Abdul Hamid Pasuruan
Topik artikel ini mungkin tidak memenuhi kriteria kelayakan umum. |
Gaya atau nada penulisan artikel ini tidak mengikuti gaya dan nada penulisan ensiklopedis yang diberlakukan di Wikipedia. |
Gaya penulisan artikel atau bagian ini mengandung kata bersayap yang mengandung opini. Silakan lihat halaman pembicaraan. Lihat juga panduan menulis artikel yang lebih baik. |
Kiai Haji Abdul Hamid atau Mbah Hamid juga kondang dipanggil KH Hamid Pasuruan (lahir di Lasem, 22 November 1914 M/4 Muharram 1333 H) merupakan seorang ulama, pendakwah, dan pengasuh pondok pesantren yang banyak mengabdikan diri dalam pengembangan agama Islam di Kota Pasuruan, Jawa Timur.[1]
Riwayat Hidup
[sunting | sunting sumber]Masa kecil dan remaja
[sunting | sunting sumber]Meski Pasuruan dinisbatkan dalam namanya, KH Abdul Hamid sebenarnya dilahirkan di Dukuh Sumurkepel, Desa Sumber Gerang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah pada 22 November 1914 M atau bertepatan dengan tanggal 4 Muharram H dengan nama lahir Abdul Mu'thi. Kedua orang tuanya juga merupakan keluarga ulama/pendakwah yang disegani masyarakat, ayahnya adalah KH. Abdullah bin KH. Umar sedangkan ibunya adalah Nyai Raihanah binti KH. Shiddiq.[2]
Semasa kecil ia dikenal sebagai anak nakal yang sering kali membuat jengkel orang-orang Tionghoa di lingkungannya. Kala itu hubungan masyarakat Tionghoa dengan pribumi memang sering kali tak akur, terlebih waktu itu orang Tionghoa sering mendapat perlakuan khusus dan pembelaan dari pemerintah Hindia Belanda.[2]
Akibat kenakalannya, ia sering kali dicari oleh aparat Hindia Belanda. Rumah Kasdan, seorang sopir yang tinggal di daerah Kauman sering menjadi tempat sembunyinya, Abdul Mu'thi muda juga sering menyamar menjadi perempuan untuk mengelabui aparat yang mencarinya.[2] Semasa kecil ia juga sangat jarang berdiam di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang setiap hari, hingga membuat orang tuanya khawatir keselamatan dan kewajiban belajar mengajinya yang sering terbengkalai meski tak sepenuhnya ditinggalkan.[3] Semasa kecil ia juga dikenal dengan panggilan bedudul, pelesetan dari nama panggilannya "Dul" sekaligus menunjukkan betapa nakalnya ia saat itu.
Pada usia 12 tahun, Abdul Mu'thi muda dikirimkan ayahnya ke Pondok Pesantren Kasingan, Rembang yang saat itu diasuh oleh Kiai Kholil bin Harun (mertua KH. Bisri Mustofa) dengan maksud belajar sekaligus mengurangi kenakalannya. Di tempat ini, ia hanya belajar sekitar satu setengah tahun dan kemudian pindah ke Pondok Pesantren Tremas di Pacitan yang saat itu diasuh oleh KH. Dimyathi,[3][4] Tremas juga dikenal sebagai salah satu pesantren yang berkualitas dan maju baik dalam segi ilmu yang diajarkan maupun administrasi pengelolaannya saat itu.
