Lompat ke isi

Holokaus di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Para pemudi Jepang yang tampil untuk Barisan Pemuda Hitler (Hitlerjugend), menunjukkan kedekatan ideologis antara Jepang dengan Jerman selama Perang Dunia II.

Holocaust di Indonesia adalah sebuah perencanaan upaya pemusnahan massal atau genosida terhadap orang-orang Yahudi atau yang lebih dekat dikenal sebagai Holocaust, namun Holocaust ini bukan dilakukan oleh Jerman Nazi, melainkan dilakukan oleh tentara pendudukan Kekaisaran Jepang - yang merupakan sekutu Jerman Nazi dalam Blok Poros selama Perang Dunia II - di Asia, terutama Indonesia ( yang pada saat itu masih bernama Hindia Belanda). Kekaisaran Jepang dan Jerman Nazi yang merupakan dua dari tiga negara penanda tangan Pakta Tripartit, adalah negara Blok Poros yang paling aktif dalam jalannya Perang Dunia II, sehingga sedikit banyak kesamaan diantara keduanya, dan Holocaust terhadap Bangsa Yahudi menjadi salah satu kebijakan bersama antara Jepang dan Jerman. Namun, rencana Holocaust di Indonesia adalah salah satu rencana Holocaust yang gagal dilaksanakan.[1]

Latar Belakang

[sunting | sunting sumber]

Pada 1921, saat Belanda masih berkuasa atas Hindia Belanda (sekarang Indonesia), terdapat sedikitnya 2000 orang Yahudi atau keturunan Yahudi yang bermukim di Pulau Jawa. Orang-orang Yahudi atau keturunan Yahudi yang ada di Jawa itu sudah bermukim di Nusantara sejak awal penjajahan Belanda pada abad 17, kebanyakan dari orang-orang Yahudi atau keturunan Yahudi yang ada di Jawa itu berprofesi sebagai pedagang. Namun, orang-orang Yahudi yang ada di Nusantara pada saat itu lebih memilih untuk tidak menunjukkan secara eksplisit identitas Yahudinya, orang-orang Yahudi itu kemudian lebih memilih untuk menunjukkan identitas kewarganegaraannya, dan kebanyakan berasal dari Belanda, Jerman, Austria, Rumania, dan Irak. Semua orang Yahudi ataupun keturunan Yahudi yang ada di Nusantara pada saat itu kemudian berasimilasi dengan warga koloni lainnya, terutama Belanda.[2]

Masuknya Jepang

[sunting | sunting sumber]

Pada awal 1942, saat Perang Dunia II sedang mencapai puncaknya, Kekaisaran Jepang yang merupakan salah satu negara fasis dan anggota Blok Poros berhasil menaklukkan Hindia Belanda, pada saat-saat inilah kekuatan Blok Poros baik di Eropa ataupun Asia sedang mencapai kekuatan terbesarnya. Awalnya, saat Kekaisaran Jepang sudah secara penuh mengalahkan dan mengambil alih kekuasaan di Hindia Belanda dari tangan pemerintah Belanda setelah Perjanjian Linggarjati, banyak dari orang Yahudi yang berkebangsan Irak dan Jerman masih diberikan kebebasan. Kebebasan orang Yahudi di daerah pendudukan Jepang itu dikarenakan, Kekaisaran Jepang tidak memerangi musuhnya berdasarkan ras - tidak seperti Jerman Nazi - melainkan berdasarkan negaranya, sehingga orang-orang Yahudi yang ada di Hindia Belanda saati itu dianggap bukan merupakan suatu ancaman dan tidak dianggap sebagai musuh dari Kekaisaran Jepang. Jadi, disaat Kekaisaran Jepang membangun kamp interniran bagi bangsa-bangsa yang menjadi musuhnya seperti Amerika Serikat, Belanda, dan Inggris, orang Yahudi justru masih dapat melaksanakan aktivitasnya seperti biasa.[2]

Perencanaan Holocaust

[sunting | sunting sumber]

Usulan Jerman

[sunting | sunting sumber]

Perubahan sikap tentara pendudukan Kekaisaran Jepang terhadap orang Yahudi di Hindia Belanda dimulai pada 1943, tepatnya setelah adanya kunjungan dari sekelompok perwira Jerman Nazi yang melakukan kunjungan ke Surabaya, Jawa Timur. Para perwira Jerman Nazi itu kemudian menemui otoritas tentara pendudukan Kekaisaran Jepang - yang merupakan sekutu mereka - kemudian menanyakan perihal siapa saja yang menjadi tawanan perang Jepang. Tentara pendudukan Jepang kemudian memberikan jawaban kepada para perwira Jerman, bahwa Jepang hanya menahan orang-orang berkewarganegaraan asing yang berasal dari negara-negara Blok Sekutu, seperti Amerika Serikat, Belanda, dan Britania Raya. Para perwira Jerman yang mengetahui bahwa orang Yahudi masih dibiarkan bebas oleh Kekaisaran Jepang kemudian menjadi marah, para perwira utusan Jerman itu kemudian merekomendasikan kepada unit polisi khusus Kekaisaran Jepang, Kempetai untuk mengikuti jejak Jerman Nazi, yaitu ikut menangkap dan memburu orang-orang Yahudi. Akhirnya, melalui Kempetai, tentara pendudukan Kekaisaran Jepang kemudian membangun sebuah kamp interniran baru bagi orang Yahudi di daerah Tangerang dan di kamp itu kemudian tertulis sebuah banner besar yang bertuliskan "Banksa Jehudi", sebagai penanda bahwa kamp itu diperuntukan bagi tawanan yang berasal dari keturunan Yahudi.[3]

