Lompat ke isi

Nongan, Rendang, Karangasem

Koordinat: 8°26′59″S 115°24′39″E / 8.449586°S 115.410757°E / -8.449586; 115.410757
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

8°26′59″S 115°24′39″E / 8.449586°S 115.410757°E / -8.449586; 115.410757

Nongan
Negara Indonesia
ProvinsiBali
KabupatenKarangasem
KecamatanRendang
Kode pos
80863
Kode Kemendagri51.07.01.2001 Edit nilai pada Wikidata
Luas6,43 km²[1]
Jumlah penduduk6.000 jiwa (2016)[1]
5.141 jiwa (2010)[2]
Kepadatan799 jiwa/km²(2010)
Jumlah KK1.357 KK[3]


Nongan merupakan sebuah desa yang terletak di kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, provinsi Bali, Indonesia dengan ketinggian 450 – 500 meter di atas permukaan laut.[4]

Batas wilayah

[sunting | sunting sumber]

Desa Nongan berbatasan dengan:

Utara Desa Rendang
Timur Desa Sangkan Gunung, Sidemen
Selatan Desa Pesaban
Barat Desa Bangbang dan kabupaten Bangli

Sektor pertanian dan perkebunan di desa Nongan didominasi oleh tanaman Salak Bali, Kelapa, Padi, dan umbi-umbian. Di sektor Industri, masyarakat kebanyakan membuka usaha di bidang Jajanan tradisional, dan Jasa.

Berdasarkan penjelasan/keyakinan orang-orang tua di Desa Pakraman Nongan serta didukung oleh bukti-bukti peninggalan yang ada berupa babad, silsilah keturunan, prasasti dan tulisan-tulisan/penelitian yang ada tentang Desa Pakraman Nongan dapat digambarkan perkembangan sejarah Desa Pakraman Nongan sebagai berikut:

Sebagaimana tertulis dalam Babad Dalem Tarukan, diperkirakan sekitar tahun 1399 Masehi di sebelah timur Nongan ada perkampungan bernama Kwanji Kuno. Disana ada seorang tokoh Pratisentana Dalem Taruk yang bernama Ni Gusti Luh Kwanji beserta keponakannya yang bernama I Gusti Gede Sekar yang memimpin (ngrajegin) wilayah tersebut. Selanjutnya, disebutkan I Gusti Gede Sekar berpindah tempat dari Kwanji ke Banjar Sekar Nongan ketika di wilayah Nongan sudah ada seorang raja kecil yang ditugaskan memimpin Desa Nongan yang berasal dari trah Arya Dauh Sibetan bernama I Gusti Nyoman Rai.

Prasasti Pande Besi Bujaga yang dikeluarkan oleh Raja Gelgel pada Sukra Kliwon Watugunung tahun 1327 caka atau 1405 Masehi menyebutkan bahwa sekitar tahun 1405 Masehi di wilayah Desa Nongan sudah ada sekelompok masyarakat yang menduduki wilayah di sebelah utara Nongan sampai Peringalot/Rendang yang wilayahnya kemudian disebut Bujaga. Menurut prasasti tersebut, di wilayah Bujaga saat itu ada seorang tokoh yang menjadi pemimpinnya yaitu I Bandhesa Pande Bujaga. Diperkirakan sebelum tahun 1779, di wilayah Nongan sudah ada Raja bernama I Gusti Nyoman Rai yang ditugaskan oleh Raja I Gusti Nengah Sibetan yang merupakan wakil Raja Karangasem bagian Barat Bukit (berkedudukan di Desa Selat) untuk memimpin wilayah Desa Nongan.

Hal ini dibuktikan dengan adanya peninggalan tertulis pada Gandawari Bale Pelik di Merajan Raja Nongan pada saat pertama kali melaksanakan "ngenteg linggih" (tertulis angka tahun 1779 Masehi).