Pada usia 15 tahun (sekitar tahun 1930), Abdul Mu'thi muda diajak kakeknya, KH. Shiddiq menunaikan ibadah haji. Dalam proses berhaji ini, Abdul Mu'thi muda mendapat pengalaman spiritual berjumpa dengan Rasulullah, mendengar tanda-tanda keistimewaan ini, kakeknya kemudian menjodohkannya dengan cucunya yang lain (sepupu Abdul Mu'thi muda dari paman jalur ibunya, KH. Ahmad Qusyairi). Meski demikian ia tak langsung dinikahkan, ia harus kembali menuntut ilmu dahulu ke Tremas, sepulang berhaji Abdul Mu'thi kemudian mengganti namanya menjadi Abdul Hamid.[2]
Di Tremas inilah, Abdul Hamid muda mendapat gemblengan ilmu agama yang mumpuni. Setelah lima tahun menimba ilmu di pesantren ini, ia kemudian dipercaya menjadi lurah pondok, dan empat tahun kemudian ia telah dipercaya untuk mengisi pengajian di masjid. Selain belajar, ia juga sering berkhalwat atau menyendiri di sebuah bukit di dekat pesantren, ia juga jarang keluar kamar hingga dijuluki "plenthu".[4] Total ia menghabiskan 12 tahun dalam menuntut ilmu di Tremas, semasa di Tremas ini ia juga bersahabat dengan KH. Ali Maksum yang menjadi Rais Aam Syuriyah PB Nahdlatul Ulama periode 1980 - 1984 dan Mukti Ali yang kemudian menjadi Menteri Agama di masa pemerintahan Orde Baru (1971-1978).[4][5]
KH Abdul Hamid Menikah
[sunting | sunting sumber]Setelah 12 tahun menuntut ilmu di Pesantren Tremas Pacitan, ia kemudian dipinang oleh paman dari jalur ibunya yakni KH. Ahmad Qusyairi untuk dijodohkan dengan putrinya yang bernama Nafisah sebagaimana pesan ayahanda setelah peristiwa berhaji yang lalu. Beliau kemudian menikah pada usia 22 tahun, tanggal 12 September 1940 M / 9 Sya'ban 1359 H, di Masjid Jami' (sekarang Masjid Agung Al-Anwar) Pasuruan, data didapat dari manuskrip undangan pernikahan yang masih ada.[2]
Acara pernikahan yang telah dijadwalkan waktu itu ternyata harus terlambat karena rombongan pengantin pria yang baru tiba sore hari. Semua undangan yang telah siap berkumpul di Masjid Jami' saat itu urung menyaksikan prosesi pernikahan dan hanya mengikuti acara syukuran saja, akad nikah baru diselenggarakan sore hari ketika rombongan datang dan hanya disaksikan beberapa kerabat saja karena tamu undangan telah pulang.[3] Hal ini karena KH Ma'shum yang saat itu dipercaya menjadi ketua rombongan mengajak rombongan untuk berziarah ke beberapa makam para wali terlebih dahulu.
Seusai menikah, keluarga Haji Abdul Hamid ikut tinggal bersama mertuanya, KH. Ahmad Qusyairi di Kebonsari, kompleks Pesantren Salafiyah Pasuruan. Lima tahun kemudian atau sekitar tahun kemerdekaan 1945, KH. Ahmad Qusyairi pindah ke Jember sehingga keluarga Haji Abdul Hamid harus mulai mandiri, mereka sempat mengalami hidup dalam keprihatinan, untuk menghidupi keluarga, ia kemudian berdagang sepeda, ia juga sempat berdagang kelapa dan kedelai, menyewa sawah, hingga berdagang suku cadang dokar.[3]
Mengasuh pesantren dan berdakwah
[sunting | sunting sumber]Meski tinggal di lingkungan Pesantren Salafiyah, KH Abdul Hamid belum ikut terlibat pada aktivitas pengajaran. Beliau masih ikut menimba ilmu melalui pengajian rohah atau membaca kitab secara bergantian yang diadakan Habib Ja'far bin Syaikhan, ulama kenamaan Pasurauan di rumahnya setiap ashar hingga selesai isya. Tahun 1951 KH. Abdullah bin Yasin yang menjadi pengasuh Pesantren Salafiyah Pasuruan wafat, putranya yang bernama Kiai Aqib diangkat menjadi pengganti, namun karena masih sangat muda dan masih harus menimba ilmu di Pesantren Al-Hidayah Lasem, Haji Abdul Hamid kemudian didaulat untuk menjalankan kepemimpinan Pesantren Salafiyah.[2]
Haji Abdul Hamid mulai menjalankan pesantren yang telah ditinggal banyak santrinya karena tak tahan dengan kepemimpinan KH. Abdullah bin Yasin yang sangat keras. Lambat laun santri mulai berdatangan, tahun 1962 jumlah meningkat sekitar 80 orang. Pembangunanpun dilakukan untuk menampung santri yang mulai bertambah.
