Play Date by Reinsabiila
Play Date by Reinsabiila
Play Date by Reinsabiila
"Enggak pernah sekalipun aku berpikiran kita akan berakhir seperti ini,
Tsa."
Suara lirih yang terdengar sarat luka namun juga disertai kemarahan,
berhasil membuat Tsamara Btari menghentikan ayunan langkahnya.
Dengan seulas senyum tipis yang ia usahakan mengukir di bibirnya, ia
membalikkan tubuh untuk menghadap satu-satunya lelaki yang bertahta
di dalam hatinya.
"Aku pun enggak pernah berpikiran kita berakhir seperti ini. Tapi
kenyataannya, inilah yang terjadi pada kita." Tsamara membalas lirih.
Sedatar mungkin. Mencoba untuk membuat dirinya terlihat baik-baik
saja meski hidupnya telah hancur hari ini.
Ghaly Badrayudha mengepalkan kedua tangannya dengan rahang
mengeras. Amarah menggelegak sampai ke ubun-ubun kepalanya.
Rasanya ia ingin menghantamkan kepalan tangannya ke apapun juga.
Demi meluapkan rasa marah yang tidak tertahankan. Dia benci melihat
perempuan yang selama ini berbagi cinta dengannya tampak baik-baik
saja ketika mereka memutuskan berpisah. "Seandainya kamu enggak
tidur dengan si berengsek itu—"
"Maaf," Tsamara memotong cepat. Masih dengan ulasan senyum di
bibirnya. Kelopak matanya berkedip berulang kali mencoba
menghilangkan buram yang mulai merambah tanpa permisi.
Sekali lagi, balasan datar dari Tsamara berhasil membuat Ghaly hampir
kehilangan kontrol diri.
"Aku pergi, Ghaly. Kuharap kamu akan selalu baik-baik saja."
"Pergilah. Jangan pernah menampakkan dirimu lagi di hadapanku. Dan
aku membencimu. Sangat membencimu." Ghaly menggeram dalam. Dia
paling tidak suka dengan sebuah pengkhianatan dan Tsamara
melakukan itu.
"Aku senang mendengarnya. Lebih baik memang kamu membenciku.
Aku janji, aku enggak akan menampakkan diri di depanmu." Kali ini
Tsamara mengulas senyuman lebih lebar. Terlihat teramat manis, meski
lidahnya terasa getir.
Tanpa menunggu balasan dari mantan suaminya, Tsamara segera
berbalik dan kembali melanjutkan langkah. Menuju sebuah mobil yang
sudah menunggunya sedari tadi.
Tsamara merasa ingin sekali berlari agar Ghaly tak perlu melihat
kelemahan dirinya. Dia sudah bersusah payah membangun diri menjadi
setegar saat ini. Dia tidak boleh menangis. Tidak boleh tampak rapuh.
Hari ini adalah hari paling buruk yang Tsamara alami selama hidupnya.
Ketika palu diketuk di sidang perceraiannya, dia resmi berpisah dengan
Ghaly. Lelaki yang hampir satu tahun bersama dengannya, menaiki
sebuah perahu yang sama. Berusaha membangun rumah tangga penuh
cinta dan kasih sayang.
Namun, badai tetaplah datang menerpa, dan Tsamara memilih mundur.
Tsamara membuka pintu mobilnya dengan seorang lelaki berada di
belakang kemudi. Sebelum ia sempat mengucapkan satu kata singkat
untuk meminta sang pengemudi melajukan mobil dan meninggalkan
pelataran kantor pengadilan agama, Tsamara merasa ada yang naik dari
perutnya. Secepat yang ia bisa, ia merampas kantong plastik yang lelaki
di sampingnya ulurkan. Dan ia memuntahkan apapun yang ia bisa
keluarkan ke kantong plastik itu. Namun, tidak ada apa pun yang keluar.
Tsamara menangis sejadinya, meminta lelaki di sampingnya untuk
segera melajukan mobil.
Saat mobil sudah mulai melaju, dengan bola mata buram Tsamara
melirik kaca spion, dan tangisnya semakin menderas mendapati Ghaly
masih berdiri di sana. Menatap kepergiannya dari kejauhan.
Dengan satu tangan bebas, ia membungkam bibirnya yang tanpa malu
mengeluarkan tangisan tergugu. Ghaly, lelaki itu tidak mengetahui jika
dirinya sedang mengandung—buah hati mereka.
Bab 1
"Tapi, Pak. Saya sudah nyaman di sini. Dan saya sudah cukup puas
dengan yang saya miliki sekarang ini. Tidak pernah berpikir untuk
mengejar jabatan yang tinggi."
"Saya tahu, tapi enggak ada pegawai lain yang lebih tepat selain kamu.
Kantor utama meminta satu perwakilan dari sini. Dan ini kesempatan
baik, Tsamara. Kalau kamu menempati jabatan yang lebih baik,
penghasilan kamu akan lebih baik juga. Kamu bisa bernapas lega kalau
memiliki tabungan yang cukup untuk masa depan anakmu."
***
Sore hari, Tsamara tiba di rumahnya. Dia turun dari motor matic—
kendaraannya sehari-hari dan segera berjalan melewati pelataran
rumah. Dia tinggal bersama dengan kedua orang tuanya di kampung
halaman. Yogyakarta. Menjadi sosok perempuan yang berkali lipat lebih
kuat sebagai tulang punggung keluarga.
"Mama!"
Tsamara ikut terkekeh mengiringi tawa Alta yang ceria. Setelah puas,
barulah Tsamara menegakkan tubuh dan mengangkat tubuh mungil
putranya ke dalam gendongannya.
"Mama bawa susu kotak. Alta mau, enggak?" tawar Tsamara seraya
melirik wajah Alta yang menatap dirinya. Bola mata berbinar bocah itu
seolah menjawab pertanyaannya. Bola mata yang sama persis dengan
matanya. Dan senyuman lebar yang mengulas di bibir mungil berwarna
merah merona itu, selalu mampu mengingatkan Tsamara pada satu laki-
laki yang darahnya mengalir di tubuh Alta, Ghaly Badrayudha—mantan
suaminya. Ayah kandung Alta, yang Tsamara yakini, lelaki itu tidak
pernah mengetahui akan keberadaan putranya.
Itu yang lebih baik. Ghaly tidak perlu tahu bahwa dari pernikahannya
dulu, mereka memiliki satu buah hati.
"Satu lagi diminum sebelum tidur, Mama." Alta tampak antusias saat
Tsamara membuka resleting tas selempang, dan mengeluarkan dua
kotak susu rasa vanilla. "Terima kasih, Mama." Dia tersenyum begitu
senang, mendekap susu kotaknya dan mencium pipi Tsamara.
***
Ghaly Badrayudha melepas ikatan dasinya dan mengayun langkah
tegasnya menuju meja makan keluarga. Di mana di sana sudah
ditempati oleh kedua orang tuanya.
"Ngajak kamu makan malam bersama itu udah kayak janjian sama
sultan yang susahnya minta ampun."
Lelaki itu hanya mampu menghela nafas pelan. Kali ini pun sebenarnya
ia masih tidak tertarik untuk makan malam bersama dengan kedua
orang tuanya. Terutama sang ibu. Belakangan ibunya gencar sekali
membuat ia muak karena menyodorkan berlembar-lembar foto
perempuan, untuk dipilih jadi calon istrinya.
Dan lebih membenci dirinya sendiri karena tidak bisa membuang nama
perempuan itu dari bayang-bayangnya.
***
Bab 2
"Mbak capek, ya? Sini, biar Alta aku yang gendong," Fanny membuka
suara. Adiknya yang baru saja lulus kuliah, akhirnya turut serta ikut ke
Jakarta. Sementara mencari pekerjaan, Fanny akan menjaga Alta.
"Kita lanjut jalan lagi, kamu bawa kopernya saja," Tsamara membalas,
melirik dua genggaman tangan Fanny yang masing-masing memegang
koper dengan ukuran cukup besar. "Leo mungkin sudah menunggu di
depan."
"Mas Leo di mana, Mbak? Aku enggak lihat, deh." Fanny mengedarkan
pandangan di sekitar pintu kedatangan.
"Tsamara! Di sini."
Tidak menunggu lama, kedua kakak beradik yang gurat wajahnya begitu
berbeda berjalan mantap ke arah Leo, yang sore ini berperan
menjemput mereka.
"Lebai, deh, Le. Tahun lalu aja kita ketemu di Yogya." Tsamara
menggeleng melihat pemandangan di depannya, dengan tingkah Leo
yang terlalu berlebihan.
Dia dan Leo bersahabat sedari SMA, dan ia sudah menganggap Leo
seperti saudaranya sendiri. Karena ada Leo pula lah, dulu Tsamara
berani merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib.
"Loh, udah hampir setahun, Tsa. Tetep kangen, lah." Leo nyengir,
melepas pelukannya di tubuh Fanny dan menyentil ujung hidung gadis
itu sebelum menjauh. "Jadi, mau pelukan sama aku, enggak?" Dia
kembali menawarkan diri pada Tsamara, yang kali ini dibalas dengan
hela nafas pelan dari perempuan itu dan langkah yang mendekati
dirinya.
Leo menyambut tubuh Tsamara yang masih menggendong Alta dengan
bahagia untuk ia peluk. "Aku senang banget kamu kembali ke sini,"
bisiknya lirih, tulus dari dalam hatinya. Semenjak sang sahabat
memutuskan untuk pergi dari Jakarta beberapa tahun lalu, meski hanya
sebagai candaan, ia tak pernah melontarkan ajakan agar Tsamara
berkunjung kembali ke Jakarta. Karena ia tahu persis, Jakarta bukan lagi
tempat yang indah untuk perempuan itu.
Leo kemudian mengambil alih ransel Tsamara yang sejak tadi tersampir
di bahu kanan dan satu koper besar milik Tsamara dari genggaman
Fanny.
Perempuan itu mengulas senyuman tipis. Dia benci melihat gedung itu,
namun kenapa netranya tak juga beralih.
Ghaly bertahan dalam duduknya di dalam mobil, menghentikan laju
mobilnya tepat di depan gerbang rumah yang membuka lebar. Lelaki itu
tidak berniat memasuki rumah bergaya modern namun tampak
minimalis itu. Meski, ketika sudah memasuki rumah itu, kemegahan
yang terlihat untuk pertama kali.
Ada satu waktu dalam beberapa minggu Ghaly akan mendatangi rumah
itu, sekadar menginjakkan kaki untuk beberapa menit saja, seolah waktu
yang sebentar itu lebih dari cukup untuk mengobati kerinduannya.
Kerinduan?
Dia mengambil duduk di tepian gazebo dan mengambil pakan ikan yang
tersimpan di sana, lalu menaburkan segenggam ke atas kolam membuat
ikan-ikan di kolam segera berkerumun. Senyum Ghaly mengembang
sekilas. Sebelum dengan cepat menghilang karena terbabat kenangan
masa lalu.
"Harusnya aku menjual rumah ini, Tsa. Tidak lagi peduli dengan semua
kenangan bodoh itu."
Dia menggumam sendiri. Ada puluhan kali keinginan Ghaly menjual
rumah yang menyimpan banyak kenangan dan kebencian itu, namun,
puluhan kali juga keinginan itu pupus.
***
Bab 3
Pagi pertama di Jakarta, Tsamara bangun lebih dulu dari siapapun. Dia
melirik ke sisi kirinya dimana sang putra masih bergelung nyaman di
balik selimut. Hari kemarin setelah tiba di apartemen yang ia sewa atas
rekomendasi dan bantuan Leo, yang Tsamara lakukan adalah
menyiapkan tempat tidur untuk dirinya sendiri dan sedikit membereskan
barang-barang bawaannya.
Dan ini hari Minggu, dia bisa sedikit bersantai barang sejenak, sekadar
untuk melepas lelah setelah perjalanan dari Yogyakarta. Sebelum Senin
besok, dia sudah mulai berangkat kerja di kantor barunya. Rasanya baru
kemarin dia mendapat surat penugasan dari kantornya.
Di sinilah ia, di apartemen yang ia sewa dan berada tepat satu lantai di
bawah apartemen Leo.
Turun dari ranjang dengan gerak pelan agar sang putra tak perlu terusik,
Tsamara segera pergi ke kamar mandi, melakukan aktivitas paginya
sebelum akhirnya pergi ke dapur dan menyiapkan sarapan.
"Sepagi ini kamu udah masak semua ini, Tsa." Leo tampak terkesima
dengan sajian di depannya. Cacing-cacing di perutnya seolah sedang
bergembira menyambut kehadiran makanan-makanan itu.
"Dia hanya butuh sedikit waktu untuk menyesuaikan diri di tempat baru,"
kata Leo seraya menuang air bening ke gelas dan meneguknya pelan.
Lalu, kalau ia masih memiliki ketakutan sebesar ini, kenapa begitu nekat
menyetujui mutasi pekerjaannya? Dia bisa menolak, dan harusnya ia
cukup bersyukur dengan apa yang telah ia miliki.
"Sepagi ini?" Alis Tsamara naik sebelah. Ini hari Minggu dan masih pukul
6 pagi.
"Sebelum klienku dipatok ayam, ya, aku harus berangkat sepagi ini."
Leo menyampirkan tali tas selempangnya di bahu kiri. "Titip salam untuk
Fanny. Dan sampaikan maafku pada Alta karena tidak bisa
menemaninya hari ini." Dia mengedikkan bahu. "Siapa tahu Alta akan
merindukan Om-nya yang tampan."
"Mbak kenapa?"
Tsamara sedikit berjengit kaget, dan segera menoleh ke arah sang adik.
"Mbak abis ngapain, kok, nyampe kaget begitu?" tanya Fanny lagi.
Kemarin Alta rewel menolak makan. Hanya minum susu dan makan
camilan. Itu pun tak seberapa. Tidak berapa lama senyum Tsamara
mengembang saat kelopak mata sang putra membuka perlahan.
"Alta mau sosis gurita," lirih Alta dengan suara sedikit serak.
***
"Mama, Alta mau es krim." Alta menarik-narik baju Tsamara dengan
cukup kuat.
Tsamara yang sedari tadi sedang asyik memilih pakaian baru untuk
setelan kerjanya menoleh ke arah sang putra.
Perempuan itu menghela napas dan segera mengambil tubuh kecil Alta
untuk ia gendong. "Bantuin Mama dulu, pilih warna putih atau abu-abu,"
katanya sembari menunjukkan dua blus yang sejak tadi jadi
pertimbangannya.
"Dua-duanya ambil aja, Mbak. Alta udah rewel liat ada anak pegang es
krim tadi." Fanny bersuara saat berada didekat Tsamara.
Tsamara membawa baju-baju kerjanya dari Yogya memang, tapi tak ada
yang baru. Dan ia merasa paling tidak di hari pertama masuk dia akan
memberi kesan rapi pada penampilannya. Setelah menilik banderol
harga dan memperhitungkan uang di dompetnya, dia akhirnya
mengangguk dan membawa dua potong baju itu ke kasir.
"Es krimnya satu saja, ya." Tsamara memberi penawaran, sebelum Alta
meminta. Dengan bibir cemberut, Alta mengangguk.
Tsamara salah besar telah mengira jika Jakarta begitu luas, hingga
menutup kemungkinan untuk pertemuannya dengan orang-orang di
masa lalu.
***
Bab 4
"Kenapa kamu enggak bilang?" Tsamara tampak amat murka karena
satu fakta yang baru ia ketahui.
Baru saja dia mengatakan pada Leo jika sore tadi saat jalan-jalan ke mal
ia tak sengaja melihat mantan ibu mertuanya. Namun balasan yang ia
terima dari sang sahabat justru membuat ia amat tercengang. Bahwa
perusahaan asuransi tempat ia bekerja sudah diambil alih oleh Ghaly
Badrayudha.
"Bukannya kamu udah tahu?" Sekali lagi Leo membalas ringan. Kali ini
ia menyambangi apartemen Tsamara untuk makan malam bersama atas
undangan perempuan itu. Dan tentu saja ia tidak memiliki alasan
menolak. Justru amat bersyukur karena ia baru saja selesai
membersihkan diri sehabis pulang kerja.
Setelah mengusap puncak kepala Alta dan memuji sang putra yang
pintar, Tsamara kembali bertatap muka dengan Leo, memberi tatapan
tajamnya. "Kenapa enggak bilang, sengaja biar aku terjebak dengan
lelaki itu."
"Kupikir kamu sudah tahu tentang itu. Lagipula enggak mungkin banget
kamu enggak dapat kabar tentang itu di kantor lamamu." Leo berdecap.
Melirik sinis pada Tsamara yang tak juga meredupkan tatapan, seolah
mengajak perang dengannya.
Karena Tsamara khawatir, hatinya yang tidak tahu diri justru akan
berdebar senang hanya melihat lelaki itu. Dia sangat membenci dirinya
sendiri yang bertahun-tahun ini tak pernah berhasil menghapus jejak-
jejak Ghaly dari hatinya.
"Memang."
Leo berdecih. "Lalu tadi apa? Kamu khawatir banget kalau ketemu
Ghaly. Apa yang kamu takutkan sebenarnya, Tsa?"
Tsamara terdiam. Bola mata yang sedari tadi berpendar tajam kini
meredup perlahan.
"Kamu takut kalau kalian bertemu, Ghaly akan tahu tentang Alta." Leo
melirihkan ucapannya, melirik Alta yang antusias menghabiskan susu di
gelasnya. Bocah tampan itu sudah menghabiskan makan malamnya
sendiri tanpa disuapi Tsamara.
Kemudian tatapan Leo beralih ke arah Fanny dan berbicara tanpa suara
pada gadis itu untuk membawa Alta ke ruang tv. Dia merasa obrolannya
dengan Tsamara tidak akan bisa ia bawa santai lagi.
Setelah Fanny dan Alta berlalu dari meja makan, Leo menghela napas
pelan dengan tatapan terarah pada Tsamara. "Aku memang masih
membenci Ghaly, tapi kupikir dia berhak tahu kalau dia memiliki Alta.
Dan Alta pun berhak tahu siapa papanya."
"Enggak."
"Tsa."
"Karena aku enggak punya suami, aku enggak tahu rasanya." Leo
membalas ucapan Tsamara dengan sedikit kelakar.
***
"Leo pembohong.”
"Ini enggak baik, Tsa. Kamu harus mengosongkan pikiranmu dari lelaki
itu."
"Duluan aja, Nis. Aku mau beresin meja dulu." Tsamara tersenyum
ramah, menolak ajakan Nisa. Rekan kantor yang menyambutnya amat
baik dan bersahabat.
Ada satu sosok yang sudah begitu lama tidak pernah ia lihat, sore ini
tertangkap netranya, tampak sedang mengutak-atik ponsel. Degup
jantung Tsamara naik beberapa ketukan. Refleks, Tsamara
memundurkan tubuh hingga menyentuh pembatas lift. Dia menunduk
dalam dan menelan ludah kasar. Jemarinya saling terkait karena tanpa
bisa ia cegah, bergetar menyebalkan.
"Sore."
Bibirnya terus membisiki mantra, semoga kali ini takdir memihak dirinya,
Ghaly tidak perlu menoleh ke belakang dan menemukan dirinya.
Udara di sekitar Tsamara terasa begitu sesak. Dari banyak skenario baik
yang terancang di benaknya, nampaknya tak ada satu pun yang sesuai
dengan bayang-bayang keinginannya. Kali ini ia sungguh bertaruh,
kalaupun Ghaly berbalik dan mendapati dirinya, maka ia akan berperan
menjadi perempuan arogan yang menegakkan dagunya tanpa kenal
takut.
Perempuan itu baru saja akan mendesah lega saat kakinya berhasil
keluar lift, namun terenggut oleh suara berat yang menggetarkan
telinganya.
***
Bab 5
Apalah perusahaan asuransi yang amat kecil ini, tidak lebih penting
daripada perusahaan properti yang sedang membangun kota baru yang
modern.
Dan untuk sore di hari pertama bekerja saat tak sengaja satu lift dengan
Ghaly dan bahkan ditegur lelaki itu, Tsamara memainkan perannya
dengan apik. Mengatakan jika ia sedang flu, basa-basi menyapa dan
segera melenggang pergi dengan langkah seribu.
"Es jeruk, aja, Nis. Thanks, ya." Senyum Tsamara melebar. Hari ini dia
ada lembur sampai jam 9. Dia tidak menolak, tentu saja. Uang
lemburnya bisa dipakai untuk beli susu Alta. Dan selagi ada Fanny yang
belum mendapat pekerjaan, bisa menjaga Alta 24 jam.
"Aku sama Alta nyari makan ke bawah, ya, Mbak. Alta juga merengek
minta es krim. Mana tanya-tanya terus kapan Mbak pulang."
"Ya udah, boleh. Tapi, jangan keluar terlalu malam dan jangan main ke
mana-mana. Cukup di sekitar apartemen."
Jakarta masih jadi kota yang baru untuk Fanny, Tsamara tidak akan
pernah tenang melepas Fanny dan Alta sendirian tanpa ia dampingi
untuk berjalan-jalan di Jakarta, terlebih malam hari.
"Nanti aku ajak Mas Leo buat temenin kalau udah pulang."
***
Fanny menuntun Alta keluar lobi apartemen, dia mengayun langkah
mantapnya ke arah minimarket di ujung blok.
"Nanti kita beli es krim tiga buat Alta semua, ya. Sekarang kita beli sop
dulu. Oke." Fanny mengacungkan ibu jarinya ke hadapan Alta yang
disambut anggukan senang dari bocah itu.
Baru saja Fanny akan memasuki kedai sop buntut, dia tidak sengaja
menabrak seseorang. Hampir membuat ia dan Alta terjatuh, sebelum
lengannya direnggut dan mencegah tubuhnya oleng.
"Fanny? Kamu Fanny, kan?" Ghaly menebak ramah. "Aku pikir siapa,
hampir aja aku enggak mengenali kamu. Kamu udah sebesar ini."
Terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa adalah yang sedang terjadi
pada Fanny. Dia sangat tidak menyangka jika mantan kakak iparnya
mengenali dirinya, terlebih menyapanya ramah.
"Kamu lupa sama, Mas? Ini aku, Ghaly." Ghaly kembali membuka suara.
Masih dengan nadanya yang amat ramah.
"Maaf, Mas Ghaly. Alta rada rewel jadi susah dibujuk," Fanny meringis.
"Alta pilih mau es krim apa?" Ghaly membuka suara, membuka sliding
kaca freezer es krim dan menampilkan berbagai rasa es krim di
dalamnya.
"Hanya tiga?" alis Ghaly naik sebelah. "Ambil sebanyak yang kamu
mau."
"Bisa dimakan berkala, kok, Fan. Enggak harus langsung habis. Biar
Mas beliin yang banyak sekalian." Ghaly tidak menghiraukan ucapan
Fanny. Jemarinya terulur mengambil beberapa bungkus es krim di sana.
Dan senyumnya mengulas geli saat mendapati wajah Alta yang tampak
senang bahkan bibirnya membuka. Seolah apa yang sedang ia lakukan
adalah hal yang luar biasa.
Fanny hanya bisa pasrah saat sekantong besar es krim dan camilan
diserahkan Ghaly padanya. "Mas Ghaly enggak perlu repot-repot bayari
kami es krim dan camilan."
"Kalau kamu belum juga diterima bekerja, kamu bisa kapan saja datang
ke kantor Mas." Ghaly mengusap puncak kepala Alta saat mereka
berhenti serentak di depan kedai sop buntut. "Kamu tahu, kan, di mana
kantor Mas?"
"Kamu tahu, Mas akan lebih suka kalau kamu menganggap Mas seperti
kakakmu," Ghaly berujar lirih.
Dia adalah putra tunggal, hanya memiliki saudara sepupu dan itu pun
tak ada yang akur. Karena di dalam keluarga besarnya, yang mereka
lakukan adalah bersaing dan bersaing untuk memperebutkan kekuasaan
tertinggi di perusahaan.
***
Bab 6
"Tunggu—"
"Kalau kamu mau kasih snack buat Fanny, kasihlah di belakang Alta,
jangan sampai terlihat dia." Tsamara kembali melanjutkan cercaannya.
"Terima kasih, Bu." Leo menggumam lirih, menahan senyum gelinya dan
mulai mengambil nasi. Padahal sejak tadi, bahkan sebelum diizinkan,
dia sudah memakan remahan fried chicken yang Tsamara sajikan di
atas piring.
"Aku minta maaf, Mas Leo." Fanny menarik jemarinya dari lengan Leo
dengan canggung setelah memastikan Tsamara sudah tak lagi terlihat.
Leo menyuap makanannya dengan santai. "Jadi, kamu beli es krim dan
snack banyak-banyak lalu jadiin aku kambing hitam?" Lelaki itu sedikit
melirik ke arah gadis muda yang bertahan menunduk, dia yakin, wajah
Fanny pasti memerah malu karena perkataannya benar.
"Bukan kamu?" Leo memastikan. "Lalu kamu dibelikan snack oleh orang
lain?" Bola mata Leo membulat. "Astaga Fanny, itu berbahaya, kamu
enggak bisa terima makanan begitu saja dari orang enggak dikenal."
Dan dia ramai sendiri, mulai mengutarakan kekhawatirannya. "Apalagi
kamu bawa Alta. Di sini masih marak penculikan anak. Enggak ada yang
tidak tertarik dengan visual Alta yang tampan dan bikin gemas."
"Apa?"
Kalau sadar, Ghaly pasti tidak akan tinggal diam. Minimal akan kembali
mengikat Tsamara. Mengingat dua orang itu memiliki cinta yang malang.
Terlebih dari kabar burung yang ia dengar, Ghaly tidak pernah menjalin
asmara dengan perempuan manapun bertahun-tahun ini.
"Aku bilang sama Mas Ghaly kalau Alta sepupu aku." Fanny meringis
mengingat pertemuannya dengan Ghaly kemarin. "Dia enggak curiga
apa pun, itu cukup melegakan. Dan aku mohon, jangan bilang Mbak
Tsa, ya, Mas." Kali ini Fanny menatap ke arah Leo penuh permohonan.
"Mbak Tsa enggak akan suka kalau tahu Alta dan Mas Ghaly sudah
bertemu."
"Jadi karena itu, kamu bilang sama Tsa kalau aku yang beliin es krim,
buat menutupi pertemuan kalian dengan Ghaly?" Saat Fanny
mengangguk sebagai jawaban, Leo kembali melanjutkan ucapan, "Tapi,
kamu enggak bisa menyembunyikan kebohongan seperti ini, Fan."
"Aku tahu, Mas. Tapi, aku enggak punya pilihan. Mas Ghaly juga
kemarin kelihatan baik banget, enggak seperti yang Mbak Tsa katakan.
Rasanya enggak mungkin kalau Mas Ghaly tahu tentang Mbak Tsa dan
Alta, Mas Ghaly bakal rebut Alta."
Leo tahu, Ghaly memang baik. Jika bukan orang baik, Tsamara tidak
akan pernah menikahi lelaki itu di masa lalu. Tapi, Ghaly juga bodoh dan
egois. Yang akhirnya membuat hubungan keduanya hancur berantakan.
"Aku setuju buat enggak bilang tentang Ghaly pada Tsa," ucap Leo
memutus obrolan tentang Ghaly agar tidak lebih melebar lagi. Tsamara
bisa kapan saja kembali ke meja makan, dan mendengar obrolan
mereka tentang Ghaly nantinya.
"Mas Leo, tapi aku penasaran satu hal, apa masih ada kemungkinan
Mas Ghaly dan Mbak Tsa kembali bersama? Mengingat Mbak Tsa
selama ini selalu menolak lamaran yang datang." Fanny mengira,
Tsamara masih mencintai Ghaly karena kenyataan yang ia lihat.
"Ada begitu banyak kemungkinan di dunia ini. Mungkin hal itu bisa
menjadi salah satunya." Leo menjawab lirih.
***
Ghaly sedang duduk bersandar di kursi kerjanya dengan kaki menyilang
ketika pintu ruang kerjanya diketuk. Dia kemudian meletakkan tablet
yang sedari tadi berada di dalam genggaman, sembari berseru meminta
seseorang yang mengetuk pintu kantornya untuk masuk.
"Kamu menemukan apa yang saya minta?" tanya Ghaly ketika menatap
Andre–asisten pribadinya memasuki ruangan.
"Jadi, kamu benar ada di sini?" Ghaly menggumam dengan jemari yang
sibuk membuka lembaran data diri Tsamara.
Tadi siang, dia meminta Andre untuk mencari nama Tsamara, iseng saja,
berbekal pertemuannya dengan Fanny kemarin, dan juga sekelebat
perempuan yang pernah ia lihat beberapa minggu lalu di dalam lift, yang
di matanya begitu mirip dengan Tsamara.
Namun kini, ia justru merasa tidak memahami dirinya sendiri, sudah lima
tahun berlalu dan ia masih begitu hafal bagaimana postur tubuh
Tsamara, rambutnya yang tergerai, dan wajahnya, meski saat
pertemuan mereka saat itu, Tsamara mengenakan masker.
Kesal, Ghaly melempar map data diri Tsamara ke atas meja, diiringi
dengan umpatan keras.
Dia membenci Tsamara, namun di satu sisi juga tak ingin menyakiti
perempuan itu.
"Andre, kamu belum pulang?" Lelaki itu bersuara saat melewati meja
Andre dan mendapati Andre bertahan di meja kerjanya, padahal jam
pulang sudah lewat dari beberapa menit lalu.
"Bapak sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi?" tanya Andre bangkit
dari duduknya dengan sedikit terkejut karena dihampiri atasannya
secara tiba-tiba.
Ah, Ghaly ingat, dia yang menahan kepulangan sang asisten karena
menginginkan data tentang Tsamara harus diserahkan sore ini juga
padanya.
"Tidak. Kamu bisa pulang sekarang." Ghaly berlalu begitu saja. Dia pun
akan pulang, untuk memikirkan tindakan apa yang tepat menghadapi
Tsamara nantinya.
"Jika Anda tidak ingin masuk, sebaiknya jangan biarkan orang lain
menunggu keputusan Anda." Andre yang sedari tadi menahan pintu lift
agar tetap membuka, menarik tangannya. Namun bersamaan dengan
itu, perempuan di depannya justru maju selangkah.
Tsamara mengutuk bodoh dirinya sendiri berulang kali di dalam hati. Dia
harusnya memang tidak berada di lift yang sama dengan Ghaly.
Melewati tangga darurat justru lebih menyenangkan daripada terjebak
hanya berdua bersama lelaki itu.
"Bapak sengaja, bukan? Menyuruh dia pergi agar hanya ada saya di
sini." Tsamara memicingkan mata ke arah Ghaly dengan raut wajah
tampak berani.
***
Bab 7
Tsamara Btari hanya mampu menelan ludah pelan ketika sadar dirinya
ditatap sedemikian intens namun begitu dingin oleh Ghaly Badrayudha.
Untuk beberapa detik ia bahkan merasakan keberaniannya yang sempat
memuncak terjun bebas tak bersisa.
Kenapa dia harus lemah pada tatapan Ghaly yang sedingin itu?
"Aku tidak menyangka akan ada pertemuan seperti ini di dunia yang
begitu luasnya." Ghaly membuang tatapan ke arah pintu lift, dan dari
sana dia bisa menemukan bayang-bayang dirinya dan Tsamara yang
berdiri bersisian. "Padahal kupikir, aku tidak akan pernah bertemu
denganmu lagi. Karena aku memang tidak mengharapkan pertemuan
itu."
Ada begitu banyak hal yang bisa Ghaly ketahui, termasuk fakta sesepele
tentangnya yang bekerja di perusahaan milik lelaki itu. Tsamara tidak
terkejut sama sekali untuk itu. Yang membuat ia terkejut adalah fakta
bahwa Ghaly amat berubah. Seperti perkiraannya, Ghaly yang berdiri di
depannya adalah Ghaly yang berbeda dengan lelaki yang pernah
mengarungi bahtera rumah tangga dengannya.
