Play Date by Reinsabiila

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 377

Prolog

"Enggak pernah sekalipun aku berpikiran kita akan berakhir seperti ini,
Tsa."
Suara lirih yang terdengar sarat luka namun juga disertai kemarahan,
berhasil membuat Tsamara Btari menghentikan ayunan langkahnya.
Dengan seulas senyum tipis yang ia usahakan mengukir di bibirnya, ia
membalikkan tubuh untuk menghadap satu-satunya lelaki yang bertahta
di dalam hatinya.
"Aku pun enggak pernah berpikiran kita berakhir seperti ini. Tapi
kenyataannya, inilah yang terjadi pada kita." Tsamara membalas lirih.
Sedatar mungkin. Mencoba untuk membuat dirinya terlihat baik-baik
saja meski hidupnya telah hancur hari ini.
Ghaly Badrayudha mengepalkan kedua tangannya dengan rahang
mengeras. Amarah menggelegak sampai ke ubun-ubun kepalanya.
Rasanya ia ingin menghantamkan kepalan tangannya ke apapun juga.
Demi meluapkan rasa marah yang tidak tertahankan. Dia benci melihat
perempuan yang selama ini berbagi cinta dengannya tampak baik-baik
saja ketika mereka memutuskan berpisah. "Seandainya kamu enggak
tidur dengan si berengsek itu—"
"Maaf," Tsamara memotong cepat. Masih dengan ulasan senyum di
bibirnya. Kelopak matanya berkedip berulang kali mencoba
menghilangkan buram yang mulai merambah tanpa permisi.
Sekali lagi, balasan datar dari Tsamara berhasil membuat Ghaly hampir
kehilangan kontrol diri.
"Aku pergi, Ghaly. Kuharap kamu akan selalu baik-baik saja."
"Pergilah. Jangan pernah menampakkan dirimu lagi di hadapanku. Dan
aku membencimu. Sangat membencimu." Ghaly menggeram dalam. Dia
paling tidak suka dengan sebuah pengkhianatan dan Tsamara
melakukan itu.
"Aku senang mendengarnya. Lebih baik memang kamu membenciku.
Aku janji, aku enggak akan menampakkan diri di depanmu." Kali ini
Tsamara mengulas senyuman lebih lebar. Terlihat teramat manis, meski
lidahnya terasa getir.
Tanpa menunggu balasan dari mantan suaminya, Tsamara segera
berbalik dan kembali melanjutkan langkah. Menuju sebuah mobil yang
sudah menunggunya sedari tadi.
Tsamara merasa ingin sekali berlari agar Ghaly tak perlu melihat
kelemahan dirinya. Dia sudah bersusah payah membangun diri menjadi
setegar saat ini. Dia tidak boleh menangis. Tidak boleh tampak rapuh.
Hari ini adalah hari paling buruk yang Tsamara alami selama hidupnya.
Ketika palu diketuk di sidang perceraiannya, dia resmi berpisah dengan
Ghaly. Lelaki yang hampir satu tahun bersama dengannya, menaiki
sebuah perahu yang sama. Berusaha membangun rumah tangga penuh
cinta dan kasih sayang.
Namun, badai tetaplah datang menerpa, dan Tsamara memilih mundur.
Tsamara membuka pintu mobilnya dengan seorang lelaki berada di
belakang kemudi. Sebelum ia sempat mengucapkan satu kata singkat
untuk meminta sang pengemudi melajukan mobil dan meninggalkan
pelataran kantor pengadilan agama, Tsamara merasa ada yang naik dari
perutnya. Secepat yang ia bisa, ia merampas kantong plastik yang lelaki
di sampingnya ulurkan. Dan ia memuntahkan apapun yang ia bisa
keluarkan ke kantong plastik itu. Namun, tidak ada apa pun yang keluar.
Tsamara menangis sejadinya, meminta lelaki di sampingnya untuk
segera melajukan mobil.
Saat mobil sudah mulai melaju, dengan bola mata buram Tsamara
melirik kaca spion, dan tangisnya semakin menderas mendapati Ghaly
masih berdiri di sana. Menatap kepergiannya dari kejauhan.
Dengan satu tangan bebas, ia membungkam bibirnya yang tanpa malu
mengeluarkan tangisan tergugu. Ghaly, lelaki itu tidak mengetahui jika
dirinya sedang mengandung—buah hati mereka.
Bab 1

"Tsamara, mulai bulan depan kamu dipindahtugaskan ke kantor utama


di Jakarta."

Tsamara yang berdiri di ujung meja tersentak mendengar sederet


kalimat itu. Kepala yang sedari tadi menunduk segera mendongak untuk
menatap atasannya yang bertahan duduk di kursi kebesarannya.
Tsamara baru saja mengantarkan rekap laporan bulanan dan sangat
tidak menduga jika sang bos mengatakan perihal itu. Secara tiba-tiba.

"Maaf, Pak. Bagaimana?" Tsamara berkedip, mencoba mengeja apa


yang baru saja didengarnya. Ia berharap yang ia dengar adalah
kekeliruan. Tapi, wajah bosnya—lelaki bertubuh tambun dengan
kacamata lensa bening membingkai wajah, tampak menunjukkan
keseriusan.

"Kamu mendengar apa yang saya katakan, Tsamara. Di Jakarta kamu


pasti bisa meraih jenjang karir yang lebih baik daripada di kantor cabang
seperti ini. Kinerja kamu selalu memuaskan selama ini. Kamu pasti
enggak akan sulit mendapat jabatan tinggi di sana."

"Tapi, Pak. Saya sudah nyaman di sini. Dan saya sudah cukup puas
dengan yang saya miliki sekarang ini. Tidak pernah berpikir untuk
mengejar jabatan yang tinggi."

Meski hanya menjadi staf biasa, Tsamara sudah bersyukur. Kehidupan


sehari-harinya bisa tercukupi meski tidak bermewah-mewah. Dan ia bisa
menabung sedikit-sedikit setiap bulan untuk masa depan.

"Saya tahu, tapi enggak ada pegawai lain yang lebih tepat selain kamu.
Kantor utama meminta satu perwakilan dari sini. Dan ini kesempatan
baik, Tsamara. Kalau kamu menempati jabatan yang lebih baik,
penghasilan kamu akan lebih baik juga. Kamu bisa bernapas lega kalau
memiliki tabungan yang cukup untuk masa depan anakmu."

Tsamara terdiam. Tidak lagi membantah. Karena yang bosnya katakan


pun ada benarnya. Dia single parent dengan seorang anak yang masih
berusia empat tahun, juga menanggung biaya hidup adiknya dan kedua
orang tuanya.
"Kamu bisa pikirkan dulu. Saya harap kamu menyetujuinya. Dan ini
surat penugasan kamu. Baca baik-baik."

Tsamara mengambil surat yang disodorkan ke arahnya. "Baik, Pak.


Saya akan pikirkan dan bicarakan lebih dulu dengan keluarga. Terima
kasih," katanya lalu pamit undur diri. Keluar dari ruang kantor bosnya.

Tiba di meja kerjanya, Tsamara menumpu lengan di atas kubikelnya. Dia


mengerutkan kening, berpikir amat keras sebelum akhirnya ia menghela
napas begitu panjang dan mengambil duduk.

Dia sungguh akan membicarakan penugasannya ini dengan


keluarganya lebih dulu, sebelum mengambil keputusan. Selama
bertahun-tahun ini, ia tak pernah sekali pun menjadikan Jakarta sebagai
tempat yang akan ia pijaki kembali.

***

Sore hari, Tsamara tiba di rumahnya. Dia turun dari motor matic—
kendaraannya sehari-hari dan segera berjalan melewati pelataran
rumah. Dia tinggal bersama dengan kedua orang tuanya di kampung
halaman. Yogyakarta. Menjadi sosok perempuan yang berkali lipat lebih
kuat sebagai tulang punggung keluarga.

Belum juga Tsamara menginjak pintu depan rumahnya yang membuka,


seorang bocah laki-laki sudah berlari menyongsong dirinya.

"Mama!"

Teriakan bocah laki-laki itu membuat bibir Tsamara mengulas senyuman


amat lebar. Dia merendahkan tubuh dan menerima tubuh mungil sang
putra yang terlempar ke arahnya.
"Alta sudah mandi, Mama."

Altair Danadyaksa, putra semata wayangnya, pelita hati yang membuat


ia selalu mampu berdiri tegak meski badai menghantamnya tanpa lelah.

"Oh, ya? Coba Mama cium." Tsamara mengeratkan pelukan di tubuh


mungil putranya dan menghidu wanginya dalam-dalam. "Masih bau
asem." Dia berkelakar dan melonggarkan pelukan, lalu menggusak
hidungnya di badan kecil Alta yang wangi khas anak-anak. Campuran
minyak telon dan minyak wangi anak-anak.
"Mama ... geli." Alta tergelak tawa, mencoba menghindar dari serangan
Tsamara yang menciumi tubuhnya bertubi. Meski berakhir sia-sia.

Tsamara ikut terkekeh mengiringi tawa Alta yang ceria. Setelah puas,
barulah Tsamara menegakkan tubuh dan mengangkat tubuh mungil
putranya ke dalam gendongannya.

"Mama bawa susu kotak. Alta mau, enggak?" tawar Tsamara seraya
melirik wajah Alta yang menatap dirinya. Bola mata berbinar bocah itu
seolah menjawab pertanyaannya. Bola mata yang sama persis dengan
matanya. Dan senyuman lebar yang mengulas di bibir mungil berwarna
merah merona itu, selalu mampu mengingatkan Tsamara pada satu laki-
laki yang darahnya mengalir di tubuh Alta, Ghaly Badrayudha—mantan
suaminya. Ayah kandung Alta, yang Tsamara yakini, lelaki itu tidak
pernah mengetahui akan keberadaan putranya.

Itu yang lebih baik. Ghaly tidak perlu tahu bahwa dari pernikahannya
dulu, mereka memiliki satu buah hati.

"Alta mau dua."

Suara Alta membuyarkan sekilas lamunan tentang wajah Ghaly. "Dua?"


Alis Tsamara terangkat, memberi ekspresi terkejut. "Mama cuma punya
satu kotak."

Bibir Alta mencebik. "Alta suka dua kotak."


"Kalau langsung minum dua nanti kekenyangan." Tsamara kembali
membalas, melepas tas selempangnya yang tersampir di bahu kanan
dan meletakkannya di sofa ruang tamu. Disusul ia yang duduk di sofa
memangku Alta.

"Satu lagi diminum sebelum tidur, Mama." Alta tampak antusias saat
Tsamara membuka resleting tas selempang, dan mengeluarkan dua
kotak susu rasa vanilla. "Terima kasih, Mama." Dia tersenyum begitu
senang, mendekap susu kotaknya dan mencium pipi Tsamara.

Tsamara mengulas senyuman senang saat Alta mulai menyesap susu


kotak darinya dengan antusias. Hanya melihat putranya tampak senang
seperti itu, sudah cukup mampu membuat semangat perjuangan
Tsamara untuk membuat hidup mereka lebih baik, terpantik hebat.
Dan tawaran dari bosnya di kantor siang tadi melintas di benak tanpa
permisi. Untuk saat ini, hanya dengan gajinya mereka masih bisa
berkecukupan. Tapi nanti, saat Alta semakin besar dan terlebih sudah
bersekolah. Kebutuhan pasti akan semakin banyak.

Haruskah ia menurunkan egonya?

Jakarta tidak sempit. Kemungkinan pertemuannya dengan Ghaly pasti


akan sangat kecil.

***
Ghaly Badrayudha melepas ikatan dasinya dan mengayun langkah
tegasnya menuju meja makan keluarga. Di mana di sana sudah
ditempati oleh kedua orang tuanya.

"Ngajak kamu makan malam bersama itu udah kayak janjian sama
sultan yang susahnya minta ampun."

Ghaly belum sempat mendudukkan tubuhnya di salah satu kursi, namun


sudah disambut dengan kalimat sinis sang ibu.

Lelaki itu hanya mampu menghela nafas pelan. Kali ini pun sebenarnya
ia masih tidak tertarik untuk makan malam bersama dengan kedua
orang tuanya. Terutama sang ibu. Belakangan ibunya gencar sekali
membuat ia muak karena menyodorkan berlembar-lembar foto
perempuan, untuk dipilih jadi calon istrinya.

"Aku sibuk, Mam," Ghaly membalas singkat. Menggenggam gelas


panjang berisi air bening dan menyesapnya pelan.

"Oh, Mami lupa. Pekerjaanmu adalah segalanya dibanding Mami atau


siapa pun juga," Marta menimpali, masih dengan nada-nada sinisnya.

Ghaly melirik kedua orang tuanya secara bergantian. Ayahnya tampak


santai dan tidak peduli dengan setiap ucapan ibunya. Malah lebih
memilih mengambil makanan lebih dulu.

"Aku baru mengambil alih perusahaan asuransi. Ini perusahaan pertama


yang aku pegang di luar perusahaan keluarga. Sudah pasti aku
bertambah sibuk berkali lipat."
Baru satu bulan lalu, Ghaly resmi mengambil alih sebuah perusahaan
asuransi yang cukup ternama. Salah satu pencapaian yang memang
sejak bertahun-tahun ini Ghaly inginkan.

"Karena keinginanmu sudah terwujud. Sekarang giliran keinginan Mami


yang kamu wujudkan. Segera menikah. Elsa siap kapan pun kamu
nikahi. Mami sudah ingin sekali menimang cucu."

Mendengar nama seorang perempuan terlontar dari bibir Marta—ibunya,


yang Ghaly lakukan berikutnya adalah memijit pelipisnya. "Mami tahu
persis aku enggak ingin menikah. Sekarang atau kapan pun. Aku sudah
berulang kali mengatakannya."

"Kenapa kamu enggak mau menikah? Karena masih mencintai


perempuan pengkhianat itu."

Perempuan pengkhianat. Panggilan menyebalkan yang berhasil


membuat Ghaly harus menggenggam gelasnya erat-erat. Dia tidak suka
Tsamara disebut serendah itu. Namun, tidak sanggup untuk melontarkan
pembelaan jika sebutan itu adalah benar adanya.

Dia membenci Tsamara. Mantan istrinya.

Dan lebih membenci dirinya sendiri karena tidak bisa membuang nama
perempuan itu dari bayang-bayangnya.

***
Bab 2

Tsamara menghentikan langkah tepat di lorong arah pintu keluar


Bandara Soekarno Hatta. Untuk beberapa saat terlewat, yang ia lakukan
hanyalah menarik napas dalam-dalam. Langkah kakinya tiba-tiba terasa
memberat. Ini kali pertama ia menginjak lantai Bandara Soekarno Hatta
setelah lima tahun berlalu.

Dulu, ketika ia akan meninggalkan Jakarta, ia berulang kali menoleh ke


belakang, berharap lelaki itu akan mengejarnya, menahan dirinya agar
tidak perlu pergi.

Namun, tentu saja, lelaki itu sama bodohnya seperti dirinya.

"Mbak capek, ya? Sini, biar Alta aku yang gendong," Fanny membuka
suara. Adiknya yang baru saja lulus kuliah, akhirnya turut serta ikut ke
Jakarta. Sementara mencari pekerjaan, Fanny akan menjaga Alta.

Tsamara tidak mempunyai pilihan lain selain menyanggupi mutasi


pekerjaannya dari kantor. Dan tentu saja, kemanapun ia pergi, putra
semata wayangnya akan terus bersamanya. Tidak mungkin juga jika ia
menitipkan Alta di rumah orang tuanya. Lagi pula, Tsamara sungguh
tidak ingin melewatkan tumbuh kembang sang putra.

Tsamara menoleh ke arah sang adik dan tersenyum dengan kepala


menggeleng. Bukan berat karena menggendong Alta, namun pikiran-
pikiran baru yang terus berdesakkan memenuhi kepalanya. Ia memang
tidak boleh seperti ini, namun bagaimana lagi, segala kemungkinan
tanpa malu menyesaki pikirannya.

"Kita lanjut jalan lagi, kamu bawa kopernya saja," Tsamara membalas,
melirik dua genggaman tangan Fanny yang masing-masing memegang
koper dengan ukuran cukup besar. "Leo mungkin sudah menunggu di
depan."

Fanny menurut tanpa membantah, mengiringi langkah Tsamara yang


terayun pasti dengan Alta di gendongan sedang terlelap. Bocah tampan
itu sudah tertidur sejak di pesawat. Awalnya begitu semangat saat
menaiki moda transportasi bersayap itu, namun beberapa menit saat
menyamankan duduk di kursinya, segala celoteh bocah itu terhenti.
Tergantikan dengan hela napas pelan dan kelopak memejam.

"Mas Leo di mana, Mbak? Aku enggak lihat, deh." Fanny mengedarkan
pandangan di sekitar pintu kedatangan.

Tsamara memicingkan mata, menelisik satu persatu wajah orang-orang


yang berada di kerumunan tepat beberapa meter di depannya. "Leo
bilangnya udah sampai bandara dari tadi. Apa mungkin lagi ke toilet,"
ucapnya ketika tidak menemukan sosok sang sahabat, yang wajahnya
sudah teramat ia kenali. "Kita tunggu di lobi depan saja, deh."

Belum sempat Tsamara dan Fanny melanjutkan langkah, seruan


seseorang yang terdengar amat lantang menyapa gendang telinganya.

"Tsamara! Di sini."

Tsamara menoleh ke arah suara, dan senyumnya mengulas geli saat


menemukan selembar kertas berwarna putih yang terbentang di atas
kepala, tertulis namanya besar-besar. Dan disusul tubuh seorang lelaki
yang melompat-lompat berusaha menampakkan diri di tengah-tengah
kerumunan.

"Dia norak, seperti biasa," gumam Tsamara seraya menggeleng pelan.


Dia melirik ke arah sang adik yang tampak tak mengalihkan tatapan dari
sosok Leo. Wajah lelaki itu sesekali menyembul dari kerumunan,
dengan helai rambut hitamnya yang terangkat, dan berantakan.

Tidak menunggu lama, kedua kakak beradik yang gurat wajahnya begitu
berbeda berjalan mantap ke arah Leo, yang sore ini berperan
menjemput mereka.

"Hai, Tsa. Selamat datang kembali di Jakarta. Kota dengan sejuta


mimpi." Leo, lelaki tampan berkulit putih dengan bulu mata tebal dan
senyuman manis itu membentangkan kedua lengannya. Menyambut
dengan sangat antusias kedatangan Tsamara dan Fanny, ketika
akhirnya ia berhasil lolos dari kerumunan.

"Hai, Mas Leo."

Bukan Tsamara yang membalas sapaan ceria Leo, melainkan Fanny.


Senyuman gadis itu terulas lebar secerah matahari pagi yang terbit
tanpa malu-malu.
"Hai, Adek. Kamu udah besar aja." Leo menghadap ke arah Fanny dan
mengulurkan tangan mengusap puncak kepala gadis itu. "Dan
bertambah cantik." Lalu, tanpa meminta izin, lengan yang sebelumnya
membentang untuk memberi pelukan pada Tsamara berganti ke arah
Fanny, dan merengkuh tubuh gadis itu.

Fanny sendiri tampak sangat terkejut hingga respon pertama yang


tubuhnya berikan adalah membeku, sebelum akhirnya ia
mengembalikan kesadaran dan membalas pelukan Leo dengan hati
berdebar.

"Lebai, deh, Le. Tahun lalu aja kita ketemu di Yogya." Tsamara
menggeleng melihat pemandangan di depannya, dengan tingkah Leo
yang terlalu berlebihan.

Dia dan Leo bersahabat sedari SMA, dan ia sudah menganggap Leo
seperti saudaranya sendiri. Karena ada Leo pula lah, dulu Tsamara
berani merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib.

"Loh, udah hampir setahun, Tsa. Tetep kangen, lah." Leo nyengir,
melepas pelukannya di tubuh Fanny dan menyentil ujung hidung gadis
itu sebelum menjauh. "Jadi, mau pelukan sama aku, enggak?" Dia
kembali menawarkan diri pada Tsamara, yang kali ini dibalas dengan
hela nafas pelan dari perempuan itu dan langkah yang mendekati
dirinya.
Leo menyambut tubuh Tsamara yang masih menggendong Alta dengan
bahagia untuk ia peluk. "Aku senang banget kamu kembali ke sini,"
bisiknya lirih, tulus dari dalam hatinya. Semenjak sang sahabat
memutuskan untuk pergi dari Jakarta beberapa tahun lalu, meski hanya
sebagai candaan, ia tak pernah melontarkan ajakan agar Tsamara
berkunjung kembali ke Jakarta. Karena ia tahu persis, Jakarta bukan lagi
tempat yang indah untuk perempuan itu.

Sekilas, Tsamara memejamkan mata, membiarkan lengan Leo bertahan


melingkari bahunya. "Aku harap, Jakarta akan menyambutku dengan
baik." Dia membalas ucapan Leo sembari menjauhkan tubuh, mengurai
pelukan lelaki itu. Tidak ingin terlalu lama, khawatir jika Alta akan
terbangun.

"Jakarta selalu menyambut baik kehadiranmu, Tsa. Apalagi aku, jangan


ditanya seberapa baik aku menyambutmu." Leo mengusap puncak
kepala Alta yang masih sangat nyaman berada di dekapan Tsamara.
"Udah, deh. Kita langsung ke mobil dan pulang. Kasihan Alta, dia pasti
butuh kasur yang lebih baik untuk tidur."

Leo kemudian mengambil alih ransel Tsamara yang sejak tadi tersampir
di bahu kanan dan satu koper besar milik Tsamara dari genggaman
Fanny.

Sampai di mobil, Tsamara mengambil duduk di kursi belakang


sedangkan Fanny berada di sebelah Leo yang mengemudi. Tidak ada
percakapan berarti selama perjalanan selain cerita Leo tentang Jakarta
yang semakin padat dan sibuk.

Tsamara sendiri sesekali melirik sang sahabat dan sesekali melihat


keluar kaca mobil, menilik padatnya kendaraan di jalanan. Hingga
netranya seolah bekerja sendiri, menatap sebuah gedung tinggi
pencakar langit yang tampak gagah seolah paling berkuasa daripada
yang lainnya.

Perempuan itu mengulas senyuman tipis. Dia benci melihat gedung itu,
namun kenapa netranya tak juga beralih.
Ghaly bertahan dalam duduknya di dalam mobil, menghentikan laju
mobilnya tepat di depan gerbang rumah yang membuka lebar. Lelaki itu
tidak berniat memasuki rumah bergaya modern namun tampak
minimalis itu. Meski, ketika sudah memasuki rumah itu, kemegahan
yang terlihat untuk pertama kali.

Ada satu waktu dalam beberapa minggu Ghaly akan mendatangi rumah
itu, sekadar menginjakkan kaki untuk beberapa menit saja, seolah waktu
yang sebentar itu lebih dari cukup untuk mengobati kerinduannya.
Kerinduan?

Ghaly berdecih. Perempuan itu tidak layak ia rindukan.

Benar, Tsamara harusnya berada di dalam hatinya untuk ia benci


selamanya.

Kesal dengan segala pikirannya, Ghaly memukul kemudi dengan


kepalan tangannya. Baru setelahnya ia kembali melajukan mobilnya
untuk memasuki pelataran rumahnya. Rumah yang tak pernah ia tinggali
lagi semenjak perempuan itu memilih mengkhianati dirinya dan
menghilang dari kehidupannya.
Untuk kali ini—tidak berselang lama setelah mesin mobilnya dimatikan,
Ghaly memilih turun dari mobil, mengayun langkah bukan memasuki
rumah namun ke sebuah gazebo di halaman depan dengan kolam ikan
yang mengelilinginya.

Dia mengambil duduk di tepian gazebo dan mengambil pakan ikan yang
tersimpan di sana, lalu menaburkan segenggam ke atas kolam membuat
ikan-ikan di kolam segera berkerumun. Senyum Ghaly mengembang
sekilas. Sebelum dengan cepat menghilang karena terbabat kenangan
masa lalu.

"Harusnya aku menjual rumah ini, Tsa. Tidak lagi peduli dengan semua
kenangan bodoh itu."
Dia menggumam sendiri. Ada puluhan kali keinginan Ghaly menjual
rumah yang menyimpan banyak kenangan dan kebencian itu, namun,
puluhan kali juga keinginan itu pupus.

Apa yang sesungguhnya ia harapkan dengan mempertahankan rumah


itu?

Berharap Tsamara akan pulang kepadanya dan menempati rumah


mereka lagi?

Itu bodoh, namanya.

Ketika bertahun-tahun ini ia telah berhasil menutup segala kabar tentang


perempuan itu.

Meski ia begitu ingin tahu.

***
Bab 3

Pagi pertama di Jakarta, Tsamara bangun lebih dulu dari siapapun. Dia
melirik ke sisi kirinya dimana sang putra masih bergelung nyaman di
balik selimut. Hari kemarin setelah tiba di apartemen yang ia sewa atas
rekomendasi dan bantuan Leo, yang Tsamara lakukan adalah
menyiapkan tempat tidur untuk dirinya sendiri dan sedikit membereskan
barang-barang bawaannya.

Dan ini hari Minggu, dia bisa sedikit bersantai barang sejenak, sekadar
untuk melepas lelah setelah perjalanan dari Yogyakarta. Sebelum Senin
besok, dia sudah mulai berangkat kerja di kantor barunya. Rasanya baru
kemarin dia mendapat surat penugasan dari kantornya.

Namun, waktu memang berlalu begitu cepat.

Setelah membicarakannya dengan keluarga dan mendapat persetujuan,


Tsamara segera saja menghubungi Leo meminta bantuan sang sahabat
untuk mencarikan sebuah apartemen, dengan harga sewa yang paling
terjangkau pastinya.

Di sinilah ia, di apartemen yang ia sewa dan berada tepat satu lantai di
bawah apartemen Leo.

Turun dari ranjang dengan gerak pelan agar sang putra tak perlu terusik,
Tsamara segera pergi ke kamar mandi, melakukan aktivitas paginya
sebelum akhirnya pergi ke dapur dan menyiapkan sarapan.

Leo sudah menyiapkan bahan makanan di dalam kulkas dan Tsamara


tidak pernah lebih bersyukur memiliki sahabat sepertinya.

Pukul enam pagi, saat Tsamara belum menyelesaikan masakan untuk


sarapan, bel apartemennya berbunyi. Perempuan yang kali ini
menggelung rambutnya dan memakai celemek berwarna biru, segera
mematikan kompor dan berjalan ke arah pintu.

Dia belum sempat menyapa tetangganya kemarin, jadi yang ia pikirkan


hanya satu orang.
"Ini masih terlalu pagi untuk bertamu," ucap Tsamara sembari membuka
daun pintu apartemennya dan menampilkan sosok Leo di baliknya
sedang mengukir cengiran menyebalkan.

"Kamu sedang masak?" tanya Leo mengabaikan cibiran Tsamara. "Aku


ada lembur hari ini, bolehkah numpang sarapan sebelum ngantor?"
Tanpa dipersilakan, ia sudah mendesak masuk melewati Tsamara yang
hanya mampu menggelengkan kepala.

Setelah menutup pintu, Tsamara kembali ke dapur dengan Leo yang


sudah duduk di meja makan. Dihadapan lelaki itu sudah tersaji orak-arik
telur dan capcay sayur.

"Sepagi ini kamu udah masak semua ini, Tsa." Leo tampak terkesima
dengan sajian di depannya. Cacing-cacing di perutnya seolah sedang
bergembira menyambut kehadiran makanan-makanan itu.

"Alta masih tidur jadi sebisa mungkin aku menyelesaikan masakku,"


balas Tsamara sembari meniriskan sosis goreng bentuk gurita kesukaan
Alta ke atas piring.

"Dia hanya butuh sedikit waktu untuk menyesuaikan diri di tempat baru,"
kata Leo seraya menuang air bening ke gelas dan meneguknya pelan.

Kemarin, saat Alta terbangun dan mendapati tempat baru yang


menyambutnya, bocah tampan itu rewel sekali meminta pulang. Dan
tidak mau lepas dari gendongan Tsamara. Padahal, biasanya Alta tidak
pernah semanja itu.

Sebelum keberangkatan ke Jakarta pun, Tsamara sudah berusaha


memberi pengertian tentang kepindahan mereka ke tempat baru yang
jauh dari kakek dan nenek. Namun, memang pada dasarnya masih
anak-anak, walaupun sebelumnya tampak antusias, ketika sudah tiba di
tempat tujuan akan lupa segala keantusiasan itu.
"Jadi, kamu ada pekerjaan hari ini? Aku berencana mengajak Alta jalan-
jalan dan membelikan beberapa mainan baru biar dia enggak minta
pulang terus."

"Kamu enggak akan tersesat jalan-jalan di Jakarta walau tanpa aku,


Tsa."
"Memang," Tsamara mengedikkan bahu. Meski sudah bertahun-tahun
tidak menginjakkan kaki di Jakarta, dia merasa masih begitu menghapal
sudut-sudut kota. "Tapi aku merasa lebih tenang kalau pergi sama
kamu."

Masih ada banyak kemungkinan dan ketakutan yang terselip di


dadanya. Tsamara merasa masih belum cukup mampu jika suatu saat
tanpa sengaja bertemu dengan orang-orang di masa lalunya, apalagi
ketika ada Alta bersama dirinya.

Lalu, kalau ia masih memiliki ketakutan sebesar ini, kenapa begitu nekat
menyetujui mutasi pekerjaannya? Dia bisa menolak, dan harusnya ia
cukup bersyukur dengan apa yang telah ia miliki.

"Oh, manjanya," desah Leo sembari mengunyah nasi di dalam


mulutnya. "Ini enak, aku bakal sering-sering mampir buat sarapan di
sini." Senyum Leo mengembang, semakin lahap menyelesaikan
sarapannya yang mendahului tuan rumah.

"Bukankah itu tujuanmu, memilihkan apartemen untukku tepat di bawah


lantai apartemenmu? Biar bisa mampir setiap hari untuk makan."
Tsamara mencibir. Namun, tidak ada kesal di wajahnya, yang ada
hanyalah ulasan senyum geli.

"Jangan terlalu berterus terang seperti itu." Leo meneguk minumnya.


"Dan masakanmu sungguh enak. Aku lupa kapan terakhir kali
menyantap sarapan seenak ini."

"Pujianmu sudah cukup membayar sarapan pagi ini." Tsamara


menimpali. Dia mengulurkan tangan, memegang sendok sayur. "Mau
lagi, aku ambilkan?" tawarnya.

Leo mengangkat tangannya dan menggoyangkannya. "Enggak, aku


harus berangkat sekarang. Ada janji ketemu klien di Bekasi pagi ini."

Lelaki itu memundurkan kursinya dan segera bangkit.

"Sepagi ini?" Alis Tsamara naik sebelah. Ini hari Minggu dan masih pukul
6 pagi.

"Sebelum klienku dipatok ayam, ya, aku harus berangkat sepagi ini."
Leo menyampirkan tali tas selempangnya di bahu kiri. "Titip salam untuk
Fanny. Dan sampaikan maafku pada Alta karena tidak bisa
menemaninya hari ini." Dia mengedikkan bahu. "Siapa tahu Alta akan
merindukan Om-nya yang tampan."

Tsamara menahan diri untuk tidak menampilkan ekspresinya yang ingin


muntah. "Hati-hati," pesannya, berdiri di ambang pintu apartemennya.

"Kamu sungguh enggak apa, kan, jalan-jalan tanpa aku?"

"Enggak apa-apa, memoriku masih cukup tajam untuk mengingat sudut-


sudut Jakarta."

"Kalau ada apa-apa hubungi aku segera."

Setelah mengatakan itu dan mendapat balasan kesiapan dari Tsamara,


Leo berlalu pergi, berdiri sebentar di depan lift dan menghilang saat
pintu lift yang akan membawanya ke basement membuka.

Masih tak beranjak dari memperhatikan lorong apartemennya yang sepi,


Tsamara justru menimbang, haruskah menyapa tetangganya pagi ini
atau tidak. Sebelum Tsamara mengambil keputusan, pintu apartemen di
sebelahnya membuka dan sosok perempuan cantik keluar dari sana.

Tsamara termangu cukup lama, sebelum akhirnya mengulas senyuman


dan menganggukkan kepala. "Halo," sapanya ramah.

"Kamu penghuni baru apartemen ini?" Perempuan bergaun biru muda


itu menghentikan langkah tepat di depan Tsamara.

"Iya, saya baru pindah kemarin."

"Oh, senang mendengar—"

"Elsa!" Seruan tiba-tiba dari pintu apartemen di belakangnya membuat


ucapan perempuan bergaun biru itu terhenti.

Tsamara menoleh ke asal suara dan sedikit terkejut saat mendapati


seorang lelaki yang hanya memakai bathrobe warna putih dan rambut
sedikit basah keluar dari pintu apartemen di sebelahnya.

"Saya permisi dulu," ucap Tsamara masih dengan senyum ramah


disertai kepala terangguk pelan. Baru kemudian dia berbalik, memasuki
apartemennya dan menutup pintu. Dia berdecak dan menggeleng. Baru
satu hari di Jakarta, paginya sudah disambut pasangan kekasih yang
nampaknya salah satunya tidak ingin ditinggalkan sendiri.

"Mbak kenapa?"

Tsamara sedikit berjengit kaget, dan segera menoleh ke arah sang adik.

"Mbak abis ngapain, kok, nyampe kaget begitu?" tanya Fanny lagi.

"Kamu yang ngagetin." Tsamara mendecap. "Mbak udah bikin sarapan,


kamu bisa makan dulu kalau lapar. Mbak mau liat Alta dulu," imbuhnya,
kemudian berlalu untuk memasuki kamarnya.

Sampai di kamarnya, Tsamara mendekati sang putra. Dia duduk di tepi


ranjang dan mengusap puncak kepala bocah manis kesayangannya.
"Jagoan Mama bangun, yuk. Udah pagi."

Tidak ada balasan dan Alta masih terlelap nyaman. Tsamara


melanjutkan, "Mama bikin sosis gurita banyak, kalau Alta enggak
bangun nanti dihabiskan Tante Fanny."

Kemarin Alta rewel menolak makan. Hanya minum susu dan makan
camilan. Itu pun tak seberapa. Tidak berapa lama senyum Tsamara
mengembang saat kelopak mata sang putra membuka perlahan.

"Alta mau sosis gurita," lirih Alta dengan suara sedikit serak.

Tsamara membantu Alta duduk, kemudian turun dari ranjang.

"Sosisnya buat Alta semua."

"Iya, Sayang. Semua untuk Alta." Tsamara mengusap puncak kepala


sang putra yang berjalan pelan keluar kamar dengan jemari yang
sesekali mengusap kelopak mata.

Bocah kesayangannya ini memang terlalu menggemaskan. Hanya


diiming-iming sosis gurita dan bisa bangun dengan mudahnya.

***
"Mama, Alta mau es krim." Alta menarik-narik baju Tsamara dengan
cukup kuat.
Tsamara yang sedari tadi sedang asyik memilih pakaian baru untuk
setelan kerjanya menoleh ke arah sang putra.

"Mau es krim, Ma." Alta mengulang permintaannya.

"Sebentar, Sayang. Mama selesai, kok." Tsamara membujuk,


merendahkan tubuhnya untuk sedikit sejajar dengan sang putra. Namun,
yang ia dapatkan adalah gelengan kepala.

Perempuan itu menghela napas dan segera mengambil tubuh kecil Alta
untuk ia gendong. "Bantuin Mama dulu, pilih warna putih atau abu-abu,"
katanya sembari menunjukkan dua blus yang sejak tadi jadi
pertimbangannya.

"Dua-duanya ambil aja, Mbak. Alta udah rewel liat ada anak pegang es
krim tadi." Fanny bersuara saat berada didekat Tsamara.

Tsamara membawa baju-baju kerjanya dari Yogya memang, tapi tak ada
yang baru. Dan ia merasa paling tidak di hari pertama masuk dia akan
memberi kesan rapi pada penampilannya. Setelah menilik banderol
harga dan memperhitungkan uang di dompetnya, dia akhirnya
mengangguk dan membawa dua potong baju itu ke kasir.

Setelah selesai pembayaran, demi memenuhi keinginan sang putra,


Tsamara segera menuju stan es krim tidak jauh dari toko baju.

"Es krimnya satu saja, ya." Tsamara memberi penawaran, sebelum Alta
meminta. Dengan bibir cemberut, Alta mengangguk.

Tsamara tidak bisa menyembunyikan senyum gelinya. Dia


mengeluarkan uang lima puluh ribu untuk membayar dua cup es krim
pesanannya. Satu lagi untuk Fanny yang sebelum meminta padanya
sudah memberi tatapan memelas.

"Makannya pelan-pelan, Sayang." Tsamara mengusap sudut bibir Alta


yang belepotan es krim coklat. "Kita cari tempat duduk di tepian aja,
kayaknya kosong." Pandangan Tsamara mengedar ke arah deretan
kursi dan meja yang tampak dipadati pengunjung. Tidak heran, karena
ini adalah hari Minggu.

Sebelum dia menemukan kursi kosong yang ia inginkan. Tatapannya


justru tak sengaja menemukan sosok perempuan paruh baya yang
masih tampak cantik, sedang berkumpul dengan beberapa perempuan
lain yang penampilannya tak berbeda jauh. Mewah dan anggun.

"Mbak, di pojokan itu kosong, deh. Kita ke sana saja." Fanny


mengedikkan dagu menunjuk meja kosong yang menjadi arah pandang
Tsamara.
"Jangan."

"Kenapa?" Fanny menoleh refleks ke arah sang kakak yang tampak


menatap waspada ke satu arah.

"Kita pulang saja."

Lalu tanpa menunggu persetujuan Fanny, Tsamara mundur dan


mengayun langkah menjauh. Dekapan lengannya di tubuh mungil sang
putra mengerat. Seolah tampak ketakutan dan juga melindungi miliknya.

Tsamara salah besar telah mengira jika Jakarta begitu luas, hingga
menutup kemungkinan untuk pertemuannya dengan orang-orang di
masa lalu.

Karena bahkan baru sehari, ia tanpa sengaja melihat perempuan itu.

Mantan ibu mertuanya.

***
Bab 4
"Kenapa kamu enggak bilang?" Tsamara tampak amat murka karena
satu fakta yang baru ia ketahui.

Baru saja dia mengatakan pada Leo jika sore tadi saat jalan-jalan ke mal
ia tak sengaja melihat mantan ibu mertuanya. Namun balasan yang ia
terima dari sang sahabat justru membuat ia amat tercengang. Bahwa
perusahaan asuransi tempat ia bekerja sudah diambil alih oleh Ghaly
Badrayudha.

"Bukannya kamu udah tahu?" Sekali lagi Leo membalas ringan. Kali ini
ia menyambangi apartemen Tsamara untuk makan malam bersama atas
undangan perempuan itu. Dan tentu saja ia tidak memiliki alasan
menolak. Justru amat bersyukur karena ia baru saja selesai
membersihkan diri sehabis pulang kerja.

Tsamara merasa pening tiba-tiba. Dia menumpu lengan di atas meja


makan dan memijit pelipisnya. "Kalau aku udah tahu, aku enggak akan
sekesal ini." Dia menarik napas panjang, melirik ke arah sang putra
yang tengah memperhatikan dirinya. "Alta sayang, habiskan makannya.
Nanti boleh nonton tv sama Tante Fanny."

Setelah mengusap puncak kepala Alta dan memuji sang putra yang
pintar, Tsamara kembali bertatap muka dengan Leo, memberi tatapan
tajamnya. "Kenapa enggak bilang, sengaja biar aku terjebak dengan
lelaki itu."

"Kupikir kamu sudah tahu tentang itu. Lagipula enggak mungkin banget
kamu enggak dapat kabar tentang itu di kantor lamamu." Leo berdecap.
Melirik sinis pada Tsamara yang tak juga meredupkan tatapan, seolah
mengajak perang dengannya.

Tsamara mengingat, apakah di kantor ada pembicaraan tentang


perusahaannya yang berpindah pemilik, dia tidak pernah merasa
mendengar tentang itu.
Tidak ingin menggali ingatannya lebih dalam, Tsamara mengibaskan
tangan. "Entahlah, aku enggak ingat. Yang terpenting sekarang aku
harus bagaimana?"
"Bagaimana apanya? Enggak ada yang berubah, kamu akan tetap
ngantor seperti rencana awal kedatanganmu ke sini."

"Dengan berada di satu atap perusahaan sama Ghaly." Tsamara


membalas sinis ucapan Leo. Dia menggeleng-geleng tidak setuju
dengan apa yang ia katakan barusan. "Aku selalu berharap buat enggak
pernah ketemu dia sama sekali."

Karena Tsamara khawatir, hatinya yang tidak tahu diri justru akan
berdebar senang hanya melihat lelaki itu. Dia sangat membenci dirinya
sendiri yang bertahun-tahun ini tak pernah berhasil menghapus jejak-
jejak Ghaly dari hatinya.

"Kamu bilang, kamu sudah berhasil berdamai dengan masa lalu."

"Memang."

Leo berdecih. "Lalu tadi apa? Kamu khawatir banget kalau ketemu
Ghaly. Apa yang kamu takutkan sebenarnya, Tsa?"

Tsamara terdiam. Bola mata yang sedari tadi berpendar tajam kini
meredup perlahan.

"Kamu takut kalau kalian bertemu, Ghaly akan tahu tentang Alta." Leo
melirihkan ucapannya, melirik Alta yang antusias menghabiskan susu di
gelasnya. Bocah tampan itu sudah menghabiskan makan malamnya
sendiri tanpa disuapi Tsamara.

Kemudian tatapan Leo beralih ke arah Fanny dan berbicara tanpa suara
pada gadis itu untuk membawa Alta ke ruang tv. Dia merasa obrolannya
dengan Tsamara tidak akan bisa ia bawa santai lagi.

Setelah Fanny dan Alta berlalu dari meja makan, Leo menghela napas
pelan dengan tatapan terarah pada Tsamara. "Aku memang masih
membenci Ghaly, tapi kupikir dia berhak tahu kalau dia memiliki Alta.
Dan Alta pun berhak tahu siapa papanya."

"Enggak."

"Tsa."

Tsamara menggeleng. Skenario terburuk adalah membiarkan Ghaly


mengetahui ada Alta, buah cinta mereka dulu. "Ghaly enggak harus
tahu. Alta baik-baik saja selama ini, meski enggak pernah melihat
papanya. Alta masih punya aku yang menjadi papa dan mama
untuknya."

"Kamu khawatir Ghaly akan mengambil Alta darimu?" Leo menyudahi


acara makannya, menggeser piring ke samping dan mengaitkan
jemarinya di atas meja. Ketika pertanyaan darinya dibalas gelengan
kepala dari Tsamara, ia melanjutkan, "Kamu tahu persis bagaimana dia,
Tsa."

"Sejak dia enggak percaya padaku, pada semua penjelasanku lima


tahun lalu. Aku enggak pernah lagi menganggap Ghaly satu orang sama
yang aku kenal." Tsamara menggigit bibir bawahnya. Bayangan kelam
perpisahannya dengan Ghaly lima tahun lalu selalu berhasil membuat
luka hatinya menguak ke permukaan. Dia benci membahas Ghaly.
Karena setiap kali nama lelaki itu keluar dari bibirnya, ia akan menjadi
sosok yang rapuh.

Leo menelan ludahnya kasar. Dia menjadi satu-satunya tersangka yang


membuat hubungan Ghaly dan Tsamara yang tadinya penuh cinta
berubah retak dan hancur tak bersisa. "Harusnya kamu membiarkan aku
berlutut di depan Ghaly agar dia percaya kalau aku dan kamu—"

"Itu enggak akan merubah apapun." Tsamara memotong cepat.


"Sekalipun kamu bersujud dan mencium kakinya, Ghaly lebih percaya
dengan apa yang ia lihat." Dia mengedikkan bahu. "Sudah aku katakan
berulang kali, itu bukan salah kamu. Kamu enggak seharusnya
berlarut-larut merasa bersalah."

"Aku enggak merasa bersalah. Cuma ngerasa kalau aku tersangka


penuh dosa yang menghancurkan kebahagiaan kalian."

Tsamara tersenyum samar. "Kita enggak benar-benar berbahagia


dahulu. Menikah diam-diam dan tanpa restu orang tua. Kamu tahu
rasanya tinggal di rumah suamimu namun tak pernah dianggap
keberadaannya oleh ibu mertua. Itu sangat menyebalkan."

Tentang masa lalunya memang selalu menarik untuk diceritakan.


Bagaimana ia bertahan hidup di tengah-tengah ibu mertua yang tidak
melihat keberadaan dirinya. Dia berada di tengah keramaian namun
hanya Ghaly yang melihatnya, yang melontarkan senyum padanya.
Dia bertahan, dan akhirnya ada satu masa ia memang harus memillih
menjadi pihak yang kalah.

"Karena aku enggak punya suami, aku enggak tahu rasanya." Leo
membalas ucapan Tsamara dengan sedikit kelakar.

Tsamara berdecih dan mengumpat lirih. "Jadi, aku harus bagaimana?


Kembali ke Yogya aja." Dia sungguh tidak ingin berada di tempat yang
sama dengan Ghaly. Lagipula, ia sudah berjanji pada lelaki itu jika ia
tidak akan pernah menampakkan diri di depannya lagi.

"Jangan jadi pengecut, Tsa."

"Aku bukan pengecut." Tsamara menandaskan ucapannya.

"Karena kamu bukan pengecut, maka kamu harus hadapi." Leo


mengetuk meja makan dengan jari. "Lagipula, perusahaan asuransi
tempatmu bekerja bukan satu-satunya milik Ghaly, dan enggak
seberapa besar dibanding perusahaan properti milik keluarganya. Dan
bisa kupastikan, Ghaly enggak akan punya waktu ke kantor asuransimu.
Dia lebih suka melihat kota baru yang sedang dibangunnya di berbagai
daerah."

***

"Leo pembohong.”

Tsamara mengumpat di dalam hati entah sudah keberapa kali sepanjang


hari ini. Baru satu hari ia masuk kerja, berusaha menyesuaikan diri dan
menjadi pegawai teladan. Namun, sepanjang hari itu juga, telinganya tak
pernah lepas dari pembicaraan tentang Ghaly Badrayudha, sang pemilik
perusahaan yang seharian berada di satu gedung dengannya.

Dan sepanjang hari pula, Tsamara merasa amat was-was, khawatir


sewaktu-waktu Ghaly menyambangi ruang kerjanya dan mendapati
dirinya di balik kubikel. Tsamara tidak pernah merasa setertekan ini
dalam bekerja. Dia kehilangan fokusnya.

Demi apapun, ia ingin sekali membungkam rekan kantornya yang


sepanjang waktu selama ada kesempatan selalu menyelipkan nama
Ghaly di dalam obrolan. Entah memuji ketampanan lelaki itu yang bak
bidadara turun dari kahyangan, atau tentang tubuhnya yang tinggi tegap,
dan atletis. Atau yang paling menyebalkan ketika
perempuan-perempuan itu mulai membahas fantasi mereka ketika
berada di bawah tindihan kokoh lengan Ghaly.

Percayalah, Tsamara sudah pernah merasakannya.

Tsamara berdecak amat keras. Mengumpat sejadinya. Teramat ingin


meninju mejanya. Pada akhirnya ia terprovokasi juga dengan obrolan-
obrolan itu.

"Ini enggak baik, Tsa. Kamu harus mengosongkan pikiranmu dari lelaki
itu."

Perempuan itu memijit pelipisnya pelan dengan kelopak mata terpejam.


Berusaha meyakinkan diri kalau hari-harinya akan baik-baik saja. Ghaly
mungkin berada di kantornya namun posisi Tsamara masih amat
rendah, kemungkinan sangat kecil pertemuan mereka bisa terjadi.

Ghaly hanya akan berurusan dengan atasan-atasannya bukan dengan


staf seperti dirinya.

Benar, kamu harus tenang, Tsa.

Tsamara mencoba menenangkan dirinya sendiri. Memberi


kemungkinan-kemungkinan baik yang bisa terjadi. Hingga sebuah
colekan di bahunya membuat ia berjengit kaget.

"Jamnya pulang, Tsa. Mau bareng, enggak?"

Mendongak, Tsamara menemukan rekan kantornya yang kubikelnya


berada tepat di sebelahnya. Perempuan yang juga sangat antusias
membahas Ghaly. Sebelum menjawab, Tsamara lebih dulu melirik arloji
di tangan kirinya. Memang sudah jamnya pulang kerja.

"Duluan aja, Nis. Aku mau beresin meja dulu." Tsamara tersenyum
ramah, menolak ajakan Nisa. Rekan kantor yang menyambutnya amat
baik dan bersahabat.

"Oke. Aku tinggal, ya."

"Iya. Hati-hati." Tsamara melambaikan tangan pada Nisa dan beberapa


rekan kantor yang berderap meninggalkan kubikel masing-masing.
Sendirian, sesuai dengan yang ia katakan, Tsamara memberesi meja
kerjanya. Sebelum keluar dari kubikelnya, ia menyempatkan membuka
pesan dari Fanny, membaca sederet balasan dari sang adik tentang
keinginan menu makan malam mereka kali ini.

Tsamara memasuki lift dengan dua rekan kantornya yang masih


tertinggal, mengambil tempat di paling sudut. Baru beberapa saat lift
bergerak turun, Tsamara merasakan lift yang ia naiki berhenti, dan
pintunya membuka, beberapa orang yang menunggu di depan lift
tertangkap netranya.

Ada satu sosok yang sudah begitu lama tidak pernah ia lihat, sore ini
tertangkap netranya, tampak sedang mengutak-atik ponsel. Degup
jantung Tsamara naik beberapa ketukan. Refleks, Tsamara
memundurkan tubuh hingga menyentuh pembatas lift. Dia menunduk
dalam dan menelan ludah kasar. Jemarinya saling terkait karena tanpa
bisa ia cegah, bergetar menyebalkan.

"Selamat sore, Pak Ghaly."

Sapaan ramah dari orang di sebelahnya, membuat Tsamara hampir


berjengit terkejut.

"Sore."

Dan untuk kali pertama setelah bertahun-tahun, Tsamara mendengar


suara itu. Suara mantan suaminya. Dia sungguh ingin bersembunyi,
berharap bisa menembus dinding agar tidak berada dalam satu lift yang
sama. Kepalanya semakin menunduk dalam. Dia kebingungan harus
menutupi dirinya dengan apa lagi. Hanya berharap Ghaly tak cukup
mengenali dirinya yang memakai selembar masker di wajahnya.

Bibirnya terus membisiki mantra, semoga kali ini takdir memihak dirinya,
Ghaly tidak perlu menoleh ke belakang dan menemukan dirinya.

Udara di sekitar Tsamara terasa begitu sesak. Dari banyak skenario baik
yang terancang di benaknya, nampaknya tak ada satu pun yang sesuai
dengan bayang-bayang keinginannya. Kali ini ia sungguh bertaruh,
kalaupun Ghaly berbalik dan mendapati dirinya, maka ia akan berperan
menjadi perempuan arogan yang menegakkan dagunya tanpa kenal
takut.

Dia harus bersikap seperti itu.


Atau pura-pura tidak kenal dan amnesia.
Ah, nampaknya opsi kedua paling mungkin dan menyenangkan. Dia
akan berpura-pura tidak mengenal Ghaly, seolah mereka adalah dua
orang asing yang baru pertama kali bertemu.

Sebelum skenario yang terancang di benaknya bisa ia lakukan, lift


berhenti tepat di lantai satu. Bersama satu orang lainnya, Tsamara
dengan langkah yang amat hati-hati berjalan keluar lift dan melewati
Ghaly, berusaha semampunya untuk tidak menampakkan bagaimana
tubuhnya tremor seperti demam.

Perempuan itu baru saja akan mendesah lega saat kakinya berhasil
keluar lift, namun terenggut oleh suara berat yang menggetarkan
telinganya.

"Kamu yang pakai masker, tidak sopan melewati atasanmu tanpa


menyapa."

***
Bab 5

Tsamara merasa amat bersyukur karena hari-harinya menjalani


pekerjaan begitu aman dan damai. Tidak ada pertemuan dengan Ghaly
Badrayudha, sedetik pun. Kali ini ia amat sependapat dengan Leo yang
mengatakan Ghaly tidak akan menyambangi kantornya. Buktinya
setelah bekerja hampir tiga minggu, dia tidak pernah lagi mendapat
kabar tentang kehadiran Ghaly di kantor.

Apalah perusahaan asuransi yang amat kecil ini, tidak lebih penting
daripada perusahaan properti yang sedang membangun kota baru yang
modern.

Takdir nampaknya berpihak kepadanya karena begitu gigih berdo'a.

Dan untuk sore di hari pertama bekerja saat tak sengaja satu lift dengan
Ghaly dan bahkan ditegur lelaki itu, Tsamara memainkan perannya
dengan apik. Mengatakan jika ia sedang flu, basa-basi menyapa dan
segera melenggang pergi dengan langkah seribu.

"Tsa, mau pesan ayam geprek enggak, buat makan malam?"

Tawaran Nisa dari sebelah kubikelnya membuat Tsamara mendongak


dari fokusnya menatap layar monitor. "Boleh, aku pesan satu, ya."

"Minumnya?" Nisa kembali bertanya sembari sibuk menatap layar


ponsel.

"Es jeruk, aja, Nis. Thanks, ya." Senyum Tsamara melebar. Hari ini dia
ada lembur sampai jam 9. Dia tidak menolak, tentu saja. Uang
lemburnya bisa dipakai untuk beli susu Alta. Dan selagi ada Fanny yang
belum mendapat pekerjaan, bisa menjaga Alta 24 jam.

Setelah memberi uang pembayaran ayam geprek pada Nisa, Tsamara


kembali berkutat dengan pekerjaan. Begitu bersemangat untuk
menyelesaikannya.
Untuk beberapa saat terlewat, dia bertahan membungkam bibirnya
begitu rapat, dengan jemari yang sibuk menari di atas keyboard. Hingga
dering ponsel yang ia simpan di dalam laci mengalihkan perhatiannya.
Saat ia mengambil ponselnya, nama Fanny tertera di layar yang
menyala. Tanpa berpikir panjang, ia segera mengangkat panggilan sang
adik.

"Kenapa, Fan?" Tanya Tsamara setelah menjawab salam dari Fanny.


Sebelumnya ia sudah mengabari pada gadis itu bahwa akan lembur dan
pulang sedikit malam.

"Aku sama Alta nyari makan ke bawah, ya, Mbak. Alta juga merengek
minta es krim. Mana tanya-tanya terus kapan Mbak pulang."

Tsamara melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul enam kurang


lima belas menit. Memang jam-jam segini ia sudah sampai rumah
biasanya, karena jarak kantor dan apartemen tidak terlalu jauh. Naik
ojek online akan cepat sampai karena bisa sedikit nyelip-nyelip di
kemacetan.

"Ya udah, boleh. Tapi, jangan keluar terlalu malam dan jangan main ke
mana-mana. Cukup di sekitar apartemen."

Jakarta masih jadi kota yang baru untuk Fanny, Tsamara tidak akan
pernah tenang melepas Fanny dan Alta sendirian tanpa ia dampingi
untuk berjalan-jalan di Jakarta, terlebih malam hari.

"Iya, Mbak. Aku enggak akan jauh."

"Mbak lebih suka kamu pesan makan online, Fan."

"Nanti aku ajak Mas Leo buat temenin kalau udah pulang."

Tsamara mendesah pelan. "Hati-hati, Mbak pulang jam 9."

Setelah menyelesaikan obrolan singkatnya dengan Fanny, dan juga Alta


yang mengatakan ingin berbicara dengannya sekadar merengek minta
es krim coklat, Tsamara menutup panggilan. Seharian tidak bertemu Alta
dia sudah begitu rindu dengan celoteh sang putra.

***
Fanny menuntun Alta keluar lobi apartemen, dia mengayun langkah
mantapnya ke arah minimarket di ujung blok.

"Alta mau tiga es krim, Tante." Alta mengangkat jari-jari mungilnya ke


udara sejumlah tiga.
"Banyak banget, mau dibagi buat Tante dan Mama, ya?"

Alta menggeleng-gelengkan kepala. "Enggak. Buat Alta semua."

"Enggak boleh banyak-banyak, loh, sama Mama."

"Biarin, Alta sebel Mama enggak pulang-pulang."

Fanny mengusap puncak kepala Alta dan menghentikan langkah tepat


di pelataran parkir kedai sop buntut. "Mama, kan, cari uang buat beli
susu Alta."

"Kenapa Mama yang cari uang? Semua teman-teman Alta, mamanya


enggak cari uang." Alta melipat lengannya di dada sembari
menunjukkan ekspresi sebalnya. Bertingkah seperti bocah yang sudah
dewasa. "Alta pengin main sama Mama seharian."

Wajah Alta yang sudah memerah hampir menangis, membuat Fanny


bergerak cepat mengambil tubuh mungil Alta untuk ia gendong. "Nanti
bilang Mama, Alta pengen main seharian."

Fanny mengerti betul bagaimana manjanya Alta. Berada di tempat baru,


lingkungan baru, dan teman-teman baru tidaklah mudah untuk anak
seusia Alta, apalagi setiap hari harus ditinggal ibunya bekerja. Dan tidak
heran juga jika Alta menginginkan seperti teman lainnya.

Sayangnya, Tsamara hanya membesarkan Alta sendiri, tanpa figur ayah


untuk anak itu.

"Nanti kita beli es krim tiga buat Alta semua, ya. Sekarang kita beli sop
dulu. Oke." Fanny mengacungkan ibu jarinya ke hadapan Alta yang
disambut anggukan senang dari bocah itu.

Baru saja Fanny akan memasuki kedai sop buntut, dia tidak sengaja
menabrak seseorang. Hampir membuat ia dan Alta terjatuh, sebelum
lengannya direnggut dan mencegah tubuhnya oleng.

"Maaf, saya tidak sengaja." Lelaki yang menubruk Fanny membuka


suara sedangkan gadis itu sibuk menenangkan Alta yang kembali
hampir menangis. "Kamu enggak apa-apa?" tanyanya.

"Enggak apa-apa, hanya sedikit terkejut." Fanny mendongak dengan


seulas senyum menghias di bibirnya, demi meyakinkan laki-laki yang
menubruknya bahwa ia baik-baik saja. Namun, sedetik saat manik
matanya bertemu dengan sosok lelaki itu, lidahnya berubah kelu.
Senyumnya memudar perlahan tergantikan dengan bola mata yang
membulat.

Lelaki itu adalah Ghaly.

Ucapan Tsamara yang memperingati dirinya untuk menghindari


pertemuan dengan Ghaly atau pun keluarga lelaki itu terngiang di
kepala. Seperti sebuah alarm yang memberi peringatan agar ia segera
pergi dan menghilang. Dia sungguh ingin melakukan itu, namun lelaki di
depannya lebih dulu mengenali dirinya.

"Fanny? Kamu Fanny, kan?" Ghaly menebak ramah. "Aku pikir siapa,
hampir aja aku enggak mengenali kamu. Kamu udah sebesar ini."

Terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa adalah yang sedang terjadi
pada Fanny. Dia sangat tidak menyangka jika mantan kakak iparnya
mengenali dirinya, terlebih menyapanya ramah.
"Kamu lupa sama, Mas? Ini aku, Ghaly." Ghaly kembali membuka suara.
Masih dengan nadanya yang amat ramah.

Dengan senyum sedikit kaku terulas di bibirnya, Fanny menggeleng


pelan. "Hai, Mas Ghaly, Fanny enggak lupa sama Mas Ghaly, kok."
Meski hanya hitungan jari pertemuannya dengan Ghaly dan mereka pun
tidak bisa dikatakan dekat, namun, wajah lelaki itu terekam jelas di
ingatan. Dan tidak banyak berubah dari lima tahun lalu.

"Oh, syukurlah. Kamu sama siapa di sini?" Ghaly menatap bergantian


wajah Fanny dan bocah laki-laki yang tampak cemberut dalam
gendongan Fanny. Untuk beberapa saat ia terpaku menatap wajah
bocah itu, seperti begitu familiar dengannya.

Fanny tergagap saat menemukan tatapan Ghaly yang begitu intens


pada Alta. Dia tidak tahu harus menyembunyikan Alta seperti apa.
"Fanny sama sepupu Fanny aja, Mas."

"Sepupu kamu?" Ghaly mengulang. "Siapa namanya?"

"Al ... Alta, Mas." Fanny berusaha menyamarkan gugupnya. Hanya


berharap, Ghaly tidak mengorek tentang Alta lebih dalam. "Alta, salim
sama Om Ghaly."
Batin Fanny terenyuh. Ini adalah kali pertama Alta bertemu papanya dan
ia terpaksa tidak mengungkap identitas Alta yang sesungguhnya.

"Enggak mau. Alta mau es krim," Alta merengek.

Ghaly dengan berani mengulurkan tangan, mengusap puncak kepala


Alta, membuat atensi bocah itu terarah padanya. "Alta mau es krim, mau
beli sama Om?"

Sekali lagi, Alta menggeleng.

"Maaf, Mas Ghaly. Alta rada rewel jadi susah dibujuk," Fanny meringis.

"Enggak apa-apa. Kita beli sama kamu, yuk. Ke sebelah." Ghaly


mengedikkan dagu menunjuk mini market di sebelah kedai sop buntut.
"Atau mau pesan sup dulu, kamu tadinya mau ke sini, kan?"

"Iya, Mas. Fanny pesan sop dulu."

Setelah memesan dua bungkus sop buntut untuk dibawa pulang,


bersama Ghaly, Fanny dan Alta masuk ke mini market dan langsung
menuju pojok es krim.

"Alta pilih mau es krim apa?" Ghaly membuka suara, membuka sliding
kaca freezer es krim dan menampilkan berbagai rasa es krim di
dalamnya.

Tanpa berlama-lama, Alta yang masih berada dalam gendongan Fanny


mengulurkan tangan kecilnya mengambil tiga buah es krim rasa coklat.
Ia dekap di dada dan menegakkan punggung. Menatap Ghaly dengan
senyuman di bibir.

"Hanya tiga?" alis Ghaly naik sebelah. "Ambil sebanyak yang kamu
mau."

"Mbak—" Fanny meringis karena hampir keceplosan menyebut nama


Tsamara. "Bibi akan marah kalau Alta makan es krim banyak-banyak.
Tiga udah cukup, kok, Mas."

"Bisa dimakan berkala, kok, Fan. Enggak harus langsung habis. Biar
Mas beliin yang banyak sekalian." Ghaly tidak menghiraukan ucapan
Fanny. Jemarinya terulur mengambil beberapa bungkus es krim di sana.
Dan senyumnya mengulas geli saat mendapati wajah Alta yang tampak
senang bahkan bibirnya membuka. Seolah apa yang sedang ia lakukan
adalah hal yang luar biasa.

Fanny hanya bisa pasrah saat sekantong besar es krim dan camilan
diserahkan Ghaly padanya. "Mas Ghaly enggak perlu repot-repot bayari
kami es krim dan camilan."

"Enggak apa-apa, sesekali karena kita kebetulan bertemu." Ghaly


menatap Alta yang asyik menjilati es krimnya hingga belepotan
memenuhi bibir mungil itu. "Jadi kamu tinggal sama siapa dan sedang
apa di Jakarta. Kuliah atau ...?"

"Tinggal sama Bibi, Mas." Fanny berusaha keras untuk menampilkan


ekspresi biasa agar tidak terlalu nampak kebohongannya. "Dan
kebetulan sedang cari pekerjaan."

Ghaly mendengarkan ucapan Fanny dengan kepala mengangguk pelan


sembari mengayun langkah menuju kedai sop. "Sudah dapat panggilan
kerja? Kalau belum, kamu bisa bekerja di kantor Mas."

Fanny terkesiap pelan. Tidak menyangka Ghaly akan memberi


penawaran seperti itu. Ghaly yang bersikap baik padanya saja sudah
cukup mengejutkannya. Terlebih sekarang, saat menawarinya sebuah
pekerjaan. "Terima kasih, Mas. Kebetulan Fanny udah wawancara tahap
satu kemarin, tinggal menunggu panggilan berikutnya saja, sih."

Dia berbohong. Belum ada satupun panggilan wawancara pekerjaan


untuknya. Namun, menerima tawaran Ghaly akan membuat kakaknya
tidak suka.

"Kalau kamu belum juga diterima bekerja, kamu bisa kapan saja datang
ke kantor Mas." Ghaly mengusap puncak kepala Alta saat mereka
berhenti serentak di depan kedai sop buntut. "Kamu tahu, kan, di mana
kantor Mas?"

"Tahu, Mas." Fanny mengulas senyuman tipis. Kemarin, saat ia


berselancar di internet dan menemukan lowongan pekerjaan di
perusahaan milik Ghaly, dia sempat memuji gedung kantor milik lelaki itu
yang menjulang ke langit. Namun, pujiannya langsung dibabat habis
dengan ketidaksukaan Tsamara.

"Kamu tahu, Mas akan lebih suka kalau kamu menganggap Mas seperti
kakakmu," Ghaly berujar lirih.
Dia adalah putra tunggal, hanya memiliki saudara sepupu dan itu pun
tak ada yang akur. Karena di dalam keluarga besarnya, yang mereka
lakukan adalah bersaing dan bersaing untuk memperebutkan kekuasaan
tertinggi di perusahaan.

***
Bab 6

Tsamara melirik sebal ke arah tamunya yang bertandang pagi ini.


"Harusnya jangan dibukain pintu, Fan. Dia enggak dapat jatah sarapan
pagi ini," ucap Tsamara sinis. Tatapannya terhunus ke arah Leo yang
baru saja bergabung ke meja makan.

"Apa yang salah?" Leo bertanya bingung sembari mengangkat dua


tangannya. Dia merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. Bahkan
beberapa hari ini ia tidak sempat bertemu dengan Tsamara karena
pekerjaannya yang padat dan sering ke luar kota.

"Sok lupa ingatan." Dan Tsamara masih mempertahankan kesinisannya


sambil terus menyuapi Alta.

Leo yang baru saja mengambil piring untuk makannya sendiri.


membalas ringan, "Lupa ingatan apa, Tsa?" Dia sungguh tidak mengerti
apa yang sedang Tsamara bicarakan.

"Kamu sudah aku peringati buat enggak ngasih jajan banyak-banyak,


tapi tetep aja beliin es krim—" Di kata es krim, Tsamara melirihkan
ucapannya agar tidak terdengar Alta. "Tapi tetep aja ngeyel malah beli
snack seplastik besar."

"Tunggu—"

Ucapan Leo yang ingin mengutarakan penyangkalan, terhenti saat


jemari Fanny jatuh di lengannya. Terlebih saat perempuan itu berbisik
untuk mengiakan tuduhan Tsamara dan meminta maaf. Untuk beberapa
saat, lelaki itu bertahan membungkam bibirnya dengan kening
mengernyit seolah sedang membaca raut wajah Fanny yang memohon.

"Kalau kamu mau kasih snack buat Fanny, kasihlah di belakang Alta,
jangan sampai terlihat dia." Tsamara kembali melanjutkan cercaannya.

Leo melirik cengkeraman jemari Fanny di lengannya yang semakin


menguat, membuat dia akhirnya menghela napas pasrah, mengakui
sesuatu yang tidak ia lakukan." Iya, maaf. Aku baru dapat bonus dari
klien jadi khilaf kasih banyak."
Tsamara mendongak, meletakkan piring makan Alta yang sudah kosong
ke atas meja. "Kali ini aku maafin. Sekarang sarapan, habiskan
makananmu."

"Terima kasih, Bu." Leo menggumam lirih, menahan senyum gelinya dan
mulai mengambil nasi. Padahal sejak tadi, bahkan sebelum diizinkan,
dia sudah memakan remahan fried chicken yang Tsamara sajikan di
atas piring.

Setelah puas mencerca Leo, Tsamara bangkit dari duduknya dengan


Alta yang ia tuntun untuk masuk ke kamar. Dia harus memandikan Alta
lebih dulu sebelum berangkat bekerja. Tadi Alta merengek untuk
sarapan lebih dulu.

"Aku minta maaf, Mas Leo." Fanny menarik jemarinya dari lengan Leo
dengan canggung setelah memastikan Tsamara sudah tak lagi terlihat.

Leo menyuap makanannya dengan santai. "Jadi, kamu beli es krim dan
snack banyak-banyak lalu jadiin aku kambing hitam?" Lelaki itu sedikit
melirik ke arah gadis muda yang bertahan menunduk, dia yakin, wajah
Fanny pasti memerah malu karena perkataannya benar.

"Bukan aku yang beli."

"Bukan kamu?" Leo memastikan. "Lalu kamu dibelikan snack oleh orang
lain?" Bola mata Leo membulat. "Astaga Fanny, itu berbahaya, kamu
enggak bisa terima makanan begitu saja dari orang enggak dikenal."
Dan dia ramai sendiri, mulai mengutarakan kekhawatirannya. "Apalagi
kamu bawa Alta. Di sini masih marak penculikan anak. Enggak ada yang
tidak tertarik dengan visual Alta yang tampan dan bikin gemas."

Fanny ragu untuk mengutarakan kebenaran, namun bibirnya tetap saja


bergerak melisankan satu nama. "Mas Ghaly."

"Apa?"

"Mas Ghaly yang belikan es krim dan snack."

Leo terbatuk, sisa makanan di mulutnya menyembur keluar. "Ghaly?"


Dan suara yang ia keluarkan sedikit lebih keras.

Sembari memberi lembaran tisu pada Leo, Fanny memperingati.


"Jangan keras-keras, nanti terdengar Mbak Tsa."
Setelah mengusap mulutnya dan meneguk minuman, kini Leo memberi
atensi lebih pada Fanny. "Jadi, kamu bertemu Ghaly?"

Fanny mengangguk. "Iya. Kemarin aku sama Alta ke bawah, beli


makanan, lalu enggak sengaja ketemu Mas Ghaly.'

"Alta juga sudah bertemu Ghaly?" Leo menyambar cepat. "Gimana


tanggapan Ghaly melihat Alta?" Dia penasaran dengan reaksi Ghaly
saat melihat Alta untuk pertama kali. Apakah Ghaly akan sadar jika Alta
adalah anaknya.

Kalau sadar, Ghaly pasti tidak akan tinggal diam. Minimal akan kembali
mengikat Tsamara. Mengingat dua orang itu memiliki cinta yang malang.
Terlebih dari kabar burung yang ia dengar, Ghaly tidak pernah menjalin
asmara dengan perempuan manapun bertahun-tahun ini.

"Aku bilang sama Mas Ghaly kalau Alta sepupu aku." Fanny meringis
mengingat pertemuannya dengan Ghaly kemarin. "Dia enggak curiga
apa pun, itu cukup melegakan. Dan aku mohon, jangan bilang Mbak
Tsa, ya, Mas." Kali ini Fanny menatap ke arah Leo penuh permohonan.
"Mbak Tsa enggak akan suka kalau tahu Alta dan Mas Ghaly sudah
bertemu."

"Jadi karena itu, kamu bilang sama Tsa kalau aku yang beliin es krim,
buat menutupi pertemuan kalian dengan Ghaly?" Saat Fanny
mengangguk sebagai jawaban, Leo kembali melanjutkan ucapan, "Tapi,
kamu enggak bisa menyembunyikan kebohongan seperti ini, Fan."

"Aku tahu, Mas. Tapi, aku enggak punya pilihan. Mas Ghaly juga
kemarin kelihatan baik banget, enggak seperti yang Mbak Tsa katakan.
Rasanya enggak mungkin kalau Mas Ghaly tahu tentang Mbak Tsa dan
Alta, Mas Ghaly bakal rebut Alta."

Leo tahu, Ghaly memang baik. Jika bukan orang baik, Tsamara tidak
akan pernah menikahi lelaki itu di masa lalu. Tapi, Ghaly juga bodoh dan
egois. Yang akhirnya membuat hubungan keduanya hancur berantakan.

"Aku setuju buat enggak bilang tentang Ghaly pada Tsa," ucap Leo
memutus obrolan tentang Ghaly agar tidak lebih melebar lagi. Tsamara
bisa kapan saja kembali ke meja makan, dan mendengar obrolan
mereka tentang Ghaly nantinya.
"Mas Leo, tapi aku penasaran satu hal, apa masih ada kemungkinan
Mas Ghaly dan Mbak Tsa kembali bersama? Mengingat Mbak Tsa
selama ini selalu menolak lamaran yang datang." Fanny mengira,
Tsamara masih mencintai Ghaly karena kenyataan yang ia lihat.

Di mana selama beberapa tahun setelah perpisahannya dengan Ghaly,


bukan satu dua lelaki saja yang datang ke rumah untuk menjadikan
Tsamara pengantinnya, tapi banyak. Mulai dari berbagai profesi dan
kemampuan finansial yang mapan.

Tidak mengherankan, karena meski sudah memiliki seorang putra dan


usia yang semakin bertambah, Tsamara tampak tak menua. Masih
tampak seperti perempuan awal dua puluhan.

Sayangnya, semua lelaki yang datang melamar ke rumah harus


menelan penolakan dari Tsamara, tanpa pertimbangan.

"Ada begitu banyak kemungkinan di dunia ini. Mungkin hal itu bisa
menjadi salah satunya." Leo menjawab lirih.

***
Ghaly sedang duduk bersandar di kursi kerjanya dengan kaki menyilang
ketika pintu ruang kerjanya diketuk. Dia kemudian meletakkan tablet
yang sedari tadi berada di dalam genggaman, sembari berseru meminta
seseorang yang mengetuk pintu kantornya untuk masuk.

"Kamu menemukan apa yang saya minta?" tanya Ghaly ketika menatap
Andre–asisten pribadinya memasuki ruangan.

Andre menghentikan langkah di depan meja Ghaly dan menyerahkan


sebuah map berwarna biru ke hadapan sang atasan. "Seperti yang
Anda minta, Pak. Dan memang benar, ada seorang karyawan bernama
Tsamara, dia dimutasi dari kantor cabang kita di Yogyakarta. Semua
data-data tentangnya ada di dalam map."

Ghaly mengangguk seraya mengulurkan lengan untuk mengambil map


itu dan membukanya. "Terima kasih, Ndre. Kamu bisa kembali ke
mejamu."

Dengan sedikit merendahkan tubuh, Andre pamit undur diri.

Sendirian, Ghaly membaca sederet nama di dalam map, Tsamara Btari.


Dan ketika netranya menemukan pas foto ukuran 4x6 menampilkan
wajah Tsamara, yang sama persis seperti yang selama ini mendekam di
benaknya, Ghaly terpaku sempurna. Untuk beberapa saat, kelopak
matanya bahkan tidak berkedip.

"Jadi, kamu benar ada di sini?" Ghaly menggumam dengan jemari yang
sibuk membuka lembaran data diri Tsamara.

Sebelumnya, ia tidak berharap banyak bahwa dugaannya adalah


kebenaran. Namun ketika melihat sendiri Tsamara bergabung di
kantornya, ia tidak bisa untuk tidak percaya.

Tadi siang, dia meminta Andre untuk mencari nama Tsamara, iseng saja,
berbekal pertemuannya dengan Fanny kemarin, dan juga sekelebat
perempuan yang pernah ia lihat beberapa minggu lalu di dalam lift, yang
di matanya begitu mirip dengan Tsamara.

Ghaly sempat mengabaikan ketajaman penglihatannya saat itu, dengan


mengutuk diri bahwa ia hanya berhalusinasi.

Namun kini, ia justru merasa tidak memahami dirinya sendiri, sudah lima
tahun berlalu dan ia masih begitu hafal bagaimana postur tubuh
Tsamara, rambutnya yang tergerai, dan wajahnya, meski saat
pertemuan mereka saat itu, Tsamara mengenakan masker.

Kesal, Ghaly melempar map data diri Tsamara ke atas meja, diiringi
dengan umpatan keras.

Ghaly tidak yakin, haruskah mengetahui keberadaan Tsamara atau tetap


di posisinya dengan menutup semua hal yang berkaitan dengan
perempuan itu. Tapi, ketika ia tahu tentang perempuan itu, dia sadar, dia
tidak akan tinggal diam. Keinginan membalas rasa sakit yang selama ini
dideranya kian besar.

Dia membenci Tsamara, namun di satu sisi juga tak ingin menyakiti
perempuan itu.

Tidak ingin amarahnya menjadi-jadi, Ghaly memilih keluar ruang


kerjanya, berniat pulang.

"Andre, kamu belum pulang?" Lelaki itu bersuara saat melewati meja
Andre dan mendapati Andre bertahan di meja kerjanya, padahal jam
pulang sudah lewat dari beberapa menit lalu.
"Bapak sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi?" tanya Andre bangkit
dari duduknya dengan sedikit terkejut karena dihampiri atasannya
secara tiba-tiba.

Ah, Ghaly ingat, dia yang menahan kepulangan sang asisten karena
menginginkan data tentang Tsamara harus diserahkan sore ini juga
padanya.

"Tidak. Kamu bisa pulang sekarang." Ghaly berlalu begitu saja. Dia pun
akan pulang, untuk memikirkan tindakan apa yang tepat menghadapi
Tsamara nantinya.

Meski ia mungkin akan jarang ke kantor ini, tapi tidak menutup


kemungkinan ketika kedatangannya yang jarang-jarang ini, justru
membawanya bertemu dengan Tsamara secara kebetulan, seperti
beberapa minggu lalu.

"Baik, Pak." Andre mengemasi barang-barangnya dan segera menyusul


Ghaly yang lebih dulu berdiri di depan lift. Mereka bersamaan memasuki
lift dan tepat di dua lantai di bawah kantornya, lift berhenti disusul
pintunya membuka. Dan menampilkan seorang perempuan berblazer
putih berdiri sendirian di depan lift. Bukannya langsung masuk,
perempuan itu justru bertahan dalam diam.

"Anda tidak ingin masuk?" tanya Andre, mencoba menyadarkan


perempuan itu dari lamunan.

Ghaly yang sedikit terkejut dengan sosok yang ia temukan di depan


pintu lift, segera saja mengubah raut wajahnya menjadi congkak. "Dia
mungkin ingin memakai tangga darurat," katanya ringan. Sebelah
tangannya tersimpan di saku celana, tatapannya tak lepas dari Tsamara
yang mendekap tasnya.

"Jika Anda tidak ingin masuk, sebaiknya jangan biarkan orang lain
menunggu keputusan Anda." Andre yang sedari tadi menahan pintu lift
agar tetap membuka, menarik tangannya. Namun bersamaan dengan
itu, perempuan di depannya justru maju selangkah.

"Maaf, saya memikirkan banyak hal barusan." Tsamara menunduk ke


arah Andre dan Ghaly dengan senyum sopan yang bisa ia ciptakan.
Menyingkirkan segala kekalutan di dalam pikirannya.
"Andre, saya lupa membawa map yang kamu berikan barusan, bisa
ambilkan di kantor. Saya ingin membacanya di rumah," Ghaly bersuara
penuh wibawa. Dari sudut matanya ia bisa menemukan Tsamara yang
tampak tersentak.

"Sekarang, Pak?" Andre meringis pelan.

"Iya. Saya tunggu di lobi." Ghaly mengulas senyum penuh


pengertiannya yang akhirnya membuat Andre bergerak cepat keluar lift.
Menyisakan hanya dirinya dan Tsamara di dalam ruang sempit itu.

Tsamara mengutuk bodoh dirinya sendiri berulang kali di dalam hati. Dia
harusnya memang tidak berada di lift yang sama dengan Ghaly.
Melewati tangga darurat justru lebih menyenangkan daripada terjebak
hanya berdua bersama lelaki itu.

"Bapak sengaja, bukan? Menyuruh dia pergi agar hanya ada saya di
sini." Tsamara memicingkan mata ke arah Ghaly dengan raut wajah
tampak berani.

Ghaly tersenyum sinis, membalas tatapan Tsamara begitu dingin. "Jadi,


ini sambutan kamu setelah lima tahun tidak pernah ada pertemuan."

***
Bab 7

Tsamara Btari hanya mampu menelan ludah pelan ketika sadar dirinya
ditatap sedemikian intens namun begitu dingin oleh Ghaly Badrayudha.
Untuk beberapa detik ia bahkan merasakan keberaniannya yang sempat
memuncak terjun bebas tak bersisa.

Kenapa dia harus lemah pada tatapan Ghaly yang sedingin itu?

Ke mana perginya segala tekad bahwa ia akan berdiri tegak dan


congkak di depan mantan suaminya.

Dan kenapa ia merasa amat kecewa mendapati tatapan Ghaly yang


sarat kebencian padanya. Bukankah ia sudah memperkirakan itu.
Bukankah dulu, dengan bangga dia mengaku bahagia jika Ghaly
membencinya.

"Aku tidak menyangka akan ada pertemuan seperti ini di dunia yang
begitu luasnya." Ghaly membuang tatapan ke arah pintu lift, dan dari
sana dia bisa menemukan bayang-bayang dirinya dan Tsamara yang
berdiri bersisian. "Padahal kupikir, aku tidak akan pernah bertemu
denganmu lagi. Karena aku memang tidak mengharapkan pertemuan
itu."

Di dalam benaknya, meski ia tak bisa benar-benar melupakan tentang


Tsamara, ia juga tak pernah membayangkan pertemuannya dengan
sang mantan. Ghaly bertindak begitu tepat untuk tidak mengharapkan
pertemuan dengan perempuan yang membuatnya begitu kesakitan.

Hingga malam-malamnya diisi dengan keheningan yang menyesakkan.

Ya, setelah ia resmi berpisah dengan Tsamara, Ghaly menemukan


dirinya seperti kehilangan dirinya sendiri.

Setelah berhasil menguasai diri, Tsamara mendecih pelan. "Saya pun


tidak mengharap pertemuan ini."
"Oh, benarkah? Memang apa yang kamu harapkan selain itu? Kamu
pasti sudah mengetahui lebih dulu bahwa aku pemilik perusahaan ini,"
Ghaly membalas, masih dengan gayanya yang super congkak, seolah
dunia memang berada dalam genggamannya. "Dan kenapa kamu masih
memilih di sini?"

Tsamara mengepalkan satu tangannya yang tersembunyi di sisi tubuh,


rahangnya mengeras perlahan karena amat sebal dengan tingkah
Ghaly. Awalnya pun, ia tidak mengetahui perusahaan tempatnya bekerja
kini adalah milik Ghaly. Namun, ia tak ingin menyuarakan itu, karena
yang keluar dari bibirnya justru hal yang sebaliknya. "Tidak penting bagi
saya, siapa pemilik perusahaan ini."

"Tidak penting." Ghaly menggeram, bertepatan dengan lift yang


berhenti. Dia bergerak cepat menekan tombol di samping pintu agar
bertahan menutup, baru kemudian menghadap Tsamara seolah
mengungkung perempuan itu. "Jadi, bagimu bukan hal penting aku
pemilik perusahaan tempatmu bekerja atau bukan?"

Ada begitu banyak hal yang bisa Ghaly ketahui, termasuk fakta sesepele
tentangnya yang bekerja di perusahaan milik lelaki itu. Tsamara tidak
terkejut sama sekali untuk itu. Yang membuat ia terkejut adalah fakta
bahwa Ghaly amat berubah. Seperti perkiraannya, Ghaly yang berdiri di
depannya adalah Ghaly yang berbeda dengan lelaki yang pernah
mengarungi bahtera rumah tangga dengannya.

"Tentu saja itu tidak penting. Di mana pun saya bekerja, itu bukan
masalah bagi saya." Tsamara turut serta membalas tatapan Ghaly
begitu tajam. Kedua tangannya kini terkepal sangat erat di sisi tubuh.
Dengan rahang yang juga bertahan mengeras. "Bisa Bapak menyingkir,
saya harus keluar."

Mendengar sederet kalimat itu, Ghaly yang memang sedari tadi sudah
diliputi amarah kini terasa semakin membara. Membuat dia dengan
berani mencengkeram bahu kanan Tsamara dan menghentaknya agar
menempel ke dinding lift. "Kamu sudah berjanji untuk tidak
menampakkan dirimu di depanku," katanya dengan geraman dalam.
Tsamara sedikit meringis karena cengkeraman Ghaly yang terasa
menyakitkan. "Lepaskan saya." Dia berusaha meloloskan diri, namun
usahanya harus terhenti saat Ghaly justru menekan bahunya yang
sebelah kiri.

"Kamu berharap aku akan melepaskanmu? Tidak untuk sekarang, Tsa."


Ghaly sedikit memajukan wajahnya, berada begitu dekat dengan sisi
wajah Tsamara. "Aku sangat membencimu. Kamu harus tahu itu."
Dengan bola mata yang sudah memerah, dan berulang kali menelan
ludah, Tsamara membalas lirih, yang juga diiringi ringisan pelan karena
tubuhnya yang terhimpit dan kedua bahu yang dicengkeram amat kasar.
"Maka lepaskan saya. Biarkan saya menghilang sekali lagi."

Ghaly memiringkan kepala, membuat wajahnya begitu dekat


berhadapan dengan Tsamara. "Apa?"

"Lepaskan saya," Tsamara mengulang. "Ini sakit," imbuhnya melirih.


Tatapan tajam Ghaly yang sarat kebencian membuat ia sungguh
kehilangan kemampuannya untuk bertahan. Dengan sedikit kekuatan
yang ia miliki ia berusaha mendorong dada Ghaly untuk menjauh.

Tubuhnya yang kecil tidak sebanding dengan tekanan yang Ghaly


berikan. Dia merasa bisa remuk saat itu juga.

"Sakit?" Ghaly berdecih. "Aku lebih sakit karena pengkhianatanmu, Tsa."

Setetes bulir air mata lolos dari sudut Tsamara. Dia dan Ghaly tak
pernah memiliki kesempatan untuk membicarakan luka hati masing-
masing setelah mereka sepakat untuk berpisah. Tsamara membuka
bibirnya, ingin menyuarakan satu kalimat maaf teramat tulus. Karena
sama seperti dirinya, Ghaly pastilah merasakan sakit hati.

Mereka pernah melewati hari-hari yang dipenuhi cinta dengan


pengharapan akan masa depan yang amat bahagia.

Namun, sebelum satu kalimat maaf itu terlontar. Ucapan Ghaly membuat
Tsamara tidak berkutik.

"Kali ini, aku enggak akan biarin kamu begitu saja, Tsa." Ghaly
menjauhkan diri dan memberi jarak. "Pergilah, jika kamu tidak ingin
melihat seberapa besar kebencianku padamu. Kamu bebas sore ini."

Tidak membuang kesempatan, Tsamara berusaha menyadarkan dirinya.


Dia segera melesat keluar lift, berjalan amat cepat ke arah lobi dengan
bola mata yang sudah basah air mata. Tidak begitu memikirkan tentang
seseorang yang mungkin melihatnya menangis.

Dia tidak suka dengan dirinya yang lemah di depan Ghaly.

Dia tidak suka dirinya yang tidak berdaya di depan Ghaly.


Dan dia sangat tidak menyukai ditatap sebenci dan serendah itu oleh
Ghaly. Seolah ia memanglah perempuan murahan yang tidak memiliki
harga diri sama sekali.

Perempuan itu mengusap air mata di wajahnya dengan kasar, sama


sekali tidak menghentikan ayunan langkahnya meski bola matanya
memburam digenangi air mata.

***
Tidak seperti hari-hari biasanya di mana ia memilih angkutan umum atau
pesan ojek online. Kali ini Tsamara memilih untuk menyisir trotoar,
berjalan kaki sore hari. Sendirian. Dia ingin menikmati jalanan Jakarta
sore hari yang amat ramai.

Pertemuan pertamanya dengan Ghaly jauh dari apa yang terbayangkan


di benaknya.

Ghaly sungguh membencinya. Dan itu terlihat begitu nyata.

Kebencian lelaki itu sangat berhasil membuat ruang kosong di


sekitarnya menjadi amat menyesakkan.
"Memang apa yang bisa aku lakukan ketika dia sudah mengikrarkan diri
untuk membenciku," Tsamara menggumam lirih. Dia menghela napas
berat dan menghentikan langkah di samping sebuah pohon.

Untuk sesaat ia mendongak, melihat langit sore Jakarta yang mulai


kelabu dan deretan gedung-gedung tinggi. Ada gedung apartemennya di
deretan itu. Berjarak hampir dua puluh menit jalan kaki.

Perempuan itu tersenyum tipis. Benar-benar cara yang tepat untuk


menyiksa diri. Melupakan jika ada putra semata wayangnya yang
menanti kepulangannya.

Mengingat Alta membuat kuluman senyum Tsamara sedikit lebih lebar.


Akhirnya, ia memutuskan mengeluarkan ponsel dan menghubungi Leo.
Meminta sang sahabat untuk menjemputnya. Dan beruntung, Leo dalam
perjalanan pulang.

Tidak sampai sepuluh menit, sebuah motor matic warna hitam berhenti
di dekat Tsamara. Kening perempuan itu mengernyit, terlebih seseorang
di atas motor itu mengenakan jaket ojek online. Dia tidak merasa
memesannya.
"Enggak mau naik?" tanya si pengemudi yang bertahan di atas motor
dan baru saja membuka kaca helmnya.

"Leo?" Tsamara menoleh kanan kiri. "Mobil kamu dijual diganti motor
bebek? Wow." Tsamara mendecap sembari menggeleng pelan dan
mengayun langkah mendekati Leo. Menerima uluran helm dari lelaki itu.
"Cicilan mobil sama apartemen mencekik, ya, Le. Makanya punya
apartemen satu aja. Ini bergaya dua."

"Sialan," Leo mengumpat lirih. "Mobil lagi dipinjam rekan kantor, istrinya
melahirkan hari ini."

"Wah, selamat," Tsamara memberikan ucapan begitu tulus.

"Bukan waktunya ngasih selamat, Tsa. Cepet naik, semakin macet


nanti."

Tsamara nyengir. Tanpa menunggu lama, ia segera membonceng di


belakang Leo. "Udah. Ayo jalan, Bang," katanya menepuk bahu Leo.

Leo mendesis pelan, lalu membalas diiringi kelakar. "Pegangan Abang


dulu, Neng. Yang kenceng."

"Ogah," Tsamara menyambar cepat. Dan tertawa kemudian.

Motor melaju di tengah hiruk pikuk jalanan sore hari. Diisi dua sahabat
yang tak pernah bosan mendukung satu sama lain.

Tidak mengetahui sama sekali, ada seorang lelaki yang sedari tadi
menjaga jarak dari Tsamara, tampak mengepalkan tangan dan
mengeraskan rahang.

***
Bab 8

Satu detik saat Ghaly berhasil masuk ke apartemennya, lelaki itu segera
meraih sebuah vas di atas meja dan membantingnya. Membuat benda
berbahan kaca itu pecah berserakan di atas lantai. Tak cukup membuat
dada yang telah diliputi amarah mereda, sekali lagi Ghaly mengambil
hiasan meja, kali ini adalah miniatur kapal terbuat dari kayu. Dan tanpa
berpikir panjang, ia pun membantingnya kasar.

Setelahnya, lelaki itu mengusap wajah dan menyugar rambutnya. Lalu


mengumpat kasar.

Ghaly menjatuhkan tubuhnya di sofa dan memejamkan mata. Untuk


beberapa saat terlewat, hanya ada hening di sekitarnya. Apartemen
besar yang menjadi tempat tinggalnya selama ini terasa begitu dingin
dan sepi. Hanya ada dirinya seorang yang menempati.

Lalu kelebat pemandangan yang baru saja ia lihat, di mana Tsamara


bersama lelaki berengsek yang membuat rumah tangganya hancur,
menari-nari di kepala. Rahang lelaki itu kembali mengeras.

Dengan gerak cepat, ia mengeluarkan ponsel dari saku jasnya dan


segera menghubungi salah satu orang kepercayaannya. Panggilannya
terjawab di detik ketiga. Dan tanpa basa-basi, Ghaly menyebutkan
permintaannya.

"Kamu enggak akan aku lepaskan, Tsa. Tidak untuk kedua kali." Ghaly
menggumam sembari menatap layar ponselnya yang sudah padam. Dia
baru saja memberi perintah pada orang kepercayaannya untuk mencari
tahu segala hal tentang Tsamara selama lima tahun ini.

Kalaupun ia harus membenci Tsamara, maka itu yang akan ia lakukan.


Melampiaskan kebenciannya.

"Tidak akan kubiarkan si berengsek itu bahagia bersamamu, Tsa."

Ghaly berdecih, dia tahu apa yang harus ia lakukan. Jika dirinya bisa
semenderita ini karena sakit hati, maka Tsamara pun harus
merasakannya.
***
Leo bersin tiba-tiba. Dia segera menarik selembar tisu di hadapannya
dan mengusap hidungnya.

"Mas Leo sakit? Pasti karena pulang motoran tadi." Fanny bergerak
cepat ke dapur, mengambil air bening hangat dari dispenser.

"Cemen. Motoran doang langsung meriang." Dan Tsamara menimpali


dengan cibiran. Dia pun turut serta menarik beberapa lembar tisu untuk
ia usapkan ke bibir Alta yang belepotan.

Leo mendesis, masih mengusap-usap hidungnya. "Berisik, Tsa. Aku


enggak sakit, cuma tiba-tiba bersin," katanya. Walau begitu ia tetap
menerima segelas air hangat yang Fanny sodorkan. Dan tak lupa
mengucapkan terima kasih.

Seolah tidak mendengarkan ucapan Leo, Tsamara kembali bersuara.


"Sayang, kita masuk kamar, yuk. Jauh-jauh dari Om Leo." Dia
mengusap puncak kepala Alta. "Nanti Mama temenin main dan bacain
buku cerita."

"Memang Om Leo sakit apa, Ma?" Alta menatap Leo dan Tsamara
secara bergantian.

Tsamara menahan kuluman senyum gelinya. Dan bertambah geli saat


mendapati pelototan menyeramkan dari Leo. "Lagi pusing. Biarin Om
Leo pulang cepat dan istirahat." Dia memundurkan kursinya dan berdiri
tegak. "Pusing mikir cicilan mobil." Sambung Tsamara lirih sembari
mengangkat tubuh Alta ke gendongannya.

