Mandar dengkur
Mandar dengkur | |
---|---|
Ilustrasi dari The Birds of Celebes and the neighbouring islands, 1898 | |
Klasifikasi ilmiah | |
Kerajaan: | |
Filum: | |
Kelas: | |
Ordo: | |
Famili: | |
Genus: | Aramidopsis Sharpe, 1893
|
Spesies: | A. plateni
|
Nama binomial | |
Aramidopsis plateni (Blasius, 1886)
| |
Perkiraan persebaran. Inset menunjukkan letak Sulawesi.
| |
Sinonim | |
Rallus plateni |
Mandar dengkur (bahasa Latin: Aramidopsis plateni, bahasa Inggris: snoring rail, Celebes rail, Platen's rail) adalah burung Rallidae besar tak terbang dan merupakan satu-satunya anggota dari genus Aramidopsis. Burung ini endemik di Indonesia dan hanya ditemukan di vegetasi yang lebat di daerah basah di Pulau Sulawesi dan Pulau Buton. Burung ini memiliki warna abu-abu di bagian bawah, warna putih di dagu, cokelat di sayap, dan belang berwarna karat pada leher belakang. Kedua jenis kelamin terlihat hampir sama, tetapi burung betina memiliki leher yang lebih cerah serta paruh dan selaput pelangi yang berbeda warna. Suara khasnya adalah suara mendengkur ee-orrrr sehingga diberi nama umum “pendengkur”.
Habitatnya yang tidak dapat diakses dan sifatnya yang tenang membuat mandar dengkur jarang terlihat dan sedikit diketahui perilakunya. Hanya burung dengan bulu dewasa yang telah dideskripsikan, dan perilaku pembiakannya tidak tercatat. Burung ini memakan kepiting kecil dan mungkin mangsa kecil lain seperti kadal. Meskipun dilindungi oleh hukum Indonesia sejak tahun 1972, burung ini terancam oleh hilangnya habitat (bahkan di dalam cagar alam) serta diburu sebagai makanan dan predasi oleh spesies pendatang; mereka pun dinilai sebagai spesies rentan pada Daftar Merah Spesies Terancam IUCN.
Taksonomi
Rallidae adalah famili yang sangat besar dan tersebar luas, dengan hampir 150 spesies. Mereka berukuran kecil hingga sedang, hidup di darat (terestrial) atau lahan basah, dan tubuh pendek mereka sering merata ke arah luar (lateral) untuk membantu mereka bergerak melalui vegetasi yang lebat. Spesies pulau menjadi tidak dapat terbang; dari 53 taksa yang masih ada atau baru punah yang terbatas di pulau-pulau, 32 telah kehilangan kemampuan untuk terbang.[2]
Mandar dengkur pertama kali diklasifikasikan sebagai Rallus plateni oleh ahli ornitologi Jerman August Wilhelm Heinrich Blasius pada tahun 1886,[2] tetapi dipindahkan ke genus monotipik saat ini Aramidopsis oleh ahli zoologi Inggris Richard Bowdler Sharpe pada tahun 1893.[3] Mengikuti Taylor (1998), mandar dengkur dianggap lebih mirip dengan mandar pulau tak-terakses dan mandar bertenggorokan putih dibandingkan dengan anggota dari genus Rallus.[4] Namun, studi gen mitokondria tahun 2012 menunjukkan bahwa spesies ini seharusnya ditempatkan di Gallirallus, dengan mandar Lewin dan mandar berdada kelabu sebagai kerabat terdekatnya.[5]
Aramidopsis berasal dari nama genus burung limpkin, Aramus dan akhiran Yunani opsis, "menyerupai". Meskipun mandar ini berbagi asal namanya dengan spesies Aramides Amerika Selatan,[6] paruhnya yang khas, kakinya yang tebal, dan perutnya yang bergaris lebih rendah membedakannya dari kelompok itu.[7] Nama spesies plateni diambil sebagai penghargaan terhadap Carl Constantin Platen, seorang dokter Jerman yang mengumpulkan burung dan kupu-kupu di Kepulauan Melayu[8] dan memberi Blasius spesimen mandarnya.[9] Nama umum yang diberikan pada burung ini mengacu pada suara khasnya dan disebut sebagai der Vogel Schnarch (burung mendengkur) oleh ahli entomologi Jerman Gerd Heinrich ketika ia menemukan kembali spesies ini pada tahun 1932.[10]
Deskripsi
Mandar dengkur panjangnya 30 cm dan beratnya 143–160 g. Mandar dengkur tidak bisa terbang, memiliki sayap pendek, ekor yang sangat pendek, serta tungkai dan kaki yang kuat. Bagian belakang dan bawah dari mahkota depan sampai dada berwarna abu-abu, kecuali bagian dagu yang putih, kemudian bagian sisi dan belakang leher berwarna oranye kemerahan gelap. Sebagian besar bagian atas sisanya berwarna cokelat, sementara bagian perut, panggul, dan bagian bawah ekor memiliki garis-garis putih. Burung jantan memiliki kaki hitam, selaput pelangi (iris) kuning dan cokelat, dan paruh kehijauan yang melengkung turun. Burung betina mirip, tetapi memiliki warna bagian belakang leher yang lebih cerah, kurang putih di dagu, iris merah, paruh krem dan kemerahan, serta kaki biru keabu-abuan. Burung yang bulunya tergolong belum dewasa dan masih remaja belum dideskripsikan. Cukup mudah membedakan mandar dengkur dengan mandar simpatrik secara visual. Mandar muka-biru berukuran hampir sama, tetapi memiliki warna cokelat di bagian atas dan hitam di bagian bawah, sedangkan mandar bergaris kekuning-kuningan memiliki tanda kuat di bagian atas, dada, dan kepala. Mandar berdada-kelabu lebih kecil dan bagian atasnya bergaris.[11]