"Tentu saja itu tidak penting. Di mana pun saya bekerja, itu bukan
masalah bagi saya." Tsamara turut serta membalas tatapan Ghaly
begitu tajam. Kedua tangannya kini terkepal sangat erat di sisi tubuh.
Dengan rahang yang juga bertahan mengeras. "Bisa Bapak menyingkir,
saya harus keluar."
Mendengar sederet kalimat itu, Ghaly yang memang sedari tadi sudah
diliputi amarah kini terasa semakin membara. Membuat dia dengan
berani mencengkeram bahu kanan Tsamara dan menghentaknya agar
menempel ke dinding lift. "Kamu sudah berjanji untuk tidak
menampakkan dirimu di depanku," katanya dengan geraman dalam.
Tsamara sedikit meringis karena cengkeraman Ghaly yang terasa
menyakitkan. "Lepaskan saya." Dia berusaha meloloskan diri, namun
usahanya harus terhenti saat Ghaly justru menekan bahunya yang
sebelah kiri.
Setetes bulir air mata lolos dari sudut Tsamara. Dia dan Ghaly tak
pernah memiliki kesempatan untuk membicarakan luka hati masing-
masing setelah mereka sepakat untuk berpisah. Tsamara membuka
bibirnya, ingin menyuarakan satu kalimat maaf teramat tulus. Karena
sama seperti dirinya, Ghaly pastilah merasakan sakit hati.
Namun, sebelum satu kalimat maaf itu terlontar. Ucapan Ghaly membuat
Tsamara tidak berkutik.
"Kali ini, aku enggak akan biarin kamu begitu saja, Tsa." Ghaly
menjauhkan diri dan memberi jarak. "Pergilah, jika kamu tidak ingin
melihat seberapa besar kebencianku padamu. Kamu bebas sore ini."
***
Tidak seperti hari-hari biasanya di mana ia memilih angkutan umum atau
pesan ojek online. Kali ini Tsamara memilih untuk menyisir trotoar,
berjalan kaki sore hari. Sendirian. Dia ingin menikmati jalanan Jakarta
sore hari yang amat ramai.
Tidak sampai sepuluh menit, sebuah motor matic warna hitam berhenti
di dekat Tsamara. Kening perempuan itu mengernyit, terlebih seseorang
di atas motor itu mengenakan jaket ojek online. Dia tidak merasa
memesannya.
"Enggak mau naik?" tanya si pengemudi yang bertahan di atas motor
dan baru saja membuka kaca helmnya.
"Leo?" Tsamara menoleh kanan kiri. "Mobil kamu dijual diganti motor
bebek? Wow." Tsamara mendecap sembari menggeleng pelan dan
mengayun langkah mendekati Leo. Menerima uluran helm dari lelaki itu.
"Cicilan mobil sama apartemen mencekik, ya, Le. Makanya punya
apartemen satu aja. Ini bergaya dua."
"Sialan," Leo mengumpat lirih. "Mobil lagi dipinjam rekan kantor, istrinya
melahirkan hari ini."
Motor melaju di tengah hiruk pikuk jalanan sore hari. Diisi dua sahabat
yang tak pernah bosan mendukung satu sama lain.
Tidak mengetahui sama sekali, ada seorang lelaki yang sedari tadi
menjaga jarak dari Tsamara, tampak mengepalkan tangan dan
mengeraskan rahang.
***
Bab 8
Satu detik saat Ghaly berhasil masuk ke apartemennya, lelaki itu segera
meraih sebuah vas di atas meja dan membantingnya. Membuat benda
berbahan kaca itu pecah berserakan di atas lantai. Tak cukup membuat
dada yang telah diliputi amarah mereda, sekali lagi Ghaly mengambil
hiasan meja, kali ini adalah miniatur kapal terbuat dari kayu. Dan tanpa
berpikir panjang, ia pun membantingnya kasar.
"Kamu enggak akan aku lepaskan, Tsa. Tidak untuk kedua kali." Ghaly
menggumam sembari menatap layar ponselnya yang sudah padam. Dia
baru saja memberi perintah pada orang kepercayaannya untuk mencari
tahu segala hal tentang Tsamara selama lima tahun ini.
Ghaly berdecih, dia tahu apa yang harus ia lakukan. Jika dirinya bisa
semenderita ini karena sakit hati, maka Tsamara pun harus
merasakannya.
***
Leo bersin tiba-tiba. Dia segera menarik selembar tisu di hadapannya
dan mengusap hidungnya.
"Mas Leo sakit? Pasti karena pulang motoran tadi." Fanny bergerak
cepat ke dapur, mengambil air bening hangat dari dispenser.
"Memang Om Leo sakit apa, Ma?" Alta menatap Leo dan Tsamara
secara bergantian.
"Enggak akan minta jemput. Aku lebih suka minta antar." Tsamara
tersenyum geli, lalu melanjutkan ucapan. "Selesai makan dan cuci
piring, langsung antar Leo pulang, ya, Fan. Kamu juga jangan
begadang."
"Dari kamu yang enggak antusias makan, malam ini. Aku tahu kamu ada
masalah." Leo sudah memperhatikan Tsamara sedari tadi. Bagaimana
perempuan itu hanya sibuk menyuapi Alta tapi tidak untuk dirinya
sendiri. "Dan candaanmu dari tadi garing banget. Kayak berusaha bikin
suasana senang."
"Tsa, kalau ada apa-apa, kamu tahu pada siapa kamu harus bercerita."
Di meja makan, Fanny menatap Leo dengan bola mata memicing. "Mas
Leo tahu Mbak Tsa ada masalah?"
Leo meneguk air minum hangat yang sedari tadi ia genggam hingga
tandas. "Enggak. Kalau aku tahu, aku enggak akan nanya kakakmu."
Dia kemudian bangkit dari duduknya dan mengusap puncak kepala
Fanny. "Cuci piring, yuk. Sini aku bantuin."
"Mama."
"Ya, Sayang." Tsamara segera menoleh ke arah sang putra yang
memanggilnya dan menemukan bola mata Alta yang berpendar polos.
"Kenapa. Alta udah ngantuk? Mau Mama bacain cerita?"
"Papa Alta adalah papa yang hebat." Tsamara menelan ludah pelan,
menahan bulir air mata di sudut mata. Bayang-bayang Ghaly sore tadi
berkelebat begitu jelas. "Papa ... Papa sangat menyayangi Mama. Dan
sangat menyayangi Alta."
"Papa sebaik Om Leo." Alta membalas lirih dengan kelopak mata yang
sayup-sayup menutup. Usapan jemari Tsamara di puncak kepalanya
sukses membuat ia mengantuk.
"Ya. Papa sebaik Om Leo. Sangat baik. Dan papa setampan Alta.
Senyum Alta mirip sekali dengan papa."
Senyum yang membuat Tsamara begitu jatuh cinta. Senyum yang juga
tak akan pernah ia lihat lagi sekarang ini.
Bisik lirih dari Alta membuat air mata menetes dari sudut mata Tsamara.
Perempuan itu semakin menenggelamkan kecupan di helai rambut sang
putra. "Mama janji, suatu saat Alta akan bertemu Papa."
"Alta sayang Mama dan Papa."
***
Bab 9
"Tetangga sebelah bilang apa sama Alta?" Tsamara bertanya lirih namun
sarat penekanan.
"Aku enggak sengaja ketemu pas keluar apartemen. Terus dia kayak
basa-basi gitu, tanya ayahnya Alta mana? Karena enggak pernah lihat
selama ini. Dan kayaknya dia cukup kenal sama Mas Leo. Karena bisa
nebak, Mas Leo bukan ayahnya Alta." Fanny menjeda, mencoba
membaca raut wajah Tsamara. "Aku udah bilang kalau ayahnya Alta
sedang kerja di luar negeri. Tapi dia malah natap menyebalkan gitu."
"Dia enggak cuma bilang itu, kan?" Tsamara kembali melontar tanya.
Melihat gelagat Fanny yang bahkan masih tampak sebal membuat
Tsamara yakin tetangga sebelah yang ia lupa namanya, tidak hanya
menyinggung tentang di mana ayah Alta.
Fanny menelan ludah. "Dia bilang, dia memaklumi Mbak yang single
parent. Dan hamil di luar pernikahan."
Bola mata Tsamara membulat dengan kedua tangan terkepal erat. "Dia
berani bilang begitu. Siapa dia?"
"Elsa namanya, Mbak."
Tsamara menggeram, bertambah kesal saat sang adik justru
menyebutkan nama perempuan itu. "Maksud Mbak, siapa dia berani
bilang kayak gitu. Memang, hidupnya udah bener nyampe ngatain Mbak
hamil di luar nikah."
Tidak ada yang bisa Fanny lakukan selain meringis penuh rasa
bersalah. Tsamara memang paling sensitif jika sudah menyangkut Alta
apalagi jika sampai mengatakan hal-hal yang tidak-tidak, termasuk
tentang hamil di luar nikah.
"Mbak pikir, saat pindah ke Jakarta tidak akan ada yang menyinggung
tentang status Mbak, karena orang-orang disini lebih suka cuek. Tapi,
nyatanya kita punya tetangga yang menyebalkan." Tsamara memijit
pelipisnya, dan menghela napas begitu pelan.
***
Tsamara menggandeng tangan Alta dan keluar dari taman apartemen
setelah hampir dua jam bermain di sana. Alta bahkan sudah
menghabiskan dua kotak susu dan hampir sebotol air mineral. Bocah
manis kesayangannya itu bermain-main sendiri dengan bola dan
melemparkannya ke rerumputan. Berlarian memutari taman hingga
keringatnya bercucuran.
"Mama."
"Alta boleh minta es krim?' Alta berkedip dengan bola matanya yang
berpendar terang.
"Alta masih punya banyak es krim, loh, di rumah. Makan di rumah aja,
ya." Tsamara berusaha membujuk. Dia sampai merendahkan tubuh
dengan menumpu lutut di ubin agar tingginya sejajar dengan sang putra.
"Atau Alta mau digendong, capek, ya, lari-larian dari tadi."
Tsamara menghela napas. "Ya udah, Mama beliin. Alta tunggu sini sama
Tante Fanny." Kemudian ia kembali menegakkan tubuh dan berpesan
pada Fanny untuk menjaga Alta. Yang dibalas anggukan mantap dari
sang adik.
Meninggalkan Alta bersama Fanny, Tsamara berjalan menjauh ke arah
minimarket. Sebenarnya, seperti yang ia katakan pada sang putra, ada
masih cukup banyak es krim di rumah. Namun, nampaknya, meski
tubuhnya sudah banjir keringat, Alta belum ingin kembali ke apartemen.
"Alta!"
Bola mata Tsamara sudah memburam saat sedikit lagi mobil itu
menyentuh tubuh Alta, dan bertepatan dengan itu, tiba-tiba seorang
lelaki mengangkat tubuh Alta dan didekap protektif. Alta-nya
terselamatkan.
"Terima kasih telah menyelamatkan putra saya," ucap Tsamara berdiri
bersisian dengan Fanny yang juga sama-sama bernapas tersendat.
"Teledor sekali membiarkan bocah ini—" ucapan lelaki itu terhenti seiring
tubuhnya menoleh ke arah dua perempuan yang berdiri di dekatnya.
Napas Tsamara tercekat melihat pria yang menolong Alta. Dengan gerak
cepat ia mengulurkan tangan dan mengambil alih Alta untuk dia
gendong. Dia tidak menyangka jika lelaki yang menyelamatkan putranya
adalah Ghaly Badrayudha.
***
Bab 10
"Jangan menatap putra saya setajam itu, Bapak membuat dia takut."
Ucapan Alta yang lirih membuat semua orang di dalam lift itu memberi
atensi pada bocah manis yang masih betah di dekapan Tsamara.
"Alta sama Tante Fanny. Ayo " Tsamara mengulurkan tangan. Namun,
balasan dari sang putra justru gelengan kepala.
"Tidak—"
"Aku enggak akan menyakiti anak kecil, Tsa. Kalau itu yang kamu
takutkan." Ghaly memotong ucapan Tsamara. Dia cukup mampu
meraba kewaspadaan yang sedari tadi Tsamara tunjukkan. "Fanny biar
bantu kamu memasak. Bukankah kamu harus menyiapkan makan siang
untukku?"
Tsamara melirik Ghaly dan Alta secara bergantian. Dia sungguh berat
melepas Alta hanya dengan Ghaly. Tapi, saat melihat wajah Alta yang
semringah dan terus mengulas senyuman pada Ghaly dengan begitu
menggemaskannya, Tsamara tak bisa melakukan apa pun selain
membiarkan mereka hanya berdua.
Lalu tatapan Tsamara berpindah untuk mengunci mata Ghaly. "Saya titip
Alta—"
"Ini enggak seperti aku akan bawa Alta pergi, Tsa. Aku hanya akan tetap
di sini." Ghaly kembali memotong, seringai tipis di wajahnya mengukir
saat melihat Tsamara tampak berdecak sebal.
"Mbak mau bikin apa?" tanya Fanny saat melirik Tsamara mengeluarkan
kangkung, selada, dan mentimun yang mereka punya dari dalam kulkas.
Yang memang hanya tertinggal sayur-sayuran itu.
"Ghaly mungkin tidak akan menyakiti Alta, tapi dia jelas seantusias itu
menyakiti Mbak," Tsamara melirih, kalimat-kalimat penegasan dari Ghaly
yang sangat membenci dirinya terngiang di kepala.
"Mbak yakin Mas Ghaly membenci Mbak? Kenapa aku enggak melihat
itu barusan?"
"Semalam, Alta baru bilang sama Mbak, dia ingin ketemu papanya. Dan
hari ini mereka dipertemukan." Tsamara menghela napas dan
menggeleng. "Ini seperti doa anak itu yang dikabulkan."
***
Bab 11
"Om Ghaly, lihat ini!" Alta berseru sambil mengangkat lego bertumpuk,
yang entah jadi bentuk apa. "Bikinan Alta."
Ghaly yang sedari tadi pun sibuk menyusun lego, menengadah dan
mengulas senyuman melihat Alta yang mendekat padanya. "Bagus
sekali. Alta pintar," pujinya. Mengambil alih lego buatan Alta dan
memeriksanya.
"Kalau begitu, ini buat Alta saja." Ghaly mengulurkan lego berbentuk
pesawat ala kadarnya buatannya pada Alta. Dia bukan orang yang
sabar sebenarnya, beberapa waktu belakangan ini. Namun, sangat
ajaib, dia menemani Alta bermain, bahkan menyusun lego yang
beberapa kali ia bongkar.
Ghaly segera meraih tubuh Alta yang beranjak dari duduknya dan
hendak berlari. "Nanti saja, Mama belum selesai memasak," katanya
sembari membawa tubuh Alta ke pangkuannya. "Alta lanjutin main dulu
sama Om."
Lelaki itu memejamkan mata. Berbisik di dalam hati, jika siapa pun Alta,
dia tidak pantas merasa sebal pada bocah manis itu apalagi
membencinya. Alta tidak mengetahui apapun kesalahan yang orang
tuanya lakukan di masa lalu.
"Om ... Om."
"Alta mau dibikinin pesawat lagi," kata Alta seraya mengangkat lego
buatan Ghaly. "Satu untuk papa nanti."
Yang belum Ghaly ketahui dari informannya adalah perihal ayah Alta. Ia
hanya mengetahui tentang Tsamara yang memiliki anak, entah dengan
siapa. "Biar papanya Alta saja yang bikin sendiri." Dia menjadi kesal
tiba-tiba memikirkan seseorang yang kemungkinan adalah ayah Alta.
Dan pasti lah menjadi suami Tsamara. Setelah perpisahan dengannya,
tidak menutup kemungkinan Tsamara menikah lagi. Atau mungkin
dengan Leo si berengsek itu.
"Alta sayang."
"Ayo makan, Mama udah bikinin makanan kesukaan Alta, loh." Tsamara
kembali berucap sembari merentangkan dua tangannya, siap
menangkap tubuh mungil Alta.
Alta berseru senang dan turun dari pangkuan Ghaly untuk berlari ke
arah Tsamara.
"Bapak juga, ayo makan. Sudah saya siapkan," ucap Tsamara lagi, saat
melihat Ghaly tidak bergerak sedikitpun.
Ada senyum teramat tipis yang mengukir di bibir Ghaly. "Kupikir kamu
enggak akan mengajakku makan." Dia bangkit dari duduknya dan
membenahi pakaiannya.
Ghaly tidak lagi membalas, meski bibirnya sangat gatal untuk melempar
kata-kata menyindir lainnya. Dia mengikuti Tsamara ke meja makan dan
menemukan Alta sudah siap di kursinya.
"Yeay, makan siangnya ramai. Alta suka." Alta berseru antusias. Bahkan
pandangannya tidak teralih dari Ghaly yang mencuci tangan dan
kembali ke meja makan. Mengambil duduk di hadapannya. "Om Ghaly
suka ayam? Alta suka banget."
"Dia sudah bisa baca doa sendiri?" tanya Ghaly takjub. Tatapannya tak
lepas dari cara Alta menengadahkan tangan dan bibirnya yang
menggumam doa. Tidak lirih, karena ia bisa mendengarnya. Dan
senyumnya mengulas tipis. Bocah itu tampak bertambah
menggemaskan.
"Hanya doa-doa harian, yang enggak terlalu panjang. Dia masih lebih
suka mewarnai daripada menghafal." Tsamara berkedip saat sadar ia
terlalu banyak menjelaskan pada Ghaly. Seolah sedang melaporkan
perkembangan tumbuh kembang anaknya pada sang papa.
Oh, Tsa. Kamu bukan gadis muda lagi. Yang bisa tersipu hanya karena
disenyumin lelaki. Kamu udah 32 tahun. Dan punya anak laki-laki usia
empat tahun.
Dia merasa amat melankolis detik itu juga. Hanya karena sepiring
makanan. Dan ingatan-ingatan masa lalu yang baginya amat
menyebalkan berseliweran di kepala.
Tsamara bangkit dari duduknya setelah pamit pada Alta untuk ke dapur
sebentar. Dia mengambil botol air dingin dari dalam kulkas dan kembali
ke meja makan. Berdiri di sisi Ghaly untuk menuang air dingin ke gelas
panjang milik lelaki itu.
"Nah, dengerin kata Alta. Ayam gepreknya buat Bapak semua. Fanny
sama saya cukup sama kerupuk," Tsamara menimpali sembari
mengerling pada Fanny yang cemberut.
"Kalau sesuka itu sama ayam geprek dan sambal bikinan saya, Bapak
bisa bungkus buat dibawa pulang." Tsamara mengabaikan balasan sinis
dari Ghaly. Dan tidak terlalu tertarik dengan tatapan menelisik dari
Fanny.
"Karena sudah makan gratis di sini, Bapak harus cuci piring sendiri."
Perintah Tsamara, tak kenal takut. Seolah lupa jika di kantor, Ghaly
adalah bosnya. Dan lelaki itu bisa melakukan apapun padanya,
termasuk memecat dirinya dengan begitu mudah.
"Seperti kamu." Dan itu hanya berada di dalam hati Tsamara. "Iya.
Walaupun suka, saya tetap membatasi konsumsinya agar seimbang
dengan sayuran."
"Om pulang sekarang. Enggak main lagi sama Alta?" Alta segera
meletakkan potongan ayamnya ke piring. "Alta nakal, ya. Om jadi ingin
pulang."
"Alta harus tidur siang. Bukan karena Alta nakal. Nanti kalau Om di sini,
Alta jadi main terus."
Balasan berikutnya yang Alta berikan adalah jerit tangis bocah itu.
Ghaly menelan ludah dan bersuara. "Ya, besok Alta main lagi sama
Om."
Alta menghentikan tangisannya seketika dan menatap Ghaly. "Om mau
main lagi sama Alta?"
"Benar, Om janji. Kalau kita main lagi, Alta boleh minta apa saja sama
Om." Ghaly mendekati Alta dan tanpa meminta izin pada Tsamara, ia
mengusap puncak kepala Alta.
"Alta cuci tangan dulu, yuk. Biar Om Ghaly siap-siap buat pulang," ajak
Tsamara sembari mengayun langkah ke dapur, menemukan Fanny
masih bertahan di depan bak cuci piring dan terdengar kekehan pelan
dari sang adik.
"Tentang Bapak yang bisa main lagi sama Alta. Bapak enggak perlu
melakukannya."
Tanpa menunggu balasan dari Ghaly, Tsamara kembali sibuk meminta
Alta untuk melambaikan tangan pada Ghaly.
***
Bab 12
Tsamara meletakkan gelas panjang jus jeruk ke atas meja dengan batu
es yang cukup banyak di dalamnya, membuat embun es mengelilingi
gelas. Dia kemudian mengambil duduk di sisi Fanny yang sedang sibuk
memainkan ponsel.
Ini sudah pukul dua siang dan Alta baru bisa terlelap setelah sekian
banyak bujukan yang Tsamara lontarkan. Sepanjang Tsamara berusaha
menidurkan sang putra, sepanjang itu pula Alta begitu cerewet dan ingin
tahu tentang Ghaly. Dan entah berapa kali bocah kesayangannya
mengatakan jika Om Ghaly adalah Om yang baik.
"Aku cuma khawatir kalau aku jujur, nanti malah bikin Mbak kepikiran,"
ungkap Fanny. Karena memang hanya alasan itu yang ia punya saat
memilih untuk berbohong pada Tsamara. Dan sangat tidak menyangka
jika Ghaly justru bertemu dengan Alta lagi.
"Kamu tahu persis bagaimana Mbak enggak ingin terlibat dengan Ghaly
di luar kepentingan pekerjaan." Tsamara melirih. Dia memang akan
kepikiran tentang Alta, persis seperti yang Fanny katakan. Bahkan
sekarang pun tentang Alta dan Ghaly berputar di kepalanya.
"Di luar kepentingan pekerjaan?" Fanny mengulang.
"Mbak berniat sembunyiin fakta tentang Alta dari Mas Ghaly. Kenapa?"
tanya Fanny, kemudian ia menambahi. "Maksudku, Mbak udah liat
sendiri bagaimana Alta dengan Mas Ghaly tadi. Dan memangnya, Mas
Ghaly enggak akan cari tahu dan curiga?"
"Ghaly enggak akan berpikir Mbak sedang hamil saat perpisahan kita
dulu." Tsamara berucap getir. Memang sangat kecil kemungkinan Ghaly
menebak ia tengah hamil dahulu, dan sekalipun lelaki itu tahu, besar
kemungkinannya Ghaly akan berpikir jika Alta adalah anak lelaki lain.
"Tentang kedekatan Alta dengan Ghaly, Mbak enggak bisa
mencegahnya, Alta mungkin saja merasakan ikatan itu. Darah memang
selalu lebih kental."
"Aku pikir, Alta akan sangat bahagia kalau tahu dia punya papa dan
mereka dekat satu sama lain. Tapi, semua keputusan ada sama Mbak.
Kalau itu yang Mbak pikirkan sebagai yang terbaik buat Alta, ya, aku
enggak akan memaksa."
Fanny melirik Tsamara yang bertahan dalam mode diam dan tampak
berpikir, mungkin saja sang kakak sedang memikirkan perkataannya
tadi. "Kita ketemu Mas Ghaly tadi dan ada sedikit kecelakaan yang bikin
Mas Ghaly mampir ke sini, lalu bermain sama Alta."
"Dia baik-baik saja, udah tidur sekarang." Fanny melirik Tsamara sekali
lagi, yang kali ini tengah menyesap jusnya. "Aku mau bikin jus. Mas Leo
ngobrol, deh, sama Mbak Tsa." Lalu tanpa menunggu balasan dari Leo,
Fanny segera berjalan ke arah dapur.
Leo mengambil duduk di samping Tsamara dan segera mengulurkan
tangan, menggenggam gelas jus jeruk yang Tsamara letakkan di meja,
dan baru berkurang seperempat gelas.
"Reunian dengan Ghaly yang akan hajar kamu, atau sebaliknya," bisik
Tsamara di dalam hati. Tidak menutup kemungkinan jika Ghaly akan
melakukan itu. Mengingat jika pada dirinya saja, Ghaly bisa sebenci itu,
apalagi pada Leo.
Kelopak mata Leo segera membuka, dia menoleh ke arah Tsamara yang
menumpu siku di paha dan tampak menggigiti kuku. Perempuan itu
sedang gelisah. "Aku enggak meragukan sedikitpun kemampuan kamu,
Tsa. Tapi sudah di depan mata, dan Ghaly tahu tentang Alta. Kamu
sekalian saja membuka semuanya. Aku enggak berpikir kalian akan
balikan, ketika Ghaly tahu tentang Alta. Enggak sama sekali. Tapi,
setidaknya, biarkan Alta mengetahui sosok papanya. Kamu enggak bisa
seterusnya egois seperti ini dengan menyembunyikan Alta."
Rahang Tsamara mengeras. "Kamu enggak ngerti apa pun, Leo. Kalian
enggak ngerti apapun." Geramnya penuh kemarahan. "Dan kita udah
terlalu sering membicarakan tentang ini. Keputusanku tetap bulat, apa
pun yang terjadi, Ghaly enggak perlu tahu kalau Alta adalah darah
dagingnya."
Tsamara kesal. Setiap kali ada pembicaraan tentang Ghaly, pada
akhirnya ia yang terpojokkan. Tentang keharusannya mengungkap Alta
pada Ghaly.
Dan suara pintu tertutup dari kamar Tsamara membuat Leo meluruhkan
bahu. Dia sepertinya memang salah bicara. Namun, senyumnya
mengembang perlahan. Tsamara tidak akan bertahan lama marahan
padanya. Lihat saja, sebelum tiga hari, perempuan itu pasti akan
menghubunginya lebih dulu.
***
Bab 13
Ini pertama kalinya bagi Ghaly datang pagi-pagi sekali ke kantor Mitra
Sehati. Dan menjadi pertama kali juga baginya untuk duduk sendiri di
lobi dengan lengan menyilang di dada. Tatapannya pun lurus ke depan
seolah memperhatikan satu persatu karyawannya yang memasuki
gedung.
Ghaly baru saja melirik jam tangannya, yang menunjukkan pukul tujuh
kurang sepuluh menit. Ketika tatapannya kembali ke pintu utama, ia
menemukan sosok yang ia cari—Tsamara. Sedang berdiri di sisi sebuah
mobil.
Lelaki itu bangkit detik itu juga, ingin menghampiri Tsamara. Namun,
langkahnya kemudian terhenti saat menemukan Leo—laki-laki yang
paling ingin ia hajar, tampak menghampiri Tsamara dengan seorang
bocah digendongannya.
Tunggu.
Ghaly mengerjap. Dia akan menghajar Leo? Dia memiliki alasan apa
untuk melakukan itu?
Dan ia amat tidak suka saat melihat mantan istrinya itu tertawa dengan
binar bahagianya bersama lelaki lain. Yang bukan dirinya.
Lelaki itu berdecak kasar dan segera membalik badan, tidak ingin lebih
lama berada di sana, atau ia akan melakukan hal memalukan yang bisa
merusak image-nya. Dengan menghajar Leo misalnya. Jemarinya terasa
gatal sekali.
Tsamara menghela napas. Mengerti betul, dia siapa yang Leo maksud.
Ghaly Badrayudha, tentu saja. Bos besarnya yang sangat jarang ke
kantor sendiri. Saking banyaknya kesibukan lelaki itu. "Mama kerja, ya,
Sayang. Alta baik-baik sama Tante Fanny dan Om Leo," pesannya
kemudian, mengabaikan pertanyaan Leo.
Pagi ini, entah dapat angin dari mana, Alta merengek ingin ikut Tsamara
bekerja, manjanya minta ampun. Beruntung Leo senggang hari ini,
sehingga dengan begitu banyak bujukan, Alta menurut hanya dengan
mengantar ia ke kantor.
Harapnya hanya satu, Ghaly memang akan berpikir seterbuka itu dan
mendengar penjelasan darinya. Tidak seegois dulu yang selalu percaya
dengan pembenaran diri sendiri. Padahal itu adalah hal yang keliru.
Tsamara mengangguki. Karena memang aneh saja, tapi, ini Ghaly. Tidak
ada yang aneh kalau lelaki itu sudah bertindak. Dan bukankah ini adalah
kesempatan yang tepat bagi Tsamara untuk bisa berbicara dengan
Ghaly perihal Alta.
"Lantai teratas gedung ini. Ada di ujung lorong. Aku sendiri enggak
pernah kesana. Karena apalah staf kayak aku ini."
"Ghaly, ada yang ingin kuberitahukan padamu, ini tentang Alta, dia
anakku—tidak tidak," Tsamara menggeleng sendiri. "Dia anak kita." Dan
ia meringis kemudian. Apa masih pantas ada "kita" antara dirinya dan
Ghaly.
"Silakan masuk, Pak Ghaly ada di dalam dan sedang menunggu Anda."
Tsamara tampak ragu untuk memasuki ruang kerja Ghaly. Dia melirik
lelaki bersetelan rapi yang membukakan pintu untuknya dan
memberitahukan perihal kedatangannya pada Ghaly barusan.
Bola mata Tsamara membulat sedemikian besar. Ini jelas jauh sekali dari
yang ia duga dan rencanakan.
***
Bab 14
Atau karena cintanya pada Tsamara tidak pernah memudar sedari dulu.
"Kamu hanya perlu menandatangani surat itu dan semua selesai lebih
cepat." Ghaly menggeram lirih. Berusaha menutupi gelegak perasaan
yang ingin muncul ke permukaan.
Tsamara merasa begitu bodoh karena dia hampir terbujuk untuk luluh di
depan Ghaly.
"Saya punya hak untuk menolak. Jika itu yang saya pilih."
"Tsa, kalau kamu menolak tawaranku kali ini. Kamu akan dikeluarkan
dari kantor." Ghaly menyuarakan ancamannya untuk pertama kali.
"Aku lebih memilih tidak bekerja di kantormu, Ghaly. Aku akan berusaha
semampuku agar kita tidak pernah dipertemukan lagi di kemudian hari."
Tsamara mengusap kasar air matanya. Dia pasti tampak konyol di mata
Ghaly, dan tampak lemah tentunya. "Besok, kamu akan menerima surat
pengunduran diri dariku."
Apapun pilihannya, Tsamara memang merasa lebih baik jika tidak lagi
berkaitan dengan Ghaly. Sudah seharusnya ia membangun dunianya
dengan Alta tanpa Ghaly. Ia tidak bisa mengharapkan apapun pada
Ghaly.
Amarah yang sesaat lalu memenuhi dadanya, luruh seketika saat
melihat Tsamara menangis, bahkan Ghaly merasa amat bersalah
karenanya.
Tapi, dia pun tidak bisa membiarkan Tsamara kembali menghilang dari
hadapannya.
"Kalau kamu berani mengundurkan diri, aku akan pastikan nama Fanny
di-blacklist dari semua perusahaan besar di Jakarta, dan Leo, karirnya
sebagai arsitek bisa aku hancurkan dengan mudah. Dia mungkin tidak
akan lagi memiliki nama dan muka kali ini. Kamu tahu betul, aku bisa
melakukan itu semua."
Dan Ghaly memilih menjelma menjadi iblis, memberi rasa sakit untuk
Tsamara. Mengikat perempuan itu dengan caranya. Alih-alih menjadi
malaikat yang mendekap penuh pengertian.
Fanny dan Leo. Tsamara ingin tertawa amat keras. Bagaimana mungkin
ia akan membiarkan Ghaly menghancurkan masa depan mereka?
"Apa aku punya pilihan?" tanya Tsamara dengan wajahnya yang begitu
jengah menghadapi Ghaly.
Lelaki itu tahu, ancamannya tepat sasaran. Dan Tsamara bisa dipastikan
tetap di tempat yang ia inginkan. Perempuan itu tidak akan setega itu
membiarkan Fanny dan Leo hancur. Meski ia cukup kesal karena
Tsamara begitu peduli dengan Leo. Sama seperti dulu.
Namun, untuk beberapa hari ini, biarlah ia menyimpan kabar itu untuk
dirinya sendiri.
Pagi ini, Tsamara sungguh kehilangan definisi tentang apa itu semangat.