Leo berdecak. "Alasanmu, Tsa. Jangan minta jemput besok-besok."

"Enggak akan minta jemput. Aku lebih suka minta antar." Tsamara
tersenyum geli, lalu melanjutkan ucapan. "Selesai makan dan cuci
piring, langsung antar Leo pulang, ya, Fan. Kamu juga jangan
begadang."

Tsamara membuka pintu kamarnya, sudah hendak masuk, namun


tertahan karena interupsi dari Leo.

"Kamu ada masalah, Tsa?"


Tsamara menoleh ke arah Fanny dan Leo yang masih duduk di meja
makan. "Enggak ada," dia membalas singkat.

"Dari kamu yang enggak antusias makan, malam ini. Aku tahu kamu ada
masalah." Leo sudah memperhatikan Tsamara sedari tadi. Bagaimana
perempuan itu hanya sibuk menyuapi Alta tapi tidak untuk dirinya
sendiri. "Dan candaanmu dari tadi garing banget. Kayak berusaha bikin
suasana senang."

Senyum Tsamara mengembang. "Aku udah kenyang makan di kantor.


Dan aku memang bercanda. Biar enggak kaku-kaku amat. Udah, ah,
aku mau masuk dulu."

"Tsa, kalau ada apa-apa, kamu tahu pada siapa kamu harus bercerita."

Tsamara mengangguk-angguk, lalu membalas sedikit berkelakar,


"Selamat malam, Le. Terima kasih tebengan pulangnya tadi. Aku akan
sering-sering." Setelahnya ia menutup pintu kamarnya.

Di meja makan, Fanny menatap Leo dengan bola mata memicing. "Mas
Leo tahu Mbak Tsa ada masalah?"

Leo meneguk air minum hangat yang sedari tadi ia genggam hingga
tandas. "Enggak. Kalau aku tahu, aku enggak akan nanya kakakmu."
Dia kemudian bangkit dari duduknya dan mengusap puncak kepala
Fanny. "Cuci piring, yuk. Sini aku bantuin."

Fanny tidak bisa menyembunyikan senyum senangnya. Bahkan


wajahnya memerah perlahan. Dia turut serta bangkit dan menyusul Leo
yang sudah membuka keran air.

Di sisi lain, di dalam kamar, Tsamara menyandarkan punggung ke tepian


ranjang. Sedangkan Alta duduk di sisinya dengan buku cerita bergambar
sedang dibuka-buka. Dia duduk di atas karpet berbulu di samping
ranjang. Masih terlalu sore sebenarnya untuk masuk kamar. Namun ia
ingin sedikit bersembunyi dari Leo dan Fanny.

Bisa-bisa ia tidak tahan untuk bercerita tentang Ghaly dan pertemuan


mereka sore tadi. Yang jauh dari kata baik.

"Mama."
"Ya, Sayang." Tsamara segera menoleh ke arah sang putra yang
memanggilnya dan menemukan bola mata Alta yang berpendar polos.
"Kenapa. Alta udah ngantuk? Mau Mama bacain cerita?"

Alta menggeleng lemah. "Apa Om Leo bukan papanya Alta?"

Tsamara mengedip. "Apa, Sayang?"

"Tante cantik di sebelah rumah bilang, Alta enggak punya papa."

Sebelah tangan Tsamara yang tersembunyi di sisi tubuh, mengepal


perlahan. Dia menahan tetesan air mata di sudut matanya. "Alta punya
papa dong, kan, lagi kerja jauh."

"Jadi, Om Leo bukan papanya Alta?"

Tsamara berusaha amat keras untuk mengulas senyuman. Sebelum ini,


Alta memang beberapa kali menanyakan figur sang ayah. Biasanya
karena terpancing oleh teman sebaya yang bercerita tentang ayah
mereka. Leo sendiri pernah mengatakan agar ia dijadikan sebagai ayah
untuk Alta, hanya sebatas sebutan.

Tapi, Tsamara tidak melakukannya. Karena sama saja dengan membuat


kebohongan pada sang anak.

"Sini, ke pangkuan Mama. Nanti, Mama ceritakan tentang papa."


Tsamara membuka lengannya dengan ulasan senyum amat manis di
bibirnya. Menyembunyikan getir lidahnya.

Alta menurut, berderap mendekati sang ibu dan duduk dipangkuan


Tsamara dengan menyandarkan punggung.

"Alta mau dibacakan cerita apa?" Tanya Tsamara sembari mengambil


salah satu buku cerita dan membuka-bukanya. Dia punya cukup banyak
koleksi buku cerita untuk Alta. Yang memang setiap malam Alta selalu
menagih untuk dibacakan. Untuk menemani tidurnya. "Dongeng kancil
dan kura-kura, ya. Alta suka kura-kura, kan? Atau besok kita beli kura-
kura untuk Alta. Bagaimana?"

Tawaran Tsamara untuk membeli kura-kura adalah salah satu usaha


untuk mengalihkan perhatian Alta dari pembahasan tentang papa.
Perempuan itu hanya berharap usahanya berhasil.
"Alta ingin dengar cerita papa."

Rengekan Alta berhasil membuat kelopak mata Tsamara memejam.


Mendung segera menggelayut di sana. Dia terburu-buru masuk ke
kamar agar tidak tergiur untuk bercerita tentang Ghaly pada Leo.
Berusaha untuk mengantisipasinya. Namun, kini, sang putra yang justru
mendesak cerita tentang lelaki itu.

"Mama," panggil Alta lirih, sembari mendongak menatap wajah Tsamara.

Tsamara mengusap puncak kepala Alta dan menghadiahi kecupan di


pipi tembamnya. "Papa Alta ...." Ada jeda yang cukup lama Tsamara
ciptakan. Bukannya melanjutkan kalimat sebelumnya, perempuan itu
justru mengucapkan hal lain. "Alta pindah ranjang, yuk. Biar empuk."

Tanpa bantahan, Alta menurut saat didekap Tsamara dan dipindahkan


ke atas ranjang.

Tsamara bersandar di kepala ranjang dan Alta berada dalam


pangkuannya, seperti posisi tadi. Yang membedakan kini, ada selimut
tebal yang menutupi kaki mereka.

"Papa Alta adalah papa yang hebat." Tsamara menelan ludah pelan,
menahan bulir air mata di sudut mata. Bayang-bayang Ghaly sore tadi
berkelebat begitu jelas. "Papa ... Papa sangat menyayangi Mama. Dan
sangat menyayangi Alta."

"Papa sebaik Om Leo." Alta membalas lirih dengan kelopak mata yang
sayup-sayup menutup. Usapan jemari Tsamara di puncak kepalanya
sukses membuat ia mengantuk.

"Ya. Papa sebaik Om Leo. Sangat baik. Dan papa setampan Alta.
Senyum Alta mirip sekali dengan papa."

Senyum yang membuat Tsamara begitu jatuh cinta. Senyum yang juga
tak akan pernah ia lihat lagi sekarang ini.

Kebencian Ghaly padanya sudah sedemikian dalam. Dia sendirilah yang


menciptakan kebencian itu. Tsamara menghela nafas pelan,
menundukkan wajah dan mencium puncak kepala Alta. "Alta sangat
beruntung memiliki Papa yang luar biasa."
Pada dasarnya, Ghaly yang ia kenal sedari dulu adalah Ghaly yang tak
pernah membedakan. Lelaki itu baik pada siapapun, bijak dan sangat
berwibawa. Karena kebaikan itulah, ia dan Ghaly bisa dekat satu sama
lain. Dan jatuh cinta.

"Alta ingin ketemu Papa."

Bisik lirih dari Alta membuat air mata menetes dari sudut mata Tsamara.
Perempuan itu semakin menenggelamkan kecupan di helai rambut sang
putra. "Mama janji, suatu saat Alta akan bertemu Papa."
"Alta sayang Mama dan Papa."

Tsamara mendekap sang putra, menyalurkan kasih sayang yang


sedemikian besar. "Mama juga sayang Alta, dan ... Papa."

***
Bab 9

Tsamara Btari menatap Fanny dengan pandangan menyelidik. Dia dan


sang adik sedang duduk bersisian di atas sofa ruang tv. Sedangkan Alta
duduk melantai di atas karpet dengan segala mainan di hadapannya.

"Tetangga sebelah bilang apa sama Alta?" Tsamara bertanya lirih namun
sarat penekanan.

Fanny tampak terkejut sebelum akhirnya meluruhkan bahu. Dia tidak


perlu bertanya kenapa Tsamara bertingkah seperti ini padanya. Karena
sudah bisa dipastikan, Alta pasti merengek pada Tsamara tentang
obrolan tetangga sebelah.

"Aku enggak sengaja ketemu pas keluar apartemen. Terus dia kayak
basa-basi gitu, tanya ayahnya Alta mana? Karena enggak pernah lihat
selama ini. Dan kayaknya dia cukup kenal sama Mas Leo. Karena bisa
nebak, Mas Leo bukan ayahnya Alta." Fanny menjeda, mencoba
membaca raut wajah Tsamara. "Aku udah bilang kalau ayahnya Alta
sedang kerja di luar negeri. Tapi dia malah natap menyebalkan gitu."

Tsamara membuka dekapan lengannya di dada. Dia tidak habis pikir


kenapa tetangga sebelah mengusik Alta. Dia yakin, dia tidak cukup
dekat dan tidak berniat dekat juga. Ketika berpapasan pun hanya ramah
tamah sebagai basa-basi namun tak pernah terlibat obrolan panjang.

"Dia enggak cuma bilang itu, kan?" Tsamara kembali melontar tanya.
Melihat gelagat Fanny yang bahkan masih tampak sebal membuat
Tsamara yakin tetangga sebelah yang ia lupa namanya, tidak hanya
menyinggung tentang di mana ayah Alta.

Fanny menelan ludah. "Dia bilang, dia memaklumi Mbak yang single
parent. Dan hamil di luar pernikahan."

Bola mata Tsamara membulat dengan kedua tangan terkepal erat. "Dia
berani bilang begitu. Siapa dia?"
"Elsa namanya, Mbak."
Tsamara menggeram, bertambah kesal saat sang adik justru
menyebutkan nama perempuan itu. "Maksud Mbak, siapa dia berani
bilang kayak gitu. Memang, hidupnya udah bener nyampe ngatain Mbak
hamil di luar nikah."

Tidak ada yang bisa Fanny lakukan selain meringis penuh rasa
bersalah. Tsamara memang paling sensitif jika sudah menyangkut Alta
apalagi jika sampai mengatakan hal-hal yang tidak-tidak, termasuk
tentang hamil di luar nikah.

Dulu Tsamara pernah sangat marah pada seseorang yang menyinggung


status Alta. Tsamara sampai mengatakan akan menunjukkan fotokopi
buku pernikahannya dengan Ghaly, hanya untuk membungkam bibir
orang-orang itu.

Bahkan, meski sudah bercerai, Tsamara masih menyimpan fotokopi


buku pernikahannya dengan Ghaly.

"Mbak pikir, saat pindah ke Jakarta tidak akan ada yang menyinggung
tentang status Mbak, karena orang-orang disini lebih suka cuek. Tapi,
nyatanya kita punya tetangga yang menyebalkan." Tsamara memijit
pelipisnya, dan menghela napas begitu pelan.

Sejujurnya, ia sudah kebal dengan segala kalimat menyinggung seperti


itu. Namun, entah sekebal apa pun, ia tetap merasa kesal. Karena pada
kenyataannya yang semua orang pikirkan amatlah salah. Dia yang
berjuang sendirian membesarkan Alta. Namun dia juga yang menerima
segala cemoohan dengan beragam kalimat menyinggung.

"Mbak, jangan dipikirkan." Fanny mengulurkan tangan untuk menyentuh


punggung tangan sang kakak. "Aku akan selalu ada untuk Mbak."

Tsamara melirik adiknya, dan tersenyum kecil. Tidak perlu diragukan


bagaimana Fanny menemani hari-harinya sedari dulu. "Ngomong-
ngomong, kamu udah dapat panggilan kerja?" tanyanya.
Fanny menggeleng. "Belum. Enggak apa-apa aku belum dapat
pekerjaan, biar bisa jagain Alta lebih lama."

"Enggak bisa gitu, Alta tanggung jawab Mbak."

Bibir Fanny sudah membuka ingin mengungkapkan kemungkinan jika ia


bekerja di perusahaan Ghaly, namun ia urungkan. Hal itu hanya akan
membuat Tsamara semakin kepikiran. "Kita jalan-jalan ke bawah, yuk,
Mbak. Cari angin," katanya akhirnya. Mencoba mengalihkan obrolan
tentang pekerjaan.

."Ayo. Sekalian mau labrak perempuan yang enggak pernah sekolahin


mulutnya itu, kalau enggak sengaja ketemu."

Dan Fanny hanya menggeleng mendengar penuturan sang kakak. Dia


tidak akan mencegah, biarlah Tsamara yang memberi pelajaran pada
mulut yang enggak pernah disekolahin itu.

***
Tsamara menggandeng tangan Alta dan keluar dari taman apartemen
setelah hampir dua jam bermain di sana. Alta bahkan sudah
menghabiskan dua kotak susu dan hampir sebotol air mineral. Bocah
manis kesayangannya itu bermain-main sendiri dengan bola dan
melemparkannya ke rerumputan. Berlarian memutari taman hingga
keringatnya bercucuran.

"Mama."

"Ya, Sayang." Tsamara menghentikan langkah dan menoleh ke arah


sang putra yang menggerak-gerakkan jemarinya.

"Alta boleh minta es krim?' Alta berkedip dengan bola matanya yang
berpendar terang.

Tsamara mengusap puncak kepala Alta. "Boleh, dong, kita ambil di


rumah, ya."

Alta menggeleng. "Enggak mau, Alta mau makan di sini."

"Alta masih punya banyak es krim, loh, di rumah. Makan di rumah aja,
ya." Tsamara berusaha membujuk. Dia sampai merendahkan tubuh
dengan menumpu lutut di ubin agar tingginya sejajar dengan sang putra.
"Atau Alta mau digendong, capek, ya, lari-larian dari tadi."

"Mama," Alta merengek dengan bibir cemberut yang tidak ketinggalan


sama sekali.

Tsamara menghela napas. "Ya udah, Mama beliin. Alta tunggu sini sama
Tante Fanny." Kemudian ia kembali menegakkan tubuh dan berpesan
pada Fanny untuk menjaga Alta. Yang dibalas anggukan mantap dari
sang adik.
Meninggalkan Alta bersama Fanny, Tsamara berjalan menjauh ke arah
minimarket. Sebenarnya, seperti yang ia katakan pada sang putra, ada
masih cukup banyak es krim di rumah. Namun, nampaknya, meski
tubuhnya sudah banjir keringat, Alta belum ingin kembali ke apartemen.

Baru saja Tsamara akan membuka pintu kaca minimarket, gelegar


teriakan Fanny membuat gerakannya terhenti.

"Alta!"

Seketika Tsamara menoleh ke tempat dia meninggalkan Fanny dan Alta.


Bola matanya membulat lebar saat Fanny mengejar Alta yang berlarian
menjauh, tampak seperti mendatangi sebuah mobil yang melaju cukup
kencang. Secepat kakinya bisa mengayun, Tsamara berlari menuju Alta.
Kalang kabut. Berharap Fanny bisa menangkap Alta tepat waktu atau
setidaknya, mobil itu berhenti tanpa menyentuh tubuh mungil sang putra.

Bola mata Tsamara sudah memburam saat sedikit lagi mobil itu
menyentuh tubuh Alta, dan bertepatan dengan itu, tiba-tiba seorang
lelaki mengangkat tubuh Alta dan didekap protektif. Alta-nya
terselamatkan.
"Terima kasih telah menyelamatkan putra saya," ucap Tsamara berdiri
bersisian dengan Fanny yang juga sama-sama bernapas tersendat.

"Teledor sekali membiarkan bocah ini—" ucapan lelaki itu terhenti seiring
tubuhnya menoleh ke arah dua perempuan yang berdiri di dekatnya.

Napas Tsamara tercekat melihat pria yang menolong Alta. Dengan gerak
cepat ia mengulurkan tangan dan mengambil alih Alta untuk dia
gendong. Dia tidak menyangka jika lelaki yang menyelamatkan putranya
adalah Ghaly Badrayudha.

"Tsamara?" alis Ghaly naik sebelah.

Tsamara menjilat bibir bawahnya, mendekap Alta begitu erat. Dia


berusaha mengendalikan degup jantungnya dan tarikan nafasnya yang
masih tersendat. Dia harus bersikap sebiasa mungkin di depan Ghaly.
"Terima kasih Bapak sudah menyelamatkan—"

"Alta," potong Ghaly cepat.


Untuk satu detik terlewat, Tsamara merasa detak jantungnya terhenti.
Dari mana Ghaly bisa mengetahui nama Alta. Memang, tidak menutup
kemungkinan bagi Ghaly untuk mencari segala informasi tentang dirinya.
Tapi untuk apa lelaki itu sampai sedalam ini mengorek segala hal
tentangnya.

"Jadi, Alta adalah putramu? Kupikir sebelumnya, dia anak bibimu."


Tatapan Ghaly mengarah pada Fanny yang tampak meluruhkan bahu
dan menelan ludah.

Tsamara berkedip. "Kami harus pergi," katanya. Menjauh dari Ghaly


adalah jawaban yang paling mungkin yang bisa ia lakukan sekarang ini.
"Terima kasih sekali lagi untuk kebaikan Bapak." Dan ia ingin
mengakhirinya setidaknya dengan baik-baik saja.

Bagaimanapun, Ghaly sudah menyelamatkan Alta.

Ghaly menyeringai, menyimpan satu tangannya di saku celana. "Jadi


hanya ini balasan kamu, buat aku yang menyelamatkan anakmu." Ada
kekesalan amat besar menggumpal di dada Ghaly saat menyebutkan
"anakmu".

Tsamara yang sudah berbalik dan mengambil dua langkah menjauh


segera menghentikannya dan kembali memberi atensi pada Ghaly.

"Makan siang, itu bisa menjadi tanda terima kasih."

***
Bab 10

Ghaly melirik Tsamara yang tampak mendekap Alta begitu protektif,


dengan senyuman menyerupai seringai mengulas di bibirnya. Dia baru
saja mendapat informasi tentang Tsamara, yang cukup mengejutkannya.
Dan lihat sekarang, dia justru bertemu langsung dengan Tsamara dan
anaknya.

Tatapan Ghaly kian menelisik pada wajah Alta yang bersembunyi di


dekapan Tsamara, hanya samar-samar kepala bocah itu akan
menyembul dan mengulas senyuman menggemaskan ke arahnya.

Jadi, bocah itu anak Tsamara? Dengan laki-laki berengsek mana?

Tanya itu menggantung di benak Ghaly sejak ia mengikuti Tsamara naik


ke apartemen perempuan itu. Kejutan lain yang ia dapatkan hari ini.
Padahal sebelumnya ia tidak berharap banyak jika tawarannya untuk
makan siang akan diterima Tsamara, terlebih mengiakan permintaannya
untuk makan di tempat perempuan itu.

"Jangan menatap putra saya setajam itu, Bapak membuat dia takut."

"Huh, tapi bocah itu tersenyum terus menatapku." Ghaly membalas


ringan kalimat sarat peringatan dari Tsamara. "Kamu masih ingat Om,
bukan?" tanyanya pada Alta yang kali ini menatap dirinya lebih lama.

Pertanyaan Ghaly membuat Tsamara menoleh ke arah lelaki itu dengan


tak melupakan tatapan tajamnya. "Ingat?" ulangnya. Bertambah curiga
saat sang putra dalam dekapannya justru mengangguk-anggukan
kepala.

"Kita pernah bertemu sebelumnya." Ghaly kembali membalas, kali ini ia


mengarahkan tatapan pada pintu lift. "Aku membelikan dia es krim
sekantong besar beberapa waktu lalu."

Fanny yang berdiri di belakang Ghaly hanya mampu memejamkan mata


dan menggigit bibir. Dia akan mati hari ini juga, kebohongannya
menyembunyikan fakta pertemuannya dengan Ghaly terungkap juga di
depan Tsamara. Dia tidak berada dalam situasi yang bisa membujuk
Ghaly dan berkompromi untuk menyembunyikan pertemuan mereka
tempo lalu.

Jadi, yang bisa ia lakukan adalah menerima segala kemarahan Tsamara


dengan tangan terbuka.

Sedetik setelah Ghaly mengungkap itu, Tsamara segera menghujam


tatapan tajamnya pada Fanny. Dia akan menyimpan kemarahannya
pada Fanny saat ini. Dan mencecarnya nanti, saat Ghaly telah pergi.

"Alta suka Om Ghaly."

Ucapan Alta yang lirih membuat semua orang di dalam lift itu memberi
atensi pada bocah manis yang masih betah di dekapan Tsamara.

"Alta suka Om?" Ghaly mencondongkan tubuhnya ke arah Alta. "Sesuka


apa?" tanyanya lagi sambil sesekali melirik Tsamara.

"Suka banget," Alta menjawab lirih hampir mencicit.

Ghaly menyeringai, dia kembali menegakkan tubuh dengan jemari


terulur hendak mengusap puncak kepala Alta, namun, Tsamara
bergerak cepat menjauh darinya.

"Kita harus keluar," ucap Tsamara sembari mengedikkan dagu pada


pintu lift yang sudah membuka. Dia amat bersyukur lift bergerak cepat
untuk sampai ke lantai apartemennya.

Tidak membantah, Ghaly menyisih, memberi ruang bagi Tsamara dan


Fanny untuk keluar lift lebih dulu, baru setelahnya ia menyusul keluar
dan mengikutinya di belakang.

Tiba di depan pintu apartemen yang membuka dengan Tsamara dan


Fanny sudah masuk lebih dulu, Ghaly justru hanya memaku kakinya.
Dia diam di tempatnya berdiri dengan tatapan tertuju pada bagian dalam
apartemen Tsamara.

Tsamara yang menurunkan Alta dan melihat Ghaly diam—tidak turut


masuk, menaikkan sebelah alisnya. "Bapak enggak ingin masuk?"
tanyanya. "Kenapa? Karena apartemen saya jauh dari bayang-bayang
Bapak." Tidak cukup sampai di sana, Tsamara kembali melanjutkan,
"Saya sudah mengatakan untuk tidak makan siang di rumah saya."
Ghaly menghela napas dan meluruhkan bahu. "Bukan seperti itu,"
katanya, diiringi dengan ayunan langkah memasuki apartemen. Baru
dua langkah dia menjejaki apartemen Tsamara, bocah tampan yang
sedari tadi berada di gendongan Tsamara mendekat padanya dan berdiri
di depannya.

"Alta sama Tante Fanny. Ayo " Tsamara mengulurkan tangan. Namun,
balasan dari sang putra justru gelengan kepala.

"Biar Alta sama aku." Ghaly mengusap puncak kepala Alta.

"Tidak—"

"Aku enggak akan menyakiti anak kecil, Tsa. Kalau itu yang kamu
takutkan." Ghaly memotong ucapan Tsamara. Dia cukup mampu
meraba kewaspadaan yang sedari tadi Tsamara tunjukkan. "Fanny biar
bantu kamu memasak. Bukankah kamu harus menyiapkan makan siang
untukku?"

Tsamara melirik Ghaly dan Alta secara bergantian. Dia sungguh berat
melepas Alta hanya dengan Ghaly. Tapi, saat melihat wajah Alta yang
semringah dan terus mengulas senyuman pada Ghaly dengan begitu
menggemaskannya, Tsamara tak bisa melakukan apa pun selain
membiarkan mereka hanya berdua.

"Alta di sini sama Om Ghaly, ya." Tatapan Tsamara bersinggungan


dengan mata Ghaly saat menyebutkan nama lelaki itu. "Mama mau
nyiapin makan siang, Alta baik-baik, ya, mainnya."

Alta mengangguk pasti. "Ya, Mama."

Lalu tatapan Tsamara berpindah untuk mengunci mata Ghaly. "Saya titip
Alta—"

"Ini enggak seperti aku akan bawa Alta pergi, Tsa. Aku hanya akan tetap
di sini." Ghaly kembali memotong, seringai tipis di wajahnya mengukir
saat melihat Tsamara tampak berdecak sebal.

"Pokoknya, Bapak harus jagain Alta," putus Tsamara lalu berbalik ke


arah Fanny dan menepuk bahu sang adik. "Bantuin Mbak masak. Biar
cepet selesai."
Fanny melirik Ghaly dan Alta bergantian. Memperhatikan ayah-anak
yang belum tahu kebenarannya itu. Alta menggenggam tangan Ghaly
dan menariknya, menuju karpet berbulu di depan cabinet televisi tempat
biasa Alta bermain.

Kenapa di mata Fanny, Alta tampak sangat akrab dengan Ghaly.


Padahal, ini baru pertemuan kedua mereka.

Tidak ingin memperhatikan lebih lama, dan sebelum Tsamara


memanggilnya, Fanny bergegas ke dapur. Benar saja, setibanya ia di
dapur, ia segera mendapat tugas untuk menggoreng ayam. Mereka
punya simpanan ayam berbumbu sisa pagi tadi.

"Mbak mau bikin apa?" tanya Fanny saat melirik Tsamara mengeluarkan
kangkung, selada, dan mentimun yang mereka punya dari dalam kulkas.
Yang memang hanya tertinggal sayur-sayuran itu.

"Sayur kangkung sama ayam geprek, itu kesukaan Ghaly—" Tsamara


tertegun dengan ucapannya sendiri. Gerak tangannya memilah
kangkung terhenti dan ia berkedip pelan. "Aku "

Fanny yang baru saja memanaskan penggorengan, segera menoleh ke


arah Tsamara yang berada di sampingnya. Dia kehilangan kalimat
balasan. Karena mengerti betul bagaimana kemelut perasaan yang
sedang mendera Tsamara. Pertemuan Ghaly dengan Alta yang secara
tiba-tiba, pastilah cukup mengguncangnya. Terlebih barusan, Alta
hampir saja celaka.

"Mbak enggak ngerti kenapa seperti ini." Tsamara melepas batang


kangkung di genggamannya, berganti untuk menumpu jemari di meja
persiapan.

Fanny mendekat pada Tsamara setelah mengecilkan api kompor. Dia


menyentuh bahu sang kakak, mengusapnya pelan. Fanny baru akan
membuka suara, namun gelegar tawa dari ruang tv membuat ia menoleh
detik itu juga. Itu tawa Alta dan Ghaly.

Tsamara menarik napas dalam, dan terkekeh pelan, diiringi getir.


"Mereka bisa langsung akrab, itu mengejutkan," gumamnya. "Padahal,
Mbak udah takut banget Ghaly menyakiti Alta, karena kebencian lelaki
itu pada Mbak."
Fanny turut serta mengulas senyuman menyadari betapa bahagianya
Alta bersama Ghaly. Tidak ada teman lain yang Alta miliki selain Leo.
Dan mendapati Ghaly, tidak heran Alta seantusias ini. "Mas Ghaly
enggak mungkin menyakiti anak kecil, terlebih Alta," katanya sambil
menatap Tsamara yang memejamkan mata.

"Ghaly mungkin tidak akan menyakiti Alta, tapi dia jelas seantusias itu
menyakiti Mbak," Tsamara melirih, kalimat-kalimat penegasan dari Ghaly
yang sangat membenci dirinya terngiang di kepala.

"Mbak yakin Mas Ghaly membenci Mbak? Kenapa aku enggak melihat
itu barusan?"

"Karena dia cuma benci sama Mbak."

Fanny menggigit bibir bawahnya dengan kening mengernyit. Dia masih


tidak percaya dengan yang Tsamara katakan. Pasalnya tadi, selama di
dalam lift, dia yang berdiri di belakang Tsamara dan Ghaly, otomatis ia
memperhatikan dua orang di hadapannya. Dan yang ia dapatkan sangat
menarik, Ghaly yang berulang kali menoleh ke arah Tsamara dan Alta.
Curi-curi pandang, tipi-tipis namun tertangkap mata jelinya.

"Semalam, Alta baru bilang sama Mbak, dia ingin ketemu papanya. Dan
hari ini mereka dipertemukan." Tsamara menghela napas dan
menggeleng. "Ini seperti doa anak itu yang dikabulkan."

***
Bab 11

"Om Ghaly, lihat ini!" Alta berseru sambil mengangkat lego bertumpuk,
yang entah jadi bentuk apa. "Bikinan Alta."

Ghaly yang sedari tadi pun sibuk menyusun lego, menengadah dan
mengulas senyuman melihat Alta yang mendekat padanya. "Bagus
sekali. Alta pintar," pujinya. Mengambil alih lego buatan Alta dan
memeriksanya.

"Bikinan Om lebih bagus."

"Oh, ya?" Ghaly menjawab sama antusiasnya dengan Alta.

"Iya. Alta suka."

"Kalau begitu, ini buat Alta saja." Ghaly mengulurkan lego berbentuk
pesawat ala kadarnya buatannya pada Alta. Dia bukan orang yang
sabar sebenarnya, beberapa waktu belakangan ini. Namun, sangat
ajaib, dia menemani Alta bermain, bahkan menyusun lego yang
beberapa kali ia bongkar.

Alta menerimanya dengan sangat antusias. "Makasih, Om. Alta mau


kasih lihat Mama."

Ghaly segera meraih tubuh Alta yang beranjak dari duduknya dan
hendak berlari. "Nanti saja, Mama belum selesai memasak," katanya
sembari membawa tubuh Alta ke pangkuannya. "Alta lanjutin main dulu
sama Om."

Ada yang berbeda dengan perasaannya, Ghaly sama sekali tidak


merasa sebal pada bocah tampan menggemaskan yang kini berada di
pangkuannya. Padahal, bisa saja Alta adalah bukti pengkhianatan yang
Tsamara lakukan dulu.

Lelaki itu memejamkan mata. Berbisik di dalam hati, jika siapa pun Alta,
dia tidak pantas merasa sebal pada bocah manis itu apalagi
membencinya. Alta tidak mengetahui apapun kesalahan yang orang
tuanya lakukan di masa lalu.
"Om ... Om."

Panggilan Alta membuat Ghaly mengerjap. "Ya, Sayang." Dia tertegun


untuk panggilan manis itu, kenapa bisa semudah ini meluncur menyebut
Alta.

"Alta mau dibikinin pesawat lagi," kata Alta seraya mengangkat lego
buatan Ghaly. "Satu untuk papa nanti."

Yang belum Ghaly ketahui dari informannya adalah perihal ayah Alta. Ia
hanya mengetahui tentang Tsamara yang memiliki anak, entah dengan
siapa. "Biar papanya Alta saja yang bikin sendiri." Dia menjadi kesal
tiba-tiba memikirkan seseorang yang kemungkinan adalah ayah Alta.
Dan pasti lah menjadi suami Tsamara. Setelah perpisahan dengannya,
tidak menutup kemungkinan Tsamara menikah lagi. Atau mungkin
dengan Leo si berengsek itu.

Hah. Hanya dia yang sangat bodoh karena bertahan melajang.

"Papa Alta belum pu—"

"Alta sayang."

Panggilan Tsamara yang tiba-tiba membuat ucapan Alta terhenti. Ghaly


dan Alta serentak menoleh ke arah Tsamara.

"Ayo makan, Mama udah bikinin makanan kesukaan Alta, loh." Tsamara
kembali berucap sembari merentangkan dua tangannya, siap
menangkap tubuh mungil Alta.

Alta berseru senang dan turun dari pangkuan Ghaly untuk berlari ke
arah Tsamara.
"Bapak juga, ayo makan. Sudah saya siapkan," ucap Tsamara lagi, saat
melihat Ghaly tidak bergerak sedikitpun.

Ada senyum teramat tipis yang mengukir di bibir Ghaly. "Kupikir kamu
enggak akan mengajakku makan." Dia bangkit dari duduknya dan
membenahi pakaiannya.

"Saya bukan orang yang suka mengingkari janji."


"Oh, ya? Lalu siapa dulu, yang—"
Sebelum Ghaly menyelesaikan ucapannya, Tsamara lebih dulu
menyambar. Karena tahu ke mana arah bicara lelaki itu. Selain
mengungkit masa lalu. "Saya perbolehkan Bapak kesini, semata
sebagai tanda terima kasih, bukan untuk mengungkit apa pun."

Ghaly tidak lagi membalas, meski bibirnya sangat gatal untuk melempar
kata-kata menyindir lainnya. Dia mengikuti Tsamara ke meja makan dan
menemukan Alta sudah siap di kursinya.

"Yeay, makan siangnya ramai. Alta suka." Alta berseru antusias. Bahkan
pandangannya tidak teralih dari Ghaly yang mencuci tangan dan
kembali ke meja makan. Mengambil duduk di hadapannya. "Om Ghaly
suka ayam? Alta suka banget."

Ghaly yang baru menyamankan duduknya segera mengarahkan tatapan


ke arah meja makan dan menemukan menu ayam di sana beserta sayur
kangkung. "Om sangat suka ayam, kita samaan," katanya mengukir
senyum ke arah Alta, baru kemudian menatap Tsamara yang
mengambilkan nasi dan ayam goreng ke piring Alta. "Kamu sengaja
membuat ayam geprek untukku?"

"Enggak. Kebetulan cuma punya ayam sama cabe di kulkas," Tsamara


membalas sengit. Tidak ingin mengungkap kebenaran pada Ghaly. Bisa
besar kepala lelaki itu. Dia kemudian mengambil botol minum Alta dan
mendekatkannya pada sang putra. "Baca doa dulu sebelum makan,"
ingatnya pada sang putra. Yang diikuti Alta tanpa membantah.

"Dia sudah bisa baca doa sendiri?" tanya Ghaly takjub. Tatapannya tak
lepas dari cara Alta menengadahkan tangan dan bibirnya yang
menggumam doa. Tidak lirih, karena ia bisa mendengarnya. Dan
senyumnya mengulas tipis. Bocah itu tampak bertambah
menggemaskan.

"Hanya doa-doa harian, yang enggak terlalu panjang. Dia masih lebih
suka mewarnai daripada menghafal." Tsamara berkedip saat sadar ia
terlalu banyak menjelaskan pada Ghaly. Seolah sedang melaporkan
perkembangan tumbuh kembang anaknya pada sang papa.

Ghaly melirik Tsamara, dan untuk kali pertama melempar senyuman


pada perempuan itu. "Dia tumbuh dengan baik dan cerdas."

Tsamara menelan ludah. Segera mengalihkan tatapan dari mata Ghaly.


Memandang apapun juga. Dan ia menemukan Fanny sedang mengulas
senyum malu-malu di sela kunyahannya. Wajahnya pasti tampak
memerah hanya karena mendapat senyuman dari Ghaly.

Oh, Tsa. Kamu bukan gadis muda lagi. Yang bisa tersipu hanya karena
disenyumin lelaki. Kamu udah 32 tahun. Dan punya anak laki-laki usia
empat tahun.

"Bapak enggak makan?" Tsamara mengutuk dirinya sendiri karena


sekali lagi bibirnya berbicara seenaknya. Harusnya ia tak perlu
memedulikan Ghaly yang tak juga mengambil nasi. Ghaly bukan anak
kecil yang perlu perhatian darinya.

"Aku menunggu kamu mengambilkan nasi." Ghaly mengulurkan


piringnya.

Tsamara berdecak pelan. "Bapak bisa ambil sendiri."

"Tapi, aku ingin kamu yang mengambilkannya." Dan Ghaly kukuh


dengan keinginannya.
"Oke," putus Tsamara karena saat melirik Alta, ia menemukan sang
putra sedang memperhatikan dirinya dan Ghaly secara bergantian. Dia
mungkin sudah membuat keributan di meja makan.

Tsamara menyendok nasi cukup banyak, beserta sayur dan ayam


geprek. Tidak lupa, sambalnya pun ia banyakin. Membuat piring Ghaly
penuh dan menggunung.

"Aku memang membutuhkan gizi yang seimbang," gumam Ghaly lirih


dan mulai menyuap makanannya. Dia termenung untuk beberapa saat
dengan kepala tetap tertunduk. Kunyahan pertamanya pada masakan
buatan Tsamara berhasil membuat ia terlempar pada kenangan di masa
lalu.

Dia merasa amat melankolis detik itu juga. Hanya karena sepiring
makanan. Dan ingatan-ingatan masa lalu yang baginya amat
menyebalkan berseliweran di kepala.

"Apa masakan saya tidak enak?" Tsamara bertanya ragu saat


mendapati Ghaly berhenti di suapan pertama. Dia khawatir jika
masakannya tak lagi sesuai dengan selera lelaki itu.

"Enggak seenak makanan restoran, tapi cukup layak buat dimakan,"


Ghaly membalas congkak.
Mendapati jawaban itu, Tsamara hanya mampu membuka bibirnya tidak
percaya. Baru kemudian mendecih pelan. Dia memang salah sudah
bertanya pada Ghaly. Hal selanjutnya yang terjadi di meja makan adalah
keheningan, hanya sesekali Tsamara memperingati Alta untuk makan
pelan-pelan.

Seperti yang Alta katakan sebelumnya, putranya ini memang sangat


menyukai ayam. Terutama ayam goreng dan bagian paha.

Tsamara bangkit dari duduknya setelah pamit pada Alta untuk ke dapur
sebentar. Dia mengambil botol air dingin dari dalam kulkas dan kembali
ke meja makan. Berdiri di sisi Ghaly untuk menuang air dingin ke gelas
panjang milik lelaki itu.

Katanya, makanannya cukup layak untuk dimakan, tapi lihat sekarang,


Ghaly tampak seperti lelaki kelaparan yang sudah dua hari tidak makan.
"Makannya pelan-pelan, enggak akan diminta Alta, kok." Dan Tsamara
melontarkan godaannya. Membuat Ghaly menengadah ke arahnya dan
terlihat kening lelaki itu berkeringat. "Lap dahi Bapak, itu penuh keringat.
Sebelum menetes ke piring dan kemakan."

Entah kenapa, Tsamara amat tertarik untuk menggoda Ghaly. Seolah di


antara mereka tidak ada hal buruk apa pun yang pernah terjadi.

"Alta enggak suka pedas, Om," Alta bersuara, seolah menegaskan


ucapan Tsamara sebelumnya, jika ia tidak akan meminta ayam geprek
milik Ghaly. "Kata Mama, Alta masih kecil, enggak boleh makan pedas."

"Nah, dengerin kata Alta. Ayam gepreknya buat Bapak semua. Fanny
sama saya cukup sama kerupuk," Tsamara menimpali sembari
mengerling pada Fanny yang cemberut.

"Enggak ada kerupuk di meja makanmu, Tsa," Ghaly membalas sinis,


tatapannya berubah teduh saat bersinggungan dengan mata Alta dan
menemukan bocah itu mengulas senyuman padanya.

Nampaknya, Alta memang sangat murah senyum. Padahal ia adalah


orang baru.

"Kalau sesuka itu sama ayam geprek dan sambal bikinan saya, Bapak
bisa bungkus buat dibawa pulang." Tsamara mengabaikan balasan sinis
dari Ghaly. Dan tidak terlalu tertarik dengan tatapan menelisik dari
Fanny.

"Enggak usah," balas Ghaly cepat. Lalu melanjutkan makannya pada


suapan terakhir.

Tidak ingin memaksa, Tsamara hanya mengedikkan bahu. Lagipula,


Ghaly sudah menghabiskan dua potong ayam, tambah sambal dan nasi.
Lelaki itu sangat tidak konsisten dengan ucapannya sendiri.

"Aku sudah selesai." Ghaly menggeser piring kosongnya ke samping


dan beralih meneguk minum dinginnya.

"Oh, bagus. Sekarang cuci piring."

"Huh?" Tatapan Ghaly seketika terlontar pada Tsamara. Merasa sangat


beruntung ketika ia tidak menyemburkan minumannya.

"Karena sudah makan gratis di sini, Bapak harus cuci piring sendiri."
Perintah Tsamara, tak kenal takut. Seolah lupa jika di kantor, Ghaly
adalah bosnya. Dan lelaki itu bisa melakukan apapun padanya,
termasuk memecat dirinya dengan begitu mudah.

Fanny menghela napas dan menggeleng pelan. "Mbak Tsa cuma


bercanda. Biar Fanny yang cuci piring," katanya sembari mengambil
piring kotor Ghaly dan dibawanya ke dapur.

Sepeninggal Fanny, suasana meja makan berubah canggung, hanya


sesekali Tsamara dan Ghaly saling pandang sebelum mengalihkannya
pada Alta yang sedang menggigit paha ayam dengan sangat antusias.

"Dia sangat suka ayam, ternyata," Ghaly menggumam dengan tatapan


tak lepas dari Alta.

"Seperti kamu." Dan itu hanya berada di dalam hati Tsamara. "Iya.
Walaupun suka, saya tetap membatasi konsumsinya agar seimbang
dengan sayuran."

"Dia masih dalam masa pertumbuhan." Ghaly mengangguk mengiakan.


Sebelum mengerjap karena Alta menyodorkan sisa gigitan padanya.

"Om mau?" ucap Alta menawari.


"Enggak. Buat Alta saja." Ghaly menggeleng. Sepertinya karena ia
terlalu fokus memperhatikan Alta, bocah itu mengira dirinya masih ingin
ayam. "Om harus pulang." Dia melirik jam tangannya dan baru sadar jika
keberadaannya di apartemen Tsamara sudah terlalu lama.

"Om pulang sekarang. Enggak main lagi sama Alta?" Alta segera
meletakkan potongan ayamnya ke piring. "Alta nakal, ya. Om jadi ingin
pulang."

"Bukan seperti itu, Sayang." Ghaly kembali tertegun, sama seperti


sebutan itu lolos pertama kali dari bibirnya. Kenapa bisa seringan itu
memanggil sayang pada Alta. Dia kemudian melirik Tsamara yang
membuka bibirnya. Perempuan itu pasti sadar dengan sebutan yang
sebelumnya ia sebutkan untuk Alta. Dia menelan ludah, sedikit gugup
karena tiba-tiba Alta memasang wajah murung.

"Alta harus tidur siang. Bukan karena Alta nakal. Nanti kalau Om di sini,
Alta jadi main terus."

Dan sepertinya, ucapan Ghaly sama sekali tidak didengarkan Alta


karena bocah itu segera menoleh ke arah Tsamara dengan wajah
hampir menangisnya. "Mama, Alta enggak nakal. Alta mainnya baik
sama Om."

Tsamara menangkup wajah Alta, menghapus setetes air mata yang


mengalir di pipi Alta. "Mama tahu, Alta mainnya baik. Tapi Om Ghaly
harus pulang."

Balasan berikutnya yang Alta berikan adalah jerit tangis bocah itu.

Tsamara bergerak cepat bangkit dari duduknya dan menggendong Alta.


"Shh ... shh ... besok Om Ghaly main lagi sama Alta." Bujuknya, sebuah
kebohongan. Tapi, ia tidak tahu harus menggunakan alasan apa untuk
membujuk Alta.

Dan seperti dugaannya, kalimat bujukan darinya tidak mempan sama


sekali. Tsamara kemudian menatap Ghaly yang ekspresinya tidak bisa ia
baca sama sekali. "Iya, kan Om. Besok main lagi sama Alta." Dia
mengakhirinya dengan kerjapan mata. Berharap Ghaly mengerti kode
darinya dan mengiakan.

Ghaly menelan ludah dan bersuara. "Ya, besok Alta main lagi sama
Om."
Alta menghentikan tangisannya seketika dan menatap Ghaly. "Om mau
main lagi sama Alta?"

"Benar, Om janji. Kalau kita main lagi, Alta boleh minta apa saja sama
Om." Ghaly mendekati Alta dan tanpa meminta izin pada Tsamara, ia
mengusap puncak kepala Alta.

"Alta mau pesawat." Alta mencicit, melirik ragu-ragu pada Tsamara.

Ghaly mengulas senyuman teramat manis. "Boleh. Alta mau berapa?


Om punya beberapa pesawat jet."

"Pesawat jet?" Alta mengulang dengan kelopak matanya yang berkedip


pelan. Tangisannya sudah tak lagi berbekas.

Sebelum Ghaly membalas, dia lebih dulu mendapatkan pelototan dari


Tsamara. "Bapak berlebihan," bisik perempuan itu.

Seketika Tsamara merasa kepalanya begitu pening. Ini baru obrolan


tentang pesawat dan Ghaly sudah mengartikan berbeda dengan apa
yang Alta inginkan. Bisa-bisanya lelaki itu menawari pesawat jet.

"Alta cuci tangan dulu, yuk. Biar Om Ghaly siap-siap buat pulang," ajak
Tsamara sembari mengayun langkah ke dapur, menemukan Fanny
masih bertahan di depan bak cuci piring dan terdengar kekehan pelan
dari sang adik.

"Pesawat jet?" gumam Fanny. "Aku enggak akan nolak."

"Jangan provokasi Alta. Kamu akan tahu akibatnya." Tsamara


memperingati dengan bisikan lirih. Setelah Alta selesai mencuci tangan,
ia segera membawa Alta ke ruang depan di mana Ghaly menunggu.

Tsamara menurunkan Alta dan meminta sang putra untuk mencium


tangan Ghaly, lalu mengantarnya bersamaan ke pintu depan. "Maaf, ya,
Alta sempat rewel. Tolong jangan dibawa serius apa yang saya katakan
barusan."

Ghaly mengernyit. "Yang mana?"

"Tentang Bapak yang bisa main lagi sama Alta. Bapak enggak perlu
melakukannya."
Tanpa menunggu balasan dari Ghaly, Tsamara kembali sibuk meminta
Alta untuk melambaikan tangan pada Ghaly.

Dan saat itu, Ghaly menyadari Tsamara tidak menginginkan pertemuan


mereka lagi.

***
Bab 12

Tsamara meletakkan gelas panjang jus jeruk ke atas meja dengan batu
es yang cukup banyak di dalamnya, membuat embun es mengelilingi
gelas. Dia kemudian mengambil duduk di sisi Fanny yang sedang sibuk
memainkan ponsel.

Ini sudah pukul dua siang dan Alta baru bisa terlelap setelah sekian
banyak bujukan yang Tsamara lontarkan. Sepanjang Tsamara berusaha
menidurkan sang putra, sepanjang itu pula Alta begitu cerewet dan ingin
tahu tentang Ghaly. Dan entah berapa kali bocah kesayangannya
mengatakan jika Om Ghaly adalah Om yang baik.

Tentu saja, untuk menjawab keingintahuan Alta tentang Ghaly, Tsamara


lebih banyak mengungkap kebohongan. Dia masih belum memikirkan
kemungkinan untuk mengungkap yang sebenarnya.

"Kenapa berbohong sama Mbak?" tanya Tsamara setelah cukup lama ia


menghujam Fanny dengan tatapan menelisik.

Fanny menoleh ke arah Tsamara dan mengulas cengiran. "Maaf,"


lirihnya. Tahu betul maksud tanya Tsamara tentang apa. Tentu saja
tentang pertemuan Alta dengan Ghaly beberapa waktu lalu. Sedari tadi
Tsamara tidak membahas tentang itu, pastilah karena menunggu Alta
terlelap lebih dulu.

Tsamara tidak menurunkan tatapan tajamnya. Justru terasa semakin


ingin menguliti adiknya. "Hal sepenting ini dan kamu sembunyikan dari
Mbak?" Dia menggeleng pelan.

"Aku cuma khawatir kalau aku jujur, nanti malah bikin Mbak kepikiran,"
ungkap Fanny. Karena memang hanya alasan itu yang ia punya saat
memilih untuk berbohong pada Tsamara. Dan sangat tidak menyangka
jika Ghaly justru bertemu dengan Alta lagi.

"Kamu tahu persis bagaimana Mbak enggak ingin terlibat dengan Ghaly
di luar kepentingan pekerjaan." Tsamara melirih. Dia memang akan
kepikiran tentang Alta, persis seperti yang Fanny katakan. Bahkan
sekarang pun tentang Alta dan Ghaly berputar di kepalanya.
"Di luar kepentingan pekerjaan?" Fanny mengulang.

"Kita udah ketemu di kantor, bertatap muka," desah Tsamara lirih.


"Bukan salah kamu juga kalau kalian enggak sengaja bertemu. Mbak
enggak bisa memungkiri itu. Segala hal di dunia ini bisa saja terjadi." Dia
menyadari, bukan sepenuhnya salah Fanny jika Alta bertemu dengan
Ghaly. Yang harus ia pikirkan adalah, bagaimana ke depannya. Dia
sudah tidak bisa bersembunyi dari Ghaly, terlebih menyembunyikan Alta.

"Jadi sekarang harus bagaimana, Mbak?" tanya Fanny. Dia meletakkan


ponselnya ke atas meja dan memberi atensi pada Tsamara.

Tsamara diam beberapa saat, berpikir. Sejujurnya ia tidak memiliki


rencana apapun kedepannya. Dia sama sekali tidak meragukan
kemampuan Ghaly dalam mengusut informasi apa pun yang lelaki itu
inginkan. "Selama Ghaly enggak tahu siapa Alta yang sebenarnya, itu
lebih dari cukup buat Mbak."

"Mbak berniat sembunyiin fakta tentang Alta dari Mas Ghaly. Kenapa?"
tanya Fanny, kemudian ia menambahi. "Maksudku, Mbak udah liat
sendiri bagaimana Alta dengan Mas Ghaly tadi. Dan memangnya, Mas
Ghaly enggak akan cari tahu dan curiga?"

"Ghaly enggak akan berpikir Mbak sedang hamil saat perpisahan kita
dulu." Tsamara berucap getir. Memang sangat kecil kemungkinan Ghaly
menebak ia tengah hamil dahulu, dan sekalipun lelaki itu tahu, besar
kemungkinannya Ghaly akan berpikir jika Alta adalah anak lelaki lain.
"Tentang kedekatan Alta dengan Ghaly, Mbak enggak bisa
mencegahnya, Alta mungkin saja merasakan ikatan itu. Darah memang
selalu lebih kental."

Tsamara merasakan bola matanya mengembun tiba-tiba. Ingatan


tentang Alta yang menangisi kepulangan Ghaly tadi, berkelebat di
pelupuk mata. Sang putra sangat jarang cengeng seperti itu, apalagi
merajuk pada orang baru.

Dan mungkin benar seperti yang ia katakan barusan, Alta merasakan


kedekatan dengan Ghaly. Bagaimanapun mereka adalah ayah dan
anak.

"Aku pikir, Alta akan sangat bahagia kalau tahu dia punya papa dan
mereka dekat satu sama lain. Tapi, semua keputusan ada sama Mbak.
Kalau itu yang Mbak pikirkan sebagai yang terbaik buat Alta, ya, aku
enggak akan memaksa."

Bertepatan dengan ucapan Fanny yang selesai, bel pintu apartemen


berbunyi. "Aku buka pintu dulu, Mbak," kata Fanny, melirik sebentar ke
arah Tsamara yang tampak terdiam, baru kemudian berjalan ke arah
pintu dan membukanya.

"Katanya masih di jalan," cibir Fanny saat menemukan Leo di depan


pintu dan mengangkat kantong plastik putih di tentengan. Dia baru saja
berkirim pesan dengan Leo, dan lelaki itu mengatakan jika masih di
perjalanan. Namun, lihat sekarang, Leo sudah berdiri di depannya.

"Memang di jalan. Di jalanan lorong menuju apartemen." Leo nyengir,


memberikan kantong bawaannya pada Fanny. "Aku bawa buah-buahan.
Siapa tahu kamu ingin bikin jus," imbuhnya, lalu menarik kerah kausnya,
mengibaskannya. "Hari ini panas sekali."

Fanny berdecak, mengikuti Leo memasuki apartemen. "Bilang aja minta


dibikinin jus."

"Tepat sasaran." Leo menatap Fanny dan mengedipkan sebelah mata,


sebelum mengedarkan tatapan ke ruang tamu dan menemukan
Tsamara sedang terdiam di atas sofa. "Kenapa aku ngerasa aura di
ruangan ini sendu sekali. Ada apa?" tanyanya pada Fanny.

Fanny melirik Tsamara yang bertahan dalam mode diam dan tampak
berpikir, mungkin saja sang kakak sedang memikirkan perkataannya
tadi. "Kita ketemu Mas Ghaly tadi dan ada sedikit kecelakaan yang bikin
Mas Ghaly mampir ke sini, lalu bermain sama Alta."

"Kecelakaan. Siapa?" Leo mendelik ke arah Fanny. "Ghaly nabrak


kalian?"

"Bukan." Fanny mengibaskan tangannya di udara. "Alta lari-larian di


depan lobi, hampir ketabrak mobil, dan Mas Ghaly yang nolongin."

"Alta enggak apa-apa?"

"Dia baik-baik saja, udah tidur sekarang." Fanny melirik Tsamara sekali
lagi, yang kali ini tengah menyesap jusnya. "Aku mau bikin jus. Mas Leo
ngobrol, deh, sama Mbak Tsa." Lalu tanpa menunggu balasan dari Leo,
Fanny segera berjalan ke arah dapur.
Leo mengambil duduk di samping Tsamara dan segera mengulurkan
tangan, menggenggam gelas jus jeruk yang Tsamara letakkan di meja,
dan baru berkurang seperempat gelas.

"Itu punyaku, jangan diminum." Tsamara memicingkan mata, dan


menepuk lengan Leo agar menjauh dari gelas jusnya.

"Pelit." Leo mencibir, menjatuhkan punggungnya untuk bersandar ke


sofa. "Jadi, Ghaly kesini tadi. Sayang sekali, aku enggak ikutan
nimbrung. Kita mungkin bisa reunian."

"Reunian dengan Ghaly yang akan hajar kamu, atau sebaliknya," bisik
Tsamara di dalam hati. Tidak menutup kemungkinan jika Ghaly akan
melakukan itu. Mengingat jika pada dirinya saja, Ghaly bisa sebenci itu,
apalagi pada Leo.

"Alta langsung suka sama Ghaly?" tanya Leo.

"Ya, seperti anak ketemu papanya."


"Ghaly memang papanya," lirih Leo. Kali ini ia memejamkan mata dan
menarik napas dalam-dalam. "Mungkin itu juga jadi pertanda, sudah
seharusnya kamu mengatakan pada Ghaly jika ada Alta di antara kalian.
Biarkan Ghaly ikut bertanggung jawab pada kehidupan Alta."

Tsamara menelan ludah, mempertahankan diri untuk tidak


menyandarkan punggung. "Tanpa Ghaly, aku bisa bertanggung jawab
sendiri membesarkan Alta."

Kelopak mata Leo segera membuka, dia menoleh ke arah Tsamara yang
menumpu siku di paha dan tampak menggigiti kuku. Perempuan itu
sedang gelisah. "Aku enggak meragukan sedikitpun kemampuan kamu,
Tsa. Tapi sudah di depan mata, dan Ghaly tahu tentang Alta. Kamu
sekalian saja membuka semuanya. Aku enggak berpikir kalian akan
balikan, ketika Ghaly tahu tentang Alta. Enggak sama sekali. Tapi,
setidaknya, biarkan Alta mengetahui sosok papanya. Kamu enggak bisa
seterusnya egois seperti ini dengan menyembunyikan Alta."

Rahang Tsamara mengeras. "Kamu enggak ngerti apa pun, Leo. Kalian
enggak ngerti apapun." Geramnya penuh kemarahan. "Dan kita udah
terlalu sering membicarakan tentang ini. Keputusanku tetap bulat, apa
pun yang terjadi, Ghaly enggak perlu tahu kalau Alta adalah darah
dagingnya."
Tsamara kesal. Setiap kali ada pembicaraan tentang Ghaly, pada
akhirnya ia yang terpojokkan. Tentang keharusannya mengungkap Alta
pada Ghaly.

Leo tertegun. Dia tidak menyangka akan mendapati kemarahan


Tsamara seperti itu. "Tsa."

"Jangan bicara lagi denganku." Tandas Tsamara lalu bangkit dari


duduknya dan berjalan menuju ke kamar. Belum sampai ke kamar, dia
kembali berjalan menuju Leo dan mendapati lelaki itu mengulum
senyuman senang. "Aku mau ambil jus."

"Tsa, aku enggak bermaksud—"


"Aku marah, Le."

Dan suara pintu tertutup dari kamar Tsamara membuat Leo meluruhkan
bahu. Dia sepertinya memang salah bicara. Namun, senyumnya
mengembang perlahan. Tsamara tidak akan bertahan lama marahan
padanya. Lihat saja, sebelum tiga hari, perempuan itu pasti akan
menghubunginya lebih dulu.

Itu sudah menjadi kebiasaan yang amat Leo hapal.

Tapi, benarkah ia mendukung perkataannya barusan. Tentang Ghaly


yang harus mengetahui siapa Alta yang sesungguhnya?

Kalau mereka balikan dan kembali seperti dulu. Bagaimana?

***
Bab 13

Ini pertama kalinya bagi Ghaly datang pagi-pagi sekali ke kantor Mitra
Sehati. Dan menjadi pertama kali juga baginya untuk duduk sendiri di
lobi dengan lengan menyilang di dada. Tatapannya pun lurus ke depan
seolah memperhatikan satu persatu karyawannya yang memasuki
gedung.

Dia memang sedang melakukan itu. Memperhatikan karyawannya untuk


menemukan Tsamara. Ada yang harus ia bicarakan dengan perempuan
itu. Kalaupun tidak ada apa pun, Ghaly pun akan memaksa Tsamara
untuk berbicara dengannya.

Ghaly baru saja melirik jam tangannya, yang menunjukkan pukul tujuh
kurang sepuluh menit. Ketika tatapannya kembali ke pintu utama, ia
menemukan sosok yang ia cari—Tsamara. Sedang berdiri di sisi sebuah
mobil.

Lelaki itu bangkit detik itu juga, ingin menghampiri Tsamara. Namun,
langkahnya kemudian terhenti saat menemukan Leo—laki-laki yang
paling ingin ia hajar, tampak menghampiri Tsamara dengan seorang
bocah digendongannya.

Rahang Ghaly mengeras dengan kepalan tangan yang kian mengerat.


Sedikit rasa senang yang sesaat lalu mampir di dalam dirinya lenyap
saat itu juga. Tergantikan oleh amarah yang membumbung di ubun-ubun
kepalanya. Jika tidak ingat sedang di kantor dan ada anak kecil bersama
dengan Tsamara di depan sana, Ghaly tentu dengan senang hati
menghampiri dan mengayun pukulan kerasnya di wajah Leo.

Tunggu.

Ghaly mengerjap. Dia akan menghajar Leo? Dia memiliki alasan apa
untuk melakukan itu?

Perselingkuhan Tsamara di masa lalu. Tentu saja itu yang menjadi


pemicu.
Tapi sekarang, Tsamara bukan lagi istrimu. Kamu tidak memiliki hak
apapun atas dirinya.

Dengan nafas yang terhembus begitu kasar, Ghaly membuang tatapan.


Kemelut pikirannya membawa kesadarannya kembali ke tempat semula.
Benar memang, sekarang ini dia bukan siapa-siapa untuk Tsamara.
Selain atasan dan bawahan. Dan ia merasa begitu marah dengan
kenyataan itu.

Ghaly tidak suka menjadi bukan siapa-siapa untuk Tsamara.

Dan ia amat tidak suka saat melihat mantan istrinya itu tertawa dengan
binar bahagianya bersama lelaki lain. Yang bukan dirinya.

"Tidak ada pernikahan. Tsamara Btari bertahan melajang hingga saat


ini. Saya bisa pastikan jika informasi saya benar adanya, Pak."

Ghaly memicingkan mata, semakin menelisik pada pemandangan terlalu


indah di depan sana yang ingin sekali ia hancurkan. Jika apa yang
informannya berikan adalah sebuah kebenaran, lalu apa yang terjadi di
depannya pagi ini?

Atau ia mendapat informasi yang salah.

Lelaki itu berdecak kasar dan segera membalik badan, tidak ingin lebih
lama berada di sana, atau ia akan melakukan hal memalukan yang bisa
merusak image-nya. Dengan menghajar Leo misalnya. Jemarinya terasa
gatal sekali.

Di depan lobi, Tsamara mendekati Alta yang melekat di gendongan Leo.


"Harusnya Alta di mobil saja." Peringatnya seraya mencium pipi Alta.

"Kenapa, takut terlihat dia?" Leo bertanya, menggerak-gerakkan alisnya.

Tsamara menghela napas. Mengerti betul, dia siapa yang Leo maksud.
Ghaly Badrayudha, tentu saja. Bos besarnya yang sangat jarang ke
kantor sendiri. Saking banyaknya kesibukan lelaki itu. "Mama kerja, ya,
Sayang. Alta baik-baik sama Tante Fanny dan Om Leo," pesannya
kemudian, mengabaikan pertanyaan Leo.

"Mengalihkan pembicaraan, selalu," cibir Leo.


"Itu salah satu keahlianku." Tsamara mengulas senyuman. "Udah, ya,
aku masuk. Titip Alta." Dia mengusap puncak kepala Alta sekali lagi dan
melambaikan tangan sembari mundur. "Dah, Sayang."

"Aku enggak dicium pipinya, Tsa?" kelakar Leo.

Tsamara hanya memberi pelototan penuh peringatan pada Leo, dan


segera mengulas senyuman teramat manis pada Alta.

"Dadah, Mama," ucap Alta, terlalu antusias. Tangannya masih terus


melambai sampai didudukkan kembali di kursi belakang dengan Fanny
di sampingnya.

Pagi ini, entah dapat angin dari mana, Alta merengek ingin ikut Tsamara
bekerja, manjanya minta ampun. Beruntung Leo senggang hari ini,
sehingga dengan begitu banyak bujukan, Alta menurut hanya dengan
mengantar ia ke kantor.

Tsamara memperhatikan mobil Leo yang mulai menjauh dari pelataran


kantornya. Baru setelahnya ia memasuki gedung kantornya. Siap untuk
memulai hari ini dengan segala kesibukan pekerjaan.

Dalam ayunan langkah menuju meja kerjanya, pikiran Tsamara bekerja


amat keras mempertimbangkan keputusan yang ia ambil sejak
semalam. Berkat kata-kata dari Fanny dan Leo, Tsamara mencoba
berdamai dengan semua yang terjadi antara ia dan Ghaly.

Dia ingin membangun hubungan yang baik dengan lelaki itu.

Dan segalanya diawali dengan pengakuan dirinya tentang Alta yang


hadir di tengah-tengah pernikahan mereka dahulu.

Harapnya hanya satu, Ghaly memang akan berpikir seterbuka itu dan
mendengar penjelasan darinya. Tidak seegois dulu yang selalu percaya
dengan pembenaran diri sendiri. Padahal itu adalah hal yang keliru.

Tsamara sudah membulatkan tekadnya, dia hanya perlu menunggu


kehadiran Ghaly di kantor. Jika bukan hari ini pun tidak masalah. Bisa
hari-hari besoknya, malah ia bisa sekalian mengumpulkan keberanian.

Tidak mudah berurusan dengan Ghaly. Terlebih sekarang ini. Di saat ia


tidak memiliki kewenangan untuk bertemu dengan lelaki itu sewaktu-
waktu.
***
Tsamara sedang berpangku tangan di atas meja dengan tatapan lurus
ke layar monitor di depannya ketika mejanya tiba-tiba diketuk oleh
seseorang dengan bolpoin. Perempuan itu segera mendongak dan
menaikkan sebelah alisnya saat menemukan salah satu rekan kerjanya
berdiri di sisinya.

"Kamu diminta ke ruangan Pak Ghaly."

Butuh beberapa detik bagi Tsamara untuk mencerna ucapan sang


kawan, sebelum bola matanya membulat lebar. "Apa?"

"Aku dititipi pesan, Tsamara diminta ke ruangan Pak Ghaly sekarang,"


ulang perempuan ber-blus warna biru muda itu, penuh penekanan.

"Aku?" Tsamara menunjuk dirinya. "Tapi, buat apa? Apakah pekerjaanku


enggak beres? Aku salah input data?" Seketika ia merasa was-was.
Tidak menutup kemungkinan jika ia memang melakukan kesalahan.

"Enggak tahu juga, yang jelas kamu ke ruangannya sekarang. Sebelum


Pak Ghaly marah-marah." Perempuan itu menjeda, keningnya
mengernyit tampak mempertimbangkan sesuatu. "Tapi, rada aneh, sih,
Tsa. Kalau kamu melakukan kesalahan masa pimpinan perusahaan
yang turun tangan."

Tsamara mengangguki. Karena memang aneh saja, tapi, ini Ghaly. Tidak
ada yang aneh kalau lelaki itu sudah bertindak. Dan bukankah ini adalah
kesempatan yang tepat bagi Tsamara untuk bisa berbicara dengan
Ghaly perihal Alta.

"Ruangannya ada di mana?" tanya Tsamara sembari bangkit dari


duduknya. Jika bisa melakukannya sekarang ini, ia memang tak perlu
menunda-nundanya lagi. Sebelum keputusannya goyah dan berakhir
dengan membatalkan segala niatan baiknya ini.

"Lantai teratas gedung ini. Ada di ujung lorong. Aku sendiri enggak
pernah kesana. Karena apalah staf kayak aku ini."

Tsamara menepuk bahu sang kawan. "Kelihatannya lebih baik enggak


pernah ke ruangan itu," katanya. Kemudian berlalu dari meja kerjanya
setelah mengucapkan terima kasih pada sang kawan.
Di dalam lift yang akan membawanya lebih dekat pada Ghaly, Tsamara
menggumam sendiri. Seolah sedang memperagakan bagaimana ia
harus memulai obrolan tentang Alta.

"Ghaly, ada yang ingin kuberitahukan padamu, ini tentang Alta, dia
anakku—tidak tidak," Tsamara menggeleng sendiri. "Dia anak kita." Dan
ia meringis kemudian. Apa masih pantas ada "kita" antara dirinya dan
Ghaly.

Tsamara mengetuk-ngetuk sepatunya di lantai, bertambah gelisah. "Saat


perceraian kita dahulu, aku sedang hamil. Buah cinta kita—" Perempuan
itu berdecak dan memejamkan mata.

Ini akan sulit. Mengungkap kebenaran tentang Alta tidak semudah


seperti ia yang memaki Ghaly.

"Alta, anak aku dan kamu. Maaf, karena menyembunyikan


keberadaannya saat perceraian kita dulu." Tsamara kembali berbicara
sendiri. Merasa sangat beruntung karena hanya ada dia sendiri di dalam
lift. Setidaknya ia memiliki lebih banyak waktu untuk mempersiapkan diri
dalam menghadapi Ghaly. "Aku tahu ini mungkin sedikit terlambat, tapi
apakah kita bisa berbaikan? Alta membutuhkan figur ayahnya, dan itu
kamu."

Tepat ketika Tsamara menyudahi gumaman, denting lift terdengar dan


pintunya membuka. Perempuan itu segera menyusuri lorong mengikuti
instruksi yang diberikan sebelumnya, hingga tiba di depan meja yang
dihuni seorang lelaki. Dia lupa nama asisten pribadi Ghaly itu. Yang
Tsamara lakukan hanya menyebutkan namanya sendiri, dan
mengungkap perihal kedatangannya ke ruangan Ghaly.

"Silakan masuk, Pak Ghaly ada di dalam dan sedang menunggu Anda."

Tsamara tampak ragu untuk memasuki ruang kerja Ghaly. Dia melirik
lelaki bersetelan rapi yang membukakan pintu untuknya dan
memberitahukan perihal kedatangannya pada Ghaly barusan.

Tsamara sudah membuka bibir, hendak bertanya kesalahan apa yang ia


lakukan hingga Ghaly memanggilnya. Namun urung ia lakukan. Tsamara
memilih hanya mengulas senyuman dan memasuki ruang kerja Ghaly.
Dia menemukan lelaki itu tampak sedang sibuk dengan bolpoin dan
dokumen-dokumen yang terlampau banyak di atas meja.
"Pak Ghaly memanggil saya?" Tsamara melirih. Setelah
mempertimbangkan harus memanggil Ghaly dengan embel-embel
Bapak atau tidak.

Ghaly menengadah, dia menggerakkan dagunya menunjuk sofa.


"Duduk," pintanya sembari menegakkan tubuh dan melepaskan
bolpoinnya.

Tsamara menurut, segera menempatkan diri di salah satu sofa. Dia


merasa udara di sekitarnya terasa begitu mencekam. Aura Ghaly siang
ini tampak amat serius. Mungkin ia memang melakukan kesalahan
dalam pekerjaannya.

Dengan sebuah map di genggaman tangannya, Ghaly turut serta


mengambil duduk di sofa, berhadapan dengan Tsamara. Dia kemudian
membuka map itu dan disodorkan ke depan meja Tsamara. "Itu adalah
kontrak kerja yang baru untukmu," ucapnya tanpa basa-basi.

"Maksudnya?" Kening Tsamara mengernyit, menatap bergantian antara


Ghaly dan sebuah dokumen yang membuka di hadapannya.

"Baca dan tandatangani. Mulai besok, kamu akan bekerja di


Badrayudha Realty. Menjadi sekretaris pribadiku."

Bola mata Tsamara membulat sedemikian besar. Ini jelas jauh sekali dari
yang ia duga dan rencanakan.

***
Bab 14

"Kenapa diam?" tanya Ghaly saat mendapati Tsamara bertahan


membungkam bibir, bahkan tidak bergerak sedikitpun dari tempat
duduknya. "Kamu tidak ingin?" ulangnya bertanya.

Tsamara menghela napas. "Ghaly," panggilnya berusaha tidak formal.


Bukan ingin membicarakan tentang jabatan sekretaris yang ditawarkan
Ghaly. Melainkan melanjutkan niatannya untuk mengungkap perihal
Alta. "Begini, ada yang ingin aku bicarakan tentang—"

"Oh, kamu ingin membicarakannya dulu dengan Leo. Meminta izinnya


lebih dulu untuk bekerja denganku," Ghaly memotong sinis. "Kalian tidak
menikah bukan? Untuk apa meminta izin padanya?"

Ghaly sungguh ingin mengutuk bibirnya sendiri karena justru


menunjukkan kesinisan dan mengungkap Leo ditengah-tengah ia dan
Tsamara. Tapi, melihat ekspresi Tsamara yang begitu terkejut dengan
penuturannya barusan, berhasil membuat ia menarik kesimpulan
menyebalkan. Ia tidak menemukan sedikit pun kebahagiaan di wajah
perempuan itu.

"Apa?" Tsamara mengerjap. "Kamu—"

Sekali lagi, Ghaly menyambar ucapan Tsamara dalam satu kalimat


cepat. "Bukan hal penting aku mengetahuinya dari mana, bukan?"

"Ghaly, aku memang enggak peduli kamu menyelidiki tentangku atau


tidak, dan terserah motif dibaliknya apa," Tsamara bersuara, berusaha
mengontrol kalimatnya agar tidak bergetar. Melihat Ghaly sekarang ini,
membuat Tsamara seperti ditelanjangi.

Tatapan Ghaly kian menajam, menahan mati-matian kepalan tangan dan


raut sinis yang ingin ia tunjukkan. Dia tidak mengetahui dengan pasti
apa yang sesungguhnya ia inginkan. Ia hanya tidak suka melihat
Tsamara bahagia. Tanpa dirinya.
Lalu, apakah karena kebenciannya pada Tsamara sedemikian besar?

Atau karena cintanya pada Tsamara tidak pernah memudar sedari dulu.
"Kamu hanya perlu menandatangani surat itu dan semua selesai lebih
cepat." Ghaly menggeram lirih. Berusaha menutupi gelegak perasaan
yang ingin muncul ke permukaan.

"Saya akan memikirkannya lebih dulu," putus Tsamara pada akhirnya.


Luruh sudah segala niatannya untuk mengungkap siapa Alta pada
Ghaly. Karena nampaknya lelaki itu tidak berubah sejak perpisahan
mereka lima tahun lalu. Selalu memenangkan egonya sendiri, dan
pembenaran-pembenarannya.

Tsamara merasa begitu bodoh karena dia hampir terbujuk untuk luluh di
depan Ghaly.

Ghaly berdecih. "Memikirkannya?"

Tsamara yang sudah bangkit dari duduknya dan hendak melangkah


keluar ruangan, menghentikan gerakannya untuk kembali menatap
Ghaly. Dia tahu, dia sungguh tidak memiliki sopan santun di depan
atasannya karena ingin pergi begitu saja, bahkan ketika obrolan mereka
belum selesai. "Apa itu berlebihan? Saya tentu memiliki hak untuk
memikirkannya, bukan?"

"Enggak. Kamu enggak punya pilihan lain selain menerimanya."

"Saya punya hak untuk menolak. Jika itu yang saya pilih."

"Tsa, kalau kamu menolak tawaranku kali ini. Kamu akan dikeluarkan
dari kantor." Ghaly menyuarakan ancamannya untuk pertama kali.

Tsamara membuang tatapan dan melirih, "Maka lakukan saja. Semau


Bapak." Dan ia mengayun langkah melewati Ghaly, rasanya memang
lebih baik untuk keluar lebih cepat dari ruangan yang hanya ditempati ia
dan Ghaly.
Ghaly turut serta bangkit dari duduknya, menatap punggung Tsamara
yang menjauh diiringi bola matanya yang memerah. Amarah yang sedari
tadi ditahannya untuk tetap berada di dalam dada, kini naik ke
permukaan, begitu meluap-luap.

Dia begitu marah karena pada kenyataannya, Tsamara menolak dirinya.


"Lucu sekali saat tahu kamu dan Leo bertahan tidak menikah hingga
sekarang. Kenapa? Kamu khawatir akan mengkhianati pernikahanmu
lagi. Dan Alta, anak itu, dia anak harammu dengan Leo."

Tsamara yang tinggal selangkah mencapai pintu, di detik itu juga


menghentikan langkah. Dia segera berbalik, kembali menghadap Ghaly
dan mendekati lelaki itu. Tanpa mengawalinya dengan berbicara, saat
tiba di depan Ghaly, dia mengangkat tangan kanannya dan
mengayunkan tamparan sekeras yang ia bisa ke pipi lelaki itu. Yang
berhasil membuat bunyi pertemuan dua kulit itu mengisi ruangan.

Dengan rahang mengeras, Tsamara menggeram. "Alta anak aku." Dan


setetes bulir air mata lolos dari sudut matanya. Dia sangat kecewa pada
Ghaly. Tidak percaya sama sekali jika lelaki itu meloloskan sebutan
sekeji itu untuk Alta. Alta-nya. Buah hatinya.

Jika orang lain yang mengatakan itu, Tsamara akan berusaha


mengabaikannya. Tapi ini Ghaly Badrayudha. Laki-laki yang darahnya
mengalir di tubuh Alta.

"Kamu bisa membenciku sebesar yang kamu inginkan. Tapi, tidak


dengan Alta. Dia putraku. Dia hidupku. Kamu enggak pantas sama
sekali menyebutnya sekeji itu." Tsamara kembali berucap, sedikit serak,
diiringi air mata yang mengalir deras di pipinya, tak mampu ia cegah.

Ghaly terkejut mendapati kemarahan Tsamara. Bekas tamparan


Tsamara di pipinya yang cukup perih, tidak ia pedulikan sama sekali. Ia
justru tergagap seolah yang barusan ia lontarkan diluar warasnya,
"Aku—"

"Aku lebih memilih tidak bekerja di kantormu, Ghaly. Aku akan berusaha
semampuku agar kita tidak pernah dipertemukan lagi di kemudian hari."
Tsamara mengusap kasar air matanya. Dia pasti tampak konyol di mata
Ghaly, dan tampak lemah tentunya. "Besok, kamu akan menerima surat
pengunduran diri dariku."

Apapun pilihannya, Tsamara memang merasa lebih baik jika tidak lagi
berkaitan dengan Ghaly. Sudah seharusnya ia membangun dunianya
dengan Alta tanpa Ghaly. Ia tidak bisa mengharapkan apapun pada
Ghaly.
Amarah yang sesaat lalu memenuhi dadanya, luruh seketika saat
melihat Tsamara menangis, bahkan Ghaly merasa amat bersalah
karenanya.

Tapi, dia pun tidak bisa membiarkan Tsamara kembali menghilang dari
hadapannya.

"Kalau kamu berani mengundurkan diri, aku akan pastikan nama Fanny
di-blacklist dari semua perusahaan besar di Jakarta, dan Leo, karirnya
sebagai arsitek bisa aku hancurkan dengan mudah. Dia mungkin tidak
akan lagi memiliki nama dan muka kali ini. Kamu tahu betul, aku bisa
melakukan itu semua."

Dan Ghaly memilih menjelma menjadi iblis, memberi rasa sakit untuk
Tsamara. Mengikat perempuan itu dengan caranya. Alih-alih menjadi
malaikat yang mendekap penuh pengertian.

Dia memang tetaplah seorang Ghaly Badrayudha. Yang hingga lima


tahun setelah perceraian dengan mantan istri, tak bisa beranjak maju
sedikit pun.

Tangis Tsamara semakin tergugu. Dia menghapus kasar air matanya


dan menarik nafas panjang-panjang. Ghaly tahu persis kelemahannya,
dan lelaki itu menjadikannya ancaman.

Fanny dan Leo. Tsamara ingin tertawa amat keras. Bagaimana mungkin
ia akan membiarkan Ghaly menghancurkan masa depan mereka?

"Apa aku punya pilihan?" tanya Tsamara dengan wajahnya yang begitu
jengah menghadapi Ghaly.

Ghaly menarik sudut bibirnya samar-samar. "Tidak. Kamu hanya harus


menjadi sekretarisku dan mereka aman. Bahkan aku bisa dengan
mudah membuat masa depan mereka cemerlang."

Lelaki itu tahu, ancamannya tepat sasaran. Dan Tsamara bisa dipastikan
tetap di tempat yang ia inginkan. Perempuan itu tidak akan setega itu
membiarkan Fanny dan Leo hancur. Meski ia cukup kesal karena
Tsamara begitu peduli dengan Leo. Sama seperti dulu.

Tsamara memejamkan mata, menelan ludah begitu pelan. "Aku ingin


mengajukan satu syarat, kalau kamu sekali lagi menyinggung dan
mengusik Alta. Aku pastikan kita memang tidak semestinya bertemu.
Bab 15

Tsamara Btari menutup rapat-rapat fakta dirinya yang kini menjadi


sekretaris pribadi Ghaly, dari Fanny atau pun Leo. Meski ia tahu persis,
cepat atau lambat mereka pun akan mengetahui apa yang ia
sembunyikan.

Namun, untuk beberapa hari ini, biarlah ia menyimpan kabar itu untuk
dirinya sendiri.

Pagi ini, Tsamara sungguh kehilangan definisi tentang apa itu semangat.
Karena sejak keluar pintu apartemennya menuju kantor barunya, yang
ada di dalam dirinya justru keinginan untuk berbalik arah dan kembali
pulang.

Dia merasa menjadi perempuan bodoh yang semudah itu dikelabui


lelaki. Tapi, lebih dari apapun, ia memang tidak meragukan sama sekali
kemampuan Ghaly untuk menghancurkan karir seseorang bahkan hidup
seseorang. Semudah lelaki itu membalikkan telapak tangan. Dengan
kekuasaan dan kekayaan yang lelaki itu miliki, tentu saja.

Perempuan itu membenarkan letak tas selempangnya di bahu kiri dan


menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya memasuki gedung kantor
Badrayudha Realty. Gedung kantor itu sendiri bukan tempat asing untuk
dirinya. Dulu, di tempat ini lah ia dan Ghaly pertama kali bertemu, jatuh
cinta hingga akhirnya memutuskan untuk menikah. Meski pada akhirnya
usia pernikahannya hanya berlangsung kurang lebih satu tahun.

Ah, momen-momen masa lalu memang selalu ampuh membuat


perasaannya tersentuh.

Tapi sekarang, bukan saatnya membiarkan perasaannya tersentuh


seperti itu, terlebih dengan Ghaly di dalamnya. Tidak. Tsamara tidak
akan membiarkan hal itu melemahkannya. Dia sepakat menjadi
sekretaris Ghaly dan dia berjanji akan melakukannya seprofesional
mungkin.
Tsamara mengusap wajahnya dan sekali lagi menghela nafas kasar. Dia
berada di dalam lift bersama beberapa orang lainnya. Yang ke semua
orang di lift itu begitu wangi dengan pakaian necis. Dia melirik
pakaiannya sendiri hingga ke ujung kaki. Tidak mewah memang, namun
Tsamara cukup yakin, apa yang ia kenakan terlihat amat pantas dan
sopan.

"Kamu dengar, General Manager kita yang baru nanti adalah


sekretarisnya Pak Ghaly."

Ada nama Ghaly disebut dalam obrolan itu membuat Tsamara semakin
fokus menatap ujung sepatunya, namun dengan telinga yang awas
mendengar.

"Lalu yang menggantikan Bu Joana jadi sekretarisnya Pak Ghaly


siapa?"

"Entahlah. Padahal Bu Joana yang kutahu, selalu cekatan dalam


bekerja. Dan sudah bertahun-tahun menjadi tangan kanan Pak Ghaly
juga, kan?"

"Ah, benar juga. Enggak ada jabatan yang lebih indah dari menjadi
sekretarisnya Pak Ghaly. Bayangin aja, hampir tiap bulan selalu ada
urusan pekerjaan di luar kota. Walau sibuk bekerja, pasti ada lah satu
dua hari untuk liburan. Enggak jarang juga menemani ke luar negeri,
kan?"

"Ya, memang. Mana lagi bekerja sama lelaki tampan idaman banyak
wanita."

"Nah, itu juga jadi nilai plus. Siapa tahu kayak kisah manis novel
romance, dari sekretaris menjadi belahan jiwa."

Tiga perempuan yang sedari tadi mengobrolkan tentang Ghaly tertawa


bersamaan.

"Eh, aku penasaran siapa perempuan terpilih yang menggantikan Bu


Joana."

"Yang pasti bukan cuma pintar dan cekatan. Tapi, juga cantik dan seksi."

Tsamara hampir menyemburkan decapannya. Merasa sangat beruntung


karena berhasil mengendalikan keinginan-keinginan itu. Jika
perempuan-perempuan itu mengetahui bahwa dirinya yang menjadi
sekretaris Ghaly. Mereka pasti akan menatap penuh ketidakpercayaan.
Dia tidak cantik dan tidak seksi. Kata Ghaly, dahulu.
Dia mendesis, lagi-lagi ingatan tentang Ghaly yang menyelinap
benaknya.

"Coba saja ditawarkan padaku, aku enggak akan menolak. Malah


senang hati banget kalau diajak menginap di satu kamar hotel yang
sama."

"Huss, omonganmu itu, loh. Ada benarnya juga."

Dan sekali lagi tiga perempuan itu tertawa. Sangat berbeda dengan
Tsamara yang justru meringis. Jika saja dia bisa melemparkan jabatan
barunya sebagai sekretaris Ghaly pada tiga perempuan itu, Tsamara
akan dengan senang hati melakukannya.

Namun, apalah daya, dia yang harus menerima kemalangan itu.

Sendirian di dalam lift karena semua orang yang bersama dengannya


sudah lebih dulu keluar, Tsamara mencoba berkaca merubah mimik
wajahnya. Ekspresi apa yang seharusnya ia tunjukkan di depan Ghaly.
Dia tidak mungkin memberi tatapan tajam dan amarah menggebu-gebu
terus, bukan?

Ghaly mungkin sangat menyebalkan dan ia membencinya. Namun, di


satu sisi ia juga harus profesional, memisahkan antara kepentingan
pribadi dan pekerjaan.

Ah, kebodohan apalagi itu, karena pada dasarnya Ghaly lah yang
mencampur adukan urusan pribadi dengan pekerjaan. Tapi, bukankah
Ghaly selalu benar? Dan Tsamara adalah si tersangka yang pantas
dijatuhi hukuman.

Tsamara mendecap untuk kesekian kalinya pagi ini. Belum juga ia


memulai satu harinya bekerja bersama Ghaly, tapi ia sudah dapat
memperkirakan akan serumit apa mereka nantinya.

"Tsamara."

Panggilan penuh keterkejutan itu membuat ayunan langkah Tsamara


menuju ruangan Ghaly terhenti. Dia harus memuji ingatannya, karena
setelah lima tahun, detail letak ruang kantor Ghaly masih terekam jelas.

"Tsamara, kan?"
Panggilan kedua yang terdengar seperti tengah memastikan, semakin
membuat Tsamara membeku di tempatnya berdiri. Dia lupa, segelintir
orang yang dulu mengenal dirinya kemungkinan besar masih di kantor
ini.

Ya Tuhan, jika Joana yang perempuan-perempuan tadi sebutkan di


dalam lift adalah orang yang sama yang ia kenal dulu, maka sudah
tentu, Tsamara tidak bisa bersembunyi atau pura-pura lupa ingatan.

Sekali lagi Tsamara mengutuk bodoh dirinya sendiri. Seharusnya ia


memikirkan matang-matang konsekuensinya ketika menyetujui menjadi
sekretaris Ghaly. Salah satunya bertemu dengan orang-orang dari masa
lalu. Yang entah mengenalnya sebagai rekan kantor di Badrayudha
realty, atau justru sebagai istri Ghaly.

Dengan leher yang terasa kaku, Tsamara menoleh, dan benar


tebakannya, perempuan yang memanggil dirinya adalah Joana.
Perempuan cantik yang seingat Tsamara tidak berubah banyak.

"Benar, Tsamara. Ya Tuhan, aku enggak nyangka kita bertemu di sini,"


Joana kembali bersuara setibanya ia di depan Tsamara.

Tsamara mengulas senyuman manis. "Hai, Jo." Dia mengangkat


tangannya dan melambai. Sedikit canggung, karena meski dulu ia cukup
dekat dengan Joana, tapi setelah perpisahan dan kepergiannya dari
Jakarta, mereka putus kontak.

Joana tanpa permisi segera menutup jarak dengan Tsamara dan


melingkarkan lengan di punggung perempuan itu. "Syukurlah kamu
baik-baik saja, aku senang banget kita bisa bertemu lagi, Tsa."

"Ya, aku juga senang bertemu kamu, Jo." Tsamara tidak berdusta akan
itu. Dari sedikitnya orang yang mengetahui pernikahannya dengan
Ghaly dahulu—yang memang sengaja dirahasiakan dari publik, Joana
menjadi salah satu teman yang selalu berada di pihaknya.

"Jadi, kenapa kamu ke sini? Ini kejutan sekali." Joana bersuara setelah
puas melepas rindu dengan Tsamara dan mengurai pelukan.

Tsamara mengedip, menatap Joana penuh rasa bersalah saat kemudian


ia sadar, dirinyalah yang menggeser posisi Joana menjadi sekretaris
Ghaly. Padahal Joana sudah menjadi partner Ghaly sejak
bertahun-tahun lalu. Dan sepertinya, Ghaly belum memberitahu Joana
tentang siapa sekretaris baru itu.

"Aku—" ucapan Tsamara terpotong karena lontaran kalimat sinis.

"Sudah puas melepas rindu?" Ghaly bersandar di kusen pintu ruang


kantornya dengan satu tangan tenggelam di saku celana, dan tatapan
tertuju tepat pada Tsamara. Ada senyuman samar yang mengulas di
bibirnya, sebelum ia kembali melanjutkan ucapannya, "Jo, Tsamara
akan menjadi sekretaris saya mulai sekarang, menggantikan kamu."

Joana tidak menutupi keterkejutannya sama sekali. Dan yang Tsamara


lakukan hanya mengulas senyuman seramah mungkin.

"Untuk beberapa hari ini, kamu harus tetap di sini mengajari Tsamara.
Kamu bisa melakukan cara apapun agar dia cepat tanggap seperti
kamu." Ghaly mengedikkan bahu. "Saya enggak suka sekretaris yang
kerjanya lelet."

"Kalau gitu kenapa kamu menjadikan aku sekretarismu. Sudah benar


Joana yang menempati posisi itu."

Rasanya, Tsamara ingin mengumpat sejadinya karena ucapan Ghaly.


Lelaki itu memang harus diberi pelajaran sekali-kali. Mana bisa ia
langsung cepat tanggap seperti Joana dalam beberapa hari.

"Baik, Pak. Saya akan melakukan yang terbaik." Yang bisa Joana
lakukan hanyalah menganggukan kepala dan menyanggupi.

"Dan satu lagi, Jo. Ambil ini," Ghaly mengulurkan sebuah kartu berwarna
hitam kepada Joana. "Antar Tsamara membeli pakaian baru—"

"Apa, tunggu," Tsamara memotong cepat dan segera meralat


ucapannya. "Maaf, maksud saya—"

"Kamu butuh pakaian baru yang lebih layak dikenakan sebagai


sekretarisku. Pakai itu dan beli pakaian apapun semau kamu."

Joana menerimanya dengan bibir terkatup rapat. Sekali lagi dia


menganggukan kepala, tidak membantah sedikit pun perintah Ghaly.
Meski dia sungguh penasaran dengan permainan apa yang sedang
dilakukan Ghaly dan Tsamara.
"Aku enggak mau sekretaris Ghaly Badrayudha terlihat kumal dan
norak." Setelah mengatakan itu, Ghaly kembali masuk ke ruang
kantornya. Meninggalkan Tsamara yang begitu sebal dengan kelakuan
lelaki itu.

***
Bab 16

Seperti yang diharapkan Ghaly, siang ini ditemani Joana, Tsamara


berbelanja di salah satu mal demi memenuhi permintaan lelaki itu.
Membeli baju baru katanya.

Sial, keinginan Tsamara untuk menampar Ghaly sekali lagi, sedemikian


besarnya.

"Sifat Ghaly selama lima tahun terakhir ini menjadi sangat kacau."

Ucapan tiba-tiba yang Joana lontarkan membuat gerak Tsamara memilih


blus terhenti. Perempuan itu menoleh ke arah Joana di sisi kirinya yang
juga sedang memilih pakaian. "Maksudnya?"

Sejak pagi hingga jam makan siang tadi, yang Tsamara lakukan di
kantor benar-benar training bagaimana menjadi sekretaris Ghaly. Dan
tidak sekalipun ada obrolan yang menyinggung Ghaly di luar konteks
pekerjaan. Namun sekarang, karena sudah berada di luar kantor,
nampaknya Joana tidak lagi menahan diri untuk bercerita tentang masa-
masa lima tahun silam, pasca perceraiannya dengan Ghaly.

"Setelah kalian bercerai, selama kurang lebih tiga bulan, Ghaly enggak
pernah pulang ke rumah." Joana mulai bercerita. "Aku tahu aku mungkin
enggak pantas untuk bercerita tentang ini padamu, tapi aku merasa,
kamu perlu tahu."

Tsamara butuh beberapa saat untuk memahami apa yang Joana


ceritakan, dan sebelum ia sempat membalas, Joana sudah kembali
melanjutkan ucapan.

"Jadi, selama itu, ruang kantornya menjadi rumah dan tempat bekerja
sekaligus. Enggak pernah ada yang diizinkan masuk ke ruangannya,
selain aku dan cleaning service. Selama itu pula aku berperan jadi
sekretaris dan pembantunya."

"Itu pasti sibuk sekali." Tsamara membalas ringan sembari kembali


memilah-milah pakaian mana yang seharusnya ia beli, dengan uang
Ghaly tentu saja.
"Itu semua bukti seberapa kacaunya dia karena perpisahan kalian."

Kali ini, Tsamara kembali menghentikan gerakannya memilah, dengan


tatapan bertahan mengunci pada deretan blus di hadapannya.

"Ghaly kacau banget. Dia berubah ratusan derajat, menjadi Ghaly yang
saat ini."

Jika boleh jujur, Tsamara sebenarnya tidak cukup tertarik mendengar


bagaimana kehidupan Ghaly pasca perpisahan mereka. Hatinya masih
diliputi luka dan kekecewaan jika mengingat sebutan keji yang Ghaly
lontarkan pada putranya.

Segala rasa rindu yang bertunas di dalam hatinya tersingkir begitu


cepatnya karena sebutan itu.

Lebih dari apapun, ia sangat kecewa pada lelaki itu. Kekecewaan yang
justru tidak bisa ia luapkan begitu saja, karena yang terjadi padanya kini
justru menjadi budak lelaki itu.

Sial. Tsamara mengumpat lirih di dalam hati.

Dia pasti tampak seperti wanita tidak berdaya di mata Ghaly.

"Jadi, Tsa, pesanku sekarang. Kamu harus pintar-pintar menghadapi


Ghaly."

"Aku pasti akan melakukan itu, Jo." Kalau bisa, Tsamara juga ingin
pintar mengelabui Ghaly.

"Oh, iya, Tsa, aku enggak penasaran gimana kalian bertemu, karena
aku tahu pasti, sama sepertiku, kamu dan Ghaly putus kontak selama
ini. Yang bikin aku penasaran justru keputusan Ghaly yang jadiin kamu
sekretarisnya."

"Maaf, Jo. Karena aku, kamu jadi harus pindah."

Joana mengibaskan tangan. "Enggak masalah, memang awalnya aku


terkejut karena Ghaly memindahkanku secara mendadak. Di satu sisi
aku juga berpikir, mungkin Ghaly memang bosan karena sekretarisnya
aku mulu."
Tsamara tertawa pelan. "Ghaly enggak mungkin bosan sama kamu, Jo.
Cuma kamu satu-satunya partner yang cocok dengannya."

"Dan kamu, Tsa." Joana mengimbuhi.

"Aku?" Tsamara mengedikkan bahu. "Entahlah. Yang pasti sekarang aku


akan jadi budaknya Ghaly."

"Tsa."

"Kalau kamu tanya, alasan apa yang membuat Ghaly menarik aku untuk
jadi sekretarisnya? Aku sendiri enggak tahu, Jo. Seperti yang kamu
bilang, Ghaly berubah."

Meski di dalam hatinya, Tsamara mengerti betul, dengan ia menjadi


sekretaris Ghaly, lelaki itu akan lebih leluasa melakukan banyak hal—
termasuk melukainya lagi dan lagi.

Kalau sudah tahu akhirnya seperti itu, kenapa Tsamara mengorbankan


diri?

Karena ada beberapa orang yang justru sengaja menenggelamkan diri


di dalam kubangan luka.