Kekaisaran Jepang yang sudah mematuhi usulan dari Jerman Nazi untuk memburu orang-orang Yahudi, kemudian mengadopsi ide anti-semitisme yang dipopulerkan oleh Partai Nazi dan menjadikannya sebagai propaganda anti-Yahudi di Indonesia, salah satu propaganda anti-Yahudi itu dilakukan oleh seorang perwira Kempetai bernama Murase pada 2 April 1943 melalui sebuah siaran radio. Selain melalui radio, Kekaisaran Jepang kemudian juga menyebarkan isu tentang "Konspirasi Dunia Yahudi" dalam sebuah surat kabar, Jawa Shimbun edisi 10, 11, dan 12 Agustus 1943, dalam surat kabar itu Kekaisaran Jepang mengatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda adalah bagian dari komplotan Yahudi Internasional, demikian pula dengan perusahaan milik Belanda yang dikaitkan dengan organisasi-organisasi Yahudi Internasional, seperti Freemason, Rotary Club, dan Lions Club.[3]

Dukungan dari Para Kolaborator

[sunting | sunting sumber]

Efek dari propaganda anti-semitisme dan anti-Yahudi yang dilakukan oleh tentara pendudukan Kekaisaran Jepang juga berhasil mempengaruhi sejumlah tokoh pergerakan nasional yang menjadi kolaborator Kekaisaran Jepang, salah satunya adalah tokoh MIAI seperti Tjokroaminoto melalui surat kabar, Soeara M.I.A.I dan juga tokoh-tokoh nasionalis seperti Sam Ratulangi dalam jurnal Asia Raja dan Sukarjo Wiryopranoto yang menggambarkan bahwa Perang Asia Pasifik yang merupakan bagian dari Perang Dunia II adalah perang antara prinsip hidup Hakko Ichiu melawan prinsip-prinsip hidup individualisme yang dibawa oleh para pemikir Yahudi.[3]

Jerman Campur Tangan Langsung

[sunting | sunting sumber]

Pengaruh Jerman Nazi terhadap perubahan kebijakan Kekaisaran Jepang mengenai orang-orang Yahudi ternyata tidak berhenti dari sekeder memberikan usulan dan rekomendasi kepada Kempetai, tetapi Jerman ingin terlibat langsung dalam upaya Holocaust terhadap orang Yahudi di Asia, wilayah yang menjadi daerah pendudukan Kekaisaran Jepang. Untuk merealisasikan rencananya, Jerman Nazi kemudian mengutus seorang "algojo" yang terlibat dalam kebijakan "Solusi Akhir", "algojo" Jerman Nazi yang dikirim ke Indonesia itu adalah Josef Meisinger. Joseph Meisinger sendiri adalah seroang perwira Gestapo (unit polisi khusus Jerman Nazi, setingkat dengan Kempetai milik Kekaisaran Jepang) yang terkenal dengan julukan "Tukang Jagal dari Warsawa", Meisinger dikirim ke Jepang untuk membantu Kempetai melaksanakan rencana Holocaust diseluruh wilayah yang menjadi daerah pendudukan Kekaisaran Jepang, termasuk Hindia Belanda.[3]

Gagalnya Rencana Holocaust

[sunting | sunting sumber]

Perencanaan Holocaust oleh Kekaisaran Jepang itu ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Jerman Nazi yang kalah terlebih dahulu pada Mei 1945 setelah Pertempuran Berlin dan dihancurkan oleh Uni Soviet, membuat Kekaisaran Jepang melupakan rencana kebijakan Holocaust itu, sampai akhirnya Kekaisaran Jepang juga ikut kalah setelah Kota Hiroshima dan Nagasaki di bom atom oleh Amerika Serikat pada Agustus 1945. Kekalahan Jerman Nazi dan Kekaisaran Jepang, bukan hanya mengakhiri Perang Dunia II, juga membuat orang-orang Yahudi yang ada di Asia, khususnya Indonesia luput dan selamat dari rencana Holocaust.[3]

Pasca Perang Dunia II

[sunting | sunting sumber]

Setelah Perang Dunia II berakhir, para tawanan Yahudi di Tangerang kemudian dipindahkan ke Jakarta, sebagian dari orang-orang Yahudi yang ditahan Jepang itu kemudian ada yang memilih untuk pulang ke Eropa atau pergi ke Israel atau Amerika Serikat, namun sebagian lainnya, terutama orang Yahudi Irak yang memiliki kemiripan fisik dengan Bangsa Arab memilih untuk kembali ke Surabaya dan wilayah Jawa Timur yang lain,[4] karena banyak orang Indonesia yang mengira orang Yahudi Irak itu adalah orang-orang Arab. Orang-orang Yahudi yang menetap di Surabaya itu kemudian mendirikan sebuah sinagog kecil yang menjadi kontroversi pada 2009 dan akhirnya ditutup.[3]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Japan & the Jews During the Holocaust". www.jewishvirtuallibrary.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-12-13. 
  2. ^ a b Oktorino 2015, hlm. 118.
  3. ^ a b c d e f Oktorino 2015, hlm. 119.
  4. ^ Fasial M. Sakrie, Melacak Yahudi Indonesia: Dari Maskapai Dagang VOC sampai Jejak Fisik dan Pemikiran, (Yogyakarta: Bale Siasat, 2008) hal. 31 - 37

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Oktorino, Nino (2015). Nazi di Indonesia: Sebuah Sejarah yang Terlupakan. Jakarta: Elex Media Komputindo.