memberikan solusi kedua bagi paradoks Olbers.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Durchsichtigkeit des Weltraums (Berliner astronomisches jahrbuch für mit angaben für die oppositionen der planeten) (dalam bahasa Jerman). Berlin: C. F. E. Späthen. 1823. hlm. 110.
- ^ "Olbers Paradox". lambda.gsfc.nasa.gov. Diakses tanggal 2020-12-26.
- ^ Hellyer, Marcus (2008-04-15). The Scientific Revolution: The Essential Readings (dalam bahasa Inggris). John Wiley & Sons. ISBN 978-0-470-75477-1.
- ^ Unsöld, Albrecht; Baschek, Bodo (2001). The New Cosmos: An Introduction to Astronomy and Astrophysics (dalam bahasa Inggris). Springer Science & Business Media. ISBN 978-3-540-67877-9.
- ^ (Inggris) Edgar Allan Poe. Eureka - A Prose Poem, 1848.
- ^ "[sci.astro] Cosmology (Astronomy Frequently Asked Questions) (9/9)Section - I.15. Why is the sky dark at night? (Olbers' paradox)". www.faqs.org. Diakses tanggal 2020-12-26.