***

Tsamara pulang ke apartemen dengan begitu banyak kemungkinan


membayang di benaknya. Yang paling kuat adalah, apa yang akan ia
jelaskan pada Fanny ketika sang adik melihat ia membawa belanjaan
sebanyak ini. Dua tangannya penuh dengan kantong-kantong belanja,
mulai dari pakaian kantor, sepatunya sekalian, bahkan tas juga.

Sepertinya, dia memang harus berbicara serius dengan Ghaly. Lelaki itu
amat sangat berlebihan menilai penampilannya pagi tadi.

Ya Tuhan, andai saja Joana tidak merengek akan dimarahi Ghaly karena
tidak membujuk dirinya membeli begitu banyak barang, Tsamara lebih
suka membawa pulang beberapa saja. Namun saat sudah terlanjur
begini, masa iya barang-barang belanjaannya ditinggal di kantor.

Tsamara menghela napas begitu berat, dan menggumam lirih, "Maafin


Mama, harusnya Alta yang dapat barang-barang baru."
Ketika akhirnya ia membuka pintu apartemennya, ia disambut dengan
jeritan ramai dari Alta dan Fanny yang sedang bermain di depan televisi.
Tsamara mengucap salam membuat keduanya memberi atensi
padanya.

"Mama!" jeritan Alta yang memanggil dan bocah itu yang segera berlari
ke arahnya membuat Tsamara meletakkan semua kantong belanjaannya
di lantai.

"Aduh, aduh, anak Mama semakin berat," Gumam Tsamara saat


menggendong tubuh sang putra dan dibawanya duduk di sofa. "Makan
apa, sih, seharian ini?" tanyanya sembari mencolek ujung hidung bocah
kesayangannya itu.

"Makan nasi sama telor dadar dikasih kecap," Alta menjawab polos yang
dibalas dengan tawa dari Tsamara.

Tsamara kemudian menatap Fanny yang bertahan di atas karpet


berbulu. Tatapan sang adik tampak menelisik, dan Tsamara yakin pasti
jika sang adik melihat barang-barang yang dia bawa.
"Mbak belanja banyak?"

Nah, kan. Dan Fanny adalah tipe orang yang selalu kepo-an.

"Iya. Terpaksa."

"Terpaksa? Maksudnya?"

Tsamara semakin intens mengusap puncak kepala Alta, sedangkan


sang putra kini fokus menatap layar televisi yang menayangkan kartun.
"Mbak dimutasi lagi, kali ini jadi sekretarisnya Ghaly." desahnya, pada
akhirnya.

"Apa?" Fanny berkedip. "Kok, bisa?"

"Bisalah, kalau itu udah keputusan pimpinan." Dan Tsamara berusaha


menjawab seringan mungkin.

"Maksudku, Mbak enggak masalah kalau berada begitu dekat dengan


Mas Ghaly dan bertemu seharian penuh?" Fanny memijit pelipisnya.
"Aduh, aku masih enggak ngerti, deh."

"Masalah banget. Tapi Mbak enggak punya pilihan lain."


Sayangnya, bukan kalimat itu yang keluar dari bibir Tsamara. Meski dia
mungkin akan terluka kedepannya karena berurusan dengan Ghaly,
Tsamara lebih memilih menutup kenyataan itu rapat-rapat untuk dirinya
sendiri. "Enggak masalah, ini hanya pekerjaan. Lagi pula, seperti
katamu, Mbak dan Ghaly sudah sepantasnya berdamai karena ada Alta
di tengah-tengah kami."

Itu adalah kebohongan paling memuakkan yang Tsamara ucapkan.

Berdamai menjadi satu kata paling sulit yang bisa ia dan Ghaly miliki.
Lelaki itu telah menabuh genderang perang dengannya sejak menilai
Alta tidak semestinya.

"Mama."

Obrolan Tsamara dan Fanny terjeda karena panggilan Alta. Membuat


Tsamara menoleh ke arah sang putra. "Kenapa sayang?"

"Alta ingin main ke pantai, Mama," kata Alta seraya menunjuk layar
televisi yang sedang menayangkan iklan salah satu minuman dengan
latar pantai.

"Enggak mau." Tsamara menggeleng, dan berhasil membuat wajah


putranya murung.

"Mama," Alta merengek, menampilkan ekspresinya yang begitu


menggemaskan.

"Enggak mau kalau enggak cium Mama dulu," ucap Tsamara tersenyum
geli sambil memberikan pipinya pada Alta, yang segera dihadiahi
kecupan basah.

Di Yogyakarta, jarak rumah kedua orang tuanya dengan pantai tidak


terlalu jauh, tidak sampai satu jam sudah sampai. Dia sering sekali
mengajak Alta ke pantai setiap akhir pekan, membiarkan Alta bermain
sepuasnya dengan pasir.

Hidupnya begitu damai saat di Yogyakarta, tapi sejak menginjakkan kaki


di kota metropolitan, emosinya benar-benar dipermainkan, seperti roller
coaster. Yah, dia sadar betul, begitulah hidup, tak ada yang benar-benar
damai dan bahagia, ada kalanya memang harus menghadapi hal-hal
yang tidak terduga. Seperti menguji bagaimana kesabarannya.
"Kita main ke pantai hari Minggu besok, ya," Tsamara berkata antusias,
menenggelamkan hidungnya di pipi tembam Alta dan menghidu
wanginya.

Alta bersorak kegirangan, mengubah posisi untuk berhadapan dengan


Tsamara dan mengalungkan lengan di leher sang ibu. Tsamara
membalas dekapan jagoan kecilnya. "Gimana sekolahnya anak Mama
tadi?" tanya Tsamara.

Dua minggu sejak tiba di Jakarta, Tsamara segera mencarikan sekolah


untuk Alta, dan beruntung, ada sekolah bagus yang tidak terlalu jauh
dari apartemen, dan sekaligus bisa daycare. Jika besok Fanny sudah
bekerja, maka Alta sudah lebih akrab jika dititipkan seharian.

Tsamara termangu karena pemikiran itu, kantor asuransi tempatnya


bekerja sebelumnya tidak jauh dari apartemen, dan itu berarti lebih
dekat dengan sekolah Alta. Tapi, kini, ketika ia bekerja di Badrayudha
realty, ia tidak bisa mengunjungi Alta ketika jam makan siang karena
perjalanan yang lebih jauh.

Kenapa ia baru kepikiran tentang ini?

Tsamara mengaduh pelan, rencananya yang sudah dia susun seapik


mungkin harus berantakan karena ulah Ghaly.

"Alta bikin pesawat." Alta menjawab antusias dengan nada begitu


bangga.

"Iya, Alta gambar pesawat tadi siang." Fanny menimpali, menyetujui apa
yang keponakan menggemaskannya katakan. Siang tadi, Alta memang
berhasil menggambar pesawat serta mewarnainya.

Tsamara memberi kecupan di kening sang putra. "Anak Mama pintar,


besok Mama bikinin bekal bentuk pesawat." Dan senyuman perempuan
itu melebar saat balasan dari Alta terlampau gembira dengan dua
lengannya yang terangkat ke udara.

Hingga tanya dari sang putra kemudian, berhasil membungkam bibirnya


teramat rapat.

"Mama, Om Ghaly kapan main sama Alta lagi?" Bola mata Alta berkedip
penuh harap. "Om Ghaly janji mau kasih pesawat sama Alta."
Fanny dan Tsamara saling pandang, karena sama-sama tahu, mereka
tidak bisa memastikan kehadiran Ghaly. Tsamara justru merasa begitu
lega memikirkan Ghaly mungkin tidak akan pernah mengunjungi Alta
lagi.

"Mama, Alta pengen main sama Om Ghaly."

"Sayang," panggil Tsamara lirih, membalas tatapan Alta yang begitu


cemerlang. "Mainnya sama Om Leo aja, ya?"

Alta menggeleng-gelengkan kepala. "Alta suka main sama Om Ghaly."

"Jadi, Alta udah enggak suka main sama Om Leo?" Kening Tsamara
mengernyit. Selama ini bagi Alta, Leo adalah nomor satu. Kedatangan
lelaki itu selalu disambut begitu suka cita oleh Alta.

"Alta suka Om Leo juga," Alta bersuara mencicit.

Kali ini Tsamara melebarkan senyumnya, bangkit dari duduknya dengan


Alta didekapannya. "Besok main sama Om Leo, ya."

"Sama Om Ghaly juga, Mama," Alta mengoreksi, melingkarkan lengan


mungilnya di leher Tsamara.

Tidak ingin memperpanjang perdebatan perihal Ghaly, Tsamara


mengangguk. "Iya, main sama Om Ghaly juga."

Tsamara tahu, dia akan semakin sulit membuat jarak antara Alta dan
Ghaly. Di satu sisi, Ghaly mungkin saja tidak tertarik berinteraksi begitu
dekat dengan Alta. Tapi, Alta tidak, putra semata wayangnya ini jelas-
jelas mengungkapkan betapa sukanya dia bersama Ghaly.

Ketika Tsamara ingin memasuki kamarnya, bel pintu apartemennya


berbunyi. Perempuan itu segera menghentikan gerakannya dan
menoleh ke arah Fanny yang berjalan ke arah pintu. Samar-samar,
Tsamara menemukan siluet seorang lelaki berseragam security di depan
pintu dan obrolan singkat antara Fanny dan orang itu.
"Ada paket buat Mas Alta yang tampan. Pesawat jet." Fanny berbalik
setelah menutup pintu apartemen. Mengangkat kantong plastik besar,
berlogo toko mainan terkenal. "Dari Om Ghaly Badrayudha," imbuhnya,
sembari mengeluarkan kotak pesawat mainan dengan ukuran cukup
besar.
Melihat apa yang Fanny pegang, Alta segera berkelit minta diturunkan.
Detik berikutnya, bocah itu berlari menyongsong Fanny dan mendekap
mainan barunya dengan wajah terlampau bahagia.

Tsamara di tempatnya berdiri hanya mampu memijit pelipis. Dia tidak


mengerti sama sekali apa yang Ghaly inginkan sebenarnya.

Sedetik lalu, Ghaly mencemooh ia dan Alta. Sedetik berikutnya


memberikan hal-hal tidak terduga.

***
Bab 17
Tsamara menyapa Joana begitu ramah pagi ini. Perempuan itu tampil
dalam balutan blus warna abu-abu muda dengan tali pita yang menjuntai
di bagian leher berwarna putih dan hitam. Dipadu dengan rok span
berwarna hitam sebatas lutut. Sepatu pantofel berhak tujuh senti
menghias kakinya yang jenjang. Rambut hitamnya digelung rapi di
belakang kepala. Dan tak lupa, ia sedikit memulas bibirnya dengan
lipstik warna merah muda. Membuat tampilannya begitu flawless.

Dia merasa tampil biasa saja, sama seperti ketika ia berangkat ke kantor
sebelum-sebelumnya, namun sambutan yang Joana berikan adalah bibir
membuka seolah perempuan itu sedang melihat hantu.

Ah, Tsamara tahu dia tidak cantik-cantik amat, tapi masa iya disamakan
dengan hantu.

"Aku sampai pangling liat kamu, Tsa."

Tsamara meletakkan tasnya di atas meja—itu tas baru yang ia beli


kemarin dari uang Ghaly. Tas dengan desain simple namun elegan
berwarna hitam.

"Aku kayak hantu, ya?" Tsamara meringis, mengungkap sekelebat


pikirannya barusan.

"Hantu?" Joana tertawa sampai terpingkal-pingkal. "Enggak ada hantu


yang secantik kamu, Tsa. Kamu tuh kayak bidadari."

Tsamara mendecap. "Bidadari yang nyungsep di jalan." Dia menarik


mundur kursi kerjanya. Hari ini masih masa training dengan Joana
hingga satu minggu kedepan, bisa lebih kalau ia belum juga mampu
menguasai jabatannya kali ini. Ghaly sungguh bermurah hati akan itu,
kalau dia enggak cocok, kenapa enggak langsung dikembalikan ke
posisi dia sebelumnya.

Ngomong-ngomong tentang Ghaly, lelaki itu belum terlihat pagi ini.


Masih terlalu pagi untuk seorang bos menampakkan diri di kantor,
memang.
Tsamara membalas sendiri tanyanya di dalam hati. Malah, ia berharap
hari ini Ghaly tidak perlu ke kantor. Lelaki itu mungkin saja sibuk
bertemu relasi bisnisnya ke luar kota atau bahkan keluar negeri dan
butuh waktu berbulan-bulan.

Mimpi terlalu muluk-muluk itu dipangkas seketika saat ucapan Joana


mengudara dan tertangkap gendang telinganya.

"Akhir bulan ini Ghaly ada kunjungan proyek di Kalimantan. Karena


sekarang kamu yang jadi sekretarisnya, kamu yang ikut, ya, Tsa.
Enggak lama, kok. Semingguan."

Tsamara menelan ludah. Seminggu memang terasa tidak lama. Tapi


tidak bagi dirinya. Meninggalkan Alta seminggu hanya dengan Fanny.
Tsamara tidak tega melakukannya.

Kenapa dia tidak memikirkan tentang hal ini sebelumnya. Menjadi


sekretaris seorang CEO, terlebih perusahaan sebesar Badrayudha
Realty pasti memiliki proyek-proyek yang tersebar di berbagai daerah.
Satu hari kemarin dia ke mana saja sampai tidak memikirkan tentang ini.

"Perusahaan sedang mengembangkan hunian asri dan nyaman di sana,


ini proyek besar, Tsa. Kemungkinan kedepannya, kamu akan sering-
sering menemani Ghaly kunjungan ke Kalimantan. Dan ada acara
peletakkan batu pertama juga, Ghaly yang akan turun tangan."

"Ya, aku siap, kok." Dan hanya balasan itu yang bisa Tsamara
keluarkan. Siap enggak siap, Tsamara memang harus selalu siap di
situasi apapun juga.

"Oh, iya, Tsa. Biasanya Ghaly ngasih libur buat kita liburan sebelum
kembali ke Jakarta." Joana mengedipkan mata ke arah Tsamara. Dia
sudah bertahun-tahun menjadi sekretaris Ghaly dan rasanya kenyang
sekali bisa liburan gratis setiap saat. Benar-benar surga dunia.
"Liburan gratis, enggak akan ada yang nolak." Tsamara membalas
kerlingan mata Joana. Dia akan memikirkan bagaimana Alta, besok
saja. Ini memang sudah resiko pekerjaan yang ia setujui. "Tapi, kamu
enggak ikut, Jo?"

Joana mengibaskan tangan. "Kalau aku ikut, aku takut dapat ancaman
pemecatan."

"Pemecatan, maksudnya?"
Belum juga tanya Tsamara terjawab, laki-laki yang sesungguhnya tidak
diharapkan kehadirannya justru menampakkan diri. Dan langsung
memberi perintah.

"Kamu ke ruanganku sekarang."

Joana dan Tsamara saling pandang, seolah bertanya hanya dari


tatapan. Siapa sesungguhnya yang diharapkan Ghaly untuk ikut lelaki
itu. "Saya atau Tsamara, Pak?"

"Sekretaris baru," balas Ghaly dengan gayanya yang congkak sekali.


Tidak ada tanda-tanda kewibawaan di sana. Padahal setelan kantor
yang ia kenakan pagi ini amatlah apik, yang pasti membuat decap
kagum siapa pun. Jas berwarna hitamnya tampak begitu licin, dipadu
dengan dasi putih bercorak abu-abu. Rambut hitam sedikit
kemerahannya pun tampak disisir amat rapi.

Tsamara mencebikkan bibirnya. Namun tetap membalas penuh hormat.


"Baik, Pak."

Tanpa menunggu lama, Tsamara memundurkan kursinya dan bangkit


berdiri. Dia melirik Joana dengan sebelah alis terangkat saat
menemukan perempuan itu mengulurkan black card milik Ghaly yang
dipakai belanja olehnya kemarin.

"Balikin sekalian, ya, Tsa. Kalau semisal Ghaly enggak mau terima
kartunya, kamu bawa pulang lagi saja. Kita bisa foya-foya pakai kartu itu
buat bangun kontrakan sepuluh pintu."

Mendengar kalimat terakhir Joana, Tsamara tidak kuasa melengkungkan


bibirnya. Tersenyum geli.

"Jadi pengusaha kontrakan aja dulu, dimulai dari bawah. Baru


setelahnya jadi bos residence."

Diiringi kepala yang menggeleng, Tsamara mengambil kartu itu dan


membalas lirih. "Kontrakannya di komplek kampus ya, buat anak-anak
kuliahan dengan harga sewa miring." Dia berlalu kemudian, namun
sempat menemukan Joana memberi ekspresi terkejut mendengar
celetukannya barusan. Karena tentu saja tidak sependapat dengan yang
Joana inginkan.
Di depan pintu ruang kerja Ghaly, Tsamara menyempatkan
mengetuknya pelan, baru kemudian masuk.

"Kayaknya kamu jalan dari mejamu sampai ruangan ini, 1 km. Lama
banget baru sampai."

Sambutan sinis adalah hal pertama yang diterima Tsamara setibanya ia


di ruangan Ghaly dan mendapati lelaki itu sedang melepas jasnya.
Ghaly menanggapi segala tentangnya secara berlebihan. Namun, yang
Tsamara bisa lakukan adalah menghela napas, mengulas senyuman
dan meminta maaf.

Perempuan itu kemudian mengulurkan black card ke arah Ghaly.


"Terima kasih atas kebaikan hati Bapak, kartunya saya kembalikan."

Ghaly memindai penampilan Tsamara dari atas sampai bawah. "Kamu


enggak pakai kartu itu buat belanja?"

"Saya pakai. Joana yang menemani kemarin."

"Kenapa baju kamu tidak tampak baru?" komentar Ghaly. Dia bertahan
duduk di tepian meja kerjanya, berhadapan dengan Tsamara. Menahan
desakan bibirnya untuk melengkungkan senyuman dan memuji
bagaimana menawannya penampilan perempuan yang berdiri di
hadapannya pagi ini.

Dan tentu saja, menahan lengannya yang begitu gatal untuk tidak
menarik pinggang Tsamara dan ia dekap, seerat yang ia inginkan. Dia
tahu, menjadikan Tsamara sekretarisnya, berada begitu dekat
dengannya sepanjang waktu, membuat ia harus bekerja ekstra untuk
menahan dirinya sendiri.

Ingin hati Tsamara membalasnya dengan cibiran juga. Ya Tuhan, dia


sungguh tidak mengenal Ghaly yang sekarang. Lelaki itu menjadi amat
menyebalkan dan menilai penampilan seseorang. Terutama dirinya.

"Pakaian yang kemarin saya beli, sedang saya cuci lebih dulu, Pak.
Sekali lagi terima kasih atas—"

"Apa kamu belum mengerti juga apa yang sempat kubilang?"

Tsamara mengedip, uluran tangannya yang menggenggam kartu tetap


bertahan mengambang. "Huh?" Apalagi ini, setelah mengatai dirinya
dengan baju lama—yang sesungguhnya baru ia beli setibanya di
Jakarta, kini Ghaly melontarkan ejekan lainnya.

"Aku sudah peringatkan kamu sejak kemarin, jangan seformal itu


padaku. Aku enggak suka dipanggil Pak, olehmu, Tsa."

"Tapi, Bapak atasan saya." Tsamara mencicit. Dan panggilan itu juga
untuk mengingatkan Tsamara jika hubungannya dengan Ghaly adalah
atasan dan bawahan.

"Tsa."

Tsamara menatap Ghaly sekilas sebelum akhirnya menghela napas


pelan. "Kita sedang di kantor. Saya hanya tidak ingin mendapat predikat
buruk sebagai karyawan yang tidak memiliki sopan santun. Dan saya
berusaha seprofesional mungkin dalam bekerja."

Ghaly berdecak. Memang sulit mengendalikan Tsamara untuk menuruti


semua kemauannya begitu saja. Ketika ia melontarkan ancaman
mungkin saja Tsamara akan tunduk. Tapi, masa iya, untuk meminta
Tsamara memanggil dirinya sesantai mungkin ia harus menggunakan
ancaman. Akan diletakkan di mana wajah lelaki itu setelahnya. "Simpan
kartu itu untukmu," putusnya, pada akhirnya. Dia akan membahas
perihal panggilan itu lagi lain kali.

"Saya sudah cukup banyak berbelanja kemarin—"

"Kamu bisa pakai buat belanja lagi," Ghaly membuang tatapannya ke


samping. "Terserah mau kamu pakai untuk apa, berbelanja untuk
putramu pun tidak masalah. Belikan putramu apa pun yang diinginkan.
Anggap kartu itu sebagai fasilitas karena jadi sekretarisku."

Tsamara menurunkan uluran lengannya karena sudah terlalu lama


menggantung. Dia tidak mengerti dengan cara pandang Ghaly sekarang
ini. Menjadi sekretaris dan mendapat black card unlimited. Lelucon apa
lagi itu. Siapa pun tidak akan mempercayainya.

"Aku minta maaf."

Kali ini tatapan Tsamara bersinggungan intens dengan bola mata Ghaly.

"Aku minta maaf karena kemarin berkata yang tidak seharusnya pada
Alta," ucap Ghaly meneruskan kalimatnya. "Aku sungguh menyesal."
Yang Tsamara temukan di mata Ghaly saat lelaki itu melontarkan kalimat
itu, hanya satu. Sebuah ketulusan. Tatapan mata yang dulu sekali selalu
ia temui di bola mata Ghaly.

"Dan kartu yang kamu pegang itu bukan sebagai penebusan apa pun.
Tidak. Aku hanya ingin kamu menerimanya dan menggunakannya."

Tsamara berkedip, terlalu lama bertatapan dengan Ghaly yang menyorot


begitu tulus, membuat kerinduan yang sempat terkubur kembali
menghangat. "Ini terlalu berlebihan untuk saya. Dan tentang Alta—"
Tsamara menjeda, ia menelan ludah pelan dan menyempatkan untuk
menarik napas dalam-dalam. "Bapak seharusnya meminta maaf
langsung pada Alta."

Ghaly menjilat bibir bawahnya begitu pelan, "Aku akan melakukan itu."
Meminta maaf secara langsung pada Alta, otomatis membuat ia bisa
bertemu dengan bocah itu. Ah, hatinya mengapa begitu hangat hanya
karena mendapat izin pertemuan itu dengan Alta.

"Saya juga berterima kasih untuk paket pesawat yang Bapak kirimkan
semalam."

"Kamu suka?" Ghaly bertanya antusias, lalu menggeleng saat sadar


Tsamara memberi ekspresi tidak mengerti akan tanyanya. "Maksudku,
Alta suka?"

"Alta sangat menyukainya. Dia akan lebih suka kalau Bapak yang
memberikannya langsung."

Tsamara tercekat karena kalimat terakhirnya. Apa yang dia katakan,


mengapa terkesan begitu mengejar Ghaly untuk bertemu dengan
putranya. Padahal sebelumnya, ia berusaha amat keras membuat jarak
antara keduanya.

Karena Alta selalu merasa senang ketika membahas Ghaly.

Ya, pasti karena itu. Bukan karena ia yang ingin Ghaly berada di tengah-
tengah ia dan Alta.

***
Bab 18

Tsamara menyuap potongan steik ke mulutnya, dan mengunyahnya


pelan. Tatapannya sesekali mengarah pada teman makan siangnya
yang kali ini tampak lebih tenang daripada biasanya. Ghaly tidak banyak
berkomentar sejak memasuki restoran dan memesan makanan.

Perempuan itu diminta dengan begitu terhormat—khas perintah atasan


untuk menemani Ghaly makan siang. Karena lelaki itu mengatakan
benci ketika makan sendirian.

Pembual ulung. Padahal yang ia dengar dari Joana kemarin, selain


makan dengan klien untuk membicarakan bisnis, Ghaly menolak
ditemani siapa pun.

"Apa aku setampan itu hingga kamu melirikku berulang kali," ceplos
Ghaly ringan yang hampir saja membuat Tsamara tersedak.

Sepertinya pujian yang sesaat lalu disematkan untuk Ghaly harus ia


tarik. Sekali menyebalkan memang akan tetap seperti itu.

"Saya hanya heran, apa Bapak tidak lapar karena makanannya


dianggurin." Tsamara melirik piring steak Ghaly yang tidak tersentuh
sedikit pun. Padahal miliknya sudah berkurang hampir setengah.

"Aku menunggu kamu mengiriskannya." Ghaly mengedikkan dagu. Dan


senyumnya terulas tipis saat Tsamara bergerak cepat mengambil piring
steaknya dan mulai mengiris. Tanpa membantah sedikit pun.
Perempuan itu seolah mengerti, menolak sama artinya dengan usaha
yang sia-sia. "Kamu lebih patuh sekarang."

Tsamara menggumam lirih, dengan jemari yang bekerja cekatan


menyelesaikan irisannya. "Karena membangkang juga enggak ada
gunanya." Dan dia kembali meletakkan piring Ghaly ke tempatnya
semula. Dia harusnya mendapat penghargaan dengan kategori mengiris
steak tercepat.
Ghaly menusuk seiris steak dan menggigitnya. "Kamu enggak ingin
Fanny bekerja di kantorku?"
Setelah kunyahan daging di mulutnya tertelan, Tsamara menjawab,
"Kalau Bapak lupa, tempo hari Bapak menjadikan Fanny sebagai umpan
untuk mengancam saya."

Tawa Ghaly pecah saat itu, membuat dia hampir tersedak dan segera
meneguk minumnya. "Makanya, sekarang aku menawarkan masa
depan yang cemerlang untuknya."

"Saya tidak yakin," Tsamara mencibir. "Fanny bisa mendapatkan


pekerjaannya sendiri."

Tidak ingin menyerah, Ghaly kembali melontarkan kalimat, "Kenapa


harus menolak peluang yang sudah berada di depan mata. Lagi pula,
Fanny enggak mungkin harus jagain Alta seterusnya, kan?"

Tsamara meletakkan garpunya, menggantinya untuk menggenggam


gelas dan meminumnya. Dia melirik Ghaly sekilas untuk memastikan
bagaimana ekspresi wajah lelaki itu saat membicarakan hal yang
menurutnya cukup serius. Dan yang ia temukan di wajah lelaki itu
adalah raut khasnya yang congkak dan terlalu santai. "Saya tahu itu.
Ada saatnya Fanny punya kehidupan sendiri."

"Nah, makanya. Suruh dia ajuin CV ke kantor." Ghaly mengibaskan


tangan. "Enggak perlu, deh. Biar aku minta Joana buat hubungin Fanny
dan biar dia mencarikan posisi yang tepat untuk Fanny."

Melirik ke arah kanannya, Tsamara menyembunyikan decakan


pelannya. "Saya tidak mengharapkan Fanny berada di bawah kendali
Bapak," ungkap Tsamara jujur. Tidak peduli sama sekali jika ucapannya
mungkin saja menyinggung Ghaly.

Fanny masih terlalu muda, belum memiliki pengalaman bekerja di mana


pun. Dan Tsamara tahu betul seperti apa jiwa muda Fanny yang
menggebu-gebu dan ingin menggenggam dunia di tangannya. Berada di
bawah kendali Ghaly hanya akan membuat sang adik menahan diri
melakukan apapun. Seperti dirinya, yang sepanjang hari harus menahan
umpatan sebalnya pada sikap Ghaly yang menjengkelkan.

Jika diingat lagi, Ghaly yang dulu tak pernah bersikap semenyebalkan ini
terhadapnya. Dahulu, lelaki itu selalu memperlakukannya dengan begitu
baik dan manis.
Tsamara menghela napas begitu lirih. Seiring berjalannya waktu, sikap
seseorang pastilah berubah, tidak terkecuali Ghaly.

"Aku enggak berniat mengendalikan Fanny. Hanya kamu yang ingin aku
kendalikan, Tsa."

Blak-blakan dan menjengkelkan. Adalah satu kesatuan yang Ghaly miliki


saat ini.

"Kalau sudah selesai, mari kembali bekerja, Pak." Tsamara tidak ingin
mengakui jika dirinya saat ini berada di bawah kendali Ghaly. Kenapa ia
tidak memilih untuk pergi saja. Membiarkan lelaki itu merusak masa
depan siapa pun.

"Steikku belum habis dan punyamu juga." Ghaly menunjuk piring


Tsamara yang masih diisi beberapa potong steik. "Di luar sana, banyak
orang-orang kurang beruntung yang kelaparan. Kamu tidak seharusnya
membuang-buang makanan."

"Bapak enggak pantas sama sekali mengucapkan kalimat itu." Karena


Tsamara tahu pasti, Ghaly adalah orang yang bisa dengan mudah
membuang-buang makanan.

Ghaly mengedikkan bahu. "Aku mengutipnya dari laman media sosial."

"Jujur sekali," gumam Tsamara di tengah kegiatannya menghabiskan


steak. Perkara steak saja, dia menurut sekali dengan perkataan Ghaly.
Sepertinya ia memang sudah benar-benar masuk di bawah jampi-jampi
Ghaly.
Dalam hening, karena terlalu sibuk menghabiskan makanannya masing-
masing. Ghaly tidak melepas tatapan dari bagaimana Tsamara
mengunyah dan membuang tatapan, tampak begitu jelas menghindari
bersitatap dengannya.

Sudah berapa tahun berlalu, dan perempuan itu tampak tidak berubah
sama sekali. Masih menjadi Tsamara yang ia kenal dahulu. Yang
berbeda hanya, bagaimana Tsamara bersikap begitu menjengkelkan.
Atau tidak, karena justru disini ialah yang menjengkelkan.

"Bukankah Bapak yang meminta saya untuk menghabiskan makanan.


Kenapa justru kali ini Bapak yang tidak menyentuh garpu."

Oh, Tsa. Kamu cerewet sekali. Apa perlu membalikkan ucapan lelaki itu?
Bukankah lebih baik kamu bungkam, mengunci bibirmu rapat-rapat. Dan
tidak membangun obrolan akrab dengan Ghaly di luar pekerjaan.

Tsamara mengangguki pernyataan itu. Memang sudah seharusnya ia


melakukannya. Namun setiap kalimat yang keluar dari bibirnya seperti
tidak terkontrol ketika bersama Ghaly. Dia sadar betul, harusnya ia
memang lebih kukuh lagi membangun jarak.

Ghaly menggigit steiknya, dengan bibirnya yang mengulum senyum geli.


Dia belum pernah seekspresif ini sejak lima tahun lalu. Dan sangat
menyebalkan ketika ia sadar, Tsamara yang menjadi alasan di baliknya.

Menyebalkan. Dan melegakan di satu waktu.

***
"Meeting-nya tiga jam, Tsa. Kok baru balik jam tiga." Joana menyindir
sambil melirik arloji di lengan kirinya, sebelum ia kembali mengimbuhi,
"Nanggung banget balik kantor, langsung pulang aja, sih, minta antar
bos." Dan ia melakukannya dengan senyuman geli yang tanpa malu-
malu terukir di bibirnya.

Joana justru merasa begitu senang karena menyindir sekretaris baru


yang akan menggantikannya ini. "Kalau tahu gini, ngapain juga aku
dipindah, Tsa. Biarin aku tetep jadi sekretaris dan kamu jadi partner
makan siangnya, bos."8

Perempuan itu tampak belum puas sama sekali melancarkan cibirannya.

"Yah, jadi bos emang enak, tinggal nyuruh ini itu, mau pekerjaanku
menumpuk segunung juga dia enggak bakal peduli."

Tsamara yang baru saja menempati kursinya dan meletakkan tasnya di


atas meja, melirik Joana, dan meringis. "Aku minta maaf, ya." Sejak tadi
dia membiarkan saja Joana menyindirnya, karena memang benar
adanya seperti itu.

Awalnya, ia hanya diminta Ghaly menemani meeting—yang tidak


sampai satu jam. Tsamara pikir setelahnya akan kembali ke kantor,
namun salah, Ghaly meminta untuk makan siang dulu. Selesai makan
pun bukannya langsung balik ke kantor, Ghaly memintanya menemani
jalan ke mal—yang terlalu berlebihan, hanya untuk membeli sekotak
cheese cake.
"Aku bawain oleh-oleh kecil buat kamu." Tsamara mengeluarkan
sepotong besar strawberry cake di dalam kotak bening dan
menyerahkannya pada Joana.

"Cuma sepotong, enggak mempan buat nyogok aku, Tsa. Kamu enggak
aku maafin." Joana bersedekap dada, melirik sekilas pada strawberry
cake yang lelehan sausnya membuatnya menelan ludah. Dia paling
suka dengan kue itu dan nampaknya sangat enak. Haruskah ia luluh
dengan cepat, atau mempertahankan ngambeknya beberapa saat lagi.

Tsamara mencodongkan tubuhnya dan meletakkan sepotong tanda


maafnya. "Nyicil, sepotong dulu. Besok-besok sepotong lagi," ucapnya.
Bola matanya berpendar begitu tulus.

Joana menghela napas begitu kasar. Menyudahi acara ngambek pura-


puranya. "Oke, deh, aku terima dengan setengah hati," katanya. Dia
segera membuka kotak kue-nya dan menyuapkannya dengan sendok
bening yang tersimpan di atas penutup.

Tinggal satu senti potongan strawberry cake yang amat menggodanya


masuk mulut, namun tiba-tiba suara seseorang menginterupsi.

"Jo, makan terus. Antar dokumen sekarang." Ghaly berdiri di depan


pintu ruangannya yang membuka, dengan map biru di tangan.

Joana kembali membuang napas, meletakkan sendoknya dan


mengurungkan niatan menikmati manis asamnya rasa stroberi. "Bos
yang enggak bisa banget liat bawahannya menikmati indahnya dunia.
Diantar sendiri, kan, bisa." Dia melontarkan kekesalannya dalam
gerutuan lirih yang hanya bisa ia dan Tsamara dengar.

"Biar aku aja, Jo." Tsamara bangkit dari duduknya, tidak membiarkan
Joana yang mengambil alih tugas kali ini. "Kamu habisin kuemu aja."

"Dia memang mengharap kamu yang ke sana, Tsa. Kalau aku, bukan
keluar ruangan, tapi cuma manggil dari mejanya." Joana melirih,
mengikuti punggung Tsamara yang menjauh darinya dengan tatapan.
Selama menjadi sekretaris Ghaly bertahun-tahun ini, mana pernah
Ghaly keluar ruangan untuk menemui dirinya. Yang ada, dia yang
disuruh masuk ruang kerja lelaki itu tidak pakai lama.
Tsamara bergerak cepat menghadap Ghaly yang menyambutnya
dengan sebelah alis terangkat. "Saya saja yang mengantar dokumen itu,
Pak." Dia mengulurkan tangan, hendak mengambil dokumen yang
diulurkan Ghaly. Namun, belum sempat map itu berada dalam
genggamnya, Ghaly lebih dulu menariknya menjauh dan
menyembunyikannya di balik punggung.

Belum cukup sampai di sana, Ghaly juga menyuarakan satu kalimat


yang membuat Tsamara membuka bibir saking terkejutnya, dan Joana
yang tersedak kue suapan pertamanya.

"Mau caper sama direktur ngantar-ngantar dokumen."

***
Bab 19

Ghaly mengayun langkah memasuki sebuah restoran Perancis dengan


seorang pelayan laki-laki yang mengantarnya ke meja reservasi yang
orang tuanya pesan. Sang ibu kembali meminta untuk bisa makan
malam bersama, membahas sesuatu yang penting. Namun sudah bisa
ia perkirakan jika bahasan mereka malam ini adalah hal menyebalkan
yang tidak berpengaruh apapun padanya.

Lebih tepatnya, tidak akan Ghaly pedulikan.

Segala hal tentang rencana apapun yang ibunya buat, hanya akan
membuat satu pembangkangan lain baginya.

Menjadi penurut adalah sesuatu yang sudah terlepas darinya sejak


bertahun-tahun lalu. Sejak ia dengan nekat menikahi perempuan
terkasihnya tanpa restu sang ibu.

"Kami sudah lelah menunggu dan makanan sudah habis. Lalu, kamu
baru datang."

Kalimat itu menjadi sambutan yang Ghaly terima setibanya ia di meja


reservasi dengan kedua orang tuanya di sana, dan seorang perempuan
yang tidak ia ingat namanya.

"Mami tahu aku lebih mencintai pekerjaanku daripada makan malam."


Ghaly membalas ringan, mengambil duduk di sebelah perempuan asing
yang terus mengulas senyuman ke arahnya sejak ia tiba. Dia kemudian
meminta salah satu pelayan untuk membawakan kopi.

Marta mendecih. Melirik ke arah perempuan pilihannya dan tersenyum.


"Elsa, kamu dan Ghaly harus lebih sering bertemu dan makan bersama,
biar lebih dekat."

Elsa mengangguk antusias dan menjawab, "Iya, Tante. Elsa pastikan


untuk lebih sering jalan sama Ghaly."
Ghaly mengetuk meja dengan jarinya. "Lebih sering jalan?" Dia
menaikkan sebelah alis. "Apa saya mengenal kamu?"
Kalimat itu berhasil membuat Marta dan Elsa begitu terkejut. Sudah ada
beberapa kali makan malam bersama yang Ghaly hadiri ketika ada Elsa,
meski lelaki itu selalu datang di waktu-waktu akhir.

"Ghaly," Marta memberi peringatan, memelototi sang putra.

"Mami, entah Mami memang lupa, atau sengaja melupakannya. Tapi,


aku selalu bilang kalau hentikan semua usaha Mami. Aku datang hanya
berusaha menghormati, bukan karena ingin," ucap Ghaly blak-blakan.
"Dan aku lebih tertarik berbicara masalah pekerjaan dengan Papi." Dia
melirik sang ayah yang tampak tidak peduli dengan apa yang terjadi di
atas meja. Lelaki paruh baya itu, yang membiarkan rambut putihnya
tetap menghias di kepala begitu takzim menyesap kopi.

Marta kesal. "Kamu enggak bisa bicara seenak itu, Ghaly?"

Tidak ingin menyudahi obrolan sengit yang sudah dimulainya, Ghaly


kembali membalas, "Kenapa tidak? Mami paham betul bagaimana
kurang ajarnya aku," ucapnya, sama sekali tidak memikirkan apa yang
terlontar dari bibirnya. Lelaki itu merasa segala upaya penolakan yang ia
lancarkan pada sang ibu terlalu lemah. Hingga sang ibu terus saja
melanjutkan segala rencana sesuai keinginan.

"Jangan terlalu keras pada Mamimu, Ghaly." Joe Badrayudha–lelaki


keturunan Inggris-Surabaya itu mengambil alih pembicaraan. Dia tipikal
orang yang tidak begitu peduli dengan apa yang istrinya rencanakan
untuk Ghaly. Di matanya, Ghaly sudah cukup dewasa untuk menentukan
akan mengikuti rencana Marta atau justru mengabaikan dan
menolaknya.

Dia berperan begitu netral di dalam rumah tangga, sejak dahulu dan
bertahan hingga kini.

Ghaly melirik ayahnya dan tersenyum kecil. Dia tidak berharap


pembelaan dari sang ayah, tidak juga meminta bantuan. Ayahnya
adalah sosok yang selalu meletakkan kepercayaan padanya akan
segala keputusan yang ia ambil.

Kalimat yang selalu membekas diingatannya adalah—"Setiap keputusan


yang kamu ambil akan memiliki resiko, entah sekecil apa pun itu. Jadi
persiapkan dirimu untuk itu."
"Karena saya enggak boleh keras-keras sama Mami, kupikir, kamu yang
seharusnya tahu diri." Ghaly menatap Elsa untuk pertama kali, dengan
tatapannya yang menyiratkan ancaman. Dia pandai melakukan itu. Lagi
pula, ia sudah tidak lagi peduli di level mana kebaktiannya pada orang
tua.

Sebentar lagi, ia mungkin akan dikutuk jadi batu.

"Ghaly," Sekali lagi, Marta memperingati.

Ghaly menghela napas begitu pelan dan memundurkan kursinya. "Aku


pulang sekarang."

"Kopimu belum diminum, Nak," Joe menyela.

"Papi." Marta menoleh ke arah suaminya yang bertahan memberi


ekspresi tidak peduli dengan apapun sikap kurang ajar sang putra.

"Kopinya untuk Papi aja, buat teman ngobrol." Ghaly mengedipkan


sebelah mata ke arah ayahnya yang hanya dibalas gelengan pelan.
Kemudian ia memutari meja, mendekati ibunya dan tanpa permisi
mengecup pipi sang ibu. "Aku pulang, Mam."

Setelahnya Ghaly melambai singkat dan menjauh dari meja, bersikap


amat congkak pada Elsa yang duduk di samping ibunya dengan tidak
menyapa perempuan itu.

Samar-samar, ia mendengar suara ayahnya berbicara. "Dia duda,


jangan perlakukan dia seperti anak lelaki yang baru lulus SMA."

Ghaly hanya tersenyum karenanya.

Dan, ya, ia memang seorang duda.

***
Tidak seperti yang ia katakan saat berpamitan pada kedua orang
tuanya. Bukan pulang, Ghaly justru menghentikan mobilnya di jalanan
dekat gedung apartemen Tsamara. Dia memarkir mobilnya di depan
sebuah kedai pecel ayam di pinggir jalan. Kendaraan yang terlalu
mencolok berada di sana, namun ia bahkan tidak memedulikan akan itu.

Lelaki itu turun dari mobil, menoleh kanan dan kiri mencari tukang parkir
jalan, dan melambaikan tangan memintanya mendekat saat menemukan
seorang lelaki bertopi kusam dan menggenggam tongkat oren yang
menyala.

"Titip mobil, Pak," ucapnya sambil menyerahkan dua lembar seratus ribu
yang diterima lelaki tukang parkir dengan tatapan terkejut dan juga
senang di satu waktu.

Setelah tukang parkir mengucapkan terima kasih, Ghaly mengayun


langkah sepanjang trotoar mendekati gedung apartemen Tsamara.
Daerah itu bukanlah komplek apartemen mewah, tapi cukup pantas
untuk disewa oleh seorang pekerja kantoran tanpa jabatan tinggi.

Sebelumnya, Ghaly tidak berniat apa pun, apalagi mengharapkan


apapun ketika memutuskan menghentikan mobil. Namun, takdir
sepertinya memihak dirinya kali ini. Karena menemukan Tsamara di
salah satu kedai pecel ayam, sedang duduk lesehan dengan Fanny dan
Alta.

Mengingat Alta, membuat senyuman getir mengulas di bibirnya. Dia


belum menyampaikan permintaan maaf pada bocah itu karena telah
menyebutnya dengan kata-kata keji.
Jadi ia harus membelikan apa untuk bocah itu sebagai permintaan maaf.
Ditraktir es krim, atau dibelikan sekalian dengan freezer es krimnya.

Lelaki itu menggeleng, itu terlalu berlebihan. Dia kemudian mengayun


langkah memasuki kedai di mana ada Tsamara dan Alta. Ghaly sudah
ingin menyapa, memberi kejutan pada mereka yang asyik makan,
namun Alta lebih dulu menyadari kehadirannya.

"Om Ghaly," Alta berseru dengan suaranya yang nyaring. Membuat


Tsamara dan Fanny yang sedang menyuap nasi menengadah dan
menemukan kehadiran Ghaly.

Ghaly mengulas senyuman ramah, sebisa yang ia lakukan. Jahat sekali


ia karena menyakiti bocah tidak berdosa. Lihatlah sekarang, bocah itu
menyambut antusias dirinya. "Hai Alta." Ghaly merendahkan tubuh,
telapak tangannya mengusap puncak kepala bocah itu, yang malam ini
tampak begitu tampan dengan memakai kaos putih bergambar kapal
dan celana warna biru dongker sebatas lutut.

"Aku enggak sengaja mampir ke sini, kebetulan banget ketemu kalian,"


kata Ghaly, menatap Fanny dan Tsamara bergantian. Dua perempuan
itu kompak menaikkan sebelah alisnya, menunjukkan ekspresi
seolah-seolah mereka tidak percaya dengan apa yang Ghaly katakan.
"Boleh aku gabung di sini?" tanyanya meminta izin. Namun belum juga
diizinkan, ia sudah mengambil duduk lebih dulu di samping Fanny, tepat
berhadapan dengan Alta.

"Kalau pun enggak saya izinkan, Bapak juga memaksa," cibir Tsamara.

Ghaly mengedikkan bahu. "Memang," lirihnya. "Dan kita sedang di luar


kantor, hentikan akting sok formalmu itu." Peringatnya sembari melirik
Alta, menunjukkan jika bukan hanya mereka berdua di meja itu. Hal itu
berhasil membuat Tsamara mencebikkan bibir, dan Ghaly yang
mengulum senyum penuh kemenangan. Dia kemudian mengangkat
tangan kanannya dan memanggil salah satu pekerja di kedai itu. "Bang,
pecel ayam, ya, satu. Pakai nasi. Makan di sini."

Abang-abang bercelemek hitam itu tersenyum begitu ramah. "Maaf,


Mas. Ayamnya sudah habis," katanya jujur.

"Habis? Masih sesore ini?" Sekilas Ghaly melirik arlojinya yang baru
menunjukkan pukul delapan malam lewat sedikit.

"Iya, Mas. Tadi ada yang ngeborong pecel ayam."

Ghaly menghela napas, jawaban si pedagang pecel itu membuat ia


amat kecewa. Padahal, ia ingin duduk lebih lama dengan Tsamara,
menjadikan pecel ayam sebagai alasannya. "Yang tersisa tinggal apa?"

Pedagang itu menoleh ke arah gerobak penyimpanan. "Tinggal tahu


sama tempe terus lalapan. Kalau Mas mau, nanti sambalnya saya
banyakin."

Fanny menahan kuluman senyumnya, sedikit sungkan untuk meloloskan


tawa. Berbeda dengan Tsamara yang tanpa pikir panjang menertawakan
Ghaly.

"Terus saya makan sama sambal doang?" Telinga Ghaly sedikit gatal
karena kekehan tawa mengejek Tsamara yang begitu memekakkan
gendang telinga.

"Cuma ada itu, Mas." Pedagang itu kembali melirih.

Ghaly melirik meja Tsamara yang dipenuhi piring berisi potongan ayam
goreng dan sambalnya tampak begitu menggiurkan. "Ya sudah, deh,
enggak apa-apa. Banyakin sambalnya." Dia menyerah. Memang
nasibnya mungkin, menolak makan makanan Perancis di restoran
mewah, jadi sekarang harus cukup puas hanya makan malam dengan
sambal dan lalapan.

Pedagang itu mengiakan, segera berlalu pergi setelah Ghaly


menyebutkan pesanan minumnya.

"Kenapa enggak nyari kedai lainnya aja, daripada cuma makan sambal
sama lalapan," ucap Tsamara, dia menyuwir daging ayam bagian dada
milik Alta dan disuapkan pada sang putra.

"Karena aku ingin makan malam denganmu, Tsa."

Suara terbatuk seseorang mengudara bersamaan dengan Ghaly yang


menyelesaikan ucapan. Bukan Tsamara, apalagi Alta, melainkan Fanny.
Yang kini tampak sibuk meredakan tersedaknya.

"Pelan-pelan Fan, makannya. Kamu pasti khawatir pecel ayammu


diambil," Tsamara berucap menggoda, tampak begitu menikmati
pelototan Fanny dan Ghaly ke arahnya.

Dan semua keramaian itu lenyap seketika saat sebuah lengan mungil
terulur ke arah Ghaly, dengan potongan ayam di genggaman tangan.

"Om Ghaly mau ayam goreng punya Alta?"

Tatapan sebal Ghaly luruh seketika, wajahnya sangat merah menatap


Alta. Bukan sebuah amarah. Namun, rasa malu sedemikian besarnya.

Dia sangat malu kepada anak kecil yang hatinya begitu bersih.

***
Bab 20

Ghaly berjalan bersisian dengan Tsamara, yang tengah menggendong


Alta. Sedangkan Fanny sudah berjalan lebih dulu di depan, seolah
memang sengaja memberi ruang untuk Ghaly dan Tsamara hanya
berdua.

Tadi seusai makan, Alta merengek meminta jalan-jalan lebih dulu.


Katanya, bocah itu jarang keluar malam. Mereka bermain beberapa saat
di taman apartemen, dan setelah kelelahan, Alta meminta pulang. Kini,
bocah itu tertidur dalam gendongan Tsamara.

"Tsa," panggil Ghaly lirih.

"Apa?" Tsamara menjawab tanpa menoleh ke arah Ghaly, dia hanya


beberapa kali membenarkan posisi dekapan lengannya di tubuh sang
putra. Tubuh Alta sudah besar, dan cukup berat. Bertambah berat
karena sang putra kini terlelap.

"Boleh aku gendong Alta?"

"Huh?" Kali ini Tsamara menghentikan langkah dan menoleh ke arah


Ghaly.

Ghaly menjilat bibir bawahnya. "Alta keliatan berat, kamu pasti


kecapean."

Tsamara mengulas senyum samar. "Udah biasa, enggak masalah. Saya


kuat, kok."

"Tapi, aku ingin menggendongnya." Ghaly menatap Tsamara dengan


binar memohon. Dia mengulurkan tangan, siap menerima tubuh Alta.
"Aku sungguh menyesal dengan apa yang aku ucapkan saat itu. Kamu
harus percaya, aku enggak akan melukainya."

Butuh beberapa saat bagi Tsamara untuk mempertimbangkan,


memindai ekspresi Ghaly dan barulah ia menyetujui. Sikap lelaki itu
sedari mereka makan malam dan bermain di taman memang begitu
perhatian pada Alta. Dan hal itu tentu saja membuat kebahagiaan
tersendiri untuk sang putra. Dan menumbuhkan sedikit kepercayaan
bagi Tsamara.

Dengan antusias, Ghaly memindahkan tubuh Alta dari dekapan Tsamara


untuk terselubungi kedua lengannya sendiri. Dia menepuk-nepuk pelan
punggung Alta karena bocah itu merengek, sadar jika tidur lelapnya di
dekapan Tsamara terusik.

Melihat bagaimana Ghaly menggendong Alta, membuat Tsamara harus


menghela napas pelan berulang kali. Andai situasi mereka tidak serumit
sekarang, tidak diliputi semua dendam dan kebencian. Putranya
mungkin bisa dengan leluasa mendapatkan kasih sayang seorang ayah.

"Tsa, kenapa diam? Ayo jalan, sudah semakin malam kasian Alta
kedinginan." Ghaly menegur saat disadarinya Tsamara tidak mengikuti
langkahnya, melainkan bertahan diam di berdirinya.

Tsamara mengerjap. Tanpa membalas, ia segera menyusul Ghaly,


mengiringi langkah lelaki itu yang di matanya tampak begitu gagah
malam ini, dengan Alta dalam gendongan lengannya. Orang-orang yang
tidak mengenal mereka, mungkin akan menganggap jika mereka adalah
keluarga bahagia.

Perempuan itu menggeleng. Menghempas jauh pemikirannya yang


terlalu berlebihan.

Tiba di depan pintu apartemen yang sudah membuka, karena Fanny


lebih dulu sampai, Tsamara hendak mengambil alih Alta, namun
mendapat penolakan dari Ghaly.

"Biar aku yang menidurkan Alta di ranjang, sekalian." Ghaly memasuki


apartemen Tsamara, menemukan Fanny sedang duduk di salah satu
sofa dan memainkan gawai. "Di mana kamar Alta?" tanyanya pada
Tsamara yang ikut serta masuk.

"Enggak apa-apa, biar saya saja." Tsamara masih berusaha membujuk,


dia merasa sedikit tidak nyaman saat mendapati kenyataan Ghaly akan
memasuki kamarnya.

"Kamu yakin kita akan berdebat siapa yang menidurkan Alta. Bocah ini
mungkin akan lebih dulu bangun dan menangis karena tidurnya
terganggu."
Tsamara menyerah, ia menghela napas sekali lagi sebelum akhirnya
mengarahkan langkah ke depan pintu kamarnya dan membukanya.
"Tidurkan Alta di ranjang," ucapnya, membuka pintu kamarnya lebar-
lebar dan mempersilakan Ghaly memasuki kamarnya.

Di dalam hati ia merasa amat bersyukur karena kamarnya cukup rapi


dan tidak ada gambar-gambar aneh, terlebih foto mantan suaminya.

Demi Tuhan, jika dia sampai berani memajang foto Ghaly dan
tertangkap basah oleh lelaki itu. Entah dia akan dicemooh seperti apa
lagi.

"Dia gampang banget tertidur," Ghaly duduk di tepi ranjang, mengusap


puncak kepala Alta, dan memperhatikan wajah bocah itu yang tampak
amat terlelap dalam tidurnya. Semakin ia memperhatikan wajah Alta,
Ghaly merasa dadanya semakin menghangat. Ada perasaan sayang
yang tiba-tiba muncul tanpa sempat ia cegah. Dia memang gila. Sehari
yang lalu menyindir, sehari berikutnya menyayangi.

"Kalau sudah capek, memang gampang banget tidur." Tsamara berdiri,


menahan keinginan untuk duduk di sisi Ghaly.

Kali ini, Ghaly menoleh ke arah Tsamara, menatap perempuan itu begitu
lekat untuk beberapa saat. Baru kemudian mengedarkan tatapan ke
penjuru kamar secara terang-terangan, tidak peduli jika yang ia lakukan
adalah hal yang kurang sopan. Entah dilihat berapa kali pun, di kamar
itu memang tidak ada satu pun pigura pernikahan Tsamara dengan lelaki
lain. Dia hanya menemukan baju Tsamara yang tergantung di kapstok.

Bibir Ghaly sudah membuka, ingin memastikan sekali lagi jika Tsamara
memang tidak menikah dengan lelaki manapun lagi setelah perpisahan
mereka dulu, terlebih Leo. Namun, segera diurungkan saat Tsamara
membuka suara lebih dulu.

"Ayo keluar, terima kasih sudah bantuin gendong Alta."

Ghaly menurut tanpa bantahan, bangkit dari duduknya dan keluar


kamar, mengikuti Tsamara sampai ke pintu depan. Sebelah alisnya naik,
sadar jika perempuan itu langsung mengantarnya untuk pulang.

"Kamu enggak nawarin kopi atau sekadar air putih?" Dan Ghaly tidak
bisa menahan lidahnya untuk tidak mengungkap keinginannya.
Berharap bisa lebih lama dengan Tsamara. Nampaknya, menjadikan
perempuan itu sekretarisnya belum membuatnya puas, meski mereka
seharian berada di gedung dan lantai yang sama.

Tsamara melirik jam dinding di ruang tamu yang sudah menunjukkan


pukul setengah sepuluh malam. "Ini sudah terlalu malam untuk bertamu.
Lain kali saja."

"Jadi, lain kali boleh?" Ghaly membalas cepat, tidak akan menyia-
nyiakan kesempatan.

Merasa jika ia salah bicara, Tsamara mendecak lirih. Sudah kepalang


basah. "Ya, boleh."

Ghaly mengulas senyuman samar. "Oke. Aku pamit kalau begitu,


selamat malam."

Tanpa diminta dua kali, Ghaly segera keluar apartemen. Dia


menyempatkan menoleh ke arah apartemen Tsamara di pertengahan
lorong, dan senyumnya terulas dengan kepala menggeleng pelan. Pintu
apartemen itu sudah tertutup begitu rapat. Membuat ia berpikir jika
Tsamara begitu bangga telah mengusirnya.

Di depan lift, Ghaly menunggu beberapa saat hingga pintunya


membuka. Ketika akhirnya pintu lift terbuka, dia yang berada dua
langkah di depan lift justru memaku kaku. Bola matanya menyorot tajam
pada satu sosok laki-laki yang menempati lift, sendirian. Leo Asshauqi.

"Ghaly Badrayudha." Leo menyebutkan sederet nama milik laki-laki yang


kini berada tak jauh darinya. "Enggak terkejut sama sekali mendapati
kamu di lantai apartemen Tsamara. Justru akan aneh kalau kamu
enggak tertarik dengan kehidupan Tsamara sekarang."

Leo melangkah keluar lift, berhadapan secara dekat dengan Ghaly. Dia
tidak pernah bertemu tatap dengan Ghaly selama bertahun-tahun meski
tinggal di satu kota yang sama. Meskipun tak jarang Leo memiliki klien
dari kalangan pengusaha sekelas Ghaly.

"Ngapain kamu di sini?" tanya Leo kemudian.

Ghaly menaikkan sebelah alis, memasang wajah congkak andalannya.


Menahan sebisanya kepalan tangannya agar tak melayang
menghantam wajah Leo. "Memang apa urusanmu?"
"Jangan ganggu Tsamara." Leo menekankan kalimatnya, berusaha
memberi sedikit ancaman. "Kalau kamu hanya ingin menyakitinya lagi."

Kali ini Ghaly meloloskan tawa remeh, yang ia yakin pasti membuat
telinga lawan bicaranya kali ini terasa panas. "Memang siapa kamu,
Leo. Suaminya?" Dia kemudian berdecih saat menemukan rahang Leo
tampak mengeras. "Kalian bahkan enggak berani berkomitmen. Jadi,
kamu enggak punya hak melarangku."

"Aku punya hak untuk itu."

"Oh, ya?" Ghaly tak ingin mengalah. "Sahabat? Kekasih gelap?" Bola
matanya terarah pada lengan Leo yang hendak terangkat. "Kamu yakin
ingin baku hantam denganku di sini?"

Leo memudarkan kepalan tangannya. "Tidak sekarang." Dia menggeram


lirih, melewati Ghaly dengan menyenggol kasar bahu lelaki itu. "Namun,
ketika saatnya tiba, aku akan menghajarmu sampai habis. Aku akan
pastikan kamu menyesal."

Untuk beberapa saat, Ghaly terdiam seolah merasakan emosi


mendalam yang Leo ungkapkan. Tapi, memang dasar mulutnya sudah
terbiasa menjengkelkan, dia justru melisankan kalimat menyebalkan
lainnya. "Tsamara sekretarisku sekarang. Aku akan sering-sering datang
ke sini. Jadi persiapkan dirimu untuk lebih sering mendapati aku di
sekitar mereka."

Leo tidak menutupi keterkejutannya karena ucapan yang Ghaly


lontarkan. Dia justru semakin cepat mengayun langkah agar lekas
sampai di apartemen Tsamara. Dia memencet bel apartemen Tsamara
dan menunggu dengan amat tidak sabar daun pintu itu membuka.

"Di mana Tsa?" tanya Leo cepat. Saat pintu membuka menampilkan
Fanny di baliknya.

"Mas Leo—"

"Di mana Tsamara!" Leo menyambar cepat, dengan suara sedikit


dinaikkan, dan berhasil membuat Fanny terdiam dengan bola mata yang
segera memerah.
"Ada di dapur," jawab Fanny dengan bibir sedikit bergetar. Leo tidak
pernah menaikkan nada suara di depannya apalagi terlihat marah
seperti sekarang ini. Hal itu berhasil mencipta embun di bola matanya.

Ketika Leo bergegas ke dapur, Fanny—yang berusaha menahan air


matanya agar tidak tumpah segera menutup pintu dan menghilang ke
kamarnya. Dia tidak ingin terlihat cengeng di depan siapapun.
Di dapur, Leo menemukan Tsamara sedang mencuci gelas. Dia hendak
mengeluarkan suara namun perempuan itu lebih dulu berbicara.

"Kamu membentak Fanny? Suaranya sampai ke dapur."

"Huh?" Leo seakan tersadar, dia mengerjap dan segera menoleh ke


belakang punggungnya, namun tidak menemukan Fanny di sana. "Aku
enggak—"

"Minta maaf sama Fanny. Kamu tahu persis bagaimana dia


terhadapmu." Tsamara meletakkan gelas terakhir di rak lalu menoleh ke
arah Leo, dengan sedikit memiringkan kepala untuk memindai ekspresi
lelaki itu. Selama ini, Leo selalu menyayangi Fanny, terlalu menyayangi,
dan ia cukup terkejut saat lelaki itu berani membentak Fanny.

Merasa bersalah karena ia marah pada Fanny tanpa alasan, Leo


menghembuskan napas begitu pelan dan meluruhkan bahu. "Iya, aku
akan minta maaf nanti. Ada yang harus aku bicarakan denganmu."

Tsamara duduk di salah satu meja bar, mengambil apel dan


menggigitnya santai. "Melihat kamu yang sekarang tampak marah, dan
jarak kedatanganmu dengan kepergian Ghaly sebelumnya, aku tebak,
kamu berpapasan dengannya tadi."

Leo berdecap. Sebal karena Tsamara malam ini terlihat begitu santai.
"Iya, aku berpapasan."

"Cepat atau lambat kalian memang akan bertemu." Tsamara


mengangguk-angguk pelan dengan mulut yang terus mengunyah.

"Wah ... wah, ini ucapan orang yang beberapa waktu lalu khawatir
banget ketemu Ghaly. Lihat ... kamu terlalu santai." Leo berpangku
tangan di atas meja, menatap Tsamara dengan sinis. "Dan sekarang,
kamu justru jadi sekretarisnya."

"Ghaly yang memberitahumu?"


"Siapa lagi."

"Kalian mengobrol banyak ternyata." Tsamara mengedikkan bahu. Dia


memang tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa dirinya saat ini
menjadi sekretaris Ghaly dari siapapun. Ada saja hal yang memicunya
agar terbuka dengan begitu mudah. Dan yang bisa Tsamara lakukan
saat ini adalah mengikuti arus. Tidak ingin ambil pusing.

Leo mengetuk meja dengan jemarinya. "Aku enggak berniat ngobrol


sama dia."

"Nyatanya, dia kasih tahu posisiku sama kamu."

"Itu cuma spontanitas." Leo berdesis. "Kamu begitu santai menghadapi


Ghaly."

"Mau bagaimana lagi, mulai sekarang aku bekerja langsung di bawah


pengawasannya."

Dengan jemari yang memijat pelipis, Leo menelisik ekspresi Tsamara.


"Kamu suka menjadi sekretarisnya?"

Tsamara berkedip, mengulas senyumannya yang khas dan mengangguk


pelan. "Aku suka," jawabnya lirih.

Tidak ada jawaban lain yang bisa ia berikan pada Leo selain dua kata
itu. Dan karena ia paham betul, dengan jawabannya barusan, Leo akan
mengakhiri segala kecurigaan perihal dirinya yang menjadi sekretaris
Ghaly secara tiba-tiba.

Leo tidak perlu mengetahui sikap Ghaly yang menjengkelkan di


sepanjang waktu, karena hal itu hanya akan memicu amarah Leo lebih
besar lagi.

"Karena sudah jelas aku bekerja dengan Ghaly, sekarang kamu lakukan
kewajibanmu, meminta maaf." Tsamara menunjuk kamar Fanny dari
balik bahunya. Senyumnya kembali mengembang saat Leo menurut dan
mengetuk pintu kamar Fanny.

Dengan tatapan mata, Tsamara memperhatikan bagaimana Leo melirih


di depan kamar Fanny.
Dia berdecih lirih. Leo sangat bodoh. Lebih bodoh dari dirinya yang tidak
sadar akan perasaan yang sesungguhnya.

***
Bab 21

Tsamara Btari berdiri dengan sedikit gugup di depan meja kerja Ghaly.
Di mana lelaki itu sedang sibuk memeriksa dan menandatangani
dokumen yang baru saja ia serahkan. Dia sesekali menggigit bibir
bawahnya, dan menggulirkan bola matanya ke arah lain, yang pasti
tidak pada sosok Ghaly yang tenang dalam duduknya. Bukan karena ia
terpesona akan ketampanan Ghaly yang luar biasa memukau siang ini.

Tidak. Bukan karena itu. Karena setiap hari tidak ada definisi lain selain
tampan untuk mendeskripsikan wajah Ghaly. Loh, mengapa ia malah
mengakui bagaimana tampannya wajah lelaki itu.

Perempuan itu berdecih lirih. Dia tidak ingin memuji Ghaly, namun justru
kata pujian itu yang berputar di kepalanya.

Kembali ke masalah awal, alasan mengapa ia bisa segugup sekarang


karena ia berniat membicarakan keberangkatannya ke Kalimantan hari
Minggu besok. Seperti yang pernah Joana katakan, akhir bulan ini Ghaly
memang memiliki dinas kerja ke Kalimantan.

Dia harus membicarakan perihal jadwal kerja di Kalimantan yang sudah


Joana buat. Sebenarnya Ghaly hanya sibuk di hari Senin dan Selasa,
untuk pertemuan dengan para petinggi yang ditugaskan di sana dan
juga peletakkan batu pertama di proyek perumahan yang dipegang
Badrayudha Realty.

Hanya dua hari kerja, dan selesai. Tapi, di agenda, dia dan Ghaly tinggal
selama satu minggu di sana. Setelah dua hari itu, kemungkinan terbesar
Ghaly hanya akan memantau proyek, yang tentu saja tidak
membutuhkan keberadaan dirinya untuk mendampingi lelaki itu. Atau
mungkin saja seperti yang pernah Joana katakan, Ghaly akan memakai
waktu senggang itu untuk berlibur.

Tsamara tidak tertarik sama sekali untuk berlibur dengan Ghaly. Hanya
berdua. Bagaimana dia bisa berlibur dan bersenang-senang, jika putra
semata wayangnya berada di Jakarta dan menunggu kepulangannya.
"Apa yang sedang kamu pikirkan sedari tadi?"

Tanya itu segera membuat Tsamara mengarahkan tatapan pada Ghaly,


dan menjawabnya cepat. "Saya ingin mendiskusikan agenda pekerjaan
di Kalimantan minggu depan." Sebelah alis Ghaly yang terangkat dan
tertangkap netra Tsamara membuat perempuan itu meringis. Dia
mengemukakan apa yang dia pikirkan dengan begitu jujur.

"Kenapa dengan itu?" tanya Ghaly sambil menutup map hijau berisi
dokumen-dokumen yang sudah ia tanda tangani. Dia sudah selesai
sedari tadi sebenarnya, dan justru begitu puas memperhatikan Tsamara
yang mengerutkan keningnya begitu dalam. Tampak begitu jelas sedang
memikirkan sesuatu. "Kamu tidak ingin ikut ke Kalimantan?" tanyanya
lagi. Sebelum Tsamara sempat menjawab tanyanya yang pertama.

"Bukan. Bukan seperti itu." Tsamara menggoyang tangan kanannya di


udara. Dia melirik Ghaly yang tampak menanti jawaban darinya, dan ia
harus menjilat bibir bawahnya dengan gerak pelan. Dia berusaha amat
keras untuk mengumpulkan keberaniannya. Namun, belum juga ia
berhasil mengutarakan inginnya, Ghaly kembali bersuara, yang
membuat ia begitu terkejut. Memang, kapan Ghaly tidak
mengejutkannya.

"Kamu ingin menggodaku, jilat-jilat bibir seperti itu?" Ghaly mengedikkan


dagunya, menelan ludahnya dengan begitu kasar. Sial, kenapa dia justru
menunjukkan bagaimana ia yang sesungguhnya. Tergoda. Sangat.

"Apa? Saya tidak—"

"Sudah. Lupakan. Jadi, kamu mau bagaimana?" Ghaly lebih suka


mengalihkan pembicaraan, jika diteruskan, ia justru akan kehilangan
akal sehat. Bibir tipis Tsamara mengapa tampak begitu merah, dan
manis.

Dia mengutuk bodoh berulang kali di dalam kepalanya. Bagaimana ia


tahu bahwa itu manis, ketika ia belum mencicipinya lagi. Loh?

"Apa yang kamu mau?" tanya Ghaly mengulang pertanyaannya. Dia


kemudian sedikit memiringkan kepala dan tersenyum samar saat
menemukan jawaban yang menjadi alasan kegelisahan Tsamara sedari
tadi. "Kamu tidak tega meninggalkan Alta di Jakarta ketika kamu akan
bertugas ke Kalimantan besok?"
Tsamara mengedip, dan mengangguk pelan. Merasa bersyukur saat
Ghaly cepat tanggap membaca apa yang tidak bisa ia utarakan.

"Kalau begitu kamu enggak perlu ikut," ucap Ghaly pasti.

"Bagaimana, Pak?" Tsamara bertanya, ingin mendengar ulang apa yang


baru saja Ghaly katakan. Khawatir jika yang ia dengar sebelumnya
kekeliruan.

Kali ini senyum Ghaly mengulas sedikit lebar mendapati wajah terkejut
dan juga senang Tsamara di satu waktu. Perempuan itu pastilah tidak
akan tenang meninggalkan Alta. Dan ia juga tidak berniat mengusung
bocah lelaki itu ke Kalimantan untuk ikut dengannya. Karena yang ada,
bukannya Ghaly menyelesaikan pekerjaannya, ia justru akan
bersenang-senang dengan Alta. Mengajak bocah itu berlibur sepuasnya.

"Kamu enggak perlu ikut ke Kalimantan biar Joana yang


menggantikanmu." Tegas Ghaly, agar ia tak perlu mengulang
jawabannya lagi.

"Sungguh?" Tsamara masih tak juga percaya.

Ghaly mengangguk. Menahan kuluman senyumnya agar tak perlu


melebar saat menemukan binar cemerlang di mata Tsamara.

"Terima kasih banyak, Pak." Tsamara bersungguh-sungguh akan itu. Dia


hampir kehilangan akal tentang bagaimana membicarakan
keberangkatannya besok.

Perempuan itu sudah akan mengutarakan ajakan makan malam pada


Ghaly sebagai tanda terima kasihnya, sebelum akhirnya tertelan oleh
ucapan lelaki itu.

"Sebagai gantinya, kamu harus menemani aku menghadiri ulang tahun


pernikahan salah satu teman minggu depan." Ghaly tak lagi malu-malu
menampakkan senyum penuh kemenangannya. "Aku tidak
membutuhkan penolakan. Hanya menemaniku di satu acara dan
selesai."

Tsamara tahu, dia memang tidak memiliki banyak kesempatan untuk


menolak.

***
"Kenapa harus memilih gaunnya sekarang?" Tsamara mengayun
langkah dengan setengah hati menuju gedung butik yang cukup besar,
bertuliskan "Alyas Boutique"

"Selagi sempat. Minggu depan aku mungkin akan sibuk." Ghaly


membuka pintu kaca dan mempersilakan Tsamara untuk masuk lebih
dulu.

"Saya bisa mencari gaun untuk saya sendiri." Menghadiri acara salah
satu teman Ghaly otomatis harus mengenakan gaun yang cukup pantas.

Ghaly mengikuti Tsamara, memperhatikan perempuan itu yang tampak


melihat-lihat butik. "Kalau beli sendiri-sendiri nanti kita enggak serasi."

Detik itu Tsamara menghentikan langkah dan menoleh ke arah Ghaly


dengan sebelah alis terangkat.

"Aku enggak mau teman pestaku memakai pakaian yang berlawanan


warna denganku."

"Bukannya Bapak biasanya pakai tuksedo warna hitam. Itu akan cocok
disandingkan dengan gaun warna apa saja."

Warna kesukaan Ghaly, sejauh ini yang Tsamara ingat adalah hitam.
Dan jika menghadiri pesta resmi apa pun, lelaki itu akan selalu memilih
pakaian warna hitam. Katanya, hitam memancarkan karismanya.

Tsamara mencebik pelan. Dia kira, dia sudah lupa akan semua detail
tentang Ghaly. Nyatanya, detail-detail kecil tentang lelaki itu pun masih
begitu hangat diingatannya. Jadi, harus bagaimana lagi ia
menyingkirkan ingatan tentang Ghaly di masa lalu ketika lelaki itu
dengan jelas berada di hadapannya setiap waktu.

Sepertinya, jawaban yang paling tepat untuknya adalah merelakan


segalanya untuk mengalir begitu saja. Membiarkan memori-memori
kebersamaannya dengan Ghaly membayang setiap waktu tanpa malu.

"Aku suka yang warna itu." Ghaly menunjuk satu gaun yang terpajang di
manekin. Dan ucapan lelaki itu berhasil membawa Tsamara untuk
menatap arah tunjuk Ghaly. Sebuah gaun berwarna Lilac yang begitu
soft. Gaun panjang polos dengan punggung terbuka dan bertali
spaghetti.
"Bapak mengatakan kalau pestanya di dekat pantai. Saya akan masuk
angin jika mengenakan gaun itu," Tsamara berkomentar saat seorang
pegawai butik hendak melepaskan gaunnya dari manekin.

Ghaly menghembuskan nafas kasar. "Sebenarnya aku bisa memakaikan


jasku nantinya untukmu biar enggak kedinginan. Tapi, kamu ada
benarnya juga." Dia mengangguk mengiyakan. Kemudian mengatakan
pada pegawai perempuan berseragam hijau lumut untuk membatalkan
permintaannya barusan.

"Kamu pilih sendiri kalau begitu." Ghaly menyamankan duduknya di sofa


tunggu yang sedari tadi sudah ia tempati. Dia kemudian mengeluarkan
ponsel dari saku jasnya dan mulai memberi atensi pada benda persegi
empat itu. Tidak memedulikan bagaimana Tsamara akan memilih gaun.

Dan belum sempat Ghaly menyelesaikan satu balasan pesan, Tsamara


sudah bersuara, membuat ia mendongak.

"Saya pilih gaun ini." Tsamara menunjukkan gaun hitam panjang yang
begitu tertutup.

Ghaly menggeleng dan menjawab tegas. "Enggak. Terlalu biasa."

"Tapi, saya suka."

"Aku yang enggak suka."

Tsamara mencebikkan bibir, menyerahkan gaun pilihannya pada


pegawai wanita yang sedari tadi begitu setia menemaninya memilih
gaun.

Tidak lama kemudian, Tsamara sudah memegang dua gaun lain. Satu
gaun brokat berwarna putih berlengan panjang dan bagian bawah yang
menjuntai sampai mata kaki. Satu gaun lagi berwarna krem keemasan
yang juga berlengan panjang hanya saja belahan bawahnya sampai ke
lutut.

Dia mematut dua gaun itu bergantian di depan kaca, sembari


menimbang.
"Aku lebih suka kamu pakai gaun merah di sisi kirimu, daripada dua
gaun yang sedang kamu pegang itu." Ghaly berkomentar sembari
menunjuk gaun merah di samping Tsamara.

Tsamara hanya melirik sekilas sebelum akhirnya mengabaikan begitu


saja pilihan Ghaly. Gaun merah itu terlalu seksi dengan belahan dada
yang terlalu rendah. Pasti lekuk dadanya akan terekspos jelas. Entah
apa yang lelaki itu pikirkan dengan memilihkan gaun terbuka seperti itu.

"Saya akan pilih yang ini saja." Tsamara mematut gaun putih itu sekali
lagi di depan tubuhnya. Memang rasanya hanya gaun itu yang paling
pantas ia kenakan. Tidak terlalu sederhana tapi tidak terlalu mewah
juga.

"Aku enggak mau."

Tsamara berdecak, menatap tajam wajah Ghaly dari pantulan cermin


sebelum akhirnya membalikkan tubuh dan menatap lelaki itu secara
langsung. "Saya yang akan mengenakan gaun ini. Sudah seharusnya
semua keputusan ada di tangan saya."

"Tapi aku yang akan membayarnya." Ghaly mengedikkan bahu.


Bertingkah begitu menyebalkan seperti biasanya.

"Kalau tidak mau, ya, sudah, saya pilih gaun hitam sebelumnya saja."
Kali ini Tsamara berusaha berkeras dengan keputusannya.

Ghaly menyerah. "Oke. Tapi aku ingin melihat kamu mencobanya lebih
dulu."

"Saya akan mencobanya, tapi tidak dengan menunjukkannya pada


Bapak. Terima kasih."

Setelah mengatakan itu, Tsamara berjalan ke butik bagian dalam


mengikuti pegawai yang menunjukkan padanya letak ruang ganti.
Pegawai yang sedari tadi mengikutinya ini sudah mengumbar senyuman
geli sejak ia dan Ghaly berdebat masalah gaun yang baginya terlalu
sepele.

Sedangkan di tempatnya duduk, Ghaly mengumpat lirih.

Sial. Dia ingin melihat Tsamara tampil dengan gaun. Pasti begitu cantik.
Ah, Ghaly merasa pening tiba-tiba. Dia harus menahan diri untuk melihat
Tsamara mengenakan gaun sampai dua minggu ke depan.

***
Bab 22

"Kita jalan sekarang, Pak?"

Dua minggu berlalu dengan sangat cepat. Kini, Tsamara harus menepati
janjinya untuk menemani Ghaly menghadiri pesta anniversary
pernikahan salah satu teman. Pesta itu diadakan di pulau Anyer,
Kepulauan Seribu. Private party yang hanya dihadiri keluarga dan
beberapa teman dekat, kata Ghaly.

Lelaki itu dengan seenak jidat memesan satu kamar penginapan cukup
besar untuknya, juga mengajak Alta dan Fanny turut serta. Tsamara
tidak bisa menolak keinginan Ghaly saat itu. Karena lelaki itu secara
terang-terangan mengungkapnya di depan Fanny dan Alta. Respon
sang putra teramat antusias mendengar pantai yang Ghaly sebutkan.

Untuk kali pertama Ghaly Badrayudha tersentak akan satu tanya


sederhana itu. Dia mengerjap beberapa kali, dan menelan ludah
setelahnya saat sadar apa yang ia lakukan selama beberapa detik
terlewat. Dia termangu, terpesona pada penampilan teramat elegan dari
Tsamara malam ini.

"Ya, kita jalan sekarang," ucap Ghaly sebagai balasan. Kemudian ia


mengambil langkah mendekat ke arah Alta yang berdiri bersisian
dengan Fanny, tepat di depan pintu kamar penginapan. "Alta, Om pergi
sama Mama Alta sebentar, ya." izinnya, terlalu manis.

Alta mengangguk antusias. "Jagain Mama, ya, Om," kata bocah itu
terlalu ringan.

Kalimat singkat yang keluar dari bibir mungil Alta berhasil membuat
Ghaly dan Tsamara tersentak bersamaan. Jika Ghaly mengulas senyum
teramat lebar, dan merasa amat tersentuh dengan pesan yang Alta
suarakan, maka Tsamara justru melempar tatapan mematikan ke arah
Fanny yang meringis tanpa dosa.

Pastilah Fanny yang mengajari Alta untuk mengatakan kalimat barusan.


Entah diiming-imingi apa sang putra hingga begitu penurut.
Ghaly mengusap puncak kepala Alta dan tanpa meminta izin, ia
merendahkan tubuhnya untuk mencium ubun-ubun kepala bocah itu.
"Tentu, Sayang. Om akan jagain Mama—" Kalimat berikutnya yang ingin
ia keluarkan, tercekat di ujung lidah. Sadar dengan satu panggilan manis
untuk Tsamara. Dan ia merasa dadanya menghangat detik itu juga.
"Sekarang Alta masuk kamar dulu, dan tidur cepat, ya. Besok, kan, mau
main di pantai sama Om."

Alta berjingkrak senang. Tampak sangat tidak sabar menunggu hari


esok untuk bisa bermain air dan pasir. Setelah melambaikan tangan
pada Tsamara dan Ghaly, dituntun Fanny, Alta masuk kamar. Dan pintu
ditutup setelahnya.

Ditinggalkan berdua, Ghaly melirik Tsamara berulang kali yang berdiri


sejajar dengannya. Penampilan perempuan itu sebenarnya begitu biasa.
Hanya gaun polos yang mereka beli tempo hari, tanpa memakai
perhiasan apa pun. Namun, dengan rambut Tsamara yang digelung di
belakang kepala, entah mengapa membuat perempuan itu teramat
indah di matanya.

"Sebelum berangkat, bisakah kamu memakai ini?" Ghaly mengeluarkan


sesuatu dari saku jasnya dan menunjukkannya pada Tsamara.

Tsamara mengernyit melihat benda di tangan Ghaly, sebuah kalung


putih dengan liontin bertahtakan berlian bermata biru muda. "Untuk
apa?" tanyanya bingung, mempertemukan tatapannya dengan bola
mata Ghaly.

Ghaly menjilat bibir bawahnya, haruskah ia mengemukakan alasan


dibalik kalung itu. Bahwa kemarin, ia membelinya tanpa pikir panjang
hanya karena ia terlalu senang akan datang ke pesta dengan Tsamara.
Dan malam ini saat tidak melihat perhiasan apapun melingkar di leher
Tsamara, membuat satu alasan lain baginya untuk memberikan kalung
itu pada Tsamara. "Aku enggak mau pasangan pestaku malam ini tampil
tanpa berlian." Dan ia lebih suka menjadi pribadi menyebalkan.
Daripada memperlihatkan wajah teramat bahagianya malam ini.

"Oh, wajar saya enggak pakai berlian, karena saya memang hanya
seorang pegawai."

"Kamu harus memakai ini. Biar kamu enggak malu-maluin aku." Ghaly
ingin sekali mendengkus kesal karena Tsamara tidak bisa menerima
begitu saja apa yang ia berikan. Walaupun pada dasarnya, ia lah yang
memantik Tsamara bersikap menyebalkan seperti itu.

"Sudah tahu saya hanya akan mempermalukan Bapak, kenapa


bersikeras mengajak saya."

"Tsa," desah Ghaly lelah. "Aku pinjami. Plis, kamu harus pakai
kalungnya malam ini."

Tsamara membuang napasnya cukup keras. "Oke," putusnya. Pada


akhirnya, ia memang harus berpenampilan cukup pantas untuk
mendampingi Ghaly. Hanya dipinjami, tentu bukan hal yang besar.

Ghaly menahan ulasan senyum di bibirnya. "Aku pakaikan," katanya,


lalu bergerak cepat ke belakang Tsamara tanpa lebih dulu mendapat
persetujuan. Dia melingkarkan kalung itu di leher mantan istri yang
sekarang menjadi sekretarisnya.

Kulit putih tengkuk Tsamara dengan rambut-rambut halus perempuan itu


menyapa netra Ghaly. Dia menggigit bibir bawahnya dengan jemari yang
bergerak membuka kaitan kalung dan menguncinya.

Di sisi lain, Tsamara harus menahan napas karena merasakan nafas


Ghaly yang terhembus, terasa begitu menggelitik di tengkuknya. Dan
sesekali ujung jemari lelaki itu menyentuh kulitnya. Sedikit lebih lama
berada di posisi seperti ini, Tsamara khawatir ia akan berdebar lebih
keras.

Bersyukur, Ghaly lekas menyingkir usai mengaitkan kalung itu, yang


kemudian membuat Tsamara menunduk, menatap liontin yang
menggantung di lehernya. Liontin itu sangat cantik. Tentu saja, itu
adalah berlian. Namun, dibalik segala kecantikan itu, ia justru merasa
begitu tidak nyaman memakainya.

Dia justru menaruh curiga pada Ghaly yang tiba-tiba perhatian kepada
dirinya.

***
Di tengah pesta, Tsamara hanya terus mengikuti Ghaly ke mana pun
lelaki itu pergi untuk menemui beberapa kenalan yang turut serta
diundang. Dan seperti sekarang, ia dan Ghaly sedang berdiri di hadapan
tiga orang laki-laki yang Tsamara perkirakan usianya sudah menginjak
angka 40 tahun.
Tsamara menjabat tangan ketiga-nya bergantian, seraya
memperkenalkan diri, dan mengulas senyuman semanis mungkin. Ia
harus menjaga sikapnya.

"Kamu enggak ingin memakan apa pun?" Ghaly melirik Tsamara setelah
hanya tertinggal ia dan perempuan itu.

"Kita belum bertemu tuan rumah," kata Tsamara. Karena setibanya ia di


pesta, ia memang belum bertemu dengan tuan rumah yang tengah
merayakan ulang tahun pernikahannya.

Ghaly meloloskan tawa lirih. "Enggak akan ada yang marahin kamu
kalau makan dulu walaupun belum bertemu tuan rumah."

"Tetap saja, saya sungkan. Terlebih saya tidak mengenal tuan rumah."
Tsamara mengedarkan tatapan ke sekitar. Pesta terbuka di tepi pantai
malam ini dirancang begitu cantik dengan dominasi warna putih.
Suasana yang tenang dan hangat terasa begitu kekeluargaan bagi
Tsamara.

Dari beberapa tamu perempuan yang sempat bertemu dengannya, tidak


ada yang mengenakan gaun mencolok dengan riasan berlebihan,
seolah semua tamu pesta malam ini memang sudah di setting begitu
sederhana namun elegan. Beruntung dia tidak menuruti Ghaly yang
memilih gaun merah, kalau tidak, ia pasti akan jadi perbincangan dan
perhatian.

Di pesta ini pun ia sempat bertemu dengan desainer ternama—Anggia


Hastasiwi. Jika bukan karena Tsamara beberapa kali membeli setelan
kerja dari desain Anggia, ia pasti tidak akan mengenali desainer muda
nan cantik itu, yang menggandeng erat lengan sang suami.

Setelah diperhatikan, hampir semua tamu di pesta ini memang


berpasangan. Dia tersenyum tipis membayangkan jika Ghaly hanya
datang sendiri ke pesta ini, lelaki itu pasti akan sangat menyedihkan di
tengah lautan pasangan kekasih.

Uh, Tsamara menggeleng. Untuk apa ia peduli dengan keadaan Ghaly.

"Itu Athar, kebetulan sedang sendiri, kita samperin." Ghaly menyentuh


lengan Tsamara, membuat perempuan itu menoleh ke arahnya.
Sebelum mengambil langkah untuk menemui si tuan rumah, Ghaly
berbisik lirih, "Tsa, bisa minta satu permintaan. Untuk malam ini, plis,
jangan terlalu formal denganku."

Belum sempat Tsamara menyahut, tangannya sudah ditarik Ghaly.


Sepanjang kakinya melangkah mengikuti lelaki itu, tatapan Tsamara
jatuh pada genggaman erat Ghaly di jemarinya. Menghantarkan
perasaan hangat yang merambat hingga ke wajahnya.

Ini aneh, Tsamara merasa begitu cengeng malam ini. Sejak Ghaly
memasangkan kalung di lehernya, Tsamara sadar ia menjadi begitu
lunak dan penurut pada lelaki itu.

"Athar, selamat ya, Bro. Langgeng-langgeng sama istri."

Tsamara terkejut mendengar sapaan akrab Ghaly pada Athar. Seolah


dua orang itu sudah bersahabat lama. Namun, seingat Tsamara, dulu,
Ghaly tidak memiliki sahabat akrab seperti Athar—yang kini tengah
berhadapan dengannya.

"Wah, thanks udah sempatin datang. Datang sendiri?" tanya Athar


setelah melepas pelukan singkatnya dengan Ghaly.

"Enggak lah, kenalin, ini Tsamara." Ghaly melingkarkan lengan di


pinggang Tsamara dan mengimbuhi ucapannya dengan kalimat mantap.
"Kekasihku."

Wajah Tsamara pias seketika mendengar sebutan yang keluar dari bibir
Ghaly. Susah payah ia menoleh ke arah lelaki itu dan hanya
menemukan cengiran di wajah mantan suami yang seenak jidat
memperkenalkan dirinya sebagai kekasih. Ayolah, romansa di antara
mereka sudah kandas sejak lima tahun lalu.

"Bukan, saya—"

Penyangkalan yang hendak Tsamara utarakan terpotong oleh seruan


Athar. "Sayang, kemari sebentar."

Tsamara menggertakkan gigi dengan tatapan menghunus tajam tepat di


mata Ghaly. "Kenapa Bapak bicara seperti itu?" tanyanya berbisik.

Ghaly tidak gentar sama sekali meski mendapat tatapan begitu


menakutkan dari Tsamara. "Sebenarnya sejak tadi pun aku sudah
memperkenalkan kamu sebagai kekasihku."
"Apa?" Bola mata Tsamara membulat. Ia tidak menyadarinya.
Mungkinkah Ghaly mengatakan itu dengan suara lirih, sehingga ia tidak
mendengarnya.

"Hanya malam ini, kok, Tsa, nurut, ya. Ini cuma status pura-pura."

Tidak berapa lama seorang perempuan cantik bergaun putih polos,


dengan rambut tergerai di atas bahu dan dihiasi satu jepitan di sisi
kanan, datang menghampiri. Perempuan itu cantik sekali.

"Ghaly bawa kekasihnya ke sini," Athar berbisik di samping telinga


Galila—sang istri. "Biasa bawa Joana ke mana-mana."

Galila lebih dulu mengulurkan tangan ke arah Tsamara yang berdiri


bersebelahan dengan Ghaly dan saling memperkenalkan diri.

"Bawa kekasih salah, bawa sekretaris lebih salah lagi." Ghaly berdecak,
setengah berkelakar.

Athar membalasnya dengan tawa renyah. "Bukan gitu juga, sih,


masalahnya aku udah terbiasa liat kamu gandeng Joana ke pesta mana
pun. Kalau kali ini kamu bawa Joana lagi, aku lepasin kamu, deh, jadi
mantunya Pak Walikota."

"Jangan dengerin, Sayang." Ghaly meremas pinggang Tsamara. "Mau


anaknya Walikota juga aku enggak akan berpaling dari kamu." Dan ia
mengakhiri ucapannya dengan menghadiahi kecupan di pipi Tsamara.
Lupa jika respon perempuan di dalam dekapannya mungkin saja
berubah jadi patung detik itu juga. Karena serangan bertubi yang begitu
mendadak ia lancarkan.

"Jadi, sudah enggak ada harapan untuk semua klien Badrayudha Realty,
yang sangat ingin jadiin kamu menantunya?" Athar bertanya menggoda.

"Ayolah, Thar. Itu menyebalkan." Ghaly membalas ringan. Beberapa


waktu belakangan, sejak kabar Ghaly sedang mencari istri yang
diumumkan oleh ibunya—tentu saja. Ada banyak sekali orang tua yang
mengajukan putrinya untuk diperistri Ghaly.

Padahal Ghaly yakin dia bukan sosok yang berpengaruh di negeri ini.
Kerjaannya pun kecil-kecilan, cuma bikin kota baru. Dia sendiri tidak
cukup yakin, mengapa semua orang gencar sekali melamar dirinya
untuk dijadikan menantu. Ah, mungkin saja memang wajahnya yang
begitu tampan rupawan.

"Jangan didengerin candaannya Mas Athar, Tsa," Galila bersuara.


"Belakangan Mas Ghaly memang cukup akrab jadi bahan candaan."

Tsamara mengangguk saja sebagai balasan. Sejujurnya ia cukup dibuat


bingung, bukan hanya karena pengakuan Ghaly yang sepihak, atau pun
obrolan Athar dan Ghaly, tapi juga bagaimana Ghaly bisa mengimbangi
candaan itu. Selama bekerja bersama Ghaly dalam beberapa minggu
ini, yang ia dengar dari pegawai Badrayudha Realty, bahwa Ghaly
menjadi sosok yang cukup angkuh dan keras.

Dia tidak meragukan akan itu. Untuk beberapa kali pertemuan mereka di
awal-awal dulu, Ghaly memang selalu berusaha mengintimidasi dirinya,
dan siapa pun.

***
Bab 23

Tsamara menenteng heels-nya. Membiarkan telapak kaki yang tidak


terbungkus apa pun merasakan pasir dan jilatan ombak. Dia dan Ghaly
sedang berjalan di tepian pantai, karena tergiur dengan indahnya pantai
di malam hari. Sekalian jalan pulang.

"Kamu suka pestanya?" Ghaly yang turut serta melepas sepatunya dan
telah menggulung celananya sedikit mengulas senyuman melihat
Tsamara yang cukup bersahabat dengannya malam ini.

"Suka," Tsamara membalas singkat, sebelum kemudian melanjutkan,


"Galila dan Athar sangat ramah." Imbuhnya, meski ia hanya mengobrol
sebentar dengan Galila—perempuan cantik yang hari ini tengah
merayakan anniversary pernikahan yang ke-6.

"Pernikahan mereka di tahun yang sama dengan kita, dulu. Jika kita
masih bersama, mungkin kita akan memiliki putra seperti mereka. Andai
saja dulu kita—"

"Kita saling melepaskan." Tsamara membuang tatapannya ke hamparan


laut yang gemerisik ombaknya terdengar merdu.

"Ya, kita saling melepaskan. Aku bodoh karena membiarkan kita


berakhir seperti ini." Dari sekian banyak hal yang ingin Ghaly
ungkapkan, pengakuan kebodohan karena melepaskan Tsamara berada
di puncak tertinggi. Dan malam ini ia tidak berniat menyembunyikannya
dari Tsamara. Mungkin ini adalah waktu yang tepat baginya
mengungkap perasaan sebenarnya yang ia miliki sedari dulu. Di antara
banyak kebencian itu, rasa menyesal pun turut menyesaki dadanya.

Tsamara membuang nafasnya sekali lagi. "Itu adalah yang terbaik."

Ghaly mengulurkan tangan, hendak merenggut jemari Tsamara untuk ia


genggam, namun tertahan karena perempuan itu menghentikan langkah
dan menatap dirinya. Melihat bagaimana Tsamara yang tampak biasa-
biasa saja ketika ia membahas pernikahan mereka di masa lalu yang
kandas tak bersisa, membuat hati Ghaly sakit.
Nampaknya, memang tidak ada lagi satu titik rasa cinta Tsamara untuk
dirinya.

"Saya tidak suka Bapak menjadikan saya sebagai tameng."

"Tameng?" Ghaly mengernyit.

"Ya. Harusnya Bapak menyelesaikan permasalahan Bapak sendiri.


Tanpa harus membuat hubungan pura-pura yang memberatkan saya."

Ghaly tahu, Tsamara tidak akan membiarkan dirinya lepas begitu saja
setelah pengakuan sepihaknya di pesta tadi. "Aku enggak punya
pilihan."

"Saya tahu, Bapak punya pilihan," decap Tsamara, tidak sedikitpun


menyingkirkan rasa sebalnya pada laki-laki yang sedari tadi begitu betah
menyejajari langkahnya. Kalimat pengakuan Ghaly di pesta tadi, tentang
dirinya adalah kekasih lelaki itu memang sangat mengejutkan. Padahal
dahulu, ketika ia terikat dalam sebuah pernikahan, Ghaly terlalu penurut
untuk tidak memperkenalkan dia pada dunia.

Mengingat itu, berhasil membuat rasa sedih di dalam dadanya naik ke


permukaan. Pernikahannya yang malang.