Karena sejak keluar pintu apartemennya menuju kantor barunya, yang
ada di dalam dirinya justru keinginan untuk berbalik arah dan kembali
pulang.
Ada nama Ghaly disebut dalam obrolan itu membuat Tsamara semakin
fokus menatap ujung sepatunya, namun dengan telinga yang awas
mendengar.
"Ah, benar juga. Enggak ada jabatan yang lebih indah dari menjadi
sekretarisnya Pak Ghaly. Bayangin aja, hampir tiap bulan selalu ada
urusan pekerjaan di luar kota. Walau sibuk bekerja, pasti ada lah satu
dua hari untuk liburan. Enggak jarang juga menemani ke luar negeri,
kan?"
"Ya, memang. Mana lagi bekerja sama lelaki tampan idaman banyak
wanita."
"Nah, itu juga jadi nilai plus. Siapa tahu kayak kisah manis novel
romance, dari sekretaris menjadi belahan jiwa."
"Yang pasti bukan cuma pintar dan cekatan. Tapi, juga cantik dan seksi."
Dan sekali lagi tiga perempuan itu tertawa. Sangat berbeda dengan
Tsamara yang justru meringis. Jika saja dia bisa melemparkan jabatan
barunya sebagai sekretaris Ghaly pada tiga perempuan itu, Tsamara
akan dengan senang hati melakukannya.
Ah, kebodohan apalagi itu, karena pada dasarnya Ghaly lah yang
mencampur adukan urusan pribadi dengan pekerjaan. Tapi, bukankah
Ghaly selalu benar? Dan Tsamara adalah si tersangka yang pantas
dijatuhi hukuman.
"Tsamara."
"Tsamara, kan?"
Panggilan kedua yang terdengar seperti tengah memastikan, semakin
membuat Tsamara membeku di tempatnya berdiri. Dia lupa, segelintir
orang yang dulu mengenal dirinya kemungkinan besar masih di kantor
ini.
"Ya, aku juga senang bertemu kamu, Jo." Tsamara tidak berdusta akan
itu. Dari sedikitnya orang yang mengetahui pernikahannya dengan
Ghaly dahulu—yang memang sengaja dirahasiakan dari publik, Joana
menjadi salah satu teman yang selalu berada di pihaknya.
"Jadi, kenapa kamu ke sini? Ini kejutan sekali." Joana bersuara setelah
puas melepas rindu dengan Tsamara dan mengurai pelukan.
"Untuk beberapa hari ini, kamu harus tetap di sini mengajari Tsamara.
Kamu bisa melakukan cara apapun agar dia cepat tanggap seperti
kamu." Ghaly mengedikkan bahu. "Saya enggak suka sekretaris yang
kerjanya lelet."
"Baik, Pak. Saya akan melakukan yang terbaik." Yang bisa Joana
lakukan hanyalah menganggukan kepala dan menyanggupi.
"Dan satu lagi, Jo. Ambil ini," Ghaly mengulurkan sebuah kartu berwarna
hitam kepada Joana. "Antar Tsamara membeli pakaian baru—"
***
Bab 16
"Sifat Ghaly selama lima tahun terakhir ini menjadi sangat kacau."
Sejak pagi hingga jam makan siang tadi, yang Tsamara lakukan di
kantor benar-benar training bagaimana menjadi sekretaris Ghaly. Dan
tidak sekalipun ada obrolan yang menyinggung Ghaly di luar konteks
pekerjaan. Namun sekarang, karena sudah berada di luar kantor,
nampaknya Joana tidak lagi menahan diri untuk bercerita tentang masa-
masa lima tahun silam, pasca perceraiannya dengan Ghaly.
"Setelah kalian bercerai, selama kurang lebih tiga bulan, Ghaly enggak
pernah pulang ke rumah." Joana mulai bercerita. "Aku tahu aku mungkin
enggak pantas untuk bercerita tentang ini padamu, tapi aku merasa,
kamu perlu tahu."
"Jadi, selama itu, ruang kantornya menjadi rumah dan tempat bekerja
sekaligus. Enggak pernah ada yang diizinkan masuk ke ruangannya,
selain aku dan cleaning service. Selama itu pula aku berperan jadi
sekretaris dan pembantunya."
"Ghaly kacau banget. Dia berubah ratusan derajat, menjadi Ghaly yang
saat ini."
Lebih dari apapun, ia sangat kecewa pada lelaki itu. Kekecewaan yang
justru tidak bisa ia luapkan begitu saja, karena yang terjadi padanya kini
justru menjadi budak lelaki itu.
"Aku pasti akan melakukan itu, Jo." Kalau bisa, Tsamara juga ingin
pintar mengelabui Ghaly.
"Oh, iya, Tsa, aku enggak penasaran gimana kalian bertemu, karena
aku tahu pasti, sama sepertiku, kamu dan Ghaly putus kontak selama
ini. Yang bikin aku penasaran justru keputusan Ghaly yang jadiin kamu
sekretarisnya."
"Tsa."
"Kalau kamu tanya, alasan apa yang membuat Ghaly menarik aku untuk
jadi sekretarisnya? Aku sendiri enggak tahu, Jo. Seperti yang kamu
bilang, Ghaly berubah."
***
Sepertinya, dia memang harus berbicara serius dengan Ghaly. Lelaki itu
amat sangat berlebihan menilai penampilannya pagi tadi.
Ya Tuhan, andai saja Joana tidak merengek akan dimarahi Ghaly karena
tidak membujuk dirinya membeli begitu banyak barang, Tsamara lebih
suka membawa pulang beberapa saja. Namun saat sudah terlanjur
begini, masa iya barang-barang belanjaannya ditinggal di kantor.
"Mama!" jeritan Alta yang memanggil dan bocah itu yang segera berlari
ke arahnya membuat Tsamara meletakkan semua kantong belanjaannya
di lantai.
"Makan nasi sama telor dadar dikasih kecap," Alta menjawab polos yang
dibalas dengan tawa dari Tsamara.
Nah, kan. Dan Fanny adalah tipe orang yang selalu kepo-an.
"Iya. Terpaksa."
"Terpaksa? Maksudnya?"
Berdamai menjadi satu kata paling sulit yang bisa ia dan Ghaly miliki.
Lelaki itu telah menabuh genderang perang dengannya sejak menilai
Alta tidak semestinya.
"Mama."
"Alta ingin main ke pantai, Mama," kata Alta seraya menunjuk layar
televisi yang sedang menayangkan iklan salah satu minuman dengan
latar pantai.
"Enggak mau kalau enggak cium Mama dulu," ucap Tsamara tersenyum
geli sambil memberikan pipinya pada Alta, yang segera dihadiahi
kecupan basah.
"Iya, Alta gambar pesawat tadi siang." Fanny menimpali, menyetujui apa
yang keponakan menggemaskannya katakan. Siang tadi, Alta memang
berhasil menggambar pesawat serta mewarnainya.
"Mama, Om Ghaly kapan main sama Alta lagi?" Bola mata Alta berkedip
penuh harap. "Om Ghaly janji mau kasih pesawat sama Alta."
Fanny dan Tsamara saling pandang, karena sama-sama tahu, mereka
tidak bisa memastikan kehadiran Ghaly. Tsamara justru merasa begitu
lega memikirkan Ghaly mungkin tidak akan pernah mengunjungi Alta
lagi.
"Jadi, Alta udah enggak suka main sama Om Leo?" Kening Tsamara
mengernyit. Selama ini bagi Alta, Leo adalah nomor satu. Kedatangan
lelaki itu selalu disambut begitu suka cita oleh Alta.
Tsamara tahu, dia akan semakin sulit membuat jarak antara Alta dan
Ghaly. Di satu sisi, Ghaly mungkin saja tidak tertarik berinteraksi begitu
dekat dengan Alta. Tapi, Alta tidak, putra semata wayangnya ini jelas-
jelas mengungkapkan betapa sukanya dia bersama Ghaly.
***
Bab 17
Tsamara menyapa Joana begitu ramah pagi ini. Perempuan itu tampil
dalam balutan blus warna abu-abu muda dengan tali pita yang menjuntai
di bagian leher berwarna putih dan hitam. Dipadu dengan rok span
berwarna hitam sebatas lutut. Sepatu pantofel berhak tujuh senti
menghias kakinya yang jenjang. Rambut hitamnya digelung rapi di
belakang kepala. Dan tak lupa, ia sedikit memulas bibirnya dengan
lipstik warna merah muda. Membuat tampilannya begitu flawless.
Dia merasa tampil biasa saja, sama seperti ketika ia berangkat ke kantor
sebelum-sebelumnya, namun sambutan yang Joana berikan adalah bibir
membuka seolah perempuan itu sedang melihat hantu.
Ah, Tsamara tahu dia tidak cantik-cantik amat, tapi masa iya disamakan
dengan hantu.
"Ya, aku siap, kok." Dan hanya balasan itu yang bisa Tsamara
keluarkan. Siap enggak siap, Tsamara memang harus selalu siap di
situasi apapun juga.
"Oh, iya, Tsa. Biasanya Ghaly ngasih libur buat kita liburan sebelum
kembali ke Jakarta." Joana mengedipkan mata ke arah Tsamara. Dia
sudah bertahun-tahun menjadi sekretaris Ghaly dan rasanya kenyang
sekali bisa liburan gratis setiap saat. Benar-benar surga dunia.
"Liburan gratis, enggak akan ada yang nolak." Tsamara membalas
kerlingan mata Joana. Dia akan memikirkan bagaimana Alta, besok
saja. Ini memang sudah resiko pekerjaan yang ia setujui. "Tapi, kamu
enggak ikut, Jo?"
Joana mengibaskan tangan. "Kalau aku ikut, aku takut dapat ancaman
pemecatan."
"Pemecatan, maksudnya?"
Belum juga tanya Tsamara terjawab, laki-laki yang sesungguhnya tidak
diharapkan kehadirannya justru menampakkan diri. Dan langsung
memberi perintah.
"Balikin sekalian, ya, Tsa. Kalau semisal Ghaly enggak mau terima
kartunya, kamu bawa pulang lagi saja. Kita bisa foya-foya pakai kartu itu
buat bangun kontrakan sepuluh pintu."
"Kayaknya kamu jalan dari mejamu sampai ruangan ini, 1 km. Lama
banget baru sampai."
"Kenapa baju kamu tidak tampak baru?" komentar Ghaly. Dia bertahan
duduk di tepian meja kerjanya, berhadapan dengan Tsamara. Menahan
desakan bibirnya untuk melengkungkan senyuman dan memuji
bagaimana menawannya penampilan perempuan yang berdiri di
hadapannya pagi ini.
Dan tentu saja, menahan lengannya yang begitu gatal untuk tidak
menarik pinggang Tsamara dan ia dekap, seerat yang ia inginkan. Dia
tahu, menjadikan Tsamara sekretarisnya, berada begitu dekat
dengannya sepanjang waktu, membuat ia harus bekerja ekstra untuk
menahan dirinya sendiri.
"Pakaian yang kemarin saya beli, sedang saya cuci lebih dulu, Pak.
Sekali lagi terima kasih atas—"
"Tapi, Bapak atasan saya." Tsamara mencicit. Dan panggilan itu juga
untuk mengingatkan Tsamara jika hubungannya dengan Ghaly adalah
atasan dan bawahan.
"Tsa."
Kali ini tatapan Tsamara bersinggungan intens dengan bola mata Ghaly.
"Aku minta maaf karena kemarin berkata yang tidak seharusnya pada
Alta," ucap Ghaly meneruskan kalimatnya. "Aku sungguh menyesal."
Yang Tsamara temukan di mata Ghaly saat lelaki itu melontarkan kalimat
itu, hanya satu. Sebuah ketulusan. Tatapan mata yang dulu sekali selalu
ia temui di bola mata Ghaly.
"Dan kartu yang kamu pegang itu bukan sebagai penebusan apa pun.
Tidak. Aku hanya ingin kamu menerimanya dan menggunakannya."
Ghaly menjilat bibir bawahnya begitu pelan, "Aku akan melakukan itu."
Meminta maaf secara langsung pada Alta, otomatis membuat ia bisa
bertemu dengan bocah itu. Ah, hatinya mengapa begitu hangat hanya
karena mendapat izin pertemuan itu dengan Alta.
"Saya juga berterima kasih untuk paket pesawat yang Bapak kirimkan
semalam."
"Alta sangat menyukainya. Dia akan lebih suka kalau Bapak yang
memberikannya langsung."
Ya, pasti karena itu. Bukan karena ia yang ingin Ghaly berada di tengah-
tengah ia dan Alta.
***
Bab 18
"Apa aku setampan itu hingga kamu melirikku berulang kali," ceplos
Ghaly ringan yang hampir saja membuat Tsamara tersedak.
Tawa Ghaly pecah saat itu, membuat dia hampir tersedak dan segera
meneguk minumnya. "Makanya, sekarang aku menawarkan masa
depan yang cemerlang untuknya."
Jika diingat lagi, Ghaly yang dulu tak pernah bersikap semenyebalkan ini
terhadapnya. Dahulu, lelaki itu selalu memperlakukannya dengan begitu
baik dan manis.
Tsamara menghela napas begitu lirih. Seiring berjalannya waktu, sikap
seseorang pastilah berubah, tidak terkecuali Ghaly.
"Aku enggak berniat mengendalikan Fanny. Hanya kamu yang ingin aku
kendalikan, Tsa."
"Kalau sudah selesai, mari kembali bekerja, Pak." Tsamara tidak ingin
mengakui jika dirinya saat ini berada di bawah kendali Ghaly. Kenapa ia
tidak memilih untuk pergi saja. Membiarkan lelaki itu merusak masa
depan siapa pun.
Sudah berapa tahun berlalu, dan perempuan itu tampak tidak berubah
sama sekali. Masih menjadi Tsamara yang ia kenal dahulu. Yang
berbeda hanya, bagaimana Tsamara bersikap begitu menjengkelkan.
Atau tidak, karena justru disini ialah yang menjengkelkan.
Oh, Tsa. Kamu cerewet sekali. Apa perlu membalikkan ucapan lelaki itu?
Bukankah lebih baik kamu bungkam, mengunci bibirmu rapat-rapat. Dan
tidak membangun obrolan akrab dengan Ghaly di luar pekerjaan.
***
"Meeting-nya tiga jam, Tsa. Kok baru balik jam tiga." Joana menyindir
sambil melirik arloji di lengan kirinya, sebelum ia kembali mengimbuhi,
"Nanggung banget balik kantor, langsung pulang aja, sih, minta antar
bos." Dan ia melakukannya dengan senyuman geli yang tanpa malu-
malu terukir di bibirnya.
"Yah, jadi bos emang enak, tinggal nyuruh ini itu, mau pekerjaanku
menumpuk segunung juga dia enggak bakal peduli."
"Cuma sepotong, enggak mempan buat nyogok aku, Tsa. Kamu enggak
aku maafin." Joana bersedekap dada, melirik sekilas pada strawberry
cake yang lelehan sausnya membuatnya menelan ludah. Dia paling
suka dengan kue itu dan nampaknya sangat enak. Haruskah ia luluh
dengan cepat, atau mempertahankan ngambeknya beberapa saat lagi.
"Biar aku aja, Jo." Tsamara bangkit dari duduknya, tidak membiarkan
Joana yang mengambil alih tugas kali ini. "Kamu habisin kuemu aja."
"Dia memang mengharap kamu yang ke sana, Tsa. Kalau aku, bukan
keluar ruangan, tapi cuma manggil dari mejanya." Joana melirih,
mengikuti punggung Tsamara yang menjauh darinya dengan tatapan.
Selama menjadi sekretaris Ghaly bertahun-tahun ini, mana pernah
Ghaly keluar ruangan untuk menemui dirinya. Yang ada, dia yang
disuruh masuk ruang kerja lelaki itu tidak pakai lama.
Tsamara bergerak cepat menghadap Ghaly yang menyambutnya
dengan sebelah alis terangkat. "Saya saja yang mengantar dokumen itu,
Pak." Dia mengulurkan tangan, hendak mengambil dokumen yang
diulurkan Ghaly. Namun, belum sempat map itu berada dalam
genggamnya, Ghaly lebih dulu menariknya menjauh dan
menyembunyikannya di balik punggung.
***
Bab 19
Segala hal tentang rencana apapun yang ibunya buat, hanya akan
membuat satu pembangkangan lain baginya.
"Kami sudah lelah menunggu dan makanan sudah habis. Lalu, kamu
baru datang."
Dia berperan begitu netral di dalam rumah tangga, sejak dahulu dan
bertahan hingga kini.
***
Tidak seperti yang ia katakan saat berpamitan pada kedua orang
tuanya. Bukan pulang, Ghaly justru menghentikan mobilnya di jalanan
dekat gedung apartemen Tsamara. Dia memarkir mobilnya di depan
sebuah kedai pecel ayam di pinggir jalan. Kendaraan yang terlalu
mencolok berada di sana, namun ia bahkan tidak memedulikan akan itu.
Lelaki itu turun dari mobil, menoleh kanan dan kiri mencari tukang parkir
jalan, dan melambaikan tangan memintanya mendekat saat menemukan
seorang lelaki bertopi kusam dan menggenggam tongkat oren yang
menyala.
"Titip mobil, Pak," ucapnya sambil menyerahkan dua lembar seratus ribu
yang diterima lelaki tukang parkir dengan tatapan terkejut dan juga
senang di satu waktu.
"Kalau pun enggak saya izinkan, Bapak juga memaksa," cibir Tsamara.
"Habis? Masih sesore ini?" Sekilas Ghaly melirik arlojinya yang baru
menunjukkan pukul delapan malam lewat sedikit.
"Terus saya makan sama sambal doang?" Telinga Ghaly sedikit gatal
karena kekehan tawa mengejek Tsamara yang begitu memekakkan
gendang telinga.
Ghaly melirik meja Tsamara yang dipenuhi piring berisi potongan ayam
goreng dan sambalnya tampak begitu menggiurkan. "Ya sudah, deh,
enggak apa-apa. Banyakin sambalnya." Dia menyerah. Memang
nasibnya mungkin, menolak makan makanan Perancis di restoran
mewah, jadi sekarang harus cukup puas hanya makan malam dengan
sambal dan lalapan.
"Kenapa enggak nyari kedai lainnya aja, daripada cuma makan sambal
sama lalapan," ucap Tsamara, dia menyuwir daging ayam bagian dada
milik Alta dan disuapkan pada sang putra.
Dan semua keramaian itu lenyap seketika saat sebuah lengan mungil
terulur ke arah Ghaly, dengan potongan ayam di genggaman tangan.
Dia sangat malu kepada anak kecil yang hatinya begitu bersih.
***
Bab 20
"Tsa, kenapa diam? Ayo jalan, sudah semakin malam kasian Alta
kedinginan." Ghaly menegur saat disadarinya Tsamara tidak mengikuti
langkahnya, melainkan bertahan diam di berdirinya.
"Kamu yakin kita akan berdebat siapa yang menidurkan Alta. Bocah ini
mungkin akan lebih dulu bangun dan menangis karena tidurnya
terganggu."
Tsamara menyerah, ia menghela napas sekali lagi sebelum akhirnya
mengarahkan langkah ke depan pintu kamarnya dan membukanya.
"Tidurkan Alta di ranjang," ucapnya, membuka pintu kamarnya lebar-
lebar dan mempersilakan Ghaly memasuki kamarnya.
Demi Tuhan, jika dia sampai berani memajang foto Ghaly dan
tertangkap basah oleh lelaki itu. Entah dia akan dicemooh seperti apa
lagi.
Kali ini, Ghaly menoleh ke arah Tsamara, menatap perempuan itu begitu
lekat untuk beberapa saat. Baru kemudian mengedarkan tatapan ke
penjuru kamar secara terang-terangan, tidak peduli jika yang ia lakukan
adalah hal yang kurang sopan. Entah dilihat berapa kali pun, di kamar
itu memang tidak ada satu pun pigura pernikahan Tsamara dengan lelaki
lain. Dia hanya menemukan baju Tsamara yang tergantung di kapstok.
Bibir Ghaly sudah membuka, ingin memastikan sekali lagi jika Tsamara
memang tidak menikah dengan lelaki manapun lagi setelah perpisahan
mereka dulu, terlebih Leo. Namun, segera diurungkan saat Tsamara
membuka suara lebih dulu.
"Kamu enggak nawarin kopi atau sekadar air putih?" Dan Ghaly tidak
bisa menahan lidahnya untuk tidak mengungkap keinginannya.
Berharap bisa lebih lama dengan Tsamara. Nampaknya, menjadikan
perempuan itu sekretarisnya belum membuatnya puas, meski mereka
seharian berada di gedung dan lantai yang sama.
"Jadi, lain kali boleh?" Ghaly membalas cepat, tidak akan menyia-
nyiakan kesempatan.
Leo melangkah keluar lift, berhadapan secara dekat dengan Ghaly. Dia
tidak pernah bertemu tatap dengan Ghaly selama bertahun-tahun meski
tinggal di satu kota yang sama. Meskipun tak jarang Leo memiliki klien
dari kalangan pengusaha sekelas Ghaly.
Kali ini Ghaly meloloskan tawa remeh, yang ia yakin pasti membuat
telinga lawan bicaranya kali ini terasa panas. "Memang siapa kamu,
Leo. Suaminya?" Dia kemudian berdecih saat menemukan rahang Leo
tampak mengeras. "Kalian bahkan enggak berani berkomitmen. Jadi,
kamu enggak punya hak melarangku."
"Oh, ya?" Ghaly tak ingin mengalah. "Sahabat? Kekasih gelap?" Bola
matanya terarah pada lengan Leo yang hendak terangkat. "Kamu yakin
ingin baku hantam denganku di sini?"
"Di mana Tsa?" tanya Leo cepat. Saat pintu membuka menampilkan
Fanny di baliknya.
"Mas Leo—"
Leo berdecap. Sebal karena Tsamara malam ini terlihat begitu santai.
"Iya, aku berpapasan."
"Wah ... wah, ini ucapan orang yang beberapa waktu lalu khawatir
banget ketemu Ghaly. Lihat ... kamu terlalu santai." Leo berpangku
tangan di atas meja, menatap Tsamara dengan sinis. "Dan sekarang,
kamu justru jadi sekretarisnya."
Tidak ada jawaban lain yang bisa ia berikan pada Leo selain dua kata
itu. Dan karena ia paham betul, dengan jawabannya barusan, Leo akan
mengakhiri segala kecurigaan perihal dirinya yang menjadi sekretaris
Ghaly secara tiba-tiba.
"Karena sudah jelas aku bekerja dengan Ghaly, sekarang kamu lakukan
kewajibanmu, meminta maaf." Tsamara menunjuk kamar Fanny dari
balik bahunya. Senyumnya kembali mengembang saat Leo menurut dan
mengetuk pintu kamar Fanny.
***
Bab 21
Tsamara Btari berdiri dengan sedikit gugup di depan meja kerja Ghaly.
Di mana lelaki itu sedang sibuk memeriksa dan menandatangani
dokumen yang baru saja ia serahkan. Dia sesekali menggigit bibir
bawahnya, dan menggulirkan bola matanya ke arah lain, yang pasti
tidak pada sosok Ghaly yang tenang dalam duduknya. Bukan karena ia
terpesona akan ketampanan Ghaly yang luar biasa memukau siang ini.
Tidak. Bukan karena itu. Karena setiap hari tidak ada definisi lain selain
tampan untuk mendeskripsikan wajah Ghaly. Loh, mengapa ia malah
mengakui bagaimana tampannya wajah lelaki itu.
Perempuan itu berdecih lirih. Dia tidak ingin memuji Ghaly, namun justru
kata pujian itu yang berputar di kepalanya.
Hanya dua hari kerja, dan selesai. Tapi, di agenda, dia dan Ghaly tinggal
selama satu minggu di sana. Setelah dua hari itu, kemungkinan terbesar
Ghaly hanya akan memantau proyek, yang tentu saja tidak
membutuhkan keberadaan dirinya untuk mendampingi lelaki itu. Atau
mungkin saja seperti yang pernah Joana katakan, Ghaly akan memakai
waktu senggang itu untuk berlibur.
Tsamara tidak tertarik sama sekali untuk berlibur dengan Ghaly. Hanya
berdua. Bagaimana dia bisa berlibur dan bersenang-senang, jika putra
semata wayangnya berada di Jakarta dan menunggu kepulangannya.
"Apa yang sedang kamu pikirkan sedari tadi?"
"Kenapa dengan itu?" tanya Ghaly sambil menutup map hijau berisi
dokumen-dokumen yang sudah ia tanda tangani. Dia sudah selesai
sedari tadi sebenarnya, dan justru begitu puas memperhatikan Tsamara
yang mengerutkan keningnya begitu dalam. Tampak begitu jelas sedang
memikirkan sesuatu. "Kamu tidak ingin ikut ke Kalimantan?" tanyanya
lagi. Sebelum Tsamara sempat menjawab tanyanya yang pertama.
Kali ini senyum Ghaly mengulas sedikit lebar mendapati wajah terkejut
dan juga senang Tsamara di satu waktu. Perempuan itu pastilah tidak
akan tenang meninggalkan Alta. Dan ia juga tidak berniat mengusung
bocah lelaki itu ke Kalimantan untuk ikut dengannya. Karena yang ada,
bukannya Ghaly menyelesaikan pekerjaannya, ia justru akan
bersenang-senang dengan Alta. Mengajak bocah itu berlibur sepuasnya.
***
"Kenapa harus memilih gaunnya sekarang?" Tsamara mengayun
langkah dengan setengah hati menuju gedung butik yang cukup besar,
bertuliskan "Alyas Boutique"
"Saya bisa mencari gaun untuk saya sendiri." Menghadiri acara salah
satu teman Ghaly otomatis harus mengenakan gaun yang cukup pantas.
"Bukannya Bapak biasanya pakai tuksedo warna hitam. Itu akan cocok
disandingkan dengan gaun warna apa saja."
Warna kesukaan Ghaly, sejauh ini yang Tsamara ingat adalah hitam.
Dan jika menghadiri pesta resmi apa pun, lelaki itu akan selalu memilih
pakaian warna hitam. Katanya, hitam memancarkan karismanya.
Tsamara mencebik pelan. Dia kira, dia sudah lupa akan semua detail
tentang Ghaly. Nyatanya, detail-detail kecil tentang lelaki itu pun masih
begitu hangat diingatannya. Jadi, harus bagaimana lagi ia
menyingkirkan ingatan tentang Ghaly di masa lalu ketika lelaki itu
dengan jelas berada di hadapannya setiap waktu.
"Aku suka yang warna itu." Ghaly menunjuk satu gaun yang terpajang di
manekin. Dan ucapan lelaki itu berhasil membawa Tsamara untuk
menatap arah tunjuk Ghaly. Sebuah gaun berwarna Lilac yang begitu
soft. Gaun panjang polos dengan punggung terbuka dan bertali
spaghetti.
"Bapak mengatakan kalau pestanya di dekat pantai. Saya akan masuk
angin jika mengenakan gaun itu," Tsamara berkomentar saat seorang
pegawai butik hendak melepaskan gaunnya dari manekin.
"Saya pilih gaun ini." Tsamara menunjukkan gaun hitam panjang yang
begitu tertutup.
Tidak lama kemudian, Tsamara sudah memegang dua gaun lain. Satu
gaun brokat berwarna putih berlengan panjang dan bagian bawah yang
menjuntai sampai mata kaki. Satu gaun lagi berwarna krem keemasan
yang juga berlengan panjang hanya saja belahan bawahnya sampai ke
lutut.
"Saya akan pilih yang ini saja." Tsamara mematut gaun putih itu sekali
lagi di depan tubuhnya. Memang rasanya hanya gaun itu yang paling
pantas ia kenakan. Tidak terlalu sederhana tapi tidak terlalu mewah
juga.
"Kalau tidak mau, ya, sudah, saya pilih gaun hitam sebelumnya saja."
Kali ini Tsamara berusaha berkeras dengan keputusannya.
Ghaly menyerah. "Oke. Tapi aku ingin melihat kamu mencobanya lebih
dulu."
Sial. Dia ingin melihat Tsamara tampil dengan gaun. Pasti begitu cantik.
Ah, Ghaly merasa pening tiba-tiba. Dia harus menahan diri untuk melihat
Tsamara mengenakan gaun sampai dua minggu ke depan.
***
Bab 22
Dua minggu berlalu dengan sangat cepat. Kini, Tsamara harus menepati
janjinya untuk menemani Ghaly menghadiri pesta anniversary
pernikahan salah satu teman. Pesta itu diadakan di pulau Anyer,
Kepulauan Seribu. Private party yang hanya dihadiri keluarga dan
beberapa teman dekat, kata Ghaly.
Lelaki itu dengan seenak jidat memesan satu kamar penginapan cukup
besar untuknya, juga mengajak Alta dan Fanny turut serta. Tsamara
tidak bisa menolak keinginan Ghaly saat itu. Karena lelaki itu secara
terang-terangan mengungkapnya di depan Fanny dan Alta. Respon
sang putra teramat antusias mendengar pantai yang Ghaly sebutkan.
Alta mengangguk antusias. "Jagain Mama, ya, Om," kata bocah itu
terlalu ringan.
Kalimat singkat yang keluar dari bibir mungil Alta berhasil membuat
Ghaly dan Tsamara tersentak bersamaan. Jika Ghaly mengulas senyum
teramat lebar, dan merasa amat tersentuh dengan pesan yang Alta
suarakan, maka Tsamara justru melempar tatapan mematikan ke arah
Fanny yang meringis tanpa dosa.
"Oh, wajar saya enggak pakai berlian, karena saya memang hanya
seorang pegawai."
"Kamu harus memakai ini. Biar kamu enggak malu-maluin aku." Ghaly
ingin sekali mendengkus kesal karena Tsamara tidak bisa menerima
begitu saja apa yang ia berikan. Walaupun pada dasarnya, ia lah yang
memantik Tsamara bersikap menyebalkan seperti itu.
"Tsa," desah Ghaly lelah. "Aku pinjami. Plis, kamu harus pakai
kalungnya malam ini."
Dia justru menaruh curiga pada Ghaly yang tiba-tiba perhatian kepada
dirinya.
***
Di tengah pesta, Tsamara hanya terus mengikuti Ghaly ke mana pun
lelaki itu pergi untuk menemui beberapa kenalan yang turut serta
diundang. Dan seperti sekarang, ia dan Ghaly sedang berdiri di hadapan
tiga orang laki-laki yang Tsamara perkirakan usianya sudah menginjak
angka 40 tahun.
Tsamara menjabat tangan ketiga-nya bergantian, seraya
memperkenalkan diri, dan mengulas senyuman semanis mungkin. Ia
harus menjaga sikapnya.
"Kamu enggak ingin memakan apa pun?" Ghaly melirik Tsamara setelah
hanya tertinggal ia dan perempuan itu.
Ghaly meloloskan tawa lirih. "Enggak akan ada yang marahin kamu
kalau makan dulu walaupun belum bertemu tuan rumah."
"Tetap saja, saya sungkan. Terlebih saya tidak mengenal tuan rumah."
Tsamara mengedarkan tatapan ke sekitar. Pesta terbuka di tepi pantai
malam ini dirancang begitu cantik dengan dominasi warna putih.
Suasana yang tenang dan hangat terasa begitu kekeluargaan bagi
Tsamara.
Ini aneh, Tsamara merasa begitu cengeng malam ini. Sejak Ghaly
memasangkan kalung di lehernya, Tsamara sadar ia menjadi begitu
lunak dan penurut pada lelaki itu.
Wajah Tsamara pias seketika mendengar sebutan yang keluar dari bibir
Ghaly. Susah payah ia menoleh ke arah lelaki itu dan hanya
menemukan cengiran di wajah mantan suami yang seenak jidat
memperkenalkan dirinya sebagai kekasih. Ayolah, romansa di antara
mereka sudah kandas sejak lima tahun lalu.
"Bukan, saya—"
"Hanya malam ini, kok, Tsa, nurut, ya. Ini cuma status pura-pura."
"Bawa kekasih salah, bawa sekretaris lebih salah lagi." Ghaly berdecak,
setengah berkelakar.
