A String Skyzafnia

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 114

1. Andreas Ganti Judul?

2. Prolog + Introducing & Warning


3. 1 · Bad Bitch
4. 2 · Big Reputations
5. 3 · First Hickey
6. 4 · Caught Up
7. 5 · Bione Carpenter
8. 6 · Don't Wanna Fall in Love
9. 7 · Please, Stop
10. 8 · Can I Kiss You?
11. 9 · Wild Things
12. 10 · Big Enemy
13. 11 · Miss Me?
14. 12 · La La Lost You
15. 13 · Dangerous Touch
16. 14 · He Wanted A Kiss
17. 15 · Fears
18. 16 · Good Shit
19. 17 · Can We Fucking Do It?
20. 18 · Friends with Benefits
21. 19 · Forget Me Too
22. 20 · And I Still Want You
23. 21 · Bad Boy, Good Lips
24. 22 · Favorite Things
25. 23 · The New Romantics
26. 24 · Love Bite
27. 25 · I Just Had S
28. 26 · Love Me Harder
29. 27 · Broken Angels
30. 28 · Big Conversation
31. 29 · He's A Good Fighter
32. 30 · I Wanna
33. 31 · I Didn't Eat Her
34. 32 · Problem Solved, Game Over
35. 33 · Andreas Van Antonius
36. 34 · Migraine and Erection
37. 35 · Bathroom
38. Epilog
39. Twitter Andreas
40. VOTE COVER
41. REVEAL HARGA
Andreas Ganti Judul?
Halo, temen-temen. Masih ada yang suka baca ulang Aa
nggak? Oh ya, dari judul chapter udah jelas bukan hal apa
yang bakal aku sampaikan? Dengan ringan hati, setelah
berpikir cukup jauh dan panjang, aku akhirnya memutuskan
untuk mengganti judul cerita ini yang awalnya Hey, Shawty
menjadi A-String.

Kenapa? Pasti adalah pertanyaan yang muncul di kepala


temen-temen. Jujur aja, di cerita ini banyak banget yang
bener-bener mau aku perbaiki, cerita ini juga yang paling
bikin aku sedikit minder karena ngerasa segala sesuatunya
sangat cringe. Jadi pertama, aku lakukan pergantian judul.
Untuk urusan terbit atau nggak, aku belum tau, tapi hal
yang paling pasti adalah aku bakalan coba ajuin cerita ini ke
suatu platform yang berbeda. Dan ya, pastinya di sana udah
versi baru yang bener-bener terbaiknya. Naskah masih aku
kerjain dikit-dikit, mohon doa-nya ya!

Sincerely,
Sky.
Prolog + Introducing &
Warning
VOTE DAN SPAM KOMENTAR

“AYAH!”

Pekikan Dara menyambut suara petir yang menggelegar,


angin kencang melalui cewek itu sesaat. Kemudian gerimis
mulai menghampiri.

Sekolah sudah sepi, Dara tidak bisa naik kendaraan online


karena ponselnya kehabisan daya. Dia juga tidak bisa naik
kendaraan umum karena tidak ada yang melewati
sekolahnya. Tangan Dara masih menutup telinga, matanya
terpejam erat menghindari kilatan mengerikan dari langit.

Sialnya lagi, Dara lupa membawa earphone untuk menutup


telinga. Hanya berbekal hoodie yang akan melindungi Dara
dari gerimis di bawah pohon rindang itu. Tangannya
gemetar, bahkan Dara ingin segera memegangi lutut karena
merasa sangat lemas, dan ingin jatuh.

Kilatan mengerikan melintasi mata Dara lagi, cewek itu


menggigit bibir kali ini, mencegah teriakannya. Kemudian
suara klakson mobil membuat Dara terperanjat, dengan
napas yang masih berantakan dia mendongak. Mendapati
mobil hitam mengkilap berhenti di depannya.

Ternyata itu bukan kilat, tapi lampu mobil. Pintu mobil hitam
terbuka dari dalam, dan tanpa berpikir ulang Dara segera
masuk selagi hujan belum sangat deras. Dia menepuk-
nepuk lengan hoodie, menghilangkan titik-titik air hujan dari
sana.

Dara memperhatikan seseorang di balik kemudi, terpaku


pada wajah cowok itu beberapa detik sebelum melihat
kemeja sekolah yang cowok itu kenakan. Dara membelalak
terkejut, lalu diam-diam menghela napas lega karena
mereka satu sekolah.

Cowok itu menyetir dengan satu tangan, dan itu sangat


menarik sampai Dara merasa bisa diam berjam-jam hanya
dengan memperhatikannya. Cara cowok itu berkedip tenang
menatap jalanan, rambutnya yang hitam legam, ada
sesuatu yang magis dari auranya. Dara merasakan tarikan
kuat untuk tetap diam menatap cowok itu, mencari kata
yang tepat untuk mendeskripsikan bagaimana cowok itu
terlihat.

Api, pikir Dara. Cowok itu terlihat seperti kobaran api,


seolah dengan menyentuhnya akan membuat Dara terbakar
hangus.

“Alamat lo?” tanya cowok itu datar.

Dara terperanjat. “Taman Sari,” jawab Dara cepat.