"Aku sudah cukup lelah dipojokkan untuk segera menikah." Ghaly


mendesah, melirik Tsamara sekilas sebelum kemudian melempar
tatapannya ke tengah lautan yang tenang. "Karena sulit bagiku untuk
memulai hubungan lagi." Untuk kalimat terakhir, ia tidak yakin Tsamara
akan mendengarnya. Perempuan itu bertahan membungkam bibir—
entah sengaja mengabaikan kalimatnya atau memang sungguhan tidak
mendengarnya.

Tsamara asyik melihat pijakan kakinya yang beralaskan pasir, sesekali ia


menendang kecil pasir itu. Membuatnya sedikit berhamburan. Sungguh,
hal sederhana seperti ini cukup membuat dirinya begitu tenang dan
nyaman.

Seulas senyum terbit di ujung bibir Ghaly melihat Tsamara yang asyik
dengan sedikit kesenangannya malam ini. Setidaknya, di antara begitu
banyak perdebatan dan lontaran kalimat sengit, ia bisa menemukan
perempuan itu nyaman di dekatnya. "Kamu sesuka itu jalan-jalan
denganku?"
"Ya," balas Tsamara ringan. Kemudian ia mengerjap saat menyadari
pertanyaan Ghaly. Dia melirik lelaki itu yang mengulas senyuman begitu
manis. "Maksud saya, saya senang jalan-jalan di pantai seperti ini."

Ghaly tertawa, membalas dengan kelakar. "Aku tahu, kamu senang


jalan-jalan denganku. Hanya berdua seperti ini."

"Tidak."

"Masa?"

"Ghaly—" ucapan Tsamara menggantung. Dia berkedip pelan sebelum


akhirnya menelan ludah dan berbisik. "Maaf. Kita harus cepat sampai ke
penginapan," katanya, menutupi kegugupan karena satu panggilan yang
tidak sengaja lolos dari bibirnya. Kenapa panggilan itu bisa terlisankan
dengan begitu mudah dari bibirnya?

Berbeda dengan Tsamara yang tampak menyesal karena memanggil


namanya, Ghaly justru merasakan satu debaran menyenangkan di
dadanya. Seolah bergerak sendiri, Ghaly menarik tangan Tsamara,
menggenggam jemarinya hingga membuat tubuh perempuan itu berbalik
secara paksa ke arahnya dan menubruk dadanya.

"Aku suka kamu memanggil namaku seperti tadi," kisik Ghaly.


Kepalanya tertunduk menatap rambut Tsamara. Rasa ingin
menanamkan kecupan di sana sedemikian besarnya. Namun, ia pun
harus begitu besar menahan diri karena sadar ia dan Tsamara tak lagi
sama seperti dahulu.
Tidak ingin membiarkan tubuhnya begitu dekat dengan Ghaly, Tsamara
segera mengambil langkah mundur dan membuat jarak. Dia berucap
meminta pengertian Ghaly. "Sudah semakin malam, saya harus lekas
sampai di penginapan. Saya khawatir Alta menunggu saya."

Sejujurnya, Tsamara tidak hanya mengkhawatirkan Alta yang ia


tinggalkan di penginapan. Namun, ia juga mengkhawatirkan dirinya
sendiri yang mungkin saja akan semakin lunak pada Ghaly malam ini.

Ia sungguh tidak ingin terbuai dengan sikap dan perkataan lelaki itu
yang terasa amat perhatian. Dia tidak ingin terjatuh. Meski sejak dulu
pun, hanya pada Ghaly ia membiarkan dirinya terjatuh amat dalam.

"Oke, kita pulang sekarang." Ghaly menyusul Tsamara, keluar dari


tepian pantai menuju penginapan yang sudah di depan mata. "Boleh aku
menggandeng tanganmu?" Harusnya Ghaly tidak perlu meminta izin,
karena sudah pasti izinnya akan mendapat penolakan dari Tsamara.

"Saya bisa jalan sendiri, Pak. Tidak perlu digandeng." Tsamara


mempercepat langkahnya. Rasanya ia ingin cepat-cepat bersembunyi di
balik pintu kamar penginapannya. Ia tiba-tiba merasa sedikit tidak baik
malam ini.

Bersyukur, ayunan kakinya segera menginjak teras penginapan.


Tsamara menoleh ke arah Ghaly ingin mengucapkan salam sebelum
menghilang di balik pintu. Setidaknya, ia ingin menunjukkan
kesopanannya sebagai seorang bawahan.

Namun, kalimat yang sudah berada di ujung lidahnya tertahan saat


sekali lagi, Ghaly membuat gerakan yang amat mengejutkan dirinya
malam ini. Lengan lelaki itu melingkar di pinggangnya, dan dahi Ghaly
terjatuh di bahunya.

"Tolong, biarkan aku seperti ini sebentar saja, Tsa." Ghaly melirih
dengan bola mata memejam. Memeluk Tsamara sedemikian erat.
Seolah sedang menunjukkan luka-nya yang selama ini tidak pernah ia
perlihatkan pada dunia. Dia ingin sebentar saja merasakan kehangatan
yang tak pernah ia dapatkan bertahun-tahun ini.

Saking terkejutnya, tanpa sadar Tsamara menjatuhkan heels yang


sedari tadi ditentengnya. Dia mempertahankan lengannya tetap berada
di samping tubuhnya, bukan membalas pelukan Ghaly. Tubuhnya kaku
dengan tatapan nanar terarah ke depan.

Dia tahu, dari banyaknya kalimat yang Ghaly lontarkan sebelumnya,


tentang pembahasan pernikahannya. Ia masih menemukan luka itu di
mata Ghaly. Tsamara berusaha mengabaikannya. Memilih mengalihkan
pembicaraan.

Namun, pada akhirnya ia memang harus tahu dan mengakui Ghaly


terluka, sama seperti dirinya.

Mereka mungkin kembali bersikap layaknya orang asing yang saling


membenci. Namun, Tsamara sadar hati mereka mungkin saja masih
terikat satu sama lain.

Entah cinta yang mengikatnya.


Atau luka hati.

***
Pukul delapan pagi selepas sarapan, Tsamara beserta Alta, Fanny, dan
Ghaly memilih bermain di pantai. Tsamara hanya berperan sebagai
pengamat dari kejauhan. Memperhatikan Alta dan Fanny yang asyik
bermain di pantai. Alta tidak lepas dari dekapan Ghaly. Pemandangan
itu justru membuat Tsamara merasa begitu terenyuh.

Alta tampak sangat bahagia dengan papanya.

Papanya?

Tsamara menutup matanya dengan telapak tangan, ketika


lagi-lagi—seperti semalam, berbagai perasaan menyesaki dadanya.

"Kamu sakit?"

Tanya lirih itu, disertai usapan lembut di puncak kepalanya, membuat


Tsamara sedikit tersentak, sebelum akhirnya menoleh ke arah Ghaly
yang mengambil duduk di sebelahnya.

"Saya baik-baik saja," Tsamara membalas dengan gerakan refleks


membuat jarak dengan Ghaly. Pagi ini lelaki itu hanya memakai celana
tiga per empat dan kaos putih yang sudah basah. Yang sedari tadi
sukses membuat beberapa perempuan melempar tatapan tertarik pada
Ghaly.

Oh, Tsamara tidak secara sengaja memperhatikan Ghaly. Karena Alta


bersama lelaki itu, tentu saja Tsamara tidak melepas tatapan dari
mantan suaminya—maksudnya Alta.

Tsamara mendesis lirih. Kesal dengan matanya yang justru betah


menatap Ghaly di sampingnya. Sungguh, ada dengannya pagi ini. Masa
iya, hanya karena Ghaly dan Alta bermain, bercanda begitu bahagia, ia
semudah ini digoyahkan.

"Alta keliatan suka banget di sini. Kayaknya kita perlu ambil satu malam
lagi di sini. Balik Senin sore," ucap Ghaly dengan tatapan terarah pada
Alta dan Fanny yang sedang bermain pasir.

"Jangan aneh-aneh, Pak. Saya harus bekerja hari Senin," Tsamara


membalas sebal.
Ghaly menoleh ke arah Tsamara dan mempertemukan tatapan mereka.
"Kamu lupa kalau aku bosnya? Aku bebas mengambil libur atau tidak."

"Tidak profesional," decap Tsamara. "Bapak memang bosnya, tapi saya


hanya pegawai."

"Maka, kembalilah padaku, Tsa. Agar kamu bisa jadi bosnya juga."

Tsamara tidak berkedip, menemukan tatapan keseriusan di mata Ghaly,


meski yang baru saja lelaki itu suarakan adalah lelucon paling buruk
yang pernah didengarnya. Hingga ia bahkan tidak mampu untuk tertawa.
Bibirnya sudah membuka, ingin membalas sengit ucapan lelaki itu.
namun tertahan karena satu teriakan yang menyapa gendang
telinganya.

"Mama!"

Tsamara segera mengalihkan tatapan ke asal suara, dan menemukan


Alta sedang berlari ke arahnya dengan tangan kanannya tergenggam.
"Sayang, larinya pelan-pelan."

Baru saja Tsamara selesai berucap, ia melihat Alta tersandung dan


terjatuh, yang sontak membuat bola matanya membulat dan ia menjerit
memanggil nama Alta. Ia sudah akan bangkit berdiri, namun, Ghaly lebih
dulu bergerak, mendatangi Alta dan menepuk-nepuk pakaian Alta yang
kotor terkena pasir, dan membawa bocah manis itu kepadanya.

"Jagoan enggak boleh nangis," ucap Ghaly sambil membersihkan tubuh


Alta begitu telaten.

"Alta enggak nangis," Alta membalas lirih dengan sesenggukan pelan.

Ghaly tersenyum geli. Ucapan bocah itu sangat berkebalikan dengan


yang ia lihat. Namun, justru tampak sangat menggemaskan di matanya.

Tsamara membuka lengannya, menarik Alta untuk duduk


dipangkuannya. "Alta sudah capek dari tadi main terus, istirahat dulu,"
katanya. Dia mengusap lembut lutut Alta yang nampaknya sedikit
kegores ranting saat jatuh di pasir tadi. "Alta bawa apa, sih, coba Mama
lihat?" tanyanya mengalihkan perhatian, saat menyadari Alta hampir
mengeraskan sesenggukannya, karena luka gores yang ia usap
barusan.
Alta membuka genggamannya. Di telapak tangannya yang mungil, ada
cangkang kerang berwarna putih. "Alta dapat kerang."
"Wah, cantiknya," Tsamara berseru antusias. Menyentuh kerang di
tangan Alta. Dia kembali berkata, "Nanti minta bikinin gantungan kunci
sama Om Ghaly."

"Om Ghaly bisa bikin? Alta mau lihat." Alta menatap Ghaly penuh
semangat. Lupa jika lututnya terluka.

Ghaly gelagapan, dia menatap Tsamara dan Alta bergantian dengan


sorot bingung. Dia ingin menyangkal mentah-mentah ucapan Tsamara
yang tiba-tiba itu, namun, melihat tatapan Alta yang begitu berbinar
akhirnya membuat ia mengulas senyuman paling manis. "Tentu saja.
Nanti Alta bikin gantungan kunci sama Om."

Alta bersorak senang, tersenyum begitu lebar menampilkan deretan


gigi-gigi putihnya. Lalu kembali menatap kerang putih yang ia temukan
ditimbunan pasir.

"Daripada bikin, lebih baik aku beli sama toko kerajinannya sekalian,"
gumam Ghaly lirih.

Tsamara yang mendengar itu sontak menatap laki-laki di sampingnya.


"Alta enggak minta satu toko. Dan saya yakin, dia enggak akan terlalu
peduli sama kerang itu. Entah mau jadi gantungan atau apa pun. Dia
mungkin senang karena dia membuatnya bersama Bapak."

Ghaly bungkam seribu bahasa. Sorot matanya berubah nanar menatap


manik Tsamara yang tidak menampakkan binarnya sama sekali.

"Bapak harus mulai merubah sikap, untuk bisa lebih menghargai proses,
menghargai kebersamaan, sesingkat apapun itu."

Setelah mengatakan itu, Tsamara bangkit dari duduknya tanpa melirik


Ghaly sama sekali. "Sayang, kita balik ke kamar, ya. Sudah semakin
panas. Alta sudah puas, kan, mainnya?" tanyanya pada sang putra yang
turut serta berdiri.

Alta mengangguk antusias. "Sudah Mama."


Hanya dengan satu jawaban itu, Tsamara kemudian mulai mengayun
langkah menjauhi Ghaly dengan menggandeng jemari Alta. Sebelumnya
ia memanggil Fanny untuk turut serta kembali ke penginapan.
"Mama, Om Ghaly enggak ikut pulang?" tanya Alta dengan kepala
menoleh ke belakang, menatap Ghaly yang tertinggal.

"Om Ghaly pulangnya nanti," Tsamara membalas, dengan terus


menggandeng Alta. Namun, sepertinya sang putra tidak mengindahkan
ucapannya, karena detik berikutnya, Alta menghentikan langkah dan
berseru nyaring sambil menatap Ghaly.

"Om Ghaly pulang, yuk!"

Fanny yang baru saja mendekati Tsamara dan Alta dengan nafas yang
tidak beraturan segera berucap lirih, "Daripada Alta ngambek, ajak
pulang sekalian Mas Ghaly. Lagi pula Mbak kenapa sih kayak sebel gitu
sama Mas Ghaly, perasaan tadi kalian baik-baik aja."

Tsamara menghembuskan nafas kasar. "Tanya Mas Ghaly-mu itu."

Sebelah alis Fanny terangkat, kemudian melirik Ghaly yang mulai


mendekat ke arahnya. Sepertinya antara Ghaly dan Tsamara memang
terlibat obrolan serius yang membuat Tsamara memasang wajah sebal
seperti itu. Dia kemudian menggeleng. Drama rumah tangga.

"Yeay, pulang sama Om Ghaly, mau digandeng juga." Alta menyambut


kedatangan Ghaly dengan senyuman lebar, juga satu lengan bebas
yang terangkat. "Biar kayak temen Alta, digandeng Papa dan Mama."

Satu kalimat ringan berikutnya yang lolos dari bibir tipis Alta membuat
Tsamara terkesiap. Perempuan itu menatap Ghaly yang juga sama
diamnya seperti dirinya. Dan ia segera mengalihkan tatapannya. Terlalu
khawatir jika Ghaly menemukan kepedihan di matanya.

"Papa dan Mama?" Ghaly melebarkan senyuman dan menyambut


genggaman kecil Alta. Lalu melangkah bersamaan dengan Tsamara,
dan Alta berada di tengah-tengah mereka.

Mereka tampak seperti keluarga kecil yang bahagia. Dan mungkin bisa
sebahagia itu, jika Ghaly memiliki sedikit saja kerendahan dan
kemurahan hati. Tidak mengikuti amarah di dalam dadanya.

Ghaly melirik Tsamara yang menatap lurus ke depan, dia kemudian


berbisik, "Hal terbodoh yang pernah kulakukan adalah melepasmu
begitu saja, Tsa. Melupakan fakta jika hatiku remuk dan berserak tanpa
dirimu di sisiku."

Tepat setelah ia melirihkan kalimat itu, Tsamara menoleh ke arahnya


dengan bola mata sedikit membeliak. Ghaly tahu, Tsamara
mendengarnya. Namun, lagi-lagi, perempuan itu memilih bungkam dan
membuang tatapan.

***
Bab 24

Liburan telah usai. Senin pagi, Tsamara harus kembali berperan sebagai
sekretaris Ghaly Badrayudha yang profesional. Atau tidak? Karena
nampaknya, Joana tidak akan dipindah tugaskan dari jabatannya kini.

"Pagi, Tsa. Bagaimana liburannya kemarin? Lancar atau lancar banget?"


Sapaan Joana, setibanya Tsamara di meja kerja membuat perempuan
itu harus menahan kuluman senyum. Joana yang terlalu bersemangat di
Senin pagi.

"Lancar. Ghaly bertemu beberapa rekan kerja—"

"Aku enggak lagi bicarain Ghaly sama rekan kerjanya. Tapi, sama kamu.
Gimana? Ada tanda-tanda CLBK enggak?" Joana menggoda dengan
antusias level tinggi. Dia seolah tidak peduli pada Tsamara yang
membawa oleh-oleh atau tidak, pagi ini.

Tsamara berniat mengabaikan tanya konyol itu dengan melewati Joana


begitu saja. Namun siapa sangka, ada seseorang yang menyahut dari
belakang.

"Kamu CLBK sama siapa, Tsa?"

Itu suara menyebalkan Ghaly. Memang siapa lagi yang bisa lebih
menyebalkan dari lelaki itu.

"Tolong, jangan didengarkan ucapan Joana, Pak." Tsamara mengulas


senyuman penuh kesopanan. Memberi salam pada lelaki itu yang
datang terlalu pagi ke kantor.

"Kamu sudah sarapan?" Ghaly bertanya, menuruti Tsamara untuk tidak


mempedulikan obrolan perempuan itu dengan Joana sebelumnya. Saat
Tsamara hanya diam saja, dia maju mendekati perempuan itu dan
meletakkan kotak bekal di atas meja Tsamara. "Makanan di rumah sisa
banyak. Daripada enggak ada yang makan, untuk kamu saja."
Joana berpangku tangan melihat interaksi mantan istri dan mantan
suami di depannya ini. Dia sungguh gatal untuk berkomentar. Boleh
tidak, sih, dia turun tangan dan menggoda bosnya.

"Enggak gitu juga, Pak Ghaly ngasihnya. Ucapan yang manis, kan, bisa.
Kayak, Tsa udah sarapan? Nih, aku bawain. Dimakan, ya. Kubungkus
pakai kasih sayang."

Ghaly menatap Joana dengan tatapan mematikan yang berhasil


membuat bibir sekretaris terlalu cerewetnya itu bungkam seketika. "Jam
7 pagi ini, saya ingin bahan meeting untuk lusa sudah dikirimkan."

Joana memukul bibirnya yang nampaknya harus disekolahin lagi. "Tapi,


Pak. Lima belas menit lagi jam 7."

"Tidak ada tapi-tapian," Ghaly membalas tajam. "Dan saya tidak ingin
menemukan celah kesalahan." Setelahnya Ghaly melenggang masuk ke
ruang kantornya, diiringi bibir terkulum geli yang tidak ingin ditunjukkan
pada siapa pun.

"Tsa, bantuin," ucap Joana grusa-grusu. Jemarinya bergerak sedemikian


cepat mengecek pekerjaannya yang mendadak deadline ini. "Besok-
besok aku milih diam aja, deh. Pura-pura enggak lihat kalian. Terserah
setinggi apa ego kalian, aku enggak akan sok-sokan ceramahin."

Tsamara menghela nafas begitu panjang. Dia sendiri tidak memahami


tingkah Ghaly yang sesungguhnya. Kemudian tatapannya terjatuh pada
tas bekal dari Ghaly. Apa maksudnya coba, lelaki itu memberi dia bekal?

"Tsa."

Panggilan Joana membuyarkan lamunan Tsamara. Perempuan itu


segera mengambil duduk dan mulai sibuk membantu pekerjaan Joana.

Berbeda dari dua perempuan yang berhasil ia buat sibuk pagi ini. Ghaly
justru terduduk di tepian meja kerjanya, menyilang kaki dan membuka
layar ponselnya yang menampilkan siluet seorang perempuan
memangku bocah lelaki. Itu foto Tsamara dan Alta yang ia ambil diam-
diam saat menikmati pemandangan matahari pagi ditepian pantai. Jika
seseorang melihat kelakuannya ini, mungkin tidak sedikit yang akan
menuduh dirinya yang bukan-bukan. Padahal, ia hanya senang saja
melihat siluet dua orang itu.
Dan dia bertambah senang pagi ini, karena masih mendapati kalung
yang ia berikan—pinjamkan pada Tsamara masih tampak menyembul
dibalik pakaian kerja perempuan itu. Semoga saja Tsamara memang
suka dengan kalung yang ia belikan dan tidak akan melepasnya.

***
Tsamara dan Joana berjalan bersisian memasuki kantor selepas makan
siang di salah satu restoran, tidak begitu jauh dari gedung kantor.
Keduanya sedang asyik membahas menu makan siang mereka yang
memanjakan lidah dan kantong, namun terinterupsi karena melihat
Ghaly dari kejauhan, berlainan arah dengan mereka. Lelaki itu berjalan
cepat dengan tatapan tak lepas dari Joana dan Tsamara. Membuat dua
perempuan itu menduga jika mereka akan diomelin karena keasyikan
berada di luar kantor.

Tapi, ayolah, ini masih jam istirahat.

Atau Ghaly ngambek karena tidak diajak makan siang bersama?

"Kapan aku bisa lihat wajah si bos yang manis dan menggemaskan,
enggak nyeremin macam singa yang mau makan buruannya," Joana
berbisik saat Ghaly berjarak lima meter darinya.

Tsamara melirik sekilas ke arah Joana dengan seulas senyum geli.


Sebelum akhirnya ia dan Joana serempak menyapa Ghaly seramah
mungkin.

"Tsa," panggil Ghaly terlalu halus dan ramah.


Tsamara berkedip, sedikit terkejut karena nada panggilan Ghaly yang
terlalu ramah di telinganya. "Saya, Pak," sahutnya, siap menerima
perintah dari sang bos.

Tidak jauh berbeda dengan Tsamara yang terkejut, Joana di sisi


Tsamara justru sampai membuka bibirnya. Tidak menyangka jika Ghaly
yang ia juluki seperti singa sebelumnya berubah menjadi kucing manis,
terlebih saat ia mendengar kalimat berikutnya yang bosnya lisankan.

"Aku ingin mengajak Alta makan malam bersama, boleh?" tanya Ghaly,
kedua bola matanya berpendar tampak dipenuhi permohonan. "Tiba-tiba
aku merindukannya," imbuhnya dengan suara lebih lirih namun jelas
terdengar kemantapan di sana.
Joana menatap Tsamara dengan tanda tanya sedemikian besar. Ada
satu nama asing yang menyapa gendang telinganya.

Tsamara menelan ludah, sungguh, ia ingin mengutarakan keberatannya


akan ajakan Ghaly yang tiba-tiba ini, terlebih ada Joana di sekitar
mereka, dan di tempat terbuka. Karena tidak menutup kemungkinan jika
ada pegawai lain yang tak sengaja lewat di sekitar mereka dan
mendengar obrolan.

Namun, yang keluar dari bibir Tsamara justru satu kata singkat yang
berhasil membuat Ghaly mendesahkan napas penuh kelegaan. "Boleh."
Dan ia sadar, ia sudah kehilangan akalnya sejak memperbolehkan
Ghaly berada di sekitar Alta.

Mau bagaimana lagi, tatapan Ghaly yang hangat dan nada suaranya
yang lembut seolah mengikis perlahan batu egois yang ia bangun
bertahun-tahun ini.

Dengan binar bahagia yang akhirnya memenuhi bola matanya, Ghaly


mengulas senyuman, kemudian berkata pada Joana, "Jo, tolong kamu
reservasi restoran paling enak di Jakarta dan suasananya nyaman untuk
anak-anak."
"Untuk anak-anak?" tanya Joana memastikan. Biasanya Ghaly selalu
meminta ia untuk resevasi restoran jika ada pertemuan dengan klien dan
tentu saja tidak ada anak-anak di tengah-tengah pertemuan bisnis. Dan
ia sungguh tidak mengerti dengan apa yang Ghaly dan Tsamara
bicarakan sedari tadi.

"Ya, ada yang aneh untuk itu?" Alis Ghaly naik sebelah menatap Joana
sebelum akhirnya luruh saat ia beradu pandang dengan Tsamara. "Aku
ada urusan di luar siang ini sampai sore, tapi, nanti aku akan jemput Alta
dan Fanny. Kamu tinggal bilang mereka untuk siap-siap saja."

Tsamara mengangguk patuh. "Baik, Pak."

"Jo, ingat reservasi restoran untuk malam ini," ingat Ghaly pada Joana,
dan ia menambahkan satu kalimat ajakan, karena teringat Joana yang
sudah terlalu banyak membantunya belakangan ini. "Kamu juga bisa ikut
makan malam sama kita, biar tambah ramai." Suasana hatinya hari ini
memang sedang benar-benar baik.

Mendengar ajakan Ghaly pada Joana, Tsamara mendelik saat itu juga.
"Tunggu, tunggu ... sebelumnya, siapa Alta?" tanya Joana,
memberanikan diri mengutarakan kebingungannya sedari tadi. Dia ingat
Fanny, itu adik Tsamara, pasti. Tapi siapa Alta?

"Loh, kamu lupa, Alta anaknya Tsamara—" ucapan Ghaly kemudian


terpenggal karena menemukan sorot mata Tsamara yang tampak
memperingati. "Kamu enggak tahu Tsa punya anak?" Namun, ia justru
melanjutkan ucapannya. Merasa ada yang sedikit aneh antara Tsamara
dan Joana. Dia pikir, kedua perempuan itu sudah cukup dekat, namun
sepertinya Tsamara tidak memberi tahu tentang Alta.

"Apa? Anak?" Joana berseru terkejut.

Ghaly meringis. "Aku harus pergi sekarang, pastikan reservasinya


beres, Jo. Dan Tsa, terima kasih," katanya lalu melenggang pergi tanpa
beban. Seolah ia tidak melakukan kekeliruan apa pun.
Saat Ghaly sudah menjauh, tanpa membuang waktu, Joana segera
mencengkeram dua bahu Tsamara, mencoba mencegah kemungkinan
Tsamara melarikan diri. "Kamu harus jelaskan padaku. Kamu sudah
punya anak, dan tidak menceritakan hal sepenting itu. Bukankah kamu
belum menikah lagi?"

Tsamara mendesahkan nafasnya begitu lelah, keputusannya memberi


kelonggaran pada Ghaly sepertinya menjadi boomerang tersendiri
untuknya.

"Kamu tega enggak cerita itu padaku. Kamu anggap aku apa, Tsa?"
keluh Joana, penuh drama.

Dengan decakan mengiringi, Tsamara membalas, "Bukan maksudku


enggak ingin cerita, tapi memang belum sempat."

"Pembohong."

Tsamara butuh banyak sekali keberanian untuk memperkenalkan Alta


pada dunianya. Karena jika ia melakukan itu, maka tidak menutup
kemungkinan jika dunianya yang lama pun akan terkuak perlahan.

"Seperti yang kamu tahu, aku memang tidak menikah kembali. Dan aku
punya seorang putra, namanya Alta. Aku besarkan seorang diri."
Tsamara memulai ceritanya. "Sebenarnya, aku enggak ingin
memperkenalkan Alta pada siapapun yang mengenalku sebelumnya
termasuk Ghaly, tapi Jakarta tidak seluas yang aku pikirkan. Karena aku
justru bekerja di kantor Ghaly dan bertemu kamu juga."

Joana mengerutkan keningnya. "Dia anaknya Ghaly?" tanyanya


spontan.

Tsamara membeliak, tidak menyangka jika Joana akan langsung


menebak, yang tentu tepat sasaran.

Joana menarik Tsamara, berjalan cepat menuju meja mereka,


membicarakan hal yang penting ini tentu tidak bisa di tempat
sembarangan. Setelah mencapai kursinya masing-masing, Joana
segera duduk mendekati Tsamara. "Tebakanku benar, bukan? Aku tahu
kamu, Tsa. Kamu enggak akan tidur dengan lelaki manapun, sekalipun
itu Leo, sahabat kamu. Dia anak Ghaly, kan?" tanyanya memastikan,
sekali lagi.

Tersenyum pedih, tidak ingin memberi bantahan, Tsamara mengangguk


pelan. Bahkan Joana yang belum pernah bertemu Alta saja bisa
menebak seperti itu. Betapa bodohnya Ghaly yang masih menuding
dirinya serendah itu.

"Ya Tuhan, Tsa," Joana tidak kuasa mendapati satu fakta itu. Dia segera
memeluk Tsamara begitu erat. "Itu pasti berat buat kamu?"

"Sejujurnya enggak seberat itu, aku baik-baik saja," ucap Tsamara. Dia
mungkin sudah terbiasa dengan hari-hari yang buruk dan berat. Karena
masa-masa paling berat yang ia alami adalah ketika ia berpisah dengan
Ghaly dan menjalani sembilan bulan mengandung putranya dengan
terus menangisi lelaki itu.

Pada dasarnya, ia tidak seikhlas itu berpisah dari Ghaly.

***
Bab 25

Joana terpaku di tempatnya duduk saat menemukan sosok kecil dengan


wajah amat tampan di dekatnya. Ini pertama kalinya ia bertemu Alta.
Dan ia amat yakin, anak kecil itu akan setampan Ghaly ketika dewasa
atau mungkin berkali lipat lebih tampan. Senyum di bibir mungil itu
sungguh manis. Begitu mirip dengan cara Ghaly Badrayudha—bosnya
itu tersenyum. Hanya saja, Ghaly adalah tipe lelaki jual mahal yang
dipenuhi keangkuhan hingga ia hampir tidak pernah melihat lelaki itu
tersenyum.

"Halo, Tante."

Sapaan ceria dengan suara khas anak kecil yang begitu


menggemaskan, membuat Joana melebarkan senyuman dan bangkit
dari duduknya mendekati Alta.

"Hai, Sayang." Joana merendahkan tubuh, mengulurkan tangan untuk


dijabat dan dicium Alta. "Ini Tante Jo," katanya sembari menunjuk
dadanya sendiri.

Alta mengangguk pelan. "Tante Jo cantik, kayak Mama."

"Aw, makasih." Gemas, Joana mencubit pipi Alta. "Ganteng banget anak
kamu, Tsa," imbuhnya memuji. Dia menegakkan berdirinya untuk
menatap Tsamara yang berdiri bersisian dengan Ghaly. Dia kemudian
mendecap lirih, Ghaly selalu tahu untuk memanfaatkan dirinya.

Selagi Ghaly dan Tsamara menjemput Alta, ia yang diminta datang ke


restoran lebih dulu dan memesan makanan. Katanya, biar Alta enggak
terlalu lama menunggu makan malamnya jadi, dan tidak pulang terlalu
malam.

Kebetulan restoran yang Joana pilih, dan disetujui Tsamara letaknya


tidak jauh dari apartemen Tsamara.

"Karena aku ibunya, jelas dia harus setampan itu," kata Tsamara lirih
setengah bercanda, dan sedikit mengedipkan sebelah matanya. Dia
sudah mengatakan pada Joana untuk tidak membuka fakta tentang
siapa Alta yang sesungguhnya pada Ghaly. Dia tetap akan memegang
ego-nya untuk tidak memberitahu Ghaly.

Joana tertawa pelan, baru kemudian menyapa Fanny dan memeluk


perempuan itu. Dia tidak cukup mengenal Fanny, namun tahu jika
Tsamara memiliki adik tak kalah cantik.

"Alta mau duduk dekat Om Ghaly."

Alta bersuara saat Tsamara menarik salah satu kursi dan bersiap
mengangkat tubuh mungil sang putra untuk didudukkan.

Tsamara melirik Ghaly yang tidak jadi mengambil duduk di seberang


meja.

"Tentu saja Alta bisa duduk di dekat Om," kata lelaki itu dengan
senyuman terulas lebar. Ghaly pun mengangkat Alta untuk duduk di
kursi, ia berada di sisi kanan Alta, dan Tsamara di sisi kiri bocah itu.

Pemandangan itu begitu membuat takjub Joana yang baru kali ini
melihat kedekatan Alta dan Ghaly. Perempuan itu semakin tidak bisa
berkomentar saat sepanjang acara makan, Ghaly dan Alta tampak sibuk
dengan dunia mereka.

Mulai dari Ghaly yang mengiriskan daging untuk Alta, membantu


mengambilkan menu makanan apa pun yang Alta inginkan, bahkan
mengusap bibir bocah itu jika ada makanan yang menempel.

Malam ini, Tsamara hanya berperan sebagai pajangan. Karena sedikit-


sedikit, Alta akan memanggil Ghaly.

"Om Ghaly."

Nah, seperti sekarang ini. Alta sudah menghabiskan semua makanan di


piringnya, entah apa lagi yang diinginkan, membuat tiga perempuan di
meja itu terus saja mengamati. Apalagi saat tangan kanan Alta
melambai ke arah Ghaly, meminta lelaki itu mendekat. Semakin awas
saja tiga pasang mata lain di meja itu.

"Alta ingin es krim, Om, boleh?" bisik Alta lirih.

Ghaly tersenyum geli mendengar bisik-bisik Alta yang seolah begitu


rahasia. "Boleh," jawab Ghaly tidak kalah lirih. Dan senyumnya semakin
lebar saat bocah tampan yang berbisik di dekatnya itu menampilkan
wajah teramat bahagia.

"Tapi, jangan bilang Mama, ya," imbuh Alta masih berbisik amat lirih.

"Oke." Ghaly mengangguk mantap, dengan ibu jari tangan kanannya


terangkat. "Nanti Om belikan es krim paling enak buat Alta."

"Alta minta dua, ya, Om. Satu buat dibawa pulang."

Ghaly mengusap puncak kepala Alta penuh sayang dan bangga. Bocah
tampan di sampingnya ini memang luar biasa pintar. "Iya, Sayang."

Di sisi lain, Tsamara yang curiga dengan obrolan dua laki-laki berbeda
usia itu, segera saja bertanya, "Alta lagi ngomongin apa sama Om
Ghaly?"

Ghaly sudah akan menjawab, namun Alta lebih dulu bersuara dengan
kepolosan level tinggi.

"Alta minta belikan es krim sama Om Ghaly. Eh, lupa, enggak boleh
bilang Mama," kata Alta dengan suaranya yang ceria, sambil menutup
mulutnya dengan tangan seolah menyesali keceplosannya.

Reaksi berikutnya yang semua orang di meja itu berikan adalah tawa
geli. Tidak kuasa melihat tingkah Alta yang amat menggemaskan.

Tsamara melirik Ghaly dengan tatapan menghujam. Seolah mengatakan


pada lelaki itu untuk tidak mengajari putranya hal yang tidak-tidak.

"Hanya es krim, boleh, kan, Tsa? Enggak banyak, kok," kata Ghaly
seraya melempar sorot mata penuh pengertian.

"Boleh, ya, Ma." Alta tidak tinggal diam. Berusaha mendapat izin dari
sang ibu.

Dengan hela napas mengiringi, Tsamara mengangguk pelan,


memberikan izin. "Hanya satu, ya," pesannya. Yang tetap mendapat
seruan kebahagiaan dari sang putra.

Ghaly bergerak cepat dengan memanggil salah satu pelayan, dan mulai
membuka buku menu yang menampilkan beragam es krim. "Alta suka
yang mana?"
"Alta mau yang stroberi," tunjuk Alta pada salah satu gambar es krim
berwarna putih dan merah muda yang di atasnya dihiasi stroberi.

Ghaly mengiakan, menyebutkan pesanan Alta. Dia kemudian


mendongak, menatap tiga perempuan di sana. "Kalian mau es krim
juga? Pesan aja."

Joana dan Fanny mengangguk antusias. Dan segera turut memesan.


Berbeda dengan Tsamara yang menolak tawaran Ghaly.

"Kamu yakin, enggak mau, Tsa?" tanya Ghaly.

"Enggak, saya udah kenyang," tolak Tsamara halus.

Ghaly tidak memaksa. Dia kembali fokus pada Alta yang kali ini mulai
bercerita padanya tentang sekolahnya, hingga dering ponsel yang ia
simpan di saku celana terdengar berdering. "Alta, Om angkat telepon
dulu, ya," kata Ghaly sambil menunjukkan ponselnya yang berdering
dan bangkit dari duduknya.

"Alta ikut, Om." Alta turut serta turun dari duduknya, cekatan
menggandeng Ghaly.

"Aku ke depan sama Alta, ya, Tsa. Bentaran, kok," pamit Ghaly yang
dibalas anggukan dari Tsamara.

Setelah Ghaly dan Alta menjauh, Joana segera mencondongkan


tubuhnya ke arah Tsamara. Dia berucap, mengutarakan kecurigaannya.
"Tsa, kamu yakin Ghaly enggak mengetahui kalau Alta anaknya. Melihat
bagaimana Ghaly yang begitu perhatian sama Alta, aku sangsi untuk
itu."

***
Sepanjang perjalanan menuju apartemennya, entah berapa kali
Tsamara melirik Ghaly di sampingnya yang fokus pada kemudi dan
jalanan. Ucapan Joana tentang kemungkinan Ghaly sudah menyadari
siapa Alta terus saja membayang di benaknya.

Sebelumnya ia tidak memikirkan kemungkinan itu sama sekali.

"Apa malam ini wajahku bertambah tampan berkali lipat?" Ghaly melirik
Tsamara dengan senyuman menggoda.
"Huh?" Tsamara berkedip, sedikit salah tingkah. Tidak menyangka
dirinya akan tertangkap basah begitu.

"Sejak tadi kamu terus menatapku." Jelas Ghaly.

Tsamara menelan ludah. "Tidak," sangkalnya pasti. "Saya hanya melihat


jalanan di samping Bapak," kilahnya meyakinkan.

Ghaly terkekeh pelan. "Aku selalu suka caramu berbohong."

"Saya tidak menatap Bapak sedari tadi," ucap Tsamara, masih berusaha
menjelaskan, bersamaan dengan mobil yang berhenti di depan lobi
apartemen. "Terima kasih untuk makan malamnya dan sudah mengantar
kami pulang." Dia kemudian membuka pintu mobil dan segera turun,
untuk kemudian mengangkat Alta yang duduk di kursi belakang bersama
Fanny. Sedangkan Joana pulang sendiri, menolak diantar pulang oleh
Ghaly.

"Aku antar ke dalam," tawar Ghaly, menyejajari berdirinya Tsamara.

"Tidak perlu, Pak. Kami bisa sendiri," tolak Tsamara yakin. Dia sudah
akan melanjutkan ucapan untuk meminta Ghaly segera pergi, namun
teriakan Alta yang memanggil seseorang mengurungkan niatnya.

"Om Leo."

Dari arah kanan, Leo tampak berjalan sendiri dengan menenteng


kantong belanjaan.

"Kalian habis dari mana?" tanya Leo, setibanya ia di dekat Tsamara dan
Alta—yang menyambut kedatangannya dengan suka cita. "Aku ke
apartemen kalian tadi, dan sepi."

"Ah, iya, maaf, lupa enggak kasih tahu kamu kalau kita makan malam
sama Ghaly. kupikir kamu masih di Bandung," ucap Tsamara. Karena
satu minggu kemarin, Leo memang ada proyek di Bandung. Mendesain
ulang sebuah gedung pertemuan.

"Aku balik sore tadi," jawab Leo, kaku.

Tsamara segera memberi tatapan waspada, terlebih saat ia menemukan


raut wajah Ghaly yang tidak suka akan kehadiran Leo. Begitu pun
dengan Leo yang masih tidak bersahabat. Membuat suasana di sekitar
mereka berubah amat canggung. "Fan, kamu ajak Alta masuk dulu, ya,
sama Leo."

Sesuai titah dari Tsamara, Fanny segera mengajak Alta masuk lebih
dulu dengan tidak lupa menggandeng Leo.

"Leo tinggal di sini?" tanya Ghaly menebak. Tatapannya tidak lepas dari
Alta yang menjauh darinya, diiringi dengan lambaian tangan. Padahal ia
yang ingin mengantar Alta sampai ke tempat tidur.

"Leo memang tinggal di sini."

"Apa?" Ghaly segera menoleh ke arah Tsamara dengan tatapan


terkejutnya. Sejujurnya ia ingin Tsamara menyangkal tanyanya. Apa
mungkin mereka tinggal satu apartemen? Tanya itu tidak mampu Ghaly
suarakan.

"Apartemen Leo berada satu lantai di atas apartemenku." Tsamara tidak


tahu, apa tujuannya menjelaskan hal tidak penting itu.

Ghaly mendesahkan napas begitu lega. Tidak peduli dengan tatapan


Tsamara yang penuh tanda tanya karena responnya barusan. "Kamu
masuk sekarang, gih. Dan usir Leo, jangan terlalu lama main di
apartemen kamu," perintah Ghaly.

Lelaki itu sudah cukup bahagia hanya karena mendapati Tsamara dan
Leo tidak tinggal bersama.

***
Bab 26

"Ghaly."

Seruan seseorang yang menyebut nama Ghaly, membuat langkah


Tsamara terhenti. Bersamaan dengan Ghaly, ia menoleh ke asal suara,
dan menemukan seorang perempuan cantik mengenakan sweater
kebesaran dengan panjang mencapai pahanya yang terbuka.

"Kamu di sini? Kenapa enggak bilang? Tante Marta nyuruh kamu


menemui aku?" tanya Elsa ceria dengan berondongan pertanyaan.

Tsamara mengerutkan kening, dia menatap bergantian pada Elsa—


tetangga apartemennya dan Ghaly. Ada nama mantan mertuanya
disebut diucapkan Elsa barusan, membuat Tsamara cukup mengerti jika
Ghaly dan Elsa saling mengenal. Sadar akan posisinya, Tsamara segera
menjauh, melanjutkan langkahnya yang tertunda.

"Astaga, aku enggak nyangka kalau kamu akan mencariku seperti ini.
Kalau kamu rindu, aku bisa kapan saja mampir ke kantormu," ucap Elsa
lagi, dengan kepercayaan diri tingkat tinggi.

Bukannya membalas ucapan Elsa, Ghaly justru menatap punggung


Tsamara yang mulai menjauh darinya, dan berseru, "Tsa, besok pagi
aku jemput, ya. Sekalian kita ketemu klien."

Dengan hela napas mengiringi, Tsamara yang tidak ingin berurusan


lebih lama dengan Ghaly dan Elsa segera membalik badan dan
mengangguk. "Baik, Pak. Saya pamit sekarang, selamat malam,"
katanya sopan. Tidak ada cara lain untuk mengakhiri pembicaraan
dengan Ghaly selain menyanggupi ucapan lelaki itu.

"Tsa?" Elsa berkedip, menatap perempuan yang ia tahu tetangga


apartemennya. "Ghaly, kamu kenal dengan Tsamara?"

"Dia sekretaris saya," jawab Ghaly singkat.

"Apa? Kenapa bisa? Dia sudah memiliki anak tanpa status. Kalau
orang-orang di luar tahu tentang Tsamara, bukankah akan merusak
citramu," Elsa berucap panjang, tidak percaya jika selama ini
tetangganya sendiri bekerja dengan Ghaly.
Ghaly mengeraskan rahangnya. "Itu bukan urusan kamu. Dan berhenti
membicarakan seseorang, jika kamu tidak cukup mengenalnya." Selesai
mengatakan itu, dia segera berbalik hendak memasuki mobilnya.

"Ghaly, jangan pergi dulu, kita bisa ngopi sambil ngobrol." Elsa
memburu, menahan lengan Ghaly yang membuka pintu mobil. "Atau
kamu bisa mampir ke apartemenku dan menginap. Kita bisa
menghabiskan malam—"

"Lepaskan. Saya tidak suka membuang-buang waktu," kata Ghaly


tajam, sembari mengibaskan tangan Elsa di lengannya. Setelah berhasil
lepas, seperti yang ia bilang, tidak membuang-buang waktu, ia segera
melajukan mobilnya menjauh.

Elsa berdecak kesal dengan tatapan yang terus terarah pada mobil
Ghaly yang perlahan menghilang dari pandangan. Dia tidak menyangka
bisa bertemu Ghaly di gedung apartemennya, dan semakin tidak
percaya saat tahu jika tetangganya adalah sekretaris Ghaly.

"Tsamara," gumam Elsa lirih, dengan langkah terayun mantap memasuki


apartemen. Dia harus bicara dengan Tsamara. Harus dia pastikan
Tsamara tidak berbicara yang buruk-buruk tentangnya pada Ghaly.

Dan ia mengumpat lirih saat mengingat berapa kali Tsamara tanpa


sengaja melihat dia memasukkan seorang lelaki ke kamar
apartemennya.

Dengan tidak sabar, Elsa memencet bel apartemen Tsamara. Rasanya


ia ingin mendobrak pintu itu karena tidak kunjung terbuka.

"Tsa, kita harus bicara," katanya langsung, saat pintu terbuka dan
menampilkan Tsamara di baliknya.

Tsamara mengernyit. "Saya merasa tidak ada hal yang harus


dibicarakan." Dia yakin sekali, intensitas obrolannya dengan Elsa begitu
minim.

"Kamu sekretarisnya Ghaly, bukan? Kenapa tidak bilang padaku?" Elsa


tidak peduli jika sambutan yang Tsamara berikan tidak bersahabat sama
sekali.
Untuk kali ini, Tsamara mengulas senyuman samar. "Pekerjaan saya
tidak penting untuk dikabarkan pada siapa saja."

Elsa mendesis. "Oke. Tapi ingat baik-baik, jangan menggoda Ghaly.


Jangan jadikan status kamu yang single parent untuk menarik perhatian
dan simpati Ghaly."

"Saya bekerja jadi sekretaris, bukan penggoda," tandas Tsamara,


semakin menunjukkan ketidaksukaannya pada Elsa. Semenjak
perempuan itu mengatakan yang tidak-tidak tentang Alta, semenjak itu
pula, Tsamara tidak berminat untuk akrab dengan tetangga
apartemennya.

Senyuman sinis mencemooh, terulas di bibir Elsa. "Enggak menutup


kemungkinan kamu akan manfaatkan situasi kamu untuk mengambil
keuntungan dari Ghaly. Lagipula itu enggak akan berhasil, karena aku
dan Ghaly sudah bertunangan. Dia enggak mungkin tergoda pada
perempuan berumur yang tidak seseksi aku."

Rahang Tsamara hampir terjatuh mendengar penuturan Elsa. Dia sebal


sekali, bukan karena kenyataan Ghaly yang bertunangan dengan Elsa,
tapi cemoohan perempuan itu. Sialan. Tsamara merasa ingin sekali
menggenggam serumpun rambut Elsa dan ia hentakkan keras-keras.

"Satu lagi, kalau kamu berani mengadu pada Ghaly yang tidak-tidak
tentangku, kamu akan merasakan akibatnya," ancam Elsa.

Tsamara mengedikkan bahu. "Mengadu tentang kamu yang hobi tidur


dengan lelaki manapun di saat sudah bertunangan?" tantangnya.
Merasa senang karena respon yang diberikan Elsa adalah geraman
jengkel. "Saya tidak suka mencampuri urusan orang lain, kamu tidak
perlu mengancam saya," tandasnya. Tanpa menunggu balasan, ia
segera menutup pintu apartemennya di depan wajah Elsa. Dan tertawa
sumbang setelahnya.

Ghaly dengan perempuan seperti Elsa, ia masih tidak habis pikir.

"Siapa, Tsa?"

Tsamara menatap Leo yang berdiri di dekat pintu dapur. "Bukan hal
penting, hanya perempuan yang khawatir tunangannya digoda orang."
"Ha?" Leo mengedip, tidak mengerti. Namun tidak memperpanjang
obrolan. Memilih kembali ke dapur diikuti Tsamara. Di meja makan
sudah ada Fanny dan Alta yang menyantap martabak telur.

"Wah, Mama ketinggalan, martabaknya pasti udah dihabisin tante


Fanny," Tsamara berkelakar, yang disambut tawa oleh Leo dan Alta,
namun bibir cemberut dari Fanny.

Saat Tsamara mengambil duduk di samping Alta, putra manis


kesayangannya itu menyodorkan piring berisi empat potong martabak,
diiringi satu bisikan menggemaskan, yang membuat ruang makan
ukuran minimalis itu begitu hangat.

"Buat Mama, Alta yang simpenin. Tapi, nanti Alta minta lagi, ya."

***
Tsamara menunggu kedatangan Ghaly di depan lobi apartemennya
dengan sesekali melirik arlojinya. Sudah lima belas menit dia berada di
sana, namun sang bos tak juga menunjukkan tanda-tanda kedatangan.
Harusnya ia menolak saja saat Ghaly ingin menjemputnya, mereka bisa
bertemu di kantor saja, baru setelahnya berangkat bersama untuk
meeting.

Fanny dan Alta sudah berangkat bersama Leo, dengan sejuta kata
bahwa ia akan baik-baik saja ditinggal sendirian.

Saat Tsamara mendongak dan melirik ke arah kedatangan, ia sedikit


mendesah lega menemukan mobil Ghaly meluncur mulus ke arahnya.

"Maaf, kesiangan. Aku mampir beli sarapan dulu," sambut Ghaly, saat
Tsamara berhasil mengambil duduk di sampingnya.

"Bapak belum sarapan?" tanya Tsamara melirik kursi belakang dan


menemukan bungkusan di sana.

"Sudah. Itu buat kamu." Ghaly melirik sesaat ke arah Tsamara dengan
senyuman mengulas di bibirnya.

Tsamara menunduk menatap tasnya yang ia simpan di pangkuan.


Harusnya, Ghaly tidak sebaik ini padanya. "Saya sudah sarapan,"
katanya.
Ghaly menahan mati-matian jemari tangan kanannya untuk tidak terulur
menggenggam jemari Tsamara di pangkuan. Sebenarnya ia masih tidak
percaya, jika perempuan itu akan menyetujui idenya untuk ke kantor
bersama. Dia sangat bahagia. Benar-benar bahagia.

"Itu makanan kesukaan kamu, dari restoran langganan kita dulu," Ghaly
meloloskan kalimat itu dengan sedemikian ringan.

Sejak makan malam bersama Tsamara dan Alta di tenda pinggir jalan,
keinginan Ghaly untuk menciptakan satu kesempatan lagi dengan
Tsamara kian besar. Dia meluruhkan segala prasangka buruk dan masa
lalu yang tidak ingin ia ingat lagi.

Menemukan Tsamara kembali, seperti menemukan lem perekat untuk


puing-puing hatinya yang berserak. Memang perempuan itu yang telah
menghancurkan hatinya, namun hanya Tsamara pula yang mampu
menyatukannya kembali seperti semula.

Tsamara memejamkan mata, menelan ludahnya kasar. Dia semakin


yakin motif di balik semua perlakuan baik Ghaly, dan singgungan
tentang masa lalu. Berbeda dari saat ia bertemu Ghaly pertama kali di
kantor asuransi, di mana ia menemukan kebencian begitu besar di mata
lelaki itu. Maka kini, yang Tsamara temukan di mata Ghaly adalah
sebuah pengertian.

Segala sikap menyebalkan yang lelaki itu lakukan hanyalah satu usaha
untuk menutupi serapuh apa perasaannya.

"Aku akan hancur kalau kamu meninggalkanku, Tsa. Dan aku akan
membenci diriku sendiri karena melepaskanmu. Semua yang kita lalui
tidak pernah mudah sedari dulu. Dan kita bertahan, karena kamu begitu
berharga untukku. Di dalam kehidupanku."

Tsamara mengeratkan kepalan tangannya saat mengingat kalimat


penuh janji dari Ghaly di masa lalu. Dia segera menghempas nostalgia
sendu itu dengan kenyataan jika Ghaly telah bertunangan dengan
perempuan lain.

Jika ia melonggar pada Ghaly itu sama saja dia memberi kesempatan
pada hatinya untuk terluka sekali lagi.

"Bapak seharusnya tidak sebaik ini pada saya. Harusnya Bapak


menghargai tunangan Bapak yang setia menunggu."
"Tunangan?" Ghaly terkejut, menoleh serentak ke arah Tsamara.

Tsamara mengangguk. "Elsa tunangan Bapak. Dan jika diingat, kenapa


Bapak harus membebani saya dengan sebutan palsu di pesta minggu
lalu jika sudah memiliki tunangan?"

Ghaly tertawa. "Dia bukan tunangan aku. Jangan ngaco, Tsa. Memang
siapa yang bilang?" tanyanya. Sebelum Tsamara menjawab, dia sudah
lebih dulu menyimpulkan. "Elsa, ya?" Kemudian ia menggeleng. "Mami
yang merencanakannya. Tentu saja aku tidak peduli dan tidak setuju.
Lalu untuk sebutan palsu—katamu, aku ingin itu menjadi nyata. Tidak
bisa, kah?"

"Tidak bisa, tentu saja." Tandas Tsamara. "Perempuan yang cocok untuk
Bapak Ghaly Badrayudha adalah yang secantik dan seseksi Elsa, dan
yang jelas satu kelas dengan keluarga Bapak," sindirnya, terlalu berani.

Beberapa saat hening dibiarkan menggantung di tengah-tengah mereka,


sebelum Ghaly melirih dengan sejuta pengharapan di dada.
"Sayangnya, cuma kamu yang selalu aku inginkan, Tsa. Tidak dengan
yang lain."

***
Bab 27

"Mama, Alta boleh main perosotan?"

"Boleh, dong. Hati-hati, ya, mainnya," pesan Tsamara pada sang putra
yang segera dibalas anggukan ceria.
Bocah tampan yang sore ini mengenakan celana jeans sebatas lutut dan
kaus putih bergambar kapal itu segera berlari menuju perosotan.

Tsamara memperhatikannya dari kejauhan, duduk di salah satu kursi


taman. Mereka sedang berada di taman komplek apartemen hanya
berdua saja, karena Fanny memilih tinggal di apartemen. Ingin membuat
kue, katanya.

Perempuan itu membalas lambaian tangan Alta yang tampak senang


meski hanya bermain sendiri. Ini Rabu sore, sudah pukul 5 lewat 5
menit, dan wajar saja jika taman apartemen sudah cukup sepi. Biasanya
taman ini akan ramai setiap akhir pekan.

Sembari memperhatikan sang putra, Tsamara membuka ponselnya,


membaca sederet pesan yang baru masuk. Itu dari Ghaly.

"Alta suka mainan apa, Tsa? Kebetulan aku lagi di toko mainan."

Tsamara tidak langsung membalas, ia kembali mendongak menatap


sang putra yang masih asyik dengan permainannya sendiri. Alta selalu
senang setiap kali bertemu Ghaly. Entah lelaki itu membawa hadiah
untuknya atau tidak. Dan Tsamara sama sekali tidak mengerti mengapa
Alta bisa semudah ini lengket dengan Ghaly.

"Pak Ghaly tidak perlu repot membelikan mainan untuk Alta."

Tsamara mengetikkan balasan dengan cepat. Namun, tidak sampai satu


menit, pesan dari Ghaly kembali masuk.

"Mobil-mobilan kalau begitu."


Hanya desah napas yang Tsamara loloskan. Baginya, Ghaly terlalu
berlebihan memanjakan Alta. Namun, ia tolak pun hanya menciptakan
perhatian-perhatian lain dari lelaki itu.

"Tsamara."

Punggung Tsamara menegak saat mendengar panggilan dari suara


berat yang mirip sekali dengan Ghaly.

"Saya tahu itu kamu, Tsa. Tidak menyangka sore ini saya bertemu
denganmu."

Tsamara merasakan lehernya berubah amat kaku, hingga begitu sulit


digerakkan sekadar menoleh ke asal suara, di mana seseorang tengah
menghampirinya.

"Boleh saya duduk di sini?"

Satu pertanyaan lain membuat Tsamara akhirnya menggerakkan


kepalanya susah payah, mengangguk pelan sembari menoleh ke sisi
kanannya, dan menemukan seorang lelaki paruh baya yang masih
tampak gagah. Joe Badrayudha tidak berubah banyak sejak lima tahun
lalu. Terakhir kali ia bersitatap dengan mantan mertuanya.

Joe mengambil duduk di sisi kanan Tsamara, menyamakannya. Meski ia


tahu perempuan yang pernah menjadi menantunya ini tampak kaku
akan kehadirannya.

"Apa kabar, Tsamara?" tanya Joe ramah, menatap Tsamara begitu


teduh.

Tsamara mengulas senyuman samar. Kemungkinan pertemuan seperti


ini sebenarnya sudah begitu sering melintas di benaknya. Mengingat ia
sudah sedemikian dekat berada di lingkup sosial Ghaly. Bekerja di
kantor lelaki itu dan menjadi sekretarisnya. Hanya saja, selama ini ia
cukup beruntung karena tidak pernah berpapasan dengan Joe. Dan Joe
pun tidak pernah mampir ke ruang kantor Ghaly.

"Hai, Om. Tsa baik. Bagaimana kabar Om?" tanyanya. Berusaha keras
meluruhkan kekakuan yang menyergapnya.

"Sebaik yang kamu lihat sekarang," balas Joe sambil mengedikkan


bahu. "Dan cukup kesal sebenarnya, karena kamu enggak pernah
menyapa saya satu kali pun di kantor, padahal sudah bekerja dengan
Ghaly beberapa pekan."

Tsamara tergeragap. Menyapa Joe memang tidak pernah ia


rencanakan. Karena jujur, Tsamara seolah kehilangan muka di depan
mantan ayah mertuanya ini. Bagaimanapun ia telah melanggar janjinya
pada Joe, untuk bertahan dengan Ghaly.

"Tsa minta maaf, Om," Tsamara melirih penuh sesal.

"Naik 5 lantai dari lantai kantor Ghaly memang jauh sekali, bukan? Saya
maklum untuk itu."

Sindiran halus Joe membuat rasa sesal di wajah Tsamara kian


bertambah. Perempuan itu meremas ponsel di genggaman tangannya.
Joe adalah satu-satunya orang di keluarga Ghaly yang paling terakhir
mengetahui perpisahannya dengan Ghaly.

Saat itu, ayah mertuanya sedang ada perjalanan bisnis ke Jerman.


Tsamara ingat betul ketika kembali ke Indonesia dan mengetahui
perceraiannya dengan Ghaly, Joe memarahi sang putra. Yang tentu
tidak dipedulikan Ghaly sama sekali. Karena keputusan untuk berpisah
itu begitu bulat.

Dan pada Tsamara, entah berapa kali Joe mengutarakan


kekecewaannya.

"Harusnya saya sudah menyadari saat mendengar kabar Joana diganti


dengan sekretaris yang baru, karena saya tahu persis Ghaly bukan
orang yang mudah menerima orang baru sebagai kepercayaannya.
Saya tidak pernah berpikir kemungkinan orang itu adalah kamu. Karena
yang saya dengar setelah perpisahan kalian, kamu kembali ke Yogya."

"Benar Om, saya memang kembali ke Yogya. Dan panjang ceritanya


sampai saya jadi sekretaris Ghaly."

"Kamu dijebak?" tebak Joe, lalu tertawa pelan mendapati Tsamara yang
begitu terkejut.

Tsamara bungkam. Tidak membantah. Karena pada dasarnya, Ghaly


memang menjebak dirinya untuk berada di satu kantor dengan lelaki itu.

"Atau mungkin takdir?" imbuh Joe.


Untuk kali ini, Tsamara membalas dengan satu kalimat lirih. "Mungkin
takdir." Karena hanya dengan jawaban itu ia bisa menerima situasinya
saat ini.

"Tsa," panggil Joe, serius. Namun bersamaan dengan itu seruan anak
kecil terdengar mengudara.

"Mama!" Alta berteriak dengan tangan kanan melambai.

Tsamara menatap sang putra, membalas lambaian tangannya. "Hati-


hati, Sayang," ingatnya sekali lagi. Setelah itu, seolah tersadar, ia
mengedip pelan dan menoleh ke arah Joe.

"Kamu punya anak?" tanya Joe, tertegun beberapa saat menemukan


bocah tampan yang melambai ke arah Tsamara.

"Iya, Om, Tsa punya anak. Namanya Alta."

"Tunggu ... kamu sudah menikah lagi?" Joe terkejut. Dia menatap
Tsamara tidak percaya. Kemudian mendesis kesal. "Dan Ghaly masih
memanfaatkan kamu menjadi tamengnya dengan berpura-pura kalian
bertunangan?"
"Om tahu tentang itu?" tanya Tsamara lirih.

"Ya, beberapa rekan kerja saya mengadu kalau Ghaly sudah


bertunangan. Mereka sedikit kesal karena mengira saya
menyembunyikan kabar itu. Dan mereka menyebut nama Tsamara.
Saya yakin itu adalah kamu. Karena saya tahu, Ghaly akan selalu berlari
ke arahmu."

Tsamara menahan sesak di dadanya. Jika Joe saja bisa mendengar


kabar itu, tidak menutup kemungkinan bahwa mantan ibu mertuanya
pun cepat atau lambat akan mengetahui. "Sebenarnya itu hanya
permainan konyol yang Ghaly buat. Saya tidak menyangka akan
menyebar seperti ini."

Dia lupa, semakin dia terlibat dengan Ghaly, semakin ia terjauh ke


dalam segala hal pelik yang terus mengiringi.

"Astaga, Ghaly. Dia lupa umurnya sudah berapa." Joe menggeleng


pelan. Sadar akan tingkah putra semata wayangnya yang seringkali
memutuskan hal-hal gila untuk kepentingannya sendiri.
"Tsa bisa mengatasinya, kok, Om. Tidak masalah."

Joe menghela nafas begitu panjang. "Jujur saja, Om senang saat tahu
kemungkinan kamu dan Ghaly bisa kembali bersama, berdasarkan
permainan konyol yang Ghaly buat. Tapi, saat tahu kamu sudah
berkeluarga, permainan itu harus segera diakhiri. Saya tidak ingin
tingkah Ghaly justru mengusik kehidupanmu sekarang."

Joe dengan segala kewibawaan dan pengertiannya selalu mampu


membuat Tsamara begitu kagum. Lelaki paruh baya itu sangat berbeda
dengan perangai Ghaly yang ia dapati sekarang. Mengapa Ghaly tidak
menuruni sifat baik itu dari ayahnya.

Sejak dulu, saat ia masih menyandang status sebagai menantu di


keluarga Ghaly, ayah mertuanya inilah salah satu orang yang selalu
mendukung hubungannya dengan Ghaly. Tidak pernah memandang fisik
dan latar belakang keluarganya. Joe menerima dirinya di keluarga besar
dengan lengan terbuka.

"Mama, Alta haus." Alta tiba-tiba datang, menempel di pangkuan


Tsamara. Dengan wajah yang berkeringat.

"Minum pelan-pelan," kata Tsamara setelah membukakan botol air


minum milik Alta. Dia sengaja membawanya dari apartemen. "Sampai
berkeringat begini," imbuhnya sembari mengusap kening Alta dengan
telapak tangannya.

Joe yang melihat Alta dari dekat untuk pertama kali justru tampak
termenung. Dua manik matanya seolah tidak ingin beralih dari wajah
tampan menggemaskan milik bocah laki-laki yang kelihatan begitu
kehausan.

Setelah Alta selesai minum, Tsamara segera memperkenalkan putranya


pada Joe. "Alta, ini Kakek Joe. Ayo salim sama Kakek."

Mendengar sebutan kakek keluar dari bibir Tsamara, membuat Joe


merasa begitu terenyuh. Dia menjabat jemari mungil Alta begitu erat,
setelah mendapat ciuman di punggung tangannya dari bocah tampan
yang terus mengulas senyuman itu, Joe pun mengecup punggung
tangan Alta. "Alta sangat tampan," pujinya. Kali ini mengusap puncak
kepala bocah itu.
Joe kemudian bergeser, memberi ruang lebih lebar antara ia dan
Tsamara. Lalu, ia tepuk bagian kosong di kursi itu. "Alta, sini duduk
dekat Kakek."

Dibantu Tsamara, Alta menaiki kursi dan menyamankan duduknya di


samping kiri Joe. Tsamara menemukan gurat kebahagiaan di wajah Joe.

"Kakek senang bisa bertemu Alta." Joe mengutarakan perasaannya


yang sesungguhnya. "Boleh, Kakek memangku Alta?"

Alta menoleh ke arah Tsamara, dan meminta izin. "Boleh, Mama?"


Ketika sang ibu mengangguk, senyumnya kembali melebar. "Tapi, Alta
berat Kakek," katanya, kembali menatap Joe.

Joe tertawa. "Enggak apa-apa, Kakek kuat, kok."

"Maaf, ya, Om. Kalau Alta lumayan berat."

"Saya justru senang, Tsa. Ini pertama kalinya saya dipanggil Kakek. Itu
benar-benar membahagiakan. Seperti saya memiliki cucu sendiri." Joe
berkedip, melirik Tsamara dengan tatapan penuh keteduhan. "Enggak
apa-apa, kan, saya menganggap Alta cucu saya. Karena bagaimanapun
kita dulu sempat menjadi keluarga."

Alta memang cucu Papi.

Satu kalimat itu tentu hanya berani Tsamara suarakan di dalam hatinya.
"Boleh, kok, Om. Enggak apa-apa. Alta pasti senang punya satu kakek
lagi."

"Kalau lain kali saya ingin bermain dengan Alta, boleh? Tentu saja saya
tidak akan memaksa."

Melihat tatapan pengharapan dan ketulusan di bola mata Joe, Tsamara


tidak akan mampu menolak permintaan lelaki itu, bagaimanapun, dahulu
Joe adalah salah satu orang yang menyayangi dirinya. "Boleh, Om.
Kebetulan kita tinggal di sini, Om bisa kapan saja mampir ke sini."

"Terima kasih, Tsa. Kamu selalu baik."

Setelah itu, Joe sibuk mengobrol dengan Alta, menanyakan hal-hal


sederhana tentang umur Alta, sekolah, dan permainan yang bocah itu
sukai.
Sesekali jawaban Alta membuat Joe dan Tsamara tertawa. Alta selalu
pandai bersikap menggemaskan dan menghibur siapa saja.

Hingga hari mulai gelap, barulah Joe pamit pulang diantar Alta dan
Tsamara sampai ke depan taman. Sopir pribadi Joe sudah menunggu di
samping mobil. Sopir yang sama dengan yang Tsamara kenal dulu.

Alta mengiringi kepergiaan Joe dengan lambaian tangan dan senyuman


terlalu manis.

Pertemuan ini jelas bukan sebuah kebetulan, Tsamara tahu akan itu.

Sama seperti Ghaly yang pandai menciptakan kebetulan-kebetulan itu.


Sejak awal Joe pasti sengaja mendatangi dirinya. Terlebih saat kabar
permainan konyol yang Ghaly dan ia lakukan sampai ke telinga Joe.
Dan kini, Tsamara terusik dengan satu kalimat pengharapan yang
sempat Joe suarakan, tentang kemungkinan ia dan Ghaly kembali
bersama.

Itu mustahil.

Tsamara akan berusaha semampunya untuk tidak merobohkan benteng


pertahanan yang ia bangun begitu kukuh, hanya untuk menerima Ghaly
sekali lagi.

***
Bab 28

Fanny menyerahkan piring kecil berisi sepotong kue bikinannya pada


Tsamara. Dan bertanya, "Mbak kenapa sih, dari tadi banyak diamnya?"

Sejak kembali ke apartemen, beberapa menit sebelum azan maghrib


berkumandang, Tsamara memang lebih banyak diamnya. Padahal, yang
Fanny lihat pada Alta justru sebaliknya. Bocah itu tampak sangat
senang.

"Alta baru saja bertemu kakeknya," ucap Tsamara tanpa melepas


tatapan dari sang putra yang asyik mengunyah kue bikinan Fanny,
hingga cream-nya berantakan di sekitar mulut.

"Apa? Kakek?" Fanny mengambil duduk di samping Tsamara, dengan


satu piring kecil digenggaman.

Tsamara mengangguk. "Ya, di taman tadi, kita bertemu Om Joe,


ayahnya Ghaly."

Fanny menghela napas, menyuap sepotong kue ke dalam mulutnya.


"Lalu, bagaimana reaksi Om Joe ketemu Alta."

"Terlalu bahagia," jawab Tsamara cepat. Lalu mengernyit saat


merasakan kue bikinan Fanny yang lumer di mulutnya. "Fan, kamu
yakin, kue ini bikinan kamu?" tanyanya menggoda.

"Bikinan aku, Mbak. Pasti terlalu enak, ngalahin kue bikinan toko."
Fanny menyikut lengan Tsamara. Tersenyum penuh kebanggaan karena
akhirnya berhasil membuat kue enak, setelah banyak drama
sebelumnya. Dari yang adonan bantat hingga nempel dicetakannya.
Padahal kue bikinannya kali ini pun bukan kue spesial, hanya tart lapis
yang ia hias dengan cream dan stroberi di atasnya.

Sebelum Tsamara menjawab, Alta lebih dulu berseru. "Enak banget,


Tante. Alta mau lagi, boleh?" Bocah itu menunjukkan piring kecil yang
sudah kosong, bahkan sampai ke krim-krimnya pun tidak terlihat.
"Mau berapa? Tante ambilkan." Fanny menawari dengan senyuman
lebar di bibirnya. Merasa senang karena kue bikinannya kali ini berhasil
membuat keponakan manisnya ketagihan.

Alta mengacungkan dua jarinya, namun bibirnya berucap berbeda. "Alta


mau satu," katanya sambil melirik Tsamara. Ibunya selalu mengatakan
untuk tidak mengambil makanan terlalu banyak, jika habis, baru
mengambil lagi.

"Siap, Kapten!" seru Fanny, bergerak cepat mengambil kue pesanan


Alta.

"Terima kasih, Tante," balas Alta senang.

Tsamara mendekati sang putra dengan sesendok kue dan irisan


stroberi. "Alta buka mulutnya," pintanya, dan sang putra menurut.

"Asam," Alta meringis keasaman merasakan stroberi di mulutnya. "Tapi


Alta suka," imbuhnya sambil terus mengunyah. Setelah ia berhasil
menelan semua potongan kue, ia kembali berbicara, "Mama, besok Alta
ketemu lagi sama Kakek Joe?"

"Alta suka sama Kakek Joe?" Tsamara mengusap sudut bibir Alta yang
tertempel krim. Binar bahagia di mata sang putra akan kemungkinan
pertemuan kembali dengan Joe membuat banyak sekali perasaan
menyesaki dadanya.

Sebenarnya, Alta bukan tipe anak yang bisa semudah itu akrab dengan
orang baru, memang sikapnya selalu menggemaskan di depan siapa
pun. Tapi untuk menagih janji pertemuan adalah satu hal yang jarang
sekali Alta lakukan, terhadap orang yang baru ditemuinya.

Joe bersikap begitu perhatian dan tampak sangat nyaman dengan Alta,
pantas saja jika sang putra pun menyukai mantan ayah mertuanya itu.

Alta mengangguk antusias. "Alta suka. Kakek bilang Alta mau


digendong lagi."

"Alta sudah besar, masa digendong terus."

"Tapi, Kakek Joe juga suka gendong Alta."


Tsamara tersenyum, mencubit hidung bangir sang putra. "Kakek Joe
sudah capek sama pekerjaan, jadi kalau besok bertemu Kakek Joe lagi,
Alta jalan sendiri, ya," katanya. Meski Tsamara tidak tahu akan bertemu
dengan Joe kapan. Mantan ayah mertuanya itu adalah orang yang
sibuk, Tsamara tahu betul akan itu.

"Alta janji akan jalan sendiri," Alta berucap mantap. Tersenyum senang
saat Fanny datang dan memberikan kue miliknya.

"Jadi, Alta suka sama kakeknya?" tanya Fanny kepada Tsamara,


sedangkan Alta sudah kembali disibukkan dengan acaranya
menghabiskan kue. Saat Tsamara mengangguk sebagai balasan, dia
kembali bertanya, "Apa Om Joe enggak curiga sama siapa Alta?"

Kunyahan kue di mulut Tsamara terhenti, ia menerawang pertemuannya


dengan Joe sore tadi. Lelaki paruh baya itu tidak mengutarakan
kecurigaannya sama sekali. Justru mengira Tsamara sudah menikah
kembali. Dan ia sama sekali tidak berniat menjelaskan status-nya yang
bertahan single.

"Mbak rasa, Om Joe enggak curiga sama sekali. Hanya saja, dia
langsung suka sama Alta."

Fanny mengedikkan bahu. "Memang siapa yang tidak akan jatuh cinta
sama Alta, Mbak. Bocah itu punya aura memikat yang luar biasa.
Tampan dan menggemaskan banget. Aku yang udah liat tiap hari aja,
jatuh cinta lagi dan lagi," ucapnya berlebihan.
Tsamara terbahak, jika memuji Alta, Fanny memang tidak nanggung-
nanggung. Tinggi banget.

***
Joe Badrayudha memijit pelipisnya sembari memejamkan mata. Dia
mengingat baik-baik pertemuannya dengan Tsamara dan Alta kemarin
sore. Senyum Alta yang begitu manis sungguh mengingatkannya pada
senyuman milik putra semata wayangnya.

Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Joe, ia segera


mendongak dan menemukan Ghaly di balik pintu ruang kantornya yang
membuka.

"Papi memanggilku, kenapa?" tanya Ghaly langsung, dan mengambil


duduk di sofa tepat di depan sang ayah.
"Papi bertemu Tsamara kemarin sore."

Bola mata Ghaly melebar. "Apa? Untuk apa?"

"Memastikan kalau putraku tidak bertindak di luar nalarnya." Joe


mengedikkan bahu.

"Papi berlebihan." Ghaly menggeleng. Ayahnya bergerak terlalu cepat.


Meski ia sama sekali tidak khawatir jika sang ayah melakukan itu.

"Kamu sudah bukan remaja lagi, Ghaly. Berpura-pura bertunangan


dengan Tsamara itu permainan yang sangat konyol. Kamu enggak
memikirkan akibatnya sama sekali."

"Ghaly tidak menyangka Papi sudah mendengar kabar itu."

Joe mendesis, lalu menggeleng pelan. Sama sekali tidak bisa membaca
apa yang sedang putranya pikirkan dan rencanakan. "Papi enggak
pernah mengajarimu untuk merusak rumah tangga siapa pun."

Ghaly mengernyit. "Rumah tangga siapa?"


"Tsamara."

Detik itu Ghaly meledakkan tawa. "Ghaly pikir, Papi sudah mencuri data
diri Tsamara dari kantor Ghaly."

"Itu bukan mencuri, Papi hanya memeriksa biodata sekretaris baru yang
kamu rekrut tiba-tiba."

Senyum Ghaly terukir miring. Ekspresi ayahnya yang tertangkap basah


sungguh sangat menyenangkan untuk ia lihat. "Papi melewatkan status
perkawinan Tsamara. Dia enggak menikah dengan siapa pun, tidak juga
dengan Leo—si berengsek itu." tegas Ghaly kemudian. Ayahnya satu
pemikiran dengannya saat pertama kali bertemu Tsamara. Mengira
perempuan itu telah menikah dengan laki-laki yang telah merusak rumah
tangganya dahulu.

Joe berkedip pelan, menatap mata Ghaly yang kini diselimuti


keseriusan. "Jadi, Tsamara tidak menikah lagi?"

Ghaly menggeleng. "Tidak sama sekali. Ghaly bisa pastikan itu."

"Lalu Alta?"
"Papi bertemu Alta juga?"

Joe mengangguk, kecurigaannya pada Alta seolah membentuk puzzle-


puzzle di kepalanya yang mulai tersusun. "Melihat anak itu
mengingatkan Papi sama masa kecil kamu. Bagaimana ia tersenyum, itu
mirip sekali dengan kamu, Ghaly." Akhirnya ia mengutarakan kecurigaan
yang mengganggunya semalaman ini.

Tubuh Ghaly membeku. Belah bibirnya terkatup rapat-rapat, kehilangan


kata-kata. Dia tidak menyangka sang ayah mengutarakan sedikit
kemiripan yang Alta miliki dengannya.

Apakah senyumannya dengan Alta memang begitu mirip?

Karena Ghaly enggak bisa menilainya sendiri.

***
Tsamara memperhatikan punggung Ghaly yang berdiri di depannya,
tampak serius menjawab panggilan telepon. Lelaki itu sedang
menghadap pada kaca di ruang kantor, yang menyuguhkan
pemandangan siang kota Jakarta. Sedangkan ia duduk manis di sofa,
hendak melaporkan schedule Ghaly untuk satu minggu ini.

Sembari menunggu sang bos menyelesaikan panggilan, Tsamara


membenarkan letak duduknya, begitu tegap. Dan membaca ulang
catatannya. Dia masih bertugas menjadi asisten Ghaly yang menemani
lelaki itu setiap ada agenda kerja di luar kantor. Membawakan tas dan
sesekali jas kerja lelaki itu. Lupakan jabatan yang Ghaly tawarkan
sebelumnya untuk menjadi sekretaris, karena nampaknya posisi itu tidak
akan pernah ia dapatkan sepenuhnya.

Entah, Tsamara harus merasa senang dengan keputusan Ghaly yang


membatalkan kepindahan Joana atau tidak?

Karena pada akhirnya pekerjaannya jadi tidak sibuk-sibuk amat.

"Menunggu lama?"

Pertanyaan tanpa basa-basi itu membuat Tsamara mendongak dan


menggeleng. "Tidak, Pak," jawabnya kalem.
Ghaly kemudian mengambil duduk di depan Tsamara. Memperhatikan
penampilan perempuan itu yang mengenakan blus berwarna coklat susu
berlengan panjang. Kapan Tsamara tidak memakai lengan panjang?

Setelah diingat-ingat sepertinya pakaian favorit Tsamara adalah


berlengan panjang dan rok span dibawah lutut, seringkali juga celana
bahan.

Tsamara berdeham, sadar dirinya sedang diperhatikan. "Jadi, untuk


schedule Bapak—"

"Papi menemui kamu?" tanya Ghaly, memotong ucapan Tsamara. "Papi


enggak bicara yang aneh-aneh padamu, bukan?"

"Secara tidak sengaja kami bertemu. Dan tidak ada pembicaraan aneh-
aneh seperti yang Bapak kira." Tsamara berusaha menjawabnya
dengan begitu tenang. Meski sejujurnya dadanya bergemuruh dipenuhi
banyak sekali kemungkinan. Joe dan Ghaly bisa saja membicarakan
dirinya dan Alta. Dalam banyak hal, Joe adalah yang paling jeli, dan
tidak menutup kemungkinan untuk menyinggung tentang Alta pada
Ghaly. Tsamara mengingat bagaimana ekspresi Joe kemarin sore saat
melihat Alta untuk pertama kali.

Tidak ada tatapan terkejut dan curiga sedikitpun. Tsamara yakin akan
itu.

"Kapan-kapan kita makan malam bersama dengan Papi. Ajak Alta juga."

"Tidak." Tsamara menyambar cepat. Kemudian ia mengedip dan


menelan ludahnya pelan. "Saya tidak ingin merepotkan Pak Joe, dan
Anda."

"Papi pasti senang, tidak seperti yang kamu khawatirkan, Tsa." Ghaly
mengimbuhi kalimatnya dengan bisikan lirih, "Katanya kamu tambah
menawan setelah bertahun-tahun enggak bertemu."

Tsamara terbatuk saat itu juga. Sangat berbeda dengan Ghaly yang
justru tertawa, tampak sangat puas dengan satu kalimat yang ia
suarakan barusan. Meski jelas, ayahnya tidak akan mengatakan itu.
Hingga obrolannya dengan Joe sebelumnya melintas diingatannya.

"Kamu enggak curiga kalau mungkin saja Alta adalah anakmu?"


"Ghaly curiga." Ghaly tertawa getir. Sejak mengetahui Tsamara memiliki
anak, ia bahkan sudah menaruh kecurigaan jika anak itu adalah darah
dagingnya. Dan semakin berharap kebenaran itu benar saat ia melihat
dan memperhatikan Alta. Dia menyimpan segalanya sendiri. Tidak ingin
gegabah. Karena tahu, ia tidak cukup pandai mengatur emosinya. Ia
khawatir justru akan merusak segalanya.

Setiap Ghaly lebih mendekat pada Alta, saat itu juga Ghaly tahu, ia tak
perlu alasan untuk tersenyum. Tidak seperti bertahun-tahun ini, ketika ia
mendekap kegelapan di dalam hidupnya. Dan ia bisa menyimpulkan
satu fakta menyenangkan, bahwa ia semudah itu menyayangi Alta. Dan
ibu bocah itu tentu saja.

Perempuan menawan yang lebih suka mengatupkan bibirnya kesal saat


di hadapan Ghaly.

"Lalu kenapa kamu diam saja?" Joe kembali bertanya bingung. Tidak
habis pikir, kenapa sang putra justru memilih diam selama ini. "Jika Alta
memang anak kamu. Kamu tahu pasti, kamu harus bagaimana? Dia
butuh sosokmu, sebagai ayahnya."

"Enggak semudah itu, Pa."

"Karena Tsamara tidak mengungkap kebenaran, maka kamu diam.


Kamu bisa coba untuk tes DNA, untuk meyakinkan kamu. Jika Tsamara
tidak mengizinkannya, kamu bisa melakukannya diam-diam, Ghaly."

"Ghaly enggak akan melakukan itu." Ghaly menggeleng pelan. Sempat


ia berpikir untuk diam-diam melakukan tes DNA, lalu ia tersadar, dia
cukup egois jika melakukannya. Dia yang telah mendorong Tsamara
menjauh lima tahun lalu. Dia tidak tahu, sekeras apa Tsamara berjuang
untuk berada di titik ini. "Itu akan menyakiti Tsamara." Dan ia tidak ingin
menyakiti Tsamara—lagi. Lebih dari apapun, ia bahkan ingin mendekap
perempuan itu, memastikannya tetap berada di jangkauan lengannya.

Dan saat kesempatan itu kembali hadir, dia berusaha memanfaatkan


sebaik mungkin. Meski ia harus bersikap begitu kekanakan di depan
Tsamara.

Joe tersenyum miring. Harusnya dia tahu, bagaimana sifat putranya


yang sesungguhnya. Dibalik segala keras kepala, Ghaly menyimpan hati
yang lembut. "Jadi, kamu menunggu Tsamara untuk mengungkapnya?"
"Enggak," balas Ghaly, mantap. "Prioritas Ghaly sekarang bukan untuk
mengungkap identitas Alta. Tapi "

"Tapi untuk menikah dengan Tsamara, yang kedua kalinya?" tebak Joe
tepat sasaran. Tawanya mengudara saat sang putra mengangguk yakin.
Ada puluhan kali perempuan cantik dan pintar, juga kaya raya yang
ditawarkan pada Ghaly untuk diperistri, namun berpuluh kali itu juga
Ghaly menolaknya dalam satu kalimat.

Dan tentu saja Ghaly menolak, karena hanya ada Tsamara di dalam hati
putra—bodohnya.

Joe tidak pernah meragukan kemampuan Ghaly dalam banyak bidang.


Tapi tentang hubungan asmara, Ghaly berada di titik terendah.

"Jadi, kalau mungkin Alta bukan anak kamu. Kamu tetap akan menikah
dengan Tsamara?" tanya Joe, sedikit bermain-main dengan perasaaan
putranya.

"Ya. Ghaly tetap akan menikahi Tsamara," jawab Ghaly, dalam satu
tarikan nafas. "Terlepas dari siapa pun Alta, Ghaly pun sudah sangat
menyayangi anak itu." Ghaly tertawa mengingat wajah Alta. "Alta sangat
menggemaskan, bukan?"

"Lebih menggemaskan Alta daripada kamu saat kecil dulu." Joe menjalin
jemarinya di atas pangkuan, menatap Ghaly serius. "Lalu untuk alasan
perceraian kalian dulu, bagaimana? Papi hanya tidak ingin kamu masih
menyimpan amarah akan itu."

Untuk kali ini, Ghaly terdiam cukup lama, sebelum akhirnya ia


menghembuskan napas begitu kasar. Dia cukup benci mengingat alasan
di balik perceraiannya dengan Tsamara. "Ghaly memaafkannya."

"Sungguh?"

"Itu masa lalu."

"Kenapa sekarang kamu bisa memaafkannya, lalu dulu, enggak?" Ada


ratusan kali Joe berusaha bertanya dari hati ke hati pada Ghaly, tentang
alasan perceraian sang putra dengan Tsamara, di masa lalu. Namun
setiap kali ia baru mengungkap tanya, setiap itu juga Ghaly selalu
membutakan mata dan menulikan telinga. Amarah memang lebih mudah
menguasai. "Kalau dulu kamu mau sedikit saja melapangkan dada dan
mendengarkan, kalian enggak akan seperti ini."

Ghaly menyugar rambutnya, lalu menggeleng pelan. "Enggak begitu.


Kalau dulu kita bertahan, aku hanya akan terus menekan Tsamara.
Membawa kesalahan yang dia perbuat. Aku enggak bisa jamin,
tanganku enggak terangkat untuk menyakitinya."

Dipenuhi kabut amarah dan kecemburuan, membuat siapa pun bisa


melakukan apa saja di luar nalarnya. Dan Ghaly menyadari bagaimana
dirinya bisa berbuat senekat itu. Perceraian adalah cara paling cepat
untuk menyelesaikan masalah dan memisahkan diri, di matanya.

Joe menatap kekalutan di wajah sang putra. Tidak ada yang bisa
membaca bagaimana cara berpikir Ghaly. Dan tidak ada yang bisa
mengerti bagaimana perasaan lelaki itu sesungguhnya. Bahkan
termasuk dia, ayahnya sendiri.

"Itu masa lalu, yang sudah seharusnya dilupakan dan dimaafkan." Ghaly
tersenyum getir, berusaha menarik dirinya menjadi begitu dewasa
dengan pemikiran matang. Memutus obrolan tentang masa lalu. "Yang
harus aku lakukan saat ini hanya memperbaikinya. Papi akan merestui
Ghaly buat mengejar Tsamara sekali lagi, bukan?"

"Memang Tsamara masih mau sama kamu?" tanya Joe, menggoda.


Mencoba mencairkan suasana. Padahal dirinya sendiri yang menjadi
biang obrolan kelam barusan.

"Papi." Ghaly merengek seperti anak kecil.

Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali Joe melihat Ghaly begitu


antusias dan bahagia mengejar sesuatu, lebih tepatnya sejak putranya
bercerai dengan Tsamara.

Selama itu, Ghaly menjelma menjadi manusia paling ambisius dan hati
keras seperti batu yang hanya memikirkan uang. Menumpuk kekayaan.
Dan detik ini, ia kembali melihat Ghaly seperti anak lelaki yang butuh
dukungan dan kasih sayang darinya.

"Mau Papi bantu?"

"Sebenarnya, Ghaly enggak butuh bantuan." Ghaly menyimpan kuluman


senyumnya. "Tapi juga enggak menolak."
"Kamu harus nurut sama Papi, kali ini."

Senyum Ghaly mengembang. "Deal."

"Pak Ghaly."

Panggilan lirih dari suara teramat merdu yang mampir di gendang


telinganya, membuat Ghaly mengerjap, tersadar dari lamunan
panjangnya. Dia menemukan Tsamara sedang menatap dirinya penuh
kebingungan.

"Bapak tidak mendengarkan saya?" tanya Tsamara. Dan rasanya ingin


mendecap sebal saat Ghaly menunjukkan ekspresi seperti orang baru
sadar dari koma. Dia sudah bicara panjang lebar, menjelaskan schedule
Ghaly untuk satu minggu ini, namun tidak ada yang didengarkan satu
pun. Astaga, Tsamara yakin mulutnya sudah hampir berbusa karena
bicara terus dari tadi.

Ghaly menelan ludah, melirik Tsamara sekilas dan beralih ke arlojinya.


"Sudah jam makan siang, kita istirahat dulu. Dan schedule-nya taro meja
aja, nanti aku baca."
Tsamara segera bangkit berdiri, menuruti permintaan Ghaly. "Kalau bisa
baca sendiri, ngapain aku repot-repot jelasin sampai berbusa," dia
ngedumel.

"Aku bisa mendengarnya, Tsa." Ghaly tersenyum miring. Entah kenapa


ia tidak merasa kesal walaupun Tsamara ngedumel padanya, justru
terdengar menggemaskan.+

Ah, rasanya jatuh cinta lagi, memang menjengkelkan.

***
Bab 29

"Papi sungguh mengusulkan ide kayak gini?" Ghaly menatap Joe


dengan tatapan takjub dan tidak percaya-nya.

Ghaly sedang menemani Joe sarapan di rumah, karena ibunya sedang


liburan dengan teman-teman arisan ke Bandung untuk beberapa hari.
Dan dia baru saja dibisiki ide cemerlang—kata ayahnya, untuk menarik
perhatian Tsamara. Seperti yang Joe janjikan tempo lalu bahwa ia akan
membantu Ghaly.

"Papi yakin seribu persen, Tsamara akan bersimpati dan kasih kamu
perhatian. Kamu bisa memanfaatkan itu untuk membuat Tsamara jatuh
cinta padamu," kata Joe mantap. Sambil terus menyuap sandwich-nya.

"Tapi, enggak dengan Ghaly yang jatuh dari sepeda." Ghaly memijit
pelipisnya. Sepertinya dia memang keliru menyetujui niat baik ayahnya
untuk membantu dirinya. Joe baru saja mencetuskan ide, bahwa ia
harus nabrak pohon saat sedang bersepeda. Karena kalau pakai
sepeda motor atau mobil, luka-lukanya bisa parah. Jadi, pakai sepeda
biasa saja.

"Loh, kenapa enggak? Kalau kamu luka-luka, Tsamara pasti akan


ngasih perhatian sama kamu. Dan merawat kamu sampai sembuh."

"Memangnya Papi rela aku luka-luka?"

"Sebenarnya, enggak sih, makanya ini pakai sepeda biar lukanya


sedikit."

Ghaly menggeleng untuk satu pemikiran ayahnya yang terlampau polos.


"Tsamara pasti akan ngetawain aku, Pa."

Joe menggoyang jarinya ke udara. "Enggak akan. Tsamara itu berhati


lembut, dia pasti akan langsung datang mengobati kamu."

Masih tidak yakin dengan ide sang ayah, namun Ghaly mencoba
menerima. Ayahnya sudah berupaya membantu dirinya, tidak ada
salahnya mencoba, bukan?
"Lalu nanti kamu tempati rumah kamu dan Tsa."

"Kenapa rumah itu?" kening Ghaly mengernyit.

"Kalau Tsamara datang ke rumah itu, otomatis dia akan teringat dengan
masa lalu kamu dan dia di sana. Itu paling ampuh buat nostalgia dan
bikin hati terenyuh." Masih dengan semangat menggebu, Joe mencoba
meyakinkan putranya yang bebal sekali.

Ghaly tidak langsung membalas ucapan Joe. Dia lebih dulu mengambil
jus jeruknya dan meneguknya. "Papi dapat ide itu dari mana?" tanyanya
penasaran.

"Dari Joana."

Ghaly tersedak saat itu juga. Butuh waktu beberapa saat bagi dia
menangani tersedaknya, sebelum akhirnya menatap Joe dan bertanya.
"Kenapa Joana bisa kasih ide itu?" Dia menggeleng pelan. Pantas saja
ide dari Joe begitu menggelikan karena ada campur tangan Joana. Ah,
sekretaris tidak tahu malu itu pasti memanfaatkan kesempatan ini untuk
mengerjai dan mengejeknya.

"Kita papasan di lobi kemarin, jadi sekalian aja Papi minta saran Joana.
Dia sekretaris yang bisa kamu andalkan. Ide-idenya pasti brilian, kan?"

"Terlalu brilian, sampai bikin malu," decap Ghaly.

"Jangan begitu, Nak. Kamu enggak tahu kalau belum mencobanya."

"Memang Joana bisa tutup mulut dari Tsamara?"

"Harus bisa." Joe mengangguk yakin. "Papi mengancam akan mutasi


dia kerja lapangan."
"Sekalian di pelosok negeri, Pa." kelakar Ghaly. Sebelum kembali
menggumam lirih, "Sebenarnya, kalian mau bantuin atau ngerjain."
Karena kesannya, kok, receh sekali.

***
Sesuai dengan kesepakatan kemarin, setelah menyusun ide matang-
matang demi menarik sedikit perhatian Tsamara. Hari ini, tepat di
Minggu pagi, Joe Badrayudha mengambil perannya sebagai aktor
kawakan yang profesional. Dia tertawa geli membayangkan bagaimana
nanti. Tidak cukup mempercayai diri sendiri, hingga bisa turun tangan
dalam hal menggelikan ini.

Astaga, kenapa dia harus ikut berkorban demi Ghaly.

Keluar dari mobilnya, Joe segera membuka layar ponsel, bersiap


menelepon Tsamara untuk turun dan menemui dirinya. Sembari
menyiapkan materi drama penuh settingan di kepalanya. Beruntungnya,
belum sempat ia menelepon Tsamara, perempuan itu terlihat dari arah
kirinya, bersama Alta, dan satu perempuan lain, tengah menenteng
kantong plastik. Nampaknya mereka habis dari mini market.

"Tsamara!" Joe melambaikan tangan. Membuat langkah ketiga-nya


dipercepat. Terlebih Alta yang berlari kecil ke arahnya. Dia segera
merendahkan tubuh dan membuka lengan, menerima tubuh Alta untuk
ia peluk.

"Kakek Joe," Alta berseru ceria.

"Alta sayang. Hari ini tambah menggemaskan. Bajunya bagus gambar


pesawat." Joe mengusap puncak kepala Alta. Memuji tampilan bocah itu
yang selalu tampil layaknya anak-anak selebritis. Ohh, bukan anak
selebritis, tapi konglomerat. Joe kemudian melepas pelukan dan
menegakkan tubuhnya, menghadap Tsamara. "Tsa, bisa bantu saya,"
katanya dengan nada khawatir dan terburu-buru di level paling atas.

"Om kenapa?" Tsamara bertanya cepat. Raut wajah Joe yang khawatir
menular padanya.
"Ghaly kecelakaan."

Tsamara terkesiap detik itu juga. Merasakan nafasnya seolah berhenti.


"Kecelakaan? Bagaimana keadaannya sekarang?"

"Nah, itu masalahnya, Om harus ke pulau seribu sekarang, enggak bisa


jenguk Ghaly. Ada pertemuan penting dengan rekan kerja. Kamu bisa,
kan, Tsa? Kamu ajak Alta, dan "

"Fanny, Om. Adik saya." Tsamara memperkenalkan Fanny.

Fanny segera maju dan menjabat tangan Joe.

"Maaf, ya, Om lupa. Dulu kamu masih remaja, jadi pangling," kata Joe.
Lalu kembali ke topik yang ia bawa. "Kalian bisa jenguk Ghaly, kan,
menggantikan Om. Maminya Ghaly lagi di Bandung jadi enggak bisa
menemani."

Tsamara dan Fanny saling pandang untuk beberapa saat. Akhirnya,


karena tak ingin membuat Joe kecewa sudah meminta tolong padanya,
Tsamara menganggukkan kepala, menyanggupi permintaan Joe. "Baik,
Om. Tsa akan jenguk Ghaly dan menemaninya sampai Om kembali."