"Jadi, sudah enggak ada harapan untuk semua klien Badrayudha Realty,
yang sangat ingin jadiin kamu menantunya?" Athar bertanya menggoda.
Padahal Ghaly yakin dia bukan sosok yang berpengaruh di negeri ini.
Kerjaannya pun kecil-kecilan, cuma bikin kota baru. Dia sendiri tidak
cukup yakin, mengapa semua orang gencar sekali melamar dirinya
untuk dijadikan menantu. Ah, mungkin saja memang wajahnya yang
begitu tampan rupawan.
Dia tidak meragukan akan itu. Untuk beberapa kali pertemuan mereka di
awal-awal dulu, Ghaly memang selalu berusaha mengintimidasi dirinya,
dan siapa pun.
***
Bab 23
"Kamu suka pestanya?" Ghaly yang turut serta melepas sepatunya dan
telah menggulung celananya sedikit mengulas senyuman melihat
Tsamara yang cukup bersahabat dengannya malam ini.
"Pernikahan mereka di tahun yang sama dengan kita, dulu. Jika kita
masih bersama, mungkin kita akan memiliki putra seperti mereka. Andai
saja dulu kita—"
Ghaly tahu, Tsamara tidak akan membiarkan dirinya lepas begitu saja
setelah pengakuan sepihaknya di pesta tadi. "Aku enggak punya
pilihan."
Seulas senyum terbit di ujung bibir Ghaly melihat Tsamara yang asyik
dengan sedikit kesenangannya malam ini. Setidaknya, di antara begitu
banyak perdebatan dan lontaran kalimat sengit, ia bisa menemukan
perempuan itu nyaman di dekatnya. "Kamu sesuka itu jalan-jalan
denganku?"
"Ya," balas Tsamara ringan. Kemudian ia mengerjap saat menyadari
pertanyaan Ghaly. Dia melirik lelaki itu yang mengulas senyuman begitu
manis. "Maksud saya, saya senang jalan-jalan di pantai seperti ini."
"Tidak."
"Masa?"
Ia sungguh tidak ingin terbuai dengan sikap dan perkataan lelaki itu
yang terasa amat perhatian. Dia tidak ingin terjatuh. Meski sejak dulu
pun, hanya pada Ghaly ia membiarkan dirinya terjatuh amat dalam.
"Tolong, biarkan aku seperti ini sebentar saja, Tsa." Ghaly melirih
dengan bola mata memejam. Memeluk Tsamara sedemikian erat.
Seolah sedang menunjukkan luka-nya yang selama ini tidak pernah ia
perlihatkan pada dunia. Dia ingin sebentar saja merasakan kehangatan
yang tak pernah ia dapatkan bertahun-tahun ini.
***
Pukul delapan pagi selepas sarapan, Tsamara beserta Alta, Fanny, dan
Ghaly memilih bermain di pantai. Tsamara hanya berperan sebagai
pengamat dari kejauhan. Memperhatikan Alta dan Fanny yang asyik
bermain di pantai. Alta tidak lepas dari dekapan Ghaly. Pemandangan
itu justru membuat Tsamara merasa begitu terenyuh.
Papanya?
"Kamu sakit?"
"Alta keliatan suka banget di sini. Kayaknya kita perlu ambil satu malam
lagi di sini. Balik Senin sore," ucap Ghaly dengan tatapan terarah pada
Alta dan Fanny yang sedang bermain pasir.
"Maka, kembalilah padaku, Tsa. Agar kamu bisa jadi bosnya juga."
"Mama!"
"Om Ghaly bisa bikin? Alta mau lihat." Alta menatap Ghaly penuh
semangat. Lupa jika lututnya terluka.
"Daripada bikin, lebih baik aku beli sama toko kerajinannya sekalian,"
gumam Ghaly lirih.
"Bapak harus mulai merubah sikap, untuk bisa lebih menghargai proses,
menghargai kebersamaan, sesingkat apapun itu."
Fanny yang baru saja mendekati Tsamara dan Alta dengan nafas yang
tidak beraturan segera berucap lirih, "Daripada Alta ngambek, ajak
pulang sekalian Mas Ghaly. Lagi pula Mbak kenapa sih kayak sebel gitu
sama Mas Ghaly, perasaan tadi kalian baik-baik aja."
Satu kalimat ringan berikutnya yang lolos dari bibir tipis Alta membuat
Tsamara terkesiap. Perempuan itu menatap Ghaly yang juga sama
diamnya seperti dirinya. Dan ia segera mengalihkan tatapannya. Terlalu
khawatir jika Ghaly menemukan kepedihan di matanya.
Mereka tampak seperti keluarga kecil yang bahagia. Dan mungkin bisa
sebahagia itu, jika Ghaly memiliki sedikit saja kerendahan dan
kemurahan hati. Tidak mengikuti amarah di dalam dadanya.
***
Bab 24
Liburan telah usai. Senin pagi, Tsamara harus kembali berperan sebagai
sekretaris Ghaly Badrayudha yang profesional. Atau tidak? Karena
nampaknya, Joana tidak akan dipindah tugaskan dari jabatannya kini.
"Aku enggak lagi bicarain Ghaly sama rekan kerjanya. Tapi, sama kamu.
Gimana? Ada tanda-tanda CLBK enggak?" Joana menggoda dengan
antusias level tinggi. Dia seolah tidak peduli pada Tsamara yang
membawa oleh-oleh atau tidak, pagi ini.
Itu suara menyebalkan Ghaly. Memang siapa lagi yang bisa lebih
menyebalkan dari lelaki itu.
"Enggak gitu juga, Pak Ghaly ngasihnya. Ucapan yang manis, kan, bisa.
Kayak, Tsa udah sarapan? Nih, aku bawain. Dimakan, ya. Kubungkus
pakai kasih sayang."
"Tidak ada tapi-tapian," Ghaly membalas tajam. "Dan saya tidak ingin
menemukan celah kesalahan." Setelahnya Ghaly melenggang masuk ke
ruang kantornya, diiringi bibir terkulum geli yang tidak ingin ditunjukkan
pada siapa pun.
"Tsa."
Berbeda dari dua perempuan yang berhasil ia buat sibuk pagi ini. Ghaly
justru terduduk di tepian meja kerjanya, menyilang kaki dan membuka
layar ponselnya yang menampilkan siluet seorang perempuan
memangku bocah lelaki. Itu foto Tsamara dan Alta yang ia ambil diam-
diam saat menikmati pemandangan matahari pagi ditepian pantai. Jika
seseorang melihat kelakuannya ini, mungkin tidak sedikit yang akan
menuduh dirinya yang bukan-bukan. Padahal, ia hanya senang saja
melihat siluet dua orang itu.
Dan dia bertambah senang pagi ini, karena masih mendapati kalung
yang ia berikan—pinjamkan pada Tsamara masih tampak menyembul
dibalik pakaian kerja perempuan itu. Semoga saja Tsamara memang
suka dengan kalung yang ia belikan dan tidak akan melepasnya.
***
Tsamara dan Joana berjalan bersisian memasuki kantor selepas makan
siang di salah satu restoran, tidak begitu jauh dari gedung kantor.
Keduanya sedang asyik membahas menu makan siang mereka yang
memanjakan lidah dan kantong, namun terinterupsi karena melihat
Ghaly dari kejauhan, berlainan arah dengan mereka. Lelaki itu berjalan
cepat dengan tatapan tak lepas dari Joana dan Tsamara. Membuat dua
perempuan itu menduga jika mereka akan diomelin karena keasyikan
berada di luar kantor.
"Kapan aku bisa lihat wajah si bos yang manis dan menggemaskan,
enggak nyeremin macam singa yang mau makan buruannya," Joana
berbisik saat Ghaly berjarak lima meter darinya.
"Aku ingin mengajak Alta makan malam bersama, boleh?" tanya Ghaly,
kedua bola matanya berpendar tampak dipenuhi permohonan. "Tiba-tiba
aku merindukannya," imbuhnya dengan suara lebih lirih namun jelas
terdengar kemantapan di sana.
Joana menatap Tsamara dengan tanda tanya sedemikian besar. Ada
satu nama asing yang menyapa gendang telinganya.
Namun, yang keluar dari bibir Tsamara justru satu kata singkat yang
berhasil membuat Ghaly mendesahkan napas penuh kelegaan. "Boleh."
Dan ia sadar, ia sudah kehilangan akalnya sejak memperbolehkan
Ghaly berada di sekitar Alta.
Mau bagaimana lagi, tatapan Ghaly yang hangat dan nada suaranya
yang lembut seolah mengikis perlahan batu egois yang ia bangun
bertahun-tahun ini.
"Ya, ada yang aneh untuk itu?" Alis Ghaly naik sebelah menatap Joana
sebelum akhirnya luruh saat ia beradu pandang dengan Tsamara. "Aku
ada urusan di luar siang ini sampai sore, tapi, nanti aku akan jemput Alta
dan Fanny. Kamu tinggal bilang mereka untuk siap-siap saja."
"Jo, ingat reservasi restoran untuk malam ini," ingat Ghaly pada Joana,
dan ia menambahkan satu kalimat ajakan, karena teringat Joana yang
sudah terlalu banyak membantunya belakangan ini. "Kamu juga bisa ikut
makan malam sama kita, biar tambah ramai." Suasana hatinya hari ini
memang sedang benar-benar baik.
Mendengar ajakan Ghaly pada Joana, Tsamara mendelik saat itu juga.
"Tunggu, tunggu ... sebelumnya, siapa Alta?" tanya Joana,
memberanikan diri mengutarakan kebingungannya sedari tadi. Dia ingat
Fanny, itu adik Tsamara, pasti. Tapi siapa Alta?
"Kamu tega enggak cerita itu padaku. Kamu anggap aku apa, Tsa?"
keluh Joana, penuh drama.
"Pembohong."
"Seperti yang kamu tahu, aku memang tidak menikah kembali. Dan aku
punya seorang putra, namanya Alta. Aku besarkan seorang diri."
Tsamara memulai ceritanya. "Sebenarnya, aku enggak ingin
memperkenalkan Alta pada siapapun yang mengenalku sebelumnya
termasuk Ghaly, tapi Jakarta tidak seluas yang aku pikirkan. Karena aku
justru bekerja di kantor Ghaly dan bertemu kamu juga."
"Ya Tuhan, Tsa," Joana tidak kuasa mendapati satu fakta itu. Dia segera
memeluk Tsamara begitu erat. "Itu pasti berat buat kamu?"
"Sejujurnya enggak seberat itu, aku baik-baik saja," ucap Tsamara. Dia
mungkin sudah terbiasa dengan hari-hari yang buruk dan berat. Karena
masa-masa paling berat yang ia alami adalah ketika ia berpisah dengan
Ghaly dan menjalani sembilan bulan mengandung putranya dengan
terus menangisi lelaki itu.
***
Bab 25
"Halo, Tante."
"Aw, makasih." Gemas, Joana mencubit pipi Alta. "Ganteng banget anak
kamu, Tsa," imbuhnya memuji. Dia menegakkan berdirinya untuk
menatap Tsamara yang berdiri bersisian dengan Ghaly. Dia kemudian
mendecap lirih, Ghaly selalu tahu untuk memanfaatkan dirinya.
"Karena aku ibunya, jelas dia harus setampan itu," kata Tsamara lirih
setengah bercanda, dan sedikit mengedipkan sebelah matanya. Dia
sudah mengatakan pada Joana untuk tidak membuka fakta tentang
siapa Alta yang sesungguhnya pada Ghaly. Dia tetap akan memegang
ego-nya untuk tidak memberitahu Ghaly.
Alta bersuara saat Tsamara menarik salah satu kursi dan bersiap
mengangkat tubuh mungil sang putra untuk didudukkan.
"Tentu saja Alta bisa duduk di dekat Om," kata lelaki itu dengan
senyuman terulas lebar. Ghaly pun mengangkat Alta untuk duduk di
kursi, ia berada di sisi kanan Alta, dan Tsamara di sisi kiri bocah itu.
Pemandangan itu begitu membuat takjub Joana yang baru kali ini
melihat kedekatan Alta dan Ghaly. Perempuan itu semakin tidak bisa
berkomentar saat sepanjang acara makan, Ghaly dan Alta tampak sibuk
dengan dunia mereka.
"Om Ghaly."
"Tapi, jangan bilang Mama, ya," imbuh Alta masih berbisik amat lirih.
Ghaly mengusap puncak kepala Alta penuh sayang dan bangga. Bocah
tampan di sampingnya ini memang luar biasa pintar. "Iya, Sayang."
Di sisi lain, Tsamara yang curiga dengan obrolan dua laki-laki berbeda
usia itu, segera saja bertanya, "Alta lagi ngomongin apa sama Om
Ghaly?"
Ghaly sudah akan menjawab, namun Alta lebih dulu bersuara dengan
kepolosan level tinggi.
"Alta minta belikan es krim sama Om Ghaly. Eh, lupa, enggak boleh
bilang Mama," kata Alta dengan suaranya yang ceria, sambil menutup
mulutnya dengan tangan seolah menyesali keceplosannya.
Reaksi berikutnya yang semua orang di meja itu berikan adalah tawa
geli. Tidak kuasa melihat tingkah Alta yang amat menggemaskan.
"Hanya es krim, boleh, kan, Tsa? Enggak banyak, kok," kata Ghaly
seraya melempar sorot mata penuh pengertian.
"Boleh, ya, Ma." Alta tidak tinggal diam. Berusaha mendapat izin dari
sang ibu.
Ghaly bergerak cepat dengan memanggil salah satu pelayan, dan mulai
membuka buku menu yang menampilkan beragam es krim. "Alta suka
yang mana?"
"Alta mau yang stroberi," tunjuk Alta pada salah satu gambar es krim
berwarna putih dan merah muda yang di atasnya dihiasi stroberi.
Ghaly tidak memaksa. Dia kembali fokus pada Alta yang kali ini mulai
bercerita padanya tentang sekolahnya, hingga dering ponsel yang ia
simpan di saku celana terdengar berdering. "Alta, Om angkat telepon
dulu, ya," kata Ghaly sambil menunjukkan ponselnya yang berdering
dan bangkit dari duduknya.
"Alta ikut, Om." Alta turut serta turun dari duduknya, cekatan
menggandeng Ghaly.
"Aku ke depan sama Alta, ya, Tsa. Bentaran, kok," pamit Ghaly yang
dibalas anggukan dari Tsamara.
***
Sepanjang perjalanan menuju apartemennya, entah berapa kali
Tsamara melirik Ghaly di sampingnya yang fokus pada kemudi dan
jalanan. Ucapan Joana tentang kemungkinan Ghaly sudah menyadari
siapa Alta terus saja membayang di benaknya.
"Apa malam ini wajahku bertambah tampan berkali lipat?" Ghaly melirik
Tsamara dengan senyuman menggoda.
"Huh?" Tsamara berkedip, sedikit salah tingkah. Tidak menyangka
dirinya akan tertangkap basah begitu.
"Saya tidak menatap Bapak sedari tadi," ucap Tsamara, masih berusaha
menjelaskan, bersamaan dengan mobil yang berhenti di depan lobi
apartemen. "Terima kasih untuk makan malamnya dan sudah mengantar
kami pulang." Dia kemudian membuka pintu mobil dan segera turun,
untuk kemudian mengangkat Alta yang duduk di kursi belakang bersama
Fanny. Sedangkan Joana pulang sendiri, menolak diantar pulang oleh
Ghaly.
"Tidak perlu, Pak. Kami bisa sendiri," tolak Tsamara yakin. Dia sudah
akan melanjutkan ucapan untuk meminta Ghaly segera pergi, namun
teriakan Alta yang memanggil seseorang mengurungkan niatnya.
"Om Leo."
"Kalian habis dari mana?" tanya Leo, setibanya ia di dekat Tsamara dan
Alta—yang menyambut kedatangannya dengan suka cita. "Aku ke
apartemen kalian tadi, dan sepi."
"Ah, iya, maaf, lupa enggak kasih tahu kamu kalau kita makan malam
sama Ghaly. kupikir kamu masih di Bandung," ucap Tsamara. Karena
satu minggu kemarin, Leo memang ada proyek di Bandung. Mendesain
ulang sebuah gedung pertemuan.
Sesuai titah dari Tsamara, Fanny segera mengajak Alta masuk lebih
dulu dengan tidak lupa menggandeng Leo.
"Leo tinggal di sini?" tanya Ghaly menebak. Tatapannya tidak lepas dari
Alta yang menjauh darinya, diiringi dengan lambaian tangan. Padahal ia
yang ingin mengantar Alta sampai ke tempat tidur.
Lelaki itu sudah cukup bahagia hanya karena mendapati Tsamara dan
Leo tidak tinggal bersama.
***
Bab 26
"Ghaly."
"Astaga, aku enggak nyangka kalau kamu akan mencariku seperti ini.
Kalau kamu rindu, aku bisa kapan saja mampir ke kantormu," ucap Elsa
lagi, dengan kepercayaan diri tingkat tinggi.
"Apa? Kenapa bisa? Dia sudah memiliki anak tanpa status. Kalau
orang-orang di luar tahu tentang Tsamara, bukankah akan merusak
citramu," Elsa berucap panjang, tidak percaya jika selama ini
tetangganya sendiri bekerja dengan Ghaly.
Ghaly mengeraskan rahangnya. "Itu bukan urusan kamu. Dan berhenti
membicarakan seseorang, jika kamu tidak cukup mengenalnya." Selesai
mengatakan itu, dia segera berbalik hendak memasuki mobilnya.
"Ghaly, jangan pergi dulu, kita bisa ngopi sambil ngobrol." Elsa
memburu, menahan lengan Ghaly yang membuka pintu mobil. "Atau
kamu bisa mampir ke apartemenku dan menginap. Kita bisa
menghabiskan malam—"
Elsa berdecak kesal dengan tatapan yang terus terarah pada mobil
Ghaly yang perlahan menghilang dari pandangan. Dia tidak menyangka
bisa bertemu Ghaly di gedung apartemennya, dan semakin tidak
percaya saat tahu jika tetangganya adalah sekretaris Ghaly.
"Tsa, kita harus bicara," katanya langsung, saat pintu terbuka dan
menampilkan Tsamara di baliknya.
"Satu lagi, kalau kamu berani mengadu pada Ghaly yang tidak-tidak
tentangku, kamu akan merasakan akibatnya," ancam Elsa.
"Siapa, Tsa?"
Tsamara menatap Leo yang berdiri di dekat pintu dapur. "Bukan hal
penting, hanya perempuan yang khawatir tunangannya digoda orang."
"Ha?" Leo mengedip, tidak mengerti. Namun tidak memperpanjang
obrolan. Memilih kembali ke dapur diikuti Tsamara. Di meja makan
sudah ada Fanny dan Alta yang menyantap martabak telur.
"Buat Mama, Alta yang simpenin. Tapi, nanti Alta minta lagi, ya."
***
Tsamara menunggu kedatangan Ghaly di depan lobi apartemennya
dengan sesekali melirik arlojinya. Sudah lima belas menit dia berada di
sana, namun sang bos tak juga menunjukkan tanda-tanda kedatangan.
Harusnya ia menolak saja saat Ghaly ingin menjemputnya, mereka bisa
bertemu di kantor saja, baru setelahnya berangkat bersama untuk
meeting.
Fanny dan Alta sudah berangkat bersama Leo, dengan sejuta kata
bahwa ia akan baik-baik saja ditinggal sendirian.
"Maaf, kesiangan. Aku mampir beli sarapan dulu," sambut Ghaly, saat
Tsamara berhasil mengambil duduk di sampingnya.
"Sudah. Itu buat kamu." Ghaly melirik sesaat ke arah Tsamara dengan
senyuman mengulas di bibirnya.
"Itu makanan kesukaan kamu, dari restoran langganan kita dulu," Ghaly
meloloskan kalimat itu dengan sedemikian ringan.
Sejak makan malam bersama Tsamara dan Alta di tenda pinggir jalan,
keinginan Ghaly untuk menciptakan satu kesempatan lagi dengan
Tsamara kian besar. Dia meluruhkan segala prasangka buruk dan masa
lalu yang tidak ingin ia ingat lagi.
Segala sikap menyebalkan yang lelaki itu lakukan hanyalah satu usaha
untuk menutupi serapuh apa perasaannya.
"Aku akan hancur kalau kamu meninggalkanku, Tsa. Dan aku akan
membenci diriku sendiri karena melepaskanmu. Semua yang kita lalui
tidak pernah mudah sedari dulu. Dan kita bertahan, karena kamu begitu
berharga untukku. Di dalam kehidupanku."
Jika ia melonggar pada Ghaly itu sama saja dia memberi kesempatan
pada hatinya untuk terluka sekali lagi.
Ghaly tertawa. "Dia bukan tunangan aku. Jangan ngaco, Tsa. Memang
siapa yang bilang?" tanyanya. Sebelum Tsamara menjawab, dia sudah
lebih dulu menyimpulkan. "Elsa, ya?" Kemudian ia menggeleng. "Mami
yang merencanakannya. Tentu saja aku tidak peduli dan tidak setuju.
Lalu untuk sebutan palsu—katamu, aku ingin itu menjadi nyata. Tidak
bisa, kah?"
"Tidak bisa, tentu saja." Tandas Tsamara. "Perempuan yang cocok untuk
Bapak Ghaly Badrayudha adalah yang secantik dan seseksi Elsa, dan
yang jelas satu kelas dengan keluarga Bapak," sindirnya, terlalu berani.
***
Bab 27
"Boleh, dong. Hati-hati, ya, mainnya," pesan Tsamara pada sang putra
yang segera dibalas anggukan ceria.
Bocah tampan yang sore ini mengenakan celana jeans sebatas lutut dan
kaus putih bergambar kapal itu segera berlari menuju perosotan.
"Alta suka mainan apa, Tsa? Kebetulan aku lagi di toko mainan."
"Tsamara."
"Saya tahu itu kamu, Tsa. Tidak menyangka sore ini saya bertemu
denganmu."
"Hai, Om. Tsa baik. Bagaimana kabar Om?" tanyanya. Berusaha keras
meluruhkan kekakuan yang menyergapnya.
"Naik 5 lantai dari lantai kantor Ghaly memang jauh sekali, bukan? Saya
maklum untuk itu."
"Kamu dijebak?" tebak Joe, lalu tertawa pelan mendapati Tsamara yang
begitu terkejut.
"Tsa," panggil Joe, serius. Namun bersamaan dengan itu seruan anak
kecil terdengar mengudara.
"Tunggu ... kamu sudah menikah lagi?" Joe terkejut. Dia menatap
Tsamara tidak percaya. Kemudian mendesis kesal. "Dan Ghaly masih
memanfaatkan kamu menjadi tamengnya dengan berpura-pura kalian
bertunangan?"
"Om tahu tentang itu?" tanya Tsamara lirih.
Joe menghela nafas begitu panjang. "Jujur saja, Om senang saat tahu
kemungkinan kamu dan Ghaly bisa kembali bersama, berdasarkan
permainan konyol yang Ghaly buat. Tapi, saat tahu kamu sudah
berkeluarga, permainan itu harus segera diakhiri. Saya tidak ingin
tingkah Ghaly justru mengusik kehidupanmu sekarang."
Joe yang melihat Alta dari dekat untuk pertama kali justru tampak
termenung. Dua manik matanya seolah tidak ingin beralih dari wajah
tampan menggemaskan milik bocah laki-laki yang kelihatan begitu
kehausan.
"Saya justru senang, Tsa. Ini pertama kalinya saya dipanggil Kakek. Itu
benar-benar membahagiakan. Seperti saya memiliki cucu sendiri." Joe
berkedip, melirik Tsamara dengan tatapan penuh keteduhan. "Enggak
apa-apa, kan, saya menganggap Alta cucu saya. Karena bagaimanapun
kita dulu sempat menjadi keluarga."
Satu kalimat itu tentu hanya berani Tsamara suarakan di dalam hatinya.
"Boleh, kok, Om. Enggak apa-apa. Alta pasti senang punya satu kakek
lagi."
"Kalau lain kali saya ingin bermain dengan Alta, boleh? Tentu saja saya
tidak akan memaksa."
Hingga hari mulai gelap, barulah Joe pamit pulang diantar Alta dan
Tsamara sampai ke depan taman. Sopir pribadi Joe sudah menunggu di
samping mobil. Sopir yang sama dengan yang Tsamara kenal dulu.
Pertemuan ini jelas bukan sebuah kebetulan, Tsamara tahu akan itu.
Itu mustahil.
***
Bab 28
"Bikinan aku, Mbak. Pasti terlalu enak, ngalahin kue bikinan toko."
Fanny menyikut lengan Tsamara. Tersenyum penuh kebanggaan karena
akhirnya berhasil membuat kue enak, setelah banyak drama
sebelumnya. Dari yang adonan bantat hingga nempel dicetakannya.
Padahal kue bikinannya kali ini pun bukan kue spesial, hanya tart lapis
yang ia hias dengan cream dan stroberi di atasnya.
"Alta suka sama Kakek Joe?" Tsamara mengusap sudut bibir Alta yang
tertempel krim. Binar bahagia di mata sang putra akan kemungkinan
pertemuan kembali dengan Joe membuat banyak sekali perasaan
menyesaki dadanya.
Sebenarnya, Alta bukan tipe anak yang bisa semudah itu akrab dengan
orang baru, memang sikapnya selalu menggemaskan di depan siapa
pun. Tapi untuk menagih janji pertemuan adalah satu hal yang jarang
sekali Alta lakukan, terhadap orang yang baru ditemuinya.
Joe bersikap begitu perhatian dan tampak sangat nyaman dengan Alta,
pantas saja jika sang putra pun menyukai mantan ayah mertuanya itu.
"Alta janji akan jalan sendiri," Alta berucap mantap. Tersenyum senang
saat Fanny datang dan memberikan kue miliknya.
"Mbak rasa, Om Joe enggak curiga sama sekali. Hanya saja, dia
langsung suka sama Alta."
Fanny mengedikkan bahu. "Memang siapa yang tidak akan jatuh cinta
sama Alta, Mbak. Bocah itu punya aura memikat yang luar biasa.
Tampan dan menggemaskan banget. Aku yang udah liat tiap hari aja,
jatuh cinta lagi dan lagi," ucapnya berlebihan.
Tsamara terbahak, jika memuji Alta, Fanny memang tidak nanggung-
nanggung. Tinggi banget.
***
Joe Badrayudha memijit pelipisnya sembari memejamkan mata. Dia
mengingat baik-baik pertemuannya dengan Tsamara dan Alta kemarin
sore. Senyum Alta yang begitu manis sungguh mengingatkannya pada
senyuman milik putra semata wayangnya.
Joe mendesis, lalu menggeleng pelan. Sama sekali tidak bisa membaca
apa yang sedang putranya pikirkan dan rencanakan. "Papi enggak
pernah mengajarimu untuk merusak rumah tangga siapa pun."
Detik itu Ghaly meledakkan tawa. "Ghaly pikir, Papi sudah mencuri data
diri Tsamara dari kantor Ghaly."
"Itu bukan mencuri, Papi hanya memeriksa biodata sekretaris baru yang
kamu rekrut tiba-tiba."
"Lalu Alta?"
"Papi bertemu Alta juga?"
***
Tsamara memperhatikan punggung Ghaly yang berdiri di depannya,
tampak serius menjawab panggilan telepon. Lelaki itu sedang
menghadap pada kaca di ruang kantor, yang menyuguhkan
pemandangan siang kota Jakarta. Sedangkan ia duduk manis di sofa,
hendak melaporkan schedule Ghaly untuk satu minggu ini.
"Menunggu lama?"
"Secara tidak sengaja kami bertemu. Dan tidak ada pembicaraan aneh-
aneh seperti yang Bapak kira." Tsamara berusaha menjawabnya
dengan begitu tenang. Meski sejujurnya dadanya bergemuruh dipenuhi
banyak sekali kemungkinan. Joe dan Ghaly bisa saja membicarakan
dirinya dan Alta. Dalam banyak hal, Joe adalah yang paling jeli, dan
tidak menutup kemungkinan untuk menyinggung tentang Alta pada
Ghaly. Tsamara mengingat bagaimana ekspresi Joe kemarin sore saat
melihat Alta untuk pertama kali.
Tidak ada tatapan terkejut dan curiga sedikitpun. Tsamara yakin akan
itu.
"Kapan-kapan kita makan malam bersama dengan Papi. Ajak Alta juga."
"Papi pasti senang, tidak seperti yang kamu khawatirkan, Tsa." Ghaly
mengimbuhi kalimatnya dengan bisikan lirih, "Katanya kamu tambah
menawan setelah bertahun-tahun enggak bertemu."
Tsamara terbatuk saat itu juga. Sangat berbeda dengan Ghaly yang
justru tertawa, tampak sangat puas dengan satu kalimat yang ia
suarakan barusan. Meski jelas, ayahnya tidak akan mengatakan itu.
Hingga obrolannya dengan Joe sebelumnya melintas diingatannya.
Setiap Ghaly lebih mendekat pada Alta, saat itu juga Ghaly tahu, ia tak
perlu alasan untuk tersenyum. Tidak seperti bertahun-tahun ini, ketika ia
mendekap kegelapan di dalam hidupnya. Dan ia bisa menyimpulkan
satu fakta menyenangkan, bahwa ia semudah itu menyayangi Alta. Dan
ibu bocah itu tentu saja.
"Lalu kenapa kamu diam saja?" Joe kembali bertanya bingung. Tidak
habis pikir, kenapa sang putra justru memilih diam selama ini. "Jika Alta
memang anak kamu. Kamu tahu pasti, kamu harus bagaimana? Dia
butuh sosokmu, sebagai ayahnya."
"Tapi untuk menikah dengan Tsamara, yang kedua kalinya?" tebak Joe
tepat sasaran. Tawanya mengudara saat sang putra mengangguk yakin.
Ada puluhan kali perempuan cantik dan pintar, juga kaya raya yang
ditawarkan pada Ghaly untuk diperistri, namun berpuluh kali itu juga
Ghaly menolaknya dalam satu kalimat.
Dan tentu saja Ghaly menolak, karena hanya ada Tsamara di dalam hati
putra—bodohnya.
"Jadi, kalau mungkin Alta bukan anak kamu. Kamu tetap akan menikah
dengan Tsamara?" tanya Joe, sedikit bermain-main dengan perasaaan
putranya.
"Ya. Ghaly tetap akan menikahi Tsamara," jawab Ghaly, dalam satu
tarikan nafas. "Terlepas dari siapa pun Alta, Ghaly pun sudah sangat
menyayangi anak itu." Ghaly tertawa mengingat wajah Alta. "Alta sangat
menggemaskan, bukan?"
"Lebih menggemaskan Alta daripada kamu saat kecil dulu." Joe menjalin
jemarinya di atas pangkuan, menatap Ghaly serius. "Lalu untuk alasan
perceraian kalian dulu, bagaimana? Papi hanya tidak ingin kamu masih
menyimpan amarah akan itu."
"Sungguh?"
Joe menatap kekalutan di wajah sang putra. Tidak ada yang bisa
membaca bagaimana cara berpikir Ghaly. Dan tidak ada yang bisa
mengerti bagaimana perasaan lelaki itu sesungguhnya. Bahkan
termasuk dia, ayahnya sendiri.
"Itu masa lalu, yang sudah seharusnya dilupakan dan dimaafkan." Ghaly
tersenyum getir, berusaha menarik dirinya menjadi begitu dewasa
dengan pemikiran matang. Memutus obrolan tentang masa lalu. "Yang
harus aku lakukan saat ini hanya memperbaikinya. Papi akan merestui
Ghaly buat mengejar Tsamara sekali lagi, bukan?"
Selama itu, Ghaly menjelma menjadi manusia paling ambisius dan hati
keras seperti batu yang hanya memikirkan uang. Menumpuk kekayaan.
Dan detik ini, ia kembali melihat Ghaly seperti anak lelaki yang butuh
dukungan dan kasih sayang darinya.
"Pak Ghaly."