Selain mengajar di pesantren, ia juga kerap diminta warga untuk mengisi pengajian di kampung-kampung seperti di Rejoso hingga Ranggeh. Ia juga mengadakan pengajian di pelataran rumah pribadinya yang diisi oleh sekitar 10-15 orang.[2] Kariernya sebagai pendakwah mulai bersinar di kalangan masyarakat Pasuruan dan sekitarnya, ia tak lagi dipanggil "Haji" namun "Kiai" oleh banyak orang, rumahnya kerap didatangi orang-orang yang meminta nasihat dan konsultasi soal kehidupan religius, terlebih setelah Habib Ja'far bin Syaikhan wafat pada tahun 1954.[3]
Wafat
[sunting | sunting sumber]Kamis, 23 Desember 1982 KH. Abdul Hamid dilarikan ke RSI Surabaya setelah mendadak jatuh. Hasil pemeriksaan menunjukkan adanya pembekakan jantung, kondisi ginjal dan liver yang juga parah yang seharusnya sudah diketahui dan diobati sejak lama, namun karena tak ingin merepotkan orang lain KH. Abdul Hamid tak pernah membicarakan kondisi kesehatannya pada siapapun termasuk kepada keluarganya.[4][5]
Ia kemudian meninggal dalam usia 70 tahun menurut perhitungan kalender Hijriah pada 9 Rabiul Awwal 1403 H atau 25 Desember 1982.[2] Ia dimakamkan di kompleks pemakaman wali dan ulama Pasuruan di seberang alun-alun tepatnya di belakang Masjid Agung Al-Anwar Kota Pasuruan bersama puluhan ulama lainnya termasuk gurunya, Habib Ja'far bin Syaikhan Assegaf, kompleks pemakaman ini masih ramai menjadi tujuan wisata religi.[6]
Setiap tahun, agenda haul atau peringatan hari kewafatan KH. Abdul Hamid di Pasuruan selalu menjadi acara besar yang dihadiri ribuan jamaah dari berbagai penjuru. Tak jarang acara haul ini juga dihadiri tokoh-tokoh besar dari organisasi Nahdlatul 'Ulama, tokoh-tokoh politik nasional hingga kepala-kepala daerah di Jawa Timur.[7]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "Mengenal KH Abdul Hamid, Ulama yang Lemah-Lembut". Republika Online. 2019-05-18. Diakses tanggal 2020-04-10.
- ^ a b c d e f g h "KH. Abdul Hamid bin Abdullah bin Umar, Sufi TanpaThoriqoh - MajalahLangitan.Com". majalahlangitan.com. Diakses tanggal 2020-04-10.
- ^ a b c d e DIA, Yayasan (2016-09-11). "Riwayat Hidup KH Abdul Hamid Pasuruan". Riwayat Hidup KH Abdul Hamid Pasuruan (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-10.
- ^ a b c d Rozi. "Biografi KH Abdul Hamid, Pasuruan | Nahdlatululama.id: Syiar Digital NU" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-10.
- ^ a b Muhammad, Afif (2018-11-08). "KH. Abdul Hamid". Aswaja Muda (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-10.
- ^ Madia, Fitria; Madia, Fitria. "Berziarah Makam KH Abdul Hamid, Ulama Besar Kota Pasuruan". IDN Times. Diakses tanggal 2020-04-10.
- ^ "Jelang Haul KH. Abdul Hamid Ke-42, Rakor Persiapan Pengamanan Digelar". Pasuruankota.go.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-01-29.