Joe tersenyum semringah. "Terima kasih banyak, Tsa. Om tahu kamu


adalah perempuan baik."

"Jangan sungkan, Om." Tsamara membalas senyum Joe sama tulusnya.


Dia merasa keputusannya cukup tepat. Meski harus mengesampingkan
egonya yang sebenarnya tidak ingin terlibat lebih jauh ke ranah pribadi
kehidupan Ghaly di luar kantor.

"Ya sudah, sekarang kalian langsung naik mobil saja." Perintah Joe,
membuka pintu mobil bagian penumpang, mengangkat Alta untuk naik
lebih dulu disusul dengan Tsamara.

Saat Tsamara sudah menyamankan duduknya, begitu juga dengan


Fanny yang duduk di sebelahnya, dengan Alta di tengah-tengah mereka.
Dia mengernyit menemukan Joe yang bertahan berdiri di luar mobil dan
bahkan menyuruh supir untuk segera jalan.

"Tunggu, Om enggak ikut dengan kami?" tanya Tsamara melongok ke


luar jendela di mana Joe sedang melambaikan tangan.

"Enggak, Tsa. Om minta jemput mobil lain, langsung pergi saja." Joe
menjawab kalem. Lalu ia melirik ke arah sopirnya. "Pak langsung antar
mereka ke rumah Ghaly, jangan mampir-mampir." Perintahnya, sambil
menggerakkan tangan, menyuruh sang sopir segera pergi.

Kernyitan di kening Tsamara semakin dalam. "Eh, ke rumah? Kenapa


enggak langsung ke rumah sakit?" tanyanya lagi saat sopir sudah
menyalakan mobil.

Sambil menahan senyum geli, Joe kembali menjawab pertanyaan


Tsamara. Dia tidak ingin membohongi perempuan itu lebih jauh lagi.
"Tsa, kamu udah janji mau jenguk dan menemani Ghaly, kan?" Saat
Tsamara mengangguk, Joe melanjutkan ucapannya. "Jadi, Ghaly jatuh
dari sepeda, dan lukanya enggak separah itu buat dirawat di rumah
sakit." Dia menjelaskan kondisi Ghaly yang sesungguhnya, dan berhasil
membuat Tsamara mendelik terkejut. "Kamu udah janji sama Om loh,
Tsa," ulangnya sekali lagi.

"Tapi Om—"

Penyangkalan Tsamara dipotong cepat oleh Joe. "Memang cuma jatuh


dari sepeda. Tapi, Ghaly kesakitan. Om titip Ghaly pada kalian, ya."

Lebih tepatnya hati Ghaly yang kesakitan beberapa tahun ini.

Joe paham betul.

Menyerah, akhirnya Tsamara mengangguk. "Kalau begitu kami pamit,


Om," ucapnya untuk terakhir kali. Sebelum akhirnya mobil melaju diiringi
lambaian tangan Joe.

Di dalam mobil, Fanny sudah tergelak tawa karena sedari tadi


mendengar obrolan Tsamara dan Joe. Yang sukses membuat Tsamara
ingin mendengkus kesal dan memukul kepala adiknya.

"Mas Ghaly selalu punya sejuta cara bikin Mba Tsa dan Alta mendekat
padanya."

Dan di dalam mobil itu nampaknya hanya Tsamara yang tidak antusias.
Alta sendiri sudah menjerit kesenangan karena akan bertemu Ghaly.

Pada akhirnya, Tsamara mengulas senyum tipis dan mengusap puncak


kepala sang putra. Dalam hati ia berbisik, "Papamu selalu menyebalkan
sedari dulu, Nak."

***
Tsamara menatap rumah megah di hadapannya dengan begitu banyak
perasaan yang ia sendiri bahkan tidak mampu untuk menjelaskannya.
Bohong rasanya jika ia bilang ia akan baik-baik saja ketika
menginjakkan kakinya kembali di rumah yang menyimpan banyak
kenangan indah di masa lalu. Kenangan indah dan kenangan buruk,
selalu bersisian.

"Mama."

Sentuh lembut jemari kecil di tangannya membuat Tsamara menoleh ke


arah bocah tampan yang berdiri di sebelahnya, dengan senyuman
mengulas di bibir. Alta tampak sangat antusias ketika mobil berhenti dan
segera turun, menginjak ubin pelataran.

"Rumah Om Ghaly besar." Alta memuji, senyumannya melebar hingga


terlihat gigi-giginya yang putih berjejer rapi. Dia kemudian menunjuk ke
taman halaman depan. "Ada air mancur juga, Mama. Alta mau lihat."

Tsamara mengusap puncak kepala sang anak, dan berkata, "Kita jenguk
Om Ghaly dulu, ya."

Seolah tersadarkan akan tujuannya mendatangi rumah Ghaly, Alta


meringis malu. "Oh, iya, Alta lupa."

Rumah Ghaly yang besar dengan halaman depan yang luas, cukup
membuat perhatian Alta teralihkan, belum juga bocah itu melihat
halaman belakang, ada kolam renang cukup besar dan area bermain.
Alta pasti berjingkat kesenangan.

Dengan menggandeng Alta, Tsamara mengayun langkah menuju pintu


depan yang sudah membuka, seolah menyambut kedatangannya. Tidak
heran, karena Ghaly mungkin sudah mengetahui kedatangan mereka.
Belum juga Tsamara mengetuk pintu, seseorang sudah keluar dari arah
dalam dan tampak terkejut saat bertemu tatap dengannya.

"Ya Gusti, Mbak Tsamara."

Tsamara meringis mengenali sosok perempuan paruh baya yang


berseru terkejut menyambut dirinya.

"Apa kabar, Mbak? Bibi enggak nyangka bisa bertemu Mbak Tsa lagi."
Bibi Mur mendekati Tsamara masih dengan raut terkejutnya, namun juga
bahagia.

"Kabar Tsa baik, Bi." Tsamara menyambut uluran tangan Bibi Mur. "Oh,
kenalin, Bi. Ini anak Tsa, namanya Alta," katanya memandang bocah
tampan kesayangannya yang lagi-lagi asyik memperhatikan sekitar.
"Sayang, salim sama Bibi," pintanya pada Alta, menyentuh pipi tembem
bocah itu.

Bibi Mur menyambut uluran tangan Alta, dan memuji, "Anaknya Mbak
Tsa tampan sekali." Dia memperhatikan wajah Alta untuk beberapa saat.

"Dan ini Fanny, Bibi ingat?"


Dulu, meski usia pernikahannya dengan Ghaly singkat, Fanny beberapa
kali berkunjung ke rumahnya, terkadang bersama kedua orang tuanya.
"Ingat banget, Mbak Fanny tambah cantik, enggak berbeda jauh dari
Mbak Tsa."

Tsamara dan Fanny tertawa bersamaan.

Setelah puas memperhatikan ruang tamu yang seingat Tsamara tidak


berbeda jauh dari terakhir kali ia lihat, dia kemudian bertanya, "Ghaly di
mana Bi?"

"Oh, Mas Ghaly di kamar. Bibi antar."

Mereka kemudian mengikuti Bibi Mur ke kamar yang dituju, Tsamara


sedikit mengernyit saat Bibi melewati tangga dan malah terus jalan ke
halaman belakang. "Mas Ghaly menempati kamar di paviliun, Mbak.
Kamar di lantai dua enggak pernah terpakai lagi," jelas Bibi Mur seolah
mengerti dengan tanya yang tidak sempat Tsamara suarakan.

Dan seperti yang Tsamara perkirakan di awal kedatangan tadi, Alta


langsung antusias saat melihat kolam renang.

"Mama, kolam renang." Tunjuk Alta senang. "Alta mau main air, Mama."

Dengan air, Alta sepertinya tidak ada bosannya. Setiap harinya saat
mandi, jika dibiarkan, Alta akan begitu berlama-lama di kamar mandi,
bermain air dan busa.

"Alta lupa, kita ke sini mau ...?"

"Jenguk Om Ghaly." Alta tersenyum dengan ekspresinya yang polos.


"Alta lupa lagi."

Tiba di depan paviliun, Bibi Mur mengetuk pintu. "Mas Ghaly, ada Mbak
Tsa."

Tidak ada sahutan.

"Apa mungkin tertidur," gumam Bibi Mur setelah sekali lagi memanggil,
namun tetap sepi.
"Oh, mungkin tidur, Bi. Enggak apa-apa, jangan dibangunkan dulu," kata
Tsamara. Sebetulnya malah lebih baik Ghaly tertidur, sehingga ia bisa
mempersiapkan diri lebih lama untuk pertemuan mereka di rumah penuh
kenangan ini.

"Bibi bikinkan minum dulu, Mbak."

Tsamara mengangguk. "Makasih ya, Bi. Kita tunggu di pinggir kolam


saja," katanya menunjuk kursi di tepian kolam, tepat di bawah bunga
kamboja.

Alta menggoyang tangan Tsamara. "Mama, enggak jadi ketemu Om


Ghaly?"

"Om Ghaly lagi istirahat, kita tunggu saja, ya." Tsamara mengusap
puncak kepala Alta.

"Jadi, Alta boleh main dulu?"

"Boleh, dong. Tapi, enggak boleh mainan air," kata Tsamara yang
langsung meredupkan binar di mata Alta. Dia tahu persis, Alta begitu
ingin bermain-main di kolam renang yang airnya tampak sangat jernih.
"Alta enggak bawa baju ganti, main ayunan aja, ya." Tunjuknya pada
ayunan besi yang membuat ia mengernyit, detik berikutnya.

Ayunan di sana adalah permintaannya, dahulu, yang mendapat


persetujuan Ghaly tanpa tanya. Di tiang kanan dan kirinya ditumbuhi
bunga menjalar yang jika berbunga sungguh lebat dan tampak sangat
indah.

Dan ia tidak menyangka sampai saat ini ayunan itu masih ada.

Tidak membantah, Alta berjalan menuju ayunan yang Tsamara tunjuk,


dan tampak kesulitan saat ingin menaikinya. Tsamara tertawa. Dia
mendekati Alta dan mengangkat tubuh sang putera untuk duduk di
ayunan.

"Alta pegangan, ya," pintanya saat mulai mengayun sang putera.

Fanny mendekati Tsamara, berdiri di dekat tiang ayunan dan


memainkan bunga di sana. "Mbak yakin, enggak lihat Mas Ghaly dulu.
Mungkin dia jatuh di kamar mandi terus pingsan," celetuknya ringan.
"Huss, ngomongnya." Tsamara mendelik ke arah sang adik yang
meringis.

"Ya, siapa tahu. Mbak cek sana, biar aku jaga Alta."

Tsamara memilih tidak membalas, asyik mengayun sang putera yang


tertawa.

"Mbak, sana lihat dulu. Gimana kalau luka-lukanya emang serius," bujuk
Fanny lagi.

"Dia jatuh dari sepeda," Tsamara menegaskan.

Tidak menyerah, Fanny kembali melontarkan kalimat, "Ya lihat dulu, lah.
Kalau beneran tidur, balik ke sini lagi."

Tsamara mendecap. "Cerewet. Dibayar berapa sama Ghaly?" Dia


menatap sang adik sebal. "Tungguin Alta," ucapnya kemudian, lalu
melenggang ke paviliun, meninggalkan Fanny yang ia yakin tengah
mengukir senyuman penuh kemenangan. Dia tidak habis pikir, Fanny
bisa se-pro ini pada Ghaly.

Ghaly pasti menyuap Fanny dengan kemewahan duniawi yang tidak


bisa ia berikan. Tsamara mendecap sebal saat sadar dengan
ketidakmampuannya itu.

Perempuan itu mengetuk pintu kamar beberapa kali, saat masih tak ada
sahutan, ia berinisiatif membuka pintu. Jujur saja, ia tidak berpikir sama
sekali jika Ghaly jatuh di kamar mandi seperti yang Fanny ucapkan.

Ketika ia berhasil mengungkit daun pintu, Tsamara masuk ke kamar


dengan langkah pelan. Suasana di dalam kamar begitu sepi. Dan ia
mendesah begitu lega detik berikutnya saat menemukan Ghaly tampak
tertidur dalam keadaan duduk, bersandar di kepala ranjang. Di
pangkuan lelaki itu ada tablet yang posisinya terlalu miring hampir
terjatuh, tidak jauh berbeda dengan kepala Ghaly yang terlalu condong
ke tepian ranjang.

Harusnya Tsamara keluar kamar, karena sudah bisa dipastikan Ghaly


memang tertidur. Namun, langkahnya yang seharusnya terayun keluar,
justru mendekati Ghaly. Dia mengambil tablet di pangkuan lelaki itu, lalu
membetulkan letak selimut yang membungkus kaki. Tidak berhenti
sampai di situ, tangan nakal Tsamara justru memegang kepala Ghaly,
memperbaiki letak bantal sandaran.

Kelopak mata yang sedari tadi menutup, membuka perlahan saat sadar
ada sentuhan. Dan bola mata Ghaly langsung melebar saat wajah
Tsamara tertangkap netranya. "Tsa," lirihnya.

Tsamara gugup tiba-tiba, jarak wajahnya dengan Ghaly begitu dekat. Ia


bahkan bisa melihat luka di pelipis lelaki itu, sebuah goresan. Satu
tangannya yang bebas malah bertindak terlalu jauh, terulur dan
menyentuh luka gores itu, lalu mengusapnya lembut. Dia seperti tidak
sadar dengan sentuhan ringan itu.

Saat Ghaly meringis, tatapan Tsamara turun dan bertemu tatap dengan
bola mata Ghaly yang berpendar. "Ini sakit?" tanya Tsamara lirih.

Dia paling lemah saat melihat Ghaly terluka, entah sekecil apa pun itu.
Padahal sebelumnya, saat diberi kabar konyol itu, Tsamara sempat
mendengkus sebal. Namun, pada akhirnya, perasaannya selalu berlari
lebih cepat dari logikanya.

"Lumayan," kata Ghaly. Tangan kirinya terulur menyentuh jemari


Tsamara yang masih bertengger di pelipisnya. Sungguh, ini adalah
pemandangan yang paling indah ketika ia terbangun dari tidurnya.
Pemandangan yang tidak pernah ia lihat bertahun-tahun ini.

Tatapan sendu Tsamara membuat Ghaly begitu bertanya-tanya, apa


yang perempuan itu pikirkan. Terlebih, Tsamara yang bersikap lembut
dan perhatian seperti ini. Apa karena ia sakit? Karena jatuh dari
sepeda?

"Kepentok batu," lirih Ghaly. Tatapannya menjelajah di wajah Tsamara,


dan berhenti di bibir perempuan itu yang tampak begitu merekah hari ini.
Ghaly sangat ingin menciumnya. Dengan berani ia mendekatkan wajah,
hanya beberapa senti untuk bibir mereka bertemu, dan Tsamara yang
tidak menunjukkan penolakan, adalah jawaban untuk melanjutkan niatan
Ghaly.

Lembut bibir Tsamara menyapa bibir Ghaly, mengantarkan sengatan di


dalam dirinya. Desiran darahnya terasa mengalir begitu cepat.

Dia pasti sedang bermimpi, bagaimana bisa ia mencium Tsamara seperti


ini.
Ghaly ingin mencecapnya lebih lama, menggigitnya lembut, namun
mimpi itu harus luruh saat sebuah teriakan menyentak kesadaran
mereka.

"Om Ghaly."

***
Bab 30

Tsamara menegakkan tubuhnya seketika, berkedip linglung. Dia


mengalihkan tatapan ke pintu dan menemukan Alta berlari masuk ke
kamar. Lalu ia menatap Ghaly kembali yang sedikit salah tingkah. Hal
berikutnya yang ia lakukan adalah mengutuk bodoh dirinya sendiri
berulang kali di dalam hati.
Astaga. Apa yang baru saja ia lakukan?

Berciuman dengan mantan suamimu?

Rasanya, Tsamara ingin menangkup wajahnya yang kini memerah. Dia


malu sekali. Sayangnya, tak ada waktu bagi dia untuk membiarkan rasa
malu itu menguasai dirinya lebih banyak lagi. Hadirnya Alta membuat ia
harus bersikap segalanya baik-baik saja.

"Om Ghaly sudah bangun?" tanya Alta. Dia berdiri di sisi ranjang,
sedangkan Tsamara mundur, memberi ruang bagi sang putera untuk
lebih dekat pada Ghaly.

Ghaly mengerjap, melirik Tsamara sebentar sebelum akhirnya mengukir


senyuman pada Alta. "Sudah," katanya. Lalu menepuk sisi ranjangnya.
"Alta nungguin, Om, ya. Duduk dekat Om sini."

Alta naik ke ranjang dan duduk tepat di samping Ghaly, sedangkan


Tsamara duduk di belakang sang putera. Perempuan itu berusaha
menormalkan detak jantungnya yang memburu. Berusaha untuk tidak
menjilat bibirnya atau menyentuhnya.

"Om Ghaly jatuh dari sepeda?" tanya Alta lagi.

Ghaly menatap Alta yang memberi sorot perhatian, lalu beralih melirik
Tsamara yang menahan senyum geli. Sialan. Ribuan kupu-kupu yang
sedari tadi seolah memenuhi perutnya, lenyap seketika karena satu
fakta, tentang ia yang jatuh dari sepeda. Sudah pasti Tsamara
menertawakan dirinya.

"Om Ghaly nangis?"


Pertanyaan selanjutnya dari Alta membuat Tsamara harus
membungkam mulutnya rapat-rapat untuk menahan semburan tawanya.

Ide sang ayah berhasil membuat Ghaly jadi bahan tertawaan.


"Enggak—" Belum sempat Ghaly melisankan kalimat balasan, Alta lebih
dulu menyambar.

"Kata Mama, anak cowok boleh nangis, kok, tapi jangan lama-lama.
Dulu pas Alta diajarin naik sepeda sama Mama juga jatuh, terus nangis,
ya, Ma," kata Alta, menoleh ke arah Tsamara yang mengulas senyum
dan mengangguk. "Tapi, terus dibeliin mobil-mobilan sama Mama. Om
mau dibeliin mobil-mobilan?"

Tsamara mengusap puncak kepala sang putra yang sudah begitu pandai
berbicara. "Om Ghaly sudah besar, enggak main mobil-mobilan,
Sayang."

Alta mengerjap polos. "Kalau sudah besar kenapa jatuh dari sepeda?"

Skak mat. Entah untuk yang keberapa kali lagi Ghaly harus menahan
malu karena ucapan polos bocah usia 4 tahun. Dan Tsamara justru
semakin melebarkan senyuman.

"Alta aja udah pandai naik sepeda, enggak pernah jatuh lagi."

Ghaly merasa, ia sudah tidak punya wajah. Bocah laki-laki


menggemaskan itu kenapa pintar sekali bicara, yang bikin Ghaly
semakin malu saja.

Tsamara berpindah, berhadapan dengan Alta dengan ia menumpu lutut


di lantai. "Sayang," panggilnya lirih. Saat sang putera menoleh dan
mengerjap, ia melanjutkan bicara. "Main lagi, ya, sama Tante Fanny. Om
Ghaly capek, mau istirahat dulu." Dia cukup sadar jika Ghaly sudah
kehilangan muka di depan Alta.

"Om Ghaly enggak bisa main sama Alta?" Bibir Alta cemberut.

Setelah melirik Ghaly yang mengatupkan bibirnya membentuk segaris,


dengan wajah yang sedikit memerah, Tsamara berkata, "Belum, Alta
main sendiri dulu. Nanti kalau Om Ghaly sembuh, main sama Alta lagi."
Alta mengangguk setuju. Dia segera turun dari ranjang dan melenggang
pergi setelah berpamitan.
Seusai Alta keluar, Tsamara tak bisa lagi menahan tawanya. Dia kembali
duduk di tepi ranjang dan menatap Ghaly. "Bapak enggak berkutik di
depan Alta?"

Ghaly menyugar rambutnya. "Anak itu pintar banget bicara."

"Jadi, Bapak nangis atau enggak?" tanya Tsamara menggoda.

"Enggak lah," decap Ghaly.

Tsamara mengangguk-angguk. "Baik. Karena Bapak kelihatannya sudah


baik-baik saja, saya pamit pulang." Dia bangkit dari duduknya. Belum
juga melangkah, lengannya dicekal oleh Ghaly, membuat ia menoleh ke
arah lelaki itu dengan tatapan bingung.

"Jangan pergi," pinta Ghaly sarat permohonan. "Aku ingin kamu tetap di
sini." Dia menjilat bibir bawahnya. Menanti dengan sabar balasan dari
Tsamara. Meski ia cukup tahu, perempuan itu tidak akan mudah
menurut.

"Ada yang Bapak butuhkan?" tanya Tsamara lirih.

Ghaly mengerjap. Dia melirik pintu paviliun yang membuka. "Aku ingin
keluar," katanya. "Tapi, kakiku rada keseleo."

Tsamara melirik kaki Ghaly yang sedari tadi tertutup selimut, lalu ia
menghela napas. "Saya bantu," ucapnya. Dia melepas genggaman
tangan Ghaly untuk beralih memegang lengan atas lelaki itu,
membantunya berdiri. "Bapak benar-benar enggak punya inisiatif lain,"
gumam Tsamara lirih.

"Huh?"

"Keseleo bukankah selalu jadi alasan?"

Seketika ingatan Ghaly terlempar ke beberapa tahun silam, saat ia baru


mengenal Tsamara. Di awal-awal ia mengajak perempuan itu jalan, dia
pun mengalami sedikit insiden yang membuat kakinya terkilir, dan
Tsamara yang merawatnya. Senyum Ghaly mengembang tipis. "Kamu
masih mengingatnya?"

Tsamara termenung sesaat, sebelum akhirnya menguasai diri, dan


mengabaikan pertanyaan Ghaly. Bisa-bisanya ia mengungkit tentang
masa lalu. Hal itu hanya akan membuat tunas-tunas yang ingin ia
pangkas justru semakin bertumbuh.

Dia melirik kaki kanan Ghaly yang sedikit terpincang, sepertinya


memang betulan sakit. Bisa saja kakinya tertimpa sepeda saat jatuh.

Kursi di tepi kolam menjadi tempat tujuan Tsamara, dia mendudukkan


Ghaly di sana. Setelahnya, ia mengambil duduk di kursi lainnya, dan
meraih segelas jus jeruk yang sudah tersaji di meja sampingnya. Hanya
memapah Ghaly dari paviliun yang jaraknya enggak terlalu jauh,
nyatanya cukup membuat ia kelelahan.

Wajar sih, karena Ghaly melingkarkan lengan di bahunya seolah


menumpu semua beban lelaki itu padanya. Ghaly benar-benar pandai
memanfaatkan kesempatan. Tidak pernah berubah sedari dulu. Dan ia
pun sama, membiarkan Ghaly melakukan apa pun yang lelaki itu
inginkan.

"Bapak mau saya ambilkan cemilan lainnya?" tanya Tsamara saat tak
sengaja menangkap Ghaly mendesah setelah melirik camilan di atas
meja.

Di meja hanya terhidang jus, keripik, dan kue-kue manis. Daripada jus,
Ghaly tipe yang suka makan potongan buahnya langsung.

Ghaly menatap Tsamara dan tersenyum, ada perasaan senang yang


menelusup dadanya saat sadar dengan perhatian yang perempuan itu
berikan. "Pengin makan buah," katanya.

Tsamara mengangguk. "Saya ambilkan, sebentar." Dia segera bangkit


dari duduknya, berjalan ke arah dapur.

Senyum Ghaly terus terukir mengiringi punggung Tsamara yang


semakin menjauh, dia kemudian menatap Alta yang asyik bermain
ayunan bersama Fanny. Melihat tawa bocah tampan itu membuat
hatinya menghangat. Dan rumah yang bertahun-tahun sepi, terasa
kembali hidup.

"Om Ghaly."

Seruan Alta dan lambaian tangan dari bocah itu membuat senyum Ghaly
semakin melebar, ia membalas lambaian tangan.
"Alta enggak pengin minum dulu?" tanya Ghaly sedikit keras.

"Alta sudah minum susu," balas bocah itu masih berada di atas ayunan.

Tidak berapa lama, Tsamara kembali dengan membawa sekeranjang


buah beraneka ragam. Ada anggur, jeruk, apel, kelengkeng, dan pisang.
Perempuan itu meletakkan keranjang buah di atas meja.

"Saya bawa semuanya, biar Bapak pilih sendiri."

"Aku mau jeruk."

"Ya, silakan," balas Tsamara, kembali menyamankan duduknya sambil


memperhatikan Alta.

"Enggak dikupasin?" Ghaly mengernyit.


Mendengar ucapan itu, seketika Tsamara menoleh ke arah Ghaly dan
mendesah. "Harus saya yang kupasin? Ini hari libur, loh."

Ghaly mengerjap. "Ya, memang weekend." Saat ia menemukan mata


Tsamara yang menyorotnya seolah menanti sesuatu, ia langsung
tercerahkan. "Ah, kamu mau hari ini dihitung bekerja?"

Dengan wajah datar, Tsamara mengangguk. Tadi, saat ia mengambil


buah, tiba-tiba ia memikirkan bayaran untuk hari ini karena menemani
Ghaly. Itu sudah bisa dihitung bekerja. Ia sungguh tidak ingin terlihat
melakukan semua ini karena memang perhatian pada lelaki itu.

Oh, pokoknya jangan sampai Ghaly tahu jika ia pakai hati.

"Oke. Aku yang akan mentransfer sendiri fee kamu hari ini." Ghaly
menahan kuluman senyum ketika menemukan wajah Tsamara tampak
berbinar. "Aku mau jeruk," katanya lagi.

Tsamara segera mengambil sebutir jeruk dan mengupasnya, lalu


memberikannya pada Ghaly.

"Alta tampak sangat senang di sini," Disela kunyahan jeruk di mulutnya,


Ghaly memperhatikan Alta yang turun dari ayunan dan berjalan ke
tepian kolam, bermain air. "Bagaimana kalau kalian menginap malam
ini?"
Bibir Tsamara yang baru saja terbuka, ingin menegur Alta agar tidak
bermain air, terhenti. Perempuan itu menoleh ke arah Ghaly, "Bapak
bilang apa tadi?"

"Menginap di sini untuk dua malam, Senin pulang."

Belum juga Tsamara memikirkan ucapan Ghaly dan membalasnya, tiba-


tiba ia dikejutkan oleh suara terjatuh di air yang cukup keras.
Perempuan itu hampir menjerit dan berlari ke kolam. Namun, saat
menemukan Alta masih di tepian dan justru Fanny yang berada di
tengah kolam, ia tertawa, disusul Ghaly di sampingnya.
Astaga, Tsamara sudah hampir kehilangan napas kalau yang terjatuh ke
kolam adalah Alta.

"Alta sayang. Mainnya hati-hati," ingat Tsamara pada Alta yang bertahan
di tepian kolam dan tengah melihat Fanny yang malah berenang.

Menemukan seantusias apa Alta memperhatikan Fanny berenang,


membuat Tsamara tak bisa lagi menahan sang putera untuk tidak
bermain air. Bocah tampan itu pasti akan merengek, meminta untuk
diizinkan berenang.

***
Jemari tangan Tsamara terasa sedikit gemetar saat ia mengungkit
handle pintu kamar di lantai dua. Bola matanya berpendar nanar saat
akhirnya pintu itu membuka dan seisi ruang kamar tertangkap netranya.

Kamar yang ia pijaki sekarang adalah kamar tidurnya dengan Ghaly


dahulu, dan segalanya masih sama seperti saat ia tinggalkan dulu.

Seketika itu juga segala hal berkelebat di benaknya, kenangan-


kenangan indah yang tercipta di kamar itu antara ia dan Ghaly, di masa
lalu.

Dengan nafas terhembus berat, Tsamara mengayun langkah memasuki


kamar, berjalan terus ke arah walking closet dan membuka pintunya.
Ghaly bilang, semua barang-barang di kamar itu tidak ada yang
berkurang, termasuk pakaian Tsamara dulu, yang memang sengaja
perempuan itu tinggalkan.

Bukan maksud apa-apa Tsamara sengaja meninggalkannya, melainkan


karena pakaian-pakaian itu dibelikan oleh Ghaly. Ia hanya tidak ingin
semua hal tentang Ghaly terkenang karena memakai pakaian
pemberian lelaki itu.

Meski pada dasarnya, tanpa pakaian-pakaian itu dan hadiah-hadiah dari


Ghaly, Tsamara tetap terjebak pada kenangannya bersama Ghaly
bertahun-tahun ini.
Tidak ingin memikirkan hal-hal lebih jauh lagi, Tsamara membuka lemari,
mengambil beberapa potong baju yang bisa ia dan Fanny gunakan.
Ghaly bilang, ia telah meminta Bibi Mur mencuci beberapa setel
pakaiannya, dan telah disimpan kembali di lemari. Sungguh, lelaki itu
begitu matang mempersiapkan semua skenario-nya.

Pada akhirnya, ia menyerah dengan permintaan Ghaly yang


menginginkannya menginap. Karena lelaki itu sungguh licik dengan
menawari Alta. Alhasil bocah kesayangannya berjingkrak kesenangan
karena akan menginap.

Selesai dengan keperluannya mengambil baju, Tsamara segera keluar


kamar, namun belum juga ia mencapai pintu, tatapannya terpaku pada
sebuah lukisan yang tertempel di dinding. Itu lukisan dirinya dan Ghaly
dalam bentuk goresan pensil. Sebuah oleh-oleh kala ia dan Ghaly
berlibur ke luar negeri dan bertemu pelukis jalanan. Tsamara tertarik
untuk dilukis bersama dengan Ghaly.

Ia tidak menyangka sama sekali jika lukisan itu masih bertengger di


sana, sejak pertama kali ia memasangnya dulu.

"Tsa, pertahananmu memang serapuh kapas," gumam Tsamara lalu


keluar kamar dan menutup pintunya rapat. Pantas Bibi Mur bilang, Ghaly
tidak pernah menempati kamar di lantai dua, karena semua benda di
sana tidak ada yang terbuang. Dan pasti membuat Ghaly semakin
membencinya karena barang-barang tentangnya yang memenuhi kamar
itu.

Saat kembali ke halaman belakang dan menemukan Alta juga Fanny


masih asyik bermain air, Tsamara berkacak pinggang. "Masih belum
naik? Alta, udahan main airnya," Dia melambaikan tangan meminta Alta
mendekat. "Sini sayang, nanti kedinginan."

Ngomong-ngomong, sedari tadi Alta dan Fanny berada di kolam renang.


Dan entah datang dari mana, Bibi Mur menyiapkan bebek apung yang
membuat Alta semakin antusias bermain air. Lagi-lagi Tsamara tidak
terkejut dengan bebek apung, Ghaly pasti sudah menyiapkan segalanya
sebelum membuat drama jatuh dari sepeda. Termasuk membelikan baju
baru untuk Alta yang entah berapa potong, karena ada cukup banyak
kantong belanja yang Bibi Mur berikan padanya tadi. Dan juga setumpuk
baju bersih untuk Alta, baju baru yang sebelumnya telah dicuci.

"Mama, Alta masih mau main air," kata Alta yang mendekati Tsamara di
tepian kolam

"Besok lagi main airnya." Tsamara mengusap wajah basah sang putera.

Alta mengerjap senang. "Besok boleh main air lagi?"

"Boleh, dong, makanya sekarang Alta udahan main airnya."

Tanpa membantah lagi, Alta naik ke daratan yang langsung disambut


lingkaran handuk dari Tsamara.

Dari kejauhan, Ghaly terus memperhatikan Tsamara dan Alta, tanpa


sadar senyumnya terulas tipis. Pemandangan itu terasa begitu
menyenangkan dan menenangkan. Saking asyiknya memperhatikan
Tsamara yang membawa Alta masuk rumah untuk membersihkan diri,
Ghaly tidak menyadari Fanny yang mengambil duduk di kursi
sampingnya dengan handuk melingkari tubuh.

"Diliatin mulu, Mas. Kejar dong, kalau penasaran," celetuk Fanny seraya
mengambil gelas jusnya yang sudah tidak dingin lagi, lalu menyesapnya.

"Maksudnya?" Ghaly menoleh ke arah Fanny yang rambutnya basah


kuyup.

Setelah menghabiskan setengah gelas jus, dan diam beberapa saat,


Fanny berucap, terlalu berani, "Kalau masih sayang, seriusan, dong,
ngejarnya." Dia gemas sendiri dengan tingkah Ghaly yang malu-malu
kucing dan terlalu menahan diri, seperti anak ABG.

"Kamu—" Kening Ghaly mengernyit, tidak menyangka perempuan muda


di hadapannya bisa berucap seringan itu.
"Wajah Mas Ghaly tuh ketebak banget masih menginginkan Mbak Tsa,"
Fanny nyengir. "Sebenarnya aku malas ngomong begini, cuma, ya, coba
lebih gercep gitu loh. Suka, ya, kejar, enggak, ya, jangan sok sokan tarik
ulur enggak jelas."
Oh, kalau Tsamara tahu dia berucap demikian pada Ghaly, sang kakak
pasti akan mengomeli dirinya. Tapi, masa bodoh, deh. Mungkin memang
sudah tugasnya ambil bagian dalam hubungan tarik ulur enggak jelas
yang terjadi antara Ghaly dan Tsamara.

"Kamu setuju kalau Mas balikan sama Tsa?" Ghaly melisankan kalimat
itu tanpa berpikir panjang.

Fanny melebarkan senyumnya, menatap Ghaly penuh goda. "Cie,


ngakuin pengin balikan sama Mbak Tsa." Tawanya kemudian
mengudara, dan ia segera bangkit dari duduknya, melarikan diri.

Melihat Fanny yang melenggang pergi dengan tawa meledeknya, Ghaly


mengetatkan rahang dan mengepalkan tangan.

Sial, dia berhasil jadi bahan ledekan mantan adik iparnya.

Tapi, yang dikatakan Fanny memang ada benarnya juga. Ia tidak


seharusnya menarik ulur perasaan antara ia dan Tsamara.

Mungkin memang sudah waktunya ia mengambil langkah pasti.

Oh, dia sedikit merasa malu karena harus tercerahkan oleh seorang
gadis yang usianya jauh di bawahnya.

***
Bab 31

Tsamara duduk bersandar di sofa, dengan Alta rebah di pangkuannya,


tengah menonton televisi. Ghaly sendiri berada di sofa lainnya,
meluruskan kaki, sedangkan Fanny duduk di atas karpet bulu, bersandar
di kaki sofa.

Seusai makan malam tadi, Alta merengek ingin menonton televisi. Maka,
disinilah mereka berada. Menemani Alta menonton televisi.

"Sepi banget berasa lagi nonton bioskop." Fanny nyeletuk. Padahal


sedari tadi, ia sibuk pegang hape dan berselancar di sosial media.

"Mbak ngantuk," ucap Tsamara, menutup mulutnya yang menguap.

"Baru jam 8, Mbak," kata Fanny. "Alta aja belum tidur," imbuhnya setelah
melirik Alta, dan bocah itu masih betah terjaga.

Tsamara melirik Ghaly yang memegang tabletnya, seharian ini lelaki itu
menemani dan memperhatikan Alta bermain, jadilah baru sekarang
lelaki itu punya waktu memegang tablet.

"Mbak capek seharian jagain dua bocah," gumam Tsamara dengan


tatapan ke layar televisi yang menampilkan acara kartun kesukaan Alta.

"Dua? Lah, aku enggak minta dijagain Mbak. Aku bisa jaga diri sendiri,"
kilah Fanny, meski ia yang awalnya terpeleset di kolam renang lebih
dulu. Bukti dirinya tidak bisa jaga diri sendiri.

"Bukan kamu," balas Tsamara dengan tatapan menghujam pada Ghaly.


Lelaki itu tampak tidak meliriknya sama sekali.

Fanny mengikuti arah pandang Tsamara. "Oh, Mas Ghaly."

Mendengar namanya disebut, Ghaly menoleh. "Kenapa?" tanyanya.

Selagi Tsamara mendengkus lirih, Fanny menghela nafas pelan dan


berucap, "Mbak Tsa capek, katanya jagain dua bocah."
"Oh, besok titipin Bibi aja biar kamu enggak capek, Tsa," balas Ghaly
ringan. "Eh, tunggu, dua bocah? Satu lagi siapa?" tanyanya saat sadar
dengan ucapan Fanny.

"Satunya Mas Ghaly, lah, siapa lagi. Yakin, Mas Ghaly mau dijagain Bibi
Mur?" tanya Fanny menggoda.

Ghaly meringis ke arah Tsamara yang memasang wajah cemberut.


"Enggak, lah. Dijagain Tsa aja."

Tsamara yakin ia sedang tidak meminum apapun, namun ucapan Ghaly


berhasil membuat ia terbatuk. Dia melirik Ghaly dengan tatapan sebal,
berbeda dengan lelaki itu yang mengerling jenaka.

Fanny yang melihat interaksi Ghaly dan Tsamara hanya mampu


menggeleng lemah. Sepertinya memang ia yang harus bertindak untuk
membuat suasana tidak setemaram ini. "Malam-malam enak kali makan
martabak telur," celetuknya.

"Kamu mau?" tanya Ghaly yang dibalas anggukan cepat dari Fanny, lalu
ia menambahi, "Mau pizza juga, atau donat, fried chicken?"

Kali ini bukan Fanny yang membalas antusias, melainkan Alta yang
berseru dan bangun dari rebahannya. "Alta mau pizza, Om."

"Oke. Om pesankan sekarang," kata Ghaly senang karena disambut


antusias oleh Alta. Dia segera membuka aplikasi pesan antar di
ponselnya. "Kalian mau apa lagi?" tawarnya.

"Kopi." Fanny melirik Ghaly dan Tsamara dengan tatapan jenaka


sebelum kembali melanjutkan ucapannya, "Kopi kenangan mantan."
Dan dia tertawa sendiri untuk kalimat yang ia suarakan. Sepertinya ia
memang tidak ada kapoknya mendapat pelototan dari Tsamara.14
"Itu saja, Pak. Jangan ditawari macam-macam lagi." Tsamara bersuara.
Menghardik Fanny yang terus bertingkah.

Selagi menunggu pizza pesanan mereka datang, Alta yang sedari tadi
rebahan menonton tv, duduk di samping Fanny dan bermain lego.

Jangan tanya lego dari mana? Karena lagi-lagi mainan itu sudah
disiapkan oleh Ghaly.
Namun, belum juga pizza yang dinanti Alta datang, dia sudah mengeluh
mengantuk pada Tsamara.

"Mama, Alta ngantuk." Alta bergelayut di kaki Tsamara.

Tsamara mengusap puncak kepala sang putera. "Ayo, Mama antar ke


kamar. Alta tidur dulu." Seharian ini Alta tidak tidur sama sekali,
ditambah renang dan bermain terus. Alhasil jam 8 sudah mengantuk.

"Tapi, Alta pengen makan pizza."

"Nanti Mama simpan pizza punya Alta, atau kita bisa beli besok lagi
sekalian jalan-jalan, mau?" Tsamara memberi penawaran.

Alta mengangguk senang. Dia kemudian mengulurkan dua lengannya ke


arah sang ibu. "Mau digendong."

Tsamara bergerak cepat menyelipkan jemari di ketiak Alta dan


mengangkat tubuh bocah itu dalam sekali hentakan, ia bawa ke dalam
gendongan. "Alta pamit dulu sama Om Ghaly."

Alta menengok ke arah Ghaly dari balik bahu Tsamara, dengan matanya
yang sayu. "Om Ghaly, Alta tidur dulu, ya."

Ghaly melambai dengan senyuman manis menghias di bibirnya.


"Selamat tidur, Sayang." Dia ingin sekali menggantikan Tsamara
menggendong Alta, dan memberi kecupan di kening bocah itu saat
sudah terlelap. Namun semua itu hanya bisa terwujud di dalam angan-
angannya saja.

Setelah berpamitan, Tsamara membawa Alta ke kamar tamu, dan


merebahkan sang putera. Dia turut serta naik ke ranjang, merebahkan
tubuh dengan satu tangan mengusap-usap punggung Alta.

Dengan kelopak mata yang mulai memberat, Tsamara menyamankan


rebahnya, dan ikut jatuh terlelap seperti sang putera.

***
Pukul 11 malam, Tsamara terjaga dari tidurnya. Dia mengerjap beberapa
kali dan melirik ke sisi kirinya. Alta tertidur lelap memeluk guling, dan
ada Fanny di belakang puteranya yang juga sama-sama terlelap. Dia
menyandarkan punggung ke kepala ranjang dan mengecek ponselnya.
Ada pesan dari Leo yang menanyakan keberadaannya. Pesan itu dikirim
dari pukul sembilan.

Fanny pasti sudah memberitahu Leo, karena lelaki itu tidak


memberondongnya dengan pesan atau panggilan.

Kembali meletakkan ponselnya di nakas, Tsamara turun dari ranjang


dan berjalan keluar kamar dengan terus mengusap matanya. Dia
berjalan ke ruang tv, hanya ingin memastikan apakah Ghaly masih di
sana atau tidak.

Layar televisi sudah dimatikan, dan tidak ada tanda-tanda keberadaan


lelaki itu. Namun, bungkus pizza, martabak, dan jajanan lain masih
berserak di atas meja.

Ah, benar, sebelumnya Ghaly memesan pizza, malah ia ketiduran, dan


nampaknya tidak ada yang berani membangunkannya. Dia kemudian
berjalan ke arah dapur hanya untuk mengambil segelas air minum dan
kembali ke ruang tv. Tiba-tiba ia merasa sedikit lapar. Satu potong piza,
lebih dari cukup untuk mengganjal perutnya.

Namun, sesampainya di depan tv, ia justru dikejutkan oleh sosok Ghaly


yang terlelap di atas sofa, bersedekap dada. Lelaki itu tidak memakai
selimut atau selembar kain apa pun. Dia berdecap, bergegas masuk
kembali ke kamarnya setelah meletakkan gelas minumnya ke atas meja.

Tsamara mengambil selimut baru dari lemari dan segera melingkupi


tubuh lelaki itu. Tidur Ghaly tampak begitu lelap, karena lelaki itu tidak
terusik sedikit pun. Dia diam beberapa saat hanya untuk memperhatikan
wajah Ghaly. Setelah cukup puas, karena khawatir Ghaly sadar sedang
diperhatikan, Tsamara segera menjauh. Dia duduk di atas karpet tepat di
depan meja, dan siap menyantap pizza yang tersisa cukup banyak.

Sembari berselancar di media sosial, Tsamara mengunyah pelan-pelan


potongan pizza di mulutnya, berusaha tidak menimbulkan bunyi.
Sayangnya, usahanya untuk sepelan mungkin agar tidak mengusik tidur
Ghaly, gagal ketika suara panggilan seseorang tertangkap gendang
telinganya.

"Tsa."

Tsamara segera menoleh ke arah Ghaly yang sudah terduduk, memeluk


selimut dan menatap dirinya dengan mata sayu bangun tidur.
"Kamu lapar?"

"Sedikit." Tsamara sepenuhnya menghadap ke arah Ghaly. "Kenapa


enggak tidur di kamar?"

"Di kamar mana? Di lantai dua?" Ghaly menggeleng. "Kalau hanya aku
sendirian, aku enggak mau."

Entah apa maksud ucapan Ghaly yang sesungguhnya, karena Tsamara


memilih untuk tidak membalas perihal kamar.

"Aku lapar," gumam Ghaly, tatapannya tampak menunjukkan betapa


inginnya ia menyantap makanan yang sama dengan Tsamara. "Boleh
minta ambilin?"
"Memang tadi enggak makan pizza nya apa?" tanya Tsamara seraya
mengambil kotak pizza dan membawanya mendekat pada Ghaly. Dia
tetap memilih duduk di karpet, sedangkan kotak pizza-nya ia letakkan di
atas sofa di samping Ghaly.

"Makan. Cuma liat kamu makan, jadi pengin lagi," kata Ghaly sembari
mengambil sepotong pizza dan melahapnya. "Alta enggak rewel
tidurnya?"

Tsamara menggeleng. "Enggak. Kalau berada di tempat yang dia sukai


biasanya dia bakalan betah—" ucapan Tsamara menggantung, dia
berkedip saat menemukan senyuman samar di bibir Ghaly, dan sadar
dengan kalimat yang baru ia ucapkan.

"Jadi, Alta betah di sini?"

"Maksud saya—"

"Tsa," potong Ghaly cepat. "Aku senang kalau Alta betah di sini, dan
akan lebih senang lagi jika dia bisa tinggal di sini seterusnya."

Bola mata Tsamara melebar. Menatap Ghaly penuh tanda tanya. "Apa?"

"Kalian bisa tinggal di sini seterusnya," ucap Ghaly, yakin. Keputusan itu
sebenarnya sudah ia buat jauh-jauh hari, meminta Tsamara untuk
menempati rumah ini. Tidak ada maksud terselubung apa pun di
baliknya. "Pada dasarnya, kalau kamu ingat, rumah ini adalah milik
kamu, Tsa."
Bab 32

Tsamara bungkam. Dia ingat betul, rumah ini adalah hadiah pernikahan
mereka dari Ghaly. Sebelum mereka menikah dahulu, Ghaly tinggal di
penthouse super mewah, tapi karena Tsamara mengatakan tinggal di
rumah dengan halaman luas sepertinya lebih menyenangkan, maka
lelaki itu membelikan rumah ini sebagai hadiah. Semua sertifikat tanah
dan rumah bernama dirinya, bahkan dulu, ia yang menyimpan surat
menyurat itu.

"Kalau kamu khawatir aku akan tinggal di sini. Kamu tenang saja, aku
enggak akan tinggal di sini." Ghaly meletakkan potongan pizza sisa
gigitannya ke kotak. "Sejak perpisahan kita, aku enggak pernah tinggal
di sini. Hanya terkadang datang berkunjung dan menginap. Baru
semingguan ini aku bilang sama Bibi Mur buat membersihkan semua
kamar."

Biasanya Bibi Mur hanya datang seminggu dua kali bersama suaminya,
yang tidak lain juru kebun rumahnya, untuk membersihkan rumah. Meski
tidak ia tempati, Ghaly ingin rumah ini tampak selalu bersih dan rapi.

Pada dasarnya, setidak menyenangkan apapun saat ia mendatangi


rumah ini, dan mengingat kebersamaannya dengan Tsamara dahulu, ia
tetap ingin menyimpan sudut kenangan itu di hatinya, di rumah ini.

"Kenapa?" tanya Tsamara setelah menelan ludahnya kasar. Dia tidak


mengira sama sekali Ghaly akan meminta ia tinggal di rumah ini.
Sedangkan di satu sisi, lelaki itu bahkan tidak lagi menempati rumah ini.

Ghaly pasti sangat membenci semua sudut di rumah ini karena hanya
mengingatkan tentang dirinya, dan setumpuk kenangan buruk di masa
lalu.

"Kenapa kamu tidak menjual rumah ini?" tanya Tsamara memperjelas.


"Rumah ini enggak kamu tinggali, menjualnya adalah pilihan tepat."

Ghaly tertawa lirih. Ditatapnya bola Tsamara dengan sejuta perasaan


yang ia sendiri tak mampu untuk mengartikannya. "Berulang kali aku
ingin menjual rumah ini, tapi berulang kali juga aku mengurungkannya.
Entah kenapa, melepas rumah ini begitu berat. Rumah ini satu-satunya
yang tersisa, melepaskannya sama halnya melepas semua kenangan
yang pernah terjadi di sini. Itu terlalu berat untukku."

Bola mata Tsamara berkaca-kaca detik berikutnya, seolah-olah kalimat


yang dilisankan Ghaly, dan perasaan yang terpancar dari tatapan lelaki
itu berhasil menembus hatinya. Dia harus menggigit bibir bawahnya
untuk menahan perasaan yang tiba-tiba naik ke dadanya.

Kenapa Ghaly harus begitu berat melepas semua kenangan di rumah


ini? Kenapa?

"Dan karena lebih dari apa pun, rumah ini hak kamu. Kalau aku
menjualnya, rasanya harga diriku benar-benar tenggelam." Ghaly
mengukir senyuman pedih. "Jadi, tinggal di sini saja. Lebih dekat
dengan kantor, kamu enggak perlu membayar sewa apartemen. Kalau
kamu khawatir tentang biaya perawatan rumah ini atau apa pun, aku
yang akan menanggungnya."

Tsamara menghela napas begitu pelan. "Saya tidak bisa tinggal di sini."

Ghaly mengerjap pelan. "Kenapa? Bukankah Alta suka tinggal di sini?"

"Alta mungkin suka, tapi bukan berarti saya mau tinggal di sini," putus
Tsamara yakin. Yang langsung meredupkan binar di mata Ghaly. Hal itu
entah kenapa membuat hati Tsamara tidak nyaman. Tatapan Ghaly yang
redup sangat mengusik dirinya. Dia harus mengutuk diri sendiri dan
mengingatkan, jika tidak seharusnya ia merasa tidak enak hati hanya
karena menolak tawaran Ghaly. "Saya pamit kembali ke kamar."

Ghaly yang sedari tadi memilih diam, segera mencekal lengan Tsamara.
"Tunggu." Dia gelagapan karena tatapan Tsamara yang tampak menanti
ucapannya selanjutnya. "Aku—bisa buatkan coklat hangat dulu
untukku."

Kening Tsamara mengernyit, sejak kapan Ghaly bisa gugup begini.


"Oke. Bapak tunggu di sini," pintanya, lalu melenggang ke dapur, dan
mulai mencari-cari kotak coklat bubuk. Ketika tak juga menemukan
kotak coklat, Tsamara berbalik, ingin bertanya pada Ghaly, namun ia
justru dibuat terkejut oleh kehadiran lelaki itu di dapur.
"Kotak coklat ada di kabinet di atasmu." Ghaly menunjuk kabinet di
depan Tsamara.

Tsamara mengangguk, mengambil bungkusan coklat bubuk yang belum


dibuka segelnya.

"Bikin dua gelas, ya, Tsa." Ghaly duduk di kursi bar dengan tatapan tak
lepas dari sosok Tsamara yang bergerak cepat memenuhi keinginannya.

Tidak berapa lama, dua cangkir coklat hangat tersaji di hadapan Ghaly.
"Tsa, satu untukmu," katanya cepat, saat Tsamara akan membalik
badan.

"Huh?" Tsamara mengerjap, kembali menoleh ke arah Ghaly yang


duduk tenang.

"Temani aku minum dulu." Ghaly mengedikkan dagu menunjuk kursi di


sampingnya.

"Kamu banyak sekali maunya," desah Tsamara lalu menjatuhkan


bokong di kursi samping Ghaly.

Ghaly tertawa pelan, menggeser satu cangkir ke hadapan Tsamara. Dia


menatap cairan coklat di dalam cangkir yang tampak mengepulkan
asap.

"Tsa, apa tidak ada kemungkinan kita bisa kembali bersama?"

Tanya lirih Ghaly membuat gerak jemari Tsamara yang ingin


mengangkat cangkir terhenti. Ia menoleh ke sisi kanannya, untuk
bertemu tatap dengan bola mata Ghaly yang kembali berpendar, tampak
penuh harapan.

"Sejak perpisahan kita, aku enggak pernah bisa menyingkirkan kamu di


hatiku, Tsa," kata Ghaly lirih, duduknya tegak dan sepenuhnya
berhadapan dengan Tsamara. Dia mengambil tangan perempuan itu,
dibawanya untuk menyentuh dadanya. "Kamu selalu di sini, seingin apa
pun aku membencimu, dan menghapus semua tentangmu."

Tsamara seolah kehilangan napasnya, telapak tangannya yang


menempel di dada Ghaly begitu jelas merasakan detak jantung lelaki itu.
Mengantarkan debar keras di dadanya sendiri.
"Tadinya, saat melihatmu pertama kali, aku bisa meluapkan amarahku
padamu. Hanya agar hatiku merasa lega. Agar semua kesakitanku bisa
terbalaskan. Tapi salah," Ghaly menjeda, untuk mengambil napas
dalam-dalam. Dia akan membuka semua yang ia rasakan di depan
Tsamara. Dia merasa begitu tidak berdaya dengan hatinya sendiri.
Dengan semua jarak yang kian menjauh diciptakan Tsamara.

Ghaly mempertaruhkan semua perasaannya malam ini.

"Tidak ada kelegaan, aku semakin merasa sesak. Aku semakin


menyesal karena melepaskanmu. Karena seingin apa pun aku menjauh
dan mengubur semua tentangmu, perasaanku selalu berlari ke arahmu."

Sebutir air mata lolos dari sudut mata Tsamara, dia bisa menemukan
luka itu di mata Ghaly. Sama dengan tatapan penuh luka yang ia
temukan dulu, ketika ia dan Ghaly akhirnya berpisah.

"Apa sungguh tidak ada kesempatan untuk kembali?" tanya Ghaly lirih.

Tsamara menarik tangannya dari genggaman Ghaly, dan menghapus


kasar air matanya. "Kita tidak lagi sama."

"Aku tahu. Maka dari itu kita memulainya dari awal."

"Tidak ada yang harus dimulai." Tsamara menggeleng. Mencoba


berkeras hati untuk tidak luluh dengan perasaannya sendiri. Mencoba
untuk tetap menyembunyikan perasaannya. "Kita berada di jalan yang
berbeda, semua hal tentang kita adalah dua mata angin berlawanan
arah. Tidak akan pernah ada kita yang sama seperti dulu."

Saat Tsamara bergerak hendak bangkit, Ghaly kembali mencekal tangan


perempuan itu. Pembicaraan ini harus diluruskan dan dituntaskan
malam ini.

"Kamu beneran enggak ada rasa lagi padaku?" tanya Ghaly memburu,
ketika Tsamara menggeleng, ia berdecih pelan. "Pembohong. Kamu
pikir aku akan percaya?"

Bola mata Tsamara membulat. "Tolong, Bapak jangan menyalah artikan


kebaikan saya hari ini. Saya di sini hanya untuk memenuhi tanggung
jawab saya untuk menjaga Bapak. Saya kerja, saya dibayar."
Ghaly menggeleng-geleng. "Oh, ya? Lalu arti ciuman kita tadi siang
apa? Aku yakin kamu sadar saat melakukannya."

Tubuh Tsamara menegang, ia mengutuk bodoh dirinya sendiri karena


terlalu melibatkan perasaan siang tadi. Yang akhirnya menjadi
boomerang untuknya. "Itu bukan hal spesial," ucapnya yakin, penuh
kepercayaan diri. Meski dadanya berdetak begitu kencang.

"Tapi tidak untukku." Sambar Ghaly.

"Itu urusan Bapak."

Ghaly meremas satu tangan Tsamara. "Kalau kamu menyangkal


perasaan kamu karena kamu khawatir aku enggak bisa menyayangi
Alta. Kamu salah. Aku menyayangi Alta. Bahkan sekarang aku sangat
menyayanginya seolah dia anakku sendiri."

Bibir Tsamara membuka, ia meraba apa yang ada dipikiran Ghaly


sesungguhnya. Dari lelaki itu yang mengajak balikan, hingga tentang
Ghaly yang menyayangi Alta.

Jujur saja, ia tidak meragukan rasa sayang dan perhatian Ghaly yang
tercurah pada Alta. Meski lelaki itu tidak tahu siapa Alta yang
sesungguhnya. Atau, tunggu ....

Apakah mungkin Ghaly diam-diam menyelidiki tentang Alta, itu tidak


menutup kemungkinan. Ghaly bisa melakukan apa pun, yang bahkan
tak pernah Tsamara pikirkan. Namun, dari apa yang lelaki itu katakan
barusan, itu menunjukkan jika Ghaly masih berada di titik
kesalahpahaman, bukan?

"Tsa."

Tsamara mengerjap, menelan ludah, lalu menggeleng. "Saya—" Dia


menghela napas pelan. "Saya ingin ke kamar," katanya, lalu turun dari
kursi.

Tidak ingin membiarkan Tsamara pergi begitu saja, sekali lagi Ghaly
mencekal lengan perempuan itu. Entah sudah berapa kali dalam sehari
ia mencekal lengan Tsamara, hanya agar perempuan itu tidak pergi. Kali
ini ia menyentaknya cukup keras, hingga tubuh Tsamara tertarik dan
jatuh di pangkuannya.
Ghaly menahan desisan nyeri saat kakinya yang masih merenyut sakit
ia paksa menopang tubuh Tsamara.

"Ghaly—"

"Sebelumnya kamu bilang ciuman kita bukan hal yang spesial, bukan?"

"Apa?" Tsamara mengerjap, menggerakkan tubuhnya untuk lepas dari


dekapan Ghaly yang terasa amat erat di perutnya. Dia berada dalam
jarak yang terlalu dekat dengan Ghaly. Dan di posisi yang bisa membuat
siapa pun salah mengartikannya.
"Aku akan membuktikannya."

Tsamara menggeleng. "Enggak. Turunin saya—"

Ucapannya terpotong ketika bibir Ghaly mendarat di bibirnya. Bola


matanya membulat, bersitatap dengan mata Ghaly yang memandang
dirinya begitu dekat.

Bibir Ghaly bergerak pelan, memagut bibir Tsamara. Sama sekali tidak
memperdulikan raut keterkejutan di wajah perempuan itu dan usaha
Tsamara menjauhkan tubuh dengan mendorong bahunya.

Lelaki itu menikmati setiap sesap bibir yang sangat ia rindukan ini. Dia
meraba-raba, seperti itu adalah ciuman pertamanya.

Kenapa rasanya semanis ini? Ini sangat memabukkan. Rasanya ia tak


ingin berhenti dan melepaskan bibir Tsamara, begitu pun lengannya
yang mendekap tubuh perempuan itu. Namun, ia cukup sadar diri.
Dengan berat hati, ia melepas ciuman sepihaknya, ia sudah bersiap
menerima tamparan keras dari Tsamara.

Bukan kemarahan yang Ghaly dapatkan, melainkan setitik tatapan nanar


penuh luka.

Ghaly mengabaikan tatapan itu. Dengan lengan masih melingkar di


pinggang Tsamara, ia mendekatkan wajah, dan menempelkan sisi
wajahnya di dada perempuan itu.

"Ciuman ini sangat spesial untukku, Tsa." gumam Ghaly sembari


memejamkan mata, menikmati irama detak jantung Tsamara yang
memburu. "Dan sepertinya pun cukup spesial untukmu karena
jantungmu berdebar begitu keras." Dia tersenyum menemukan secuil
fakta itu, meski tadi Tsamara tidak membalas ciumannya sedikit pun.

Dengan satu dorongan keras, Tsamara membuat jarak dengan Ghaly.


Dia segera turun dari pangkuan lelaki itu, dan ditatapnya wajah penuh
binar di hadapannya dengan sejuta amarah. "Kamu gila." Dia
mengeratkan rahangnya, dan membuang wajah. Baru kemudian
mengambil langkah menjauh.

Ghaly mendesah berat. "Tsa, kamu enggak bisa terus menerus


menghindar tentang kita."

Tidak menghiraukan ucapan Ghaly, Tsamara tetap melenggang pergi.


Lebih baik menghindar daripada melanjutkan obrolan yang ia tahu tidak
akan memiliki akhir. Atau ia mungkin akan jatuh di pelukan Ghaly. Sekali
lagi.

***
Bab 33

"Wahh, kenapa suasananya kaku banget."

Fanny berkomentar setibanya ia di meja makan dan menemukan Ghaly


juga Tsamara tampak saling diam. Tsamara bahkan tidak melirik Ghaly
sedikit pun.

"Kalian baik-baik saja semalam. Kenapa sekarang kayak pasangan


suami-istri lagi ngambek gini," celetuknya asal. Tidak begitu
memperdulikan pelototan Tsamara yang seperti mengancam dirinya
untuk diam, atau mulutnya akan dijahit.

"Fanny, cepat selesaikan sarapan kamu. Selesai makan kita beres-beres


terus pulang," ucap Tsamara, lalu kembali menyuap sandwich-nya.

"Kemarin Mbak Tsa bilang pulang sore." Fanny meletakkan teko berisi
susu ke atas meja setelah memenuhi gelasnya dengan cairan putih
kental itu. Ditatapnya wajah Ghaly dan Tsamara secara bergantian,
dengan kernyitan menghias keningnya. "Aku tambah yakin, ada apa-apa
semalam, saat aku tidur." Dia mengerling.

Tsamara menghardik. "Jangan bicara aneh-aneh. Habiskan saja


sarapanmu."

Baru saja Tsamara menghela nafas pelan, dan meluruhkan bahu.


Tangannya disenggol Alta. "Mama, kenapa harus pulang?" tanya Alta
dengan tatapan polosnya.

"Sayang," panggil Tsamara lirih, penuh pengertian. "Om Ghaly, kan,


sudah baik-baik saja, jadi kita harus pulang."

"Om Ghaly bilang mau bikin sosis bakar di dekat kolam. Alta mau bakar
sosis, Mama."

Seketika, tatapan Tsamara terhunus pada Ghaly yang kebetulan tengah


mendongak ke arahnya.
"Ya, kemarin aku bilang mau bakar sosis, sambil nungguin Alta
berenang." Ghaly bersuara. "Aku enggak ada maksud apa pun. Karena
kamu juga bilang bakal pulang sore." Dia mencoba meluruskan, karena
barangkali Tsamara berpikir ia berusaha memanipulasi Alta agar tetap
tinggal di rumah ini.

Tsamara kembali menatap Alta. "Kita bakar sosis di rumah kita saja, ya.
Pulang dari sini mampir ke minimarket buat beli sosis, Alta mau?"
tawarnya penuh gula dan bujukan. "Nanti Mama beliin es krim kesukaan
Alta, sama permen."

Alta menggeleng. "Alta mau bakar sosis di rumah Om Ghaly." Dia


bersikeras.

"Tapi, enggak ada sosis di sini. Jadi kita pulang saja, ya." Tsamara
masih berusaha memberi pengertian agar sang anak mau menurut
dengannya.

"Nggak ada sosis?" Ghaly menaikkan sebelah alisnya. "Aku udah bilang
Bibi Mur buat beli sosis dan semua kebutuhan buat bakar-bakar."

"Bibi Mur lupa beli. Dia bilang sama saya kemarin." Tsamara menarik
sudut bibirnya membentuk seringai samar. Dia yakin, kali ini Ghaly tidak
akan mencari-cari alasan untuk menahannya tetap tinggal barang
sedetik pun.

Fanny mendecap lirih, lalu menggeleng pelan. "Ya udah, kita beli aja,
sekalian jalan-jalan ke mal." Dia melirik takut-takut ke arah Tsamara,
namun mengerling penuh goda kepada Ghaly.

Dia membantu Ghaly untuk kesekian kalinya, mungkin sebentar lagi


rekeningnya akan dialiri dana dengan hitungan digit yang tidak ia
bayangkan. Bola matanya berbinar membayangkan ia bisa membeli
apapun dan liburan ke mana pun.
Oh, ini bukan berarti ia menjual kakaknya sendiri. Tidak, tidak sama
sekali. Dia mempunyai niat yang begitu baik dan mulia, dengan
membantu kakak dan mantan kakak iparnya, menemukan jalan yang
tepat untuk mereka.

"Fanny." Tsamara hampir menjerit meluapkan kekesalan pada sang adik


yang tidak mendukungnya sama sekali.
Fanny meringis dengan wajah polosnya, dia memundurkan tubuh dan
bangkit dari duduknya. "Aku mau cuci piring," katanya sembari
membawa piring dan gelas kotor miliknya ke dapur. Lebih tepatnya
untuk melarikan diri.

"Fanny benar, kita bisa membelinya." Ghaly bersuara. Bola mata yang
tadinya meredup kini kembali berpendar, seolah ia memiliki kesempatan
lebih lama untuk menahan Tsamara tetap di dekatnya.

"Mama, Alta mau jalan-jalan ke mal," rengek Alta sembari menarik-narik


lengan sang ibu.

Tsamara meluruhkan bahu dan menghela napas begitu berat. Tidak ada
satupun yang berpihak padanya, bahkan putera kesayangannya.

Nampaknya, semua yang ia sayangi, kini lebih suka berlari ke arah


Ghaly, daripada dirinya.

***
"Udah, Mbak, beli ini saja?" tanya Fanny saat mereka mengantri di kasir,
setelah berkeliling swalayan membeli kebutuhan bakar-bakar, dan
beberapa bahan makanan lain, juga snack.

Tsamara melirik keranjang belanja mereka, lalu mengangguk. "Udah.


Malah kebanyakan. Jajannya Alta, sih, hampir setengah keranjang
sendiri."

Fanny meringis, melirik Alta yang berdiri di sisi Tsamara dan memasang
wajah bahagianya. "Kan selagi pakai kartu kredit Mas Ghaly kita puas-
puasin belanja."

"Kamu tuh, ngapain belain Mas Ghaly-mu terus." Tsamara mendecap


sebal. "Disogok berapa sama dia?"

"Enggak tahu berapa sih, tapi tadi ada notif m-banking." Diakhir
kalimatnya, Fanny tergelak tawa. "Karena dikasih kan, diterima, Mbak.
Lumayan biar aku enggak minta uang jajan terus sama Mbak Tsa."

Tadi, Fanny memang sempat mengirim no rekeningnya pada Ghaly.


Membuat ia berjingkrak kesenangan, padahal ia tidak ada minta-minta
uang sama Ghaly. Ternyata, angan-angannya menjadi kaya mendadak
bisa terkabul hari ini. Uh, rasanya ia ingin terus mengulas senyuman.
"Terserah kamu, deh. Asal jangan kelewatan aja." Diingatkan berapa kali
pun, Fanny pasti akan tetap condong pada Ghaly. Memang dasarnya
Ghaly yang terlalu baik, jadi Fanny bisa terpikat semudah itu. "Kamu
ajak Alta nunggu di luar swalayan aja. Sambil beliin roti atau popcorn,
enggak apa-apa," kata Tsamara. Dia melihat ada kedai roti yang wangi
panggangannya sampai memenuhi seisi mal.

Menuruti sang kakak, Fanny mengajak Alta keluar dari antrean. Dan
seperti yang Tsamara bilang, dia dan Alta membeli roti sambil menunggu
Tsamara. Duduk di kursi tunggu tak jauh dari kedai roti.

Iseng, Fanny membuka ponselnya, lebih tepatnya, membuka pesan m-


banking dengan dada berdebar. Bola matanya seketika membulat saat
menemukan digit angka di sana.

Astaga. Bibir Fanny membuka, tidak bisa berkata-kata. Namun, satu


yang pasti, ia teramat senang. Dia mengepalkan tangan ke udara. Tidak
menyangka Ghaly memberi uang saku sebanyak itu.

Menutup pesan m-banking, Fanny beralih membuka pesan dari Ghaly.


Mas enggak bisa kasih banyak, nanti Tsa marah kalau tahu ngasihnya
kebanyakan. Uangnya dipakai buat jajan kamu.

Enggak banyak?

Dua kata itu berputar-putar di kepala Fanny. Ya, memang, bagi Ghaly itu
enggak banyak. Tapi buat dia terlalu banyak.

"Alta, besok Tante beliin baju baru buat Alta. Alta mau baju kayak apa?"
tanya Fanny setelah menyimpan ponselnya dan memberi atensi pada
keponakan menggemaskannya yang asyik makan roti.

"Alta enggak mau baju. Kemarin udah dibeliin banyak baju sama Om
Ghaly."

Ah, benar. Ghaly sudah membelikan banyak baju untuk Alta. "Ya sudah,
besok Tante ajak makan aja sama Om Leo. Alta mau makan apa?"

Alta tampak berpikir, dengan mulutnya yang mengunyah roti, membuat


pipinya semakin tembam saja. "Alta mau es krim aja yang banyak,
boleh?" tanyanya, sambil merentangkan tangan untuk menunjukkan
sebanyak apa yang ia inginkan.
"Enggak boleh."

Bukan Fanny yang menjawab, melainkan Tsamara yang sudah berdiri di


belakang Alta.

"Alta enggak boleh makan es krim banyak-banyak. Udah janji sama


Mama." Tsamara mencolek hidung Alta.

Alta mengangkat jari-jarinya yang mungil, menyatukan ibu jari dan


telunjuk, lalu dibuat sedikit jarak. "Sedikit, aja."

Tsamara menahan tawa untuk tingkah manis sang putera. "Tadi udah
beli es krim, udah habis dimakan juga." Tadi, saat baru memasuki mal,
Alta meminta beli es krim, karena kedainya begitu mencolok di depan
mata.

"Ya udah, deh. Alta makan roti aja," desah Alta dengan bibirnya yang
cemberut.

Terkekeh pelan, Tsamara mendaratkan kecupan di puncak kepala sang


putera. "Kita pulang, yuk. Nanti bakar-bakar sosis."

Bola mata Alta berpendar senang. "Yeay, Alta mau bakar sosis." Dia
segera turun dari duduknya.

Tangan kanan Tsamara menggandeng Alta, sedangkan tangan kirinya


menenteng satu kantong belanja ukuran sedang. Satu kantong lain
dibawa Fanny. Mereka berjalan beriringan keluar mal, dengan Alta yang
berceloteh, menunjukkan kebahagiaannya.

Namun sepertinya, keriangan itu tidak bertahan lama, ketika tanpa


sengaja tatapan Tsamara menemukan sosok perempuan yang paling
ingin ia hindari. Mantan ibu mertuanya. Kenapa harus ada pertemuan di
saat seperti ini?

Tsamara segera menoleh ke arah Fanny, menatap sang adik penuh


permohonan. "Fanny bawa Alta sekarang. Tungguin Mbak di lobi."

"Tapi, Mbak." Fanny tidak cukup mengerti kenapa Tsamara bertindak


sampai seperti itu.
"Sekarang Fanny. Jangan biarin Alta lihat ke belakang," ucap Tsamara
tegas.

Meski ingin bertanya tentang apa yang sedang terjadi, Fanny tetap
menuruti permintaan Tsamara. Dia menggenggam jemari Alta, dan
dibawanya menjauh.

"Tante, Mama ketinggalan," ucap Alta yang sadar Tsamara tertinggal di


belakang.
Fanny mengulas senyuman ke arah sang keponakan tampannya.
"Mama lagi ketemu teman, kita nunggu Mama di depan, ya." Dia
sungguh tidak mengerti kenapa Tsamara harus mengusir ia dan Alta
detik itu juga, padahal, hanya tidak sengaja bertemu dengan ibunya
Ghaly.

Marta mendekati Tsamara dengan tatapan kesalnya. Dia buru-buru


kembali ke Jakarta saat masa liburannya belum usai. Hanya karena satu
kabar burung paling menyebalkan yang sampai ke telinganya. Dan
sepertinya waktu sedang berpihak padanya, hari ini ia justru bertemu
dengan si pembuat kabar menyebalkan itu.

"Tsamara. Saya tidak menyangka kamu kembali ke Jakarta."

***
Bab 34

Sebisa yang ia lakukan, Tsamara mengulas senyuman. Menatap bola


mata Marta tak tergoyahkan. "Halo, Tante," sapanya ramah.

Marta menghentikan ayunan kakinya, di satu langkah tepat di depan


Tsamara. Dia berdecih pelan, sebelum akhirnya mengangkat tangan
kanannya, dan mengayunkannya keras, menampar pipi Tsamara.

Tsamara memejamkan mata, menggigit bibir bawahnya, dan merasakan


rasa sakit di pipinya yang ditampar. Dia meluruskan tatapan,
menguatkan kakinya agar tetap tegak berdiri. Dia berharap dari semua
orang yang terkejut karena insiden penamparan itu, Fanny dan Alta tidak
sempat melihatnya.

Namun sayang, dugaannya salah, Fanny yang hampir berbelok menuju


lobi justru menghentikan langkah. Dari kantong plastik yang terjatuh, dan
tangan yang kemudian membekap mulut, Tsamara tahu, sang adik
mengetahui apa yang baru saja ia terima.

"Kenapa kembali ke Jakarta dan mengganggu putera saya lagi?" Marta


menaikkan dagunya. Tidak ada setitik pun rasa bersalah dipancaran
bola matanya. Yang ada hanyalah kekesalan yang menumpuk, ingin
diluapkan. "Belum cukup kamu mengkhianati Ghaly, dan kini kembali
untuk mengemis pada Ghaly. Minta balikan."

Di Bandung, teman-temannya mengobrolkan tentang Ghaly yang


mengumumkan pertunangannya di sebuah pesta. Kabar itu sudah lama
terdengar, namun baru sampai ke telinganya kemarin. Awalnya, ia
sangat senang karena akhirnya Ghaly mau menjalin hubungan dengan
perempuan pilihannya. Namun, kesenangan itu harus lenyap saat ia
mendengar nama Tsamara disebut.

Ia semakin dibuat marah ketika tahu berbulan-bulan ini Tsamara bekerja


dengan Ghaly. Menjadi sekretaris. Perempuan itu sangat pandai
menutupi keberadaannya.
Tsamara menghela nafas pelan. Mengulas senyum tipis. "Bukan saya
yang mengganggu putera Anda, Tante. Tapi Ghaly. Sejak dulu memang
Ghaly yang selalu mengganggu saya," ucap Tsamara yakin. Di dalam
hati ia membisikkan kalimat-kalimat menguatkan untuk dirinya sendiri.
Kali ini, ia tidak akan membiarkan Marta mengoyak keyakinannya.

"Tentang pengkhianatan itu, bukankah Tante yang lebih tahu dari saya,
dari siapa pun?" Saat Tsamara menemukan bola mata Marta tampak
membulat terkejut, meski sekilas, dia justru melebarkan senyumannya.
"Saya diam karena putera Tante yang sangat bodoh itu percaya begitu
saja dengan kebohongan-kebohongan yang Tante buat. Dan sekarang,
jika Tante ingin tahu, Ghaly yang mengemis balikan sama saya. Bukan
saya." Tsamara menekankan setiap kata yang ia loloskan. Rasanya ada
sedikit kelegaan yang menyelusup dadanya. Bahkan rasa sakit
tamparan Marta seolah tidak berbekas lagi.

"Kamu pikir saya bodoh?"

Tsamara menggeleng. "Tante enggak bodoh, tapi licik." Entah datang


dari mana keberaniannya hingga bisa selantang ini melisankan setiap
kalimat untuk membalas ucapan Marta. Ah, mungkin karena Fanny
melihatnya ditampar barusan.

Ia paling tidak suka jika keluarganya melihat dirinya sedang


diperlakukan tidak adil. Baginya rasa sakit yang ia terima karena
tamparan itu sudah hilang, tapi bagi keluarganya yang melihat, rasa
sakit itu bisa menetap lama.

"Kamu selalu enggak punya sopan santun." Marta naik pitam. Satu
tangannya terkepal erat hanya untuk menahan dirinya agar tidak
melayangkan tamparan lainnya. Meski ia sangat ingin.

"Saya selalu berusaha bersikap baik pada Tante, sedari dulu." Tsamara
kembali mengulas senyum tipis. Di pernikahannya dengan Ghaly yang
singkat, ia selalu menghormati Marta, lebih dari yang semua orang kira.

Dia sudah menerima penolakan di awal perkenalannya dengan Marta


dahulu, dan sudah dipandang begitu rendah. Namun, Tsamara tetap
bertahan, tidak membenci Marta sedikitpun dan selalu menghargai
Marta. Satu hal lain yang selalu ia ingat saat berhadapan dengan Marta
adalah, perempuan itu ibu dari laki-laki yang Tsamara kasihi. Itu
menjadikan satu alasan lain agar Tsamara tidak pernah menyulut
emosinya. "Kalau enggak ada lagi yang ingin Tante bicarakan, saya
permisi."
"Ingat baik-baik, perempuan seperti kamu enggak akan pernah sepadan
dengan putera saya. Jangan pernah mendekati Ghaly lagi."

Tsamara yang ingin beranjak, akhirnya mengurungkan langkah.

"Tante sepertinya enggak juga mengerti, bukan saya yang mendekati


Ghaly. Tapi Ghaly Badrayudha, putera Tante yang memilih untuk
mengejar saya." Dia menghunus tajam bola mata Marta, menghilangkan
semua rasa hormat yang selalu ia tunjukkan. "Kalau Tante ingin
mengancam, maka ancam Ghaly. Bukan saya."

Setelah itu, Tsamara melenggang pergi, mengabaikan setiap tatapan


yang menelisik ingin tahu karena pertengkaran ia dan Marta. Ia pikir,
semua kalimat-kalimat pedas Marta berhenti saat ia tak lagi di hadapan
perempuan itu. Sayangnya, kali ini ia keliru. Marta sepertinya memang
seantusias itu ingin mempermalukan dirinya.

"Perempuan miskin yang suka selingkuh di belakang anak saya, dan


menghancurkan rumah tangganya. Tidak pernah pantas untuk kembali
kepada anak saya."

Harusnya, Tsamara memang tidak kembali ke Jakarta. Itu adalah salah


satu keputusan paling bodoh yang pernah ia ambil.

Karena lihat sekarang, apa yang terjadi padanya. Dia menjadi bahan
gunjingan sepanjang kakinya melangkah keluar mal. Dia dipermalukan.

***
Fanny menatap Tsamara dengan tatapan prihatin. Dia tidak bertanya
apapun sepulangnya mereka dari mal, bahkan sepanjang jalan Tsamara
hanya menyibukkan diri dengan Alta. Perempuan itu juga tidak bercerita
apa pun tentang bekas merah di pipi. Yang bersyukurnya, kini sudah
sedikit memudar.

Mereka tidak langsung pulang ke rumah Ghaly, melainkan mampir ke


taman komplek perumahan. Membiarkan Alta bersenang-senang
sendiri, dan Tsamara terduduk diam menunggui.

Semua kebahagiaan yang sempat tercipta, lenyap begitu saja. Bahkan


uang 50 juta yang ia terima dari Ghaly kini membuat sudut kesedihan di
hatinya. Fanny mendengar teriakan Marta yang merendahkan dan
mengejek kakaknya.
Baru ia ketahui sekarang, seberapa buruk perlakuan Marta pada
Tsamara.

Merendahkan sang kakak yang berasal dari keluarga miskin, dan


menuduh Tsamara berselingkuh.

Rasanya, Fanny ingin berbalik dan menemui Marta untuk membuat


perhitungan.

Selama ini, Tsamara tidak pernah menceritakan apa pun masalah rumah
tangganya dengan Ghaly dahulu. Saat sang kakak pulang kampung dan
menceritakan perceraiannya, Tsamara hanya mengatakan, ia dan Ghaly
tidak punya kecocokan dalam banyak hal. Ghaly meminta Tsamara tidak
bekerja, dan Tsamara yang berkeras hati ingin bekerja, menjadi salah
satu alasan perceraian itu. Satu alasan yang Tsamara kemukakan di
depan kedua orang tua mereka.

Dan ternyata, semua itu hanya kebohongan.

Fanny menghela napas begitu pelan, ia membuka ponselnya, ada


beberapa pesan dari Ghaly yang menanyakan keberadaan mereka.

Harusnya mereka memang sudah sampai di rumah. Tapi sekarang tidak


ada mood sama sekali untuk bersenang-senang seperti yang
direncanakan.

Dia mengabaikan pesan Ghaly, memilih untuk menghubungi nomor Leo.


Pada dering ketiga, panggilannya diangkat.

"Fan, kalian pulang kapan?" tanya Leo setelah bertukar salam.

"Sore ini, Mas. Tapi—" Fanny melirik Tsamara yang berulang kali
menghela napas berat. Tatapan perempuan itu begitu sayu, sesekali
bahkan mengusap bekas tamparan. "Mas Leo bisa jemput kami,
enggak?"

"Fanny, suara kamu kenapa? Kok, serak."

Fanny menjauh dari Tsamara, mendengar suara Leo justru membuat dia
ingin mengadu pada lelaki itu. "Mbak Tsa ketemu Tante Marta tadi,"
ungkapnya lirih, menahan tangis.

"Apa? Bagaimana bisa?"


"Aku juga enggak tahu, kenapa bisa kebetulan bertemu. Tapi, mereka
bertengkar, Tante Marta tampar Mbak Tsa." Rasanya Fanny memang
perempuan paling cengeng. Dia kini betulan menangis, padahal yang
ditampar dan dimaki-maki adalah Tsamara.
"Tante Marta tuduh Mbak Tsa selingkuh, permaluin Mbak Tsa di mal. Aku
yang sakit hati, Mas."

Kalau saat itu ia tidak menjaga Alta, Fanny yakin ia akan mengacak-
acak wajah Marta. Tidak peduli siapa perempuan itu.

"Ghaly tahu?"

Fanny berkedip. "Enggak. Mas Ghaly di rumah." Karena Tsamara ingin


pemulihan Ghaly cepat, maka Tsamara meminta Ghaly untuk tetap
tinggal di rumah. Jika Ghaly ikut, pasti tidak akan terjadi hal-hal seperti
ini.

"Keadaan Tsa bagaimana?"

"Mbak Tsa enggak baik-baik saja, Mas. Dari tadi diam, cuma senyum
kalau Alta nyamperin."

Dari seberang telepon, Leo menghela napas pelan. "Kalian di mana


sekarang? Belum di rumah Ghaly, kan?"

"Belum, kita masih di taman komplek. Mbak Tsa minta diturunin di


taman. Kayaknya masih belum bisa ketemu Mas Ghaly."

"Oke. Kalian tetap di taman itu, aku samperin. Jagain Alta sama Tsa."

Fanny menutup panggilan dan menyimpan ponselnya di tas, dia kembali


mendekati Tsamara yang kini tengah menusuk susu kotak dan diberikan
kepada Alta. Bocah menggemaskan itu menyedot susu dengan sangat
antusias.

"Tante mau?" Alta menyodorkan susu kotaknya pada Fanny.

"Enggak." Fanny menggeleng.

Alta mengerjap. "Terus kenapa dari tadi liatin Alta minum?"


Senyum Fanny terulas geli. Dia mengacak rambut Alta. "Tante cuma
liatin, kalau-kalau Alta minumnya berantakan."

"Kan, pakai sedotan, enggak berantakan, dong. Tante gimana, sih."

Fanny meringis, siang ini Alta sepertinya kebawa mood dari Tsamara,
kata-kata yang keluar dari bibir mungil itu terdengar kesal.

"Mama, susu Alta sudah habis. Kita pulang ke rumah Om Ghaly, ayo."
Alta menyerahkan kotak susu yang sudah kosong pada Tsamara. "Alta
pengin bakar sosis sama Om Ghaly."

Tsamara menatap Alta diiringi senyuman yang terulas amat manis di


bibirnya, meski ia merasa begitu hambar. "Om Ghaly lagi tidur.
Pulangnya nanti dulu, ya," ucap Tsamara berdusta. "Om Ghaly, kan,
masih sakit, jadi harus banyak-banyak istirahat." Dia mengimbuhi,
berusaha meyakinkan.

Alta mengangguk-angguk. "Jadi, Alta main lagi di sini?"

"Iya, dong. Sepuasnya." Tsamara mengerling. "Tapi," Dia mengulurkan


kotak susu bekas kepada Alta. "Anak pintar buang sampah dulu.
Buangnya ke mana?"

"Ke tempat sampah," jawab Alta sembari kembali mengambil kotak susu
bekas miliknya.

"Alta pintar," Tsamara mengusap puncak kepala sang putera. "Alta


buang sampah dulu, Mama lihatin dari sini."

Alta kemudian berjingkat-jingkat ke tempat sampah yang jaraknya tidak


cukup jauh. Lalu melompat-lompat karena tempat sampah itu cukup
tinggi. Hingga akhirnya ia berhasil memasukkan kotak susu-nya ke
tempat sampah.

Setelahnya, seperti yang Tsamara katakan, Alta kembali bermain,


mencoba semua permainan yang ada. Dan mulai asyik sendiri.

Hingga terlewat beberapa saat, Fanny menggumam, "Kenapa Mas Leo


enggak nyampe-nyampe?"

Tsamara menoleh ke arah sang adik. "Leo?"


"Aku minta Mas Leo jemput, tadi."

"Apa? Ngapain minta jemput Leo. Kita bisa pesan taksi online nanti."
Tsamara mendecap, sebelum mengedip pelan, tersadar akan sesuatu,
"Jangan bilang kamu cerita kalau Mbak ketemu Tante Marta?" Melihat
kebungkaman Fanny, Tsamara mengusap wajahnya sendiri. "Ya Tuhan."

Tsamara segera beranjak dari duduknya dengan tatapan gelisah. "Kamu


jagain Alta, Mbak mau ke rumah Ghaly."

"Kenapa kita enggak pulang bareng?" Fanny bertanya tidak mengerti.

"Kamu enggak tahu, Leo bisa semarah apa kalau dia tahu Tante Marta
maki-maki Mbak." Tsamara melihat Alta sekali lagi. "Leo pasti ke rumah
Ghaly dulu sebelum ke sini." Seketika kekhawatiran lain melanda
dirinya.

Dia begitu yakin jika Leo akan mendatangi Ghaly lebih dulu. Sang
sahabat hanya butuh satu alasan untuk melampiaskan semua amarah
yang bertumpuk selama bertahun-tahun ini. Dan Leo mendapatkannya
sekarang, ibunya Ghaly yang memaki-maki dirinya.

"Alta!" panggil Tsamara keras, dengan tangan melambai. Saat sang


putera sudah di dekatnya, Tsamara merendahkan tubuh agar sejajar
dengan Alta. "Sayang, Mama tinggal bentar ya, Alta tunggu di sini dulu
sama Tante Fanny."

"Mama mau ke mana?" tanya Alta.

Tsamara mengusap bahu Alta. "Mama cuma mau ketemu teman.


Bentar, aja. Alta janji main yang baik." Entah berapa kali ia membohongi
puteranya hari ini.

"Alta janji main yang baik."

Senyum Tsamara mengembang, dia mengecup puncak kepala sang


putera sebelum akhirnya menegakkan tubuh. "Mbak pergi sebentar,
jagain Alta," pesannya pada Fanny, lalu mengimbuhi, "Alta harus tetap di
sini sampai Mbak samperin."
"Kalian kenapa, sih?" Fanny mengernyit kebingungan.

"Nanti kamu tahu."


Setelah mengatakan itu, Tsamara bergegas pergi menuju rumah Ghaly.
Jaraknya hanya sepuluh menit dari taman jika ia berlari. Harusnya itu
lebih dari cukup untuk menahan kedatangan Leo.

Namun, sepertinya, hari ini tidak ada hal baik yang berpihak padanya.
Dia terlambat.

***
Bab 35

Tsamara adalah satu-satunya sahabat perempuan yang Leo punya,


yang sudah Leo anggap seperti saudari sendiri. Mereka sudah bersama
sejak SMA, mengikrarkan diri untuk terus berteman, tanpa melibatkan
perasaan.

Janji itu sukses dijalankan Tsamara, perempuan itu tidak menaruh


sedikit pun rasa sayang pada Leo selayaknya wanita pada laki-laki.
Rasa sayang dan peduli Tsamara pada Leo, murni seperti menyayangi
saudara laki-lakinya.

Sayangnya, janji itu sempat goyah di hati Leo, bertahun-tahun lalu ketika
ia melihat Tsamara memandang Ghaly penuh cinta, dan tertawa. Leo
ingin menjadi sosok laki-laki yang dipandang penuh cinta seperti itu oleh
Tsamara. Dia ingin menjadi satu-satunya laki-laki yang mencipta
kebahagiaan dan tawa untuk Tsamara.

Sungguh, pikiran itu hanya sekelebat hadir di benaknya. Ia bahkan


secepat kilat menghapusnya.

Leo selalu mengingatkan dirinya bahwa kebahagiaan Tsamara adalah


yang utama, entah dengan siapa pun perempuan itu menikah dan
membangun rumah tangga.

Rasa sayangnya pada Tsamara cukup hanya sebagai sahabat.

Namun, karena dirinya, Tsamara kehilangan seluruh kebahagiaan. Di


malam itu. Di malam terkutuk yang menjadikan Tsamara dipandang
sebagai wanita murahan.

Dia marah. Marah pada dirinya sendiri, marah pada Ghaly, dan pada
semua orang. Karena membiarkan Tsamara berada di situasi buruk
yang menghalangi gerak perempuan itu. Kali ini, setelah 5 tahun berlalu,
Leo tidak akan tinggal diam. Untuk setiap kalimat-kalimat merendahkan
yang ditujukan pada Tsamara, haruslah mendapatkan balasan setimpal.
Leo menghentikan laju mobilnya tepat di depan pagar rumah Ghaly. Dia
ingat betul dengan rumah ini. Di rumah ini, ia menjemput Tsamara yang
menggeret kopernya keluar dengan air mata berlinang.

Entah berapa kali perempuan itu menangis di pelukannya dan


mengutuki diri karena mencintai Ghaly begitu dalam. Hingga membuat
luka akibat perpisahan itu semakin terasa menyakitkan.

Leo keluar dari mobil, tatapannya lurus ke depan. Dia sudah akan
memencet bel, namun pagar lebih dulu membuka, dan di baliknya ia
menemukan sosok Ghaly berdiri di samping mobil, hendak pergi.

"Leo?" Ghaly mengernyit bingung menemukan kehadiran Leo di


rumahnya. "Kamu enggak perlu jemput Tsamara, aku yang akan
mengantar dia pulang," katanya lagi, mengurungkan niat untuk masuk
ke mobilnya.

Tadinya, ia ingin menjemput Tsamara yang entah sedang di mana,


karena perempuan itu tak kunjung pulang dan tidak mengabari sama
sekali. Dia khawatir.

Leo mengetatkan rahang. Tangan kanannya terkepal erat, dan


tatapannya menghunus mata Ghaly yang tampak menampilkan
kebingungan. Dia semakin mendekati Ghaly, lalu satu langkah di depan
Ghaly, ia ayunkan pukulan kerasnya, menghantam sisi kanan wajah
Ghaly, dan berhasil membuat lelaki itu terhuyung.

"Kamu gila!" Ghaly berseru marah. Dia meringis tertahan karena kakinya
yang terkilir, ia paksa untuk bertahan berdiri saat terhuyung tadi. "Ah,
kamu marah dan cemburu karena Tsamara menginap di sini?" Di Akhir
kalimatnya, ia sedikit menyeringai. Seolah dia lah pemenangnya di
tengah pertarungan tak kasat mata antara ia dan Leo, yang berlangsung
selama ini.

"Ibumu menemui Tsamara."

Leo memandang lelah ke arah Ghaly yang sedetik berikutnya merubah


ekspresi congkaknya menjadi sangat terkejut karena kabar yang ia
bawa.

"Dia maki-maki Tsamara di depan umum. Dan kamu tuduh aku cemburu
karena datang ke sini. Kamu salah, aku marah karena lelaki bodoh
sepertimu enggak pernah bisa menjaga Tsamara dengan baik." Dia
menghela napas kasar, masih mempertahankan kilat amarah menyala di
bola matanya. "Kalau sekali lagi kamu membiarkan ibumu menyakiti Tsa
dan melakukan hal licik seperti 5 tahun lalu. Aku enggak akan tinggal
diam."

"Tunggu, 5 tahun lalu?" Ghaly mengernyit. Dia kemudian mengutuk


bodoh dirinya sendiri, untuk sikap ibunya yang kasar pada Tsamara.
Bahkan setelah ia dan Tsamara resmi berpisah seperti sekarang ini.

"Ah, anak penurut dan bodoh sepertimu mana percaya jika kubilang
perselingkuhan yang kamu lihat dan tuduhkan dulu adalah ulah licik
ibumu."

Bola mata Ghaly membulat lebar. Seketika ingatannya terlempar di


malam ia memergoki Leo dan Tsamara berselingkuh, di apartemen pria
itu. "Enggak mungkin," geramnya. Ibunya tidak mungkin melakukan hal
jahat seperti itu padanya. Pada pernikahannya.

Leo mendecih. Seperti yang ia perkirakan. Meski bertahun-tahun berlalu,


Ghaly akan teguh pada kesalahpahaman yang ada di kepalanya. "Lihat,
kamu bahkan enggak percaya. Kamu pasti tetap berpikir kami
berselingkuh dan Alta adalah buah cinta kami."

Andai Alta memang buah cinta ia dan Tsamara, itu akan lebih baik,
daripada Alta mempunyai ayah super bodoh seperti Ghaly.

"Alta memang terlahir dari hubungan terlarang kalian."

Amarah yang sempat surut di dada Leo, kini kembali menggelegak.


Rahangnya mengetat. Dalam satu gerakan cepat, ia mencengkeram
kerah baju Ghaly. Ditatapnya mata si lelaki bodoh itu begitu tajam,
seperti pedang yang siap menghunus. "Aku bahkan enggak pernah
menyentuh Tsamara seujung kuku pun." Dia menggeram dalam.
Cengkeramannya di kerah baju Ghaly mengetat, seolah ingin mencekik
lelaki itu. Sedangkan tangan kanannya terkepal kuat. "Dan kamu
dengan lancangnya menyebut Alta sekejam itu."

Leo melepas kasar cengkeramannya, membuat tubuh Ghaly terdorong,


sebelum lelaki itu tegak berdiri, Leo menghantam kepalannya ke wajah
Ghaly, lebih keras dari sebelumnya. Dan cukup berhasil membuat sudut
bibir Ghaly sobek.
Ghaly tidak tinggal diam, meski tubuhnya terhuyung, ia merangsek maju
dan membalas sengit pukulan Leo. Dia tidak akan membiarkan Leo
menghajarnya, karena di sini, ia lah pihak yang harus meluapkan
amarah pada Leo karena perselingkuhan itu.

Keduanya bertahan saling pukul, tidak peduli sudah berapa pukulan


bersarang di wajah masing-masing. Meski Leo yang lebih banyak
menghantam wajah dan tubuh Ghaly. Hingga akhirnya Leo berhasil
menumbangkan Ghaly.

"Alta anak kamu, berengsek." Leo menghantamkan pukulan


terkerasnya, mungkin hampir mematahkan gigi Ghaly. Dia sudah akan
kembali memukul sebelum ia tersadar akan sesuatu, satu fakta yang
seharusnya tidak pernah ia suarakan. Satu fakta yang harus ia simpan
rapat-rapat dari Ghaly.