***
Bab 29
"Papi yakin seribu persen, Tsamara akan bersimpati dan kasih kamu
perhatian. Kamu bisa memanfaatkan itu untuk membuat Tsamara jatuh
cinta padamu," kata Joe mantap. Sambil terus menyuap sandwich-nya.
"Tapi, enggak dengan Ghaly yang jatuh dari sepeda." Ghaly memijit
pelipisnya. Sepertinya dia memang keliru menyetujui niat baik ayahnya
untuk membantu dirinya. Joe baru saja mencetuskan ide, bahwa ia
harus nabrak pohon saat sedang bersepeda. Karena kalau pakai
sepeda motor atau mobil, luka-lukanya bisa parah. Jadi, pakai sepeda
biasa saja.
Masih tidak yakin dengan ide sang ayah, namun Ghaly mencoba
menerima. Ayahnya sudah berupaya membantu dirinya, tidak ada
salahnya mencoba, bukan?
"Lalu nanti kamu tempati rumah kamu dan Tsa."
"Kalau Tsamara datang ke rumah itu, otomatis dia akan teringat dengan
masa lalu kamu dan dia di sana. Itu paling ampuh buat nostalgia dan
bikin hati terenyuh." Masih dengan semangat menggebu, Joe mencoba
meyakinkan putranya yang bebal sekali.
Ghaly tidak langsung membalas ucapan Joe. Dia lebih dulu mengambil
jus jeruknya dan meneguknya. "Papi dapat ide itu dari mana?" tanyanya
penasaran.
"Dari Joana."
Ghaly tersedak saat itu juga. Butuh waktu beberapa saat bagi dia
menangani tersedaknya, sebelum akhirnya menatap Joe dan bertanya.
"Kenapa Joana bisa kasih ide itu?" Dia menggeleng pelan. Pantas saja
ide dari Joe begitu menggelikan karena ada campur tangan Joana. Ah,
sekretaris tidak tahu malu itu pasti memanfaatkan kesempatan ini untuk
mengerjai dan mengejeknya.
"Kita papasan di lobi kemarin, jadi sekalian aja Papi minta saran Joana.
Dia sekretaris yang bisa kamu andalkan. Ide-idenya pasti brilian, kan?"
***
Sesuai dengan kesepakatan kemarin, setelah menyusun ide matang-
matang demi menarik sedikit perhatian Tsamara. Hari ini, tepat di
Minggu pagi, Joe Badrayudha mengambil perannya sebagai aktor
kawakan yang profesional. Dia tertawa geli membayangkan bagaimana
nanti. Tidak cukup mempercayai diri sendiri, hingga bisa turun tangan
dalam hal menggelikan ini.
"Om kenapa?" Tsamara bertanya cepat. Raut wajah Joe yang khawatir
menular padanya.
"Ghaly kecelakaan."
"Maaf, ya, Om lupa. Dulu kamu masih remaja, jadi pangling," kata Joe.
Lalu kembali ke topik yang ia bawa. "Kalian bisa jenguk Ghaly, kan,
menggantikan Om. Maminya Ghaly lagi di Bandung jadi enggak bisa
menemani."
"Ya sudah, sekarang kalian langsung naik mobil saja." Perintah Joe,
membuka pintu mobil bagian penumpang, mengangkat Alta untuk naik
lebih dulu disusul dengan Tsamara.
"Enggak, Tsa. Om minta jemput mobil lain, langsung pergi saja." Joe
menjawab kalem. Lalu ia melirik ke arah sopirnya. "Pak langsung antar
mereka ke rumah Ghaly, jangan mampir-mampir." Perintahnya, sambil
menggerakkan tangan, menyuruh sang sopir segera pergi.
"Tapi Om—"
"Mas Ghaly selalu punya sejuta cara bikin Mba Tsa dan Alta mendekat
padanya."
Dan di dalam mobil itu nampaknya hanya Tsamara yang tidak antusias.
Alta sendiri sudah menjerit kesenangan karena akan bertemu Ghaly.
***
Tsamara menatap rumah megah di hadapannya dengan begitu banyak
perasaan yang ia sendiri bahkan tidak mampu untuk menjelaskannya.
Bohong rasanya jika ia bilang ia akan baik-baik saja ketika
menginjakkan kakinya kembali di rumah yang menyimpan banyak
kenangan indah di masa lalu. Kenangan indah dan kenangan buruk,
selalu bersisian.
"Mama."
Tsamara mengusap puncak kepala sang anak, dan berkata, "Kita jenguk
Om Ghaly dulu, ya."
Rumah Ghaly yang besar dengan halaman depan yang luas, cukup
membuat perhatian Alta teralihkan, belum juga bocah itu melihat
halaman belakang, ada kolam renang cukup besar dan area bermain.
Alta pasti berjingkat kesenangan.
"Apa kabar, Mbak? Bibi enggak nyangka bisa bertemu Mbak Tsa lagi."
Bibi Mur mendekati Tsamara masih dengan raut terkejutnya, namun juga
bahagia.
"Kabar Tsa baik, Bi." Tsamara menyambut uluran tangan Bibi Mur. "Oh,
kenalin, Bi. Ini anak Tsa, namanya Alta," katanya memandang bocah
tampan kesayangannya yang lagi-lagi asyik memperhatikan sekitar.
"Sayang, salim sama Bibi," pintanya pada Alta, menyentuh pipi tembem
bocah itu.
Bibi Mur menyambut uluran tangan Alta, dan memuji, "Anaknya Mbak
Tsa tampan sekali." Dia memperhatikan wajah Alta untuk beberapa saat.
"Mama, kolam renang." Tunjuk Alta senang. "Alta mau main air, Mama."
Dengan air, Alta sepertinya tidak ada bosannya. Setiap harinya saat
mandi, jika dibiarkan, Alta akan begitu berlama-lama di kamar mandi,
bermain air dan busa.
Tiba di depan paviliun, Bibi Mur mengetuk pintu. "Mas Ghaly, ada Mbak
Tsa."
"Apa mungkin tertidur," gumam Bibi Mur setelah sekali lagi memanggil,
namun tetap sepi.
"Oh, mungkin tidur, Bi. Enggak apa-apa, jangan dibangunkan dulu," kata
Tsamara. Sebetulnya malah lebih baik Ghaly tertidur, sehingga ia bisa
mempersiapkan diri lebih lama untuk pertemuan mereka di rumah penuh
kenangan ini.
"Om Ghaly lagi istirahat, kita tunggu saja, ya." Tsamara mengusap
puncak kepala Alta.
"Boleh, dong. Tapi, enggak boleh mainan air," kata Tsamara yang
langsung meredupkan binar di mata Alta. Dia tahu persis, Alta begitu
ingin bermain-main di kolam renang yang airnya tampak sangat jernih.
"Alta enggak bawa baju ganti, main ayunan aja, ya." Tunjuknya pada
ayunan besi yang membuat ia mengernyit, detik berikutnya.
Dan ia tidak menyangka sampai saat ini ayunan itu masih ada.
"Ya, siapa tahu. Mbak cek sana, biar aku jaga Alta."
"Mbak, sana lihat dulu. Gimana kalau luka-lukanya emang serius," bujuk
Fanny lagi.
Tidak menyerah, Fanny kembali melontarkan kalimat, "Ya lihat dulu, lah.
Kalau beneran tidur, balik ke sini lagi."
Perempuan itu mengetuk pintu kamar beberapa kali, saat masih tak ada
sahutan, ia berinisiatif membuka pintu. Jujur saja, ia tidak berpikir sama
sekali jika Ghaly jatuh di kamar mandi seperti yang Fanny ucapkan.
Kelopak mata yang sedari tadi menutup, membuka perlahan saat sadar
ada sentuhan. Dan bola mata Ghaly langsung melebar saat wajah
Tsamara tertangkap netranya. "Tsa," lirihnya.
Saat Ghaly meringis, tatapan Tsamara turun dan bertemu tatap dengan
bola mata Ghaly yang berpendar. "Ini sakit?" tanya Tsamara lirih.
Dia paling lemah saat melihat Ghaly terluka, entah sekecil apa pun itu.
Padahal sebelumnya, saat diberi kabar konyol itu, Tsamara sempat
mendengkus sebal. Namun, pada akhirnya, perasaannya selalu berlari
lebih cepat dari logikanya.
"Om Ghaly."
***
Bab 30
"Om Ghaly sudah bangun?" tanya Alta. Dia berdiri di sisi ranjang,
sedangkan Tsamara mundur, memberi ruang bagi sang putera untuk
lebih dekat pada Ghaly.
Ghaly menatap Alta yang memberi sorot perhatian, lalu beralih melirik
Tsamara yang menahan senyum geli. Sialan. Ribuan kupu-kupu yang
sedari tadi seolah memenuhi perutnya, lenyap seketika karena satu
fakta, tentang ia yang jatuh dari sepeda. Sudah pasti Tsamara
menertawakan dirinya.
"Kata Mama, anak cowok boleh nangis, kok, tapi jangan lama-lama.
Dulu pas Alta diajarin naik sepeda sama Mama juga jatuh, terus nangis,
ya, Ma," kata Alta, menoleh ke arah Tsamara yang mengulas senyum
dan mengangguk. "Tapi, terus dibeliin mobil-mobilan sama Mama. Om
mau dibeliin mobil-mobilan?"
Tsamara mengusap puncak kepala sang putra yang sudah begitu pandai
berbicara. "Om Ghaly sudah besar, enggak main mobil-mobilan,
Sayang."
Alta mengerjap polos. "Kalau sudah besar kenapa jatuh dari sepeda?"
Skak mat. Entah untuk yang keberapa kali lagi Ghaly harus menahan
malu karena ucapan polos bocah usia 4 tahun. Dan Tsamara justru
semakin melebarkan senyuman.
"Alta aja udah pandai naik sepeda, enggak pernah jatuh lagi."
"Om Ghaly enggak bisa main sama Alta?" Bibir Alta cemberut.
"Jangan pergi," pinta Ghaly sarat permohonan. "Aku ingin kamu tetap di
sini." Dia menjilat bibir bawahnya. Menanti dengan sabar balasan dari
Tsamara. Meski ia cukup tahu, perempuan itu tidak akan mudah
menurut.
Ghaly mengerjap. Dia melirik pintu paviliun yang membuka. "Aku ingin
keluar," katanya. "Tapi, kakiku rada keseleo."
Tsamara melirik kaki Ghaly yang sedari tadi tertutup selimut, lalu ia
menghela napas. "Saya bantu," ucapnya. Dia melepas genggaman
tangan Ghaly untuk beralih memegang lengan atas lelaki itu,
membantunya berdiri. "Bapak benar-benar enggak punya inisiatif lain,"
gumam Tsamara lirih.
"Huh?"
"Bapak mau saya ambilkan cemilan lainnya?" tanya Tsamara saat tak
sengaja menangkap Ghaly mendesah setelah melirik camilan di atas
meja.
Di meja hanya terhidang jus, keripik, dan kue-kue manis. Daripada jus,
Ghaly tipe yang suka makan potongan buahnya langsung.
"Om Ghaly."
Seruan Alta dan lambaian tangan dari bocah itu membuat senyum Ghaly
semakin melebar, ia membalas lambaian tangan.
"Alta enggak pengin minum dulu?" tanya Ghaly sedikit keras.
"Alta sudah minum susu," balas bocah itu masih berada di atas ayunan.
"Oke. Aku yang akan mentransfer sendiri fee kamu hari ini." Ghaly
menahan kuluman senyum ketika menemukan wajah Tsamara tampak
berbinar. "Aku mau jeruk," katanya lagi.
"Alta sayang. Mainnya hati-hati," ingat Tsamara pada Alta yang bertahan
di tepian kolam dan tengah melihat Fanny yang malah berenang.
***
Jemari tangan Tsamara terasa sedikit gemetar saat ia mengungkit
handle pintu kamar di lantai dua. Bola matanya berpendar nanar saat
akhirnya pintu itu membuka dan seisi ruang kamar tertangkap netranya.
"Mama, Alta masih mau main air," kata Alta yang mendekati Tsamara di
tepian kolam
"Besok lagi main airnya." Tsamara mengusap wajah basah sang putera.
"Diliatin mulu, Mas. Kejar dong, kalau penasaran," celetuk Fanny seraya
mengambil gelas jusnya yang sudah tidak dingin lagi, lalu menyesapnya.
"Kamu setuju kalau Mas balikan sama Tsa?" Ghaly melisankan kalimat
itu tanpa berpikir panjang.
Oh, dia sedikit merasa malu karena harus tercerahkan oleh seorang
gadis yang usianya jauh di bawahnya.
***
Bab 31
Seusai makan malam tadi, Alta merengek ingin menonton televisi. Maka,
disinilah mereka berada. Menemani Alta menonton televisi.
"Baru jam 8, Mbak," kata Fanny. "Alta aja belum tidur," imbuhnya setelah
melirik Alta, dan bocah itu masih betah terjaga.
Tsamara melirik Ghaly yang memegang tabletnya, seharian ini lelaki itu
menemani dan memperhatikan Alta bermain, jadilah baru sekarang
lelaki itu punya waktu memegang tablet.
"Dua? Lah, aku enggak minta dijagain Mbak. Aku bisa jaga diri sendiri,"
kilah Fanny, meski ia yang awalnya terpeleset di kolam renang lebih
dulu. Bukti dirinya tidak bisa jaga diri sendiri.
"Satunya Mas Ghaly, lah, siapa lagi. Yakin, Mas Ghaly mau dijagain Bibi
Mur?" tanya Fanny menggoda.
"Kamu mau?" tanya Ghaly yang dibalas anggukan cepat dari Fanny, lalu
ia menambahi, "Mau pizza juga, atau donat, fried chicken?"
Kali ini bukan Fanny yang membalas antusias, melainkan Alta yang
berseru dan bangun dari rebahannya. "Alta mau pizza, Om."
Selagi menunggu pizza pesanan mereka datang, Alta yang sedari tadi
rebahan menonton tv, duduk di samping Fanny dan bermain lego.
Jangan tanya lego dari mana? Karena lagi-lagi mainan itu sudah
disiapkan oleh Ghaly.
Namun, belum juga pizza yang dinanti Alta datang, dia sudah mengeluh
mengantuk pada Tsamara.
"Nanti Mama simpan pizza punya Alta, atau kita bisa beli besok lagi
sekalian jalan-jalan, mau?" Tsamara memberi penawaran.
Alta menengok ke arah Ghaly dari balik bahu Tsamara, dengan matanya
yang sayu. "Om Ghaly, Alta tidur dulu, ya."
***
Pukul 11 malam, Tsamara terjaga dari tidurnya. Dia mengerjap beberapa
kali dan melirik ke sisi kirinya. Alta tertidur lelap memeluk guling, dan
ada Fanny di belakang puteranya yang juga sama-sama terlelap. Dia
menyandarkan punggung ke kepala ranjang dan mengecek ponselnya.
Ada pesan dari Leo yang menanyakan keberadaannya. Pesan itu dikirim
dari pukul sembilan.
"Tsa."
"Di kamar mana? Di lantai dua?" Ghaly menggeleng. "Kalau hanya aku
sendirian, aku enggak mau."
"Makan. Cuma liat kamu makan, jadi pengin lagi," kata Ghaly sembari
mengambil sepotong pizza dan melahapnya. "Alta enggak rewel
tidurnya?"
"Maksud saya—"
"Tsa," potong Ghaly cepat. "Aku senang kalau Alta betah di sini, dan
akan lebih senang lagi jika dia bisa tinggal di sini seterusnya."
Bola mata Tsamara melebar. Menatap Ghaly penuh tanda tanya. "Apa?"
"Kalian bisa tinggal di sini seterusnya," ucap Ghaly, yakin. Keputusan itu
sebenarnya sudah ia buat jauh-jauh hari, meminta Tsamara untuk
menempati rumah ini. Tidak ada maksud terselubung apa pun di
baliknya. "Pada dasarnya, kalau kamu ingat, rumah ini adalah milik
kamu, Tsa."
Bab 32
Tsamara bungkam. Dia ingat betul, rumah ini adalah hadiah pernikahan
mereka dari Ghaly. Sebelum mereka menikah dahulu, Ghaly tinggal di
penthouse super mewah, tapi karena Tsamara mengatakan tinggal di
rumah dengan halaman luas sepertinya lebih menyenangkan, maka
lelaki itu membelikan rumah ini sebagai hadiah. Semua sertifikat tanah
dan rumah bernama dirinya, bahkan dulu, ia yang menyimpan surat
menyurat itu.
"Kalau kamu khawatir aku akan tinggal di sini. Kamu tenang saja, aku
enggak akan tinggal di sini." Ghaly meletakkan potongan pizza sisa
gigitannya ke kotak. "Sejak perpisahan kita, aku enggak pernah tinggal
di sini. Hanya terkadang datang berkunjung dan menginap. Baru
semingguan ini aku bilang sama Bibi Mur buat membersihkan semua
kamar."
Biasanya Bibi Mur hanya datang seminggu dua kali bersama suaminya,
yang tidak lain juru kebun rumahnya, untuk membersihkan rumah. Meski
tidak ia tempati, Ghaly ingin rumah ini tampak selalu bersih dan rapi.
Ghaly pasti sangat membenci semua sudut di rumah ini karena hanya
mengingatkan tentang dirinya, dan setumpuk kenangan buruk di masa
lalu.
"Dan karena lebih dari apa pun, rumah ini hak kamu. Kalau aku
menjualnya, rasanya harga diriku benar-benar tenggelam." Ghaly
mengukir senyuman pedih. "Jadi, tinggal di sini saja. Lebih dekat
dengan kantor, kamu enggak perlu membayar sewa apartemen. Kalau
kamu khawatir tentang biaya perawatan rumah ini atau apa pun, aku
yang akan menanggungnya."
Tsamara menghela napas begitu pelan. "Saya tidak bisa tinggal di sini."
"Alta mungkin suka, tapi bukan berarti saya mau tinggal di sini," putus
Tsamara yakin. Yang langsung meredupkan binar di mata Ghaly. Hal itu
entah kenapa membuat hati Tsamara tidak nyaman. Tatapan Ghaly yang
redup sangat mengusik dirinya. Dia harus mengutuk diri sendiri dan
mengingatkan, jika tidak seharusnya ia merasa tidak enak hati hanya
karena menolak tawaran Ghaly. "Saya pamit kembali ke kamar."
Ghaly yang sedari tadi memilih diam, segera mencekal lengan Tsamara.
"Tunggu." Dia gelagapan karena tatapan Tsamara yang tampak menanti
ucapannya selanjutnya. "Aku—bisa buatkan coklat hangat dulu
untukku."
"Bikin dua gelas, ya, Tsa." Ghaly duduk di kursi bar dengan tatapan tak
lepas dari sosok Tsamara yang bergerak cepat memenuhi keinginannya.
Tidak berapa lama, dua cangkir coklat hangat tersaji di hadapan Ghaly.
"Tsa, satu untukmu," katanya cepat, saat Tsamara akan membalik
badan.
Sebutir air mata lolos dari sudut mata Tsamara, dia bisa menemukan
luka itu di mata Ghaly. Sama dengan tatapan penuh luka yang ia
temukan dulu, ketika ia dan Ghaly akhirnya berpisah.
"Apa sungguh tidak ada kesempatan untuk kembali?" tanya Ghaly lirih.
"Kamu beneran enggak ada rasa lagi padaku?" tanya Ghaly memburu,
ketika Tsamara menggeleng, ia berdecih pelan. "Pembohong. Kamu
pikir aku akan percaya?"
Jujur saja, ia tidak meragukan rasa sayang dan perhatian Ghaly yang
tercurah pada Alta. Meski lelaki itu tidak tahu siapa Alta yang
sesungguhnya. Atau, tunggu ....
"Tsa."
Tidak ingin membiarkan Tsamara pergi begitu saja, sekali lagi Ghaly
mencekal lengan perempuan itu. Entah sudah berapa kali dalam sehari
ia mencekal lengan Tsamara, hanya agar perempuan itu tidak pergi. Kali
ini ia menyentaknya cukup keras, hingga tubuh Tsamara tertarik dan
jatuh di pangkuannya.
Ghaly menahan desisan nyeri saat kakinya yang masih merenyut sakit
ia paksa menopang tubuh Tsamara.
"Ghaly—"
"Sebelumnya kamu bilang ciuman kita bukan hal yang spesial, bukan?"
Bibir Ghaly bergerak pelan, memagut bibir Tsamara. Sama sekali tidak
memperdulikan raut keterkejutan di wajah perempuan itu dan usaha
Tsamara menjauhkan tubuh dengan mendorong bahunya.
Lelaki itu menikmati setiap sesap bibir yang sangat ia rindukan ini. Dia
meraba-raba, seperti itu adalah ciuman pertamanya.
***
Bab 33
"Kemarin Mbak Tsa bilang pulang sore." Fanny meletakkan teko berisi
susu ke atas meja setelah memenuhi gelasnya dengan cairan putih
kental itu. Ditatapnya wajah Ghaly dan Tsamara secara bergantian,
dengan kernyitan menghias keningnya. "Aku tambah yakin, ada apa-apa
semalam, saat aku tidur." Dia mengerling.
"Om Ghaly bilang mau bikin sosis bakar di dekat kolam. Alta mau bakar
sosis, Mama."
Tsamara kembali menatap Alta. "Kita bakar sosis di rumah kita saja, ya.
Pulang dari sini mampir ke minimarket buat beli sosis, Alta mau?"
tawarnya penuh gula dan bujukan. "Nanti Mama beliin es krim kesukaan
Alta, sama permen."
"Tapi, enggak ada sosis di sini. Jadi kita pulang saja, ya." Tsamara
masih berusaha memberi pengertian agar sang anak mau menurut
dengannya.
"Nggak ada sosis?" Ghaly menaikkan sebelah alisnya. "Aku udah bilang
Bibi Mur buat beli sosis dan semua kebutuhan buat bakar-bakar."
"Bibi Mur lupa beli. Dia bilang sama saya kemarin." Tsamara menarik
sudut bibirnya membentuk seringai samar. Dia yakin, kali ini Ghaly tidak
akan mencari-cari alasan untuk menahannya tetap tinggal barang
sedetik pun.
Fanny mendecap lirih, lalu menggeleng pelan. "Ya udah, kita beli aja,
sekalian jalan-jalan ke mal." Dia melirik takut-takut ke arah Tsamara,
namun mengerling penuh goda kepada Ghaly.
"Fanny benar, kita bisa membelinya." Ghaly bersuara. Bola mata yang
tadinya meredup kini kembali berpendar, seolah ia memiliki kesempatan
lebih lama untuk menahan Tsamara tetap di dekatnya.
Tsamara meluruhkan bahu dan menghela napas begitu berat. Tidak ada
satupun yang berpihak padanya, bahkan putera kesayangannya.
***
"Udah, Mbak, beli ini saja?" tanya Fanny saat mereka mengantri di kasir,
setelah berkeliling swalayan membeli kebutuhan bakar-bakar, dan
beberapa bahan makanan lain, juga snack.
Fanny meringis, melirik Alta yang berdiri di sisi Tsamara dan memasang
wajah bahagianya. "Kan selagi pakai kartu kredit Mas Ghaly kita puas-
puasin belanja."
"Enggak tahu berapa sih, tapi tadi ada notif m-banking." Diakhir
kalimatnya, Fanny tergelak tawa. "Karena dikasih kan, diterima, Mbak.
Lumayan biar aku enggak minta uang jajan terus sama Mbak Tsa."
Menuruti sang kakak, Fanny mengajak Alta keluar dari antrean. Dan
seperti yang Tsamara bilang, dia dan Alta membeli roti sambil menunggu
Tsamara. Duduk di kursi tunggu tak jauh dari kedai roti.
Enggak banyak?
Dua kata itu berputar-putar di kepala Fanny. Ya, memang, bagi Ghaly itu
enggak banyak. Tapi buat dia terlalu banyak.
"Alta, besok Tante beliin baju baru buat Alta. Alta mau baju kayak apa?"
tanya Fanny setelah menyimpan ponselnya dan memberi atensi pada
keponakan menggemaskannya yang asyik makan roti.
"Alta enggak mau baju. Kemarin udah dibeliin banyak baju sama Om
Ghaly."
Ah, benar. Ghaly sudah membelikan banyak baju untuk Alta. "Ya sudah,
besok Tante ajak makan aja sama Om Leo. Alta mau makan apa?"
Tsamara menahan tawa untuk tingkah manis sang putera. "Tadi udah
beli es krim, udah habis dimakan juga." Tadi, saat baru memasuki mal,
Alta meminta beli es krim, karena kedainya begitu mencolok di depan
mata.
"Ya udah, deh. Alta makan roti aja," desah Alta dengan bibirnya yang
cemberut.
Bola mata Alta berpendar senang. "Yeay, Alta mau bakar sosis." Dia
segera turun dari duduknya.
Meski ingin bertanya tentang apa yang sedang terjadi, Fanny tetap
menuruti permintaan Tsamara. Dia menggenggam jemari Alta, dan
dibawanya menjauh.
***
Bab 34
"Tentang pengkhianatan itu, bukankah Tante yang lebih tahu dari saya,
dari siapa pun?" Saat Tsamara menemukan bola mata Marta tampak
membulat terkejut, meski sekilas, dia justru melebarkan senyumannya.
"Saya diam karena putera Tante yang sangat bodoh itu percaya begitu
saja dengan kebohongan-kebohongan yang Tante buat. Dan sekarang,
jika Tante ingin tahu, Ghaly yang mengemis balikan sama saya. Bukan
saya." Tsamara menekankan setiap kata yang ia loloskan. Rasanya ada
sedikit kelegaan yang menyelusup dadanya. Bahkan rasa sakit
tamparan Marta seolah tidak berbekas lagi.
"Kamu selalu enggak punya sopan santun." Marta naik pitam. Satu
tangannya terkepal erat hanya untuk menahan dirinya agar tidak
melayangkan tamparan lainnya. Meski ia sangat ingin.
"Saya selalu berusaha bersikap baik pada Tante, sedari dulu." Tsamara
kembali mengulas senyum tipis. Di pernikahannya dengan Ghaly yang
singkat, ia selalu menghormati Marta, lebih dari yang semua orang kira.
Karena lihat sekarang, apa yang terjadi padanya. Dia menjadi bahan
gunjingan sepanjang kakinya melangkah keluar mal. Dia dipermalukan.
***
Fanny menatap Tsamara dengan tatapan prihatin. Dia tidak bertanya
apapun sepulangnya mereka dari mal, bahkan sepanjang jalan Tsamara
hanya menyibukkan diri dengan Alta. Perempuan itu juga tidak bercerita
apa pun tentang bekas merah di pipi. Yang bersyukurnya, kini sudah
sedikit memudar.
Selama ini, Tsamara tidak pernah menceritakan apa pun masalah rumah
tangganya dengan Ghaly dahulu. Saat sang kakak pulang kampung dan
menceritakan perceraiannya, Tsamara hanya mengatakan, ia dan Ghaly
tidak punya kecocokan dalam banyak hal. Ghaly meminta Tsamara tidak
bekerja, dan Tsamara yang berkeras hati ingin bekerja, menjadi salah
satu alasan perceraian itu. Satu alasan yang Tsamara kemukakan di
depan kedua orang tua mereka.
"Sore ini, Mas. Tapi—" Fanny melirik Tsamara yang berulang kali
menghela napas berat. Tatapan perempuan itu begitu sayu, sesekali
bahkan mengusap bekas tamparan. "Mas Leo bisa jemput kami,
enggak?"
Fanny menjauh dari Tsamara, mendengar suara Leo justru membuat dia
ingin mengadu pada lelaki itu. "Mbak Tsa ketemu Tante Marta tadi,"
ungkapnya lirih, menahan tangis.
Kalau saat itu ia tidak menjaga Alta, Fanny yakin ia akan mengacak-
acak wajah Marta. Tidak peduli siapa perempuan itu.
"Ghaly tahu?"
"Mbak Tsa enggak baik-baik saja, Mas. Dari tadi diam, cuma senyum
kalau Alta nyamperin."
"Oke. Kalian tetap di taman itu, aku samperin. Jagain Alta sama Tsa."
Fanny meringis, siang ini Alta sepertinya kebawa mood dari Tsamara,
kata-kata yang keluar dari bibir mungil itu terdengar kesal.
"Mama, susu Alta sudah habis. Kita pulang ke rumah Om Ghaly, ayo."
Alta menyerahkan kotak susu yang sudah kosong pada Tsamara. "Alta
pengin bakar sosis sama Om Ghaly."
"Ke tempat sampah," jawab Alta sembari kembali mengambil kotak susu
bekas miliknya.
"Apa? Ngapain minta jemput Leo. Kita bisa pesan taksi online nanti."
Tsamara mendecap, sebelum mengedip pelan, tersadar akan sesuatu,
"Jangan bilang kamu cerita kalau Mbak ketemu Tante Marta?" Melihat
kebungkaman Fanny, Tsamara mengusap wajahnya sendiri. "Ya Tuhan."
"Kamu enggak tahu, Leo bisa semarah apa kalau dia tahu Tante Marta
maki-maki Mbak." Tsamara melihat Alta sekali lagi. "Leo pasti ke rumah
Ghaly dulu sebelum ke sini." Seketika kekhawatiran lain melanda
dirinya.
Dia begitu yakin jika Leo akan mendatangi Ghaly lebih dulu. Sang
sahabat hanya butuh satu alasan untuk melampiaskan semua amarah
yang bertumpuk selama bertahun-tahun ini. Dan Leo mendapatkannya
sekarang, ibunya Ghaly yang memaki-maki dirinya.
Namun, sepertinya, hari ini tidak ada hal baik yang berpihak padanya.
Dia terlambat.
***
Bab 35
Sayangnya, janji itu sempat goyah di hati Leo, bertahun-tahun lalu ketika
ia melihat Tsamara memandang Ghaly penuh cinta, dan tertawa. Leo
ingin menjadi sosok laki-laki yang dipandang penuh cinta seperti itu oleh
Tsamara. Dia ingin menjadi satu-satunya laki-laki yang mencipta
kebahagiaan dan tawa untuk Tsamara.
Dia marah. Marah pada dirinya sendiri, marah pada Ghaly, dan pada
semua orang. Karena membiarkan Tsamara berada di situasi buruk
yang menghalangi gerak perempuan itu. Kali ini, setelah 5 tahun berlalu,
Leo tidak akan tinggal diam. Untuk setiap kalimat-kalimat merendahkan
yang ditujukan pada Tsamara, haruslah mendapatkan balasan setimpal.
Leo menghentikan laju mobilnya tepat di depan pagar rumah Ghaly. Dia
ingat betul dengan rumah ini. Di rumah ini, ia menjemput Tsamara yang
menggeret kopernya keluar dengan air mata berlinang.
Leo keluar dari mobil, tatapannya lurus ke depan. Dia sudah akan
memencet bel, namun pagar lebih dulu membuka, dan di baliknya ia
menemukan sosok Ghaly berdiri di samping mobil, hendak pergi.
"Kamu gila!" Ghaly berseru marah. Dia meringis tertahan karena kakinya
yang terkilir, ia paksa untuk bertahan berdiri saat terhuyung tadi. "Ah,
kamu marah dan cemburu karena Tsamara menginap di sini?" Di Akhir
kalimatnya, ia sedikit menyeringai. Seolah dia lah pemenangnya di
tengah pertarungan tak kasat mata antara ia dan Leo, yang berlangsung
selama ini.
"Dia maki-maki Tsamara di depan umum. Dan kamu tuduh aku cemburu
karena datang ke sini. Kamu salah, aku marah karena lelaki bodoh
sepertimu enggak pernah bisa menjaga Tsamara dengan baik." Dia
menghela napas kasar, masih mempertahankan kilat amarah menyala di
bola matanya. "Kalau sekali lagi kamu membiarkan ibumu menyakiti Tsa
dan melakukan hal licik seperti 5 tahun lalu. Aku enggak akan tinggal
diam."
"Ah, anak penurut dan bodoh sepertimu mana percaya jika kubilang
perselingkuhan yang kamu lihat dan tuduhkan dulu adalah ulah licik
ibumu."