Pada catatan “Sekelumit Sejarah Keturunan dari Lie Sing Wat” disebutkan bahwa kira-kira pada tahun 1824 di wilayah Nongan sudah ada keturunan Tionghoa (Lie Sing Wat) yang ditugaskan oleh Raja Karangasem untuk membantu Raja Nongan (I Gusti Nyoman Rai) menjaga wilayah perbatasan Karangasem – Klungkung di Desa Nongan. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian Sugi Lanus yang menyebutkan bahwa keturunan/ keluarga dari Lie Sing Wat di Nongan inilah yang kemudian menyebar menjadi masyarakat keturunan Tionghoa di Desa Lampu dan Kembang Sari di Kabupaten Bangli.

Menurut penjelasan orang-orang tua di wilayah Desa Pakraman Nongan, yang secara turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi, diyakini bahwa Nongan itu berasal dari kata Neng (bahasa Bali) yang berarti ‘diam, kosong, berhenti digarap atau belum pernah digarap’; Nengan yang berarti ‘tanah atau wilayah dalam keadaan kosong/tidak digarap’. Dalam hal ini wilayah Desa Nongan diyakini sebagai suatu wilayah tidak bertuan yang merupakan wilayah perbatasan/perebutan wilayah antara kerajaan Karangasem, Klungkung dan Bangli.

Ketut Adi Wiguna dalam tesisnya menyebutkan bahwa secara leksikal boleh jadi kata Nongan berasal dari kata naung yang kemudian mendapat sufiks "an", lalu menjadi naungan yang berarti ‘mendapat perlindungan’. Lama-lama kata naungan berubah menjadi nongan karena vocal a dan u mengalami proses persandian menjadi o. Hal ini dikaitkan dengan adanya upacara Penaung Bayu di Pura Besakih yang merupakan upacara memohon perlindungan kepada Tuhan agar alam dan manusia kembali dalam keadaan stabil atau harmoni. Sejalan dengan itu, secara alami wilayah Desa Nongan subur sehingga warga desanya mendapat kesejahteraan dan merasa tenteram hidup di Desa Nongan.

Pada versi lain, Tim Balai Arkeologi Denpasar (1994/1995) ketika mempelajari dua prasasti berbahasa Jawa Kuno yang tersimpan di Merajan Agung Banjar Sekar Desa Nongan, yaitu prasasti 553 Landih A yang disebut juga Nongan A yang dikeluarkan oleh Raja Jayasakti (1055-1073 Caka) dan prasasti Landih B yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus (1103 Caka), mendapat informasi bahwa penduduk Desa Nongan adalah keturunan beberapa warga Desa Landih Kabupaten Bangli yang karena sesuatu hal kemudian bermigrasi dan menemukan wilayah kosong tak bertuan (neng). Karena tanah di wilayah tersebut subur mereka memutuskan untuk menetap dan membangun tempat tinggal baru. Untuk mengenang keberadaan wilayah tersebut mereka lalu sepakat untuk memberi nama wilayah tersebut dengan sebutan Nongan.

Banyak orang juga mengaitkan asal muasal Desa Nongan dengan mitos Mayadenawa. Dikatakan bahwa pada zaman berkuasanya Raja Mayadenawa di lereng Gunung Tohlangkir (Gunung Agung) terjadi perang hebat antara pasukan Mayadenawa dengan pasukan para Dewa yang dipimpin Dewa Indra. Perang ini terjadi karena Mayadenawa melarang rakyat Bali untuk melaksanakan upacara agama dan menyembah para Dewa. Peperangan konon terjadi di sebelah Tenggara lereng Gunung Agung, yang kini disebut Batu Sesa. Peperangan bergeser kearah Barat dan memakan waktu yang cukup lama dan alot, tempat ini kemudian diberi nama Peringalot. Pasukan Mayadenawa terdesak dan terpaksa melarikan diri ke arah Selatan. Di suatu tempat, karena kepayahan peperangan terpaksa dihentikan. Keadaan menjadi tenang atau neng. Untuk mengenang keadaan tenang tersebut masyarakat kemudian menyebut wilayah tersebut menjadi nama desa, yaitu Desa Nongan. Desa adat ini dibangun secara harmonis oleh krama dari 15 banjar adat yang masing-masing merupakan pengempon / penyungsung dari 3 (tiga) pura dalem, yaitu Pura Dalem Segah, Pura Dalem Kupa dan Pura Dalem Nongan. Pura Dalem Segah disungsung 2 banjar adat yaitu Banjar Segah Kaja dan Banjar Segah Kelod. Pura Dalem Kupa disungsung 4 banjar adat yaitu Banjar Manggaan, Banjar Ambengan, Banjar Pande dan Banjar Bujaga. Sedangkan Pura Dalem Nongan disungsung 9 banjar adat yaitu Banjar Nongan Kaler, Banjar Bucu, Banjar Bukian, Banjar Sekar, Banjar Sigar, Banjar Tengah, Banjar Saren Kaler, Banjar Saren Tengah dan Banjar Saren Kelod. Uniknya, Pura Puseh / Bale Agung di desa ini (yang kebetulan terletak di kawasan empon Banjar Segah) secara formal hanya disungsung oleh krama pangempon Pura Dalem Segah (2 banjar adat).