Di bawah tindihan Leo, Ghaly melonggarkan usahanya untuk lolos dari


cengkeraman lelaki itu. Dia terdiam begitu lama. Telinganya terasa
berdenging keras. Namun, lebih daripada itu, satu kalimat singkat yang
Leo suarakan seperti menghantam jiwanya begitu keras. Dia seolah
baru saja dijatuhkan dari gedung tertinggi di bumi.

Bayang-bayang Alta yang tertawa di depannya berkelebat. Alta


memanggil namanya dengan suara ceria yang mampu mencerahkan
hari dan hatinya. Dan bayang-bayang Tsamara yang perhatian padanya
namun juga mencipta jarak, turut serta menari-nari di benaknya.

Ucapan ayahnya pun berkelebat, seolah mengejek dirinya yang bodoh.

"Senyuman Alta mirip banget sama kamu, Ghaly. Sama persis sama
senyum kamu pas kecil dulu. Bahkan tingkahnya pun begitu mirip
denganmu."

Rasa penyesalan meluap di dada Ghaly. Melahirkan setitik embun yang


menetes dari sudut matanya. Rasa sakit karena wajahnya babak belur
sama sekali tidak sebanding dengan kesakitan yang ia rasakan di
hatinya kini. Seolah ada yang meremasnya dan menyayatnya,
menghancurkannya hingga berkeping-keping. Dia merasa begitu sesak
dan sakit di satu waktu.

"Leo!"
Seruan keras dari arah gerbang, membuat Leo menoleh, dan
menemukan Tsamara yang tampak terengah.

Ghaly turut serta menoleh, menggerakkan lehernya yang begitu kaku.


Dia melihat Tsamara setengah berlari ke arahnya. Dia ingin sekali
menyambut perempuan itu. Memeluknya. Bersimpuh di kakinya.

Namun, Tsamara memilih Leo. Perempuan itu memeluk Leo erat dan
menjauh darinya.

Ya, pada dasarnya ia memang tidak pantas dipilih. Untuk semua


kebodohan yang ia lakukan selama ini.
Alta anaknya, benarkah?

Kalimat Leo yang disuarakan begitu yakin menari-nari di kepalanya,


mengejek dirinya.

Kenapa ia begitu bodoh, hingga mengabaikan semua firasat itu saat di


dekat Alta.
Tsamara menekan luka di sudut bibir Leo, tidak peduli dengan lelaki itu
yang meringis kesakitan.

"Maaf," gumam Leo, sembari menahan sakit karena cara mengobati


Tsamara yang seperti tengah membalas dendam.

Mereka masih di rumah Ghaly, dengan kecanggungan luar biasa,


pastinya. Setelah adegan adu pukul yang membuat Tsamara ingin sekali
menambah satu pukulan di wajah Ghaly dan Leo karena tingkah
gegabah dua lelaki itu.

Tsamara bertahan di rumah Ghaly demi memastikan jika lelaki itu baik-
baik saja, setelah dihajar habis-habisan oleh Leo. Hal yang selalu
melintas di kepalanya, tapi tidak ingin menjadi nyata. Meski pada
akhirnya, hal itu terjadi juga. Rasanya memang sangat mustahil
membuat Ghaly dan Leo duduk bersama dan ngopi, setelah insiden 5
tahun lalu.

Dia memanggil dokter pribadi Ghaly untuk mengecek dan mengobati


luka-luka lelaki itu. Karena Ghaly menolak diajak ke rumah sakit.
Padahal Tsamara cukup yakin, Ghaly hampir tidak sadarkan diri karena
pukulan Leo yang seperti mengoyak wajah lelaki itu.
Dan satu alasan lain kenapa ia dan Leo masih tetap tinggal di rumah
Ghaly adalah memastikan jika adu pukul tadi diselesaikan secara
kekeluargaan saja. Tidak perlu sampai ke ranah hukum.

"Tsa, maaf," Leo kembali melirih. Dia melirik lamat-lamat wajah Tsamara
yang fokus mengobatinya. "Aku enggak sengaja bilang tentang siapa
Alta yang sebenarnya. Aw." Dia meringis kesakitan ketika tulang pipinya
ditekan begitu keras. "Maaf, Tsa," imbuhnya dengan wajah memelas
penuh penyesalan.

Tsamara menghela napas kasar, namun jemarinya tetap sibuk


mengobati luka lebam di wajah Leo. "Mungkin emang udah waktunya
aku berhenti menyembunyikan siapa Alta pada Ghaly," katanya lirih.

"Kamu enggak marah?"

"Marah," balas Tsamara tegas. "Marah banget sama kalian berdua yang
kayak anak SMA. Padahal enggak harus dengan kekerasan kalau mau
bicara."

"Karena kamu dimaki-maki Tante Marta dan ditampar juga, aku enggak
akan tinggal diam." Leo menatap sisi wajah Tsamara, yang kulit pipinya
tampak berbeda dari sisi pipi lainnya. Tamparan itu pasti cukup keras.

"Dan membalasnya pada Ghaly."

Leo mencebik, lalu mengangguk pelan. "Karena dia enggak bisa jagain
kamu dari ibunya."

Tsamara menatap wajah Leo cukup lama, memperhatikan apakah ada


lebam lain yang belum ia obati. "Ini kali terakhir aku lihat kalian adu
pukul," katanya sembari membereskan kotak p3k. Acara mengobati Leo
sudah selesai.

"Iya," Leo membalas ringan. "Kita pulang sekarang, kan, Tsa?"

"Ya, nunggu dokternya keluar. Kalau kita nungguin Alta bangun baru
pulang, nanti kesorean."

Ngomong-ngomong tentang Alta, tadi Tsamara menjemput sang putera


di taman setelah memastikan Ghaly dan Leo tidak lagi mengepalkan
tangan untuk kembali saling pukul. Sesampainya di rumah, Alta
langsung merengek ingin tidur, karena lelah bermain. Dan hal itu justru
membuat kelegaan tersendiri. Sehingga Alta tidak perlu melihat kondisi
Ghaly dan Leo.

Beberapa saat kemudian, dokter yang memeriksa Ghaly keluar kamar


paviliun, Tsamara segera menyambutnya di depan pintu. "Bagaimana
keadaan Ghaly, Dok?" tanyanya.

"Terlalu baik sampai Ghaly langsung tertidur."


Tsamara mengerjap. "Ghaly beneran tidur, enggak pingsan?"

Dokter laki-laki itu tertawa. Dokter yang juga mengenal Tsamara dahulu.
"Kalau temen kamu rada bertenaga sedikit dan mencekik Ghaly,
mungkin Ghaly bukan tidur atau pingsan lagi. Udah pindah alam."

"Enggak lucu, Dok." Tsamara mencebik.

"Jadi, kenapa dua laki-laki dewasa itu berantem. Rebutin kamu?" tanya
dokter itu sambil melirik Leo yang bertahan duduk di sofa di depan kaca.
Persis di depannya adalah kolam renang. Dia tidak habis pikir juga,
kenapa Ghaly memilih kamar di paviliun.

Tsamara meringis kecil. Tidak bisa dikatakan memperebutkan dia juga.


Meski tidak bisa dipungkiri perkelahian keduanya terjadi karena dirinya.
"Ada sedikit masalah yang terjadi di antara kami."

"Ngomong-ngomong, senang bisa bertemu denganmu lagi, Tsa." Dokter


itu mengulurkan tangan, yang disambut segera oleh Tsamara. "Saya
harap kedepannya kita bisa sering bertemu."

Tsamara hanya membalas ucapan dokter itu dengan senyuman. Dokter


itu sebenarnya salah satu teman baik Ghaly. Yang cukup mengenal
dirinya karena dulu beberapa kali Ghaly membawa ia untuk bertemu
teman-teman lelaki itu.

"Saya pamit, ya, Tsa," kata Dokter itu sembari melirik arlojinya.

"Terima kasih banyak dokter sudah datang ke sini," balas Tsamara


sembari berjalan ke pintu depan, mengantar sang dokter.

"Bukan masalah, saya malah senang karena bisa lihat wajah babak
belur Ghaly."
Tsamara membalas kelakar dokter itu dengan senyuman lebih lebar, lalu
mengangguk pelan saat lelaki itu menaiki mobil dan berlalu di pelataran.
Setelahnya, Tsamara kembali masuk rumah, menuju halaman belakang.
Di depan kamar paviliun, ia berhenti sejenak untuk melirik Leo yang
asyik bermain ponsel.

Setelah menghela napas pelan, Tsamara mengungkit handel pintu dan


masuk kamar. Dia melihat Ghaly sedang duduk bersandar di kepala
ranjang. Wajah lelaki itu lebam di sana sini. Dan itu membuat dadanya
sendiri merasa amat tidak nyaman.

Kemarin, Ghaly yang hanya keseleo saja membuat ia begitu prihatin


karena kelakuan bodoh lelaki itu. Sekarang, luka-luka di tubuh lelaki itu
justru bertambah berkali lipat.

"Tsa," panggil Ghaly saat menyadari kehadiran Tsamara.

Tsamara mendekat, berhenti satu langkah di sisi ranjang Ghaly.


"Bagaimana keadaan Bapak?" tanyanya berusaha sebiasa mungkin.

Ghaly menurunkan kedua kakinya di lantai, untuk bisa berhadapan


dengan Tsamara. "Tsa, maaf," lirihnya serak. Ia mengulurkan tangan
kanannya, ingin menggenggam jemari Tsamara, namun perempuan itu
mengambil langkah mundur.

Satu gerakan pelan yang berhasil membuat Ghaly merasakan sesak di


dadanya kian bertambah.

"Tsa, please," pintanya memohon.

Tsamara menggenggam tepian gaunnya. "Saya minta tolong banget


sama Bapak, masalah ini enggak perlu diperpanjang lagi. Tolong, Bapak
maafin Leo."

"Apa?" kening Ghaly mengernyit dalam, ia tidak mengira Tsamara akan


mengatakan hal itu. Terlebih perempuan itu menunjukkan ekspresinya
yang begitu khawatir. Apakah Tsamara mengkhawatirkan Leo? Kenapa
Leo? Padahal ia yang paling kesakitan di sini. "Kamu enggak perlu
minta tolong, karena aku yang bersalah di sini."

Bibir Tsamara terkatup rapat, ia menahan jemarinya untuk tidak


menyentuh sisi wajah Ghaly yang lebam. Luka itu pasti cukup
menyakitkan, karena terbukti bola mata Ghaly tampak berair dan
memerah.

"Kamu bertemu Mami?" tanya Ghaly, hati-hati.

"Ya," Tsamara mengangguk pelan.

Ghaly mengambil napas panjang, dan menghelanya pelan. "Mami


tampar kamu. Dia maki-maki kamu?"

Tsamara menjilat bibir bawahnya, tertunduk, tanpa berani menatap mata


Ghaly. "Saya enggak apa-apa. Itu hanya hal kecil."

Detik itu, air mata lolos dari sudut mata Ghaly. Dia segera
menghapusnya dengan jemari. "Aku minta maaf. Aku enggak bisa jaga
kamu dengan baik, dan membiarkan Mami menyakiti kamu." Dia
menjeda, menggigit bibirnya sekilas, lalu kembali berkata, "Aku minta
maaf karena begitu jahat padamu dan melepaskanmu. Membuat kamu
mengalami penderitaan selama ini."

Dada Tsamara kembali merasakan sesak melihat air mata Ghaly yang
tumpah. Lelaki itu pernah menangis penuh kekecewaan dan kesedihan
seperti ini. Tepat di malam semua kesalahpahaman itu dimulai, yang
berakhir dengan perpisahan mereka.

Pada akhirnya, sekeras apa pun Tsamara ingin membangun benteng


untuk Ghaly, hatinya tetap terarah pada lelaki itu. Dia menghapus semua
memori menyedihkan, memalukan, dan kalimat makian dari Marta
padanya.

Dia kembali menjadi Tsamara yang bodoh dan kalah oleh perasaan.
Untuk kali ini, biarkan ia menjadi bodoh sekali lagi.

Perempuan itu memupus jarak. Mendekati Ghaly dan melingkarkan


lengan di tubuh lelaki itu. Menarik Ghaly untuk berada dalam
dekapannya. Membiarkan kepala lelaki itu berada di perutnya.

Tangis Ghaly mengeras, terdengar amat memilukan seiring dengan


pelukan lelaki itu yang semakin mengerat di pinggang Tsamara.

***
Bab 36

5 Tahun lalu

"Sayang, aku akan ke apartemen Leo. Menjenguk dia sebentar, boleh?"

Tsamara mengirim pesan pada sang suami, dan menunggu balasannya


dengan sabar. Ghaly sedang meninjau proyek di Bandung, dan akan
menginap satu malam.

"Boleh. Pulangnya jangan terlalu malam."

Balasan dari Ghaly yang kemudian Tsamara terima, membuat bibir


perempuan itu melengkung senang.

"Iya, Sayang. Paling malam aku pulang jam setengah 9."

Jarak antara apartemen Leo dengan rumahnya tidak sampai 30 menit,


bahkan bisa lebih cepat jika tidak ada macet.

Tsamara segera bersiap, membawa sling bag-nya, menyimpan dompet,


ponsel, dan kunci rumah, lalu menenteng sekeranjang buah. Leo baru
kembali dari kampung halamannya siang tadi, dia sedang berduka.
Kakak perempuan satu-satunya yang Leo miliki meninggal dunia.
Kehilangan itu pasti mengguncang Leo. Sehingga Tsamara berniat untuk
menemani dan menghiburnya sebentar.

Sebagai sahabat, Tsamara merasa perlu memberi suntikan semangat.

Sejak kecil, Leo sudah ditinggal kedua orang tuanya, dititipkan kepada
neneknya, bersama sang kakak. Neneknya sendiri, meninggal ketika
Leo lulus SMA, dan kini sang sahabat kehilangan kakak kandung.
Jangan tanya orang tua Leo ke mana? Karena setelah pergi, mereka
seolah menghilang di telan bumi, tidak pernah memberi kabar atau
pulang ke rumah.

Perjalanan malam ini cukup longgar, membuat Tsamara lebih cepat


sampai di apartemen Leo.
"Pak, nanti saya kabari jam 8 untuk jemput saya," pesan Tsamara pada
sang supir yang mengantarnya malam ini. Dan dibalas kesiapan dari
lelaki paruh baya itu. Dia kemudian turun dari mobil dan masuk ke
gedung apartemen Leo.

Tiba di lantai apartemen Leo, keningnya sedikit mengernyit saat


menemukan kurir makanan berdiri tepat di depan pintu apartemen Leo.

"Bapak mencari siapa, ya?" tanya Tsamara.

"Saya mengantar makanan atas nama Leo, Mbak. Nomor apartemennya


benar di sini, tapi saya pencet bel sedari tadi enggak nyahut juga."

Tsamara mengangguk-angguk. "Saya temannya, Pak. Biar saya saja


yang menerima."

Pak kurir memberikan kantong kertas makanan kepada Tsamara, dan


sekotak pizza. Setelah itu pamit undur diri.

Tsamara kemudian memencet bel, dan memanggil sang sahabat. Dia


menunggu cukup lama hingga akhirnya pintu di depannya dibuka, dan
sosok Leo menyembul. Tsamara mencebikkan bibir saat melihat
tampilan Leo. "Pakai baju," katanya, karena lelaki itu hanya
mengenakan celana training panjang.

"Aku baru selesai mandi, Tsa." Leo berdecap. "Duduk deh, aku ambil
kaus dulu." Dia berlalu memasuki kamarnya.

Tsamara meletakkan semua barang-barang bawaannya ke atas meja di


ruang tamu. Dia membuka kantong kertas makanan yang didalamnya
berisi fried chicken, salad, dan nasi. Lalu membuka kotak pizza ukuran
cukup besar.

Harusnya ia yang datang membawa makanan sebanyak ini untuk


menghibur Leo, bukan malah ia yang disuguhi.

"Kamu datang ke sini, dibolehin sama suami kamu, Tsa?" Leo


mengambil duduk di samping Tsamara. Mereka duduk di atas karpet
bulu, bersandar sofa.

"Ghaly lagi di Bandung. Aku udah izin, kok, enggak lama-lama juga di
sini." Tsamara membuka botol minum yang baru diberikan Leo, lalu
meneguknya pelan. "Aku cuma mau pastiin kamu baik-baik saja."
"Enggak bisa dikatakan baik-baik saja, sih," desah Leo. Dia turut serta
meneguk minumnya. "Tapi, enggak ada yang bisa kulakukan juga.
Karena kehilangan itu pasti nyata."

Mendengar nada lemah yang Leo suarakan membuat Tsamara merasa


sendu. Dia mengusap bahu lelaki itu berusaha memberi sedikit
semangat, dan menenangkannya. "Aku enggak bisa bilang, aku tahu
seberapa besar rasa sakitnya kehilangan. Karena setiap orang
mempunyai situasi yang berbeda. Tapi, kamu harus ingat, masih ada
aku. Aku siap jadi saudarimu. Mbak pun enggak masalah, bukan
bermaksud ingin menggantikan." Diakhir kalimat ia menyunggingkan
senyuman hangat nan tulusnya.

Leo berdecak keras. "Mbak. Yang ada kamu yang selalu jadiin aku
sebagai abang kamu."

Tsamara terkekeh pelan. "Yah, mau gimana lagi. Pikiran kamu yang
terlalu cepat dewasa dari aku bikin aku otomatis anggap kamu abang.
Lebih tua juga."

"Jadi, aku adek kamu atau abang kamu, nih?"

"Dua-duanya."

Mendengar jawaban Tsamara, refleks Leo memukulkan botol minumnya


ke lengan Tsamara.
"Sakit, tahu." Tsamara meringis. Memegangi lengan kanannya yang
kena pukul. Meski jelas pukulan itu benar-benar pelan.

"Udah, sambil makan. Kasihan makanannya dianggurin." Leo


mengambil sepotong fried chicken dan menggigitnya. Hampir tiga hari ini
ia tidak nafsu makan, sejak berada di kampung halaman dalam suasana
berkabung.

Namun sekarang, ia jadi begitu kelaparan karena melihat banyaknya


makanan yang Tsamara bawa.

"Leo," panggil Tsamara, setelah menggigit sepotong piza.

"Hm, kenapa?" Leo menoleh ke arah Tsamara dengan mulut terus


mengunyah.
"Kalau kamu pengin nangis, pengin luapin kesedihan kamu. Kamu bisa
membaginya denganku. Kamu bisa meminjam bahuku."

Leo membuang tulang ayam ke kantong plastik. "Pengin. Tapi aku takut
Ghaly marah. Kamu tahu sendiri, secemburuan apa Ghaly sama kamu.
Daripada aku kena bogem dia yang salah paham tentang kita. Lebih
baik enggak pinjam bahu kamu." Meski seingin apapun ia mengadu dan
mengeluh di bahu Tsamara, ia harus menahan diri. Mengingat, Tsamara
tidaklah sama seperti sebelumnya, perempuan itu sudah berpemilik.

Tsamara meringis. "Enggak secemburuan itu, deh."

"Iya, deh, enggak cemburuan." Leo mendesis. "Cuma galak." Dia


mengambil sepotong pizza dan menggigitnya besar-besar.

"Enggak galak. Cuma kelewat sayang. Kelewat ganteng juga," Tsamara


berkelakar.

"Kelewat kaya juga?" Leo membalas kelakar Tsamara yang diangguki


perempuan itu, dan mereka tertawa bersama.

Tsamara mengambil potongan pizza yang kedua. "Kok pizzanya enak,


sih, beli di mana?" komentarnya sembari menilik kotak pizza dan
membaca nama toko-nya.

"Bukannya kamu yang beli?" Leo mengernyit, dia turut serta mengambil
potongan pizza yang kedua.

"Aku enggak beli. Bukannya kamu. Tadi aku ketemu kurir makanannya
di depan pintu apartemen, jadi sekalian aku yang terima."

Leo menatap potongan pizza sisa gigitannya. "Tunggu, tunggu, kalau


bukan kamu atau aku yang beli, terus siapa?"

Tsamara mengedikkan bahu. "Temen kamu, bukan?"

"Enggak ada yang bilang mereka akan kirim makanan." Leo meletakkan
sisa gigitan pizza-nya kembali ke kotak. Dia lalu mengangkat kotak pizza
itu dan mengendusinya.

"Leo, ngapain?"
"Aku khawatir ada yang enggak beres. Jangan dimakan dulu, deh," kata
Leo, dia meneguk minumnya hingga hampir tandas.

Menurut, Tsamara meletakkan potongan pizza sisa gigitannya ke kotak,


dan meneguk minum banyak-banyak. Baru saja dia ingin mengambil
ponsel untuk mengabari Ghaly, dia merasa sangat mengantuk. "Aku
ngantuk banget," keluhnya.

"Ya udah cepet pulang, enggak ada acara ketiduran di sini."

"Tapi kepalaku berat banget. Aku rebahin 5 menit, deh," kata Tsamara
berpindah mengambil duduk dan merebahkan tubuhnya di sofa.

Leo berdecap. "Payah."

Namun, tidak berapa lama kemudian, dia pun merasakan kantuk


menyergapnya, dan kepala yang terasa amat berat. Dia memijat
pelipisnya, sembari mencolek-colek bahu Tsamara, membangunkannya.
Tapi sayangnya, perempuan itu bertahan terlelap.

Padahal, ia ingin meminta Tsamara mengabari Ghaly, atau setidaknya


menghubungi sopir perempuan itu.

***
Ghaly tiba di rumahnya pukul 11 malam. Dan ia tidak menemukan
keberadaan sang istri, sama persis seperti yang ibunya katakan di
telepon.

Marta meneleponnya pukul setengah 9 malam. Katanya, Tsamara tidak


di rumah. Sang ibu mengutus sopir pribadi ke rumah Ghaly untuk
mengantar oleh-oleh, setelah perjalanan dari Bali kemarin. Dan sang
sopir bilang, tidak ada orang di rumah.

Tsamara berjanji padanya akan pulang paling lambat setengah sembilan


malam, dan ketika ia menghubungi sang istri, panggilannya tidak
terjawab. Saat ia menghubungi sopir pribadi yang stay di rumah untuk
mengantar Tsamara ke mana pun, lelaki itu bilang, Tsamara belum
keluar dari apartemen Leo.

Dan karena kabar itu, Ghaly segera berangkat dari Bandung, memacu
mobilnya di tengah padatnya jalanan malam itu.
"Tsa, angkat teleponnya." Ghaly menggeram dalam. Dia sungguh tidak
ingin berpikiran buruk. Tapi, sang istri belum kembali ke rumah saat jam
sudah menunjukkan pukul 11 malam.

Ghaly kembali keluar rumah, ia memacu mobilnya menuju apartemen


Leo. Dia belum pernah secara langsung ke apartemen Leo, namun
cukup tahu gedungnya, dan nomor apartemennya. Tsamara pernah
mengirimkan alamat apartemen Leo padanya.

Tidak berapa lama, Ghaly tiba di apartemen Leo, dan segera menaiki lift
yang akan mengantarkannya ke lantai tempat tinggal Leo. Dengan tidak
sabar, ia memencet bel apartemen Leo.

Setiap detik yang ia lalui untuk menunggu, rasanya membuat ia semakin


tidak sabar. Dia ingin mendobrak pintu itu.

Saat ia sudah mengambil ancang-ancang, pintu di depannya membuka,


sosok Leo menyembul, bertelanjang dada, hanya memakai bokser dan
tampak sangat lesu.

"Ghaly?" Leo mengernyit bingung menemukan Ghaly di depan pintu


apartemennya. Dia memijat kepalanya yang pening sekali rasanya.
Mungkin karena ia bangun dalam keadaan terkejut mendengar bel
apartemennya.

"Di mana Tsamara?" tanya Ghaly.

"Tsa? Dia udah pulang," kata Leo, lamat-lamat mengingat hal terakhir
sebelum jatuh tertidur.

"Dia belum pulang." Ghaly menggeram lirih, sembari menempelkan


ponselnya di sisi telinga dan menghubungi ponsel Tsamara. Dering
ponsel dari dalam apartemen, yang ia yakini milik Tsamara, membuat
Ghaly memandang Leo dengan sorot tajam. "Minggir," katanya keras,
melewati Leo begitu saja, meski sang tuan rumah belum
mempersilahkannya masuk.

Di ruang tamu, ia dibuat amat terkejut dengan barang-barang yang


berserakan, dari tas, jaket, yang ia ketahui semuanya adalah milik
Tsamara, dan ponsel perempuan itu yang masih berdering, berada di
atas sofa.
"Tsamara." Ghaly berseru lantang. Tatapannya mengedar ke seluruh
ruangan, dan maniknya berhenti di salah satu kamar yang pintunya
membuka.

"Hei," Leo memburu Ghaly yang berjalan ke arah kamarnya. "Kamu


ngapain sebenarnya?"

Ghaly menelan ludah kasar. "Aku ngapain? Kamu yang ngapain.


Kenapa baju Tsamara bisa berserakan di lantai?" Dia menunjuk ke arah
pakaian Tsamara yang berserakan, bahkan bra yang sangat ia hapal itu
kini teronggok mengenaskan di lantai. Dia mati-matian menahan amarah
yang menggelegak di dadanya.

Bola mata Leo membulat, ia baru menyadari pakaian Tsamara


berserakan di lantai, juga pakaiannya sendiri. Dia kemudian berkedip
dalam keadaan penuh kebingungan. Melirik tubuhnya sendiri, dan ia
bertelanjang dada.

Leo sudah akan membuka suara, namun lenguhan pelan dari arah
kamarnya membuat ia dan Ghaly sontak menoleh. Dan betapa
terkejutnya ia mendapati Tsamara tidur di sana, mengenakan kemeja
yang dua kancing teratasnya membuka, satu sisi kemejanya bahkan
tersingkap, membuat bahu perempuan itu terpampang jelas.

"Tsa," panggil Ghaly lirih, penuh kekecewaan mendapati kondisi


Tsamara yang kacau sekali. Rambut perempuan itu berantakan, begitu
juga dengan make up-nya.

Tsamara yang masih lamat-lamat membuka kelopak mata, dan memijit


kepalanya yang pusing, mengarahkan tatapan ke pintu kamar. Dia
terbangun karena mendengar keributan.

Satu sosok yang kemudian tertangkap netranya yang masih sangat


berat untuk terbuka, seketika membuat seluruh kesadarannya
terkumpul. "Ghaly," sebutnya. Ekspresi Ghaly yang menahan amarah
membuat Tsamara bangun dari rebahnya. "Aku ketiduran tadi—" Dia
mendelik saat menurunkan kaki dan menemukan kakinya telanjang. Dia
hanya mengenakan selembar kemeja, yang menutupi sampai
pertengahan paha-nya.

Melihat Tsamara yang hanya mengenakan kemeja, membuat Ghaly


meloloskan tawa menyedihkannya. "Jadi, ini yang kamu lakukan di
belakang aku, Tsa. Mengkhianatiku."
Tsamara menggeleng. "Enggak. Ini salah paham. Aku bisa jelasin." Dia
menyambar selimut dan melingkarkannya di bahu.

"Benar. Ini salah paham kita bisa jelasin." Leo yang masih sama
bingungnya dengan keadaan yang terjadi sekarang ini, mencoba
menjelaskan.

"Salah paham?" alis Ghaly naik sebelah. Dia mengepalkan tangan dan
mendekati Leo, lalu mengayunkan kepalannya begitu keras
menghantam sisi wajah Leo. Terlalu keras hingga membuat Leo
terdorong dan jatuh di lantai.

Tsamara menjerit, bangkit dari duduknya, dan menghampiri Ghaly.


Mengabaikan pening yang menyergapnya. "Ghaly, please, aku bisa
jelasin. Ini enggak seperti yang kamu lihat. Aku enggak tahu apa yang
sebenarnya terjadi sampai kayak gini."

Ghaly mengangkat tangannya, menggeleng, membuat langkah Tsamara


terhenti. "Enggak ada yang perlu dijelasin. Pakaian kamu yang
berserakan, kemeja yang menempel di tubuh kamu, dan lipstik
berantakan di bibir kamu, udah jelasin semuanya, Tsa. Kenapa kamu
tega berbuat seperti ini sama aku?"

Bibir Tsamara bergetar, tatapannya nanar menemukan pakaiannya yang


berserak. "Aku enggak ngelakuin apapun. Please, percaya."

"Aku akan percaya kalau kamu pulang tepat waktu seperti yang kamu
janjikan sore tadi. Tapi nyatanya enggak. Kamu disini, bersenang-
senang di belakang aku."

Tsamara menggeleng pelan. Air matanya menganak sungai. "Aku mau


pulang tapi kepalaku pusing banget, jadi kupikir aku tidur sebentar.
Aku—"
Ghaly mengepalkan tangannya, tatapannya menyiratkan sejuta kecewa.
"Aku enggak nyangka kamu tega mengkhianati pernikahan kita. Sudah
berapa lama kamu berselingkuh dengan si berengsek itu?"

"Jaga bicara kamu, Ghaly." Leo menyela keras.

"Kamu diam," geram Ghaly pada Leo. Dadanya naik turun dipenuhi
gelegak emosi yang ingin sekali ia luapkan.
Tsamara mengangguk pada Leo, meminta lelaki itu untuk diam, menuruti
Ghaly. Dia kembali mengambil langkah mendekat, berusaha untuk tidak
mengeluarkan isakannya. Dia sangat ketakutan karena amarah Ghaly,
dan tatapan kekecewaan di bola mata yang biasanya selalu berbinar
menatapnya.

Perempuan itu menelan ludah kasar, dan berucap, "Aku sangat


mencintai kamu Ghaly. Aku enggak mungkin mengkhianati pernikahan
kita. Yang kamu lihat sekarang, aku sendiri enggak tahu kenapa bisa
begini. Tapi tolong, percaya sama aku. Aku sama Leo enggak ngelakuin
kayak yang kamu pikirkan."

Rasanya ia ingin bersimpuh di kaki Ghaly agar lelaki itu mempercayai


dirinya.

"Tadi, kita makan pizza—" ucapan Tsamara terhenti saat tatapannya


tidak menemukan kotak pizza di atas meja.

"Pizza?" Ghaly turut menoleh ke arah tatapan Tsamara."Enggak ada


pizza di sana." Di meja ruang tamu hanya ada keranjang buah yang ia
yakin Tsamara yang bawa, karena ia sempat melihat keranjang buah itu
di rumah. Lalu fried chicken, sekotak salad, kue, air mineral, dan soda.

Tsamara berkedip, dia menatap Leo penuh kebingungan. "Leo, kamu


mindahin kotak pizza itu?"

Leo menggeleng. "Enggak. Habis kamu tidur, aku juga ngantuk banget,
dan tidur."
"Bukannya kamu bilang ada yang mencurigakan dari pizza itu, mungkin
di dalamnya ada obat—"

Ghaly meloloskan decapan keras dan membuang tatapan. "Lanjutkan


saja kesenangan kalian," katanya, lalu mengambil langkah menjauh,
keluar apartemen. Dengan sejuta perasaan campur aduk di dalam
dadanya. "Lanjutkan saja perselingkuhan ini." Di depan pintu ia meninju
daun pintu itu cukup keras, membuat debaman suara yang
memekakkan, di tengah malam.

Tsamara memburu. "Ghaly, tunggu. Please." Dia mencekal lengan Ghaly


tepat di depan pintu. "Aku enggak selingkuh."

"Lepasin." Ghaly menghentak keras. Membuat cekalan Tsamara


terlepas, dan perempuan itu terdorong mundur, selimut perempuan itu
bahkan melorot jatuh. Ghaly merasakan dadanya seperti diremas,
sangat menyesakan saat melihat penampilan Tsamara sekarang.
Penampilan yang harusnya hanya dilihat olehnya seorang. "Apa yang
aku lihat sekarang, membuatku merasa sangat gagal menjagamu
sebagai istriku, Tsa."

Ghaly melenggang pergi. Semakin lama melihat Tsamara, keinginan


untuk mengangkat tangan dan menyakiti perempuan itu kian besar.

"Ghaly." Tsamara menjerit di depan pintu. "Aku enggak selingkuh." Dia


jatuh terduduk di depan pintu, menatap punggung Ghaly yang semakin
menjauh darinya. Isak tangisnya semakin keras, memenuhi lorong.

Leo menghampiri Tsamara, melingkarkan selimut yang sebelumnya


terjatuh, untuk membungkus tubuh perempuan itu. Dia merasakan
dadanya begitu sesak mendengar tangis pilu Tsamara.

Dan itu terjadi karena kesalahannya. Karena ia lalai menjaga Tsamara.

***
Bab 37

Dengan wajah penuh lebam, Ghaly pulang ke rumah orang tuanya,


malam itu juga. Setelah menelepon orang rumah dan memastikan
ibunya sedang di rumah.

Sore tadi, ia membiarkan Tsamara pergi, karena ia memang tidak bisa


menahan perempuan itu sesuka hatinya. Meski pada kenyataannya
hubungan mereka tidak benar-benar terputus. Ada Alta, anak laki-laki
tampan yang merupakan darah dagingnya.

Mengingat bocah tampan itu membuat semua nyeri di wajahnya tidak


terasa sama sekali, karena yang ada hanyalah kebahagiaan.

Ghaly sangat ingin memeluk Alta, sebelum Tsamara membawa bocah


itu pergi, sayangnya tidak ada kesempatan baginya untuk bebas
memeluk Alta. Namun, Tsamara masih begitu baik dengan mengizinkan
dirinya mencium ubun-ubun kepala Alta. Bocah itu terlelap begitu damai
dipelukan Tsamara sore tadi.

Lelaki itu masih tidak bisa berkata-kata untuk mengungkap semua


perasaan yang menyesaki dadanya. Segalanya begitu campur aduk.
Namun satu hal, lebih dari apapun, ia sangat berbahagia.

"Nak, wajah kamu kenapa?"1

Adalah satu tanya yang dilemparkan Joe Badrayudha saat menemukan


sang putera pulang dalam keadaan wajah penuh lebam.

Ghaly menyentuh pipinya yang lebam, lalu berkata ringan, "Hanya


sedikit lebam, bukan hal besar." Dia lalu mengedarkan pandangan ke
seluruh sudut rumah, dan tidak menemukan sang ibu. "Pa, di mana
Mami?"

"Masih di kamar, sebentar lagi turun," kata Joe, dia bertahan duduk di
meja makan. "Kamu berkelahi dengan siapa?"
"Leo," balas Ghaly, lalu menjatuhkan tubuh di kursi, tepat di sebelah kiri
sang ayah.
Kening Joe mengernyit, nama itu seperti tidak asing di telinganya.
"Leo?"

"Ya, temannya Tsa." Kali ini Ghaly menuang air bening ke gelasnya, dan
meneguknya pelan. Dia berusaha bersikap sesantai mungkin. Meski
dadanya sudah diliputi gelegak amarah.

"Karena Tsa?"

Ghaly menggeleng. Dia menatap Joe yang bersikap begitu tenang. Sang
ayah seolah tidak terkejut sama sekali dengan lebam-lebam di
wajahnya. "Karena Mami," balasnya pasti, bertepatan dengan itu Marta
datang ke meja.

"Karena Mami?" Marta menyambung ucapan Ghaly, dia menatap sang


putera dan terkejut detik itu juga. "Astaga, Ghaly. Kenapa wajah kamu
biru-biru seperti ini?" Dia mendekati Ghaly dan mengulurkan tangan
untuk menyentuh wajah tampan sang putera yang penuh luka.

"Harusnya Mami enggak terkejut, bukan?" Ghaly menatap mata ibunya


begitu datar. "Aku bener-bener enggak habis pikir, kenapa Mami sejahat
itu padaku?"

Marta mengerjap, bingung.

"Kenapa Mami menghancurkan pernikahanku dengan semua siasat licik


Mami?"

Detik itu, jemari tangan Marta yang mengusap wajah Ghaly meluruh. Dia
dibuat kelu karena ditatap sebenci itu oleh sang putera.

"Tunggu, ini ada apa?" Joe menatap istri dan puteranya secara
bergantian. Dia dibuat tidak mengerti dengan semua ucapan yang Ghaly
loloskan.
Ghaly menoleh ke arah Joe dengan tatapan penuh luka. "Mami yang
menjebak Tsa dan Leo di malam itu. Membuat mereka seolah sedang
berselingkuh." Dia kembali mengarahkan tatapan kebencian dan
kecewanya pada sang ibu.

Tadi sore, Ghaly memberanikan diri bertanya langsung pada Leo. Dan
Leo sekali lagi menegaskan, jika apa yang Ghaly lihat di malam itu
adalah kesalahpahaman.
Sepanjang proses perceraian Ghaly dengan Tsamara, Leo pun
berusaha menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi di malam itu, hingga
membuat keduanya berada dalam kondisi setengah telanjang dan
pakaian yang berserakan.

Dan Leo menemukan satu titik jawaban dari tetangganya, yang tidak
sengaja melihat roommate Leo keluar dari apartemennya di malam itu.

Saat itu, teman Leo sudah sebulan keluar dari apartemen dan mencari
tempat tinggal sendiri, karena ada masalah antara Leo dan sang teman.

Merasa curiga dengan kedatangan sang teman yang tidak memberi


kabar, Leo akhirnya menghubungi temannya itu, dan memaksa untuk
memberi alasan kedatangannya ke apartemen Leo, malam itu.

Dengan desakan dan sedikit ancaman, sang teman akhirnya


mengatakan tujuannya datang ke apartemen. Dia dibayar mahal oleh
seorang perempuan untuk melucuti pakaian Leo. Sedangkan pacar si
teman yang saat itu diajak, melucuti pakaian Tsamara, dan
menggantinya dengan kemeja Leo.

Ketika Leo mengirimkan foto Marta, sang teman mengatakan jika


perempuan itu lah yang menyuruh dan membayar mahal dirinya.

Saat kebenaran itu terungkap, dan Leo mengabarkannya pada Tsamara,


perempuan itu memilih bungkam, dan menyimpannya saja hanya untuk
mereka berdua. Tsamara memilih melanjutkan semua proses
perceraiannya, hingga palu diketuk di pengadilan.
Dan tentu saja, itu bukan salah Tsamara yang memilih bungkam. Semua
kesalahan memang berada di tangan Ghaly yang bertindak begitu
gegabah.

"Kamu percaya dengan omongan gila perempuan itu?" Marta


mengedikkan dagunya, mempertahankan ekspresi datarnya, meski pada
dasarnya ia sangat terkejut karena Ghaly menantangnya.

Ghaly mendesah lelah. "Sejak dulu seharusnya aku mempercayai


ucapan Tsamara, perempuan yang aku cintai. Bukan malah terjebak
oleh semua kata-kata palsu Mami." Rasa penyesalan kembali
menggelegak di dadanya. Dia mengutuk bodoh dirinya sendiri yang tidak
menaruh kepercayaan pada sang istri, dahulu.

"Ghaly, sadar, semua yang Mami lakukan untuk kebaikanmu."


"Jadi, Mami mengakui semua perbuatan itu?"

Marta membulatkan mata, tanpa sadar ia memang mengakui apa yang


dituduhkan Ghaly sebelumnya. "Enggak. Semua itu enggak benar."

Joe menatap sang istri, lalu mendesah pelan, sebelum akhirnya


mengangkat gelasnya yang meneguk minumnya.

"Mami bertemu Tsa, juga, kan siang tadi. Mami maki-maki dia."

"Dia ngadu?" Marta tertawa remeh. "Dia memang perempuan lemah."

Ghaly menyugar rambutnya, meremas helaiannya sedikit kasar. Demi


mengalihkan keinginannya untuk bertengkar hebat dengan sang ibu.
"Tsa salah apa sama Mami? Sampai Mami sejahat itu sama dia. Dan
kami salah apa, sampai Mami bisa sekejam itu memisahkan kami?"

Lebih dari apapun, ia sangat marah pada ibunya. Namun, ia pun sangat
marah pada dirinya sendiri. Lebih besar dari rasa marahnya pada sang
ibu.

Marta mengetatkan rahang. "Sudah jelas dia enggak sepadan. Dia


hanya mempermalukan—"

Prang!!!

Suara pecahan gelas yang sengaja dijatuhkan Joe membuat ucapan


Marta terhenti. Perempuan itu menatap sang suami dengan kabut
amarah di bola matanya. "Papi!" Dia menyentak.

Joe mengedikkan bahu, kembali bersikap biasa. "Ghaly, kamu pulang,"


katanya.

Ghaly berkedip tidak mengerti. "Tapi Ghaly belum selesai bicara."

"Memang apa yang ingin kamu bicarakan lagi? Sudah jelas tuduhanmu
sama Mami terbukti. Mami yang merencanakan perselingkuhan Tsa dan
Leo. Dan sudah sangat jelas kalau Mami enggak akan pernah menerima
Tsa, juga seberapa bencinya Mami kamu pada perempuan yang kamu
cintai."
"Papi," Ghaly melirih. Semua masalah ini terlalu kompleks untuk dirinya.
Dan telah menghancurkan hidupnya bertahun-tahun ini.

"Lebih lama disini, kalian hanya akan bertengkar. Memperkeruh


keadaan."

Ghaly meluruhkan bahu, kali ini tidak menyembunyikan bola matanya


yang memerah, ingin menangis, dan penuh luka. Ia sungguh ingin
menjelma seperti anak laki-laki yang cengeng. "Tapi karena Mami, hidup
aku hancur. Aku kehilangan satu-satunya cinta yang aku punya." Dia
menahan tangisannya sekuat yang ia bisa, agar tidak meledak saat itu
juga.

"Papi tahu," Joe mengangguk, masih dengan sikapnya yang begitu


sabar, dan pengertian. "Lalu, kamu akan menghukum Mami kamu
karena perbuatan buruk di masa lalu?" tanyanya, saat sang putera
menggeleng, ia melanjutkan bicara. "Biarkan Papi yang menghukum istri
Papi karena semua kesalahan yang dia perbuat."

Marta menggeram. "Papi."

"Begitu?" Ghaly melirik ayah dan ibunya bergantian. Dia memang tidak
akan bisa meluapkan amarahnya pada Marta, hal yang paling bisa ia
lakukan hanyalah menyimpan kekecewaannya dan kebenciannya.

"Mulai sekarang, jangan kamu pedulikan semua ucapan Mami kamu


yang menentang hubungan kamu dan Tsa." Joe tersenyum saat
menemukan sudut bibir Ghaly tertarik samar. Puteranya seolah tahu jika
ia mendukung sepenuhnya keputusan Ghaly. "Kamu hanya perlu
membuktikan pada Papi seberapa cintanya kamu pada Tsa. Kamu harus
mengejar cintanya sekali lagi, bukan?"

Dada Ghaly begitu hangat mendengar dukungan sang ayah. "Ya, Ghaly
harus mengejar Tsa sekali lagi."

"Dan itu pasti bukan hal mudah. Kamu butuh lebih banyak cinta dan
usaha."

Ghaly mengangguk. Kali ini, dia memang akan menghadapi lebih


banyak kesulitan untuk mengejar Tsamara. Meski rasanya mustahil hati
Tsamara bisa ia dapatkan lagi. Tapi itu bukan berarti tidak ada
kesempatan, bukan? Kesempatan itu, harus ia yang ciptakan.
Dia hanya harus berusaha sekali lagi. Berjuang sekali lagi.

Sampai di titik yang tidak bisa ia bayangkan.

***
Tiba di rumahnya sendiri. Ghaly memasuki kamarnya di lantai dua,
sudah sedemikian lama ia tidak menginjakkan kaki di sana. Semua itu ia
lakukan karena setiap berada di kamar itu, kesedihan dan kebenciannya
menggulung-gulung di dada.

Lelaki itu menghirup napas dalam-dalam, dan menghelanya pelan. Dia


memutar pandangannya ke sekeliling kamar berukuran besar itu. Tidak
banyak yang berubah, dari terakhir kali ia menginjakkan kaki di sana.

Dia duduk di tepian ranjang, menatap ke pintu kamarnya yang sengaja


ia buka, lalu pandangannya berpindah ke lukisan yang terpajang di
dinding. Lukisan dirinya dan Tsamara.

Mereka pernah melewati hari-hari penuh kebahagiaan dan cinta. Namun


kenapa harus berakhir sepelik ini?

Ghaly kemudian menjatuhkan dirinya ke atas kasur dan memejamkan


mata. Berharap dia bisa memutar ulang semua kebahagiaan yang
terjadi antara ia dan Tsamara, namun, justru sebaliknya. Ingatan di
malam ia membawa pulang surat cerai talak yang justru begitu lekat
memutar di benaknya kini.

Malam itu, Ghaly pulang pukul sembilan. Dia menaiki tangga menuju
kamarnya, dan membuka pintunya, tanpa memanggil Tsamara sedikit
pun. Saat melihat Tsamara baru keluar dari kamar mandi, dan langsung
bertemu tatap dengannya, Ghaly merasa ingin sekali menarik
perempuan itu dan ia banting ke atas kasur. Lalu meluapkan amarahnya
pada sang istri, membuat perempuan itu menjerit kesakitan dan
menangis karena permainan kasarnya.

Tapi, dia cukup waras untuk tidak melakukan hal gila itu pada Tsamara.
Entah seterluka apapun dirinya.

"Ghaly, kamu akhirnya pulang." Tsamara mendesah lega. "Kita harus


bicara, aku bisa jelaskan semua kesalahpahaman itu." Dia mengambil
langkah mendekat pada Ghaly. Ingin memeluk lelaki itu.
Hari ini sudah terhitung satu minggu Ghaly tidak pulang, dan setiap kali
ia menghubungi, panggilannya dimatikan. Begitu pun saat Tsamara
datang ke kantor lelaki itu, Ghaly menolak bertemu dengannya dan
mengusir dirinya.

Ghaly mengambil langkah mundur. "Jangan mendekat dulu. Kamu


duduk di kasur—" Dia menggeleng, sebelum kalimatnya diselesaikan.
Dia kemudian mengarahkan tatapan ke jendela balkon, namun kembali
menggeleng, bicara di balkon sangat beresiko untuknya yang tengah
diliputi amarah. "Duduk di sofa," Akhirnya ia menunjuk sofa dengan
menggerakkan dagu.

Tsamara menurut, ia mengambil duduk di sofa, disusul Ghaly yang


mengambil duduk di sofa lain, di hadapannya.

"Kamu ke mana saja semingguan ini?" tanya Tsamara, berusaha


mencairkan suasana.

Bukannya menjawab, Ghaly mengeluarkan surat pengajuan


perceraiannya dari dalam map, dan memberikannya pada Tsamara.

"Ini apa?" Tsamara menatap Ghaly penuh kekalutan. Dia tidak ingin
berpikiran buruk, namun satu kalimat berikutnya yang Ghaly suarakan
berhasil membuat seluruh pengharapannya meluruh.

"Surat pengajuan perceraian." Ghaly menatap Tsamara tanpa berkedip.


"Kamu hanya perlu menandatanganinya, dan semua berkasnya akan
diurus pengacaraku."

"Kamu gila. Kenapa kamu berpikiran pendek seperti ini?" Tsamara


menatap nanar seonggok kertas di hadapannya.

"Aku memang gila karena melihat perselingkuhanmu." Ghaly


menggeram dalam. Tangannya terkepal erat dan bola matanya
menghunus Tsamara penuh kekecewaan.

Tsamara menggigit bibir bawahnya. "Harus berapa kali lagi aku bilang,
yang kamu lihat tidaklah benar."

"Enggak benar dari sisi mana, Tsa? Dari kamu yang melucuti
pakaianmu, dan aku melihatnya di depan mataku sendiri."
"Kamu tahu persis aku datang ke tempat Leo untuk apa. Enggak ada
niatan sedikitpun untuk mengkhianati kamu."

Ghaly tertawa remeh, menunjukkan kesakitannya. "Kamu datang


menghibur dia yang sedang berkabung. Terlalu menghibur, menurutku."

Tsamara menangkup wajahnya dengan dua tangan, menahan tangis


yang siap pecah. "Ghaly, please, kita bisa selesaikan ini dengan baik-
baik, tanpa perpisahan." Dia tidak mengira sama sekali, kepulangan
Ghaly justru mengantarkan surat pengajuan perceraian.

Keputusan Ghaly tidak tergoyahkan. Dia bangkit dari duduknya, dan


keluar kamar seraya berkata, "Mungkin ini satu-satunya yang terbaik
untuk kita. Dan kamu bisa bebas bersama lelaki berengsek itu."

"Sudah kubilang aku enggak pernah berselingkuh dengan Leo!"


Tsamara berseru keras. Menghentikan langkah Ghaly detik itu juga.
Seolah mendapat satu pengharapan bahwa Ghaly bisa luluh padanya,
Tsamara mendekati lelaki itu, memeluknya dari belakang. Dia menangis
di punggung lelaki itu.

"Tolong percaya padaku, kita dijebak. Aku hanya mencintai kamu


seorang. Tidak dengan yang lain."

Namun, Ghaly lebih mempercayai apa yang ia lihat dengan mata


kepalanya sendiri. Dia memilih melepaskan dekapan Tsamara dan pergi
meninggalkan perempuan itu.

Meninggalkan satu-satunya perempuan yang ia cintai dalam isak tangis


yang kian mengeras. Perempuan paling istimewa untuknya namun juga
yang paling banyak menoreh luka di hatinya.

Ghaly mengumpat lirih, menjambak rambutnya kasar. Rasanya semua


umpatan kebodohan tidak akan cukup menggambarkan bagaimana
buruknya sikapnya saat itu. Dia menutup matanya dari kebenaran. Dan
membiarkan kesalahpahaman itu menghancurkan rumah tangganya.

Lelaki itu menatap langit-langit kamarnya. Kini, semua hal tentang


Tsamara begitu memenuhi kepala dan pelupuk matanya.

Dia sangat bodoh hingga melepaskan Tsamara dari hidupnya.


Membiarkan perempuan itu berjuang sendiri membesarkan putera
mereka yang bahkan tidak pernah ia ketahui kehadirannya.
Apakah ia layak dipanggil Papa oleh Alta? Setelah semua hal buruk
yang ia lakukan pada Tsamara?

Dan apakah masih ada kesempatan baginya untuk memperbaiki


semua?

***
Bab 38

Joe Badrayudha menatap sang istri begitu lama dalam kediaman. Rasa
kecewa pada perempuan itu-yang telah mendampinginya bertahun-
tahun ini terpeta nyata di dua bola matanya.

"Papi," Marta bersuara pertama kali, merasa begitu tidak nyaman karena
kediaman yang menggantung di antara ia dan Joe. "Aku melakukan
semua itu karena ingin Ghaly mendapatkan pendamping yang bisa
mendukung dia secara materil."

"Ghaly lebih dari mampu secara finansial. Dia enggak butuh dukungan
materil apapun dari Tsa." Joe memijit pelipisnya, dia benar-benar dibuat
pusing oleh satu fakta yang baru Ghaly ungkapkan. "Aku benar-benar
enggak menyangka kamu bisa sekejam itu pada anak kamu sendiri."

Marta membuka mulut hendak menimpali, namun Joe lebih dulu


menyambar.

"Kamu tahu betul secinta apa Ghaly pada Tsa dulu, kenapa kamu
sampai tega membuat trik licik itu?" Joe menggeleng-geleng. Semakin
dipikirkan ia benar-benar tidak bisa menebak arah pikiran Marta yang
begitu pendek. Melakukan semua hal hanya untuk membuat perempuan
itu puas. "Mereka sudah menurutimu untuk menikah secara diam-diam.
Kupikir setelah itu, kamu enggak akan mengusik kehidupan pernikahan
mereka."

"Kenapa kamu begitu peduli pada perempuan itu?" Marta menggeram


dalam. Tidak terima dirinya dicecar sedemikian rupa oleh sang suami.

Joe mengalihkan tatapan ke arah foto pernikahannya dengan Marta


yang tergantung di dinding kamar tidur mereka. Tatapannya yang
sempat diliputi amarah, berubah begitu teduh. "Tsamara adalah
perempuan kuat namun lembut di satu sisi. Dia menerima Ghaly yang
seringkali bersikap kekanakan, dan melengkapi semua kekurangan
Ghaly." Dia menjeda, ingatannya terlempar di awal-awal pernikahan
Ghaly dan Tsamara. Dia tahu persis putranya masih begitu kekanakan,
tapi Tsamara selalu siap membuka lengannya untuk menerima Ghaly,
lagi, dan lagi.
Sifat kekanakan itu salah satunya dibuktikan dengan keputusan
gegabah Ghaly yang ingin berpisah dengan Tsamara.

"Tsamara adalah sosok yang paling tepat untuk Ghaly." Joe kembali
menatap sang istri yang masih memasang wajah kesalnya.

"Aku tetap enggak akan merestui." Marta kukuh dengan keputusannya.

Joe mengedikkan bahu. "Itu terserah kamu, tapi kalau sekali lagi kamu
mengganggu hubungan Ghaly dan Tsa, maka jangan heran jika Ghaly
enggak akan pernah menginjakkan kakinya di rumah ini lagi."

"Papi mengancamku?"

"Bukan ancaman, tapi memang itu yang bisa Ghaly lakukan untuk
memutus hubungan dengan kita." Joe berkata begitu ringan. Seolah
kalaupun Ghaly tidak akan pernah pulang ke rumah mereka lagi, itu
bukanlah sebuah hal besar.

Marta menghembus nafas kasar, dan bangkit dari duduknya di atas


ranjang. "Kalau kalian bisa mengancam, aku pun bisa mengancam."

"Tunggu," Joe menahan kepergian sang istri. "Aku belum selesai


bicara."

"Apalagi?" Marta menghentakkan kaki. Kesal bukan kepalang.

"Karena kamu enggak merasa bersalah sedikitpun telah


menghancurkan pernikahan Ghaly, aku harus memberi hukuman,
bukan?" Joe menaikkan sebelah alisnya. Bertahan duduk di sofa
empuknya di ujung ranjang.

"Apa?"
Joe mengedikkan dagunya. "Kemari," perintahnya pada sang istri. "Atau
aku yang akan menyeretmu," imbuhnya saat Marta memilih bergeming
di tempatnya.

Dengan setengah hati, Marta kembali mendatangi Joe. "Aku bukan anak
kecil yang harus menerima hukuman," decapnya.
"Memang bukan, tapi kesalahanmu enggak termaafkan." Kali ini Joe
melempar tatapan tajamnya ke arah sang istri. "Mulai hari ini, semua
kartu kredit dan tabunganmu, serahkan padaku."

Marta mendelik. "Buat apa?"

"Itu hukuman. Kamu juga enggak dibolehkan keluar rumah, jalan-jalan,


arisan atau ke mana pun tanpa persetujuan dariku," Joe berkata tegas.
Raut wajahnya mengeras agar Marta tidak memiliki kesempatan
melawan dirinya.

"Kamu ingin mengurungku?"

Joe mengangguk pelan. "Mengurung dan menghukum, serahkan semua


yang aku minta." Dia menengadahkan tangannya.

"Papi bercanda." Marta menggeleng begitu pelan. Merasa sangat lucu


dengan situasinya sekarang.

"Kesalahan kamu lebih besar. Ini bahkan tidak sebanding sama sekali."
Joe tidak meluruhkan tatapan tajamnya sedikit pun. "Atau perlu
kutambah lainnya, jual semua koleksi tas dan berlian kamu, misalnya."
Dia tahu, ancamannya kali ini cukup berhasil, karena sang istri langsung
mengambil tasnya, meski dengan bibir terkatup begitu rapat.

Joe mendesah nafas begitu berat, ia menatap langit-langit kamarnya


dengan pandangan begitu hampa.

Dia tidak pernah mengira, kisahnya di masa lalu bisa menurun pada
Ghaly, mendapat penolakan berkepanjangan dari sang ibu.

Di masa lalu, sebelum dengan Marta-yang adalah pilihan ibunya, Joe


memiliki romansa mendebarkan seperti Ghaly, yang juga terjalin dengan
gadis biasanya. Sayangnya, perempuan yang Joe cintai memilih
menyerah begitu saja, tidak seperti Tsamara yang bertahan terus
menerus dan berjuang tanpa mengenal kata lelah.

Ghaly sungguh beruntung. Tidak seperti dirinya.

Maka kini, yang bisa Joe lakukan adalah berusaha mendukung Ghaly
semampu yang ia bisa. Agar sang putera tidak berakhir seperti dirinya.
Berada di dalam pernikahan yang hanya berjalan begitu saja, tanpa
pernah menyesap manisnya cinta.
Tapi, kisahnya itu hanya masa lalu, karena pada akhirnya, sesulit apa
pun hubungannya dengan Marta sejak dulu hingga kini. Mereka masih
bertahan.

***
Ghaly tidak bisa tidur semalaman, dan ketika pagi menjelang, ia sudah
sangat disibukkan dengan ponsel. Menimbang-nimbang haruskah
menghubungi Tsamara sepagi ini. Tapi kemudian ia urungkan, karena
Tsamara berangkat ke kantor, dan pasti sibuk menyiapkan sarapan
untuk Alta.

Hari ini Ghaly memutuskan tidak berangkat ke kantor, atas persetujuan


ayahnya juga karena tidak ingin membuat keributan di kantor. Dengan
wajahnya yang babak belur seperti ini, datang ke kantor memang hanya
akan membuat semua orang bertanya-tanya dan ingin tahu.

Dia membuka laptopnya, mengecek pekerjaannya. Berusaha sefokus


mungkin, namun pikirannya tetap tertuju pada Alta dan Tsamara. Dia
sangat ingin bertemu mereka. Dia ingin berbicara dari hati ke hati
dengan Tsamara.

Haruskah ia menghubungi Tsamara, sekadar berbasa-basi untuk


menanyakan pekerjaan?
Bermodalkan pekerjaan sebagai alasan, Ghaly mengambil ponselnya
dan segera menghubungi Tsamara, dia menanti dengan tidak sabar
panggilannya terjawab. Ingin mengobati kerinduannya, meski hanya dari
suara perempuan itu.

Namun, bermenit-menit terlewat, dan entah sudah berapa kali panggilan


dia lakukan, Tsamara tak juga menjawab panggilannya.

Ghaly menatap ponselnya yang hening. Tsamara pasti marah padanya.


Kalau tidak marah justru itu sedikit aneh?

Akhirnya, Ghaly menghubungi Joana. Ini tepat di jam makan siang,


harusnya Joana bisa menjawab panggilannya sekarang.

"Selamat siang, Pak Ghaly."

Suara Joana yang terdengar dari seberang, sedikit banyak membuat


Ghaly mampu mendesah napas begitu lega. "Tsa berangkat ke kantor?"
tanyanya. Dia lupa menanyakan tentang Tsamara pada Joana, harusnya
ia sudah melakukan itu sejak Joana mengirim laporan kerjaannya via e-
mail.

"Tsa," Ada jeda yang dibuat Joana cukup lama, sebelum kemudian
melisankan satu kalimat yang membuat kening Ghaly mengernyit begitu
dalam. "Tsa enggak berangkat kerja."

"Enggak berangkat kerja? Kamu tahu alasannya." Punggung Ghaly


segera menegak. Mungkinkah Tsamara sakit hingga membuat
perempuan itu absen ke kantor.

"Tsa mengajukan surat pengunduran diri, Pak."

"Apa?"

Seperti petir di siang bolong, ucapan Joana mematahkan semua dugaan


baik yang menari di kepala Ghaly.

"Suratnya ada di saya, Pak."

Ghaly segera bangkit dari duduknya, dia membuka bibirnya ingin


meminta tolong pada Joana agar menghubungi Tsamara, dan mencari
tahu keberadaan Tsamara. Dia tidak bisa membiarkan Tsamara lepas
begitu saja. Setidaknya, biarkan ia menebus rasa bersalah dan
penyesalannya, meski hanya setitik.

Namun ketika Ghaly sudah akan menyuarakan permintaannya, suara


ceria dari seberang telepon membuat jantung Ghaly berdetak begitu
cepat.

"Tante Jo."

Itu suara Alta. Ghaly yakin sekali akan itu.

"Kalian sedang di mana?" tanyanya, dengan ayunan langkah terus


mengarah keluar rumah.

"Apa, Pak?"

Ghaly menggeram dalam, dia membuka pintu mobilnya yang sudah


terparkir di pelataran. "Kalian sedang berada di mana sekarang.
Katakan pada saya, Jo."
Dengan suara lirih, yang mungkin hanya bisa didengar oleh Ghaly,
Joana menyebutkan tempat yang sedang perempuan itu singgahi. Ada
Alta di sana, sudah tentu ada Tsamara juga.

Setelahnya, Ghaly meminta Joana untuk mengulur waktu, dan tidak


beranjak dari tempat itu sebelum Ghaly datang. Baru kemudian Ghaly
mematikan sambungan teleponnya. Lalu segera memacu mobilnya
menuju tempat di mana perempuan yang bertahun-tahun ini tak jemu
menempati ruang di hatinya.

Ghaly akan mengusahakan apapun, agar Tsamara mau memaafkan


dirinya, dan memberi kesempatan baginya untuk menebus semua waktu
buruk yang perempuan itu lalui.

***
Bab 39

Ghaly tiba di restoran tempat Tsamara berada dengan napas terengah.


Dia berlari dari parkiran hingga masuk ke resto. Ia edarkan
pandangannya ke seluruh kafe, mencari keberadaan Tsamara.

Dia harap, Joana masih menurut padanya, dan bisa mengulur waktu
agar ia sempat bertemu Tsamara dan Alta.

Dan ia menemukannya di sana, Joana duduk berhadapan dengan Alta,


sedangkan satu perempuan lain, yang rambutnya dicepol dengan
gayanya yang khas, dan sangat ia kenali tengah membelakangi dirinya.

Ghaly mengayun langkah mendekati meja itu, yang tampak dipenuhi


keramaian, bahkan tawa Tsamara terdengar begitu jelas menyapa
gendang telinganya. Sudut bibirnya tertarik samar, ia telah kehilangan
begitu banyak waktu untuk mendengar tawa itu dan menemukannya di
setiap harinya.

Semakin mendekat ke arah satu sosok yang padanya ia masih titipkan


hati, Ghaly merasa telapak tangannya mulai basah. Dia gugup tiba-tiba.
Dia datang tanpa persiapan apa pun. Karena yang ia tahu hanya berlari
secepat mungkin sebelum ia kehilangan kesempatan.

Semua kegugupan Ghaly memecah, saat Alta menemukan dirinya,


tersenyum begitu ceria dan berseru memanggilnya dengan suara
nyaring.

"Om Ghaly."

Detik itu, sosok yang terus membelakanginya, menoleh ke arahnya dan


membulatkan mata. Tidak menutupi keterkejutannya sama sekali. Tanpa
membuka suara sedikitpun, Tsamara segera melempar tatapan ke arah
Joana, yang dibalas cengiran oleh sekretaris yang sudah menemani
Ghaly bertahun-tahun ini.

"Om Ghaly ke sini?" Alta menyapa ramah.


"Iya, Sayang. Papa—" ucapannya terhenti, lidahnya berubah begitu
kelu. Dan untuk menutupinya Ghaly mengulas senyuman semanis
mungkin. Dia berdiri di sisi Alta, mengusap puncak kepala bocah itu dan
menanamkan kecupannya di sana. Begitu dalam. Membaui helai rambut
Alta yang menguarkan wangi buah.

Ia sangat ingin menghidu wangi itu setiap harinya. Menciumi putranya.

"Kenapa kamu di sini?" tanya Tsamara datar. Tak lupa ia memasang


wajah dinginnya.

Ghaly menjilat bibirnya, ia arahkan tatapan sendunya pada satu-satunya


wanita yang tidak pernah mampu ia singkirkan dari hatinya. "Aku ingin
bertemu kalian."

Alis Tsamara naik sebelah, "Untuk?"

"Karena aku rindu, sangat rindu," kata Ghaly jujur. Ia mengunci bola
mata Tsamara, tidak membiarkannya untuk berpaling sedikit pun.

Tsamara mengeriap mendengar satu kalimat itu. Bola matanya bergerak


gelisah. Duduknya bahkan lebih tegap dari sebelumnya.

"Aku enggak akan biarin kamu pergi dariku sekali lagi, Tsa. Aku enggak
akan biarin kamu keluar dari perusahaan begitu saja," lirih Ghaly. Dan
karena ucapannya itu Tsamara semakin dibuat terkejut. Belum cukup
sampai di sana, Ghaly malah menurunkan tubuhnya, membuat lututnya
bertumpu di lantai, tepat menghadap Tsamara.

"Ghaly, apa yang kamu lakukan?" Bola mata Tsamara menyorot bingung
dengan apa yang terjadi di hadapannya. "Bangun sekarang,"
perintahnya.

Joana yang tahu situasi iu, berpindah duduk mendekati Alta, membisiki
bocah itu untuk menemaninya beli es krim. Ini adalah waktu untuk Ghaly
dan Tsamara berbicara tentang diri mereka. Tentang ribuan kecewa
yang selama ini mengungkung mereka.

Beruntung, Alta begitu pengertian. Es krim berhasil menarik perhatian


bocah itu untuk tidak mendekati Ghaly ataupun Tsamara.

"Aku minta maaf," Ghaly mengambil tangan Tsamara, menggenggam


jemari perempuan itu. "Aku tahu aku tidak termaafkan untuk semua
dosa yang aku lakukan. Untuk semua luka yang aku torehkan padamu.
Untuk semua penderitaan yang kamu jalani selama. Aku minta maaf,
Tsa. Tolong, jangan pernah pergi dariku lagi."

Bola mata Tsamara mengembun, jemarinya terkulai lemas digenggaman


tangan Ghaly. "Kamu yang mendorongku untuk pergi," dia melirih.

Ghaly mengerjap-ngerjap. "Itu adalah kesalahan terbesar yang pernah


kuperbuat."

Tsamara mengalihkan pandangannya, sudut matanya mengedar dan


menemukan beberapa orang yang tampak tertarik dengan apa yang
terjadi antara Ghaly dan dirinya.

"Tsa, tolong beri aku kesempatan untuk memperbaiki segalanya."

"Aku memaafkan kamu, Ghaly. Pada dasarnya aku pun bersalah di


masa lalu karena aku memberi kesempatan pada Tante Marta untuk
menciptakan kesalahpahaman itu," ucap Tsamara lirih. Seiring waktu dia
memang semakin sadar jika ia memiliki andil besar untuk keretakan
rumah tangganya dengan Ghaly dahulu. Dia lupa dia sudah bersuami
namun masih berhubungan dekat dengan Leo.

Tentu saja, Tsamara tidak pernah berpikiran yang tidak-tidak tentang


kedekatannya dengan Leo. Namun sudah seharusnya ia memang
membuat jarak dengan Leo meski dulu Ghaly mengizinkannya untuk
tetap berteman baik.

Persahabatan laki-laki dan perempuan ketika salah satunya sudah


berumah tangga memang begitu rentan. Karena prasangka buruk itu
bisa datang sewaktu-waktu hanya dengan sedikit hasutan. Seperti yang
akhirnya terjadi padanya dan Ghaly.

"Tapi tidak untuk kesempatan kedua," sambung Tsamara

Bayang-bayang Marta yang mencaci maki dirinya masih begitu jelas di


benaknya. Kembali memukul mundur dirinya untuk tidak menaruh
harapan apa pun. Untuk tidak membiarkan segala keinginannya kembali
pada Ghaly bisa terwujud.

Ini adalah yang terbaik, dia dan Ghaly harus melangkah di jalan masing-
masing. Tidak akan ada yang sama seperti dahulu.
Tidak akan ada hati dan ego yang harus ia menangkan.

Ia lebih memilih patah hati sekali lagi di awal, daripada dihancurkan di


akhir.

Ghaly menangkup kedua matanya dengan satu tangan. Pelupuk


matanya sudah basah. Dia sudah memperkirakan penolakan Tsamara
sekali lagi. Namun tidak ia sangka, rasanya tetap sesakit ini. Jika ibunya
tidak ikut campur dalam rumah tangganya dulu, semua masalah pasti
masih bisa ia dan Tsamara atasi.

"Lalu Alta?" tanya Ghaly, kembali menatap Tsamara setelah menghapus


tuntas air matanya.

"Kenapa dengan Alta?" Kepala Tsamara sedikit miring. Berusaha


meneguhkan ekspresi wajahnya untuk tidak melunak dan sendu di
hadapan Ghaly. Lelaki itu cukup pandai mencari celah dari
kelemahannya.

Dan yang pasti, ia tidak ingin Ghaly melihatnya lemah.

"Aku papanya," Ghaly kembali bersuara, begitu serak, karena tangis


yang seolah menyumpal tenggorokannya.

Senyum Tsamara terulas samar, "Ya, kamu memang papanya." Betapa


lega dirinya ketika memberitahu lelaki itu tentang kebenaran yang
selama ini ia simpan rapat.

Tangis Ghaly yang sedari tadi bisa ia tahan kini tumpah juga, namun
senyuman manis pun terulas di bibirnya. Dadanya begitu menghangat
mendengar pengakuan Tsamara tentang siapa Alta. "Ya, aku papanya."

Tak ada hal yang lebih membahagiakan dari ini. Ketika ia diakui menjadi
seorang ayah. Meski di satu sisi penyesalan dan kesedihan itu kembali
menumpuk di dadanya. Ia tidak hadir menjadi sosok ayah untuk Alta,
dalam tumbuh kembangnya selama ini.

Dia tidak ada di sisi Tsamara ketika perempuan itu bertaruh hidup dan
mati untuk melahirkan puteranya.

Dia tidak ada ketika jerit tangis Alta terdengar pertama kali di dunia ini.
Dan dia tidak ada di samping Tsamara ketika perempuan itu berjuang
hidup sendirian.

"Bangun, kamu enggak akan berlutut seterusnya seperti ini, bukan?"

Ghaly mengerjap, "Kamu sungguh memaafkanku?" tanyanya


memastikan.

"Apa aku harusnya tidak memaafkanmu?"

"Bukan, bukan begitu. Hanya saja, aku sadar—"

Tsamara melepas genggaman jari Ghaly, ia arahkan jemarinya ke wajah


lelaki itu, yang menangis sekali lagi di hadapannya. Betapa cengengnya
lelaki itu. "Kamu papanya Alta, membiarkan amarah itu mengobar di
dada, hanya akan membuat Alta semakin kesulitan untuk memahami
kita."

"Aku ingin Alta tumbuh dengan baik, tanpa menyimpan kebencian pada
siapa pun. Aku ingin Alta mengenal papanya. Bahwa, ya, dia punya
papa."

Pada akhirnya, sekeras apa pun Tsamara berusaha memisahkan Ghaly


dan Alta, membuat jarak begitu lebar. Alta selalu menjadi prioritas
utamanya. Anak itu berhak tahu siapa ayahnya. Alta berhak mendapat
kasih sayang dari seorang ayah, sama seperti anak-anak seusianya. Dia
memiliki kebebasan untuk bermain dan berbagi kasih dengan ayahnya.

Rasanya, Tsamara akan jadi orang tua yang sangat buruk jika
mempertahankan egonya.

"Terima kasih, Tsa."

"Maka, duduk sekarang," perintah Tsamara sekali lagi. "Kamu ingin aku
dipandang jadi manusia kejam oleh orang-orang karena biarin kamu
berlutut begitu lama?'

Ghaly tergeragap, lalu menggeleng-geleng. "Enggak, tentu saja." Dia


lalu mengambil duduk di kursi tempat Alta duduk sebelumnya. "Jadi, kita
baikan?"
"Kupikir, kita tidak sedang marahan." Tsamara berucap ringan. Baginya,
marahan hanya jika ia dan Ghaly punya hubungan dekat. Pada
kenyataannya, ia dan Ghaly adalah asing.

Sikap Tsamara yang dingin dan membentang jarak dengan dirinya,


Ghaly sangat maklum akan itu. Dialah yang telah merusak segalanya.
Dan selama bertahun-tahun ini ia yang menuding Tsamara telah
menghancurkan hidupnya.

Rasanya Ghaly begitu malu ketika mengingat semua yang telah terjadi
antara ia dan Tsamara hingga menjelma layaknya orang asing seperti
ini.

Namun, bagaimana lagi, ia tidak bisa memungkiri cintanya pada


Tsamara. Sesulit apa pun, ia akan memperjuangkan perempuan itu
sekali lagi.

***
Ghaly Badrayudha tidak pernah segugup ini di dalam hidupnya ketika
berhadapan dengan seorang anak kecil berusia 4 tahun. Dia bahkan
merasa tubuhnya sedikit gemetar sekarang ini.

Dari semua kebahagiaan yang mengelilinginya sejak kemarin, rasa


penyesalan itu jelas menumpuk sama besarnya di sudut hatinya. "Alta,"
panggilnya lirih meminta atensi bocah tampan yang sedari tadi asyik
bermain slime.

Alta menoleh ke arahnya dengan senyuman melebar di bibirnya.

Mereka sudah keluar dari restoran dan kini tengah berada di area parkir
minimarket. Tsamara tengah membeli beberapa barang di minimarket,
dan meminta Alta juga Ghaly untuk tetap tinggal, menunggui di mobil.
Tsamara menjanjikan akan membelikan bola-bola cokelat jika Alta
menurut tinggal di mobil saja.

Dan, lihat, bocah itu menurut ditinggal, asyik bermain sendiri.

Ketika Ghaly bilang enggak masalah membawa Alta ke minimarket,


karena Ghaly bisa membelikan jajan untuk bocah itu, Tsamara langsung
menghardik dirinya, bahwa tidak ada snack lagi untuk Alta.
Tsamara sangat memperhatikan jajanan yang Alta makan, termasuk
chiki-chiki yang menawarkan rasa terlalu gurih, dan membuat anak-anak
sering susah makan karena memilih jajan.

Ditinggal berdua dengan Alta seperti ini, justru membuat keharuan


merangkak naik di dadanya.

"Alta mau jalan-jalan sama Om Ghaly, enggak?"

Dia harus menahan diri menyebut dirinya papa di depan Alta, dan harus
cukup bersyukur meski saat ini Alta masih memanggilnya Om. Tsamara
akan menjelaskannya pelan-pelan pada Alta, tentang siapa Ghaly yang
sesungguhnya, sehingga dia harus bersabar untuk itu.

"Sama Mama?"

Ghaly mengangguk. "Tentu, sama Mama."

Alta berkedip lucu. "Alta mau, tapi Om Ghaly sudah sembuh?"

Oh, betapa sangat perhatiannya Alta dengan dirinya. Sikap super


perhatian ini pastilah menurun dari Tsamara. "Sudah, makanya kita bisa
jalan-jalan."

Ghaly sangat bersyukur, lebam di wajahnya begitu cepat tersamarkan,


sehingga di depan Alta ia tidak perlu menunjukan wajahnya yang kacau.

Lelaki itu kemudian mengulurkan tangan dan mengangkat Alta untuk


berada dalam pangkuannya.

"Om, Alta bisa duduk sendiri," kata bocah itu polos.

Di puncak kepala Alta, Ghaly menanamkan kecupan dalamnya. "Om


tahu. Om ingin memangku Alta sambil menunggu Mama kembali." Dia
memejamkan mata meresapi setiap sesal yang tidak bisa dibendung lagi
di dadanya.

Kalimat-kalimat buruk yang pernah ia lontarkan dan tertuju pada Alta,


membuat kesakitan lain menghujam dadanya tanpa permisi.

Betapa bodohnya dia karena menyebut Alta sekejam itu. Pada


kenyataannya, Alta adalah puteranya.
Dia benar-benar tidak termaafkan.

"Om Ghaly sayang banget sama Alta. Om minta maaf," gumam Ghaly
lirih, sembari mengeratkan dekapannya.+

"Papa, minta maaf, Sayang."

***
Bab 40

Tsamara menatap resto premium di hadapannya ini dengan hela napas


berat yang mengiringi. Di hadapannya adalah salah satu restoran dan
lounge casual dining yang terkenal di Jakarta. Joe Badrayudha yang
memintanya bertemu di resto ini.

"Mbak yakin di sini tempatnya?"

"Iya. Masa salah, yang jemput kita aja supirnya Om Joe," kata Tsamara,
menimpali tanya sang adik, yang berdiri di sisi kanannya. Sedangkan
Alta berada di tengah-tengah mereka.

Tadi Joe meneleponnya, bertanya apakah ia memiliki waktu untuk


bertemu. Tsamara menjawab, ia punya waktu luang, karena ia pikir Joe
akan datang dan bermain dengan Alta. Tidak disangka, Joe langsung
meminta Tsamara bersiap-siap, karena supir Joe akan menjemput.

"Keliatannya sepi, ya," gumam Fanny saat ayunan langkahnya semakin


masuk ke restoran. Mereka diantar oleh pelayan yang akan
menunjukkan meja tempat Joe menunggu.

"Sepi lah, hanya kaum-kaum tertentu yang datang," lirih Tsamara


disertai senyuman geli ketika sang adik menoleh ke arahnya dan
mendelik.

Tidak bisa dipungkiri, restoran yang tengah ia pijaki kini hanya bisa
didatangi oleh mereka-mereka yang dompetnya cukup tebal.

Tsamara menemukan Joe menunggu di meja, tepat di samping taman


kecil di restoran itu. Lelaki itu mengangkat tangan dan menyapa
kedatangannya.

"Kakek Joe!" Alta berseru antusias melihat Joe. Ya, bocah itu memang
selalu antusias dengan mereka-mereka yang pandai memikat hatinya.

"Halo, Sayang." Joe bangkit dari duduknya, merendahkan tubuh dan


memeluk Alta.
Pemandangan itu sungguh membuat dada Tsamara menghangat. Ia
tidak tahu apakah Ghaly sudah memberi tahu keluarga lelaki itu tentang
Alta, atau belum. Tsamara harap belum, dan tidak akan pernah
diberitahukan, terutama kepada Marta. Entah apa yang akan dilakukan
mantan ibu mertuanya jika tahu ia dan Ghaly memiliki seorang putera.

"Alta duduk dekat Kakek, mau?" tanya Joe. Saat Alta mengangguk-
angguk sebagai jawaban, ia segera mengangkat tubuh Alta. Ia
dudukkan di sofa panjang yang menempel tembok, tepat di samping ia
duduk sebelumnya. "Duduk, Tsa," katanya pada mantan menantunya,
yang mungkin sebentar lagi akan berubah menjadi menantunya lagi, jika
takdir menghendaki.

Tsamara mengucapkan terima kasih, lalu mengambil duduk di hadapan


Joe, disusul Fanny yang duduk di sampingnya.

Mereka kemudian memesan makanan, dengan Alta yang begitu


bersemangat menunjuk semua gambar menu yang menarik di matanya.

"Alta suka semuanya?" tanya Joe. Dia memangku buku menu,


memperhatikan Alta yang tampak sangat senang.

"Iya, Kakek, Alta suka semuanya." Alta masih sibuk memilih, hingga
kemudian jarinya berhenti di gambar paling belakang. "Tapi Alta mau ini
saja." Itu dessert dengan lelehan coklat yang tampak menggoda.

Joe memesankan pilihan Alta, baru kemudian menyerahkan buku menu


yang sudah ditunggu pelayan sedari tadi.

Acara makan sore itu berjalan riang dan ramai, karena Alta yang selalu
bercerita. Malah sempat membahas Ghaly yang jatuh dari sepeda, yang
tentu saja membuat Joe tergelak tawa. Joe sangat senang mengobrol
dengan Alta, bahkan beberapa kali Joe harus membersihkan bibir Alta
yang belepotan. Terutama saat menyantap dessert pesanan bocah itu.
Setelah acara makan itu selesai, Joe tidak langsung meminta Tsamara
pulang, melainkan mengajak untuk jalan-jalan sore lebih dulu, karena
memang baru pukul 4 sore. Dan kebetulan restoran yang ia singgahi
berada di jalanan sepi, yang kanan kirinya dipenuhi pepohonan rindang.

Tsamara berjalan bersisian dengan Joe, sedangkan Fanny bersama


Alta, berada di depan. Bocah itu memegang permen bergagang
pemberian Joe. Bukan hanya permen yang Joe berikan pada Alta,
namun juga beberapa mainan.
"Tsa, saya minta maaf," kata Joe mengawali obrolan. "Untuk semua
yang terjadi antara kamu dan Ghaly di masa lalu. Saya sungguh
meminta maaf untuk itu."

Hela napas pelan, Tsamara loloskan dari bibirnya. Dia tahu, permintaan
Joe untuk mengajaknya bertemu di luar seperti ini bukan tanpa tujuan.
Dan sungguh tidak mengejutkan jika akhirnya Joe tahu apa yang terjadi
di masa lalu, karena Ghaly adalah sosok yang cukup dekat dengan
ayahnya. Jadi tidak mengherankan jika lelaki itu membicarakan masalah
mereka pada sang ayah.

"Sebenarnya itu sudah berlalu, Om. Dan itu bukan kesalahan Om." Kali
ini Tsamara menunduk menatap ayunan kakinya sendiri.

Joe menatap Tsamara cukup lama, dia sadar betul ia pun memiliki cukup
andil dalam menghancurkan rumah tangga Tsamara dengan Ghaly
dahulu. Dia tidak bisa bersikap keras pada Marta, tidak memberi
ultimatum tegas pada sang istri. Hingga Marta bisa berbuat sejauh itu.

"Alta, dia cucu Papi, bukan?" tanya Joe, dengan ketenangan luar biasa.

Tsamara mengangguk. Dia dan Joe sudah duduk di kursi taman


sedangkan Alta tampak senang melihat bunga-bungaan. Mungkin bocah
itu menemukan sesuatu menarik di tengah kumpulan bunga-bunga itu.
"Alta cucu Om," katanya memperjelas.

Joe tertawa lirih. "Papi sudah menduganya."


Detik itu, Tsamara mengerjap, menoleh ke arah lelaki paruh baya yang
terus mengulas senyum dengan tatapan terlempar jauh ke arah Alta.
"Ghaly enggak memberi tahu tentang Alta pada Om?"

"Ghaly?" kening Joe mengernyit. "Anak itu mana mau berbagi rahasia
seperti ini pada Papi. Dia pasti ingin menguasai Alta sendirian."

Tsamara malah dibuat ternganga dengan jawaban Joe. Kenapa di


telinganya, Joe dan Ghaly terkesan ingin menarik perhatian Alta, untuk
mereka sendiri.

Joe berdehem, kembali ke mode penuh wibawanya. "Ghaly tidak


memberitahu tentang ia adalah ayah Alta," ulang Joe. "Papi hanya
menebak dan memang firasat itu enggak meleset."
"Firasat Om lebih tepat daripada Ghaly," gumam Tsamara, sedikit
kecewa. Joe saja bisa punya firasat setepat itu, lalu Ghaly, ia sempat
mengatakan hal yang buruk tentang Alta. Meski, ya, Tsamara yakin,
semua itu memang dilandasi rasa benci dan kecewa Ghaly padanya.

"Kamu tahu, apa yang dilakukan Ghaly setelah perpisahan kalian?"


tanya Joe, dia mengambil jeda sebentar, untuk melempar ingatannya
jauh ke belakang. "Dia marah pada kami, Papi dan Maminya. Dia marah
pada dirinya sendiri hingga menolak pulang. Dan rumah seperti tempat
yang paling ia benci."

"Marah?" Tsamara tahu jika ada hal yang sangat melukai Ghaly, lelaki itu
memang akan lebih mudah marah, pada siapa pun yang berkaitan. Tapi,
ia pikir, kemarahan Ghaly hanya terluap untuknya.

"Di satu waktu dia mengungkap, dia marah pada Maminya karena
menghubunginya malam itu, sehingga ia khawatir padamu dan bergegas
pulang. Jika dia tidak melihat semua insiden kamu dan Leo, dia yakin,
dia enggak akan melepaskanmu." Di tengah ceritanya, Joe mengulas
senyum tipis. "Dan dia marah pada saya, Papinya, yang mengirim dia
tugas ke Bandung, karena kalau tidak, dia bisa menemani kamu ke
apartemen temanmu itu."
Tsamara bungkam seribu bahasa.

"Ghaly memang begitu kekanakan. Dia yang mengambil keputusan, dia


yang terjebak pada egonya dan dia yang paling terluka." Joe
mengarahkan tatapannya pada Tsamara. "Belakangan ini Ghaly pasti
mengganggu kamu terus menerus?'

Masih dengan bibir yang membungkam, Tsamara mengangguk. Dia


memang dibuat super jengah dengan Ghaly yang berhasil mengganggu
hidupnya. Dan hatinya.

"Dia hanya terlalu mencintai kamu, Tsa."

Tsamara tergeragap untuk satu kalimat yang terdengar begitu lantang di


telinganya.

"Papi yakin, dia sudah meminta kamu kembali padanya sebelum dia
tahu kalau Alta anaknya, dan sebelum kesalahpahaman kalian di masa
lalu terurai." Joe sangat hafal jalan pikiran Ghaly, lebih tepatnya, dia
begitu mengerti perasaan sang putera.
Lagi-lagi, Tsamara dibuat tidak berkutik untuk setiap kalimat yang Joe
lontarkan. Seolah menampar dirinya secara tak kasat mata. Ghaly
sudah melamarnya lebih dulu sebelum lelaki itu meyakini semua
kebenaran.

"Papi tentu ingin kamu kembali menjadi keluarga kami. Ingin kamu
memanggil saya Papi, lagi. Itu adalah pengharapan yang selalu saya
utarakan sejak kita bertemu pertama kali setelah bertahun-tahun." Joe
menjeda, sekadar untuk menarik napas begitu pelan. "Saya akan sangat
bahagia karena menjadikan kamu menantu saya lagi, Tsa. Dan
kehadiran Alta meramaikan rumah kami. Tapi, segalanya tentu berada di
tangan kamu. Keputusan akhir kamu adalah yang bisa menentukan
segalanya."

"Om—" Tsamara membuka bibirnya. Dia tahu persis Joe selalu


mendukungnya, dan ia merasa begitu senang, juga aman.
"Kalau yang kamu khawatirkan adalah Maminya Ghaly. Kamu enggak
perlu khawatir tentang itu. Ghaly sedikit lebih dewasa sekarang. Dia bisa
menjaga kamu dan Alta, lebih dari yang bisa kamu bayangkan." Joe
mengangkat tangannya, menyatukan jari telunjuk dan ibu jarinya, lalu
membuat sedikit rongga. Seolah sedang menggambarkan sesedikit apa
kedewasaan Ghaly.

Tsamara mengulas senyuman, dan mengangguk pelan. "Ghaly memang


sedikit lebih dewasa sekarang." Dan memang hanya sedikit.

"Kamu harus mempertimbangkannya dengan matang, Tsa. Bukan hanya


untuk kebahagiaan Alta atau kami. Tapi, juga harus menjadi
kebahagiaan kamu."

Tatapan Tsamara kembali sendu, dia tidak membalas ucapan Joe,


melainkan memilih menatap Alta yang tertawa.

Bagaimana jika Alta tahu Ghaly adalah ayahnya?+

Dia sungguh penasaran, reaksi apa yang akan diberikan Alta ketika
kebenaran itu ia ungkap pada sang putera.

***
Bab 41

Tsamara mengapit ponselnya di sebelah telinga, mengangkat panggilan


Ghaly. Sembari tangannya sibuk menyiapkan beberapa hal.

"Ghaly," panggil Tsamara. "Bisa tolong aku?"

Ghaly di seberang telepon yang baru saja keluar dari mobilnya tampak
awas mendengar kalimat tergesa yang Tsamara suarakan. "Kamu
kenapa?"

"Alta demam, kamu bisa ke sini?" Tsamara segera menggeleng, Ghaly


mungkin sedang sibuk, meski ini akhir pekan. "Atau tolong minta sopir
kamu ke sini, aku pesan taksi online dari tadi enggak ada terus."

"Aku ke sana sekarang," kata Ghaly

Dia yang memang niat awalnya ingin menghabiskan siang ini dengan
mengunjungi Alta dan bermain dengan puteranya itu, segera saja berlari
naik ke lantai apartemen Tsamara. Menunggu dengan amat tidak sabar
lift membawanya segera bertemu dengan sang putera.

Tiba di lantai apartemen Tsamara, Ghaly segera berlari dan bertepatan


dengan Tsamara yang keluar pintu apartemen, dengan Alta dalam
gendongan di depan dada.

Lelaki itu segera mendekati keduanya. "Tsa," panggilnya, dan membuat


Tsamara berjengit kaget.

"Kamu sudah di sini?" tanya Tsamara sedikit keheranan, karena Ghaly


tiba terlalu cepat. Bahkan ia belum sempat turun ke lobi.

"Ya, aku sudah di bawah tadi," Ghaly berucap dengan napas sedikit
memburu. "Biar Alta aku yang gendong," tawarnya, sembari
mengulurkan tangan dan memindah Alta untuk berada dalam
dekapannya.
Hal berikutnya yang mereka lakukan adalah bergegas naik ke lift untuk
turun ke lantai satu.
"Alta demam sejak kapan?" tanya Ghaly sembari menyentuh kepala Alta
dengan tangan kanannya.

"Sejak pagi tadi. Aku udah sempat kompres dan kasih penurun panas.
Tapi, tadi aku cek lagi, demamnya malah tambah tinggi." Jelas Tsamara
begitu tenang. Meski tentu raut khawatir itu tercetak di wajahnya.

Ghaly mendekap Alta semakin erat. Suhu tubuh Alta memang terasa
cukup tinggi. Bahkan terdengar gumaman lirih tak jelas di bibir Alta.

Sampai di mobil, Tsamara masuk lebih dulu ke kursi penumpang


belakang, baru setelahnya Ghaly menyerahkan sang putera ke dekapan
Tsamara.

"Kita akan segera sampai ke rumah sakit, Tsa, kamu jangan khawatir,"
kata Ghaly setelah ia mulai menjalankan mobilnya dan berbaur di
jalanan siang Jakarta.

Harusnya, rumah sakit yang ingin mereka tuju tidak memakan waktu
sampai dua puluh menit perjalanan. Namun, di dua ratus meter sebelum
sampai rumah sakit, mereka terjebak macet. Ghaly menumpu lengannya
di kemudi, memijat pelipisnya.

Dia sedikit melongokkan kepalanya ke luar jendela mobil, melihat ada


apa di depan sana hingga menimbulkan kemacetan seperti ini. Tadi, dia
lewat arah sebaliknya, jadi tidak memperkirakan kemacetan ini.

"Permisi, Pak," katanya, pada seorang lelaki penyapu jalanan. "Ini macet
kenapa, Pak?"

Si Bapak berseragam oren dengan sapu digenggamannya, menjawab,


"Ada kebocoran pipa, Mas. Sama proyek jalanan juga di depannya lagi.
Jadi macetnya panjang begini."

Ghaly mengangguk-angguk. "Oh, baik, Pak. Terima kasih."

Setelah si Bapak berseragam orens itu berlalu pergi, Ghaly menoleh ke


kursi belakangnya, bersitatap dengan iris mata Tsamara. "Tsa, macetnya
panjang."

Tsamara mengusap-usap rambut belakang sang sang putra dengan


tatapan ke depan. "Gedung rumah sakitnya udah kelihatan," katanya.
"Aku turun disini saja, enggak sampai lima belas menit buat jalan kaki ke
sana."

Perempuan itu segera menggeser duduknya ke sisi pintu di dekat


trotoar, melihat ke belakang untuk memastikan tidak ada motor lewat,
baru kemudian dia membuka pintu mobil.

Menyusul Tsamara dengan gerak cepat, Ghaly pun turun dari mobil.
"Kita jalan saja," Dia menyetujui ucapan Tsamara sebelumnya. "Dan
biarkan aku yang gendong Alta," katanya lagi, meminta Alta untuk
berpindah ke dekapannya.

"Mobil kamu?" tanya Tsamara melirik sedan hitam Ghaly yang ditinggal
begitu saja.

"Enggak apa-apa, paling nanti kena derek." Ghaly menjawab ringan.


Mobil bukanlah hal penting untuk sekarang. Karena puteranya lebih
utama. Dia kembali mengambil alih Alta untuk digendong Ghaly, dan
berjalan cepat detik berikutnya. Setengah berlari.

Lenguhan tidak nyaman dari bibir Alta yang terdengar di gendang telinga
Ghaly membuat ia sedikit mengutuk dirinya sendiri, karena tidak datang
ke tempat Tsamara sejak pagi.

Beruntung hari ini tidak terlalu terik, sehingga panas matahari di jalanan
tidak terasa begitu membakar. Bibir Ghaly terus berdesis pelan,
berusaha menenangkan sang putra.

"Mama," lirih Alta dengan suara seraknya.


"Iya, Sayang. Mama di sini," balas Tsamara, berusaha menyamakan
ayunan kaki Ghaly yang setengah berlari.

Ketika akhirnya gedung rumah sakit semakin dekat, Ghaly merasa


sedikit lega. Mereka segera memasuki ruang IGD yang disambut dokter
dan perawat. Ghaly merebahkan sang putra di brankar, mengusap
puncak kepala bocah itu penuh sayang sebelum akhirnya mundur,
memberi ruang untuk dokter memeriksa Alta.

Ghaly berdiri sejajar dengan Tsamara, dan berbisik, "Biar aku yang
melengkapi administrasi," katanya, dengan tangan terulur meminta data
diri Alta.
Tsamara membuka tasnya menyerahkan berkas data diri Alta. "Terima
kasih," ungkapnya tulus.

Tidak langsung pergi, Ghaly menyempatkan diri mengusap sebelah pipi


Tsamara begitu lembut, diiringi pujian yang lolos dari bibirnya, "Kamu
hebat, Tsa."

Baru setelah itu, Ghaly beralih pergi ke bagian administrasi dan


pendaftaran. Meninggalkan Tsamara yang menunggui Alta.

***
Alta sudah dipindahkan ke kamar rawat inap di kelas terbaik di rumah
sakit itu. Tsamara duduk di samping sang putera yang setengah
mengantuk, dengan jemari mengusap lembut puncak kepala Alta.

"Mama, Om Ghaly ke mana?" tanya Alta dengan suaranya yang lemah.

"Beli buah-buahan sama susu buat Alta." Tadi Ghaly pamitan kalau ingin
membeli buah dan susu. Tsamara tidak menyangka Ghaly berangkat
sendiri. Padahal lelaki itu bisa pesan antar lewat ponsel. Atau mungkin
sekalian mengurus mobil yang ditinggal begitu saja di jalanan.