Andai Alta memang buah cinta ia dan Tsamara, itu akan lebih baik,
daripada Alta mempunyai ayah super bodoh seperti Ghaly.
"Senyuman Alta mirip banget sama kamu, Ghaly. Sama persis sama
senyum kamu pas kecil dulu. Bahkan tingkahnya pun begitu mirip
denganmu."
"Leo!"
Seruan keras dari arah gerbang, membuat Leo menoleh, dan
menemukan Tsamara yang tampak terengah.
Namun, Tsamara memilih Leo. Perempuan itu memeluk Leo erat dan
menjauh darinya.
Tsamara bertahan di rumah Ghaly demi memastikan jika lelaki itu baik-
baik saja, setelah dihajar habis-habisan oleh Leo. Hal yang selalu
melintas di kepalanya, tapi tidak ingin menjadi nyata. Meski pada
akhirnya, hal itu terjadi juga. Rasanya memang sangat mustahil
membuat Ghaly dan Leo duduk bersama dan ngopi, setelah insiden 5
tahun lalu.
"Tsa, maaf," Leo kembali melirih. Dia melirik lamat-lamat wajah Tsamara
yang fokus mengobatinya. "Aku enggak sengaja bilang tentang siapa
Alta yang sebenarnya. Aw." Dia meringis kesakitan ketika tulang pipinya
ditekan begitu keras. "Maaf, Tsa," imbuhnya dengan wajah memelas
penuh penyesalan.
"Marah," balas Tsamara tegas. "Marah banget sama kalian berdua yang
kayak anak SMA. Padahal enggak harus dengan kekerasan kalau mau
bicara."
"Karena kamu dimaki-maki Tante Marta dan ditampar juga, aku enggak
akan tinggal diam." Leo menatap sisi wajah Tsamara, yang kulit pipinya
tampak berbeda dari sisi pipi lainnya. Tamparan itu pasti cukup keras.
Leo mencebik, lalu mengangguk pelan. "Karena dia enggak bisa jagain
kamu dari ibunya."
"Ya, nunggu dokternya keluar. Kalau kita nungguin Alta bangun baru
pulang, nanti kesorean."
Dokter laki-laki itu tertawa. Dokter yang juga mengenal Tsamara dahulu.
"Kalau temen kamu rada bertenaga sedikit dan mencekik Ghaly,
mungkin Ghaly bukan tidur atau pingsan lagi. Udah pindah alam."
"Jadi, kenapa dua laki-laki dewasa itu berantem. Rebutin kamu?" tanya
dokter itu sambil melirik Leo yang bertahan duduk di sofa di depan kaca.
Persis di depannya adalah kolam renang. Dia tidak habis pikir juga,
kenapa Ghaly memilih kamar di paviliun.
"Saya pamit, ya, Tsa," kata Dokter itu sembari melirik arlojinya.
"Bukan masalah, saya malah senang karena bisa lihat wajah babak
belur Ghaly."
Tsamara membalas kelakar dokter itu dengan senyuman lebih lebar, lalu
mengangguk pelan saat lelaki itu menaiki mobil dan berlalu di pelataran.
Setelahnya, Tsamara kembali masuk rumah, menuju halaman belakang.
Di depan kamar paviliun, ia berhenti sejenak untuk melirik Leo yang
asyik bermain ponsel.
Detik itu, air mata lolos dari sudut mata Ghaly. Dia segera
menghapusnya dengan jemari. "Aku minta maaf. Aku enggak bisa jaga
kamu dengan baik, dan membiarkan Mami menyakiti kamu." Dia
menjeda, menggigit bibirnya sekilas, lalu kembali berkata, "Aku minta
maaf karena begitu jahat padamu dan melepaskanmu. Membuat kamu
mengalami penderitaan selama ini."
Dada Tsamara kembali merasakan sesak melihat air mata Ghaly yang
tumpah. Lelaki itu pernah menangis penuh kekecewaan dan kesedihan
seperti ini. Tepat di malam semua kesalahpahaman itu dimulai, yang
berakhir dengan perpisahan mereka.
Dia kembali menjadi Tsamara yang bodoh dan kalah oleh perasaan.
Untuk kali ini, biarkan ia menjadi bodoh sekali lagi.
***
Bab 36
5 Tahun lalu
Sejak kecil, Leo sudah ditinggal kedua orang tuanya, dititipkan kepada
neneknya, bersama sang kakak. Neneknya sendiri, meninggal ketika
Leo lulus SMA, dan kini sang sahabat kehilangan kakak kandung.
Jangan tanya orang tua Leo ke mana? Karena setelah pergi, mereka
seolah menghilang di telan bumi, tidak pernah memberi kabar atau
pulang ke rumah.
"Aku baru selesai mandi, Tsa." Leo berdecap. "Duduk deh, aku ambil
kaus dulu." Dia berlalu memasuki kamarnya.
"Ghaly lagi di Bandung. Aku udah izin, kok, enggak lama-lama juga di
sini." Tsamara membuka botol minum yang baru diberikan Leo, lalu
meneguknya pelan. "Aku cuma mau pastiin kamu baik-baik saja."
"Enggak bisa dikatakan baik-baik saja, sih," desah Leo. Dia turut serta
meneguk minumnya. "Tapi, enggak ada yang bisa kulakukan juga.
Karena kehilangan itu pasti nyata."
Leo berdecak keras. "Mbak. Yang ada kamu yang selalu jadiin aku
sebagai abang kamu."
Tsamara terkekeh pelan. "Yah, mau gimana lagi. Pikiran kamu yang
terlalu cepat dewasa dari aku bikin aku otomatis anggap kamu abang.
Lebih tua juga."
"Dua-duanya."
Leo membuang tulang ayam ke kantong plastik. "Pengin. Tapi aku takut
Ghaly marah. Kamu tahu sendiri, secemburuan apa Ghaly sama kamu.
Daripada aku kena bogem dia yang salah paham tentang kita. Lebih
baik enggak pinjam bahu kamu." Meski seingin apapun ia mengadu dan
mengeluh di bahu Tsamara, ia harus menahan diri. Mengingat, Tsamara
tidaklah sama seperti sebelumnya, perempuan itu sudah berpemilik.
"Bukannya kamu yang beli?" Leo mengernyit, dia turut serta mengambil
potongan pizza yang kedua.
"Aku enggak beli. Bukannya kamu. Tadi aku ketemu kurir makanannya
di depan pintu apartemen, jadi sekalian aku yang terima."
"Enggak ada yang bilang mereka akan kirim makanan." Leo meletakkan
sisa gigitan pizza-nya kembali ke kotak. Dia lalu mengangkat kotak pizza
itu dan mengendusinya.
"Leo, ngapain?"
"Aku khawatir ada yang enggak beres. Jangan dimakan dulu, deh," kata
Leo, dia meneguk minumnya hingga hampir tandas.
"Tapi kepalaku berat banget. Aku rebahin 5 menit, deh," kata Tsamara
berpindah mengambil duduk dan merebahkan tubuhnya di sofa.
***
Ghaly tiba di rumahnya pukul 11 malam. Dan ia tidak menemukan
keberadaan sang istri, sama persis seperti yang ibunya katakan di
telepon.
Dan karena kabar itu, Ghaly segera berangkat dari Bandung, memacu
mobilnya di tengah padatnya jalanan malam itu.
"Tsa, angkat teleponnya." Ghaly menggeram dalam. Dia sungguh tidak
ingin berpikiran buruk. Tapi, sang istri belum kembali ke rumah saat jam
sudah menunjukkan pukul 11 malam.
Tidak berapa lama, Ghaly tiba di apartemen Leo, dan segera menaiki lift
yang akan mengantarkannya ke lantai tempat tinggal Leo. Dengan tidak
sabar, ia memencet bel apartemen Leo.
"Tsa? Dia udah pulang," kata Leo, lamat-lamat mengingat hal terakhir
sebelum jatuh tertidur.
Leo sudah akan membuka suara, namun lenguhan pelan dari arah
kamarnya membuat ia dan Ghaly sontak menoleh. Dan betapa
terkejutnya ia mendapati Tsamara tidur di sana, mengenakan kemeja
yang dua kancing teratasnya membuka, satu sisi kemejanya bahkan
tersingkap, membuat bahu perempuan itu terpampang jelas.
"Benar. Ini salah paham kita bisa jelasin." Leo yang masih sama
bingungnya dengan keadaan yang terjadi sekarang ini, mencoba
menjelaskan.
"Salah paham?" alis Ghaly naik sebelah. Dia mengepalkan tangan dan
mendekati Leo, lalu mengayunkan kepalannya begitu keras
menghantam sisi wajah Leo. Terlalu keras hingga membuat Leo
terdorong dan jatuh di lantai.
"Aku akan percaya kalau kamu pulang tepat waktu seperti yang kamu
janjikan sore tadi. Tapi nyatanya enggak. Kamu disini, bersenang-
senang di belakang aku."
"Kamu diam," geram Ghaly pada Leo. Dadanya naik turun dipenuhi
gelegak emosi yang ingin sekali ia luapkan.
Tsamara mengangguk pada Leo, meminta lelaki itu untuk diam, menuruti
Ghaly. Dia kembali mengambil langkah mendekat, berusaha untuk tidak
mengeluarkan isakannya. Dia sangat ketakutan karena amarah Ghaly,
dan tatapan kekecewaan di bola mata yang biasanya selalu berbinar
menatapnya.
Leo menggeleng. "Enggak. Habis kamu tidur, aku juga ngantuk banget,
dan tidur."
"Bukannya kamu bilang ada yang mencurigakan dari pizza itu, mungkin
di dalamnya ada obat—"
***
Bab 37
"Masih di kamar, sebentar lagi turun," kata Joe, dia bertahan duduk di
meja makan. "Kamu berkelahi dengan siapa?"
"Leo," balas Ghaly, lalu menjatuhkan tubuh di kursi, tepat di sebelah kiri
sang ayah.
Kening Joe mengernyit, nama itu seperti tidak asing di telinganya.
"Leo?"
"Ya, temannya Tsa." Kali ini Ghaly menuang air bening ke gelasnya, dan
meneguknya pelan. Dia berusaha bersikap sesantai mungkin. Meski
dadanya sudah diliputi gelegak amarah.
"Karena Tsa?"
Ghaly menggeleng. Dia menatap Joe yang bersikap begitu tenang. Sang
ayah seolah tidak terkejut sama sekali dengan lebam-lebam di
wajahnya. "Karena Mami," balasnya pasti, bertepatan dengan itu Marta
datang ke meja.
Detik itu, jemari tangan Marta yang mengusap wajah Ghaly meluruh. Dia
dibuat kelu karena ditatap sebenci itu oleh sang putera.
"Tunggu, ini ada apa?" Joe menatap istri dan puteranya secara
bergantian. Dia dibuat tidak mengerti dengan semua ucapan yang Ghaly
loloskan.
Ghaly menoleh ke arah Joe dengan tatapan penuh luka. "Mami yang
menjebak Tsa dan Leo di malam itu. Membuat mereka seolah sedang
berselingkuh." Dia kembali mengarahkan tatapan kebencian dan
kecewanya pada sang ibu.
Tadi sore, Ghaly memberanikan diri bertanya langsung pada Leo. Dan
Leo sekali lagi menegaskan, jika apa yang Ghaly lihat di malam itu
adalah kesalahpahaman.
Sepanjang proses perceraian Ghaly dengan Tsamara, Leo pun
berusaha menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi di malam itu, hingga
membuat keduanya berada dalam kondisi setengah telanjang dan
pakaian yang berserakan.
Dan Leo menemukan satu titik jawaban dari tetangganya, yang tidak
sengaja melihat roommate Leo keluar dari apartemennya di malam itu.
Saat itu, teman Leo sudah sebulan keluar dari apartemen dan mencari
tempat tinggal sendiri, karena ada masalah antara Leo dan sang teman.
"Mami bertemu Tsa, juga, kan siang tadi. Mami maki-maki dia."
Lebih dari apapun, ia sangat marah pada ibunya. Namun, ia pun sangat
marah pada dirinya sendiri. Lebih besar dari rasa marahnya pada sang
ibu.
Prang!!!
"Memang apa yang ingin kamu bicarakan lagi? Sudah jelas tuduhanmu
sama Mami terbukti. Mami yang merencanakan perselingkuhan Tsa dan
Leo. Dan sudah sangat jelas kalau Mami enggak akan pernah menerima
Tsa, juga seberapa bencinya Mami kamu pada perempuan yang kamu
cintai."
"Papi," Ghaly melirih. Semua masalah ini terlalu kompleks untuk dirinya.
Dan telah menghancurkan hidupnya bertahun-tahun ini.
"Begitu?" Ghaly melirik ayah dan ibunya bergantian. Dia memang tidak
akan bisa meluapkan amarahnya pada Marta, hal yang paling bisa ia
lakukan hanyalah menyimpan kekecewaannya dan kebenciannya.
Dada Ghaly begitu hangat mendengar dukungan sang ayah. "Ya, Ghaly
harus mengejar Tsa sekali lagi."
"Dan itu pasti bukan hal mudah. Kamu butuh lebih banyak cinta dan
usaha."
***
Tiba di rumahnya sendiri. Ghaly memasuki kamarnya di lantai dua,
sudah sedemikian lama ia tidak menginjakkan kaki di sana. Semua itu ia
lakukan karena setiap berada di kamar itu, kesedihan dan kebenciannya
menggulung-gulung di dada.
Malam itu, Ghaly pulang pukul sembilan. Dia menaiki tangga menuju
kamarnya, dan membuka pintunya, tanpa memanggil Tsamara sedikit
pun. Saat melihat Tsamara baru keluar dari kamar mandi, dan langsung
bertemu tatap dengannya, Ghaly merasa ingin sekali menarik
perempuan itu dan ia banting ke atas kasur. Lalu meluapkan amarahnya
pada sang istri, membuat perempuan itu menjerit kesakitan dan
menangis karena permainan kasarnya.
Tapi, dia cukup waras untuk tidak melakukan hal gila itu pada Tsamara.
Entah seterluka apapun dirinya.
"Ini apa?" Tsamara menatap Ghaly penuh kekalutan. Dia tidak ingin
berpikiran buruk, namun satu kalimat berikutnya yang Ghaly suarakan
berhasil membuat seluruh pengharapannya meluruh.
Tsamara menggigit bibir bawahnya. "Harus berapa kali lagi aku bilang,
yang kamu lihat tidaklah benar."
"Enggak benar dari sisi mana, Tsa? Dari kamu yang melucuti
pakaianmu, dan aku melihatnya di depan mataku sendiri."
"Kamu tahu persis aku datang ke tempat Leo untuk apa. Enggak ada
niatan sedikitpun untuk mengkhianati kamu."
***
Bab 38
Joe Badrayudha menatap sang istri begitu lama dalam kediaman. Rasa
kecewa pada perempuan itu-yang telah mendampinginya bertahun-
tahun ini terpeta nyata di dua bola matanya.
"Papi," Marta bersuara pertama kali, merasa begitu tidak nyaman karena
kediaman yang menggantung di antara ia dan Joe. "Aku melakukan
semua itu karena ingin Ghaly mendapatkan pendamping yang bisa
mendukung dia secara materil."
"Ghaly lebih dari mampu secara finansial. Dia enggak butuh dukungan
materil apapun dari Tsa." Joe memijit pelipisnya, dia benar-benar dibuat
pusing oleh satu fakta yang baru Ghaly ungkapkan. "Aku benar-benar
enggak menyangka kamu bisa sekejam itu pada anak kamu sendiri."
"Kamu tahu betul secinta apa Ghaly pada Tsa dulu, kenapa kamu
sampai tega membuat trik licik itu?" Joe menggeleng-geleng. Semakin
dipikirkan ia benar-benar tidak bisa menebak arah pikiran Marta yang
begitu pendek. Melakukan semua hal hanya untuk membuat perempuan
itu puas. "Mereka sudah menurutimu untuk menikah secara diam-diam.
Kupikir setelah itu, kamu enggak akan mengusik kehidupan pernikahan
mereka."
"Tsamara adalah sosok yang paling tepat untuk Ghaly." Joe kembali
menatap sang istri yang masih memasang wajah kesalnya.
Joe mengedikkan bahu. "Itu terserah kamu, tapi kalau sekali lagi kamu
mengganggu hubungan Ghaly dan Tsa, maka jangan heran jika Ghaly
enggak akan pernah menginjakkan kakinya di rumah ini lagi."
"Papi mengancamku?"
"Bukan ancaman, tapi memang itu yang bisa Ghaly lakukan untuk
memutus hubungan dengan kita." Joe berkata begitu ringan. Seolah
kalaupun Ghaly tidak akan pernah pulang ke rumah mereka lagi, itu
bukanlah sebuah hal besar.
"Apa?"
Joe mengedikkan dagunya. "Kemari," perintahnya pada sang istri. "Atau
aku yang akan menyeretmu," imbuhnya saat Marta memilih bergeming
di tempatnya.
Dengan setengah hati, Marta kembali mendatangi Joe. "Aku bukan anak
kecil yang harus menerima hukuman," decapnya.
"Memang bukan, tapi kesalahanmu enggak termaafkan." Kali ini Joe
melempar tatapan tajamnya ke arah sang istri. "Mulai hari ini, semua
kartu kredit dan tabunganmu, serahkan padaku."
"Kesalahan kamu lebih besar. Ini bahkan tidak sebanding sama sekali."
Joe tidak meluruhkan tatapan tajamnya sedikit pun. "Atau perlu
kutambah lainnya, jual semua koleksi tas dan berlian kamu, misalnya."
Dia tahu, ancamannya kali ini cukup berhasil, karena sang istri langsung
mengambil tasnya, meski dengan bibir terkatup begitu rapat.
Dia tidak pernah mengira, kisahnya di masa lalu bisa menurun pada
Ghaly, mendapat penolakan berkepanjangan dari sang ibu.
Maka kini, yang bisa Joe lakukan adalah berusaha mendukung Ghaly
semampu yang ia bisa. Agar sang putera tidak berakhir seperti dirinya.
Berada di dalam pernikahan yang hanya berjalan begitu saja, tanpa
pernah menyesap manisnya cinta.
Tapi, kisahnya itu hanya masa lalu, karena pada akhirnya, sesulit apa
pun hubungannya dengan Marta sejak dulu hingga kini. Mereka masih
bertahan.
***
Ghaly tidak bisa tidur semalaman, dan ketika pagi menjelang, ia sudah
sangat disibukkan dengan ponsel. Menimbang-nimbang haruskah
menghubungi Tsamara sepagi ini. Tapi kemudian ia urungkan, karena
Tsamara berangkat ke kantor, dan pasti sibuk menyiapkan sarapan
untuk Alta.
"Tsa," Ada jeda yang dibuat Joana cukup lama, sebelum kemudian
melisankan satu kalimat yang membuat kening Ghaly mengernyit begitu
dalam. "Tsa enggak berangkat kerja."
"Apa?"
"Tante Jo."
"Apa, Pak?"
***
Bab 39
Dia harap, Joana masih menurut padanya, dan bisa mengulur waktu
agar ia sempat bertemu Tsamara dan Alta.
"Om Ghaly."
"Karena aku rindu, sangat rindu," kata Ghaly jujur. Ia mengunci bola
mata Tsamara, tidak membiarkannya untuk berpaling sedikit pun.
"Aku enggak akan biarin kamu pergi dariku sekali lagi, Tsa. Aku enggak
akan biarin kamu keluar dari perusahaan begitu saja," lirih Ghaly. Dan
karena ucapannya itu Tsamara semakin dibuat terkejut. Belum cukup
sampai di sana, Ghaly malah menurunkan tubuhnya, membuat lututnya
bertumpu di lantai, tepat menghadap Tsamara.
"Ghaly, apa yang kamu lakukan?" Bola mata Tsamara menyorot bingung
dengan apa yang terjadi di hadapannya. "Bangun sekarang,"
perintahnya.
Joana yang tahu situasi iu, berpindah duduk mendekati Alta, membisiki
bocah itu untuk menemaninya beli es krim. Ini adalah waktu untuk Ghaly
dan Tsamara berbicara tentang diri mereka. Tentang ribuan kecewa
yang selama ini mengungkung mereka.
Ini adalah yang terbaik, dia dan Ghaly harus melangkah di jalan masing-
masing. Tidak akan ada yang sama seperti dahulu.
Tidak akan ada hati dan ego yang harus ia menangkan.
Tangis Ghaly yang sedari tadi bisa ia tahan kini tumpah juga, namun
senyuman manis pun terulas di bibirnya. Dadanya begitu menghangat
mendengar pengakuan Tsamara tentang siapa Alta. "Ya, aku papanya."
Tak ada hal yang lebih membahagiakan dari ini. Ketika ia diakui menjadi
seorang ayah. Meski di satu sisi penyesalan dan kesedihan itu kembali
menumpuk di dadanya. Ia tidak hadir menjadi sosok ayah untuk Alta,
dalam tumbuh kembangnya selama ini.
Dia tidak ada di sisi Tsamara ketika perempuan itu bertaruh hidup dan
mati untuk melahirkan puteranya.
Dia tidak ada ketika jerit tangis Alta terdengar pertama kali di dunia ini.
Dan dia tidak ada di samping Tsamara ketika perempuan itu berjuang
hidup sendirian.
"Aku ingin Alta tumbuh dengan baik, tanpa menyimpan kebencian pada
siapa pun. Aku ingin Alta mengenal papanya. Bahwa, ya, dia punya
papa."
Rasanya, Tsamara akan jadi orang tua yang sangat buruk jika
mempertahankan egonya.
"Maka, duduk sekarang," perintah Tsamara sekali lagi. "Kamu ingin aku
dipandang jadi manusia kejam oleh orang-orang karena biarin kamu
berlutut begitu lama?'
Rasanya Ghaly begitu malu ketika mengingat semua yang telah terjadi
antara ia dan Tsamara hingga menjelma layaknya orang asing seperti
ini.
***
Ghaly Badrayudha tidak pernah segugup ini di dalam hidupnya ketika
berhadapan dengan seorang anak kecil berusia 4 tahun. Dia bahkan
merasa tubuhnya sedikit gemetar sekarang ini.
Mereka sudah keluar dari restoran dan kini tengah berada di area parkir
minimarket. Tsamara tengah membeli beberapa barang di minimarket,
dan meminta Alta juga Ghaly untuk tetap tinggal, menunggui di mobil.
Tsamara menjanjikan akan membelikan bola-bola cokelat jika Alta
menurut tinggal di mobil saja.
Dia harus menahan diri menyebut dirinya papa di depan Alta, dan harus
cukup bersyukur meski saat ini Alta masih memanggilnya Om. Tsamara
akan menjelaskannya pelan-pelan pada Alta, tentang siapa Ghaly yang
sesungguhnya, sehingga dia harus bersabar untuk itu.
"Sama Mama?"
"Om Ghaly sayang banget sama Alta. Om minta maaf," gumam Ghaly
lirih, sembari mengeratkan dekapannya.+
***
Bab 40
"Iya. Masa salah, yang jemput kita aja supirnya Om Joe," kata Tsamara,
menimpali tanya sang adik, yang berdiri di sisi kanannya. Sedangkan
Alta berada di tengah-tengah mereka.
Tidak bisa dipungkiri, restoran yang tengah ia pijaki kini hanya bisa
didatangi oleh mereka-mereka yang dompetnya cukup tebal.
"Kakek Joe!" Alta berseru antusias melihat Joe. Ya, bocah itu memang
selalu antusias dengan mereka-mereka yang pandai memikat hatinya.
"Alta duduk dekat Kakek, mau?" tanya Joe. Saat Alta mengangguk-
angguk sebagai jawaban, ia segera mengangkat tubuh Alta. Ia
dudukkan di sofa panjang yang menempel tembok, tepat di samping ia
duduk sebelumnya. "Duduk, Tsa," katanya pada mantan menantunya,
yang mungkin sebentar lagi akan berubah menjadi menantunya lagi, jika
takdir menghendaki.
"Iya, Kakek, Alta suka semuanya." Alta masih sibuk memilih, hingga
kemudian jarinya berhenti di gambar paling belakang. "Tapi Alta mau ini
saja." Itu dessert dengan lelehan coklat yang tampak menggoda.
Acara makan sore itu berjalan riang dan ramai, karena Alta yang selalu
bercerita. Malah sempat membahas Ghaly yang jatuh dari sepeda, yang
tentu saja membuat Joe tergelak tawa. Joe sangat senang mengobrol
dengan Alta, bahkan beberapa kali Joe harus membersihkan bibir Alta
yang belepotan. Terutama saat menyantap dessert pesanan bocah itu.
Setelah acara makan itu selesai, Joe tidak langsung meminta Tsamara
pulang, melainkan mengajak untuk jalan-jalan sore lebih dulu, karena
memang baru pukul 4 sore. Dan kebetulan restoran yang ia singgahi
berada di jalanan sepi, yang kanan kirinya dipenuhi pepohonan rindang.
Hela napas pelan, Tsamara loloskan dari bibirnya. Dia tahu, permintaan
Joe untuk mengajaknya bertemu di luar seperti ini bukan tanpa tujuan.
Dan sungguh tidak mengejutkan jika akhirnya Joe tahu apa yang terjadi
di masa lalu, karena Ghaly adalah sosok yang cukup dekat dengan
ayahnya. Jadi tidak mengherankan jika lelaki itu membicarakan masalah
mereka pada sang ayah.
"Sebenarnya itu sudah berlalu, Om. Dan itu bukan kesalahan Om." Kali
ini Tsamara menunduk menatap ayunan kakinya sendiri.
Joe menatap Tsamara cukup lama, dia sadar betul ia pun memiliki cukup
andil dalam menghancurkan rumah tangga Tsamara dengan Ghaly
dahulu. Dia tidak bisa bersikap keras pada Marta, tidak memberi
ultimatum tegas pada sang istri. Hingga Marta bisa berbuat sejauh itu.
"Alta, dia cucu Papi, bukan?" tanya Joe, dengan ketenangan luar biasa.
"Ghaly?" kening Joe mengernyit. "Anak itu mana mau berbagi rahasia
seperti ini pada Papi. Dia pasti ingin menguasai Alta sendirian."
"Marah?" Tsamara tahu jika ada hal yang sangat melukai Ghaly, lelaki itu
memang akan lebih mudah marah, pada siapa pun yang berkaitan. Tapi,
ia pikir, kemarahan Ghaly hanya terluap untuknya.
"Di satu waktu dia mengungkap, dia marah pada Maminya karena
menghubunginya malam itu, sehingga ia khawatir padamu dan bergegas
pulang. Jika dia tidak melihat semua insiden kamu dan Leo, dia yakin,
dia enggak akan melepaskanmu." Di tengah ceritanya, Joe mengulas
senyum tipis. "Dan dia marah pada saya, Papinya, yang mengirim dia
tugas ke Bandung, karena kalau tidak, dia bisa menemani kamu ke
apartemen temanmu itu."
Tsamara bungkam seribu bahasa.
"Papi yakin, dia sudah meminta kamu kembali padanya sebelum dia
tahu kalau Alta anaknya, dan sebelum kesalahpahaman kalian di masa
lalu terurai." Joe sangat hafal jalan pikiran Ghaly, lebih tepatnya, dia
begitu mengerti perasaan sang putera.
Lagi-lagi, Tsamara dibuat tidak berkutik untuk setiap kalimat yang Joe
lontarkan. Seolah menampar dirinya secara tak kasat mata. Ghaly
sudah melamarnya lebih dulu sebelum lelaki itu meyakini semua
kebenaran.
"Papi tentu ingin kamu kembali menjadi keluarga kami. Ingin kamu
memanggil saya Papi, lagi. Itu adalah pengharapan yang selalu saya
utarakan sejak kita bertemu pertama kali setelah bertahun-tahun." Joe
menjeda, sekadar untuk menarik napas begitu pelan. "Saya akan sangat
bahagia karena menjadikan kamu menantu saya lagi, Tsa. Dan
kehadiran Alta meramaikan rumah kami. Tapi, segalanya tentu berada di
tangan kamu. Keputusan akhir kamu adalah yang bisa menentukan
segalanya."
Dia sungguh penasaran, reaksi apa yang akan diberikan Alta ketika
kebenaran itu ia ungkap pada sang putera.
***
Bab 41
Ghaly di seberang telepon yang baru saja keluar dari mobilnya tampak
awas mendengar kalimat tergesa yang Tsamara suarakan. "Kamu
kenapa?"
Dia yang memang niat awalnya ingin menghabiskan siang ini dengan
mengunjungi Alta dan bermain dengan puteranya itu, segera saja berlari
naik ke lantai apartemen Tsamara. Menunggu dengan amat tidak sabar
lift membawanya segera bertemu dengan sang putera.
"Ya, aku sudah di bawah tadi," Ghaly berucap dengan napas sedikit
memburu. "Biar Alta aku yang gendong," tawarnya, sembari
mengulurkan tangan dan memindah Alta untuk berada dalam
dekapannya.
Hal berikutnya yang mereka lakukan adalah bergegas naik ke lift untuk
turun ke lantai satu.
"Alta demam sejak kapan?" tanya Ghaly sembari menyentuh kepala Alta
dengan tangan kanannya.
"Sejak pagi tadi. Aku udah sempat kompres dan kasih penurun panas.
Tapi, tadi aku cek lagi, demamnya malah tambah tinggi." Jelas Tsamara
begitu tenang. Meski tentu raut khawatir itu tercetak di wajahnya.
Ghaly mendekap Alta semakin erat. Suhu tubuh Alta memang terasa
cukup tinggi. Bahkan terdengar gumaman lirih tak jelas di bibir Alta.
"Kita akan segera sampai ke rumah sakit, Tsa, kamu jangan khawatir,"
kata Ghaly setelah ia mulai menjalankan mobilnya dan berbaur di
jalanan siang Jakarta.
Harusnya, rumah sakit yang ingin mereka tuju tidak memakan waktu
sampai dua puluh menit perjalanan. Namun, di dua ratus meter sebelum
sampai rumah sakit, mereka terjebak macet. Ghaly menumpu lengannya
di kemudi, memijat pelipisnya.
"Permisi, Pak," katanya, pada seorang lelaki penyapu jalanan. "Ini macet
kenapa, Pak?"
Menyusul Tsamara dengan gerak cepat, Ghaly pun turun dari mobil.
"Kita jalan saja," Dia menyetujui ucapan Tsamara sebelumnya. "Dan
biarkan aku yang gendong Alta," katanya lagi, meminta Alta untuk
berpindah ke dekapannya.
"Mobil kamu?" tanya Tsamara melirik sedan hitam Ghaly yang ditinggal
begitu saja.
Lenguhan tidak nyaman dari bibir Alta yang terdengar di gendang telinga
Ghaly membuat ia sedikit mengutuk dirinya sendiri, karena tidak datang
ke tempat Tsamara sejak pagi.
Beruntung hari ini tidak terlalu terik, sehingga panas matahari di jalanan
tidak terasa begitu membakar. Bibir Ghaly terus berdesis pelan,
berusaha menenangkan sang putra.
Ghaly berdiri sejajar dengan Tsamara, dan berbisik, "Biar aku yang
melengkapi administrasi," katanya, dengan tangan terulur meminta data
diri Alta.
Tsamara membuka tasnya menyerahkan berkas data diri Alta. "Terima
kasih," ungkapnya tulus.
***
Alta sudah dipindahkan ke kamar rawat inap di kelas terbaik di rumah
sakit itu. Tsamara duduk di samping sang putera yang setengah
mengantuk, dengan jemari mengusap lembut puncak kepala Alta.
"Beli buah-buahan sama susu buat Alta." Tadi Ghaly pamitan kalau ingin
membeli buah dan susu. Tsamara tidak menyangka Ghaly berangkat
sendiri. Padahal lelaki itu bisa pesan antar lewat ponsel. Atau mungkin
sekalian mengurus mobil yang ditinggal begitu saja di jalanan.
Senyum Tsamara terulas tipis mengingat itu. Ghaly begitu cepat tanggap
membantu dirinya.
"Beli es krim juga?"
"Om Ghaly sudah janji sama Mama enggak akan beliin es krim buat
Alta, kalau belum sembuh."