Suara yang sering ditemukan berupa wheez singkat diikuti dengan mendengkur khas ee-orrrr. Suara hmmmm mendalam juga telah direkam.[11]
Distribusi dan habitat
Mandar dengkur merupakan spesies endemik Indonesia yang jarang ditemukan dan terdistribusi di hutan dataran rendah dan hutan perbukitan di bagian utara, tengah utara, dan tenggara Sulawesi.[11] Populasi lain ditemukan di Pulau Buton pada tahun 1995.[12]
Habitat khas spesies ini adalah vegetasi lebat di daerah basah. Habitatnya mungkin termasuk bambu dan liana yang tak dapat ditembus di hutan, rotan di hutan yang tumbuh kembali, atau rumput gajah dan semak-semak di lereng bukit Semenanjung Minahasa. Klaim bahwa spesies ini terdapat di sawah diyakini karena kebingungan dengan mandar bergaris kekuning-kuningan.[4] Mandar dengkur hidup dari ketinggian permukaan laut hingga 1.300 m di atas permukaan laut.[11]
Perilaku
Habitatnya yang tidak dapat diakses dan distribusi yang jarang mengakibatkan hanya sedikit hal yang diketahui tentang spesies ini. Beberapa burung ditembak oleh Platen dan ekspedisi lain yang dipimpin oleh Paul Sarasin dan sepupu keduanya, Fritz, antara 1893 dan 1898,[13] tetapi mandar ini kemudian tidak terlihat selama lebih dari tiga puluh tahun sampai Heinrich menemukannya hampir pada akhir survei Sulawesi selama dua tahun. Ia menggambarkan burung ini sebagai "tangkapan paling berharga yang pernah saya buru atau akan saya buru".[14] Lebih dari satu dasawarsa kemudian, ahli ornitologi Belanda Louis Coomans de Ruiter juga membutuhkan satu tahun untuk menemukan mandar ini, meskipun berkonsentrasi pada habitat yang dikenal cocok.[12] Tidak ada temuan yang didokumentasikan sampai burung-burung ini diamati pada tahun 1983 dan 1989.[15][16] Catatan mengenai penampakan mandar dengkur tetap jarang,[12] dan hanya sekitar sepuluh spesimen bangkai yang telah dipelajari.[1]
Mandar dengkur menangkap kepiting di sungai dataran tinggi, dan krustasea ini mungkin merupakan makanan utama. Burung ini juga mencari makan di daerah berlumpur dan telah dicatat sebagai pemakan kadal.[11] Tidak ada yang diketahui tentang perilaku pembiakannya selain laporan bahwa burung dewasa terlihat makan dengan dua anak ayam pada bulan Agustus 1983,[4] tetapi laporan asli tidak memberikan rincian dari pengamatan yang diklaim.[17]
Status
Mandar dengkur terbatas di Sulawesi dan Buton, dan diperkirakan memiliki populasi antara 3.500 hingga 15.000 ekor. Jumlahnya diperkirakan akan menurun; jangkauannya yang terbatas dan populasinya yang kecil membuat spesies ini diklasifikasikan sebagai rentan oleh Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN).[1]
Mungkin burung ini hanya memiliki sebaran yang sempit sejak dulu kala, tetapi terdapat pengawahutanan luas dalam jangkauannya yang mengakibatkan kehilangan dan fragmentasi habitat yang sesuai. Mandar ini telah dilindungi oleh hukum Indonesia sejak tahun 1972, dan Taman Nasional Lore Lindu dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone berada dalam jangkauannya, tetapi penebangan dan pemotongan rotan terjadi bahkan di daerah-daerah yang dilindungi, dan perambahan manusia juga merupakan masalah di Lore Lindu. Mandar ini ditangkap untuk dijadikan makanan pada masa lampau, dan kadang-kadang dibunuh oleh anjing, kucing, dan predator pendatang lainnya.[1][18] Sebuah survei tahun 2007 dari kawasan lindung Sulawesi gagal menemukan mandar ini, yang menunjukkan bahwa burung ini benar-benar langka bahkan dalam kawasan lindung.[19]
Dalam sebuah pengamatan di blok hutan Popayato-Paguat yang terletak di Cagar Alam Panua dan Suaka Margasatwa Nantu, di Provinsi Gorontalo pada tahun 2018, terlihat tiga individu liar dan hidup berikut terekam pula suara mereka.[20] Meskipun sudah dilakukan pelarangan penebangan pohon di hutan tersebut, kadang masih terdengar suara burung mandar dengkur bersahut-sahutan dengan bunyi mesin gergaji. Burung ini juga diketahui dapat bertoleransi dengan aktivitas manusia yang relatif tinggi.[20]
Referensi
- ^ a b c d BirdLife International (2012). "Aramidopsis plateni". IUCN Red List of Threatened Species. Version 2013.2. International Union for Conservation of Nature. Diakses tanggal 26 November 2013.
