Kepemimpinan Wanita Dalam Islam
Kepemimpinan Wanita Dalam Islam
Kepemimpinan Wanita Dalam Islam
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
TAHUN 2024
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Segala puji hanya milik Allah Ta’ala yang telah melimpahkan rahmat
dan karunianya kepada kita semua yang mesti disyukuri. Sholawat dan salam semoga selalu
tercurahkan kepada Nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam yang dinantikan syafaatnya di
yaumil qiyamah kelak.
Di dalam makalah ini, penulis mencoba menguraikan tentang apa itu Hermeneutika dan
pandangan beberapa tokoh terhadapnya dan relasinya dengan tafsir Al-Qur’an.
Penulis menyadari bahwa makalah yang disusun ini jauh dari kata sempurna dan banyak
kekurangannya, oleh karena itu diharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca dapat
melengkapi isi dari pada pembahasan makalah ini dikemudian hari.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya Allah menciptakan manusia, baik pria maupun wanita, sematamata
bertujuan untuk mendarmabaktikan dirinya kepada-Nya. Islam datang membawa ajaran yang
egaliter, persamaan, dan tanpa ada diskriminasi antara jenis kelamin yang berbeda sehingga
pria tidak lebih tinggi dari wanita. Dengan demikian, Islam tidak membedakan antara pria
dan wanita, baik dalam hal kedudukan, harkat, martabat, kemampuan, dan kesempatan untuk
berkarya. Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah wanita merupakan bagian integral dari
masyarakat. Secara biologis wanita berbeda dengan pria, tetapi dari segi hak dan kewajiban
sebagai manusia sama. Jadi, keberadaan wanita bukan sekadar pelengkap bagi pria,
melainkan mitra sejajar dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat domestik seperti
rumahtangga maupun public.
Namun demikian, kenyataan yang terjadi di masyarakat seringkali tidak sesuai dengan
pernyataan di atas, di mana masih terjadi diskriminasi dan ketidakadilan terhadap wanita.
Filosofi Jawa bahkan menyebutkan wanita sebagai „konco wingking‟ yang tugasnya hanya
seputar tiga M, yaitu Macak ( berhias diri agar tampil lebih cantik dan menarik demi sang
suami), Masak (bertugas sebagai juru masak untuk semua anggota keluarga), dan Manak
(melahirkan). Anggapan tersebut diperkuat dengan adanya ayatayat al-Qur‟an dan Hadis
Nabi tentang wanita yang dipahami dan ditafsirkan secara bias dari satu sisi kepentingan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keharusan seorang pemimpin?
2. Bagaimana kesetaraan gender dalam islam?
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
perselisihan dan persengketaan. Sedangkan menurut syara‟, kepala Negara atau daerah
diperlukan untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan, juga masalah keagamaan.
Sedangkan untuk membentuk atau melestarikan pemerintahan yang sah, membutuhkan proses
pemilihan dan suksesi. Ada banyak cara yang bisa dilakukan dalam proses penggantian
kepemimpinan. Pada zaman primitive, proses perebutan kekuasaan ditempuh dengan cara
perang fisik dan adu otot. Sehingga, untuk merebut kekuasaan, haruslah jago berperang dan
pandai bertempur. Namun pada era modern, masyarakat lebih memilih metode pemilihan
umum sebagai alternative yang paling rasional dan aman dalam perebutan kekuasaan. Pada
prinsipnya, pemilu adalah cermin dari kedaulatan rakyat, untuk memilih orang terpercaya
untuk menjadi pemimpinnya. Pemilu merupakan suatu keharusan, demi berlangsungnya
pemerintahan untuk mengatur urusan rakyat. Dalam Negara yang demokratis, masih meyakini
bahwa pemilu adalah pesta rakyat yang paling aman dan lebih menjamin keadilan untuk proses
suksesi kepemimpinan dalam suatu Negara atau daerah. Negara atau daerah adalah instrument
kemasyarakatan, sedangkan pemilu adalah instrument kenegaraan, dimana tanpa pemilu, suatu
Negara atau daerah akan mengalami stagnan. Oleh karenanya, pemilu menjadi suatu
keniscayaan. Pemikiran semacam ini, sejalan dengan kaidah fiqhiyyah; ِ “Sesuatu yang menjadi
instrument yang wajib, dimana kewajiban tersebut tidak dapat dilakukan tanpanya, maka
sesuatu itu wajib pula hukumnya” Organisasi yang disebut Negara, di Negara modern ini masih
diyakini sebagai suatu keharusan, sedangkan pemilu adalah instrumennya. Maka, pemilu
menjadi suatu keharusan. Dalam pemilu, yang memiliki hak suara adalah rakyat. Rakyat berhak
untuk menentukan pilihan kepada salah satu calon pemimpin, sesuai dengan hati nuraninya.