Bibir Alta semakin cemberut, dan itu meledakkan tawa pelan Tsamara.
Jika sebelumnya ia mencium pipi Alta, kali ini ia menanamkan kecupan
di kening Alta cukup lama. Mensyukuri keadaan Alta yang pulih dengan
cepat. Tidak seperti sebelumnya yang merintih pusing dan demam.
"Mama sayang banget sama Alta," kata Tsamara dengan mata terpejam.
"Om Ghaly beli apa?" Alta bertanya, dengan sudut mata sedikit melirik
ke arah Tsamara.
"Es krim?" balas Alta senang. Namun, bibirnya yang baru saja ingin
mengulas senyuman segera diurungkan karena Tsamara menggeleng
pelan dan berbisik, melarangnya makan es krim.
Dia baru membuka penutup botol air mineral ketika mendengar langkah
mendekat ke arahnya. Disusul Tsamara yang mengambil duduk
sampingnya. Begitu dekat.
"Kamu ingat?"
Dia sungguh seperti Ghaly yang tengah jatuh cinta pandangan pertama
pada Tsamara. Bertahun-tahun silam.
***
Bab 42
Tsamara menuang jus ke dua gelas panjang, dan satu gelas susu untuk
Alta. Dia juga membawa potongan apel dan melon untuk camilan
putranya. Mereka baru saja tiba di rumah, hanya menginap satu malam
di rumah sakit.
"Asyik banget, lagi dibacain cerita apa sama Om Ghaly?" tanya Tsamara
meletakkan minuman yang ia bawa di meja. Lalu mengambil duduk di
sofa tempat Alta merebahkan diri.
"Enggak baca cerita, Mama," Alta membalas cepat. Kali ini tubuhnya
berubah telentang, menatap langit-langit apartemen.
"Udah aku bacain sebelumnya. Tapi, Alta bilang suara aku enggak enak
baca ceritanya, enggak kayak Mama," ungkap Ghaly jujur. Karena
memang itu yang Alta suarakan saat ia baru membaca cerita untuk Alta
sebanyak dua paragraf. Bocah tampan yang udah kembali cerewet ini
mengomentari caranya bercerita.
"Alta memang anak aku," gumam Ghaly lirih, tidak sebal sama sekali,
malah sangat senang dan bangga.
Dia menyerahkan gelas susu itu pada Alta yang segera meneguknya
pelan. Setelah Alta berhasil menghabiskan susunya dan mengembalikan
gelas kosong itu pada Tsamara. Satu tangan Tsamara terulur untuk
mengusap puncak kepala Alta, dan memujinya karena berhasil
menghabiskan susu.
"Kenapa Alta enggak mau dibacain buku cerita sama Om Ghaly?" tanya
Tsamara setelah ia meletakkan gelas kosong bekas susu Alta ke meja.
Hanya dengan satu kalimat itu, Ghaly berhasil dibuat tersedak. Lelaki itu
segera meraih gelas jusnya dan menyesapnya pelan.
"Buat main sama Alta," kata Tsamara. "Alta enggak mau ditemani Om
Ghaly?"
Kali ini Alta melempar tatapan ke arah Ghaly, lalu tersenyum cerah.
"Mau banget. Alta juga suka main ke rumah Om Ghaly."
Alta sedikit meringis karena cubitan Ghaly. "Tapi, enggak mau dicubit
juga, sakit," lirihnya sambil mengusap bekas cubitan Ghaly di pipi. Jika
Ghaly langsung memasang wajah merasa bersalah, maka berbeda
dengan Tsamara yang tergelak pelan.
"Mau Om Ghaly bacakan cerita sebelum tidur?" tawar Ghaly saat Alta
mendesak wajahnya ke perut Tsamara.
"Ghaly, kamu enggak ingin bacain cerita untuk Alta?" tawar Tsamara
seraya tersenyum geli. Dia sudah duduk di sisi Alta yang mulai mencari
posisi nyaman, condong ke arah tubuhnya. "Atau, paling enggak duduk
di sini sampai Alta tertidur," imbuhnya, sembari membuka buku cerita
Alta yang ia ambil di nakas.
Tidak ingin menolak, tentu saja, Ghaly segera mengambil duduk di sisi
ranjang lainnya. Membuat Alta kini berada di antara dirinya dan
Tsamara.
Tsamara mulai membaca buku cerita Alta, nadanya terdengar mendayu
begitu nyaman tertangkap gendang telinganya. Meski suaranya tidak
terlalu keras namun intonasinya terdengar jelas dan pas. Mungkin ini
sebabnya Alta menolak dibacakan cerita olehnya. Cara ia membaca
tadi, begitu datar, seolah sedang membaca buku bisnis untuk diri sendiri.
Senyum Ghaly melebar hingga sedikit menimbulkan suara, dan hal itu
membuat Tsamara mendongak menatapnya sekilas seolah bertanya
"Ada apa?", Ghaly menggeleng pelan. Setelahnya, Tsamara kembali
menunduk, melanjutkan bacaannya.
Tidak ingin tinggal diam. Satu tangan Ghaly terulur untuk menepuk-
nepuk punggung Alta. Ghaly yakin, yang tengah dibacakan cerita adalah
Alta, dan ditepuki punggungnya untuk cepat tertidur adalah bocah
tampan itu, tapi, kenapa kelopak matanya yang malah terasa begitu
berat.
Alta di foto itu tampak lebih kecil, mungkin kisaran usia 2 tahun.
Melihat foto kecil Alta, cukup berhasil membuat dada Ghaly merasakan
kesesakan teramat, rasa penyesalan untuk segala hal di masa lalu. Ia
melewatkan masa tumbuh kembang Alta, dari bayi merah hingga
menjadi bocah tampan seperti sekarang ini.
"Ghaly."
Panggilan lirih Tsamara membuat Ghaly mengerjap dan
mempertemukan bola matanya dengan telaga bening milik Tsamara.
Ada yang Ghaly temukan di sana, selain betapa jernihnya telaga itu,
melainkan sebuah senyum. Senyuman Tsamara kini sampai ke
matanya.
Kali ini Ghaly melirik ke arah Alta yang tidur miring menghadap Tsamara.
"Dia cepat banget udah tertidur," gumamnya.
Ghaly bungkam, hanya hela napas pelan yang lolos dari bibirnya.
"Bukannya kamu senang kalau Fanny dan Leo pergi bersama?" tanya
Tsamara, kali ini ia memberi atensi penuh pada Ghaly.
Detik itu, Ghaly dibuat gelagapan. Tidak salah memang yang Tsamara
utarakan. Karena ia memang menjadikan alasan Fanny tidak di rumah
untuk menginap di apartemen Tsamara. Dengan dalih agar Tsamara ada
yang menemani, dan kalau ada hal-hal mendesak ia bisa membantu
dengan cepat.
Tsamara yakin, langit Jakarta masih gelap ketika ia keluar dari kamar
tidur. Tapi, kenapa ia malah mendengar denting alat memasak di dapur
yang saling beradu. Mungkinkah Fanny pulang? Tapi itu enggak
mungkin. Ia sudah berpesan pada Leo untuk tidak melakukan perjalanan
malam dengan Fanny.
Ini masih terlalu pagi untuk menyiapkan sarapan. Tapi lihatlah meja
makannya sekarang.
"Enggak apa-apa, tentu saja. Cuma rada heran aja, kamu udah sibuk di
dapur sepagi ini," kata Tsamara. Jujur saja, ia memang tidak menyangka
Ghaly bangun sepagi ini dan menyiapkan sarapan untuk ia dan Alta.
Ghaly meringis malu. "Aku bangun pagi-pagi banget tadi, karena enggak
tahu mau ngapain, jadi iseng bikin sarapan."
Biar pun Alta masih kecil dan enggak mengerti dengan apa yang akan
mereka obrolkan, tetap saja tidak baik membicarakan bahasan orang
dewasa di tengah-tengah Alta.
"Ya, meski tidur di sofa. Rasanya lebih nyenyak dan nyaman daripada
hari-hari sebelumnya."
Gerak tangan Tsamara yang ingin menggigit roti terhenti, ditatapnya iris
mata Ghaly yang memang memancarkan binar kebahagiaan. Binar yang
selama beberapa hari ini selalu ditemuinya. "Kamu ingin aku bilang,
kamu boleh menginap di sini lebih sering, biar tidurmu selalu nyenyak,
dan nyaman?"
"Itu yang terbaik menurut aku, lagi pula Om Joe menyetujuinya. Dia
kasih pesangon terlalu banyak, cukup sampai aku menemukan
pekerjaan baru, bahkan lebih."
"Kamu bekerja sama aku, Tsa, kenapa Papi yang memutuskan?" Ghaly
merasa sebal sendiri karena ayahnya mengambil keputusan tanpa
diskusi dengannya. "Dan lagi, kapan kamu bertemu dengan Papi?"
"Ghaly, ini yang terbaik untuk aku dan Alta," putus Tsamara bulat.
Bahu Ghaly meluruh kecewa. "Aku jadi enggak bisa lihat kamu setiap
hari di kantor," ungkapnya jujur.
"Atau kita tinggal bersama saja, Tsa, biar aku bisa lihat kamu setiap
hari," tawar Ghaly begitu berani.
"Oh, kamu pulang kalau ingin bahas Tsa saja," decap Joe, sok sebal.
"Iya, Ghaly gagal lagi," tandas Ghaly dengan penuh rasa kekesalan.
Ghaly mengerjap, tentang Alta, apakah Joe sudah bisa menebak siapa
bocah tampan itu sebenarnya. Sampai detik ini, ia pun belum
menceritakan perihal siapa Alta pada Joe. Kebenaran tentang ia adalah
ayah kandung Alta, masih ia sembunyikan rapat-rapat dari siapa pun.
"Alta memang cukup memihak Ghaly. Tapi tetap saja, dia akan
mengagungkan Tsa."
Tidak bisa dipungkiri, sesukanya Alta padanya, bocah itu akan selalu
memilih Tsamara yang lebih utama. Jelas saja, Tsamara yang
membesarkannya. Berjuang sendiri untuk merawat Alta sedari dalam
kandungan. Bukan seperti Ghaly yang malah bersikap menjadi lelaki
berengsek.
Joe mendesis sebal. "Gini, nih, kenapa Tsa terus menolak kamu, ego
kamu selalu tinggi."
Hela napas lelah lolos dari bibir Ghaly. "Jangan mulai, deh."
Bukan karena egonya yang masih tinggi, melainkan Tsamara yang tak
kunjung membuka hati padanya. Ghaly sangat maklum untuk itu karena
bagaimanapun, Tsamara memang harus memikirkan segalanya
matang-matang. Bukan hanya memikirkan dirinya sendiri, tapi juga Alta
yang kini telah hadir di tengah-tengah mereka.
Memberi tahu Alta tentang Ghaly yang adalah ayahnya saja menjadi
kesulitan tersendiri.
"Mami enggak dibolehin belanja dan keluar rumah sama Papi. Kenapa
kamu datang enggak bilang, Mami, kan, bisa titip apa gitu, buat
dibelikan," Marta mengeluh setibanya ia di gazebo.
Ghaly melirik ayahnya, tidak cukup mengerti dengan yang ibunya
katakan.
"Papi sita semua tabungan dan kartu kredit Mami, cuma kasih uang
jajan harian. Lalu enggak ngebolehin Mami keluar rumah tanpa izin
Papi, sampai Tsa mau diajak balikan sama kamu." Joe mengedikkan
bahunya, mengukir senyuman geli dan mengedipkan mata ke arah sang
putera.
"Iya, dong. Ngapain bohong. Ini enggak seberapa daripada yang Mami
lakukan pada kamu dan Tsa, dahulu."
"Oh, satu lagi, sampai Mami meminta maaf pada Tsamara, dan
mengakui kesalahannya, baru Papi bisa menyudahi hukuman,"
sambung Joe dengan sangat antusias. Membuat Ghaly semakin
mengulas senyuman lebar.
Dengan Joe yang memberi hukuman seperti ini saja pada Marta, cukup
membuat Ghaly merasa begitu lega. Karena pada dasarnya,
bagaimanapun, Marta adalah ibunya. Perempuan yang melahirkan dan
membesarkannya selama.
***
Bab 44
Hari ini ia, Ghaly, Fanny, beserta Alta, sedang bermain-main di area
bermain sebuah mal. Lebih tepatnya ketiga orang di sana sedang
bermain-main, sedangkan ia hanya menunggu, memperhatikan Ghaly
dan Alta yang asyik bermain.
Tentang Fanny, sampai saat ini adik perempuannya masih sangat sebal
dengan Ghaly, karena insiden penamparan Marta beberapa waktu lalu.
Fanny jadi selalu ketus pada Ghaly, katanya mau marah dulu, dan
Tsamara tidak akan memaksa sang adik untuk kembali bersikap ramah
pada Ghaly seperti dulu. Dia membiarkan Fanny meluapkan
kekesalannya pada Ghaly sampai sang adik merasa cukup.
Fanny memang mendecap ketus, tapi jemari dan ayunan kakinya tetap
saja terarah untuk membeli barang-barang yang ia inginkan, dan tentu
Ghaly yang membayari.
Tadi pun, saat bermain dance game, Fanny dan Ghaly berbagi tawa,
dengan Fanny sebagai pemenangnya, tentu saja. Ghaly kalah telak,
kalah lincah, juga kalah usia. Keramaian itu bertambah dengan Alta
yang bersorak di tepian permainan, tampak sangat ingin turut serta
berjingkrak-jingkrak di dance game itu.
"Tsa, bisa kita bertemu hari ini?" tanya Marta dari seberang telepon.
"Di mana?"
"Oke, kita bertemu di restoran Italia enggak jauh dari mal itu," kata
Marta.
Setelah mendapat janji kesiapan dari Ghaly yang akan menjaga Alta,
Tsamara berlalu pergi menuju tempat janjiannya bersama Marta.
Dia keluar mal dan mengarahkan langkah ke deretan restoran di sisi mal
yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Sesampainya di restoran
yang dituju, Tsamara segera diarahkan ke meja di mana Marta sudah
menunggu.
Marta menatap Tsamara begitu intens, tanpa ekspresi. Hanya datar saja.
Obrolan Ghaly saat pulang tempo hari berkelebat di benaknya begitu
jelas.
"Apa penting aku dapat foto itu dari mana?" tanya Ghaly lirih.
"Penting, bisa saja itu manipulasi belaka." Dan Marta masih berusaha
menyangkal. Mencari pembelaan diri kalau calon menantu yang ia
pilihkan adalah wanita yang tepat.
"Ini aku yang memotretnya," aku Ghaly jujur. Sejak ia tidak sengaja
bertemu Elsa di satu apartemen dengan Tsamara, ia semakin menaruh
kecurigaan pada perempuan itu.
"Kalau Mami masih kekeuh ingin menjodohkan aku dengan Elsa, ya,
jangan salahkan aku kalau foto-foto itu akan kukirim ke portal berita, jadi
headline. Nama Mami mungkin akan sedikit terseret karena Mami
sempat menyebut Elsa dengan bangganya sebagai calon istri aku."
Tentu saja itu hanya ancaman, sekesal apa pun Ghaly pada ibunya
karena merusak rumah tangganya dengan Tsamara dulu, ia tidak akan
sekeras itu untuk membuat ibunya dipermalukan.
"Jadi, mau kamu apa sekarang?' tanya Marta pada akhirnya. Dia kesal
sekali mendapati perempuan pilihannya malah mempermalukan dia
seperti ini di depan suami dan puteranya. Padahal, Elsa adalah anak
sahabatnya yang paling ia percaya.
Tidak menyangka jika kelakuan Elsa di luaran sana malah hanya bisa
mencoreng nama baik keluarga.
"Aku ingin Mami meminta maaf pada Tsa."
Ghaly meluruhkan bahu, lelah sekali jika harus kembali berdebat dengan
Marta. "Kalau Mami enggak melakukannya, aku benar-benar enggak
tahu harus bersikap seperti apa pada Mami. Aku sayang banget sama
Mami, bahkan saat tahu kalau Mami punya andil untuk keretakan rumah
tanggaku dengan Tsa, dahulu. Tapi kali ini aku benar-benar akan jadikan
sore ini sebagai kedatanganku yang terakhir ke rumah ini, dan menemui
Mami."
Rahang Marta kian mengeras. "Ghaly, kamu enggak bisa melakukan itu
pada Mami."
Pada akhirnya, sejak awal Marta memang sudah kalah dari Ghaly. Meski
di masa lalu ia berhasil memisahkan Ghaly dan Tsamara, puteranya
tetap saja tertuju pada perempuan yang kini duduk berhadapan
dengannya.
Wajah Tsamara tergurat begitu tenang, sangat berbeda dengan Tsamara
lima tahun lalu, yang meski tampil begitu berani di depannya, tapi Marta
masih menemukan keraguan dan kegelisahan di sana.
"Saya minta maaf, Tsa. Untuk semua hal buruk yang pernah saya
lakukan padamu di masa lalu juga tempo hari."
"Tsa."
Tsamara dibuat termangu karena kalimat itu. Bukan karena ia tidak bisa
menangkap pancaran ketulusan di bola mata Marta, hanya saja ia masih
tidak mempercayai dengan yang Marta katakan. Bagaimana bisa, Marta
yang selalu bersikap keras padanya menjadi selembut ini.
***
Bab 45
"Ghaly, Mami lagi sama Tsa. Kamu mungkin penasaran apa yang akan
Mami lakukan pada Tsa."
"Ada di sekitar resto sebelah mal," balas Ghaly tenang, meski dadanya
sudah bergemuruh karena kekhawatiran.
Seketika, Fanny mengernyit curiga pada gelagat Ghaly. "Mbak Tsa baik-
baik saja, kan, Mas Ghaly?"
Bahu Ghaly meluruh. Fanny terlalu jeli sehingga menaruh curiga seperti
ini. "Mas enggak bisa ajak kamu ikut karena ada Alta."
"Lalu?"
Bola mata Fanny mendelik. "Ngapain Mbak Tsa bertemu lagi dengan—"
ucapannya yang sedikit meninggi terhenti karena Alta menatap ingin
tahu ke arahnya. "Pokoknya kalau Mbak Tsa kenapa-napa aku enggak
akan maafin Mas Ghaly," desisnya.
Setelah berhasil keluar dari kafe dan yakin tidak lagi terlihat oleh Fanny
dan Alta, Ghaly segera mengayun kakinya lebih cepat, berlari menuju
restoran yang letaknya kurang lebih 50 meter dari kafe.
"Hampir dua puluh menit," ucap Marta sambil melirik arlojinya di tangan
kiri. "Melihat puteraku yang napasnya tersendat seperti ini, sepertinya
dia habis berlari maraton," imbuhnya menyindir.
Ghaly menatap sang ibu dengan tatapan sebal. "Mami ngapain, sih,
ngajak ketemu Tsa?"
"Kenapa? Memang enggak boleh, Tsa aja baik-baik saja ketemu Mami."
Marta mengedikkan bahunya.
"Mami enggak melakukan apa pun pada Tsa," kata Marta yang mulai
jengah melihat sikap Ghaly yang over protektif pada Tsamara. Padahal
Tsamara tampak risih dengan sikap Ghaly.
Jadi, benar adanya, jika Ghaly lah yang mengejar Tsamara, dari dulu
hingga kini.
"Mami meminta maaf sama Tsa, untuk semua hal buruk yang pernah
Mami lakukan," kata Marta begitu pelan, namun dengan intonasi yang
amat jelas.
"Sungguh?" Ghaly masih dibuat tidak percaya.
Hela nafas pelan lolos dari bibir Marta. Sepertinya apa pun yang ia
suarakan hari ini tidak bisa dipercayai dengan mudah. Sehingga Ghaly
dan Tsamara harus mengulang-ulang ucapan yang ia loloskan. "Kamu
harus periksa THT, Ghaly. Sepertinya ada yang enggak beres dengan
pendengaranmu. Bawa Tsa sekalian."
Ghaly mengukir senyuman samar. "Mami kasih restu pada Ghaly dan
Tsa?"
"Ya. Mami kasih restu pada kalian berdua." Tegas Marta sekali lagi.
Dan setelahnya ia mendapati wajah Ghaly berubah begitu cerah,
tatapan lelaki itu kembali terarah pada Tsamara yang mengulum
senyuman tipis.
***
Ghaly tak kunjung meluruhkan senyumannya meski ibunya sudah
pulang. Ia dan Tsamara mengantar sang ibu sampai naik mobil dan tak
lagi terlihat di area parkir.
Tapi, jika diberi restu seperti ini rasanya begitu lega dan lengkap.
"Aku enggak nyangka Mami akan kasih restu," ucap Ghaly. Dari nada
suaranya terdengar begitu jelas ada kebahagiaan di sana.
Ghaly mengerjap, sekali, dua kali, lalu tersadar, hanya dia yang terlalu
bahagia di sini, untuk restu yang akhirnya Marta berikan. Dia dan
Tsamara tidak lagi sama seperti lima tahun lalu. Mungkin kini hanya
dirinya seorang yang ingin kembali menjalin hubungan asmara dengan
Tsamara, tapi tidak dengan perempuan itu.
Kalau pada akhirnya hati Tsamara tak mampu lagi ia miliki, maka sudah
jelas ini adalah hasil dari semua hal buruk yang ia lakukan di masa lalu
pada Tsamara.
"Mama dari mana? Lama banget, Alta nungguin," sambut Alta saat
Tsamara duduk di samping sang putera. Di sisi kiri Alta ada Fanny yang
sedari tadi menjaga. Sedangkan Ghaly duduk di seberang meja, di kursi
besi.
"Habis bertemu teman. Maaf, ya, Mama lama," kata Tsamara, dia
menarik beberapa lembar tisu di atas meja dan mengusap bibir Alta
yang belepotan. "Alta makannya pelan-pelan, biar enggak berantakan,"
ingatnya perhatian.
"Mbak Tsa baik-baik saja?" tanya Fanny setelah Tsamara tak lagi
memberi atensi pada Alta.
"Oh, tentang itu. Kita cuma ngobrol aja. Kamu engga perlu khawatir."
"Kemarin kalian juga cuma ngobrol, cuma pakai tangan." Diakhir kalimat,
Fanny mengeraskan rahangnya. Rasanya masih sangat kesal ketika
mengingat Marta menampar Tsamara di muka umum.
Senyum Tsamara mengulas tipis. Dia cukup tahu, ingatan itu pasti tidak
akan semudah itu terhapus dari benak Fanny. "Tante Marta minta maaf
sama Mbak tadi."
Fanny mendecap, tidak sepakat sama sekali dengan sikap lemah lembut
Tsamara yang memaafkan perbuatan Marta tempo hari. Dia saja yang
hanya melihat masih sekesal ini. Bukankah sudah seharusnya, Tsamara
yang ditampar dan dipermalukan, tetap menaruh kekesalan. Kalau bisa,
jangan dimaafkan sampai kapan pun.
"Hidup akan lebih tenang kalau kita saling memaafkan," kata Tsamara
lagi.
***
Bab 46
"Aku boleh mengajak Alta main ke rumah, lain waktu?" tanya Ghaly
memastikan. Tadi, Tsamara mengatakan jika ia boleh mengajak Alta
bermain dengannya seharian. "Tanpa kamu?"
Bukan karena Ghaly tidak bahagia bisa bersama Alta seharian, tapi, ia
juga ingin Tsamara berada di tengah-tengah mereka. Jika seperti ini,
semakin menunjukkan penolakan Tsamara padanya. Seolah,
perempuan itu memberi kebebasan dirinya untuk mendekati Alta,
menjadi selayaknya sosok ayah bagi sang putera. Tapi tidak dengan
kembali menjadi pasangan untuk Tsamara.
"Kenapa?"
Menghadapi Tsamara dan Fanny yang kini tidak pro dengannya adalah
hal tersulit, cukup menguras energinya. "Kalau kamu tinggal di rumah
dengan Mas, kita bisa bicarakan pekerjaan kamu di Badrayudha Realty."
Dia mengedip, berusaha memberi sogokan. Sayangnya, tidak mempan
karena balasan dari Fanny adalah dengkusan.
***
Tsamara terduduk diam dengan tatapan terarah pada layar televisi di
hadapannya yang entah sedang menampilkan apa, dia tidak terlalu
memperhatikan. Tidak ada yang menonton televisi juga, karena Alta
sibuk mewarnai buku bergambar, sambil bernyanyi sedari tadi.
Terkadang pun bocah itu melempar tanya pada Tsamara, tentang apa
pun yang melintas tiba-tiba di benak Alta. Hal-hal yang membuat Alta
merasa begitu penasaran. Entah karena melihat sesuatu baru di buku
atau apa pun.
Dan mungkin karena sudah terbiasa, alhasil Alta jadi menyukai buah-
buahan. Atau memang keturunan dari Ghaly. Kalau enggak salah ingat,
Fanny pernah mendengar dari Tsamara jika camilan kesukaan lelaki itu
adalah buah. Berbagai macam.
Sungguh hal yang unik sekali, seorang lelaki lebih suka nyemil buah
daripada menghisap rokok.
Ngomong-ngomong tentang Ghaly, lelaki itu hanya mengantar sampai
lobi apartemen saja, tidak mampir dan langsung pulang. Sedikit terburu-
buru.
"Aku bawa fried chicken, kamu mau?" Leo mengangkat kantong plastik
di tangan kanannya, menunjukkannya pada Fanny.
"Uh, mau banget," balas Fanny antusias. "Tapi, bohong, aku udah
kenyang," imbuhnya sembari tersenyum geli. Menikmati kelakarnya
yang membuat Leo mendengkus sebal. Dia kemudian membuka pintu
lebih lebar, mempersilakan Leo masuk.
"Om Leo bawa chicken nih, siapa mau?" tawarnya antusias, yang
dibalas kesenyapan. Padahal ia berharap Alta akan berjingkrak senang
menyambutnya. "Kalian bener-bener sudah kenyang?" tanya Leo lemas.
"Jadi, aku sendiri, nih, yang makan?" Leo menjatuhkan tubuh, duduk di
samping Tsamara.
"Kebiasaan. Cuci tangan dulu, baru ambil makanan. Kamu tuh habis dari
luar rumah, pegang setir mobil, tombol lift—"
"Mas Ghaly yang beliin. Makanya kita udah pada kekenyangan," balas
Fanny.
Fanny dan Leo kembali ke ruang tv. Tidak menunggu lama, meski tidak
ada yang menemaninya makan, Leo mulai menggigit ayam.
"Baik seperti apa? Alta yang mulai manggil dia papa, atau kamu yang
menyetujui buat balikan?" tanya Leo lirih, berusaha untuk tidak menarik
perhatian Alta karena obrolannya dengan Tsamara.
Kali ini tatapan Tsamara bukan sedikit sebal lagi, tapi sudah teramat
kesal. Bisa-bisanya Leo membaca keresahannya seperti ini,
mengeluarkannya menjadi sindiran.
Leo menatap Tsamara begitu dalam. "Jangan terlalu keras pada dirimu
sendiri, Tsa. Kamu berhak bahagia, berhak kembali mendapatkan cinta
dari lelaki yang kamu cintai. Dan Alta, dia berhak mendapatkan keluarga
yang utuh. Kasih sayang seimbang dari kedua orang tuanya."
Pada akhirnya, entah serumit apa masa lalu Ghaly dan Tsamara. Entah
pernah sebenci apa Leo pada Ghaly, ia tetap akan memberi dukungan
penuh pada Tsamara jika perempuan itu akhirnya memilih untuk kembali
pada Ghaly.
***
Bab 47
Ghaly kira Tsamara tidak akan ikut, tapi ternyata perempuan itu memilih
bergabung, menambah kesenangan Ghaly saja.
Setibanya mereka di pelataran rumah, Alta segera turun dari mobil dan
bocah tampan yang pagi ini mengenakan celana pendek dan kaus biru
itu berlari ke arah pintu rumah yang masih dikunci.
Tsamara mencekal lengan Alta, menahan bocah itu untuk tidak turun ke
kolam renang lebih dulu. "Berenangnya sama Om Ghaly. Alta tunggu
sebentar."
"Iya, Alta boleh berenang, tapi sama Om Ghaly. Alta juga harus ganti
baju dulu."
"Lepas baju dan celananya kan bisa di kamar mandi, bukan di depan
aku." Tsamara menggeram sebal saat jemari Ghaly bergerak membuka
kancing celana lelaki itu.
"Alta udah enggak sabar buat renang. Masa aku harus masuk kamar
mandi cuma buat lepas celana."
"Oh, sorry, kupikir kamu panggil aku," Ghaly menyengir salah tingkah.
"Iya, Mama."
Hari ini Fanny memilih jalan-jalan dengan Leo, lagi, entah ke mana.
Katanya muter-muter Jakarta.
Setelah puas bermain-main air, Ghaly dan Alta keluar dari kolam renang.
Ghaly tidak ingin Alta kedinginan karena terlalu lama di dalam kolam.
"Alta mandi sama Om, ya. Jangan bangunin Mama," kata Ghaly sembari
menyelimuti tubuh Alta dengan handuk.
Alta mengangguk saja seraya melirik sang ibu yang tampaknya tidak
terusik karena suara berisik darinya.
Ghaly bergegas mengambil ransel milik Alta dan membawa bocah itu ke
kamar mandi.
"Sayang, kita buka pintu dulu, ya. Om beli makan siang tadi, mungkin
udah datang," kata Ghaly. Tadi, saat ia hendak mandi, ia lebih dulu
memesan makan siang secara online, mungkin saja makanan
pesanannya memang sudah datang.
***
Bab 48
"Kamu usir Mami?" tanya Marta tidak percaya dengan kalimat yang baru
saja Ghaly suarakan.
Dia lebih dari sadar, entah mendapat bujukan sebesar apa, Tsamara
tetap akan berada dalam pendiriannya.
"Sebelum Mami pergi, anak siapa yang berusaha kamu sembunyikan
itu? Kamu enggak akan diam-diam mengangkat seorang anak, bukan?"
Marta sedikit menelengkan kepalanya. Menilik wajah bocah laki-laki
yang sedari kedatangannya bersembunyi di balik tubuh Ghaly. Sesekali
bocah itu akan mengintip, menunjukkan wajahnya sebentar sebelum
kembali bersembunyi.
Kali ini Marta menemukan bocah itu menatapnya, tersenyum tipis, dan
menyapanya. Dalam satu sebutan yang menimbulkan detak kejut di
dadanya.
"Halo, Oma."
Marta berkedip-kedip, tampak tidak percaya dengan apa yang baru saja
didengarnya. Oma? Kenapa panggilan itu terdengar manis di telinganya.
"Ini anak teman aku—" ungkap Ghaly berdusta, berharap sang ibu akan
percaya. Sayangnya, satu hal tidak terduga lain datang secara tiba-tiba.
Tsamara yang muncul dari dalam rumah dan memanggil sang putera.
"Alta."
"Ya ampun, Mama cariin Alta dari tadi," kata Tsamara saat sang putera
berdiri di hadapannya. Dia segera mengulurkan tangan dan mengusap
puncak kepala Alta, lalu merendahkan tubuh membaui wangi rambut
dan tubuh sang putera. Dia ketiduran sampai tidak menyadari Ghaly dan
Alta sudah selesai berenang.
"Itu bukan urusan Mami, apakah anak Tsa atau bukan?" Ghaly masih
berusaha untuk sedikit saja membuat penyangkalan.
"Anak Tsa denganmu?" Marta mengimbuhi, masih dengan tatapan amat
terkejut yang ia lemparkan.
"Mami—" ucapan Ghaly yang ingin mengusir Marta sekali lagi, harus
terpotong karena seruan Tsamara.
Dan seruan Tsamara terhenti detik itu ketika menyadari siapa yang
tengah berhadapan dengan Ghaly.
Melihat reaksi Tsamara, ada seulas senyum tipis yang menghias bibir
Marta. "Benar kata Ghaly. Meski kamu menerima permintaan maaf saya,
kamu tetap akan menjaga jarak dengan saya."