Sudah menjadi tradisi turun temurun, di desa ini ada kearifan lokal yang diyakini sebagai salah satu perekat kesatuan krama Desa Pakraman Nongan yaitu berupa aci Ngusaba Dalem. Prosesi upacaranya setelah di masing-masing Pura Dalem secara serentak melaksanakan pengusabaan kemudian dilanjutkan dengan ritual Ida Betara Dalem Tiga Memasar / Nyejer bertempat di Bale Pesamuhan Pasar / Wantilan Desa Nongan. Krama dari ketiga penyungsung Pura Dalem tersebut (15 banjar adat) secara kompak dan harmonis ngaturang bhakti selama Ida Batara Dalem Tiga nyejer di Bale Pesamuhan Pasar / Wantilan Desa Nongan (3 hari).

Pada tahun 1995, dalam rangka Tawur Kesanga dan menyambut Hari Raya Nyepi tahun 1996 Masehi, direncanakan usai mekiis Ida Betara Dalem Tiga akan simpang dan mekolem / nyejer sehari di Pura Puseh / Bale Agung yang berlokasi di Banjar Adat Segah. Prosesi ini juga dimaksudkan sebagai uji coba hasil perevisian Awig-awig Desa Adat Nongan Tahun 1984. Namun saat itu, karena masih adanya perbedaan pendapat dan penafsiran, krama pengempon Pura Dalem Kupa dan Pura Dalem Nongan belum bisa menerimanya. Hal ini menyebabkan prosesi Ida Batara Dalem Tiga simpang dan mekolem / nyejer di Pura Puseh / Bale Agung yang ada di Banjar Adat Segah tidak bisa dilaksanakan sesuai rencana. Begitu juga dengan proses perevisian Awig-awig Desa Adat Nongan Tahun 1984 tidak dapat dilanjutkan.

Kejadian ini sempat menimbulkan blok-blok perbedaan pendapat antar krama di Desa Nongan dan pada akhirnya setelah melalui berbagai mediasi terjadi pemekaran desa pakraman, krama pengempon Pura Dalem Segah (2 banjar adat) memisahkan diri secara baik-baik dan membentuk sebuah Desa Adat sendiri, yaitu Desa Pakraman Segah. Desa Pakraman Segah yang baru berdiri ini justru yang lengkap mempunyai Pura Kahyangan Tiga, sedangkan desa wed (Desa Pakraman Nongan) hanya mempunyai kahyangan desa berupa 2 (dua) Pura Dalem, yaitu Pura Dalem Kupa dan Pura Dalem Nongan. Terhitung sejak tahun itu pula, ditetapkan wilayah Desa Pakraman Nongan hanya terdiri dari 13 banjar adat yaitu pengempon Pura Dalem Kupa dan Dalem Nongan sampai sekarang. Pasca pemekaran desa adat tersebut, kedua desa pakraman (Nongan dan Segah) telah melaksanakan prosesi upacaranya masing-masing. Begitu juga dengan tradisi Ngusaba Dalem di Desa Pakraman Nongan tetap berjalan sebagaimana biasa bertempat di Bale Pesamuhan Pasar / Wantilan Desa Nongan, cuma saat ini diikuti oleh 2 pengempon / penyungsung Pura Dalem Kupa dan Pura Dalem Nongan. Sekitar tahun 2005 atas inisiatif para penglingsir / prajuru desa, dimulailah pembangunan pura kahyangan desa di Desa Pakraman Nongan. Pura kahyangan desa yang dibangun ini direncanakan sebagai Pura Puseh / Bale Agung (?) dengan mengambil tempat di wewidangan Bale Pesamuhan di Pasar / Wantilan Desa (genah Ida Batara Dalem memasar ritatkala Ngusaba Dalem). Beberapa unit pelinggih dan kelengkapan lainnya juga sudah selesai dibangun. Namun demikian, karena sesuatu dan lain hal, khususnya terjadinya pergantian Bendesa dan prajuru desa lainnya serta kurangnya sosialisasi di masyarakat menyebabkan pelinggih-pelinggih yang sudah selesai dibangun tersebut belum dapat difungsikan sebagaimana fungsi yang diharapkan pada mulanya (belum diikuti proses selanjutnya ngenteg linggih). Saat itu, di kalangan krama desa terjadi kesimpang-siuran dan berbagai penafsiran terhadap ririg linggih yang sudah selesai dibangun tersebut. Beberapa diantaranya menafsirkan sebagai Pura Puseh. Ada juga krama yang menamakannya Pura Desa / Bale Agung. Sebagian lagi, dengan pertimbangan efisiensi berharap dibangunnya Pura Puseh dan Bale Agung di satu tempat. Tidak sedikit pula krama yang kebingungan tidak tahu fungsi dan keberadaan pura (unit pelinggih) yang sudah dibangun itu.