Senyum Tsamara terulas tipis mengingat itu. Ghaly begitu cepat tanggap
membantu dirinya.
"Beli es krim juga?"

"Alta masih sakit, enggak boleh makan es krim dulu."

Mendengar penuturan sang ibu yang melarangnya makan es krim, bibir


Alta cemberut seketika. "Alta mau es krim."

Gemas dengan Alta yang ngambek, Tsamara memajukan wajahnya dan


mencium pipi sang putera. "Besok kalau udah sembuh, Mama belikan
es krim untuk Alta," katanya setelah puas menciumi pipi puteranya.

"Alta mau minta sama Om Ghaly."

Tsamara menjauhkan wajah dari pipi Alta. "Enggak boleh."

"Kenapa enggak boleh? Alta mau mintanya sama Om Ghaly."

"Om Ghaly sudah janji sama Mama enggak akan beliin es krim buat
Alta, kalau belum sembuh."
Bibir Alta semakin cemberut, dan itu meledakkan tawa pelan Tsamara.
Jika sebelumnya ia mencium pipi Alta, kali ini ia menanamkan kecupan
di kening Alta cukup lama. Mensyukuri keadaan Alta yang pulih dengan
cepat. Tidak seperti sebelumnya yang merintih pusing dan demam.

"Mama sayang banget sama Alta," kata Tsamara dengan mata terpejam.

Ia baru melepaskan kecupannya saat suara pintu membuka terdengar.


Dia menoleh ke belakang, dan menemukan Ghaly meletakkan barang-
barang di meja, di depan sofa. Tampak terlalu banyak belanjaan. Hingga
membuat ia mengernyit, apa saja yang lelaki itu beli?

"Om Ghaly," sapa Alta sedikit nyaring.

"Halo, Sayang," Ghaly membalas antusias. "Alta udah ceria kembali,


pintar banget." Dia mendekati Alta di bed, berdiri di sisi Tsamara yang
terduduk. Melihat wajah Alta yang lebih berwarna daripada saat baru
tiba di rumah sakit, membuat ia merasa begitu lega dan bahagia.

"Om Ghaly beli apa?" Alta bertanya, dengan sudut mata sedikit melirik
ke arah Tsamara.

Ghaly berpura-pura berpikir. "Apa, ya?"

"Es krim?" balas Alta senang. Namun, bibirnya yang baru saja ingin
mengulas senyuman segera diurungkan karena Tsamara menggeleng
pelan dan berbisik, melarangnya makan es krim.

"Enggak, dong, Om takut diomelin Mama." Ghaly berkelakar. Tidak


terlalu memperdulikan tatapan sebal Tsamara yang terarah padanya.
"Om kupasin jeruk, ya, mau?"

Alta menggeleng-geleng. "Alta mau tidur aja, biar cepet sembuh,"


gumamnya, lalu memejamkan mata detik itu juga.

Ghaly mengulum senyuman tipis melihat tingkah Alta. Benar-benar


menunjukkan jika bocah itu mulai membaik. Dia kemudian menyentuh
bahu Tsamara yang mengusap puncak kepala Alta. "Tsa, makan dulu,
aku beli makan sekalian."

"Kamu makan dulu aja," Tsamara menoleh ke arah Ghaly dengan


senyuman tipis di bibirnya. "Kamu pasti capek bolak-balik." Tsamara
tahu betul, Ghaly pasti cukup dibuat pusing karena bersamanya hampir
seharian.

"Capek. Tapi, aku senang karena bersama kalian. Mengusahakan yang


terbaik buat Alta," balas Ghaly sambil melirik Alta yang sepertinya
memang jatuh tertidur dengan mudah. "Biar aku yang tungguin Alta."

"Sebentar lagi," kata Tsamara masih terus mengusap puncak kepala


Alta dan menatap wajah sang putera yang tidak lagi sepucat
sebelumnya.
Ghaly tidak lagi memaksa, dia memilih mundur dan mengambil duduk di
sofa. Yang ia lakukan berikutnya adalah membuka kantong
belanjaannya. Mulai dari susu, roti, bento yang dia beli, minuman, dan
buah-buahan di satu keranjang.

Dia baru membuka penutup botol air mineral ketika mendengar langkah
mendekat ke arahnya. Disusul Tsamara yang mengambil duduk
sampingnya. Begitu dekat.

Botol minum yang baru ia buka, ia serahkan pada Tsamara. Ia lalu


membuka bento, dan diletakkannya di depan meja tempat Tsamara
duduk. "Bento kesukaan kamu," katanya lirih.

"Kamu ingat?"

Pertanyaan Tsamara membuat Ghaly menoleh seketika. Ditatapnya iris


Tsamara yang menatapnya dengan begitu tenang. "Semua hal tentang
kamu, hampir melekat diingatanku," katanya jujur. Jika tidak melekat,
tentu ia bisa dengan mudah menghilangkan Tsamara dari pikiran dan
hatinya.

Tsamara menutup kembali botol minuman dari Ghaly setelah


menyesapnya. "Terima kasih untuk semua bantuan kamu hari ini."

"Aku yang harusnya berterima kasih, karena kamu mengizinkan aku


membantumu dan menemani Alta."

"Kamu papanya. Kamu punya hak untuk bersama Alta."

Senyuman Ghaly mengembang begitu lebarnya, gerak tangannya yang


hendak mengupas jeruk, ia urungkan untuk menggenggam jemari
Tsamara. Ia sudah bersiap jika Tsamara menarik tangannya menjauh.
Namun dugaannya keliru, perempuan itu membiarkan jemari mereka
bertaut. "Aku enggak tahu lagi harus bagaimana, karena pengakuanmu
sangat membahagiakan."

"Jadi, boleh aku makan sekarang?" Tsamara melirik tangan kanannya


yang masih berada dalam genggaman Ghaly.

Ghaly mengulas cengiran malu-malu. "Tentu, kamu harus makan


banyak." Dengan setengah hati ia melepas genggaman tangan
Tsamara.

Hanya menggenggam jemari perempuan itu, dan ia sudah berdebar-


debar seperti ini.

Dia sungguh seperti Ghaly yang tengah jatuh cinta pandangan pertama
pada Tsamara. Bertahun-tahun silam.

***
Bab 42

Tsamara menuang jus ke dua gelas panjang, dan satu gelas susu untuk
Alta. Dia juga membawa potongan apel dan melon untuk camilan
putranya. Mereka baru saja tiba di rumah, hanya menginap satu malam
di rumah sakit.

Saat ia tiba di ruang tamu, ia menemukan Alta sedang merebahkan


tubuh di atas sofa, sedangkan Ghaly duduk di bawah, tepat di depan
Alta, sedang asyik membuka-buka buku bergambar milik Alta.

"Asyik banget, lagi dibacain cerita apa sama Om Ghaly?" tanya Tsamara
meletakkan minuman yang ia bawa di meja. Lalu mengambil duduk di
sofa tempat Alta merebahkan diri.

"Enggak baca cerita, Mama," Alta membalas cepat. Kali ini tubuhnya
berubah telentang, menatap langit-langit apartemen.

Kening Tsamara mengernyit. "Kenapa enggak dibacain?" tanyanya pada


Ghaly.

"Udah aku bacain sebelumnya. Tapi, Alta bilang suara aku enggak enak
baca ceritanya, enggak kayak Mama," ungkap Ghaly jujur. Karena
memang itu yang Alta suarakan saat ia baru membaca cerita untuk Alta
sebanyak dua paragraf. Bocah tampan yang udah kembali cerewet ini
mengomentari caranya bercerita.

Tsamara menyemburkan tawa detik itu juga, dan harus menutupi


mulutnya agar tidak terdengar semakin keras.

"Alta memang anak aku," gumam Ghaly lirih, tidak sebal sama sekali,
malah sangat senang dan bangga.

"Jadi kamu berhenti baca karena dikomentarin?" tanya Tsamara setelah


tawanya mereda.

"Iya lah," balas Ghaly cepat.


Tsamara menggeleng-geleng, lalu melirik Alta yang tampak tidak peduli
meski sedang jadi bahan obrolan dirinya dan Ghaly. Perempuan itu
kemudian mengulurkan tangan untuk mengambil gelas susu Alta di
meja. "Sayang, minum susunya dulu," kata Tsamara sembari mengusap
bahu sang putra dan membantunya duduk dengan satu tangan.

Dia menyerahkan gelas susu itu pada Alta yang segera meneguknya
pelan. Setelah Alta berhasil menghabiskan susunya dan mengembalikan
gelas kosong itu pada Tsamara. Satu tangan Tsamara terulur untuk
mengusap puncak kepala Alta, dan memujinya karena berhasil
menghabiskan susu.

"Kenapa Alta enggak mau dibacain buku cerita sama Om Ghaly?" tanya
Tsamara setelah ia meletakkan gelas kosong bekas susu Alta ke meja.

Alta berkedip menatap Tsamara, dan menyengir. "Alta maunya dibacain


cerita sama Mama."

Tsamara melirik Ghaly yang kini sibuk mengunyah potongan apel,


namun juga mengarahkan tatapan padanya. "Kalau Om Ghaly mau
sering-sering main ke sini, dan bacain cerita buat Alta, gimana?"

Hanya dengan satu kalimat itu, Ghaly berhasil dibuat tersedak. Lelaki itu
segera meraih gelas jusnya dan menyesapnya pelan.

Senyum Tsamara mengembang tipis mendapati reaksi Ghaly barusan,


sebelum kembali menatap Alta. Yang tampak memikirkan ucapannya
barusan.

"Kenapa Om Ghaly sering-sering main ke sini?" tanyanya lugu.

"Buat main sama Alta," kata Tsamara. "Alta enggak mau ditemani Om
Ghaly?"

Kali ini Alta melempar tatapan ke arah Ghaly, lalu tersenyum cerah.
"Mau banget. Alta juga suka main ke rumah Om Ghaly."

Seketika, wajah Ghaly berbinar begitu senang mendapat respon baik


dari Alta. Dia langsung mendekati Alta, dan mencubit pipi bocah itu,
gemas. "Alta boleh banget main sepuasnya ke rumah Om."

Alta sedikit meringis karena cubitan Ghaly. "Tapi, enggak mau dicubit
juga, sakit," lirihnya sambil mengusap bekas cubitan Ghaly di pipi. Jika
Ghaly langsung memasang wajah merasa bersalah, maka berbeda
dengan Tsamara yang tergelak pelan.

Setelah sedikit keramaian itu, Tsamara menyuapi potongan buah pada


Alta, sembari menonton acara kartun, yang sesekali membuat bocah itu
tertawa. Hingga akhirnya Alta merengek ingin tidur.

"Mau Om Ghaly bacakan cerita sebelum tidur?" tawar Ghaly saat Alta
mendesak wajahnya ke perut Tsamara.

Alta menggeleng-geleng, dan menolak lantang. "Enggak."

Ghaly tertawa mendengar penolakan Alta, meski begitu, ia tetap bangkit


dari duduknya, mempertemukan tatapannya dengan Tsamara sebentar,
sebelum kemudian mengulurkan tangan untuk mengangkat tubuh Alta
dan ia gendong.

"Mama," sebut Alta sedikit terkejut karena Ghaly membawanya dalam


dekapan.

Tsamara turut serta bangkit dari duduknya, dan menepuk pelan


punggung sang putera. "Om Ghaly cuma mengantar sampai ke kamar,"
katanya. Iris matanya bertemu dengan bola mata kebiruan milik Ghaly
yang kini berpendar teramat cerah.

Ghaly mengayun langkah menuju kamar Tsamara, dengan Alta yang


melingkarkan lengan di lehernya, dan beberapa kali menguap. Dia
merebahkan tubuh Alta di ranjang, dan segera menyelimuti tubuh Alta
hingga perut. Setelahnya ia beranjak pergi, meski ia ingin berlama-lama
di kamar Tsamara.

Namun, saat langkahnya baru saja terayun ingin menjauhi ranjang,


ucapan Tsamara menghentikannya detik itu juga.

"Ghaly, kamu enggak ingin bacain cerita untuk Alta?" tawar Tsamara
seraya tersenyum geli. Dia sudah duduk di sisi Alta yang mulai mencari
posisi nyaman, condong ke arah tubuhnya. "Atau, paling enggak duduk
di sini sampai Alta tertidur," imbuhnya, sembari membuka buku cerita
Alta yang ia ambil di nakas.

Tidak ingin menolak, tentu saja, Ghaly segera mengambil duduk di sisi
ranjang lainnya. Membuat Alta kini berada di antara dirinya dan
Tsamara.
Tsamara mulai membaca buku cerita Alta, nadanya terdengar mendayu
begitu nyaman tertangkap gendang telinganya. Meski suaranya tidak
terlalu keras namun intonasinya terdengar jelas dan pas. Mungkin ini
sebabnya Alta menolak dibacakan cerita olehnya. Cara ia membaca
tadi, begitu datar, seolah sedang membaca buku bisnis untuk diri sendiri.

Senyum Ghaly melebar hingga sedikit menimbulkan suara, dan hal itu
membuat Tsamara mendongak menatapnya sekilas seolah bertanya
"Ada apa?", Ghaly menggeleng pelan. Setelahnya, Tsamara kembali
menunduk, melanjutkan bacaannya.

Tidak ingin tinggal diam. Satu tangan Ghaly terulur untuk menepuk-
nepuk punggung Alta. Ghaly yakin, yang tengah dibacakan cerita adalah
Alta, dan ditepuki punggungnya untuk cepat tertidur adalah bocah
tampan itu, tapi, kenapa kelopak matanya yang malah terasa begitu
berat.

Lelaki itu harus mengerjap pelan, dan menggeleng, berusaha mengusir


kantuk yang tiba-tiba menyapanya. Dia mengarahkan tatapan ke wajah
Tsamara, pada gerak bibir perempuan itu. Kantuknya memang
menghilang karena ia mengalihkan tatapan, namun justru ada rasa lain
yang menyeruak di dadanya.

Rasa lain yang lebih berat untuk ia kendalian daripada kantuknya


sebelumnya.

Ghaly menghela nafas pelan, begitu berat. Berusaha memikirkan hal


lain, dan menatap arah lain. Dia mengedarkan tatapan ke sekeliling
kamar Tsamara, tidak ada pigura foto satupun yang menempel di
dinding. Satu foto hanya ada di nakas di samping Tsamara, foto Alta dan
Tsamara.

Alta di foto itu tampak lebih kecil, mungkin kisaran usia 2 tahun.

Melihat foto kecil Alta, cukup berhasil membuat dada Ghaly merasakan
kesesakan teramat, rasa penyesalan untuk segala hal di masa lalu. Ia
melewatkan masa tumbuh kembang Alta, dari bayi merah hingga
menjadi bocah tampan seperti sekarang ini.

Dia yang telah melakukan kebodohan itu.

"Ghaly."
Panggilan lirih Tsamara membuat Ghaly mengerjap dan
mempertemukan bola matanya dengan telaga bening milik Tsamara.
Ada yang Ghaly temukan di sana, selain betapa jernihnya telaga itu,
melainkan sebuah senyum. Senyuman Tsamara kini sampai ke
matanya.

"Kamu mengantuk?" tanya Tsamara lirih.

Ghaly menggeleng cepat. Dia memang sempat mengantuk sebelumnya,


tapi sekarang kantuk itu hilang seperti ditelan bumi. Lenyap begitu saja.

"Alta udah tidur," kata Tsamara lagi.

Kali ini Ghaly melirik ke arah Alta yang tidur miring menghadap Tsamara.
"Dia cepat banget udah tertidur," gumamnya.

Tsamara menggeser duduknya ke tepian ranjang ingin beranjak turun.


"Kita keluar."

Sebelum Ghaly turun dari ranjang, ia lebih dulu menanamkan kecupan


di puncak kepala Alta, begitu pelan, begitu penuh perasaan. Baru
setelahnya ia mengikuti Tsamara keluar kamar, dan kembali duduk di
depan tv.

Tidak ada Tsamara di ruang tv, namun ia mendengar suara berisik di


dapur. "Tsa, kamu butuh bantuan?" tanya Ghaly lirih, saat menyusul
perempuan itu ke dapur.

Tsamara mendekap dua kantung besar snack dan berjalan menuju ke


arahnya. "Enggak. Cuma mau ambil ini aja," katanya sambil
menunjukkan snack yang ia ambil pada Ghaly.

"Kamu menyembunyikan snack?" tanya Ghaly dengan senyuman geli


mengukir di bibirnya.

Tidak ingin membantah, Tsamara mengiyakan saja. "Kalau dikasih lihat


Alta, dia akan milih makan jajan daripada nasi," katanya, sembari
memberikan satu kantong besar snack rasa sapi panggang kepada
Ghaly. Sedangkan ia memilih rasa rumput laut.
Keduanya duduk bersebelahan di atas sofa, dengan Ghaly di sisi kanan,
dan Tsamara di sisi kiri, membiarkan ruang kosong di tengah mereka
sebagai jarak.

Ghaly membuka bungkus snack itu, dan segera mengambilnya untuk ia


masukkan ke mulut. "Fanny pulang kapan dari Lembang?" tanyanya,
membuka obrolan.

"Hari Senin besok," balas Tsamara singkat, sembari sibuk memencet


remote tv untuk mencari acara bagus malam ini.
"Kamu percaya Leo akan menjaga Fanny, maksudku, dia laki-laki
dewasa yang—"

Satu kekhawatiran yang Ghaly lisankan membuat Tsamara segera


menegakkan punggungnya, dan menatap Ghaly. "Kamu enggak percaya
Leo?"

Ghaly bungkam, hanya hela napas pelan yang lolos dari bibirnya.

"Harusnya, aku juga enggak mempercayai kamu yang menginap di sini,


malam ini," gumam Tsamara, sembari menggigit sepotong keripik
kentang.

"Bukan begitu," desah Ghaly pelan.

"Bukannya kamu senang kalau Fanny dan Leo pergi bersama?" tanya
Tsamara, kali ini ia memberi atensi penuh pada Ghaly.

"Kenapa harus senang?"

Tsamara menelan potongan keripiknya, dan meloloskan satu kalimat


teramat santai, "Karena jadiin alasan itu buat menginap di sini.
Ketiadaan Fanny."

Detik itu, Ghaly dibuat gelagapan. Tidak salah memang yang Tsamara
utarakan. Karena ia memang menjadikan alasan Fanny tidak di rumah
untuk menginap di apartemen Tsamara. Dengan dalih agar Tsamara ada
yang menemani, dan kalau ada hal-hal mendesak ia bisa membantu
dengan cepat.

Bukankah ia memang sejeli itu menciptakan kesempatan untuk ia dan


Tsamara?
Bab 43

Tsamara yakin, langit Jakarta masih gelap ketika ia keluar dari kamar
tidur. Tapi, kenapa ia malah mendengar denting alat memasak di dapur
yang saling beradu. Mungkinkah Fanny pulang? Tapi itu enggak
mungkin. Ia sudah berpesan pada Leo untuk tidak melakukan perjalanan
malam dengan Fanny.

Lalu, siapa yang pagi-pagi begini sudah berisik di dapur?

Ia mengayun langkah ke arah dapur tanpa melirik ruang tv lebih dulu.


Setibanya di dapur ia dibuat cukup terkejut dengan sosok seseorang di
sana, yang tampak sibuk bermain-main dengan penggorengan.

"Ghaly," panggil Tsamara. Dia menghentikan langkah di meja makan,


yang di sana sudah tersedia tiga piring sarapan. Masing-masing piring
berisi dua potong roti gandung, potongan apel, dan telur orak-arik.

Ini masih terlalu pagi untuk menyiapkan sarapan. Tapi lihatlah meja
makannya sekarang.

"Pagi, Tsa," sapa Ghaly saat menoleh ke belakang dan menemukan


Tsamara. "Aku bikinkan sarapan untuk kita, enggak apa-apa, kan?"

"Enggak apa-apa, tentu saja. Cuma rada heran aja, kamu udah sibuk di
dapur sepagi ini," kata Tsamara. Jujur saja, ia memang tidak menyangka
Ghaly bangun sepagi ini dan menyiapkan sarapan untuk ia dan Alta.

Ghaly meringis malu. "Aku bangun pagi-pagi banget tadi, karena enggak
tahu mau ngapain, jadi iseng bikin sarapan."

Tsamara mengangguk-angguk, ulasan senyum di bibirnya menghias


tipis. "Mau kubantu?" tawarnya.

"Enggak," tolak Ghaly cepat. "Kamu duduk di aja."

Tidak lagi memaksa untuk membantu, Tsamara memutuskan untuk


duduk saja di meja makan, menunggu Ghaly selesai memasak. Ghaly
memang cukup pandai memasak, makanan simpel seperti ini. Dan
memang kesukaan lelaki itu untuk sarapan simpel saja, dari roti, telur,
dan buah-buahan.

Tidak berapa lama kemudian, Ghaly mendatangi meja makan, dengan


sepiring nugget dan dua gelas jus jeruk yang ia bawa di nampan. Lelaki
itu meletakkan satu gelas jus di hadapan Tsamara, dan piring berisi
nugget di tengah meja.

"Alta belum bangun," kata Tsamara saat Ghaly mengambil duduk


berhadapan dengannya, di seberang meja makan.

Ghaly mengangguk. "Aku ingin sarapan berdua denganmu, bolehkah?"


Ada untungnya juga ia menyiapkan sarapan terlalu pagi seperti ini,
sehingga bisa berdua saja dengan Tsamara untuk sarapan. Ada yang
ingin ia bicarakan dengan perempuan itu, yang terlupa ia utarakan tadi
malam. Dan tentu, tidak akan baik kalau Alta ada di tengah-tengah
mereka dan mendengarkan obrolan.

Biar pun Alta masih kecil dan enggak mengerti dengan apa yang akan
mereka obrolkan, tetap saja tidak baik membicarakan bahasan orang
dewasa di tengah-tengah Alta.

"Enggak boleh," sahut Tsamara ringan, dan tersenyum geli setelahnya


saat mendapati wajah Ghaly langsung muram. "Bercanda," katanya.

Ghaly sedikit salah tingkah mendengar candaan Tsamara. Bukan apa


apa, hanya saja dadanya berdebar karena Tsamara yang bersikap
sesantai ini padanya. Momen seperti ini mengingatkannya pada
kebersamaan mereka dahulu.

"Tidur kamu nyenyak semalam?" tanya Tsamara, memecah hening.

"Nyeyak," Ghaly membalas cepat.

"Meski tidur di sofa?" Tsamara menggenggam gelas jusnya bersiap


menyesapnya. Tidak ada tempat tidur lain yang bisa Ghaly tempati
karena apartemennya hanya ada dua kamar. Enggak mungkin Tsamara
menyuruh Ghaly untuk tidur di kamar Fanny, dan lebih enggak mungkin
meminta lelaki itu untuk bergabung di ranjangnya bersama Alta.

Sehingga yang bisa ditawarkan Tsamara hanyalah satu bantal miliknya,


dan selimut, lalu sofa yang bersyukurnya cukup besar untuk
menampung tubuh jangkung Ghaly. Lelaki itu yang meminta menginap,
jadi sudah resikonya tidur di sofa.

"Ya, meski tidur di sofa. Rasanya lebih nyenyak dan nyaman daripada
hari-hari sebelumnya."

Tsamara mendengkus lirih. "Kalau kamu ingin aku percaya, jangan


harap. Ranjang empuk di rumah enggak akan sepadan dengan sofa di
apartemen ini," kelakar Ghaly benar-benar tidak bisa dipercaya.

"Bukan," Ghaly menggeleng pelan. "Tapi, tentang perasaanku. Aku


merasa sangat nyaman sekarang ini."

Gerak tangan Tsamara yang ingin menggigit roti terhenti, ditatapnya iris
mata Ghaly yang memang memancarkan binar kebahagiaan. Binar yang
selama beberapa hari ini selalu ditemuinya. "Kamu ingin aku bilang,
kamu boleh menginap di sini lebih sering, biar tidurmu selalu nyenyak,
dan nyaman?"

"Apa boleh?" Ghaly menyambut antusias.

"Enggak, dong," Tsamara menahan kuluman senyum gelinya. "Apa kata


orang kalau kamu keseringan menginap di sini? Dikira kamu enggak
punya rumah."

Oh, kelakar Tsamara benar-benar membumbungkan harapan Ghaly


begitu tinggi, lalu dijatuhkan pelan. Tapi jujur saja, Ghaly sangat
menikmati kelakar Tsamara. Candaan garing perempuan itu membuat ia
mengakui kekalahannya. Ya, dia jatuh semakin dalam pada Tsamara.
"Tentang surat pengunduran diri kamu, apakah serius?" tanya Ghaly,
mengalihkan pembicaraan ke inti obrolan yang ingin ia bahas pagi ini
dengan Tsamara.

"Itu yang terbaik menurut aku, lagi pula Om Joe menyetujuinya. Dia
kasih pesangon terlalu banyak, cukup sampai aku menemukan
pekerjaan baru, bahkan lebih."

Di pertemuan kemarin dengan Joe Badrayudha, lelaki itu memang


memberi opsi untuk Tsamara kalau tidak nyaman meneruskan bekerja
dengan Ghaly, ia bisa mengundurkan diri. Ketika Tsamara memberikan
keputusan pasti, Joe malah menawarkan uang pesangon terlalu banyak,
katanya juga sebagai sedikit permintaan maaf karena di masa lalu, Joe
tidak bisa menjadi ayah mertua yang baik, dan tidak bisa mengendalikan
sikap Marta.

Tsamara menolaknya, karena ia memang tidak pernah menyalahkan Joe


untuk masa lalu buruk yang ia terima. Namun, sama seperti Ghaly yang
selalu mendesak, Joe pun melakukannya. Kalau enggak menerima uang
pesangon itu, Joe malah akan melarang Tsamara mengundurkan diri
dari perusahaan.

Pada dasarnya, ia dikelilingi oleh orang-orang berhati mulia dan begitu


perhatian terhadapnya. Hanya saja, terkadang situasi tak selalu baik-
baik saja.

"Kamu bekerja sama aku, Tsa, kenapa Papi yang memutuskan?" Ghaly
merasa sebal sendiri karena ayahnya mengambil keputusan tanpa
diskusi dengannya. "Dan lagi, kapan kamu bertemu dengan Papi?"

"Om Joe masih pimpinan tertinggi."

"Karena itu seharusnya Papi enggak ikut campur tentang karyawan,


terlebih sekretaris aku."

Senyum Tsamara terulas samar. "Kamu yakin, aku sekretaris kamu.


Kupikir selama ini pekerjaanku hanya bantu-bantu Joana saja."
Sekretaris apanya, kalau yang Tsamara lakukan hanya terlalu sibuk
menemani Ghaly jika ada keperluan pekerjaan di luar kantor. Dan selalu
pulang cepat. Dia terlalu dimanjakan.

Ghaly menggaruk pelipisnya. "Tentang itu—"

"Sudah benar aku mengundurkan diri, bukan?"

"Enggak benar. Kalau kamu melakukannya karena Mami, kamu enggak


perlu khawatir tentang itu. Aku janji, mulai sekarang akan menjaga
kamu. Enggak akan membiarkan kamu disakiti siapapun lagi."

Keputusan untuk mengundurkan diri dari perusahaan, sedikit banyak


memang terpengaruh oleh ucapan Marta, karena Tsamara tidak ingin
berlarut-larut menempel pada Ghaly. Dia berusaha tegas untuk
mengambil sikap. Dan pengunduran diri itu adalah jawaban terbaik yang
bisa ia lakukan. Tidak berada dalam satu perusahaan dengan Ghaly.

"Ghaly, ini yang terbaik untuk aku dan Alta," putus Tsamara bulat.
Bahu Ghaly meluruh kecewa. "Aku jadi enggak bisa lihat kamu setiap
hari di kantor," ungkapnya jujur.

Tsamara termangu mendengar penuturan terlalu jujur itu. Dia kehilangan


kalimat balasan. Haruskah ia pura-pura tidak mendengarnya saja.
Mencari aman. Tapi, tatapan matanya dengan Ghaly terus saja
bersinggungan.

"Atau kita tinggal bersama saja, Tsa, biar aku bisa lihat kamu setiap
hari," tawar Ghaly begitu berani.

Penawaran terlalu gila itu, membuat Tsamara bertambah pening saja.

Beruntungnya, situasi terlalu sulit itu diselamatkan oleh panggilan Alta.


Bocah tampan itu menyembul dari pintu kamar yang sengaja Tsamara
buka sedikit.

Ghaly akhirnya pulang ke rumah orang tuanya, ingin berbicara langsung


dengan ayahnya yang main ambil keputusan di belakangnya, dan juga
menunjukkan sesuatu pada ibunya.

Dia memasuki rumahnya dengan langkah terayun mantap, langsung


menuju ke halaman belakang, karena Bibi yang menyambutnya di pintu
depan mengatakan jika ayahnya sedang minum teh di halaman
belakang.

"Papi," panggilnya, saat menemukan sang ayah tengah menyeruput


tehnya, dan duduk di gazebo sembari melihat kolam renang.

"Hai, Nak," sambut Joe, super ramah.

Ghaly menghela napas begitu lelah, dan menjatuhkan duduk di gazebo


di sisi yang lain. "Papi bilang akan mendukung aku untuk mendekati
Tsamara lagi. Tapi, kenapa malah izinin dia buat mengundurkan diri dari
kantor?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Oh, kamu pulang kalau ingin bahas Tsa saja," decap Joe, sok sebal.

Ghaly menyugar rambutnya, berusaha menahan rasa kesalnya.


"Melihat kamu yang datang ke sini dengan raut kesal, Papi tebak, kamu
gagal lagi ngajak Tsa balikan?" tebak Joe setengah berkelakar, yang
malah sangat menikmati kekesalan sang putera.

"Iya, Ghaly gagal lagi," tandas Ghaly dengan penuh rasa kekesalan.

Bukannya mendapatkan tatapan prihatin, Joe malah mengukir


senyuman geli. "Kamu mungkin harus menaklukan puteranya dulu," kata
Joe, berusaha memberi satu saran.

Ghaly mengerjap, tentang Alta, apakah Joe sudah bisa menebak siapa
bocah tampan itu sebenarnya. Sampai detik ini, ia pun belum
menceritakan perihal siapa Alta pada Joe. Kebenaran tentang ia adalah
ayah kandung Alta, masih ia sembunyikan rapat-rapat dari siapa pun.
"Alta memang cukup memihak Ghaly. Tapi tetap saja, dia akan
mengagungkan Tsa."

Tidak bisa dipungkiri, sesukanya Alta padanya, bocah itu akan selalu
memilih Tsamara yang lebih utama. Jelas saja, Tsamara yang
membesarkannya. Berjuang sendiri untuk merawat Alta sedari dalam
kandungan. Bukan seperti Ghaly yang malah bersikap menjadi lelaki
berengsek.

"Mau Papi bantu?" tawar Joe.

"Enggak," tolak Ghaly cepat. "Bantuan Papi enggak membantu sama


sekali."

Joe mendesis sebal. "Gini, nih, kenapa Tsa terus menolak kamu, ego
kamu selalu tinggi."

Hela napas lelah lolos dari bibir Ghaly. "Jangan mulai, deh."

Bukan karena egonya yang masih tinggi, melainkan Tsamara yang tak
kunjung membuka hati padanya. Ghaly sangat maklum untuk itu karena
bagaimanapun, Tsamara memang harus memikirkan segalanya
matang-matang. Bukan hanya memikirkan dirinya sendiri, tapi juga Alta
yang kini telah hadir di tengah-tengah mereka.

Memberi tahu Alta tentang Ghaly yang adalah ayahnya saja menjadi
kesulitan tersendiri.

"Ghaly, kamu pulang?"


Pertanyaan yang mampir ke gendang telinganya, membuat Ghaly
menoleh ke arah datangnya suara, menemukan kehadiran Marta yang
mengayun langkah ke arah gazebo.

"Mami enggak dibolehin belanja dan keluar rumah sama Papi. Kenapa
kamu datang enggak bilang, Mami, kan, bisa titip apa gitu, buat
dibelikan," Marta mengeluh setibanya ia di gazebo.
Ghaly melirik ayahnya, tidak cukup mengerti dengan yang ibunya
katakan.

"Papi sita semua tabungan dan kartu kredit Mami, cuma kasih uang
jajan harian. Lalu enggak ngebolehin Mami keluar rumah tanpa izin
Papi, sampai Tsa mau diajak balikan sama kamu." Joe mengedikkan
bahunya, mengukir senyuman geli dan mengedipkan mata ke arah sang
putera.

"Sungguh, Papi melakukannya?" tanya Ghaly tidak percaya.

"Iya, dong. Ngapain bohong. Ini enggak seberapa daripada yang Mami
lakukan pada kamu dan Tsa, dahulu."

Seketika Ghaly merasa begitu terenyuh. "Aku sayang banget sama


Papi," lirihnya sok manja. Yang hanya dibalas kekehan tawa oleh Joe.

"Oh, satu lagi, sampai Mami meminta maaf pada Tsamara, dan
mengakui kesalahannya, baru Papi bisa menyudahi hukuman,"
sambung Joe dengan sangat antusias. Membuat Ghaly semakin
mengulas senyuman lebar.

Dengan Joe yang memberi hukuman seperti ini saja pada Marta, cukup
membuat Ghaly merasa begitu lega. Karena pada dasarnya,
bagaimanapun, Marta adalah ibunya. Perempuan yang melahirkan dan
membesarkannya selama.

Semarah dan sebenci apapun Ghaly pada semua tingkah ibunya, ia


memang tidak akan pernah bisa melampiaskannya begitu saja. Terlebih
untuk melukai ibunya.+

***
Bab 44

Tsamara melirik ponselnya yang berdering sedari tadi, sebuah nomor


tidak dikenal sudah menghubungi dirinya sebanyak tiga kali.

Hari ini ia, Ghaly, Fanny, beserta Alta, sedang bermain-main di area
bermain sebuah mal. Lebih tepatnya ketiga orang di sana sedang
bermain-main, sedangkan ia hanya menunggu, memperhatikan Ghaly
dan Alta yang asyik bermain.

Tentang Fanny, sampai saat ini adik perempuannya masih sangat sebal
dengan Ghaly, karena insiden penamparan Marta beberapa waktu lalu.
Fanny jadi selalu ketus pada Ghaly, katanya mau marah dulu, dan
Tsamara tidak akan memaksa sang adik untuk kembali bersikap ramah
pada Ghaly seperti dulu. Dia membiarkan Fanny meluapkan
kekesalannya pada Ghaly sampai sang adik merasa cukup.

Karena pada dasarnya, Ghaly pun enggak cukup terbebani dengan


ketusnya Fanny padanya, lelaki itu tetap bersikap terlalu baik pada
Fanny. Malah tadi sempat menawari Fanny untuk memborong apa pun
yang Fanny inginkan di mal.

Fanny memang mendecap ketus, tapi jemari dan ayunan kakinya tetap
saja terarah untuk membeli barang-barang yang ia inginkan, dan tentu
Ghaly yang membayari.

Tadi pun, saat bermain dance game, Fanny dan Ghaly berbagi tawa,
dengan Fanny sebagai pemenangnya, tentu saja. Ghaly kalah telak,
kalah lincah, juga kalah usia. Keramaian itu bertambah dengan Alta
yang bersorak di tepian permainan, tampak sangat ingin turut serta
berjingkrak-jingkrak di dance game itu.

Kembali ke nomor tidak kenal yang menghubungi Tsamara, perempuan


itu memutuskan untuk mengangkat panggilan.

Sapaan pertama yang ia dengar, berhasil membuat Tsamara mendelik


tidak percaya. Dia sampai menjauhkan ponselnya untuk melihat
layarnya yang menyala, sekadar memastikan kalau ia tidak
berhalusinasi. Yang tengah menghubunginya ini adalah Marta.
Tsamara membalas ramah sapaan Marta.

"Tsa, bisa kita bertemu hari ini?" tanya Marta dari seberang telepon.

"Saya sedang di luar, Tante," balas Tsamara lirih, berusaha bersikap


sebiasa mungkin, dan berpikir positif untuk ajakan bertemu dari Marta.

"Di mana?"

Tsamara diam beberapa saat, sebelum akhirnya menyebutkan posisinya


saat ini.

"Oke, kita bertemu di restoran Italia enggak jauh dari mal itu," kata
Marta.

Tidak sempat Tsamara menolak, Marta sudah memberi keputusan


bahwa ia akan menunggu kedatangan Tsamara di restoran.

Tsamara menghela napas pelan, menatap layar ponselnya yang kembali


gelap. Dia tidak tahu tujuan Marta memintanya bertemu seperti ini,
terlebih begitu mendadak. Haruskah ia temui? Atau abaikan saja,
membiarkan Marta menunggunya di restoran itu. Itu pun kalau Marta
sabar menunggu.

Setelah beberapa saat mempertimbangkan, akhirnya Tsamara bangkit


dari duduknya menghampiri Ghaly yang kini mengajak Alta bermain
capit boneka. Belum ada satupun boneka yang berhasil didapatkan.

Tsamara menyentuh bahu Ghaly membuat lelaki itu menoleh ke


arahnya.

"Aku mau ke toilet," kata Tsamara, berdusta.


"Oke." Ghaly mengangguk-angguk. "Mau kutemani?" tawarnya setengah
bercanda.

Tsamara menggeleng-geleng. "Titip Alta, ya, sebentar." Dia melirik sang


putra yang asyik memencet tombol untuk mencapit boneka. Alta tampak
sangat senang meski gagal mendapatkan boneka.

Setelah mendapat janji kesiapan dari Ghaly yang akan menjaga Alta,
Tsamara berlalu pergi menuju tempat janjiannya bersama Marta.
Dia keluar mal dan mengarahkan langkah ke deretan restoran di sisi mal
yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Sesampainya di restoran
yang dituju, Tsamara segera diarahkan ke meja di mana Marta sudah
menunggu.

Di meja dekat kaca dan tanaman, Tsamara menemukan Marta duduk


sendirian. Mungkin perempuan itu memang sudah di sekitar mal saat
menghubungi Tsamara tadi.

"Siang, Tante," sapa Tsamara ramah. Sepertinya tidak ada kapoknya


sama sekali bagi perempuan itu untuk berhadapan dengan Marta.
Padahal beberapa waktu lalu ia sudah dihadiahi tamparan dan caci
maki, tapi tetap saja kini menuruti ajakan bertemu dari Marta.

Tidak menutup kemungkinan jika di pertemuan ini Marta kembali


mempermalukan dirinya, bukan?

"Duduk," pinta Marta.

Tsamara menurut, mengambil duduk di hadapan Marta dan


mempersiapkan diri untuk menerima apa pun yang akan Marta obrolkan
dengannya, atau perlakuan apa pun yang Marta berikan padanya.

Marta menatap Tsamara begitu intens, tanpa ekspresi. Hanya datar saja.
Obrolan Ghaly saat pulang tempo hari berkelebat di benaknya begitu
jelas.

"Ini perempuan yang Mami banggakan," kata Ghaly sembari


menyodorkan berlembar-lembar foto Elsa dengan beberapa lelaki
berbeda. Dari yang tengah ciuman di pantai, clubbing dengan pakaian
seksi membiarkan tangan si lelaki di belakangnya menggerayangi
perutnya yang terbuka, lalu saat tidur di ranjang dengan seorang lelaki
dengan bahu polosnya terlihat.

Marta dibuat hampir mual karena foto-foto itu.

Ghaly mengukir senyum remeh melihat reaksi ibunya ketika melihat


foto-foto yang dibawanya. "Mami ingin menantu seperti ini? Apa Mami
benar-benar udah seleksi dia dari bibit, bebet, dan bobotnya, yang selalu
Mami agungkan itu. Jangan karena Elsa anak teman Mami lalu Mami
percaya begitu saja jika perempuan itu yang cocok denganku."
"Kamu dapat foto-foto itu dari mana?" tanya Marta, memandang Ghaly
dan Joe secara bergantian. Suaminya tampak tidak terlalu peduli
dengan semua foto-foto yang Ghaly tunjukan sore ini. Karena sejak awal
pun ia tidak peduli dengan hadirnya Elsa. Joe mungkin diam karena tahu
Ghaly tidak akan memilih Elsa.

"Apa penting aku dapat foto itu dari mana?" tanya Ghaly lirih.

"Penting, bisa saja itu manipulasi belaka." Dan Marta masih berusaha
menyangkal. Mencari pembelaan diri kalau calon menantu yang ia
pilihkan adalah wanita yang tepat.

Ghaly mengambil satu foto di mana Elsa tengah berciuman dengan


seorang lelaki di depan sebuah lift. Saat itu, Ghaly tidak sengaja mampir
ke apartemen Tsamara tengah malam, bukan ingin bertamu, hanya ingin
datang saja. Namun, tidak menyangka ia malah menemukan
pemandangan itu saat ingin ke lift.

Benar, Ghaly pernah datang ke apartemen Tsamara, hanya untuk


melihat gedung apartemen Tsamara beberapa saat. Seolah hanya
melakukan itu saja sudah lebih cukup mengobati kerinduannya pada
Tsamara.
Tapi, hal itu, tentu tidak akan ia beritahukan pada Tsamara.

"Ini aku yang memotretnya," aku Ghaly jujur. Sejak ia tidak sengaja
bertemu Elsa di satu apartemen dengan Tsamara, ia semakin menaruh
kecurigaan pada perempuan itu.

Akhirnya Ghaly berusaha mencari tahu circle pertemanan perempuan


itu, dan foto-foto yang ia tunjukan hari ini adalah foto-foto dari teman
Elsa. Dengan sedikit uang pelicin mereka memberikan informasi dan
foto-foto Elsa bersama pacarnya. Dia pun tahu, apartemen yang Elsa
tinggali di gedung yang sama dengan Tsamara hanya dijadikan tempat
bersenang-senang saja.

"Kalau Mami masih kekeuh ingin menjodohkan aku dengan Elsa, ya,
jangan salahkan aku kalau foto-foto itu akan kukirim ke portal berita, jadi
headline. Nama Mami mungkin akan sedikit terseret karena Mami
sempat menyebut Elsa dengan bangganya sebagai calon istri aku."

Marta menggeram sebal. "Kamu tega sama Mami?"


Ghaly menelan ludah kasar dan menghembuskan napas pelan. "Yang
Mami lakukan padaku dan Tsa, lebih tega dari ini. Jadi, ini belum
seberapa. Toh, kalaupun Mami sedikit dipermalukan, itu enggak akan
mempengaruhi naik turunnya saham perusahaan. Iya, kan, Pi?"
tanyanya pada sang ayah yang dibalas anggukan oleh Joe.

Tentu saja itu hanya ancaman, sekesal apa pun Ghaly pada ibunya
karena merusak rumah tangganya dengan Tsamara dulu, ia tidak akan
sekeras itu untuk membuat ibunya dipermalukan.

"Jadi, mau kamu apa sekarang?' tanya Marta pada akhirnya. Dia kesal
sekali mendapati perempuan pilihannya malah mempermalukan dia
seperti ini di depan suami dan puteranya. Padahal, Elsa adalah anak
sahabatnya yang paling ia percaya.

Tidak menyangka jika kelakuan Elsa di luaran sana malah hanya bisa
mencoreng nama baik keluarga.
"Aku ingin Mami meminta maaf pada Tsa."

"Enggak akan," tolak Marta cepat.

Ghaly meluruhkan bahu, lelah sekali jika harus kembali berdebat dengan
Marta. "Kalau Mami enggak melakukannya, aku benar-benar enggak
tahu harus bersikap seperti apa pada Mami. Aku sayang banget sama
Mami, bahkan saat tahu kalau Mami punya andil untuk keretakan rumah
tanggaku dengan Tsa, dahulu. Tapi kali ini aku benar-benar akan jadikan
sore ini sebagai kedatanganku yang terakhir ke rumah ini, dan menemui
Mami."

Rahang Marta kian mengeras. "Ghaly, kamu enggak bisa melakukan itu
pada Mami."

"Aku sangat mencintai Tsa, sampai kapan pun," tegas Ghaly.


"Keputusan untuk merestui kami atau tidak, meminta maaf atau tidak
pada Tsa, itu hak Mami. Tapi, aku enggak akan sedekat dulu dengan
rumah ini jika Mami memilih enggak meminta maaf."

Pada akhirnya, sejak awal Marta memang sudah kalah dari Ghaly. Meski
di masa lalu ia berhasil memisahkan Ghaly dan Tsamara, puteranya
tetap saja tertuju pada perempuan yang kini duduk berhadapan
dengannya.
Wajah Tsamara tergurat begitu tenang, sangat berbeda dengan Tsamara
lima tahun lalu, yang meski tampil begitu berani di depannya, tapi Marta
masih menemukan keraguan dan kegelisahan di sana.

"Saya minta maaf, Tsa. Untuk semua hal buruk yang pernah saya
lakukan padamu di masa lalu juga tempo hari."

Tsamara mengerjap pelan berusaha menarik kesadarannya kembali,


barangkali yang baru saja ia dengarkan hanyalah halusinasinya saja.
Bagaimana bisa Marta meminta maaf seperti ini padanya.

"Saya tahu, kesalahan saya enggak termaafkan. Saya hanya berusaha


menemukan pendamping yang tepat untuk Ghaly yang setara secara
materi, namun putera yang saya besarkan dengan penuh kasih sayang
selalu berlari ke arahmu. Sekeras apa pun saya menjauhkan kalian,
Ghaly selalu berhasil untuk kembali padamu, lagi, dan lagi."

Kali ini Tsamara yakin, ada yang salah dengan pendengarannya.


Kenapa Marta berbicara selembut dan setulus ini padanya. Mungkinkah
Marta salah makan tadi sebelum menemui dirinya.

"Tsa."

Panggilan Marta membuat Tsamara berkedip lagi. "Ya."

Marta mengulas senyuman tipis. "Kamu pasti enggak menyangka saya


mengatakan kalimat barusan."

Kepala Tsamara mengangguk pelan.

"Sepertinya sikap saya memang enggak termaafkan, sampai kamu pun


tidak menangkap ketulusan dari permintaan maaf saya."

Tsamara dibuat termangu karena kalimat itu. Bukan karena ia tidak bisa
menangkap pancaran ketulusan di bola mata Marta, hanya saja ia masih
tidak mempercayai dengan yang Marta katakan. Bagaimana bisa, Marta
yang selalu bersikap keras padanya menjadi selembut ini.

"Apakah kalau saya memberi restu untuk hubunganmu dengan Ghaly,


kamu baru bisa percaya dan menerima permintaan maaf saya?"

***
Bab 45

"Ghaly, Mami lagi sama Tsa. Kamu mungkin penasaran apa yang akan
Mami lakukan pada Tsa."

Sebuah pesan yang ibunya kirimkan, berhasil membuat punggung Ghaly


menegak. Sudah terlalu lama Tsamara tidak kunjung kembali dari toilet,
dan kini ia mendapatkan pesan dari sang ibu yang tengah bertemu
dengan Tsamara, sekalian memberi tahu lokasi pertemuan mereka yang
tidak jauh dari mal.

Dengan Alta dalam gendongannya, Ghaly mengarahkan langkah keluar


area bermain, dan keluar mal.

"Memang Mbak Tsa di mana, Mas?" tanya Fanny yang berjalan


beriringan dengan Ghaly.

"Ada di sekitar resto sebelah mal," balas Ghaly tenang, meski dadanya
sudah bergemuruh karena kekhawatiran.

Fanny mengerutkan kening, tampak keheranan. Pasalnya, ia


mendengar Tsamara yang pamitan pada Ghaly ingin ke toilet. "Ngapain
ke resto duluan, enggak ngajak kita?"

"Lagi ketemu teman." Lagi-lagi, Ghaly membalasnya begitu tenang.


Berusaha untuk tidak membuat Fanny curiga.

Saat plang restoran tempat bertemunya Marta dengan Tsamara terlihat,


Ghaly menghentikan langkah detik itu juga. Teringat dengan Alta yang
berada dalam gendongannya. Dia tidak bisa membawa Alta untuk
menemui Marta.

"Di sini, Mas?" tanya Fanny sembari mengedarkan ke sekeliling.

Ghaly melirik ke sisi kanannya, ada sebuah kafe. Tanpa menjawab


pertanyaan Fanny, ia masuk ke kafe dan segera menempati meja yang
paling dekat dengan kaca. Dia mendudukkan Alta di sofa yang
menempel pada dinding.
"Fanny, kamu tunggu di sini dulu sama Alta, ya," kata Ghaly berpesan.
Dia mengambil dompetnya dari saku celana, dan mengeluarkan kartu
kreditnya. "Pesan apapun, Mas tinggal sebentar."

Seketika, Fanny mengernyit curiga pada gelagat Ghaly. "Mbak Tsa baik-
baik saja, kan, Mas Ghaly?"

Ghaly menatap Fanny dan mengulas senyuman penuh ketenangan.


"Tsa baik-baik saja, ini Mas mau nyusul. Kamu dan Alta tunggu di sini."

Fanny mendesis tidak percaya. "Mas Ghaly bohongnya kelihatan."

Bahu Ghaly meluruh. Fanny terlalu jeli sehingga menaruh curiga seperti
ini. "Mas enggak bisa ajak kamu ikut karena ada Alta."

"Lalu?"

Ghaly menatap Alta yang sibuk membolak-balik buku menu di


pangkuannya. "Tsa bertemu Mami, jadi Mas mau menjemputnya."

Bola mata Fanny mendelik. "Ngapain Mbak Tsa bertemu lagi dengan—"
ucapannya yang sedikit meninggi terhenti karena Alta menatap ingin
tahu ke arahnya. "Pokoknya kalau Mbak Tsa kenapa-napa aku enggak
akan maafin Mas Ghaly," desisnya.

Ghaly menerima kekesalan Fanny, sangat memaklumi respon gadis itu.


Dia kemudian pamitan pada Alta, meminta bocah itu untuk menunggu.
Sebelum pergi, Ghaly menyempatkan diri untuk mengusap puncak
kepala Alta.

Setelah berhasil keluar dari kafe dan yakin tidak lagi terlihat oleh Fanny
dan Alta, Ghaly segera mengayun kakinya lebih cepat, berlari menuju
restoran yang letaknya kurang lebih 50 meter dari kafe.

Dengan napas terengah, Ghaly tiba di restoran dan segera


mengedarkan tatapan ke sekeliling mencari keberadaan Tsamara dan
Marta.

Ketika akhirnya manik matanya menemukan sosok Marta, dan Tsamara


yang duduk membelakanginya, Ghaly segera mengayun langkah
menuju meja itu dengan rahang yang mulai mengeras.
"Kamu enggak apa-apa, Tsa?" tanya Ghaly perhatian, setibanya ia di
samping Tsamara dan menyentuh kepala perempuan itu, membuat
Tsamara mendongak ke arahnya. Dia menemukan tatapan keterkejutan
di mata Tsamara. Berbeda dengan Marta yang malah mendengkus
melihat kehadirannya.

"Hampir dua puluh menit," ucap Marta sambil melirik arlojinya di tangan
kiri. "Melihat puteraku yang napasnya tersendat seperti ini, sepertinya
dia habis berlari maraton," imbuhnya menyindir.

Ghaly menatap sang ibu dengan tatapan sebal. "Mami ngapain, sih,
ngajak ketemu Tsa?"

"Kenapa? Memang enggak boleh, Tsa aja baik-baik saja ketemu Mami."
Marta mengedikkan bahunya.

"Kamu beneran enggak apa-apa, Tsa." Ghaly kembali menatap


Tsamara, merangkum wajah perempuan itu dengan dua telapak
tangannya, dan menelitinya dengan saksama barang kali ada bekas
tamparan lain. Seperti pertemuan Tsamara dengan Marta beberapa
waktu lalu.

Marta kembali mendengkus keras-keras melihat kekhawatiran dan


perhatian yang Ghaly berikan pada Tsamara. Dari sini, ia bisa melihat
sebesar apa Ghaly menaruh hati untuk perempuan yang sedari dulu
tidak ia sukai. Yang hubungannya selalu ia tentang.

Sebenarnya, ia sudah cukup tahu seberapa besar Ghaly mencintai


Tsamara, hanya saja, sedari dulu ia memilih untuk menutup mata dan
telinga akan fakta itu. Selalu berprinsip bahwa pernikahan tidak harus
dilandasi dengan cinta pada awalnya, seperti pernikahannya dengan
Joe, yang dilakukan karena perjodohan bisnis.

Tapi lihat sekarang, meski tanpa cinta awalnya, rumah tangganya


dengan Joe bertahan bertahun-tahun. Saling menguntungkan untuk
masing-masing keluarga karena pernikahan itu. Berbeda dengan Ghaly
dan Tsamara yang hubungannya sangat jomplang. Dilihat dari sisi
manapun Tsamara tidak memenuhi kriteria menantu di matanya.

Kekeraskepalaannya kali ini mungkin memang sudah seharusnya


dihancurkan, ia akan mengalah demi melihat Ghaly kembali
memancarkan binar bahagianya. Meski mungkin sudah amat terlambat.
Terlambat lebih baik, bukan? Daripada tidak sama sekali.

"Mami enggak melakukan apa pun pada Tsa," kata Marta yang mulai
jengah melihat sikap Ghaly yang over protektif pada Tsamara. Padahal
Tsamara tampak risih dengan sikap Ghaly.

Jadi, benar adanya, jika Ghaly lah yang mengejar Tsamara, dari dulu
hingga kini.

"Siapa yang enggak curiga kalau sebelumnya Mami sempat tampar


Tsa," balas Ghaly. Dia melepas rangkuman jemarinya di wajah Tsamara
dan memberi atensi penuh pada sang ibu.

Marta menghela napas pelan, tidak salah jika Ghaly mengkhawatirkan


tentang itu. "Mami sudah minta maaf pada Tsa."

Ghaly mengerjap-ngerjap, tidak mempercayai pendengarannya sendiri.


Ibunya meminta maaf pada Tsamara. "Mami bilang apa?" tanyanya
mengulang, ingin memperjelas.

"Mami meminta maaf sama Tsa, untuk semua hal buruk yang pernah
Mami lakukan," kata Marta begitu pelan, namun dengan intonasi yang
amat jelas.
"Sungguh?" Ghaly masih dibuat tidak percaya.

Marta mengangguk-angguk. "Ya. Mami juga kasih restu pada hubungan


kalian."

Tatapan Ghaly yang sempat terarah pada Tsamara, kini kembali


menatap Marta dengan raut begitu terkejut. "Apa?"

Hela nafas pelan lolos dari bibir Marta. Sepertinya apa pun yang ia
suarakan hari ini tidak bisa dipercayai dengan mudah. Sehingga Ghaly
dan Tsamara harus mengulang-ulang ucapan yang ia loloskan. "Kamu
harus periksa THT, Ghaly. Sepertinya ada yang enggak beres dengan
pendengaranmu. Bawa Tsa sekalian."

Ghaly mengukir senyuman samar. "Mami kasih restu pada Ghaly dan
Tsa?"

"Ya. Mami kasih restu pada kalian berdua." Tegas Marta sekali lagi.
Dan setelahnya ia mendapati wajah Ghaly berubah begitu cerah,
tatapan lelaki itu kembali terarah pada Tsamara yang mengulum
senyuman tipis.

Kenapa ia begitu menentang hubungan mereka di masa lalu?

Kenapa ia harus menutup mata dan hatinya dari pemandangan penuh


cinta seperti di hadapannya ini?

***
Ghaly tak kunjung meluruhkan senyumannya meski ibunya sudah
pulang. Ia dan Tsamara mengantar sang ibu sampai naik mobil dan tak
lagi terlihat di area parkir.

Satu pernyataan Marta tadi benar-benar membuat dadanya


mengembang penuh kebahagiaan. Restu dari sang ibu. Sekalipun kali
ini ibunya tidak memberi restu pada hubungannya dan Tsamara, ia akan
tetap maju, menutup telinga dan tidak memedulikan penolakan sang ibu.

Tapi, jika diberi restu seperti ini rasanya begitu lega dan lengkap.

"Aku enggak nyangka Mami akan kasih restu," ucap Ghaly. Dari nada
suaranya terdengar begitu jelas ada kebahagiaan di sana.

Sayangnya, saat ia melirik ke arah Tsamara, ia mendapati perempuan


itu berwajah datar. "Di mana Alta?" tanyanya.

Ghaly mengerjap, sekali, dua kali, lalu tersadar, hanya dia yang terlalu
bahagia di sini, untuk restu yang akhirnya Marta berikan. Dia dan
Tsamara tidak lagi sama seperti lima tahun lalu. Mungkin kini hanya
dirinya seorang yang ingin kembali menjalin hubungan asmara dengan
Tsamara, tapi tidak dengan perempuan itu.

"Aku minta mereka menunggu di kafe," kata Ghaly sembari menunjuk


kafe tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Kita ke sana sekarang, Alta mungkin udah nungguin dari tadi."

Sebelum mendapat persetujuan dari Ghaly, Tsamara sudah mengambil


langkah menuju kafe itu.

Ghaly tak langsung menyusul, ia diam beberapa saat di tempatnya


berdiri, hanya memandang punggung Tsamara yang menjauh. Ini
realitanya, Tsamara yang kian menjauh darinya. Hubungannya dengan
Tsamara belakangan mungkin sudah lebih dekat dan akrab, tapi bukan
berarti Tsamara menyerahkan hatinya pada Ghaly.

Tsamara masih tidak tergapai oleh Ghaly.

Lelaki itu menghela napas begitu pelan. Ulasan senyum kebahagiaan di


bibirnya yang sedari tadi menghias, akhirnya meluruh juga.

Kebahagiaan tadi, hanya sepihak. Hanya dirinya seorang.

Apakah ia akan menyerah? Enggak, tentu saja. Semakin Tsamara


menolaknya, ia akan semakin gencar menyatakan cintanya. Semakin
Tsamara mencipta jarak dengannya, ia pun akan menempelinya, tanpa
ada ruang sedikit pun bagi Tsamara untuk menjauh.

Dia akan berusaha sampai ke titik yang enggak akan dibayangkan


siapapun untuk menarik Tsamara kembali padanya.

Kalau pada akhirnya hati Tsamara tak mampu lagi ia miliki, maka sudah
jelas ini adalah hasil dari semua hal buruk yang ia lakukan di masa lalu
pada Tsamara.

Ketika akhirnya Tsamara menoleh ke arahnya, karena mungkin sadar ia


tidak di dekat perempuan itu, Ghaly kembali mengulas senyuman amat
manis, dan mengayun langkah-langkah panjangnya menyusul Tsamara.

"Ayo masuk," ajak Ghaly, menampilkan binarnya yang cerah. Seolah


murung yang sempat membayang wajahnya tadi memang secepat itu
lenyap terbawa angin.

Tsamara mengangguk lalu memasuki kafe beriringan dengan Ghaly, dan


langsung menuju meja di mana Fanny dan Alta sudah menunggu di
sana.

Alta antusias menyambut kedatangan Tsamara, putera kesayangannya


itu sedang makan cake yang membuat bibirnya belepotan krim.

"Mama dari mana? Lama banget, Alta nungguin," sambut Alta saat
Tsamara duduk di samping sang putera. Di sisi kiri Alta ada Fanny yang
sedari tadi menjaga. Sedangkan Ghaly duduk di seberang meja, di kursi
besi.
"Habis bertemu teman. Maaf, ya, Mama lama," kata Tsamara, dia
menarik beberapa lembar tisu di atas meja dan mengusap bibir Alta
yang belepotan. "Alta makannya pelan-pelan, biar enggak berantakan,"
ingatnya perhatian.

Sang putera hanya mengangguk saja, kembali menyuap sepotong cake


yang tertancap di garpu dalam genggaman tangan kanannya.

"Mbak Tsa baik-baik saja?" tanya Fanny setelah Tsamara tak lagi
memberi atensi pada Alta.

Tsamara menatap adiknya, sedikit mengernyitkan kening karena


pertanyaan Fanny tadi. "Memangnya Mbak ngapain? Mbak baik-baik aja
lah."

Fanny mendesah pelan, "Kata Mas Ghaly," tatapannya terarah pada


Ghaly yang tengah menatap Tsamara dengan gurat yang berbeda,
sebelum akhirnya melempar tatapan padanya. "Mbak ketemu Tante
Marta."

"Oh, tentang itu. Kita cuma ngobrol aja. Kamu engga perlu khawatir."

Baru sedetik Tsamara menyelesaikan ucapannya, Fanny


menyambarnya dengan cepat.

"Kemarin kalian juga cuma ngobrol, cuma pakai tangan." Diakhir kalimat,
Fanny mengeraskan rahangnya. Rasanya masih sangat kesal ketika
mengingat Marta menampar Tsamara di muka umum.

Senyum Tsamara mengulas tipis. Dia cukup tahu, ingatan itu pasti tidak
akan semudah itu terhapus dari benak Fanny. "Tante Marta minta maaf
sama Mbak tadi."

"Dan Mbak memaafkan?"

"Dimaafin, dong. Enggak ada alasan buat enggak memaafkan," lirih


Tsamara. Ada gurat ketenangan di wajahnya, hanya agar sang adik
tidak berlarut-larut khawatir padanya.

Fanny mendecap, tidak sepakat sama sekali dengan sikap lemah lembut
Tsamara yang memaafkan perbuatan Marta tempo hari. Dia saja yang
hanya melihat masih sekesal ini. Bukankah sudah seharusnya, Tsamara
yang ditampar dan dipermalukan, tetap menaruh kekesalan. Kalau bisa,
jangan dimaafkan sampai kapan pun.

"Hidup akan lebih tenang kalau kita saling memaafkan," kata Tsamara
lagi.

Bibir Fanny semakin mencebik saja. "Jangan sok bijak," semburnya


sebal.

Tsamara meloloskan kekehan pelan dengan kepala menggeleng. Dia


tidak sadar jika sedari tadi ada sepasang mata yang mencuri-curi
tatapan padanya, meski jemarinya tampak sibuk dengan ponsel
digenggaman tangan.

Ghaly merasakan perasaan bersalah itu kembali menyeruak di dadanya.


Jika Fanny saja masih begitu kesal pada ibunya karena menampar
Tsamara.

Kenapa Tsamara bisa begitu mulia menerima permintaan maaf Marta.


Terlebih semua perlakuan Marta di masa lalu sangat menyakiti Tsamara.

***
Bab 46

"Aku boleh mengajak Alta main ke rumah, lain waktu?" tanya Ghaly
memastikan. Tadi, Tsamara mengatakan jika ia boleh mengajak Alta
bermain dengannya seharian. "Tanpa kamu?"

Tsamara mengangguk yakin. "Ya, kamu boleh mengajak Alta main


sepuasnya. Ini akan memudahkan kedekatan kalian. Jadi, kalau
sewaktu-waktu aku bilang kamu papanya, kalian sudah punya ikatan
lebih kuat," balas Tsamara super pengertian.

Dan memang itulah tujuannya memperbolehkan Ghaly bermain seharian


dengan Alta. Ia hanya berpikir, memang ini pilihan yang terbaik untuk
Ghaly dan Alta, mereka mempunyai ikatan, meski bertahun-tahun ini
terpisah. Sehingga sudah saatnya bagi ayah dan anak itu untuk semakin
mempererat hubungan.

"Kenapa kamu enggak ikut?"

Bukan karena Ghaly tidak bahagia bisa bersama Alta seharian, tapi, ia
juga ingin Tsamara berada di tengah-tengah mereka. Jika seperti ini,
semakin menunjukkan penolakan Tsamara padanya. Seolah,
perempuan itu memberi kebebasan dirinya untuk mendekati Alta,
menjadi selayaknya sosok ayah bagi sang putera. Tapi tidak dengan
kembali menjadi pasangan untuk Tsamara.

"Kalau aku ikut, kalian enggak bisa menciptakan waktu berdua."

Ghaly mendesah, "Oke. Kalau menginap, bagaimana?" tanyanya.


Sedikit berharap jika menginap maka Tsamara akan mengalah dan
memutuskan ikut dengannya.

"Dikasih hati minta jantung, namanya."

Mendapat sindiran itu, Ghaly langsung mencebikkan bibirnya. Dia


memang harus berjuang ekstra untuk bisa merebut hati Tsamara lagi.
Tapi, kenapa Tsamara bisa seteguh ini bersikap dingin padanya.
Sungguhkah perempuan itu tak lagi memiliki setitik cinta untuk dirinya.
Apakah semua perasaan yang sempat mereka bagi di masa lalu sudah
terkikis habis?

"Seingin itu, ya, aku menginap di rumah kamu?" tanya Tsamara,


menahan kuluman senyum gelinya saat menemukan raut sebal Ghaly
karena sindirannya barusan.

"Ya," Ghaly mengangguk pelan.

"Kenapa?"

Ghaly mempertemukan iris matanya dengan bola mata Tsamara.


"Karena ingin kita tinggal di satu rumah." Itu adalah jawaban paling jujur
dan gamblang yang Ghaly suarakan. Tidak menutupi perasaannya sama
sekali. Dia menunjukkan seberapa inginnya ia kembali membina
mahligai pernikahan dengan Tsamara.

Tsamara sedikit salah tingkah, ia menelan ludah kasar dan membuang


tatapan ke arah lain, yang penting bukan pada mata Ghaly yang
menyorotnya teduh, penuh perasaan. Bohong rasanya ketika ia bilang ia
tidak menangkap usaha yang Ghaly lakukan sedari berminggu-minggu
lalu. Dia hanya berusaha untuk meyakinkan dirinya, memantapkan
perasaannya sendiri. Tidak ingin mengambil keputusan terburu-buru.

"Tsa, kamu enggak ingin?"

Ketika akhirnya Tsamara kembali menatap Ghaly, ia melirih, "Kamu ingin


aku jawab apa?"

Tanpa menunggu bermenit-menit terlewat, Ghaly segera menyahut.


"Tentu saja ingin kamu tinggal di rumah itu dengan Alta," Dia menjeda
hanya untuk mengulas senyuman geli di bibirnya. "Dan denganku."

Tsamara tidak langsung memberi tanggapan. Namun satu suara lain


tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka.
"Oh, jadi Fanny enggak diajak. Beneran deh, aku nyesel banget dukung
Mas Ghaly kalau begini akhirnya. Enggak dianggap."

Fanny menghampiri keduanya dengan Alta digandengan tangan kirinya.


Sedangkan tangan kanannya memegang dua bungkus arum manis.
Mereka masih berada di sekitar mal, Alta menolak pulang, katanya ingin
main-main lebih lama. Kalau sudah senang bermain memang seperti itu,
sering lupa waktu.

"Kamu masih punya PR untuk membujuk Fanny." Tsamara mengedikkan


dagunya, menunjuk sang adik yang kini mengambil duduk di sisi kirinya,
berbeda dengan Alta yang langsung duduk di tengah-tengah Ghaly dan
Tsamara.

Ghaly melirik Fanny yang membuka pembungkus arum manis, dan


menggigitnya besar-besar. "Fanny ikut juga, dong. Enggak mungkin Mas
tinggalin sendiri."

Fanny melirik sinis ke arah Ghaly. "Masa?"

Menghadapi Tsamara dan Fanny yang kini tidak pro dengannya adalah
hal tersulit, cukup menguras energinya. "Kalau kamu tinggal di rumah
dengan Mas, kita bisa bicarakan pekerjaan kamu di Badrayudha Realty."
Dia mengedip, berusaha memberi sogokan. Sayangnya, tidak mempan
karena balasan dari Fanny adalah dengkusan.

Oh, ya ampun. Dua perempuan di dekatnya ini terlalu kompak membuat


tensinya naik turun dengan cepat.

"Om Ghaly mau?"

Satu penawaran dari Alta, membuat wajah lelah Ghaly kembali


semringah. Dia menurunkan tatapan pada Alta, dan melihat bocah itu
sedang menyodorkan sepotong arum manis di tangan kanannya.
Segera saja, Ghaly membuka bibirnya dan merasakan sepotong arum
manis pemberian Alta yang terasa berkali lipat lebih manis dari
biasanya.

Hanya Alta yang kini pro banget dengan Ghaly.

Setelah menyuapi Ghaly, jemari mungil Alta kembali mencomot arum


manis, kali ini ia arahkan kepada Tsamara. "Mama mau?" tawarnya.

Tsamara melirik Ghaly sekilas, dan ia bisa menemukan senyuman di


bibir lelaki itu. Baru kemudian, dia membuka mulutnya dan menerima
suapan arum manis dari tangan kecil Alta.
Alta berjingkrak kesenangan. "Yee, Alta suka suapin Mama sama Om.
Jadi kayak temen-temen Alta lainnya, bisa suapin Mama dan Papa."

Mendengar penuturan Alta, sontak saja Tsamara dan Ghaly mengangkat


kepalanya, mempertemukan tatapan. Keduanya saling diam, seolah
sedang menyelami kedalaman tatapan masing-masing. Meski pada
akhirnya, yang bisa ditemukan adalah satu.

Bocah tampan berusia empat tahun di tengah-tengah mereka,


mendamba keluarga lengkap, seperti teman-teman lainnya.

***
Tsamara terduduk diam dengan tatapan terarah pada layar televisi di
hadapannya yang entah sedang menampilkan apa, dia tidak terlalu
memperhatikan. Tidak ada yang menonton televisi juga, karena Alta
sibuk mewarnai buku bergambar, sambil bernyanyi sedari tadi.
Terkadang pun bocah itu melempar tanya pada Tsamara, tentang apa
pun yang melintas tiba-tiba di benak Alta. Hal-hal yang membuat Alta
merasa begitu penasaran. Entah karena melihat sesuatu baru di buku
atau apa pun.

Meski tampak diam, Tsamara selalu menjawab pertanyaan Alta dengan


tepat. Dan setelahnya sang putera akan menyuarakan tanya lainnya,
terus menerus.

Fanny tiba di depan televisi dengan sepiring buah-buahan yang telah ia


potong-potong, meletakkannya di depan Alta. Camilan kesukaan Alta
atau karena terpaksa saking enggak ada camilan lain yang bisa
dimakan.

Tsamara cukup ketat mengenai camilan Alta di malam hari, di jam-jam


bocah itu mengantuk, Tsamara memang tidak mengizinkan Alta makan
snack, coklat, atau es krim. Paling cepat ya cuma buah-buahan begini.

Dan mungkin karena sudah terbiasa, alhasil Alta jadi menyukai buah-
buahan. Atau memang keturunan dari Ghaly. Kalau enggak salah ingat,
Fanny pernah mendengar dari Tsamara jika camilan kesukaan lelaki itu
adalah buah. Berbagai macam.

Sungguh hal yang unik sekali, seorang lelaki lebih suka nyemil buah
daripada menghisap rokok.
Ngomong-ngomong tentang Ghaly, lelaki itu hanya mengantar sampai
lobi apartemen saja, tidak mampir dan langsung pulang. Sedikit terburu-
buru.

Fanny melempar tatapan pada Tsamara yang tampak memikirkan


sesuatu. Kening sang kakak sampai berkerut dalam. "Mbak—"

Panggilan Fanny terhenti bertepatan dengan denting bel apartemen.


Fanny segera bangkit dari duduknya dan membuka pintu apartemen.
Wajah Leo menyembul dari balik daun pintu, tersenyum begitu cerah.

"Aku bawa fried chicken, kamu mau?" Leo mengangkat kantong plastik
di tangan kanannya, menunjukkannya pada Fanny.

"Uh, mau banget," balas Fanny antusias. "Tapi, bohong, aku udah
kenyang," imbuhnya sembari tersenyum geli. Menikmati kelakarnya
yang membuat Leo mendengkus sebal. Dia kemudian membuka pintu
lebih lebar, mempersilakan Leo masuk.

Dengan suaranya yang lantang, Leo memanggil Alta, seolah tengah


mengabarkan kehadirannya. Saat tiba di ruang tv, di mana ada Tsamara
yang terduduk di sofa dan Alta rebahan di karpet sibuk bermain-main
dengan pencil warna, Leo mengulas cengiran.

"Om Leo bawa chicken nih, siapa mau?" tawarnya antusias, yang
dibalas kesenyapan. Padahal ia berharap Alta akan berjingkrak senang
menyambutnya. "Kalian bener-bener sudah kenyang?" tanya Leo lemas.

Tsamara menghela nafas pelan dan mengangguk. "Kita habis makan


fried chicken juga, satu mangkuk besar," balas Tsamara yang semakin
membuat Leo kehilangan semangat.

"Jadi, aku sendiri, nih, yang makan?" Leo menjatuhkan tubuh, duduk di
samping Tsamara.

"Ya. Karena kita memang beneran kenyang." Tsamara mengangguk-


angguk.

Meski sebal karena makanan pembeliannya akhirnya hanya dimakan


oleh dirinya sendiri, Leo membuka bungkusan kantong plastiknya,
mengeluarkan seember ukuran sedang. Dia sudah akan mengambil
sepotong ayam, namun Alta menginterupsi.
"Om Leo."

"Ya, Sayang. Alta mau ayam?" tawar Leo.

Alta menggeleng-geleng, dia menunjukkan buku bergambarnya pada


Leo. "Om Leo tebak, ini gambar apa?"

Leo memicingkan mata untuk memperjelas gambar hewan yang sudah


diwarnai oleh Alta. "Jerapah," sebutnya. "Tapi, kenapa lehernya
berwarna hijau?" tanyanya keheranan.

"Habis makan daun, jadi hijau," balas Alta polos.


Jawaban polos itu berhasil membuat Leo meledakkan tawa. Ada ada
saja memang kelakuan Alta.

Setelah Alta kembali ke posisinya tengkurap, Leo meneruskan niatannya


tadi yang sempat terinterupsi untuk mengambil sepotong ayam. Tapi,
belum juga ia berhasil menyentuh sepotong ayam, ada yang kembali
menginterupsi gerakannya.

"Kebiasaan. Cuci tangan dulu, baru ambil makanan. Kamu tuh habis dari
luar rumah, pegang setir mobil, tombol lift—"

"Iya," Leo memotong cepat, ia meletakkan ember chicken-nya di


samping Tsamara dan bangkit dari duduknya untuk mengarahkan
langkah dan mencuci tangan di dapur. Di sana ia bertemu Fanny tengah
mengambil botol minum di kulkas. Dan dia menemukan ember chicken
berukuran besar di samping bak cuci piring.

"Tumben kalian beli ayam seember besar?"

"Mas Ghaly yang beliin. Makanya kita udah pada kekenyangan," balas
Fanny.

Leo mendesahkan napas lelah. "Aku kalah cepat."

Fanny dan Leo kembali ke ruang tv. Tidak menunggu lama, meski tidak
ada yang menemaninya makan, Leo mulai menggigit ayam.

"Gimana perkembangan hubungan kamu dengan Ghaly?" tanya Leo,


disela-sela kunyahannya.
Tsamara melirik sedikit sebal ke arah Leo karena pertanyaan lelaki itu
yang disuarakan di tengah kunyahan. "Baik."

"Baik seperti apa? Alta yang mulai manggil dia papa, atau kamu yang
menyetujui buat balikan?" tanya Leo lirih, berusaha untuk tidak menarik
perhatian Alta karena obrolannya dengan Tsamara.

Kali ini tatapan Tsamara bukan sedikit sebal lagi, tapi sudah teramat
kesal. Bisa-bisanya Leo membaca keresahannya seperti ini,
mengeluarkannya menjadi sindiran.

"Sebagai sahabat, tentu aku menginginkan yang terbaik untukmu, Tsa.


Kalau kamu yakin dengan perasaanmu, maka jangan ragu-ragu untuk
mengambil langkah pasti."

"Langkah pasti yang kuharapkan tidak semudah seperti yang kamu


bicarakan," gumam Tsamara. Dia memang masih mencintai Ghaly, tidak
diragukan sama sekali untuk itu. Dia pun sudah mengantongi restu
Marta, yang dahulu menjadi satu hal mustahil untuk ia dapatkan.

Namun, memori menyebalkan bagaimana akhirnya ia dan Ghaly


berpisah di masa lalu masih menjadi hal yang sangat mengganggu di
kepalanya.

Leo menatap Tsamara begitu dalam. "Jangan terlalu keras pada dirimu
sendiri, Tsa. Kamu berhak bahagia, berhak kembali mendapatkan cinta
dari lelaki yang kamu cintai. Dan Alta, dia berhak mendapatkan keluarga
yang utuh. Kasih sayang seimbang dari kedua orang tuanya."

Pada akhirnya, entah serumit apa masa lalu Ghaly dan Tsamara. Entah
pernah sebenci apa Leo pada Ghaly, ia tetap akan memberi dukungan
penuh pada Tsamara jika perempuan itu akhirnya memilih untuk kembali
pada Ghaly.

***
Bab 47

Seperti yang dikatakan Tsamara bahwa Ghaly bebas mengajak Alta


main, maka hari ini Ghaly melakukannya. Dia menjemput Alta menjelang
siang di apartemen.

Alta menyambutnya sangat antusias ketika Ghaly mengatakan akan


main di rumah seharian. Meski pada dasarnya, Ghaly tahu kenapa Alta
bisa sesenang itu dibawa main ke rumah, karena ada kolam renang
tentu saja. Dan halaman luas yang bisa dipakai buat bermain bola.

Ghaly kira Tsamara tidak akan ikut, tapi ternyata perempuan itu memilih
bergabung, menambah kesenangan Ghaly saja.

Setibanya mereka di rumah Ghaly, tanpa Fanny, karena perempuan itu


lagi-lagi memilih bersama Leo. Katanya ingin diajak ke suatu tempat,
gitu. Ghaly tidak sempat menanyakannya lebih lanjut.

Atau Fanny memang sengaja melakukannya agar Ghaly bisa


menghabiskan waktu hanya dengan Alta dan Tsamara. Meski Fanny
masih tampak sebal dengan Ghaly, pada dasarnya perempuan itu
berada di titik yang menerima Ghaly tanpa tetapi.

Setibanya mereka di pelataran rumah, Alta segera turun dari mobil dan
bocah tampan yang pagi ini mengenakan celana pendek dan kaus biru
itu berlari ke arah pintu rumah yang masih dikunci.

"Passwordnya tanggal lahir kamu, Tsa," kata Ghaly ketika ia memutari


mobil ke arah bagasi.

Tsamara yang sudah akan mengejar Alta, menoleh ke arah Ghaly,


menatap lelaki itu yang berdiri di belakang mobil, sudah bersiap
membuka bagasi.

"Alta kayaknya udah enggak sabar buat masuk. Aku menyusul


belakangan bawa barang-barang," Ghaly mengulas senyuman tipis
menjelaskan.
Tidak mengatakan apapun, Tsamara hanya mengangguk dan berjalan
menuju pintu depan dengan satu ransel berisi perlengkapan Alta, hanya
baju-baju untuk sang putera, dan beberapa kotak susu.
"Tanggal lahirku," gumam Tsamara lirih, saat ia berdiri di depan pintu
utama. Dia menatap handel pintu yang kunciannya bisa menggunakan
kartu, sidik jari, atau password. "Kenapa Ghaly tidak memberiku kartu
aksesnya saja. Mau pamer kalau password-nya pakai tanggal lahirku,"
gumamnya sebal, sambil menggerakkan jemarinya mengetikkan tanggal
lahir di pengunci pintu.

Tsamara menghela napas ketika berhasil membuka daun pintunya. Dia


membiarkan Alta masuk lebih dulu. "Sayang, larinya hati-hati." Serunya.

Bocah tampan kesayangannya, yang meski baru satu kali mengunjungi


rumah ini, nampaknya cukup hafal dengan letak kolam renang di
sebelah mana. Alta langsung menuju ke arah kolam renang, dia berdiri
di depan pintu kaca, menunggu Tsamara membukakannya.

"Wah, Alta mau renang." Alta berjingkrak senang dengan berlari-lari


pelan di halaman belakang menuju kolam renang.

Tsamara mencekal lengan Alta, menahan bocah itu untuk tidak turun ke
kolam renang lebih dulu. "Berenangnya sama Om Ghaly. Alta tunggu
sebentar."

"Tapi, Alta mau berenang, Mama."

"Iya, Alta boleh berenang, tapi sama Om Ghaly. Alta juga harus ganti
baju dulu."

Setelah mengganti baju dan menunggu cukup lama, akhirnya Ghaly


datang juga menemui mereka ke halaman belakang.
"Om Ghaly lama. Alta mau berenang," ucap Alta seraya
mengembungkan pipinya sebal. Tak lupa dengan kakinya yang
menghentak lantai.

Ghaly menampilkan ringisan tanpa bersalah. "Maaf, Om Ghaly naruh


belanjaan dulu di dapur," katanya, sembari menatap Alta dan Tsamara
secara bergantian. Tsamara hanya mengedikkan bahu, perempuan itu
seolah mengatakan kalau wajah sebal Alta memang karena dirinya.

"Kita berenang sekarang, ya." Ghaly berseru antusias yang segera


disambut oleh Alta. "Kita ambil bebek dulu sama balon pelampung buat
Alta," imbuhnya sembari mengarahkan langkah ke depan paviliun di
mana ada kota penyimpanan di sana. Dia segera mengeluarkan semua
kebutuhan untuk menemani Alta berenang. Ada bebek, balon renang
untuk anak yang segera dipasangkan Tsamara di dua lengan Alta, dan
juga beberapa bola.

Setelahnya Ghaly segera menarik lepas kaus putih yang ia kenakan


membuat tubuh bagian atasnya shirtless. Dia melupakan jika ada
Tsamara di sana.

"Lepas baju dan celananya kan bisa di kamar mandi, bukan di depan
aku." Tsamara menggeram sebal saat jemari Ghaly bergerak membuka
kancing celana lelaki itu.

"Aku pakai boxer," kata Ghaly pembelaan.

Tsamara menghembuskan napas begitu kasar.

"Om ayo berenang," Alta menarik-narik jemari Ghaly.

"Alta udah enggak sabar buat renang. Masa aku harus masuk kamar
mandi cuma buat lepas celana."

Tidak lagi menyuarakan keberatannya, Tsamara hanya mengibaskan


tangan dan segera berbalik, mengayun langkah menuju dapur. Bisa-
bisanya ia begitu terkejut melihat Ghaly shirtless di hadapannya.
Di dapur, Tsamara melihat begitu banyak kantong belanjaan di atas meja
bar, yang semuanya adalah makanan. Entah itu snack berukuran besar,
cookies, dan salad buah.

Tsamara mengambil kotak salad buah yang tampilannya amat cantik,


dan segera mengambil sendok untuk kemudian mencicipi salad itu.
Entah Ghaly membelikan salad ini untuk siapa, ia akan jadi orang
pertama yang memakannya.

Setelah menyuap beberapa sendok, Tsamara mengambil nampan dan


menyiapkan makanan juga minuman sebagai camilan untuk Alta dan
Ghaly yang sedang bermain-main air.

Setibanya ia kembali ke kolam renang, ia menemukan Ghaly dan Alta


yang tampak tertawa bersama. Senyumnya mengembang tipis melihat
pemandangan itu.
"Sayang," panggil Tsamara di tepi kolam dengan nampan di tangan.

Ghaly menoleh dan menyahut singkat, "Ya."

Tsamara berdeham pelan. "Alta," katanya seolah menegaskan panggilan


yang ia sebutkan sebelumnya ditujukan pada Alta.

"Oh, sorry, kupikir kamu panggil aku," Ghaly menyengir salah tingkah.

"Aku bawain camilan, kutaruh di tepi kolam, ya." Tsamara merendahkan


tubuhnya, menaruh nampan itu di tepian kolam.

Ghaly mengangguk, mengukir senyuman. "Terima kasih, Tsa."

Tsamara tidak langsung pergi, melainkan tetap berdiri di sana


memperhatikan sang putra yang tengah dipegangi Ghaly.

"Mama, lihat Alta." seru Alta, lalu menggerakkan kedua tangannya


menepuk-nepuk air, yang membuat cipratannya mengenai wajah Ghaly.
Tsamara dibuat terkekeh karenanya.
"Mama tungguin di sofa, ya, Sayang," kata Tsamara sembari menunjuk
sofa di belakang punggungnya.

"Iya, Mama."

Seruan balasan dari Alta membuat Tsamara mengayun langkah


mendekati sofa, dan segera menjatuhkan duduknya di sana. Dia tetap
mengarahkan tatapan pada Ghaly dan Alta di kolam, dengan sesekali
memeriksa ponselnya, berbalas pesan dengan Fanny.

Hari ini Fanny memilih jalan-jalan dengan Leo, lagi, entah ke mana.
Katanya muter-muter Jakarta.

Hanya duduk diam menunggu dan memperhatikan, sedangkan di dalam


kolam Ghaly dan Alta asyik sendiri, Tsamara mengantuk tiba-tiba. Dia
menguap dan segera menutupnya dengan punggung telapak tangan kiri.

Kenapa rasanya ia begitu mengantuk siang ini?

Ah, ya, semalam ia begadang. Mengobrol dengan Leo dan Fanny,


ngalor ngidul, sekalian bahas tentang lowongan pekerjaan. Kalau lupa,
Tsamara pengangguran sekarang. Memilih keluar dari Badrayudha
Realty dan tidak terikat dengan Ghaly dalam pekerjaan memanglah
yang terbaik yang bisa ia lakukan sekarang ini.

Tidak bisa lagi menahan kantuknya, Tsamara merebahkan tubuh di sofa


panjang tempatnya duduk, memiringkan tubuh menghadap ke arah
kolam. Kelopak matanya masih samar-samar terbuka ketika melihat Alta
dan Ghaly menepi ke arah nampan camilan yang ia tinggalkan di tepi
kolam. Setelahnya, kelopak matanya benar-benar tertutup rapat. Jatuh
tertidur.

Ghaly yang melihat Tsamara jatuh tertidur hanya mengulas senyuman.


Dia memberi peringatan pada Alta untuk tidak perlu memanggil
Tsamara, dan membiarkan perempuan itu terlelap.

Setelah puas bermain-main air, Ghaly dan Alta keluar dari kolam renang.
Ghaly tidak ingin Alta kedinginan karena terlalu lama di dalam kolam.

"Alta mandi sama Om, ya. Jangan bangunin Mama," kata Ghaly sembari
menyelimuti tubuh Alta dengan handuk.

Alta mengangguk saja seraya melirik sang ibu yang tampaknya tidak
terusik karena suara berisik darinya.

Ghaly bergegas mengambil ransel milik Alta dan membawa bocah itu ke
kamar mandi.

Beberapa saat berikutnya, Ghaly dan Alta sudah mengenakan pakaian


baru. Yang kering dan wangi. Rambut Alta pun sudah dikeringkan oleh
Ghaly.

Langkah keduanya baru saja terayun untuk menemui Tsamara di


halaman belakang, dan ingin membangunkan perempuan itu, ketika bel
rumah berdenting.

"Sayang, kita buka pintu dulu, ya. Om beli makan siang tadi, mungkin
udah datang," kata Ghaly. Tadi, saat ia hendak mandi, ia lebih dulu
memesan makan siang secara online, mungkin saja makanan
pesanannya memang sudah datang.

Alta berjingkat-jingkat keluar rumah, disusul Ghaly yang mengayun


langkah setengah berlari mengejar Alta.

"Alta mau pizza!" seru Alta di pelataran.


Sayangnya, berbeda dengan Alta yang menjerit antusias, langkah Ghaly
justru terhenti detik itu juga, disusul punggung yang menegak dan bola
mata yang terbelalak saat menemukan siapa yang berada di depan
gerbang.

Satu orang yang enggak pernah Ghaly perkirakan kedatangannya.

Itu Marta, ibunya.

Ghaly belum sempat menyembunyikan Alta, ketika bocah itu malah


berlari ke arah gerbang.

***
Bab 48

Dengan sangat terpaksa, meski ayunan kakinya terasa berat, Ghaly


membuka pintu gerbang, menemui Marta yang sama terkejutnya seperti
dirinya tadi. Sang ibu pastilah tidak menduga bisa menemukan bocah
laki-laki di rumahnya.

"Kenapa Mami datang ke sini tiba-tiba?" tanya Ghaly tanpa basa-basi.


Dia menarik Alta untuk mendekat padanya, memberi perlindungan.
Syukur-syukur ibunya tidak tertarik dengan kehadiran Alta, sehingga
langsung pergi ketika tujuannya menemui Ghaly ke rumah sudah
terpenuhi.

Marta mendengkus pelan. "Mami cuma enggak sengaja lewat sekitar


sini, dengar dari Papi kamu mulai tempati rumah ini, jadi ingin
memastikan. Enggak tahunya mobil kamu memang terparkir di
pelataran."

Ghaly memegangi Alta untuk tetap bersembunyi di balik punggungnya,


meski ia cukup yakin jika kepala bocah itu menyembul dari samping kiri
tubuhnya, untuk melihat Marta dengan rasa penasaran tinggi. "Karena
udah lihat aku di rumah, Mami langsung pulang sekarang," Dia
mengusirnya secara tegas.1

"Kamu usir Mami?" tanya Marta tidak percaya dengan kalimat yang baru
saja Ghaly suarakan.

"Iya." Dan Ghaly memilih untuk jujur saja.

Marta mendesahkan napas begitu lelah. "Kamu masih marah sama


Mami, meski Mami udah minta maaf pada Tsa dan merestui kalian?"

Rahang Ghaly mengeras ketika sang ibu membawa-bawa nama


Tsamara. "Mami sadar betul sebesar apa kesalahan Mami padaku dan
Tsa. Jadi, apa aku harus melupakannya begitu saja. Tsa mungkin maafin
Mami dengan mudah, tapi jelas masa lalu buruk yang Mami ciptakan
enggak akan semudah itu hilang dari ingatan Tsa."
"Lalu, Mami harus bagaimana? Menjauh dari kehidupan anak laki-laki
Mami yang Mami besarkan dengan kasih sayang selama ini?" tanya
Marta dengan dagu sedikit dinaikkan.

Kali ini Ghaly menyugar rambut setengah basahnya, menatap ibunya


dengan tatapan sarat frustasi. "Ya," lirihnya.

Bola mata Marta membeliak. "Ghaly, kamu serius?"

"Aku pikir memang ini yang terbaik, hidupku benar-benar berantakan


karena ulah Mami."

"Kamu bisa kembali dengan Tsa. Apa lagi yang berantakan?"

"Apa semudah itu?" Ghaly menggeleng pelan. "Tsa mungkin enggak


akan pernah kembali padaku. Dia sudah tersakiti begitu banyak,"
desahnya. Ada nada kesakitan di setiap katanya, menyadari jika
Tsamara memang tidak akan pernah bisa ia gapai lagi.

Perempuan itu mungkin baik padanya, memberi dia kebebasan untuk


bersama Alta. Tapi, pernahkah Tsamara membahas hubungannya
dengan Ghaly secara serius? Jawabannya tidak. Sekalipun Ghaly
menyinggung tentang perasaannya, Tsamara lebih suka mengalihkan
pembicaraan, dan melupakan tentang semua kemungkinan mereka bisa
balikan.

Marta menjilat bibir bawahnya. Tidak dia sangka puteranya memang


begitu mengejar Tsamara, hingga seberani ini membuat hidup mereka
saling menjauh. "Kamu ingin Mami berlutut di depan Tsa, agar dia mau
kembali padamu?"

"Kalau memang bisa, maka lakukan saja."

"Ghaly," hardik Marta pelan.


Ghaly mengulas senyum tipis, penuh rasa sakit. "Sayangnya, sekalipun
Mami melakukannya, Tsamara yang aku kenal sekarang adalah sosok
yang membangun benteng setinggi mungkin denganku. Dia enggak bisa
digoyahkan dengan mudah. Jadi, ada baiknya Mami pergi sekarang."

Dia lebih dari sadar, entah mendapat bujukan sebesar apa, Tsamara
tetap akan berada dalam pendiriannya.
"Sebelum Mami pergi, anak siapa yang berusaha kamu sembunyikan
itu? Kamu enggak akan diam-diam mengangkat seorang anak, bukan?"
Marta sedikit menelengkan kepalanya. Menilik wajah bocah laki-laki
yang sedari kedatangannya bersembunyi di balik tubuh Ghaly. Sesekali
bocah itu akan mengintip, menunjukkan wajahnya sebentar sebelum
kembali bersembunyi.

Kali ini Marta menemukan bocah itu menatapnya, tersenyum tipis, dan
menyapanya. Dalam satu sebutan yang menimbulkan detak kejut di
dadanya.

"Halo, Oma."

Marta berkedip-kedip, tampak tidak percaya dengan apa yang baru saja
didengarnya. Oma? Kenapa panggilan itu terdengar manis di telinganya.

Ghaly yang mendengar Alta menyapa Marta, segera bergerak cepat,


memastikan bocah itu tersembunyi di balik tubuhnya.

"Ini anak teman aku—" ungkap Ghaly berdusta, berharap sang ibu akan
percaya. Sayangnya, satu hal tidak terduga lain datang secara tiba-tiba.
Tsamara yang muncul dari dalam rumah dan memanggil sang putera.

"Alta."

Belum cukup sampai di sana, Alta menyahutnya sama kerasnya, bahkan


bocah itu melepaskan diri dari cekalan Ghaly. "Mama!"

"Ya ampun, Mama cariin Alta dari tadi," kata Tsamara saat sang putera
berdiri di hadapannya. Dia segera mengulurkan tangan dan mengusap
puncak kepala Alta, lalu merendahkan tubuh membaui wangi rambut
dan tubuh sang putera. Dia ketiduran sampai tidak menyadari Ghaly dan
Alta sudah selesai berenang.

Marta yang melihat pemandangan itu justru dibuat begitu tercekat. Ia


seolah merasakan detak jantungnya berhenti beberapa detik. "Dia anak
Tsa," ucapnya lirih.

Ghaly menghela napas lelah. Mungkin memang sudah saatnya diketahui


Marta. Meski, ia belum yakin harus memberitahu ibunya tentang Alta.

"Itu bukan urusan Mami, apakah anak Tsa atau bukan?" Ghaly masih
berusaha untuk sedikit saja membuat penyangkalan.
"Anak Tsa denganmu?" Marta mengimbuhi, masih dengan tatapan amat
terkejut yang ia lemparkan.