- ^ a b Hoyo, Josep del; Elliott, Andrew; Sargatal, Jordi; Christie, David A; de Juana, Eduardo (eds.) (2013). "Rails, Gallinules and Coots". Handbook of the Birds of the World Alive. Barcelona: Lynx Edicions. Diakses tanggal 13 April 2014. (perlu berlangganan)
- ^ Sharpe, Richard Bowdler (1893). "Aramidopsis, gen. nov". Bulletin of the British Ornithologists' Club. 1: 54.
- ^ a b c Hoyo, Josep del; Elliott, Andrew; Sargatal, Jordi; Christie, David A; de Juana, Eduardo (eds.) (2013). "Snoring Rail (Aramidopsis plateni)". Handbook of the Birds of the World Alive. Barcelona: Lynx Edicions. Diakses tanggal 28 Mei 2014. (perlu berlangganan)
- ^ Kirchman, Jeremy J (2012). "Speciation of flightless rails on islands: a DNA-based phylogeny of the typical rails of the Pacific". The Auk. 129 (1): 56–59. doi:10.1525/auk.2011.11096.
- ^ Jobling 2010, hlm. 52.
- ^ Olson, Storrs L (1973). "A classification of the Rallidae" (PDF). Wilson Journal. 85 (4): 381–416. JSTOR 4160386.
- ^ Jobling 2010, hlm. 309.
- ^ Meyer & Wiglesworth (1898) vol. 1, pp. 7–8.
- ^ Heinrich 2007, hlm. 103–105.
- ^ a b c d e Taylor & van Perlo 1998, hlm. 329–331.
- ^ a b c "Snoring Rail Aramidopsis plateni" (PDF). Birdbase. Hokkaido Institute of Environmental Sciences. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2014-05-31. Diakses tanggal 30 Mei 2014.
- ^ Meyer & Wiglesworth (1898) vol. 2, pp. 690–692.
- ^ Collar, Nigel J (2009). "Pioneer of Asian ornithology: Gerd Heinrich" (PDF). BirdingASIA. 11: 33–40.
- ^ Watling, Dick (1983). "Ornithological notes from Sulawesi". Emu. 83: 247–261. doi:10.1071/mu9830247.
- ^ Lambert, Frank (1989). "Some observations of the endemic rails". Kukila. 4 (1): 34–36. (registrasi diperlukan)
- ^ Andrew, Paul; Holmes, Derek A (1990). "Sulawesi Bird Report". Kukila. 5 (1): 4–26. (registrasi diperlukan)
- ^ Roots 2006, hlm. 56–57.
- ^ Lee, Tien Ming; Sodhi, Navjot S; Prawiradilaga, Dewi M (2007). "The importance of Protected Areas for the forest and endemic avifauna of Sulawesi (Indonesia)". Ecological Applications. 17 (6): 1727–1741. doi:10.1890/06-1256.1. JSTOR 40062070.
- ^ a b Gulson-Castillo, Eric R.; Pantiati; Pegan, Teresa M.; Winarni, Nurul L.; Andriansyah (2018). "Sulawesi endemic in the spotlight: first images and sound recordings of the Snoring Rail Aramidopsis plateni". BirdingAsia. 30: 60 – 64.
Daftar pustaka
- Heinrich, Bernd (2007). The snoring bird: my family's journey through a century of biology. New York: Ecco (Harper Collins). ISBN 978-0-06-074215-7.
- Jobling, James A (2010). The Helm Dictionary of Scientific Bird Names. London: Christopher Helm. ISBN 978-1-4081-2501-4.
- Meyer, Adolf Bernhard; Wiglesworth, Lionel W (1898). The Birds of Celebes and the neighbouring islands (PDF). 1. Berlin: R Friedlander & Sohn.
- Meyer, Adolf Bernhard; Wiglesworth, Lionel W (1898). The Birds of Celebes and the neighbouring islands. 2. Berlin: R Friedlander & Sohn.
- Roots, Clive (2006). Flightless Birds. Westport, Connecticut: Greenwood Publishing. ISBN 978-0-313-33545-7.
- Taylor, Barry; van Perlo, Ber (1998). Rails. Robertsbridge, East Sussex: Pica/Christopher Helm. ISBN 1-873403-59-3.
Pranala luar