Bahkan, rakyat juga berhak untuk tidak menyalurkan aspirasinya (golput) kepada siapapun.
Sebab, golput juga merupakan suatu pilihan. Pilihan untuk golput, bisa jadi Karena faktor
proses pemilu yang tidak dapat dipercaya, atau karena sudah tidak lagi mempercayai
produknya yang akan mewakili dan memimpinnya.
Akan tetapi, siapapun tidak berhak untuk memaksa rakyat untuk menyalurkan
aspirasinya kepada calon tertentu. Sebab, secara undang-undang dan etika politik, tak
seorangpun berwenang untuk memaksanya. Pemilu, akan menjadi “hajat orang banyak” jika
dapat mencerminkan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, memberikan suara kepada salah satu
calon pemimpin bukanlah sebuah kewajiban secara personal menurut islam, namun sebatas
kewajiban secara komunal. Akan tetapi, disaat ini, ketika kita telah larut dalam permainan
politik dan kurang memihak terhadap kepentingan rakyat, sementara diyakini ada salah satu
calon pemimpin yang dipercaya dapat menjadi pemimpin dan membawa perubahan ke arah
6
“pro rakyat”, maka partisipasi politik dan memberikan suara pada saat pemungutan suara
menjadi sebuah kewajiban secara personal.
7
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan di atas mengenai kepemimpinan perempuan dalam
pandangan Islam serta kepemimpinan Megawati Soekarnoputri di Indonesia tahun 2001-
2004, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Kepemimpinan perempuan dalam pandangan Islam masih menjadi kontroversi. Hal
ini disebabkan karena adanya perbedaan pandangan para Ulama atas penafsiran
ayat Al-Qur’an dan hadis nabi. Padahal Kepemimpinan laki-laki tidak dapat
menjamin kesejahteraan rakyat, sebab faktanya penyalahgunaan jabatan politik
untuk korupsi, mempertahankan kekuasaan dan sebagainya masih sering dijumpai
pada pemimpin laki-laki. Begitu juga sebaliknya, hal serupa juga dijumpai pada
kepemimpinan perempuan. Selisih paham antar ulama menyebabkan munculnya
dua kelompok pro-kontra mengenai boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin.
Kelompok yang tidak membolehkan perempuan menjadi pemimpin yaitu: Ibnu
Katsir, Ar-Razi, dan Wahbah Zuhaili. Ketiga tokoh tersebut tidak membolehkan
sama sekali perempuan memimpin dalam jabatan apapun di atas laki-laki.
Kemudian kelompok yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin yaitu:
Muhammad Sayid Thanthawi, Yusuf Al-Qaradawi, dan Ali Jumah Muhammad
Abdul Wahab. Ketiga tokoh tersebut membolehkan perempuan menduduki jabatan
apapun termasuk kepala negara, hakim, anggota legislatif, Menteri dan sebagainya.