Ghaly tidak tahu harus membalas apa, mengiyakan atau diabaikan


begitu saja. Ia hanya merasa bukan ranahnya untuk mengabarkan
kebenaran tentang Alta pada Marta. Masih ada Tsamara, perempuan
yang membesarkan dan merawat Alta selama ini, dan yang lebih berhak
mengambil keputusan.

"Mami—" ucapan Ghaly yang ingin mengusir Marta sekali lagi, harus
terpotong karena seruan Tsamara.

"Ghaly, kita masuk dulu—"

Dan seruan Tsamara terhenti detik itu ketika menyadari siapa yang
tengah berhadapan dengan Ghaly.

Menyingkirkan tubuh Ghaly ke samping, Marta mengambil langkah maju


mendekati Tsamara, dengan tatapan tak lepas dari mata Tsamara.
Mengunci perempuan itu agar tidak beranjak sedikitpun.

Seolah memang ia harus memberi perlindungan pada sang putera akan


bahaya di depan mata, Tsamara segera mengangkat Alta, untuk berada
dalam dekapannya.

Melihat reaksi Tsamara, ada seulas senyum tipis yang menghias bibir
Marta. "Benar kata Ghaly. Meski kamu menerima permintaan maaf saya,
kamu tetap akan menjaga jarak dengan saya."

Tsamara menelan ludah. Dengan tangan kanannya, ia menyentuh


belakang kepala Alta, agar wajah sang putra tetap tersembunyi di balik
bahunya.

"Apa saya harus benar-benar berlutut di hadapan kamu, agar kamu bisa
sedikit lega dan melupakan semua hal buruk yang pernah saya lakukan
padamu?" tawar Marta terlalu berani. Karena sepertinya memang hanya
itu yang bisa ia lakukan untuk membuat keadaan lebih baik pasca
kegaduhan yang ia lakukan.

Sebenarnya, ia dan Tsamara memiliki begitu banyak kesamaan dari segi


sifat, sama-sama terlalu berani, keras kepala, dan to the point.
Sebelum Tsamara sempat membalas, Marta sudah lebih dulu
mengambil tindakan, merendahkan tubuh, dan bersiap meruntuhkan
semua harga diri yang ia miliki.

"Tante, tolong jangan begini," pinta Tsamara. Dengan tangan kanan


yang sebelumnya menyentuh kepala Alta, ia arahkan untuk
mencengkeram lengan atas Marta, dan menarik tubuh mantan ibu
mertuanya untuk kembali berdiri.

Ghaly yang melihat Marta bertindak seperti tadi pun bergerak cepat
mendekati sang ibu dan merangkul bahunya.

"Kenapa? Mami hanya ingin menebus kesalahan padamu," kata Marta.


Kali ini nada suaranya terdengar begitu lembut dan tulus.
"Tapi tidak dengan melakukan hal seperti tadi," ucap Tsamara sarat
dengan pengertian. Di pikirannya, tidak pernah terlintas sedikitpun kalau
Marta akan merendahkan diri di hadapannya.

Marta menatap Tsamara begitu dalam, ingin kembali bersuara, namun


tertahan oleh tanya lirih satu-satunya bocah di tengah-tengah mereka.

"Mama, Oma itu siapa, sih?"

Tsamara menatap sang putera dengan seulas senyum menghias di


bibirnya. "Oma itu, ibunya Om Ghaly," jelasnya pengertian.

Alta mengangguk-angguk. Dia sudah membuka bibirnya ingin kembali


bertanya bersamaan dengan bunyi kerucuk di perutnya. "Alta laper,
Mama," bisiknya di sebelah telinga Tsamara, dan menyembunyikan
wajahnya di balik bahu sang ibu.

Tsamara menatap Marta sekilas lalu mempertemukan tatapannya


dengan Ghaly, sedikit memberi peringatan. Agar Ghaly jangan terlalu
keras pada Marta. "Tante, kami masuk dulu," pamit Tsamara, kemudian
berlalu pergi masuk ke rumah, sebelum mendapat persetujuan dari
Marta ataupun Ghaly.

Ditinggal hanya berdua dengan Ghaly, tatapan Marta kini terarah penuh
ke arah sang putera. "Om?" sebutnya, memperjelas panggilan yang ia
dengar dari Tsamara.

Ghaly mengangguk pelan, kembali melempar tatapan sarat kekecewaan


pada sang ibu. "Ya, Om. Sekalipun hubunganku dengan Tsa sudah
membaik, bukan berarti aku diberi kebebasan untuk masuk ke
kehidupannya, menjadi bagian berharga seperti dahulu."

Dia sadar, ia hanya menjalani perannya seapik mungkin.

Berbeda dengan Ghaly yang menyorot kecewa dan sendu padanya.


Marta kembali menggulirkan tatapan ke arah di mana Tsamara tak lagi
terlihat. Keteguhan hati Tsamara seolah menjelaskan bahwa bukan
Ghaly yang menjadi segalanya bagi Tsamara.

Namun, Ghaly-lah yang menjadikan Tsamara segalanya dalam hidup


lelaki itu. Menjadikan Tsamara sebagai poros dan satu-satunya miliknya
yang berharga.

Meski, tidak benar-benar bisa Ghaly miliki.

***
Bab 49

Ada sebaris do'a yang selalu Ghaly langitkan setiap malam, tanpa jemu.

Do'a tentang ia yang ingin diberi kesempatan kedua. Kesempatan


menjadi suami dan mencintai Tsamara sebesar yang ia inginkan.
Kesempatan membangun mahligai pernikahan dengan perempuan itu
lagi. Bersama-sama membesarkan putera mereka dengan kasih sayang
yang utuh.

Apakah do'a itu terlalu muluk-muluk, hingga rasanya begitu mustahil


untuk bisa ia genggam.

Ataukah karena ia memang tidak pantas mendapat kesempatan kedua?


Karena kebodohan dan kesalahannya di masa lalu.

Ghaly tidak tahu lagi harus mengusahakan seperti apa mengenai


hubungannya dengan Tsamara, karena berminggu-minggu ini mereka
tetap berada dalam komunikasi yang baik, dan masih sering
menghabiskan waktu bersama untuk menemani Alta bermain.

Namun, hanya itu. Komunikasi mereka terjalin baik, bukan berarti


menuju kisah asmara romantis, seperti yang Ghaly inginkan.

Tsamara sudah mendapatkan pekerjaan baru di sebuah perusahaan


atas rekomendasi Joe Badrayudha. Sedangkan Fanny telah resmi
bekerja di Badrayudha Realty. Lalu Alta, setiap kali Tsamara bekerja
akan dititipkan di daycare, dijemput saat pulang bekerja.

Day care ini adalah tanggung jawab Ghaly, dia yang memilihkan tempat
terbaik untuk sang putera, yang tentu enggak jauh dari kantor tempat
Tsamara bekerja, sehingga ketika jam makan siang, perempuan itu bisa
berkunjung. Terkadang akan datang bersamaan dengannya
mengunjungi putera mereka.

Dan sampai detik ini, ia tak juga mendengar sebutan papa lolos dari bibir
Alta, yang ditujukan padanya.
Rasanya, Ghaly ingin sekali meminta Alta, puteranya untuk
memanggilnya papa, namun ketika ia melakukan itu, maka
konsekuensinya terpampang jelas di depan mata. Tsamara yang
memilih mencipta jarak sedemikian besar dengannya.

Ghaly tidak cukup berani dan mampu mendapati jarak lebih jauh lagi
dari Tsamara.

Untuk saat ini, dia harus cukup puas dengan sebutan Om dari Alta.

"Kamu yakin enggak akan mencoba menyatakan cintamu lagi pada


Tsa?"

Itu adalah pertanyaan dari Joe Badrayudha yang kali ini menemani
Ghaly untuk bermain bersama dengan Alta. Bocah itu sedang asyik
mandi bola di depan sana.

"Kalau aku menyatakannya satu kali lagi, maka ini yang ketiga kalinya,
dan kemungkinan besar masih akan gagal," desah Ghaly lelah. Satu
bulan lalu ia sudah sempat mengajak Tsamara untuk menikah
dengannya, dan apa yang perempuan itu katakan saat itu, yang begitu
tepat menohok hatinya.

"Jangan karena aku baik dan memperhatikan kamu, lalu kamu berpikir
aku ingin menikah denganmu lagi, Ghaly."

Uh, Tsamara dengan kalimat tegas dan keras kepalanya adalah satu
paket lengkap. Lalu Ghaly dengan kebebalan dan pantang menyerahnya
pun satu paket. Bukankah mereka adalah pasangan serasi, yang akan
melengkapi satu sama lain.

Joe menepuk bahu puteranya, menahan kuluman senyum geli menghias


di bibirnya. "Kenapa enggak? Mencoba lalu ditolak itu lebih baik.
Daripada duduk diam, menunggu yang entah sampai kapan."

Dengan tatapan tidak percayanya, Ghaly menoleh ke arah sang ayah.


"Sungguh? Aku benar-benar akan kehilangan muka kali ini."

"Tsamara dipastikan tidak menjalin hubungan dengan lelaki mana pun,


bukan?" tanya Joe, saat sang putera menggeleng, ia menambahi, "Tidak
juga dengan sahabat laki-lakinya itu?"
Ghaly cukup yakin, Leo dan Tsamara tidak menjalin asmara. Mengingat
itu membuat satu denyut nyeri menyapa dadanya. Kenapa dahulu ia
membutakan mata untuk satu fakta itu, bahwa Leo dan Tsamara tidak
akan pernah menjalin asmara.

Kalau saja dulu ia bisa berpikir sedikit lebih jernih, semua luka ini tidak
akan terjadi padanya, Tsamara, dan Alta.

"Tsa enggak punya gebetan lain, Pa. Setiap minggu saja jalannya sama
aku," kata Ghaly jujur. Karena memang itu lah yang terjadi. Hampir
setiap minggu kalau Ghaly ada waktu bebas, ia memang akan
bertandang ke apartemen Tsamara. Mengajak perempuan itu jalan
bersama Alta, acapkali Fanny akan ikut, namun sering kali juga Fanny
memilih berkumpul dengan teman-teman kantornya.

Dan karena itu juga, Ghaly pikir Tsamara akan membuka hati untuk
menerimanya, makanya ia menyatakan cinta yang kedua, tempo lalu.
Tidak disangka ia masih mendapat penolakan keras.

Ghaly menghela nafas kasar, detik berikutnya mengukir senyuman dan


melambaikan tangan saat Alta memanggil namanya.

"Kalian sudah sedekat ini, mengurusi Alta berdua dan Tsa enggak
menjalin hubungan dengan lelaki lain, seharusnya enggak ada
kemungkinan dia menolak kamu lagi."

"Papi," sebutnya seraya melempar tatapan pada Joe. "Pendirian Tsa


tidak semudah itu dikoyak, dan persentase aku akan diterima kalau
kunyatakan cinta untuk ketiga kalinya adalah 0,01 persen."
Kalimat Ghaly yang terlontar ringan namun menyedihkan itu membuat
Joe menyemburkan tawa geli. Bukannya memberi dukungan pada sang
putera karena mendapat penolakan, ini malah ia jadikan gurauan.
Sungguh, tidak patut dijadikan panutan.

"0.01 persen itu bisa jadi adalah keajaiban, Ghaly."

Andai itu memang bisa menjadi keajaiban yang diturunkan untuknya,


maka Ghaly akan sangat berbahagia karenanya.
Jadi, haruskah ia mencoba menyatakan cinta untuk ketiga kalinya?

***
Ghaly mengantar Alta pulang sampai ke depan pintu apartemen
Tsamara, dan disambut oleh perempuan itu yang tampaknya baru
selesai mandi, karena wangi tubuh Tsamara menyeruak indera
penciumannya. Ditambah dengan handuk yang melilit rambut Tsamara.

Dia menelan ludah kasar melihat pemandangan itu. Wajah Tsamara


yang segar sehabis mandi, dan bibir perempuan itu yang bersih dari
pulasan lipstik membuat satu sudut di dalam dirinya, yang memang
pada dasarnya sangat menginginkan perempuan itu mendobrak
meminta dilepaskan.

Lelaki itu harus menghembuskan napas kasar dan menormalkan


debaran di dadanya.

"Halo, Sayang," Tsamara menyambut Alta, membuka pintu lebih lebar


membiarkan sang putera masuk setelah ia mengusap puncak kepala
Alta. Baru kemudian ia mengarahkan tatapan kembali ke arah Ghaly.
"Makasih, ya, udah jagain Alta hari ini, mana udah mandi sekalian."

Ghaly mengangguk-angguk pelan.

"Sampai bertemu besok lagi. Kabarin kalau ingin main sama Alta," kata
Tsamara. Dia sudah hendak menutup pintu, namun tangan Ghaly terulur
mencengkeram daun pintu.

"Boleh aku mampir?" tanyanya.

Tsamara berkedip, namun jemarinya tetap tergerak untuk membuka


pintu lebih lebar dan memberi ruang untuk Ghaly masuk apartemen.

"Kamu ingin minum apa?" tawar Tsamara saat Ghaly mengambil duduk
di sofa ruang tamu.

"Kamu," sahut Ghaly lirih.

"Apa?"

Ghaly segera menggeleng, menyadarkan dirinya sendiri. Sial. Dia


hampir kehilangan kendali. "Maksudku, aku ingin minum teh saja."

"Hangat atau dingin?"

"Panas," kata Ghaly sembari sedikit melonggarkan kerah kemejanya.


Jawaban Ghaly membuat Tsamara mengulum senyuman tipis. "Oke,
kamu tunggu disini dulu."

Sesuai pesanan, Tsamara membuatkan secangkir teh untuk Ghaly.


Sebelum kembali menemui Ghaly di ruang tamu, Tsamara lebih dulu
mengedarkan tatapan ke sekeliling, mencari keberadaan Alta yang
sudah masuk lebih dulu.

Saat ia tidak menemukan sosok Alta di ruang tv, Tsamara segera


mengayun langkahnya ke arah pintu kamar, dan mengintip karena
pintunya memang ia biarkan terbuka. Di dalam kamar tidak ada suara
Alta, meski ia sudah memanggilnya, dan tidak ada tanda-tanda
keberadaan sang putera di kamar itu.

"Alta," panggil Tsamara, kali ini sembari mengetuk pintu kamar Fanny.

"Alta di sini Mama."

Sahutan Alta dari dalam kamar membuat Tsamara mengungkit handel


pintu dan melongokkan kepala ke kamar Fanny. Di sana ia menemukan
Alta dan Fanny sedang duduk di atas ranjang dengan mainan baru
tersebar.

"Kakek Joe yang beliin mainan buat Alta," Alta menjelaskan seolah tahu
jika sang ibu memang akan menanyakan asal dari mainan barunya.

Tsamara menghela napas pelan. "Ya sudah, mainnya di dalam dulu


sama Tante Fanny. Mama mau temani Om Ghaly minum teh."

Setelah mendapat sahutan kesiapan dari Alta dan kedipan mata


menggoda dari Fanny, yang Tsamara tahu, sang adik pasti sedang
menggoda dirinya, ia segera menutup pintu. Dia kembali ke dapur untuk
mengambil nampan berisi dua cangkir teh hangat. Tidak sesuai seperti
yang Ghaly inginkan. Terlalu panas, yang ada kelamaan nunggu hangat.

"Aku udah sering mengingatkan buat jangan terlalu sering beliin Alta
mainan," kata Tsamara membuka obrolan, setelah ia meletakkan cangkir
teh di depan Ghaly dan satunya lagi untuk dirinya sendiri. Lalu
mengambil duduk berhadapan dengan lelaki itu.

Ghaly menggaruk pelipisnya. Dia lupa kalau tadi Joe menyusupkan


mainan ke tas Alta. "Aku minta maaf," lirihnya.
Tsamara meluruhkan bahunya, ditatapnya wajah Ghaly dengan intens,
tadi saat di depan pintu ia memang mendapati wajah lelaki itu tampak
memerah. Tapi kenapa sekarang malah bertambah merah saja. "Kamu
kenapa?" tanyanya.

Tatapan Ghaly yang sebelumnya terarah ke cairan teh di dalam cangkir


segera menengadah, mempertemukan iris matanya dengan bola mata
Tsamara. "Aku?" Dia balik bertanya.

"Ya. Wajah kamu merah," ucap Tsamara jujur.

Seketika, dengan satu tangan yang tidak menggenggam cangkir, Ghaly


meraba wajahnya. Dan ia merasakan wajahnya memanas. "Aku baik-
baik saja." Dia cukup yakin, ia baik-baik saja. Wajahnya memerah
mungkin karena ia malu melihat Tsamara tadi saat menyambutnya di
depan pintu.

Tidak percaya begitu saja, Tsamara bangkit dari duduknya,


mencondongkan tubuh ke arah Ghaly dan mengulurkan tangan untuk
kemudian menempelkan punggung tangannya ke kening lelaki itu.
Seperti tebakannya, ia merasakan sengatan panas. "Kamu demam,"
katanya seraya menegakkan tubuh dan memutari meja untuk mendekati
Ghaly.

Ghaly berkedip-kedip, dia memang sempat merasakan pening. Tapi


pening itu ia singkirkan cepat karena rasa senang bisa mengantar Alta
pulang dan bertemu Tsamara. "Ini hanya panas biasa," Dia berusaha
menyangkalnya. Bisa saja panas itu datang karena keinginan lain di
dalam dirinya, bukan?1

Oh, ya ampun, kenapa ia jadi memikirkan yang tidak-tidak seperti ini.

Tsamara menjatuhkan duduknya di samping Ghaly, tidak mengindahkan


penyangkalan lelaki itu. Dia memperhatikan bola mata Ghaly yang
tampak memerah, dan sekali lagi mengecek suhu tubuh lelaki itu
dengan punggung telapak tangan yang ia tempelkan di pipi kanan
Ghaly. "Kamu bawa mobil ke sini?"

"Minta antar sopir Papi," sahut Ghaly. Karena dia sadar sempat merasa
pening, ia memutuskan untuk minta antar sopir saja.

"Kamu demam, kenapa enggak minta aku jemput Alta saja." Tsamara
sebal sendiri dengan kekeras kepalaan Ghaly. Apa susahnya
menghubungi dia untuk menjemput Alta kalau memang enggak enak
badan.

"Kalau kamu yang jemput Alta, kamu pasti akan langsung pulang. Aku
enggak bisa ngobrol lebih banyak sama kamu."
Kalimat balasan yang disuarakan Ghaly berhasil membuat Tsamara
termangu.

"Aku hanya ingin menghabiskan waktu sedikit lebih lama denganmu,


Tsa."

Satu kalimat lain, Ghaly suarakan dengan nada super sendu dan penuh
pengharapan. Ditambah bola mata lelaki itu yang sedikit memerah
menyorot begitu teduh, setengah sayu.

"Aku ingin di sini dulu, sebentar saja," kata Ghaly, terdengar ada nada
kepasrahan di sana.

Tsamara tidak bisa berkutik, yang bisa ia lakukan adalah mengizinkan


Ghaly untuk tinggal di sini sedikit lebih lama, tadinya. Namun, saat
Tsamara tinggal untuk membuat makan malam, dan kembali melihat
Ghaly, lelaki itu sudah jatuh tertidur.

Alta di kamar Fanny pun tadi jatuh tertidur, tidak sempat makan malam.
Sedangkan Fanny, jangan ditanya, kalau udah ngumpet di kamar,
adiknya disibukkan maraton drama.

Dengan langkah pelan, setelah lebih dulu mengambil selimut di


kamarnya, Tsamara mendekati Ghaly yang tampak lelap dalam tidurnya.
Dia segera menyelimuti tubuh lelaki itu, dan merendahkan tubuh di
dekat wajah Ghaly. Untuk menempelkan punggung tangannya
mengecek suhu tubuh lelaki itu. Lebih panas dari sebelumnya. Tadi
Ghaly menolak dikompres, katanya, demamnya akan turun dengan
sendirinya.

Tsamara kembali ke dapur, menyiapkan air hangat dan handuk untuk


mengompres Ghaly.

Setibanya ia di ruang tamu. Ia segera mengambil duduk di atas karpet


dan mulai mengompres kening Ghaly. Sembari menunggui, Tsamara
membuka ponselnya, memesan obat penurun panas untuk dewasa. Di
apartemen dia hanya menyimpan obat penurun panas untuk Alta.
Perempuan itu kembali menatap Ghaly, dan dengan berani mengusap
puncak kepala lelaki itu begitu pelan dan perhatian.

Pada dasarnya, meski ia selalu mengabaikan semua usaha Ghaly untuk


lebih mendekat padanya, Tsamara tetap merasakan hatinya tersentuh.

Sekeras apa pun ia menjauh, pada Ghaly ia akan memberikan satu


perasaan yang sama sejak dulu.

***
Bab 50

"Tsa, please, aku minta maaf."

Bisik lirih yang terdengar begitu sendu itu membuat Tsamara yang
terkantuk-kantuk dalam duduknya, segera mengerjap dan menggeleng
pelan. Mencoba menarik kesadarannya. Dia membuka kelopak matanya
lebih lebar dan mengarahkan tatapan pada Ghaly yang masih terbaring
di sofa di seberangnya.

"Aku sangat mencintaimu."

Bisikan itu kembali tertangkap gendang telinga Tsamara. Dia segera


bangkit dari duduknya, mendekati Ghaly dan mencoba membangunkan
lelaki itu. Ghaly mengigau di dalam tidurnya. Bisikan sarat luka. Sebuah
permintaan maaf yang ditujukan padanya, dan sebuah pengakuan cinta.

Harus sekeras kepala apalagi Tsamara menghadapi Ghaly. Berlagak


membangun benteng setinggi mungkin. Meski ia sadar sejak awal
hatinya tak pernah bergeser dari Ghaly. Sedikit pun.

"Ghaly." Tsamara menggoyang bahu lelaki itu. Berusaha


membangunkannya.

"Tsa, please."

Bisikan memelas itu kembali menyapa gendang telinga Tsamara, namun


Ghaly masih betah memejamkan mata. Raut wajah lelaki itu tampak
gelisah.

Apakah ia memang sudah menyiksa Ghaly sejauh ini?2

Tsamara mengusap pipi Ghaly, yang demamnya mulai turun. Dia sempat
meminumkan obat penurun panas pada lelaki itu tadi, setelah mengecek
suhu tubuh Ghaly yang mencapai 38 derajat.
Ghaly hanya terjaga untuk meminum obat yang Tsamara sodorkan, lalu
kembali jatuh tertidur. Tsamara bahkan tidak sempat meminta lelaki itu
untuk pindah ke kamar, menempati ranjangnya, agar waktu istirahat
lelaki itu lebih nyaman.
Alhasil, karena Tsamara tidak tega meninggalkan Ghaly sendirian di
ruang tamu, ia pun menunggui lelaki itu, sampai terkantuk-kantuk dalam
duduknya.

"Ghaly bangun." Tsamara bersuara sedikit lebih keras. Jemari tangan


yang tadi menempel di pipi Ghaly kini bergerak mengusap rambut lelaki
itu yang sedikit lembab karena keringat. "Ghaly," panggilnya lagi.

Dan sepertinya kali ini berhasil, kelopak mata lelaki itu tampak
mengerjap terkejut, dan membuka perlahan. Lalu detik berikutnya
tatapan keduanya bertemu. Ghaly dengan sorot sendu dan terluka, lalu
Tsamara yang menyorot khawatir.

"Tsa," sebut Ghaly lirih.

Tsamara mengulas senyuman tipis, lalu membantu Ghaly untuk duduk.


Dia mengambil duduk di tepian sofa, tepat di sisi Ghaly. "Mau minum?"
tawarnya.

Ghaly mengangguk pelan. Dia duduk bersandar sofa. Satu tangannya


terulur untuk memijit pelipisnya.

Dengan telaten, Tsamara membantu Ghaly memegangi gelas


minumnya, dan lelaki itu menyesapnya pelan. "Masih pusing, enggak?
Demamnya udah turun, sih," kata Tsamara setelah mengembalikan
gelas ke atas meja.

Kelopak mata Ghaly memejam perlahan, seolah sedang meresapi setiap


detak nyeri di kepalanya. "Enggak," ungkapnya berdusta. "Kenapa kamu
belum tidur jam segini?" tanyanya, mengarahkan tatapan pada Tsamara
yang sedari tadi terus saja menatap dirinya.

"Nungguin kamu. Mana tega aku ninggalin kamu sendiri."

Mendapat jawaban itu, Ghaly sedikit dibuat tidak percaya. Tapi, bola
mata Tsamara yang menyorot perhatian padanya, benar-benar membuat
dadanya menghangat.

"Maaf, aku jadi ngerepotin kamu," lirih Ghaly. Dia sendiri tidak tahu,
kenapa jadi demam dan pusing seperti ini. Satu malam kemarin
memang lumayan susah tidur, tapi pagi harinya aman saja dibawa
bekerja.
"Kamu bisa jalan, kan? Tidurnya pindah ke kamar, biar nyaman."

"Apa?"

Tsamara tahu Ghaly pasti tidak mengira dengan yang ia katakan


barusan. "Kamu tidur di kamar. Kalau di sofa terus bisa tambah sakit."

"Sama kamu?" Ghaly mengedip polos.

Senyum Tsamara terulas geli. "Enggak, dong. Kamu tidur sendiri."

Ghaly mengekeh pelan, salah tingkah. Bisa-bisanya ia berpikir ia akan


ditemani tidur oleh Tsamara.

"Yuk, aku antar." Tsamara bangkit dari duduknya, dan mencengkeram


lengan atas Ghaly untuk membantu lelaki itu berdiri.

Sebenarnya Ghaly bisa jalan sendiri, tapi, menolak dipegangi oleh


Tsamara menjadi satu kerugian tersendiri untuknya.

Setibanya di kamar, Ghaly memilih duduk bersandar di kepala ranjang,


tidak langsung merebahkan tubuh, dan mencekal pergelangan tangan
Tsamara saat perempuan itu hendak pergi.

"Tsa," panggilnya lirih.

Tsamara mengurungkan niatan untuk keluar kamar, dia lebih memilih


menoleh ke arah Ghaly. "Kamu butuh sesuatu?"

Ghaly menjilat bibirnya pelan, menatap tepat ke iris mata Tsamara yang
menunggu. "Apa arti perhatian kamu sama aku, Tsa?"

"Menurut kamu?" Tsamara berbalik tanya. Dia kemudian mengambil


duduk di tepi ranjang tanpa melepas tatapan dari Ghaly. Ketika lelaki itu
menggeleng, seolah menjawab tanyanya barusan, Tsamara kembali
membuka bibir, bersuara. "Aku yang kasih kamu kebebasan untuk main
sama Alta. Kita yang sering jalan berdua di akhir pekan dengan Alta.
Aku yang menerima begitu saja pemberian apapun dari kamu, dan
semua perhatian yang kuberikan padamu saat sakit seperti ini atau pun
enggak, kamu enggak bisa menebaknya?"

Kelopak mata Ghaly berkedip-kedip bingung.


Tsamara menghela nafasnya begitu pelan mendapati kebingungan
Ghaly. Sepertinya ia memang sangat berhasil membuat perasaan Ghaly
terombang-ambing tak tentu arah.

"Kamu mencintaiku?" lirih Ghaly menebak, setengah sadar.

"Ya," Tsamara membalas singkat.

"Ya?" Ghaly mengulang, dia menelengkan kepala memastikan


pendengarannya tidak bermasalah.

"Haruskah kuulangi lagi? Atau kukasih jawaban seperti waktu-waktu


sebelumnya?"

Ini benar-benar pernyataan cinta tanpa adanya keromantisan sedikit


pun.

Dengan napas yang kian memburu, Ghaly kembali berucap, "Aku


sangat mencintai kamu, Tsa."

Tsamara mengangguk pelan. "Aku tahu, Ghaly."

"Lalu?" Ghaly menjilat bibir bawahnya.

Senyum Tsamara lebih dulu terulas, dia mengulurkan tangan untuk


mengusap pipi Ghaly. Sorot mata Ghaly yang terarah padanya malam ini
terlihat begitu sendu. "Aku juga mencintai kamu, Ghaly Badrayudha."

Memang sudah saatnya Tsamara mengungkapkannya. Harusnya


memang sudah sejak lama ia meruntuhkan ego dan keras kepalanya.

Setetes bulir air mata lolos dari sudut mata Ghaly diiringi senyuman
yang kian melebar di bibirnya. Tidak menutupi kebahagiaannya sama
sekali.

"Tsa, terima kasih." Ghaly menyentuh tangan Tsamara, meresapi sentuh


lembut jemari itu di pipinya. "Jadi kita resmi balikan?" Dia kembali
bertanya, memastikan.

Tsamara kembali mengulas senyuman, dan mengangguk. "Iya, Ghaly.


Kita balikan."
Terbawa kebahagiaan, Ghaly menggenggam tangan Tsamara dan ia
arahkan ke bibirnya, untuk kemudian ia menanamkan kecupan di
telapak tangan Tsamara. "Aku sangat bahagia," bisiknya lirih.

Ini masih seperti mimpi untuknya, ia dan Tsamara bisa kembali bersama.
Dengan dia yang mendengar pernyataan cinta dari perempuan itu.

Tsamara hanya butuh sedikit lagi untuk memantapkan keputusannya,


dan malam ini adalah akhirnya. Ia tidak ingin menggantung
hubungannya dengan Ghaly lebih lama lagi.

Genggamannya di tangan Tsamara ia lepaskan, berganti dengan


lengannya yang terulur untuk melingkupi bahu perempuan itu dan
ditariknya mendekat, untuk tenggelam dalam pelukannya.

"Aku sangat mencintai kamu, Tsa," bisik Ghaly lirih dengan penuh
perasaan.

***
Ghaly melirik Tsamara yang duduk berhadapan dengannya, dan
mengulum senyum kecil. Sedikit tersipu. Padahal Tsamara tidak
menatapnya balik. Dia sedang sarapan bersama Alta, Tsamara dan
Fanny. Sarapan keluarga terlalu manis.

Pagi tadi saat ia membuka kelopak matanya, ia disambut wajah tampan


puteranya yang duduk di sisi ranjang, tengah menatap dirinya.

Alta bertanya, apakah Ghaly masih sakit?

Anak lelakinya sangat perhatian. Sebelas dua belas dengan Tsamara.

"Fanny kayak mencium bau bunga di sini," celetuk Fanny seraya


mengulum senyuman geli, saat tidak sengaja menemukan Ghaly yang
sedari tadi curi-curi pandang ke arah Tsamara, lalu asyik mengulas
senyum bahagia karenanya.

Tsamara menatap sang adik sedikit memberi peringatan. "Enggak usah


aneh. Enggak ada bunga di meja makan."

Fanny nyengir. "Eh, iya. Lupa. Ternyata wangi bunganya dari dada Mas
Ghaly. Aku bisa melihat bunga-bunga bermekaran di sana." Karena
ucapannya, Tsamara hampir saja tersedak.
Ghaly yang merasa namanya terbawa, segera menoleh ke arah Fanny,
calon adik iparnya. "Fanny pintar banget," decapnya lirih.

Jawaban itu berhasil membuat Fanny terbahak, dan Tsamara yang


membulatkan matanya terkejut. Lalu satu sosok lain di meja makan itu,
tidak mau ketinggalan.

Alta menyentuh lengan Tsamara, dan bertanya, "Mama, emang ada


bunga di dada Om Ghaly? Alta enggak lihat," tatapannya yang
mengerling jernih terarah ke dada Ghaly yang pagi ini mengenakan kaus
berwarna putih. "Alta liatnya cuma gambar sepeda."

Tsamara menatap sang putera. "Enggak ada bunga. Tante Fanny salah
bicara." Dia lebih suka mengakhiri kelakar Fanny barusan. Dan
bersyukurnya, Alta menurut pagi ini, dengan tidak melempar tanya
lainnya.

Seusai sarapan, Ghaly tidak langsung pulang, ia memilih berlama-lama


di apartemen, menemani Tsamara dan Alta, walaupun peningnya sudah
hilang tak berbekas. Benar-benar, deh, pernyataan cinta Tsamara
semalam, dan pelukan hangat perempuan itu menjadi obat paling
mujarab.

Senyum Ghaly mengembang lagi mengingat semalam. Seperti kata


ayahnya, 0,01 persen itu bisa berarti adalah sebuah keajaiban. Dan dia
mendapatkannya sekarang.

Tatapan Ghaly yang sedari tadi mengarah ke layar televisi—jangan


ditanya sedang menayangkan apa, karena sudah tentu acara kartun
favorit Alta, tertoleh ke arah dapur di mana Alta dan Tsamara sedang
berada di sana. Alta sedang meminta dibikinkan susu. Keduanya
tampak mengobrol asyik, yang enggak terlalu jelas untuk ia dengarkan.

Di dapur, Tsamara mendekatkan wajahnya agar sejajar dengan wajah


Alta yang duduk di kursi, "Sayang," panggilnya lirih.

Alta yang sedari tadi sibuk memainkan apel, segera memberi atensi
pada sang ibu. "Susu Alta sudah selesai?"

Tsamara menggeleng pelan, dia kembali berbicara dalam nada lirih,


"Mulai sekarang panggil Om Ghaly, Papa, yaa."

"Papa?" Alta berkedip bingung. "Kenapa diganti?"


Dengan sabar, dan sesekali melirik ke arah ruang tv, memastikan Ghaly
tidak memberi atensi padanya, Tsamara menjelaskan, "Karena Om
Ghaly adalah papanya Alta."

Masih tidak juga memahami, Alta kembali melontarkan tanya, "Papa


kayak yang teman-teman Alta punya?"

"Iya. Mulai sekarang Alta punya Papa dan Mama," kata Tsamara seraya
menunjuk dadanya sendiri.

Alta diam beberapa saat tampak tengah memikirkannya dengan matang.


"Jadi, sekarang Alta panggil Om Ghaly, Papa?" tanyanya memastikan
sekali lagi.

Tsamara mengulurkan tangan untuk mengusap puncak kepala Alta. "Iya,


Sayang."

"Tapi kenapa kemarin panggilnya Om, enggak Papa?"

Hal yang sangat bisa Tsamara perkirakan adalah tanda tanya besar dari
Alta, ketika ia meminta bocah itu mengganti panggilan Ghaly. Dan
karenanya, tentang panggilan itu pun, ia harus mengulur waktu. Karena
menjelaskannya pada Alta memang haruslah super pelan agar anak itu
mengerti.

"Karena mulai sekarang, Alta, Mama, dan Papa akan jadi keluarga."

Kening Alta mengernyit, tampak semakin kebingungan dengan ucapan


sang ibu.

Tsamara kembali menghela nafas pelan. Alta yang banyak tanya


memang sering membuat ia pusing, karena kehilangan kalimat balasan.
"Coba Alta ke depan, terus panggil Papa," pintanya sembari
mengangkat tubuh Alta untuk turun. "Nanti susunya Alta, Mama anterin
ke depan."

Meski masih memiliki banyak tanya di benak, sesuai seperti yang


diminta, Alta berlari kecil ke arah Ghaly, dan berseru dengan satu
panggilan yang membuat napas Ghaly tercekat di tenggorokan.

"Papa!"
Ghaly berkedip, otaknya bekerja dengan cepat, mencerna satu
panggilan yang mampir di gendang telinganya. Tadi, halusinasinya saja
atau bukan?

"Papa," panggil Alta sekali lagi, kali ini menubruk Ghaly yang duduk di
atas karpet dengan pelukannya. Dua lengan kecilnya melingkar di leher
Ghaly. "Alta punya Papa." Seru bocah itu, menumpu dagunya di bahu
Ghaly. "Alta senang, sekarang punya Papa."

"Papa?" Ghaly mengulang, meski masih tidak mengerti dengan


panggilan itu. Satu-satunya panggilan yang memang sangat ingin Ghaly
dengarkan dari Alta.

Apa ini mungkin?

Hari ini ia akhirnya mendengar Alta memanggilnya, Papa.

Tsamara menghampiri Ghaly dengan satu gelas susu milik Alta, dan
seulas senyuman di bibirnya. Dari raut wajah Ghaly, ia tahu persis jika
lelaki itu dipenuhi dengan puluhan pertanyaan saat ini. Satu yang pasti,
Tsamara menemukan raut terkejut dan bahagia di wajah Ghaly.

"Tsa," Ghaly memanggil Tsamara lirih, berusaha mencari kebenaran dari


pendengarannya.

"Kamu enggak suka Alta memanggilmu Papa?" tanya Tsamara, dia


mengambil duduk di sofa tempat Ghaly menyandarkan punggung
sebelumnya.

Ghaly menggeleng-geleng. "Bukan begitu, hanya saja ini terlalu


membahagiakan," ungkapnya jujur.
Dengan satu tangan yang tidak memegang gelas susu, Tsamara
mengusap puncak kepala Alta. Dia pun bahagia melihat puteranya saat
ini. Memeluk Ghaly seerat ini dengan senyuman di bibir mungilnya yang
kian melebar.

Alta pasti sangat bahagia, karena akhirnya memiliki papa dan mama.
Orang tua yang utuh.

***
Bab 51

Ghaly Badrayudha menghentikan laju mobilnya tepat di depan gedung


kantor tempat Tsamara bekerja. Dia keluar mobil, dan bersandar di
pintunya yang menutup, sembari menunggu perempuan kesayangan
yang akhirnya bisa ia taklukan keluar gedung.

Dia menjemput Tsamara sore ini, dan berniat jalan-jalan sebentar,


keliling Jakarta saja. Selagi Alta berada di rumah orang tuanya.

Ya, akhirnya ia dan Tsamara memberi keleluasaan bagi Marta untuk


menjaga dan menemani Alta. Ibunya malah ingin setiap hari, dia lah
yang menjemput Alta dari day care.

Tangan kanan Ghaly terangkat saat melihat Tsamara keluar dari lobi
tampak mengobrol dengan beberapa rekan kerjanya.

Saat tatapan Tsamara terarah pada Ghaly, perempuan itu sedikit


membeliak. Tsamara pastilah tidak menyangka jika Ghaly akan
menjemputnya seperti ini, tepat di depan kantornya langsung. Karena
selama ini ketika Ghaly menjemput Tsamara, perempuan itu memilih
untuk naik mobil di pinggir jalan saja.

Ya, sebelas dua belas kayak Tsamara menunggu taksi di pinggir jalan.

Tsamara menghampiri Ghaly setelah berpamitan pada rekan kerjanya,


dan melambaikan tangan.

"Kamu jemput di sini?" tanya Tsamara langsung. Dia menatap Ghaly dari
atas sampai bawah, lelaki itu masih berpenampilan begitu rapi layaknya
eksekutif muda. Mengenakan setelan jas berwarna abu-abu.

"Aku bosen nunggu di pinggir jalan," kilah Ghaly. Dalam satu gerakan
cepat ia membuka pintu mobil dan mempersilahkan Tsamara masuk.
"Kamu enggak marah, kan, aku jemput di sini?"
Tsamara memilih duduk lebih dulu, dan baru menjawabnya saat Ghaly
sudah berada di balik kemudi. "Enggak marah," katanya.

Bola mata Ghaly seketika berbinar. "Sungguh?"


"Ya," balas Tsamara seraya melirik Ghaly yang mengulum senyuman
malu-malu. Harusnya ia sudah mengizinkan Ghaly menjemputnya di
depan kantor seperti ini sedari lama, agar lelaki itu menguarkan
kebahagiaan sebanyak ini.

Dasarnya Tsamara yang belum terbiasa dengan hubungan yang


dipublikasi, alhasil masih membawa kebiasaan lama untuk diam-diaman
saja.

"Alta lagi sama Mami. Kalau kita jalan sebentar, kamu mau, enggak?"
tanya Ghaly saat mobilnya sudah melaju di jalanan Jakarta sore hari
yang selalu padat.

"Ke mana?" Tsamara mengedarkan tatapan ke sekeliling mobil, hingga


melirik ke jok belakang. Di jok belakang ada kursi anak-anak yang
beberapa waktu belakangan enggak juga Ghaly turunkan, dan sebuah
buket bunga yang amat cantik. "Kamu mau mengunjungi seseorang?"
tanyanya.

"Mengunjungi siapa?" Ghaly membalik tanya.

"Buket bunga di belakang," Tsamara menunjuk jok belakang dengan


tangan kanannya.

Tanpa melirik ke arah sang kekasih, Ghaly membalas ringan. "Aku beli
buat kamu, kok."

Tsamara berkedip, menatap Ghaly dengan banyak pertanyaan di


kepalanya. "Kalau buat aku, kenapa enggak kamu kasih?" tanyanya
jengkel.

Ghaly meledakkan tawa renyah. "Aku lupa," Dan dia memberi alasan
terlalu ringan. Dia memang benar-benar lupa dengan buket bunga yang
sebelumnya ia beli di jalan menuju kantor Tsamara.

Meski dengan bibir merengut kesat, Tsamara tetap saja


menggumamkan terima kasih.

"Enggak ingin kamu ambil?" tanya Ghaly saat Tsamara memilih tetap
duduk di tempatnya tanpa mengulurkan tangan untuk meraih bunga itu.
"Ngapain, diambil nanti saja kalau sudah sampai rumah." Tsamara
menggeleng, biar sekalian ia pegang ketika sudah sampai di rumah.
Terus ia masukkan ke vas bunga, biar awet.

"Mami bilang Alta sudah mandi tadi, lagi diajak jalan-jalan keliling
komplek sama Papi. Katanya mau pamer ke orang-orang komplek kalau
punya cucu," Ghaly bercerita diiringi senyuman yang mengulas manis di
bibirnya.

Tsamara mengangguk saja. Tidak terganggu sama sekali dengan


keinginan Joe yang ingin memperkenalkan Alta pada dunia.
Hubungannya dengan Marta semakin hari memang semakin baik.
Tadinya Tsamara sedikit ragu dengan penerimaan Marta pada Alta,
namun sejak tahu ada Alta di tengah-tengah ia dan Ghaly, yang adalah
cucunya, Marta jadi rutin banget main ke day care untuk melihat Alta
dan menemaninya main. Tidak sampai diajak ke luar, hanya di day care
saja.

Marta menjadi sangat menghargai keputusan Tsamara untuk tidak


melepas Alta begitu saja. Dan baru beberapa hari ini akhirnya Tsamara
memberi izin pada Marta untuk bebas menjaga Alta selama Tsamara
belum pulang bekerja.

"Kalau Alta menginap di rumah Mami malam ini, apa boleh?" tanya
Ghaly lirih.

Kening Tsamara mengernyit. "Kenapa harus menginap, kita bisa


menjemputnya rada malam."

Ghaly menggigit bibir bawahnya sekilas sebelum akhirnya melisankan


satu kalimat. "Biar kita bisa nginap berdua di rumah kita. Jadi kita punya
waktu lebih intim, gitu."

Jawaban yang Ghaly suarakan membuat bola mata Tsamara


membeliak, dengan cepat perempuan itu mengangkat tangan kanannya
dan mencubit paha Ghaly begitu keras, tidak cukup mempedulikan jerit
kesakitan lelaki itu. "Jangan karena aku sempat longgar dengan ciuman
kamu dulu banget, kamu jadi ngelunjak minta lebih," decapnya sebal.

Sebetulnya Ghaly sudah tahu jawaban apa yang akan ia terima karena
mengungkapkan penawarannya tadi, tapi tetap saja ia coba. Barangkali
Tsamara khilaf dan menerima ajakannya.
Tapi, memang mustahil bagi Tsamara untuk mengizinkan dirinya
menyentuh lebih. Bahkan ciuman pun belum sempat Ghaly rasakan lagi.
Setiap kali dia ingin memulai, Tsamara memiliki sejuta alasan untuk
menghindar.

Satu ketika, dia ragu, apakah Tsamara mencintainya atau tidak, karena
menolak dicium olehnya. Namun, di satu waktu lain, Ghaly akan
tersadarkan dengan status mereka yang belum menikah kembali.

Tsamara pasti terlalu khawatir akan keblablasan lalu hadirnya adik Alta
di rahim perempuan itu kalau sampai membiarkan Ghaly melangkah
lebih jauh.

"Jadi, ke mana kita?" tanya Tsamara tidak ingin memperpanjang obrolan


intim yang Ghaly kemukakan.

"Nanti kamu akan tahu," sahut Ghaly memilih untuk tidak menyebutkan
tujuan mereka. Tadi, Ghaly tiba-tiba memikirkan satu tempat yang
seharusnya ia kunjungi bersama Tsamara jauh-jauh hari saat akhirnya
Tsamara menerima pernyataan cintanya.
Sebuah toko perhiasan.

"Aku kepikiran membeli sepasang cincin untuk kita," kata Ghaly ketika
akhirnya ia dan Tsamara turun dari mobil dan berjalan masuk ke sebuah
toko perhiasan di deretan ruko tiga lantai.

Kedatangan keduanya disambut ramah, dan segera diarahkan ke


bagian cincin ketika Ghaly menyebutkan ingin mencari cincin.

Tsamara menurut saja hingga mereka berdiri di depan etalase perhiasan


yang menyuguhkan banyak sekali varian cincin putih bertahtakan
berlian.

"Kamu suka yang mana, yang berlian putih atau berwarna?" tanya Ghaly
saat Tsamara asyik memperhatikan perhiasan-perhiasan di dalam sana
yang menyuguhkan keindahan.

Tidak segera menjawab tanya Ghaly, Tsamara memilih mendekati lelaki


itu dan berbisik, "Sebenarnya, aku lebih suka cincin pasangan. Tapi
tentu saja dengan bahan cincin yang bisa dipakai olehmu."
Ghaly menatap Tsamara begitu lama. Dia tidak menyangka Tsamara
mengutarakan kalimat itu, namun ia tertarik juga untuk membahasnya.
"Kamu ingin seperti itu?"

"Ya. Aku juga ingin mengukir cincinnya dengan inisial nama kita."

Ah, hati Ghaly seketika menghangat mendengar keinginan Tsamara.


Perempuan itu menjadi sangat romantis.

"Kita bisa memesannya, cincin berlian untuk kamu dan cincin pasangan
dengan bahan yang boleh dipakai olehku." Ghaly mengulas senyuman
sembari menyentuh jemari Tsamara yang terkulai di tepian etalase.
"Kamu pilih cincin kamu dulu. Nanti cincin untukku akan menyesuaikan."

Pada dasarnya model cincin untuk laki-laki, ya, cuma gitu-gitu aja.
Enggak ada yang spesial, semuanya simpel.
Setelah memilih cincin, mereka melanjutkan jalan-jalan sorenya yang
disambut dengan langit temaram. Keduanya berjalan dengan
bergandengan tangan di sepanjang deretan ruko. Mencari-cari makanan
untuk mengganjal perut mereka sembari menunggu malam datang.

Saat akhirnya mereka tiba di depan sebuah butik yang dulu sempat ia
dan Ghaly datangi, Tsamara menghentikan langkah detik itu juga. Dia
menoleh ke arah butik yang tampak sepi.

"Kamu sadar, enggak, ada yang terlewat dari rencana balikan kita," kata
Tsamara menoleh ke arah Ghaly yang berkedip-kedip pelan, lalu
meloloskan tawa. Yang segera diikuti dengan kekehan geli dari
Tsamara.

Ghaly dan Tsamara sudah merencanakan pernikahan mereka, meski


belum menemukan tanggal pasti. Menurut kelakar Tsamara, mereka
akan menikah kalau Ghaly ada waktu.

Padahal Ghaly akan memberikan seluruh waktunya pada Tsamara jika


perempuan itu meminta. Memang dasarnya Tsamara saja yang mencari-
cari alasan.

"Kita bisa memesan gaunnya besok lagi," kata Ghaly pada akhirnya.
Karena untuk malam ini, ia benar-benar ingin menghabiskan waktu
hanya dengan bergandengan tangan, lalu menyusuri malam kota
Jakarta. "Sekalian janjian ketemu dengan desainernya langsung."
Tsamara menyetujuinya. Akhirnya, mereka masuk ke mobil, dan kembali
menyusuri jalanan yang semakin padat saja.

Sepanjang perjalanan, yang tidak memiliki tujuan ini, sesekali jemari


Ghaly meraba tangan Tsamara, hanya ingin menarik atensi perempuan
itu. Saat Tsamara mendesis memberi peringatan, maka Ghaly akan
meloloskan tawa.

"Sayang," panggil Ghaly lirih.

"Hm," Tsamara menoleh ke arah Ghaly diiringi senyuman tipis di


bibirnya.

"Kamu ingat kedai es teler di depan sana?" tunjuk Ghaly dengan tangan
kiri.

Sebelum Tsamara sempat menoleh untuk menemukan kedai yang Ghaly


tunjuk, perempuan itu lebih dulu mengangguk, dan ulasan senyum di
bibirnya melebar. Tentu saja ia sangat mengingat kedai es teler itu. Di
kedai itu ia dan Ghaly mengobrol untuk pertama kalinya, dulu banget di
awal perkenalan mereka. Dan di kedai itu pula, dulu, Ghaly melamarnya.

Semua memori itu menetap di ingatan Tsamara.

Ternyata ia dan Ghaly sudah melewati perjalanan sedemikian panjang,


hingga berakhir pada kaitan genggaman tangan mereka untuk sekali
lagi. Dan kali ini, Tsamara akan mempertahankannya sekuat yang bisa
ia lakukan.

"Kita mampir ke sana?" tanya Ghaly.

"Boleh."

Mendatangi kembali tempat yang menyimpan histori perjalanan mereka,


tentu adalah hal yang menyenangkan.

Sesuai dengan yang ia katakan, Ghaly betulan mampir ke kedai es teler


itu. Dia memarkir mobilnya dan bersiap turun. Namun, belum juga ia
membuka pintu mobil, Tsamara lebih dulu menyahut tangannya.

Ghaly menoleh ke arah sang kekasih dan tersenyum. "Kenapa?"


tanyanya.
"Aku sangat mencintaimu."

Mendengar penuturan lirih namun dengan penuh keyakinan itu, Ghaly


melebarkan senyumnya dan mengangguk. "Aku tahu, Tsa. Aku pun
sangat mencintaimu."

Lalu, karena sedikit curiga dengan apa yang membuat Tsamara


mengungkap cinta secara mendadak itu, Ghaly mengarahkan tatapan ke
kedai es teler tidak jauh dari tempatnya memarkir mobil.

Di sana, ternyata ada Elsa, dan beberapa perempuan lain. Menempati


meja di depan kedai.

Tingkah manis Tsamara yang seolah menegaskan jika Ghaly memang


mencintainya dan miliknya, membuat Ghaly merasakan debaran di dada
yang kian meningkat.

Melihat Tsamara cemburu, meski seharusnya tidak ada yang perlu


perempuan itu cemburui, adalah satu hal paling membahagiakan.

Tidak jadi keluar mobil dengan cepat, Ghaly justru mengulurkan tangan
dan mengusap pipi Tsamara. "Aku adalah milikmu, Tsa. Sebanyak
apapun perempuan cantik dan menarik di dunia ini, hanya kamu yang
akan selalu aku cintai dan agungkan. Kamu milikku."

Sampai kapan pun, Tsamara akan menjadi milik Ghaly Badrayudha.


Meski harus melewati jalan terjal dan berliku. Meski harus menerjang
badai yang menggoyahkan keteguhannya.

Ghaly tidak akan melakukan kesalahan untuk kedua kalinya.

Dia akan mendekap Tsamara, melindunginya, dan memberikan dunia


penuh kebahagiaan.

***
Epilog

Semua orang pernah melakukan kesalahan, tak terkecuali Ghaly


Badrayudha. Lelaki itu pernah melepaskan satu-satunya perempuan
berharga yang ia miliki, hanya karena ego dan amarahnya.

Menyesal, tentu, itu tak perlu dipertanyakan lagi.

Namun kini, segala masa lalu buruk itu akan ia tinggalkan. Sekarang
waktunya bagi dia dan Tsamara membuka lembar baru kehidupannya,
dengan kelegaan, dengan kasih sayang yang saling tertuang.

Ghaly menatap Tsamara Btari, perempuan cantik yang kini telah resmi
menjadi istrinya, lagi. Perempuan itu memakai gaun pengantin berwarna
putih yang simpel namun sangat elegan. Gaun berlengan panjang full
brokat, dengan bawahan gaun melebar membentuk payung. Rambut
perempuan itu disanggul dengan hiasan kepala sangat minimalis,
namun mempercantik.

Sedangkan Ghaly mengenakan tuksedo putih dengan dasi panjang


berwarna hitam.

Berbeda dari pernikahan yang lainnya, yang hanya ada mempelai pria
dan wanita di atas panggung. Maka di tengah-tengah mereka berdiri
sosok tampan bocah berusia empat tahun yang mengenakan tuksedo
anak-anak berwarna putih.

Alta terlihat luar biasa memukau.

Sedari tadi, tidak ada tamu undangan yang memuji ketampanan


Ghaly—si pengantin laki-laki, namun semua orang selalu memberi
perhatian lebih pada Alta, memuji betapa tampan dan
menggemaskannya bocah itu. Terlebih ketika bersembunyi di rok gaun
Tsamara. Mereka akan tergelak tawa karena tingkah manis Alta.1

Ghaly merasa kebahagiaannya hari ini begitu tumpah ruah.


Resepsi pernikahannya dengan Tsamara kali ini pun tidak digelar secara
mewah, hanya saja, kali ini dipublikasi. Resepsinya sendiri di gelar di
sebuah hotel di Jakarta, secara outdoor dan private.1
Ghaly hanya mengundang teman-teman dekatnya, relasi bisnisnya, dan
orang-orang Badrayudha Realty. Begitu juga dengan Tsamara yang
hanya mengundang segelintir teman-temannya.

Intinya, Ghaly dan Tsamara sepakat menggelar resepsi pernikahannya


secara tertutup namun hangat. Marta dan Joe pun tidak
mempermasalahkan untuk itu. Mereka mendukung sepenuhnya
keinginan Ghaly dan Tsamara.

"Jangan menatapku setajam itu," sindir Tsamara saat sadar tengah


ditatap sedemikian lekat oleh Ghaly sedari tadi.

"Bukan tajam, tapi penuh cinta," Ghaly membalas ringan dengan


senyuman manis yang menghias di bibirnya. "Habisnya kamu cantik
banget hari ini."

Tsamara menoleh cepat ke arah Ghaly, dan mendengkus. "Gombalnya


kamu, tuh, enggak mempan."

"Sayangnya itu bukan gombalan, Tsa. Kamu yang tercantik di antara


semua orang di bumi."

Bibir Tsamara membuka ber-ah tanpa suara. Dengan dua pipinya yang
mulai bersemu merah. Ghaly selalu berlebihan dalam memuji dirinya.
Namun, ia suka.

"Jadi, apakah aku juga yang tertampan hari ini?" tanya Ghaly
menggoda.

Tsamara diam beberapa saat, tampak berpikir, hingga kemudian ia


merasakan gaunnya seperti ditarik-tarik. Dia menoleh ke belakang, ke
kursi pengantin di mana Alta duduk sedari tadi. Puteranya enggak mau
lepas sama sekali darinya. Yang biasanya dengan mudah bisa dibujuk
oleh Fanny, kini menempel erat padanya sepanjang acara. Membiarkan
Fanny bebas tugas hari ini tanpa memperhatikan Alta.

Sebelum Tsamara bertanya, tentang apa yang Alta butuhkan, Ghaly


lebih dulu mengambil bocah itu, mengangkatnya untuk kemudian dia
gendong.

"Anak Papa mau apa?" tanya Ghaly, menatap Alta di dekapannya


Alta berkedip pelan, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Ghaly dan
berbisik di sana. Karena bisik-bisik itu, Ghaly tertawa kegelian.

Tsamara yang melihatnya turut serta mengulas senyuman lebar. "Alta


bisikin apa?" tanyanya penasaran.

Dengan tawa yang masih enggan meluruh di bibirnya, Ghaly berucap,


"Enggak tahu, aku kegelian, enggak dengar apa-apa."

Sadar jika dirinya ditertawakan oleh sang ayah, Alta mencebik sebal,
sambil menggerak-gerakkan kedua kakinya. "Papa nakal," sebutnya
jengkel.

Mengambil alih situasi dengan cepat agar sang putera tidak beneran
ngambek, Tsamara mendekatkan wajahnya ke arah sang putera. "Alta
mau bilang apa, sini bisikin Mama," katanya menunjukkan telinganya
agar dekat dengan bibir Alta.

Alhasil wajahnya pun sejajar dengan Ghaly. Lelaki itu masih saja
mengulum senyuman geli.

Menuruti permintaan sang ibu, Alta kembali berbisik samar-samar.

Tsamara yang berusaha memasang telinganya untuk awas mendengar


bisikan Alta justru dikacaukan oleh kecupan Ghaly yang menempel di
sudut bibirnya. Bahkan bunyi kecapannya terdengar seperti menggema.

"Alta mau foto," kata Tsamara setelah memusatkan pendengarannya.


Ketika sang anak mengangguk, ia menjauhkan wajah, dan segera
melempar tatapan sebal pada Ghaly. "Kamu tahu siapa yang paling
tampan hari ini?" tanyanya pada Ghaly. Dia kemudian mendekatkan
wajah ke telinga lelaki itu dan berbisik, "Altair Danadyaksa."

Ghaly melirik Tsamara dengan ulasan senyum geli di bibirnya.

Ya, sekarang ketampanannya memang sudah kalah telak oleh sang


putera. Dan Ghaly sangat bangga akan itu.

Setelahnya, seperti yang diinginkan Alta, mereka berfoto bersama,


dengan Alta dalam dekapan Ghaly.+
Kali ini Tsamara berpindah posisi ke sisi kiri Ghaly. Mereka bersama-
sama mencium pipi Alta yang berada di tengah-tengah mereka.

Ini adalah hari kebahagiaan mereka bertiga.

Satu momen menyenangkan yang akan terus membekas di ingatan.

-SELESAI-
Extra Bab 1

"Mama! Mama! Buka pintunya!"

Tsamara yang masih bergelung di balik selimutnya pagi ini hanya


melenguh pelan mendengar sedikit keramaian di pintu kamarnya.

Tangan kanannya terulur meraba-raba sisi ranjangnya yang lain, ketika


merasakan tubuh seseorang, dia menepuk-nepuknya pelan. "Ghaly,"
panggilnya lirih, dengan kelopak mata sedikit berat untuk membuka.

Ghaly melenguh pelan, bukannya bangun, ia malah mengeratkan


dekapan di tubuh Tsamara. Tidak ingin hangat tubuh Tsamara berlalu
begitu cepat pagi ini.

Decap pelan mengiringi kelopak mata Tsamara yang ia paksa membuka


lebar. Tangan kanannya masih menepuk bahu Ghaly yang tidak ditutupi
selembar kain pun. Kulit liat lelaki itu langsung menyapa telapak tangan
Tsamara.

"Sayang, di depan pintu ada Alta. Bangun dulu," kata Tsamara,


bersamaan dengan gedoran di pintu dan panggilan Alta yang kian
mengeras.

"Siapa?" tanya Ghaly dengan suara seraknya, masih enggan membuka


mata.

"Alta," ulang Tsamara, lalu memundurkan tubuhnya untuk lepas dari


dekapan Ghaly.

"Oh," balas Ghaly singkat, setengah sadar.

Kali ini Tsamara mendecap keras. "Aku mau turun. Kalau enggak
dibukain pintu, nanti Alta nangis," katanya. Ketika tepukannya di lengan
Ghaly tidak berhasil membangunkan lelaki itu, Tsamara mengubahnya
menjadi cubitan cukup keras. Hingga membuat lelaki itu terhenyak detik
itu juga.
Saat dekapan Ghaly terlepas, Tsamara segera bergerak ke tepian
ranjang, berpijak di lantai. Baru saja dia ingin mengayun langkah menuju
pintu, ia tersadar akan satu hal, pakaian yang ia kenakan pagi ini. Hanya
selembar kaus Ghaly yang kebesaran dan hanya menutupi hingga paha
atasnya.

"Ghaly," jeritnya, menoleh ke arah Ghaly yang baru saja terduduk di


ranjang dengan dua tangan mengusap matanya.

"Apa?" tanya Ghaly santai. "Enggak jadi buka pintu buat Alta?"
imbuhnya penuh keheranan. Padahal teriakan Alta yang hampir
menangis semakin terdengar mengeras. Ia bahkan bisa mendengar
suara Fanny yang berusaha menenangkan.

Tsamara menghela napas kasar, lalu menunjuk dirinya sendiri. "Aku


cuma pakai kaus."

Serentak, Ghaly menatap Tsamara dan nyengir tanpa rasa bersalah.


Tsamara memang hanya mengenakan kausnya semalam, enggak hanya
itu, ia bahkan menemukan bekas merah di paha perempuan itu.

Sepertinya semalam Ghaly terlalu bersemangat mengusahakan adik


untuk Alta.

"Sayang, bukain pintunya, aku mau ke kamar mandi," pinta Tsamara,


bersamaan dengan itu Alta menjerit, tangisnya pecah.

Panik, secepat yang bisa ia jangkau, Ghaly bangkit dari duduknya dan
langsung berlari, sayangnya, ia lupa jika selimut masih membungkus
kakinya. Alhasil, ia malah terjerembab di lantai.

Tsamara menutup matanya dengan telapak tangan kanan

Inilah keramaian di minggu pertamanya menikah dengan Ghaly.


Fanny mengulas senyuman geli dengan kepala yang terus menggeleng
sedari tadi. Tatapan yang terlontar dari matanya menyiratkan sebuah
keheranan, namun juga takjub. Dua hal itu benar-benar paket lengkap di
pagi ini.

Dia melihat Ghaly yang bertelanjang dada tengah menggendong Alta


dan menenangkan tangisan bocah itu karena tidak kunjung bertemu
sang ibu. Fanny yakin kakaknya sedang bergegas membersihkan diri
untuk membereskan kekacauan yang Ghaly ciptakan sepanjang malam.
Oh, ya ampun, Fanny mengingat usianya sendiri, sudah lewat 20 tahun.
Cukup dewasa untuk membahas kegiatan panas orang dewasa dan
sangat maklum untuk itu.

"Shh ... shhh, bentar lagi Mama selesai mandi," kata Ghaly berusaha
menenangkan Alta yang terus saja menangis.

Alta baru banget bangun tidur sebenarnya tadi dan masalahnya ia tidak
menemukan Tsamara di sampingnya. Saat bocah itu memanggil ibunya,
yang datang adalah Fanny, tentu saja itu semakin membuat Alta jengkel.
Berakhir dengan Alta yang berlari keluar kamar tidurnya menuju kamar
tidur Tsamara yang berada tepat di samping kamarnya.

"Mama!" Alta menjerit lagi, masih dengan tangisannya yang kian


menderas.

"Ada Papa di sini, Sayang. Sudah, ya, nangisnya. Nanti Alta serak, loh,
kebanyakan nangis," Ghaly berucap sembari mengusap air mata Alta
yang meleleh di pipi tembamnya. Dia sendiri bingung, dengan cara
apalagi untuk menenangkan Alta.

Alta menatap Ghaly dengan sesenggukan. "Papa nakal."

Kali ini Ghaly dibuat terkejut dengan tuduhan Alta, dia melakukan
kesalahan apa sampai jagoan kecilnya menuduhnya begitu.
"Kenapa Alta enggak diajak tidur bareng sama Papa dan Mama." Alta
menarik ingusnya yang meleleh. "Alta takut tidur sendiri," imbuhnya, lalu
mengusap air matanya sendiri di pipi.

Fanny yang baru menarik beberapa lembar tisu, segera diberikannya


pada Ghaly untuk mengelap ingus Alta.

Pada dasarnya, keramaian ini terjadi karena Alta yang enggak ingin tidur
sendiri. Di awal malam sebelum tertidur, ada Tsamara yang menemani
dan membacakan cerita. Jadi Alta pasti cukup kehilangan ketika sadar ia
ditinggalkan sendiri di kamar. Dan, ya, bocah itu mengaku ketakutan
kalau tidur sendiri.

Alta hanya belum terbiasa dengan situasi yang baru ini. Di Yogyakarta
dulu, di rumah orang tuanya, sebenarnya Tsamara sudah melatih Alta
tidur sendiri sejak bocah itu menginjak usia 3 tahun. Hanya saja ketika
tinggal di apartemen, karena tidak ada kamar lain, Alta tidur bersama
Tsamara.

Hal itu akhirnya membuat Alta harus menyesuaikannya lagi sejak awal.

Tsamara keluar dari kamar mandi dengan bathrobe panjang yang


menjuntai hingga pertengahan betisnya, dan tidak tertinggal handuk
yang melilit rambutnya.

Mendapati pemandangan itu, sebelum otaknya dipenuhi pikiran-pikiran


dewasa, Fanny melarikan diri dengan cepat, keluar dari kamar tidur
Tsamara.

"Mama!" Alta menyambut kedatangan Tsamara dengan dua lengannya


yang terulur ke arah sang ibu.

Tsamara segera mengambil alih tubuh Alta dari Ghaly, dan mengusap
wajah sang putera. "Sayang, berhenti nangisnya. Ini, kan, udah
digendong Mama," katanya lirih. Dan hanya dengan satu kalimat itu,
tangis Alta berhenti seketika, diiringi kepalanya mengangguk. Menuruti
ucapan Tsamara.
Ghaly dibuat begitu takjub dengan Alta dan Tsamara, dia berusaha
keras menenangkan tangis Alta, namun gagal. Lalu Tsamara hanya
menggendong dan berucap satu kalimat, sang putera langsung menurut.

"Kenapa Alta nangis pagi-pagi?" tanya Tsamara, dia mengambil duduk


di sofa yang berada di ujung ranjang dengan Alta berada di
pangkuannya.

Sebelum menjawab, Alta melirik Ghaly sekilas yang kali ini tampak sibuk
merapikan seprai dan selimutnya yang berantakan di ranjang. "Alta
enggak mau bobo sendiri," jawabnya jujur.

Tsamara mengulas senyuman manis. Dia merapikan rambut Alta,


menyugarnya ke belakang. "Alta sudah besar jadi harus bobo sendiri.
Dulu di rumah Nenek di Yogya, Alta sudah pinter tidur sendiri."

Alta diam, menggigit bibir bawahnya.

"Sebelum tidur, Mama temani. Tadi pagi aja, Alta bangunnya kecepatan,
jadi Mama belum datang."
Baru jam lima lewat lima belas menit dan sang putera sudah menggedor
pintu kamarnya. Tsamara telat bangun, lalu keramaian ini seketika
tercipta.

"Papa nakal," sebut Alta lagi.

Tsamara melirik Ghaly yang baru saja mengambil duduk di sampingnya,


dia bertanya hanya dengan menggerakkan alisnya. Ketika Ghaly
membalas jika ia tidak tahu kenapa Alta menyebutnya nakal, Tsamara
kembali memberi atensi pada sang putera. "Alta enggak boleh ngomong
gitu sama Papa."

Alta terdiam begitu lama, hanya menoleh ke arah Ghaly.

Dipandang sedalam itu oleh Alta, Ghaly justru merasa sangat gemas.
Dia kemudian mengulurkan tangan untuk mengusap puncak kepala Alta
dan memberi kecupan di pelipis bocah itu.

Alta memang sangat menyukai Ghaly dan sudah memanggilnya papa


dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Namun, bocah itu tetap butuh
penyesuaian, terlebih karena kini mereka akhirnya tinggal di satu atap.

Dan kenapa Alta menyebut Ghaly nakal, tak lain pasti karena Ghaly
mengunci Tsamara untuk tidur dengannya, daripada menemani Alta.

Bocah itu hanya belum tahu bagaimana mengungkapkannya.

Ghaly tersenyum geli karena spekulasi yang melintas di kepalanya ini.

"Kamu kenapa?" tanya Tsamara saat menemukan Ghaly yang justru


tersenyum.

Memilih tidak langsung menjawab, Ghaly mengusap puncak kepala Alta


yang kini rebah di bahu Tsamara. "Alta memang puteraku."

Tsamara dibuat semakin bingung dengan satu jawaban yang Ghaly


lontarkan. Belum juga ia melontarkan kalimat balasan, lelaki itu sudah
kembali bersuara, satu pengakuan yang membuat bibir Tsamara
mengulas senyuman teramat manis dengan pipi yang perlahan bersemu
merah.

"Dan kamu istriku," kata Ghaly sembari mencium bibir Tsamara. Hanya
kecupan saja. Lalu, ia melingkarkan lengan untuk memeluk tubuh Alta,
dan satu lengan lain merangkul bahu Tsamara, sehingga sang istri kini
menyandar di bahunya.

Pagi yang ramai dengan sedikit kekacauan, namun tetap terasa sangat
membahagiakan.

***
Extra Bab 2

Tsamara Btari menatap wajah tampan puteranya, yang akhirnya bisa


terlelap setelah ia membacakan cerita. Dia mengusap puncak kepala
Alta dengan penuh kasih, lalu merendahkan wajahnya untuk kemudian
menanamkan kecupan di pelipis bocah itu.

Dia mengulas senyuman ketika mengingat jika selalu ada drama yang
Alta buat setiap harinya, sebelum tidur seperti tadi, dan pagi harinya
ketika terbangun. Alta memang membutuhkan banyak sekali
penyesuaian di kamar barunya yang luas meski dipenuhi dengan
mainan kesukaannya. Dan menerima kehadiran Ghaly di satu atap
dengannya setelah bertahun-tahun ini hanya mengenal Tsamara
sebagai satu-satunya orang tua yang ia punya.

Setelah memastikan tidur Alta begitu lelap, Tsamara bangkit dari


duduknya di tepi ranjang dengan gerak pelan lalu keluar kamar.

Bukan kamar tidurnya yang ia tuju, Tsamara justru mengarahkan


langkah ke dapur dan membuat dua cangkir teh chamomile. Ghaly pasti
belum tidur, dan masih menunggu kedatangannya di kamar.

Dengan nampan berisi dua cangkir teh chamomile, Tsamara kembali


mengarahkan langkah ke lantai dua dan kini memasuki kamarnya.
Seperti tebakannya, Ghaly memang belum tertidur. Perempuan itu
menemukan sang suami sedang berdiri di balkon menatap ke halaman
belakang.

Tsamara meletakkan nampan tehnya di atas meja kecil di balkon, baru


kemudian mendekati Ghaly dan segera melingkarkan dua lengannya di
perut lelaki itu. Hal berikutnya yang ia lakukan adalah menempelkan
sebelah pipinya di punggung tegap sang suami.

"Alta sudah tidur?" tanya Ghaly, seraya menyentuh lengan Tsamara di


perutnya dengan tangan kiri, sedang tangan kanannya masih mengapit
sebatang rokok. Dia merokok kadang-kadang, dalam satu bungkus
rokok, paling hanya ia habiskan 3-4 batang, sisanya akan ia berikan ke
sopir pribadinya atau tukang kebun.
"Baru saja tidur," gumam Tsamara, kali ini dengan kelopak mata
memejam. "Kamu bau rokok," dengkusnya pelan. Meski begitu ia tetap
saja menempel pada Ghaly yang nampaknya masih ingin menghabiskan
satu batang rokok di jarinya.

"Aku tahu kamu bohong, Tsa."

"Huh?" Tsamara mengerjap pelan, tidak cukup mengerti kenapa Ghaly


mengungkapkan hal itu.

"Bukan bau rokok, tapi bau tubuh aku, kan? Dari tadi kamu ciumin
punggung aku." Di akhir kalimatnya, Ghaly meloloskan kekehan pelan.

Tsamara tidak membantah sedikitpun, karena memang itulah


kenyataannya. Dia sedari tadi mencuri-curi kecupan di punggung Ghaly
dan membaui tubuh lelaki itu. "Aku bikin teh," katanya sembari melepas
dekapan dan membuat Ghaly segera memutar tubuhnya untuk
berhadapan dengan Tsamara, setelah mematikan batang rokoknya.

Ghaly melirik meja di mana ada dua cangkir teh di sana. "Kenapa teh?"

"Biar tidur kita lelap," sahut Tsamara ringan. "Kamu pasti capek seharian
bekerja," imbuhnya. Kali ini, jemari tangannya bergerak nakal dengan
mengusap dada Ghaly yang hanya dilapisi selembar kaus tipis.

"Tsa, sebenarnya kamu ngajakin minum teh atau makan kamu?" tanya
Ghaly dengan nada begitu rendah dan tatapan terarah ke wajah
Tsamara. Perempuan itu tampaknya masih sangat betah memandangi
dadanya.

Tsamara mengulas senyuman tipis, dan menaikkan pandangan untuk


mempertemukan iris matanya dengan telaga bening milik Ghaly yang
berpendar begitu terang malam ini. Memang kapan Ghaly tidak
menatapnya dengan pendar seterang itu?

Dia selalu merasa begitu dicintai oleh Ghaly.

"Dua-duanya," Tsamara membalas ringan, terlalu berani.

Ghaly menghela napas kasar. "Aku beneran enggak bisa berkutik kalau
itu jawaban kamu."
Tsamara menarik Ghaly untuk duduk dan menyerahkan secangkir teh
pada sang suami, disusul ia yang duduk di seberang Ghaly. "Bagaimana
hari ini?" tanyanya setelah menyesap teh di cangkirnya.

"Rasanya pingin dipijat," desah Ghaly seraya mengulas cengiran.


"Joana bikin masalah dengan begitu banyak dokumen yang harus
kuperiksa." Karena Ghaly mengambil cuti menikah selama sepuluh hari,
alhasil pekerjaannya memang jadi begitu menumpuk.

"Nanti aku pijat," balas Tsamara, dia menatap Ghaly dengan begitu
intens. Lelaki itu memang tampak lelah, terlebih tadi pulang cukup
terlambat, jam tujuh malam. Sampai ditinggal Alta untuk makan malam
lebih dulu karena bocah itu sudah kelaparan.

Ghaly menyesap tehnya, lalu menggumam, "Tapi aku enggak ingin


dipijat kamu malam ini." Dia mengerling nakal ke arah Tsamara yang
dibalas hela napas pelan dan kepala menggeleng dari perempuan itu.

"Enggak konsisten adalah nama tengah Ghaly Badrayudha," decap


Tsamara.

"Tapi, dia suami kamu, Tsa." Ghaly melancarkan aksinya, berpura-pura


merajuk.

"Ya, dia suamiku." Pada akhirnya, Tsamara meladeni rajukan Ghaly.

"Siapa?"
Ah, sepertinya Ghaly masih teramat ingin untuk berlama-lama dalam
rajukannya. "Ghaly Badrayudha, suamiku." Mendengar jawaban itu,
Ghaly meloloskan tawa penuh kemenangan. "Puas?" tanya Tsamara.

"Enggak lah. Baru ngobrol masa sudah puas—"

"Oh, ya ampun, Ghaly." Dengan cepat Tsamara memotong ucapan sang


suami dalam satu desah lelah. Dia tahu Ghaly memang sehobi itu
menggoda dirinya.

Akhirnya, Tsamara bangkit dari duduknya setelah teh di cangkirnya


berkurang setengah. Dia masuk ke kamar dan sangat sadar jika Ghaly
mengikutinya di belakang dengan kekehan lelaki itu yang masih
mengudara.
Belum juga Tsamara sampai di ranjangnya, Ghaly mengangkat tubuhnya
secara mendadak, membuat Tsamara hampir meloloskan jeritan. Lelaki
itu kemudian membawa tubuh Tsamara untuk direbahkan ke atas
ranjang, dan ia menindih di atasnya.

"Aku boleh menikmati hidangan penutupku malam ini?" tanya Ghaly,


mempertemukan tatapannya dengan Tsamara. Berusaha menyelami
kedalaman mata perempuan terkasihnya.

Tsamara menggeleng. "Enggak sebelum kamu pastiin pintu balkon


terkunci."

Ghaly memberi kecupan singkat di bibir Tsamara, baru kemudian


menegakkan tubuhnya untuk berjalan ke arah pintu balkon dan
menguncinya. "Pintu kamar?" tanyanya.

"Sudah kukunci," balas Tsamara cepat. Setiap masuk kamar di malam


hari, ia memang selalu mengunci pintu kamarnya. Dia terlalu khawatir
jika pagi-pagi buta Alta akan masuk ke kamarnya dalam kondisi ia yang
berantakan.

"Ah, sepertinya bukan aku saja yang antusias dengan malam ini," ucap
Ghaly sembari kembali mendekati ranjang dan segera duduk di
tepiannya. Jika berharap Tsamara bertahan dalam posisinya telentang di
atas ranjang menunggu kedatangan Ghaly, maka, itu adalah harapan
yang terlalu muluk-muluk.

Karena bukannya berpose seksi, Tsamara justru duduk dan


menyandarkan tubuh di kepala ranjang.

"Sayang, aku ingat satu hal."

Gerakan Ghaly yang baru merangkak mendekati Tsamara seketika


terhenti ketika perempuan itu berbicara. "Apa?" Harusnya ia
mengabaikan saja ucapan Tsamara barusan dan memilih melanjutkan
aksinya.

"Mami kasih hadiah pernikahan padaku, tapi aku lupa meletakkannya di


mana."

Sudah terlewat berhari-hari, tapi Tsamara baru mengingat tentang


hadiah yang Marta berikan padanya di hari pernikahannya kemarin.
Marta memberikannya langsung padanya sebelum acara akad nikah
berlangsung.

Dia ingat dia menerimanya, tapi setelahnya, ia simpan di mana?

"Aku khawatir hadiahnya malah aku hilangkan," desah Tsamara tampak


sendu. Dia bahkan belum sempat membuka kotak hadiah yang Marta
berikan, yang memang berukuran tidak cukup besar.

Ghaly memundurkan tubuhnya, dia membuka laci nakas bagian paling


bawah dan mengeluarkan kotak persegi panjang berwarna biru muda.
"Ini," ucapnya seraya memberikannya pada Tsamara.

Seketika, bola mata Tsamara berpendar terang. "Iya, ini kotaknya. Kamu
dapat dari mana?" Dia segera mengambil kotak hadiah itu dari tangan
Ghaly dan memeriksanya. Ikatan pitanya masih tersimpul apik dan
cantik.

Akhirnya, Ghaly turut serta duduk bersandar di kepala ranjang, tepat di


sebelah Tsamara. "Fanny yang kasih ke aku tadi pagi, tapi aku lupa
kasih tahu kamu. Katanya dia menemukannya di tas Alta."

Tsamara ber-ah tanpa suara. Dia ingat sekarang jika kotak itu memang
ia masukkan ke tas Alta hari itu.

"Enggak ingin kamu buka?" tanya Ghaly saat Tsamara hanya diam
memandangi kotak itu.

"Boleh?"

Ghaly meloloskan satu tawa pelan. "Itu hadiah kamu, Sayang. Harus
kamu buka, dong."

Pada dasarnya, Tsamara memang sangat penasaran dengan isi kotak


itu. Ini pertama kalinya Marta memberikan sesuatu padanya. Dengan
pelan, Tsamara menarik lepas ikatan pitanya, dan segera membuka
penutup kotak itu.

Yang ia dapatkan di dalam kotak itu, seketika membuat bibirnya


mengulas senyuman senang. Kotak itu berisi sebuah cincin dan juga
gelang berwarna putih, dihiasi taburan berlian.
Sama seperti Tsamara yang tersenyum senang melihat hadiah itu, Ghaly
pun melakukan hal yang sama. Dia tidak mengira jika ibunya
menghadiahkan perhiasan itu pada Tsamara. "Itu cincin dan gelang milik
nenekku," katanya. "Mami pernah bilang dua benda itu dihadiahkan
secara turun temurun di keluarga kami."

Jemari Tsamara menyentuh dua perhiasan itu. "Ini tampak sangat


cantik." Dia sudah sering melihat banyak sekali perhiasan indah di toko,
namun yang kini terpampang di hadapannya memanglah begitu cantik.

Ghaly mengambil cincin itu, lalu menggenggam tangan kiri Tsamara dan
menyematkannya di jari manis perempuan itu. "Cincinnya sangat cocok
dikenakan olehmu, Tsa."

Tsamara mengulas senyuman, mengangkat jemarinya dan menatapi


cincin itu. Bukan hanya histori cincinnya yang membuat dia senang,
melainkan juga karena Marta yang memberikannya.

Kali ini, ia benar-benar sudah menjadi bagian dari keluarga Badrayudha,


tanpa tetapi.

Ghaly menyingkirkan kotak hadiah itu ke atas nakas, dia kemudian


menggenggam tangan kiri Tsamara yang baru disematkan cincin
olehnya, lalu, ia memberikan kecupan hangat dan basah di punggung
tangan perempuan itu.

Tidak berhenti di sana, Ghaly mengarahkan kecupannya di sepanjang


lengan Tsamara hingga ke bahu, lekuk leher perempuan itu, dan naik ke
pipi sang istri. Dia menggesekkan hidungnya di sepanjang garis pipi
Tsamara, membuat perempuan itu tergelak pelan.

"Sayang, kamu selalu terburu-buru," desah Tsamara dengan hela napas


kasar lolos dari mulutnya.

"Karena kamu selalu jadi candu buatku," Ghaly menggumam lirih,


sebelum akhirnya mempertemukan bibirnya dengan belah bibir Tsamara
yang sedari tadi tampak begitu menggodanya untuk ia sesap.

Ghaly membawa tubuh Tsamara untuk rebah, dan mengambil satu


tangan perempuan itu agar melingkar di lehernya. Bibirnya bergerak
lembut menyesap rasa manis yang Tsamara tawarkan. Sedangkan
tangannya mulai aktif meraba setiap jengkal kulit Tsamara. Menyusup ke
balik piyama perempuan itu dan meraba kulit halus di baliknya.
Ketika akhirnya ciuman mereka terputus, yang Ghaly lakukan adalah
mempertemukan tatapannya dengan iris mata Tsamara yang juga
berkabut seperti dirinya.
Keduanya tersenyum di sela hela nafas yang tersendat dan dada naik
turun tidak beraturan, karena ciuman panjang mereka.

"Boleh aku meneruskannya?" tanya Ghaly, sembari mengusap bibir


Tsamara yang bertambah merah karena ia gigiti barusan.

Tsamara tahu, Ghaly tidak butuh jawaban darinya. Lelaki itu hanya
basa-basi saja, karena yang berikutnya Ghaly lakukan adalah menarik
lepas kaosnya, membuat tubuh bagian atasnya shirtless, dan membuka
satu persatu kancing piyama Tsamara.

Sisa malam itu hanya diisi dengan desah napas dua manusia yang
memadu kasih. Mencurahkan cinta satu sama lain dalam sentuh lembut
yang menciptakan gelenyar panas, namun juga membahagiakan yang
mengalir di dalam tubuh mereka.

***
Extra Bab 3

Ghaly menghela napas pelan sembari memandangi dua sosok manusia


terkasihnya yang tengah terlelap di sampingnya. Tsamara yang
memeluk Alta. Keduanya sudah jatuh tertidur sejak 30 menit lalu.
Meninggalkan Ghaly sendiri yang bertahan terjaga.

Mungkin karena perjalanan dari Jakarta membuat keduanya kelelahan


dan sudah tidur di jam 8 malam.

Ini minggu ketujuh ia dan Tsamara menikah dan baru sekarang mereka
honeymoon. Rencana awal, hanya ia dan Tsamara yang akan berangkat
ke Bali. Namun, bocah tampan kesayangannya menangis sesenggukan
ketika Tsamara berpamitan. Akhirnya, Ghaly membawa serta Alta dan
juga Fanny sekalian di rencana honeymoon-nya. Dia menyewa salah
satu penginapan mewah di Bukit Peninsula, Uluwatu yang
menyuguhkan pemandangan laut dan pelayanan eksklusif.

Karena tidak ingin tidur terlalu awal dan memang ia belum mengantuk,
Ghaly bangkit dari duduknya lalu mengambil ponsel di atas nakas, dan
beranjak keluar kamar. Dia akan berjalan-jalan sebentar ke sekitar
penginapan.

Ghaly baru beberapa langkah keluar dari kamarnya ketika menemukan


Fanny duduk di kursi tepian kolam renang, yang langsung menghadap
ke laut lepas. Villa tempatnya menginap memang privat, sehingga tidak
ada pengunjung lain selain mereka.

"Kamu enggak tidur?" tanya Ghaly ketika menghampiri sang adik ipar
yang sedikit berjengit terkejut karena kehadirannya yang tiba-tiba. Dia
mengambil duduk di kursi samping Fanny, bersebelahan.

Fanny menoleh ke arahnya lalu mengulas senyuman. "Belum


mengantuk," jawabnya, lalu kepalanya mengedar seolah mencari sosok
lain yang datang bersama Ghaly. "Mbak Tsa sudah tidur?" tanyanya.
Ghaly merebahkan tubuh di kursi panjang, dan menatap langit-langit
malam ini yang tampak dipenuhi bintang-bintang. "Tsa kelelahan jadi
jatuh tertidur bareng Alta."

Fanny kembali melempar tatapannya ke laut lepas di kejauhan. "Maaf,


ya, Mas Ghaly, aku malah gangguin acara honeymoon kalian."

"Bukan mengganggu sebenarnya," kata Ghaly bertahan tidak menatap


ke arah adik iparnya, "Lebih tepatnya, kehadiranmu memang sangat
dibutuhkan untuk menjaga Alta," Dia berkelakar, meloloskan kekehan
pelan.

Mendengar itu, Fanny mendecap sebal, tidak memungkiri jika tujuannya


dibawa serta adalah untuk menjaga Alta. "Menyebalkan." Tapi
semenyebalkan apa pun, dia tetap senang karena bisa datang ke
tempat ini. Melihat pemandangan laut yang indah, dan suasana yang
begitu tenang. Benar-benar jauh berbeda dengan ramai dan bisingnya
kota Jakarta.

"Bagaimana pekerjaan kamu?" tanya Ghaly berusaha membangun


obrolan dengan Fanny.

"Sibuk banget, beruntung kakak iparku bos, aku jadi bisa ambil cuti buat
liburan ke Bali." Fanny berucap setengah bercanda.

Ghaly melirik sekilas ke arah Fanny, meski dengan penerangan sedikit


temaram dia bisa menemukan perempuan itu mengulas senyuman
senang. "Kamu yakin, kamu benar-benar libur?"

Fanny menghela nafas kasar. Pada dasarnya kalimat yang ia lisankan


sebelumnya adalah satu usaha untuk menyenangkan dirinya sendiri.
"Enggak, aku tetap bawa laptop buat kerja."

Kali ini, Ghaly lah yang tergelak tawa. Memang realita pekerja di BR
seperti itu, liburnya enggak bisa sepenuhnya libur yang lepas dari
laptop.
"Mas Ghaly enggak pengen minum, gitu?" tanya Fanny tiba-tiba.

"Kalau minum yang kamu maksud adalah party di tepi pantai, enggak
akan Mas temani." Ghaly tahu persis, minum-minum seperti apa yang
Fanny maksud.
Fanny mencebikkan bibirnya. Ia hanya penasaran dengan keramaian
malam di Bali.

"Pesan minum lewat pelayanan kamar saja," tawar Ghaly. "Kamu bisa
minta rekomendasi minuman dan makanan di sini."

Dengan setengah hati, karena ia juga ingin ngemil malam-malam, Fanny


bangkit dari duduknya untuk menghubungi pelayanan kamar. "Mas
Ghaly mau juga?"

"Mau lah," sahut Ghaly cepat. "Apa pun enggak masalah. Kalau bisa,
minta tolong buat dibawakan rokok."

"Kenapa rokok?" Kening Fanny mengernyit.

"Buat teman begadang."

Fanny tersenyum geli dan berucap dengan nada bercanda. "Kasihan


Mas Ghaly, begadangnya ditemani rokok."

***
Tsamara terjaga dari tidurnya, dan segera mengerjapkan mata untuk
memperjelas penglihatannya. Dia melirik sisi ranjang lain untuk
menemukan sosok Ghaly, namun lelaki itu tidak berada di sana. Hanya
ada Alta yang tidur memeluk guling.

Perempuan itu kemudian meraba ponselnya di atas nakas hanya untuk


mengecek pukul berapa sekarang. Ternyata sudah menunjukan pukul
satu malam.

"Ke mana Ghaly pergi, padahal sudah selarut ini," gumam Tsamara
seraya bangkit dari tidurnya dengan gerak pelan agar tidak
membangunkan Alta. Dia menjejak lantai dan segera berjalan keluar
kamar.

Ketika pintu kamarnya dibuka, seketika angin malam yang terasa dingin
menyapa kulitnya. Dia mengeratkan selimut tipis yang membungkus
tubuhnya.

Ayunan kakinya terarah menuju ke kolam renang, karena ia bisa


menemukan siluet seseorang yang tengah merebahkan tubuh di kursi
santai.
Tebakannya hanya satu, Ghaly. Dan benar saja, memang lelaki itu yang
tengah menempati kursi sendirian, dan tampak terlelap. Di kursi
samping Ghaly tampak ada sisa makanan dan minuman.

Tsamara duduk di tepian kursi tempat Ghaly tertidur. Lelaki itu


memejamkan mata dengan kepala sedikit miring ke kanan, dan dua
lengan yang saling memeluk di depan dada.

Kalau dingin, kenapa enggak masuk ke kamar?

Perempuan itu kemudian menggoyang bahu Ghaly, berusaha


membangunkan lelaki itu. "Sayang, tidurnya pindah ke kamar. Di sini
dingin."

Ghaly hanya melenguh pelan, menggerakkan kepalanya untuk mencari


posisi nyaman di bantalnya.

Tsamara menghela napas, kali ini ia memindah tangannya dari bahu


Ghaly untuk mengusap rahang lelaki itu yang ditumbuhi bulu-bulu halus.
Dia menatap wajah terlelap Ghaly cukup lama, sebelum akhirnya
merendahkan tubuh dan menanamkan kecupan di rahang lelaki itu.

Dia cukup yakin, kecupannya seringan ciuman kupu-kupu, namun


kenapa malah mendapat respon berbeda dari Ghaly.
"Aku pikir, aku sedang bermimpi melihat bidadari," gumam Ghaly
dengan suara seraknya, seraya mengerjapkan mata dan menatap
Tsamara. "Ternyata, bidadarinya memang beneran jatuh dipelukanku."

Tsamara yang gemas dengan reaksi tubuh Ghaly yang sangat


berlebihan hanya karena kecupannya, alhasil mencubit pipi lelaki itu.
Menggoyang bahu lelaki itu untuk bangun tidak membuahkan hasil
sama sekali. Giliran dicium dikit aja, langsung sadar.

"Pindah kamar, yuk. Di sini dingin," kata Tsamara.

"Enggak dingin," Ghaly menggeleng pelan. Dia justru menggeser


tubuhnya untuk benar-benar berada di tepian kursi, lalu detik berikutnya
menarik Tsamara untuk merebahkan tubuh tepat di sampingnya.

"Sayang," keluh Tsamara sebal.


Ghaly memiringkan tubuh, dan menatap wajah Tsamara yang
berhadapan dengannya, perempuan itu berada dalam dekapan kedua
lengannya. "Alta enggak akan terbangun, kan, kalau udah tertidur?"

"Memang kenapa?"

"Karena kalau dia enggak kebangun, dia enggak akan sadar Mamanya
diambil alih sama Papa."

Tsamara mengulas senyuman geli. Jemari tangannya bergerak lincah


dengan mengusap sisi wajah Ghaly. "Aku senang kita berlibur ke sini."

"Honeymoon, Sayang." Ghaly meralat ucapan Tsamara.

"Ah, ya, honeymoon." Tsamara menurut saja ketika Ghaly meralatnya.


"Kamu enggak marah, kan, karena Alta dan Fanny ikut."

Ghaly mengeratkan dekapannya di tubuh Tsamara, membagi


kehangatan bersama. "Sebenarnya udah aku perkirakan dari awal. Dan
sekalipun Alta ditinggal, kamu juga pasti enggak akan tenang."
Tsamara mengangguk-angguk. Sekalipun Alta menurut untuk ditinggal,
Tsamara memang tidak akan tenang. Dia justru enggak bisa menikmati
waktunya sama sekali karena mengkhawatirkan Alta.

"Aku sangat menyayangi Alta, dan juga menyayangimu. Kalian dua laki-
laki yang enggak akan pernah menjadi nomor dua untukku. Karena
kalian sama-sama menempati posisi pertama."

"Oh, Tsa, kamu semakin pandai berucap manis," desah Ghaly lalu
melonggarkan pelukan. Dia mempertemukan tatapannya dengan iris
mata Tsamara yang berpendar terang di tengah temaram. "Aku sangat
ingin menciummu."

"Kamu enggak perlu meminta izin untuk—"

Ucapan Tsamara terhenti karena bibirnya sudah dibungkam oleh ciuman


Ghaly. Ciuman yang lembut dan hangat, seolah begitu berirama. Ada
debar menyenangkan yang mengiringi dada mereka. Dan setiap tarikan
nafasnya seperti sebuah lantunan penuh cinta.

Ketika ciuman itu akhirnya terurai, Tsamara mengulas senyuman, lalu


membiarkan Ghaly mengecupnya singkat, lagi, dan lagi. Hingga lelaki itu
benar-benar memutuskan ciuman dan memeluk Tsamara begitu erat.
"Kita tidur di sini saja sepanjang malam ini," gumam Ghaly lirih. Tidur di
bawah langit malam pulau Bali, ditemani desau angin dari perbukitan
dan hawa dingin yang dibawa dari laut lepas, tentu adalah satu hal
manis yang bisa mereka nikmati.

"Bisa saja, tapi kalau kita kesiangan, dan Alta bangun lebih dulu, siap-
siap vila ini menjadi begitu semarak."

Ghaly tergelak tawa, lalu disusul Tsamara. Untuk terakhir kalinya malam
ini, Ghaly kembali menanamkan ciuman di bibir Tsamara, begitu lembut.

Mereka tahu, seharusnya mereka memang beranjak bangun dan pindah


ke kamar. Namun, dekapan hangat satu sama lain justru mengantarkan
mereka untuk jatuh tertidur saling memeluk hingga pagi menjelang.
Dan satu teriakan di pagi buta, bahkan sebelum matahari menampakkan
dirinya, membuat keduanya terhentak bangun lalu saling memandang
satu sama lain. Putera mereka memang terlalu ekspresif.

"Mama!"

***

You might also like