"Apa saya harus benar-benar berlutut di hadapan kamu, agar kamu bisa
sedikit lega dan melupakan semua hal buruk yang pernah saya lakukan
padamu?" tawar Marta terlalu berani. Karena sepertinya memang hanya
itu yang bisa ia lakukan untuk membuat keadaan lebih baik pasca
kegaduhan yang ia lakukan.
Ghaly yang melihat Marta bertindak seperti tadi pun bergerak cepat
mendekati sang ibu dan merangkul bahunya.
Ditinggal hanya berdua dengan Ghaly, tatapan Marta kini terarah penuh
ke arah sang putera. "Om?" sebutnya, memperjelas panggilan yang ia
dengar dari Tsamara.
***
Bab 49
Ada sebaris do'a yang selalu Ghaly langitkan setiap malam, tanpa jemu.
Day care ini adalah tanggung jawab Ghaly, dia yang memilihkan tempat
terbaik untuk sang putera, yang tentu enggak jauh dari kantor tempat
Tsamara bekerja, sehingga ketika jam makan siang, perempuan itu bisa
berkunjung. Terkadang akan datang bersamaan dengannya
mengunjungi putera mereka.
Dan sampai detik ini, ia tak juga mendengar sebutan papa lolos dari bibir
Alta, yang ditujukan padanya.
Rasanya, Ghaly ingin sekali meminta Alta, puteranya untuk
memanggilnya papa, namun ketika ia melakukan itu, maka
konsekuensinya terpampang jelas di depan mata. Tsamara yang
memilih mencipta jarak sedemikian besar dengannya.
Ghaly tidak cukup berani dan mampu mendapati jarak lebih jauh lagi
dari Tsamara.
Untuk saat ini, dia harus cukup puas dengan sebutan Om dari Alta.
Itu adalah pertanyaan dari Joe Badrayudha yang kali ini menemani
Ghaly untuk bermain bersama dengan Alta. Bocah itu sedang asyik
mandi bola di depan sana.
"Kalau aku menyatakannya satu kali lagi, maka ini yang ketiga kalinya,
dan kemungkinan besar masih akan gagal," desah Ghaly lelah. Satu
bulan lalu ia sudah sempat mengajak Tsamara untuk menikah
dengannya, dan apa yang perempuan itu katakan saat itu, yang begitu
tepat menohok hatinya.
"Jangan karena aku baik dan memperhatikan kamu, lalu kamu berpikir
aku ingin menikah denganmu lagi, Ghaly."
Uh, Tsamara dengan kalimat tegas dan keras kepalanya adalah satu
paket lengkap. Lalu Ghaly dengan kebebalan dan pantang menyerahnya
pun satu paket. Bukankah mereka adalah pasangan serasi, yang akan
melengkapi satu sama lain.
Kalau saja dulu ia bisa berpikir sedikit lebih jernih, semua luka ini tidak
akan terjadi padanya, Tsamara, dan Alta.
"Tsa enggak punya gebetan lain, Pa. Setiap minggu saja jalannya sama
aku," kata Ghaly jujur. Karena memang itu lah yang terjadi. Hampir
setiap minggu kalau Ghaly ada waktu bebas, ia memang akan
bertandang ke apartemen Tsamara. Mengajak perempuan itu jalan
bersama Alta, acapkali Fanny akan ikut, namun sering kali juga Fanny
memilih berkumpul dengan teman-teman kantornya.
Dan karena itu juga, Ghaly pikir Tsamara akan membuka hati untuk
menerimanya, makanya ia menyatakan cinta yang kedua, tempo lalu.
Tidak disangka ia masih mendapat penolakan keras.
"Kalian sudah sedekat ini, mengurusi Alta berdua dan Tsa enggak
menjalin hubungan dengan lelaki lain, seharusnya enggak ada
kemungkinan dia menolak kamu lagi."
***
Ghaly mengantar Alta pulang sampai ke depan pintu apartemen
Tsamara, dan disambut oleh perempuan itu yang tampaknya baru
selesai mandi, karena wangi tubuh Tsamara menyeruak indera
penciumannya. Ditambah dengan handuk yang melilit rambut Tsamara.
"Sampai bertemu besok lagi. Kabarin kalau ingin main sama Alta," kata
Tsamara. Dia sudah hendak menutup pintu, namun tangan Ghaly terulur
mencengkeram daun pintu.
"Kamu ingin minum apa?" tawar Tsamara saat Ghaly mengambil duduk
di sofa ruang tamu.
"Apa?"
"Alta," panggil Tsamara, kali ini sembari mengetuk pintu kamar Fanny.
"Kakek Joe yang beliin mainan buat Alta," Alta menjelaskan seolah tahu
jika sang ibu memang akan menanyakan asal dari mainan barunya.
"Aku udah sering mengingatkan buat jangan terlalu sering beliin Alta
mainan," kata Tsamara membuka obrolan, setelah ia meletakkan cangkir
teh di depan Ghaly dan satunya lagi untuk dirinya sendiri. Lalu
mengambil duduk berhadapan dengan lelaki itu.
"Minta antar sopir Papi," sahut Ghaly. Karena dia sadar sempat merasa
pening, ia memutuskan untuk minta antar sopir saja.
"Kamu demam, kenapa enggak minta aku jemput Alta saja." Tsamara
sebal sendiri dengan kekeras kepalaan Ghaly. Apa susahnya
menghubungi dia untuk menjemput Alta kalau memang enggak enak
badan.
"Kalau kamu yang jemput Alta, kamu pasti akan langsung pulang. Aku
enggak bisa ngobrol lebih banyak sama kamu."
Kalimat balasan yang disuarakan Ghaly berhasil membuat Tsamara
termangu.
Satu kalimat lain, Ghaly suarakan dengan nada super sendu dan penuh
pengharapan. Ditambah bola mata lelaki itu yang sedikit memerah
menyorot begitu teduh, setengah sayu.
"Aku ingin di sini dulu, sebentar saja," kata Ghaly, terdengar ada nada
kepasrahan di sana.
Alta di kamar Fanny pun tadi jatuh tertidur, tidak sempat makan malam.
Sedangkan Fanny, jangan ditanya, kalau udah ngumpet di kamar,
adiknya disibukkan maraton drama.
***
Bab 50
Bisik lirih yang terdengar begitu sendu itu membuat Tsamara yang
terkantuk-kantuk dalam duduknya, segera mengerjap dan menggeleng
pelan. Mencoba menarik kesadarannya. Dia membuka kelopak matanya
lebih lebar dan mengarahkan tatapan pada Ghaly yang masih terbaring
di sofa di seberangnya.
"Tsa, please."
Tsamara mengusap pipi Ghaly, yang demamnya mulai turun. Dia sempat
meminumkan obat penurun panas pada lelaki itu tadi, setelah mengecek
suhu tubuh Ghaly yang mencapai 38 derajat.
Ghaly hanya terjaga untuk meminum obat yang Tsamara sodorkan, lalu
kembali jatuh tertidur. Tsamara bahkan tidak sempat meminta lelaki itu
untuk pindah ke kamar, menempati ranjangnya, agar waktu istirahat
lelaki itu lebih nyaman.
Alhasil, karena Tsamara tidak tega meninggalkan Ghaly sendirian di
ruang tamu, ia pun menunggui lelaki itu, sampai terkantuk-kantuk dalam
duduknya.
Dan sepertinya kali ini berhasil, kelopak mata lelaki itu tampak
mengerjap terkejut, dan membuka perlahan. Lalu detik berikutnya
tatapan keduanya bertemu. Ghaly dengan sorot sendu dan terluka, lalu
Tsamara yang menyorot khawatir.
Mendapat jawaban itu, Ghaly sedikit dibuat tidak percaya. Tapi, bola
mata Tsamara yang menyorot perhatian padanya, benar-benar membuat
dadanya menghangat.
"Maaf, aku jadi ngerepotin kamu," lirih Ghaly. Dia sendiri tidak tahu,
kenapa jadi demam dan pusing seperti ini. Satu malam kemarin
memang lumayan susah tidur, tapi pagi harinya aman saja dibawa
bekerja.
"Kamu bisa jalan, kan? Tidurnya pindah ke kamar, biar nyaman."
"Apa?"
Ghaly menjilat bibirnya pelan, menatap tepat ke iris mata Tsamara yang
menunggu. "Apa arti perhatian kamu sama aku, Tsa?"
Setetes bulir air mata lolos dari sudut mata Ghaly diiringi senyuman
yang kian melebar di bibirnya. Tidak menutupi kebahagiaannya sama
sekali.
Ini masih seperti mimpi untuknya, ia dan Tsamara bisa kembali bersama.
Dengan dia yang mendengar pernyataan cinta dari perempuan itu.
"Aku sangat mencintai kamu, Tsa," bisik Ghaly lirih dengan penuh
perasaan.
***
Ghaly melirik Tsamara yang duduk berhadapan dengannya, dan
mengulum senyum kecil. Sedikit tersipu. Padahal Tsamara tidak
menatapnya balik. Dia sedang sarapan bersama Alta, Tsamara dan
Fanny. Sarapan keluarga terlalu manis.
Fanny nyengir. "Eh, iya. Lupa. Ternyata wangi bunganya dari dada Mas
Ghaly. Aku bisa melihat bunga-bunga bermekaran di sana." Karena
ucapannya, Tsamara hampir saja tersedak.
Ghaly yang merasa namanya terbawa, segera menoleh ke arah Fanny,
calon adik iparnya. "Fanny pintar banget," decapnya lirih.
Tsamara menatap sang putera. "Enggak ada bunga. Tante Fanny salah
bicara." Dia lebih suka mengakhiri kelakar Fanny barusan. Dan
bersyukurnya, Alta menurut pagi ini, dengan tidak melempar tanya
lainnya.
Alta yang sedari tadi sibuk memainkan apel, segera memberi atensi
pada sang ibu. "Susu Alta sudah selesai?"
"Iya. Mulai sekarang Alta punya Papa dan Mama," kata Tsamara seraya
menunjuk dadanya sendiri.
Hal yang sangat bisa Tsamara perkirakan adalah tanda tanya besar dari
Alta, ketika ia meminta bocah itu mengganti panggilan Ghaly. Dan
karenanya, tentang panggilan itu pun, ia harus mengulur waktu. Karena
menjelaskannya pada Alta memang haruslah super pelan agar anak itu
mengerti.
"Karena mulai sekarang, Alta, Mama, dan Papa akan jadi keluarga."
"Papa!"
Ghaly berkedip, otaknya bekerja dengan cepat, mencerna satu
panggilan yang mampir di gendang telinganya. Tadi, halusinasinya saja
atau bukan?
"Papa," panggil Alta sekali lagi, kali ini menubruk Ghaly yang duduk di
atas karpet dengan pelukannya. Dua lengan kecilnya melingkar di leher
Ghaly. "Alta punya Papa." Seru bocah itu, menumpu dagunya di bahu
Ghaly. "Alta senang, sekarang punya Papa."
Tsamara menghampiri Ghaly dengan satu gelas susu milik Alta, dan
seulas senyuman di bibirnya. Dari raut wajah Ghaly, ia tahu persis jika
lelaki itu dipenuhi dengan puluhan pertanyaan saat ini. Satu yang pasti,
Tsamara menemukan raut terkejut dan bahagia di wajah Ghaly.
Alta pasti sangat bahagia, karena akhirnya memiliki papa dan mama.
Orang tua yang utuh.
***
Bab 51
Tangan kanan Ghaly terangkat saat melihat Tsamara keluar dari lobi
tampak mengobrol dengan beberapa rekan kerjanya.
Ya, sebelas dua belas kayak Tsamara menunggu taksi di pinggir jalan.
"Kamu jemput di sini?" tanya Tsamara langsung. Dia menatap Ghaly dari
atas sampai bawah, lelaki itu masih berpenampilan begitu rapi layaknya
eksekutif muda. Mengenakan setelan jas berwarna abu-abu.
"Aku bosen nunggu di pinggir jalan," kilah Ghaly. Dalam satu gerakan
cepat ia membuka pintu mobil dan mempersilahkan Tsamara masuk.
"Kamu enggak marah, kan, aku jemput di sini?"
Tsamara memilih duduk lebih dulu, dan baru menjawabnya saat Ghaly
sudah berada di balik kemudi. "Enggak marah," katanya.
"Alta lagi sama Mami. Kalau kita jalan sebentar, kamu mau, enggak?"
tanya Ghaly saat mobilnya sudah melaju di jalanan Jakarta sore hari
yang selalu padat.
Tanpa melirik ke arah sang kekasih, Ghaly membalas ringan. "Aku beli
buat kamu, kok."
Ghaly meledakkan tawa renyah. "Aku lupa," Dan dia memberi alasan
terlalu ringan. Dia memang benar-benar lupa dengan buket bunga yang
sebelumnya ia beli di jalan menuju kantor Tsamara.
"Enggak ingin kamu ambil?" tanya Ghaly saat Tsamara memilih tetap
duduk di tempatnya tanpa mengulurkan tangan untuk meraih bunga itu.
"Ngapain, diambil nanti saja kalau sudah sampai rumah." Tsamara
menggeleng, biar sekalian ia pegang ketika sudah sampai di rumah.
Terus ia masukkan ke vas bunga, biar awet.
"Mami bilang Alta sudah mandi tadi, lagi diajak jalan-jalan keliling
komplek sama Papi. Katanya mau pamer ke orang-orang komplek kalau
punya cucu," Ghaly bercerita diiringi senyuman yang mengulas manis di
bibirnya.
"Kalau Alta menginap di rumah Mami malam ini, apa boleh?" tanya
Ghaly lirih.
Sebetulnya Ghaly sudah tahu jawaban apa yang akan ia terima karena
mengungkapkan penawarannya tadi, tapi tetap saja ia coba. Barangkali
Tsamara khilaf dan menerima ajakannya.
Tapi, memang mustahil bagi Tsamara untuk mengizinkan dirinya
menyentuh lebih. Bahkan ciuman pun belum sempat Ghaly rasakan lagi.
Setiap kali dia ingin memulai, Tsamara memiliki sejuta alasan untuk
menghindar.
Satu ketika, dia ragu, apakah Tsamara mencintainya atau tidak, karena
menolak dicium olehnya. Namun, di satu waktu lain, Ghaly akan
tersadarkan dengan status mereka yang belum menikah kembali.
Tsamara pasti terlalu khawatir akan keblablasan lalu hadirnya adik Alta
di rahim perempuan itu kalau sampai membiarkan Ghaly melangkah
lebih jauh.
"Nanti kamu akan tahu," sahut Ghaly memilih untuk tidak menyebutkan
tujuan mereka. Tadi, Ghaly tiba-tiba memikirkan satu tempat yang
seharusnya ia kunjungi bersama Tsamara jauh-jauh hari saat akhirnya
Tsamara menerima pernyataan cintanya.
Sebuah toko perhiasan.
"Aku kepikiran membeli sepasang cincin untuk kita," kata Ghaly ketika
akhirnya ia dan Tsamara turun dari mobil dan berjalan masuk ke sebuah
toko perhiasan di deretan ruko tiga lantai.
"Kamu suka yang mana, yang berlian putih atau berwarna?" tanya Ghaly
saat Tsamara asyik memperhatikan perhiasan-perhiasan di dalam sana
yang menyuguhkan keindahan.
"Ya. Aku juga ingin mengukir cincinnya dengan inisial nama kita."
"Kita bisa memesannya, cincin berlian untuk kamu dan cincin pasangan
dengan bahan yang boleh dipakai olehku." Ghaly mengulas senyuman
sembari menyentuh jemari Tsamara yang terkulai di tepian etalase.
"Kamu pilih cincin kamu dulu. Nanti cincin untukku akan menyesuaikan."
Pada dasarnya model cincin untuk laki-laki, ya, cuma gitu-gitu aja.
Enggak ada yang spesial, semuanya simpel.
Setelah memilih cincin, mereka melanjutkan jalan-jalan sorenya yang
disambut dengan langit temaram. Keduanya berjalan dengan
bergandengan tangan di sepanjang deretan ruko. Mencari-cari makanan
untuk mengganjal perut mereka sembari menunggu malam datang.
Saat akhirnya mereka tiba di depan sebuah butik yang dulu sempat ia
dan Ghaly datangi, Tsamara menghentikan langkah detik itu juga. Dia
menoleh ke arah butik yang tampak sepi.
"Kamu sadar, enggak, ada yang terlewat dari rencana balikan kita," kata
Tsamara menoleh ke arah Ghaly yang berkedip-kedip pelan, lalu
meloloskan tawa. Yang segera diikuti dengan kekehan geli dari
Tsamara.
"Kita bisa memesan gaunnya besok lagi," kata Ghaly pada akhirnya.
Karena untuk malam ini, ia benar-benar ingin menghabiskan waktu
hanya dengan bergandengan tangan, lalu menyusuri malam kota
Jakarta. "Sekalian janjian ketemu dengan desainernya langsung."
Tsamara menyetujuinya. Akhirnya, mereka masuk ke mobil, dan kembali
menyusuri jalanan yang semakin padat saja.
"Kamu ingat kedai es teler di depan sana?" tunjuk Ghaly dengan tangan
kiri.
"Boleh."
Tidak jadi keluar mobil dengan cepat, Ghaly justru mengulurkan tangan
dan mengusap pipi Tsamara. "Aku adalah milikmu, Tsa. Sebanyak
apapun perempuan cantik dan menarik di dunia ini, hanya kamu yang
akan selalu aku cintai dan agungkan. Kamu milikku."
***
Epilog
Namun kini, segala masa lalu buruk itu akan ia tinggalkan. Sekarang
waktunya bagi dia dan Tsamara membuka lembar baru kehidupannya,
dengan kelegaan, dengan kasih sayang yang saling tertuang.
Ghaly menatap Tsamara Btari, perempuan cantik yang kini telah resmi
menjadi istrinya, lagi. Perempuan itu memakai gaun pengantin berwarna
putih yang simpel namun sangat elegan. Gaun berlengan panjang full
brokat, dengan bawahan gaun melebar membentuk payung. Rambut
perempuan itu disanggul dengan hiasan kepala sangat minimalis,
namun mempercantik.
Berbeda dari pernikahan yang lainnya, yang hanya ada mempelai pria
dan wanita di atas panggung. Maka di tengah-tengah mereka berdiri
sosok tampan bocah berusia empat tahun yang mengenakan tuksedo
anak-anak berwarna putih.
Bibir Tsamara membuka ber-ah tanpa suara. Dengan dua pipinya yang
mulai bersemu merah. Ghaly selalu berlebihan dalam memuji dirinya.
Namun, ia suka.
"Jadi, apakah aku juga yang tertampan hari ini?" tanya Ghaly
menggoda.
Sadar jika dirinya ditertawakan oleh sang ayah, Alta mencebik sebal,
sambil menggerak-gerakkan kedua kakinya. "Papa nakal," sebutnya
jengkel.
Mengambil alih situasi dengan cepat agar sang putera tidak beneran
ngambek, Tsamara mendekatkan wajahnya ke arah sang putera. "Alta
mau bilang apa, sini bisikin Mama," katanya menunjukkan telinganya
agar dekat dengan bibir Alta.
Alhasil wajahnya pun sejajar dengan Ghaly. Lelaki itu masih saja
mengulum senyuman geli.
-SELESAI-
Extra Bab 1
Kali ini Tsamara mendecap keras. "Aku mau turun. Kalau enggak
dibukain pintu, nanti Alta nangis," katanya. Ketika tepukannya di lengan
Ghaly tidak berhasil membangunkan lelaki itu, Tsamara mengubahnya
menjadi cubitan cukup keras. Hingga membuat lelaki itu terhenyak detik
itu juga.
Saat dekapan Ghaly terlepas, Tsamara segera bergerak ke tepian
ranjang, berpijak di lantai. Baru saja dia ingin mengayun langkah menuju
pintu, ia tersadar akan satu hal, pakaian yang ia kenakan pagi ini. Hanya
selembar kaus Ghaly yang kebesaran dan hanya menutupi hingga paha
atasnya.
"Apa?" tanya Ghaly santai. "Enggak jadi buka pintu buat Alta?"
imbuhnya penuh keheranan. Padahal teriakan Alta yang hampir
menangis semakin terdengar mengeras. Ia bahkan bisa mendengar
suara Fanny yang berusaha menenangkan.
Panik, secepat yang bisa ia jangkau, Ghaly bangkit dari duduknya dan
langsung berlari, sayangnya, ia lupa jika selimut masih membungkus
kakinya. Alhasil, ia malah terjerembab di lantai.
"Shh ... shhh, bentar lagi Mama selesai mandi," kata Ghaly berusaha
menenangkan Alta yang terus saja menangis.
Alta baru banget bangun tidur sebenarnya tadi dan masalahnya ia tidak
menemukan Tsamara di sampingnya. Saat bocah itu memanggil ibunya,
yang datang adalah Fanny, tentu saja itu semakin membuat Alta jengkel.
Berakhir dengan Alta yang berlari keluar kamar tidurnya menuju kamar
tidur Tsamara yang berada tepat di samping kamarnya.
"Ada Papa di sini, Sayang. Sudah, ya, nangisnya. Nanti Alta serak, loh,
kebanyakan nangis," Ghaly berucap sembari mengusap air mata Alta
yang meleleh di pipi tembamnya. Dia sendiri bingung, dengan cara
apalagi untuk menenangkan Alta.
Kali ini Ghaly dibuat terkejut dengan tuduhan Alta, dia melakukan
kesalahan apa sampai jagoan kecilnya menuduhnya begitu.
"Kenapa Alta enggak diajak tidur bareng sama Papa dan Mama." Alta
menarik ingusnya yang meleleh. "Alta takut tidur sendiri," imbuhnya, lalu
mengusap air matanya sendiri di pipi.
Pada dasarnya, keramaian ini terjadi karena Alta yang enggak ingin tidur
sendiri. Di awal malam sebelum tertidur, ada Tsamara yang menemani
dan membacakan cerita. Jadi Alta pasti cukup kehilangan ketika sadar ia
ditinggalkan sendiri di kamar. Dan, ya, bocah itu mengaku ketakutan
kalau tidur sendiri.
Alta hanya belum terbiasa dengan situasi yang baru ini. Di Yogyakarta
dulu, di rumah orang tuanya, sebenarnya Tsamara sudah melatih Alta
tidur sendiri sejak bocah itu menginjak usia 3 tahun. Hanya saja ketika
tinggal di apartemen, karena tidak ada kamar lain, Alta tidur bersama
Tsamara.
Hal itu akhirnya membuat Alta harus menyesuaikannya lagi sejak awal.
Tsamara segera mengambil alih tubuh Alta dari Ghaly, dan mengusap
wajah sang putera. "Sayang, berhenti nangisnya. Ini, kan, udah
digendong Mama," katanya lirih. Dan hanya dengan satu kalimat itu,
tangis Alta berhenti seketika, diiringi kepalanya mengangguk. Menuruti
ucapan Tsamara.
Ghaly dibuat begitu takjub dengan Alta dan Tsamara, dia berusaha
keras menenangkan tangis Alta, namun gagal. Lalu Tsamara hanya
menggendong dan berucap satu kalimat, sang putera langsung menurut.
Sebelum menjawab, Alta melirik Ghaly sekilas yang kali ini tampak sibuk
merapikan seprai dan selimutnya yang berantakan di ranjang. "Alta
enggak mau bobo sendiri," jawabnya jujur.
"Sebelum tidur, Mama temani. Tadi pagi aja, Alta bangunnya kecepatan,
jadi Mama belum datang."
Baru jam lima lewat lima belas menit dan sang putera sudah menggedor
pintu kamarnya. Tsamara telat bangun, lalu keramaian ini seketika
tercipta.
Dipandang sedalam itu oleh Alta, Ghaly justru merasa sangat gemas.
Dia kemudian mengulurkan tangan untuk mengusap puncak kepala Alta
dan memberi kecupan di pelipis bocah itu.
Dan kenapa Alta menyebut Ghaly nakal, tak lain pasti karena Ghaly
mengunci Tsamara untuk tidur dengannya, daripada menemani Alta.
"Dan kamu istriku," kata Ghaly sembari mencium bibir Tsamara. Hanya
kecupan saja. Lalu, ia melingkarkan lengan untuk memeluk tubuh Alta,
dan satu lengan lain merangkul bahu Tsamara, sehingga sang istri kini
menyandar di bahunya.
Pagi yang ramai dengan sedikit kekacauan, namun tetap terasa sangat
membahagiakan.
***
Extra Bab 2
Dia mengulas senyuman ketika mengingat jika selalu ada drama yang
Alta buat setiap harinya, sebelum tidur seperti tadi, dan pagi harinya
ketika terbangun. Alta memang membutuhkan banyak sekali
penyesuaian di kamar barunya yang luas meski dipenuhi dengan
mainan kesukaannya. Dan menerima kehadiran Ghaly di satu atap
dengannya setelah bertahun-tahun ini hanya mengenal Tsamara
sebagai satu-satunya orang tua yang ia punya.
"Bukan bau rokok, tapi bau tubuh aku, kan? Dari tadi kamu ciumin
punggung aku." Di akhir kalimatnya, Ghaly meloloskan kekehan pelan.
Ghaly melirik meja di mana ada dua cangkir teh di sana. "Kenapa teh?"
"Biar tidur kita lelap," sahut Tsamara ringan. "Kamu pasti capek seharian
bekerja," imbuhnya. Kali ini, jemari tangannya bergerak nakal dengan
mengusap dada Ghaly yang hanya dilapisi selembar kaus tipis.
"Tsa, sebenarnya kamu ngajakin minum teh atau makan kamu?" tanya
Ghaly dengan nada begitu rendah dan tatapan terarah ke wajah
Tsamara. Perempuan itu tampaknya masih sangat betah memandangi
dadanya.
Ghaly menghela napas kasar. "Aku beneran enggak bisa berkutik kalau
itu jawaban kamu."
Tsamara menarik Ghaly untuk duduk dan menyerahkan secangkir teh
pada sang suami, disusul ia yang duduk di seberang Ghaly. "Bagaimana
hari ini?" tanyanya setelah menyesap teh di cangkirnya.
"Nanti aku pijat," balas Tsamara, dia menatap Ghaly dengan begitu
intens. Lelaki itu memang tampak lelah, terlebih tadi pulang cukup
terlambat, jam tujuh malam. Sampai ditinggal Alta untuk makan malam
lebih dulu karena bocah itu sudah kelaparan.
"Siapa?"
Ah, sepertinya Ghaly masih teramat ingin untuk berlama-lama dalam
rajukannya. "Ghaly Badrayudha, suamiku." Mendengar jawaban itu,
Ghaly meloloskan tawa penuh kemenangan. "Puas?" tanya Tsamara.
"Ah, sepertinya bukan aku saja yang antusias dengan malam ini," ucap
Ghaly sembari kembali mendekati ranjang dan segera duduk di
tepiannya. Jika berharap Tsamara bertahan dalam posisinya telentang di
atas ranjang menunggu kedatangan Ghaly, maka, itu adalah harapan
yang terlalu muluk-muluk.
Seketika, bola mata Tsamara berpendar terang. "Iya, ini kotaknya. Kamu
dapat dari mana?" Dia segera mengambil kotak hadiah itu dari tangan
Ghaly dan memeriksanya. Ikatan pitanya masih tersimpul apik dan
cantik.
Tsamara ber-ah tanpa suara. Dia ingat sekarang jika kotak itu memang
ia masukkan ke tas Alta hari itu.
"Enggak ingin kamu buka?" tanya Ghaly saat Tsamara hanya diam
memandangi kotak itu.
"Boleh?"
Ghaly meloloskan satu tawa pelan. "Itu hadiah kamu, Sayang. Harus
kamu buka, dong."
Ghaly mengambil cincin itu, lalu menggenggam tangan kiri Tsamara dan
menyematkannya di jari manis perempuan itu. "Cincinnya sangat cocok
dikenakan olehmu, Tsa."
Tsamara tahu, Ghaly tidak butuh jawaban darinya. Lelaki itu hanya
basa-basi saja, karena yang berikutnya Ghaly lakukan adalah menarik
lepas kaosnya, membuat tubuh bagian atasnya shirtless, dan membuka
satu persatu kancing piyama Tsamara.
Sisa malam itu hanya diisi dengan desah napas dua manusia yang
memadu kasih. Mencurahkan cinta satu sama lain dalam sentuh lembut
yang menciptakan gelenyar panas, namun juga membahagiakan yang
mengalir di dalam tubuh mereka.
***
Extra Bab 3
Ini minggu ketujuh ia dan Tsamara menikah dan baru sekarang mereka
honeymoon. Rencana awal, hanya ia dan Tsamara yang akan berangkat
ke Bali. Namun, bocah tampan kesayangannya menangis sesenggukan
ketika Tsamara berpamitan. Akhirnya, Ghaly membawa serta Alta dan
juga Fanny sekalian di rencana honeymoon-nya. Dia menyewa salah
satu penginapan mewah di Bukit Peninsula, Uluwatu yang
menyuguhkan pemandangan laut dan pelayanan eksklusif.
Karena tidak ingin tidur terlalu awal dan memang ia belum mengantuk,
Ghaly bangkit dari duduknya lalu mengambil ponsel di atas nakas, dan
beranjak keluar kamar. Dia akan berjalan-jalan sebentar ke sekitar
penginapan.
"Kamu enggak tidur?" tanya Ghaly ketika menghampiri sang adik ipar
yang sedikit berjengit terkejut karena kehadirannya yang tiba-tiba. Dia
mengambil duduk di kursi samping Fanny, bersebelahan.
"Sibuk banget, beruntung kakak iparku bos, aku jadi bisa ambil cuti buat
liburan ke Bali." Fanny berucap setengah bercanda.
Kali ini, Ghaly lah yang tergelak tawa. Memang realita pekerja di BR
seperti itu, liburnya enggak bisa sepenuhnya libur yang lepas dari
laptop.
"Mas Ghaly enggak pengen minum, gitu?" tanya Fanny tiba-tiba.
"Kalau minum yang kamu maksud adalah party di tepi pantai, enggak
akan Mas temani." Ghaly tahu persis, minum-minum seperti apa yang
Fanny maksud.
Fanny mencebikkan bibirnya. Ia hanya penasaran dengan keramaian
malam di Bali.
"Pesan minum lewat pelayanan kamar saja," tawar Ghaly. "Kamu bisa
minta rekomendasi minuman dan makanan di sini."
"Mau lah," sahut Ghaly cepat. "Apa pun enggak masalah. Kalau bisa,
minta tolong buat dibawakan rokok."
***
Tsamara terjaga dari tidurnya, dan segera mengerjapkan mata untuk
memperjelas penglihatannya. Dia melirik sisi ranjang lain untuk
menemukan sosok Ghaly, namun lelaki itu tidak berada di sana. Hanya
ada Alta yang tidur memeluk guling.
"Ke mana Ghaly pergi, padahal sudah selarut ini," gumam Tsamara
seraya bangkit dari tidurnya dengan gerak pelan agar tidak
membangunkan Alta. Dia menjejak lantai dan segera berjalan keluar
kamar.
Ketika pintu kamarnya dibuka, seketika angin malam yang terasa dingin
menyapa kulitnya. Dia mengeratkan selimut tipis yang membungkus
tubuhnya.
"Memang kenapa?"
"Karena kalau dia enggak kebangun, dia enggak akan sadar Mamanya
diambil alih sama Papa."
"Aku sangat menyayangi Alta, dan juga menyayangimu. Kalian dua laki-
laki yang enggak akan pernah menjadi nomor dua untukku. Karena
kalian sama-sama menempati posisi pertama."
"Oh, Tsa, kamu semakin pandai berucap manis," desah Ghaly lalu
melonggarkan pelukan. Dia mempertemukan tatapannya dengan iris
mata Tsamara yang berpendar terang di tengah temaram. "Aku sangat
ingin menciummu."
"Bisa saja, tapi kalau kita kesiangan, dan Alta bangun lebih dulu, siap-
siap vila ini menjadi begitu semarak."
Ghaly tergelak tawa, lalu disusul Tsamara. Untuk terakhir kalinya malam
ini, Ghaly kembali menanamkan ciuman di bibir Tsamara, begitu lembut.
"Mama!"
***