Akan tetapi perempuan ketika menjadi pemimpin tidak boleh meninggalkan
tanggung jawabnya sebagai sejatinya perempuan yakni: sebagai seorang istri dan
ibu. Di sisi lain, syariah dan etika Islam juga telah mengatur bagaimana seharusnya
perempuan dapat menjadi pemimpin atau bekerja di luar rumah. Dengan demikian,
selama perempuan masih dalam koridor syariat dan etika tersebut, maka
perempuan berhak menjadi pemimpin atau menduduki jabatan publik. Terkecuali,
perempuan tidak boleh menduduki jabatan Syaikh Al-Azhar karena jabatan ini
khusus bagi laki-laki saja. Sebab ia berkewajiban menjadi imam shalat yang secara
syariah tidak boleh bagi perempuan.
2. Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri merupakan gambaran nyata bahwa
perempuan mampu dan lihai dalam memimpin. 54 Megawati telah berhasil
8
membawa PDIP memenangkan pemilu pada 1999. Ia juga berhasil menjadi
presiden perempuan pertama Indonesia pada masa jabatan 2001-2004. Banyak
capaian atau keberhasilan Megawati selama menjadi presiden. Meliputi bidang
ekonomi, politik, sosial, lingkungan dan militer. Tentunya, capaian ini tidak serta
merta tanpa kendala atau hambatan. Kepemimpinan Megawati telah membawa
perubahan besar terhadap perjalanan demokrasi Bangsa Indonesia.
3. Pandangan Islam tentang kepemimpinan Megawati Soekarnoputri tahun 2001-2004
dapat dilihat dalam prinsip kepemimpinan yang terdapat pada Al-Qur’an. Pada
dasarnya, Islam telah mengatur sedemikian rupa agar seorang pemimpin dapat
membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi umat. Tanpa melihat seorang pemimpin
itu berasal dari laki-laki ataupun perempuan. Ada empat prinsip yang harus
dimiliki oleh seorang pemimpin yakni prinsip tanggung jawab, tauhid,
musyawarah, dan Adil. Keempat prinsip tersebut harus dipenuhi oleh setiap
pemimpin, baik pemimpin laki-laki dan juga pemimpin perempuan. Di sisi lain,
gaya kepemimpinan Islam dapat diukur dalam beberapa indikator, meliputi:
mencintai kebenaran, menjaga amanah, ikhlas dalam mengabdi, baik dalam
pergaulan dan kebijaksanaan. Indikator kepemimpinan di atas dapat digunakan
untuk melihat seberapa baik atau berhasil seorang pemimpin dalam memimpin
rakyatnya (kelompok). Termasuk menilai kepemimpinan seorang bupati, wali kota,
gubernur, ketua legislatif, presiden dan sebagainya. Pemimpin dalam pandangan
Islam sendiri, tidak pernah secara spesifik menuntut keharusan laki-laki ataupun
perempuan tanpa bermaksud menghapus perdebatan panjang dari berbagai tokoh
ulama mengenai kriteria pemimpin antara laki-laki dan perempuan. Sepatutnya,
selama seorang pemimpin dapat menjalankan amanah yang diberikan kepadanya
dengan sebaik mungkin, termasuk menyejahterakan rakyat dan berbuat adil, maka
ia merupakan pemimpin sejati. Hal ini juga termasuk perihal kepemimpinan
Megawati Soekarnoputri. Sosok Megawati Soekarnoputri dalam menempati
jabatan sebagai pemimpin tersebut merupakan bagian dari kepemimpinan di sekitar
kita yang dapat dijadikan pelajaran hidup.
9
DAFTAR PUSTAKA
Al Munawar, Said Agil Husin, 2003, Fikih Hubungan Antar Agama, Jakarta: Ciputat
Press.2002, Alquran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press. Yasid,
Abu, 2005, Fiqh Today, Fatwa Tradisionalis untuk Orang Modern, Fikih Politik Jakarta:
Erlangga. Pulungan,J. Suyuthi, 2002, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada. Makarao, Nurul Ramadhani, 2009, Gender dalam bidang
kesehatan, Bandung: Alfabeta. Haryono, Anwar, 1987, Hukum Islam Keluasan dan
keadilannya, Jakarta: PT Midas Surya Grafindo
10
11