Sekitar tahun 2006 (pasca pemekaran Desa Pakraman Segah) juga telah diupayakan membentuk Panitia untuk kembali melaksanakan revisi terhadap Awig-Awig Desa Adat Nongan Tahun 1984. Karena sejatinya memang banyak hal yang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat itu, terutama yang berkaitan dengan Desa Pakraman Segah / Pura Dalem Segah. Sebagai uji coba, draft hasil revisi awig tersebut sempat disosialisasikan pertama kali di Banjar Pande. Karena sesuatu dan lain hal, secara teknis proses sosialisasi tidak bisa dilanjutkan lagi ke 12 banjar adat lainnya. Proses perevisian awig-awig inipun tidak dilanjutkan lagi.Selanjutnya terhitung mulai Desember tahun 2010, Bendesa dan Prajuru yang baru telah membentuk Panitia untuk melaksanakan kembali revisi terhadap Awig-Awig Desa Adat Nongan Tahun 1984 dan sekaligus merencanakan untuk memfungsikan, meningkatkan dan menyesuaikan status ririg linggih yang sudah dibangun oleh kepengurusan Bendesa yang lama menjadi Pura Kahyangan Desa / Pura Pesamuhan Agung. Panitia revisi awig memulai pekerjaannya sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah diatur dalam Pedoman / Teknis Penyusunan Awig-Awig dan Keputusan Desa Adat yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Bali. Berkat asung kertha wara nugraha Ida Sanghyang Widhi Wasa, akhirnya hasil perevisian Awig-awig Desa Adat Nongan Tahun 1984 yang telah dikerjakan / disusun oleh Panitia Revisi Awig-awig sejak Desember 2010 sampai dengan Maret 2012 ini berhasil disetujui oleh seluruh masyarakat Desa Pakraman Nongan serta dipasupati pada tanggal 15 April 2013.Sumber: Awig-Awig Desa Pakraman Nongan

Penduduk desa Nongan sampai dengan tahun 2016 terdiri dari 3.003 laki-laki dan 2.997 perempuan dengan sex ratio 100.[1]

Tempat wisata

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c "Kecamatan Rendang dalam Angka 2017". Badan Pusat Statistik Indonesia. 2017. Diakses tanggal 16 Desember 2018. 
  2. ^ "Penduduk Indonesia Menurut Desa 2010" (PDF). Badan Pusat Statistik. 2010. hlm. 1385. Diakses tanggal 14 Juni 2019. 
  3. ^ "Prodeskel Binapemdes Kemendagri". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-01. Diakses tanggal 2018-03-23. 
  4. ^ "Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan". Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 Desember 2018. Diakses tanggal 3 Oktober 2019. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]