“Hey, Shawty” adalah cerita ke tiga aku yang genre-


nya teen romance. Masih dengan rating 15+ ya!

Shawty: Bahasa slang (bahasa gaul) yang digunakan


cowok-cowok sebagai panggilan kesayangan buat
ceweknya.
Cerita ini terinspirasi dari lagu dan MV Bad Things -
Machine Gun Kelly ft. Camila Cabello
Kalian bisa cek MV-nya di YT, karena bakal ada
beberapa tempat dan adegan yang mirip, hehehe.
Liriknya juga menginspirasi aku, jadi nanti bakal ada
beberapa narasi yang bersangkutan sama lagu itu.

Playlist Hey, Shawty:

Content warning(s): Alcohol, drug, smoking, mature


humor, harsh word, sensitive topic, kissing, etc.

Spam next dulu, dong (⊃。•́‿•̀。)⊃ :


1 · Bad Bitch
VOTE DAN SPAM KOMENTAR YA

“Dara Shefania.”

Dara memasang wajah datar, tampak tenang karena sudah


yakin tidak ada masalah dalam kehadirannya di sekolah.
Guru yang satu itu memang selalu menyebutkan data
absensi setiap akhir bulan, dan Dara sudah tahu bahwa dia
tidak akan punya satu pun absen, sakit, atau izin. Dara
selalu hadir di sekolah apa pun keadaannya, walaupun
hujan badai, dia tetap hadir.

“Kamu absen satu kali di mata pelajaran saya, minggu ke


dua bulan ini.”

Dara melotot, tangannya yang semula terlipat di dada, jadi


mendorong tubuhnya untuk berdiri, bertumpu pada meja.
“Kok bisa, Miss?” tanya cewek rambut sebahu itu kaget.
“Saya hadir terus, kok!”

Wanita muda itu menurunkan kacamata di hidung


mancungnya, menatap Dara tak kalah datar. “Saya nggak
tahu, Dara. Kamu absen di hari itu, dan saya nggak mungkin
salah,” ucapnya tenang, tapi menusuk.

Tidak terima karena yakin tak pernah absen, Dara berdiri


tegak dan melipat tangan di dada. Kelas hening dan
suasana jadi mencekam. Dara yang bersidekap sambil
berdiri dengan tatapan menghunus itu adalah Dara si
monster rubah betina. Sudut bibir yang agak melengkung
ke bawah, hidung mancung, alis agak menjorok ke dalam,
dan matanya yang sayu. Dara terkenal ketus dan sombong.

“Miss Nova bisa tanya sama setiap murid yang punya mata
di kelas ini. Saya selalu hadir di sekolah, meskipun saya
sakit.” Kalimat Dara meruncing, ujungnya seperti mata
pisau yang baru diasah. Menusuk tepat sasaran. “Sebutin
tanggal berapa saya absen,” lanjutnya dingin.

Miss Nova berdehem, masih tidak ingin kalah. “Tujuh,


tanggal tujuh,” kata Miss Nova tenang dan meyakinkan.

Dara mendengkus. “Oke, saya terlambat tanggal tujuh. Di


luar hujan deras, meskipun seragam saya setengah basah,
saya tetep masuk sebelum pukul sembilan. Jadi saya rasa,
Miss nggak bisa seenaknya bikin saya absen di mata
pelajaran Miss Nova.” Dara menjelaskan rinci, sebenarnya
sudah ingin menyerang wanita itu, tapi berhubung Dara
sangat menghormati guru maka dia menahan diri.

Dara ingat jelas kapan saja dia terlambat masuk kelas


karena hujan yang sialannya sedang dalam curah tinggi
bulan ini. Sekolah menentukan absen untuk murid yang
masuk sekolah lewat dari pukul sembilan, dan saat itu Dara
masuk pukul delapan lebih lima puluh menit. Dara Shefania
menjunjung pendidikan di atas segalanya, dan absen ke
sekolah adalah hal yang tidak mungkin dia lakukan.

“Saya tetap nggak akan ngubah ini, Dara. Yang saya tahu,
kamu terlambat, dan absensi ini akan segera saya
kumpulkan ke guru piket.”

Sialan, pikir Dara kesal. Cewek cantik bertampang bringas


itu sudah membuka mulut hendak protes. Dara ingin tanda
A itu diubah jadi check list yang artinya Dara hadir di
sekolah hari itu, tanggal tujuh, pukul delapan lebih lima
puluh menit.
“Dara, udahlah,” celetuk Tian memotong kalimat tajam
yang hampir Dara keluarkan lagi.

Kali ini Dara benar-benar diam, cewek itu mengetatkan


rahang, meredam kalimatnya yang sudah di ujung bibir.
Dara tidak suka dilarang dan diberi peraturan, tapi selagi ini
demi nilai dan pendidikan, sekolah dan prestasi, harga diri
dan nama baik, Dara mengalah. Cewek itu mengalahkan
egonya. Dara duduk setelah mendengkus kasar.

Zulhetian De Rijcke menepuk-nepuk bahu Dara dari


belakang, menyalurkan kesabaran pada cewek jangkung itu.
Dara mendesah pelan, kalau Tian tidak memperingati cewek
itu tadi, Dara pasti akan diberi nilai sikap yang lebih jelek
lagi. Semester lalu, Dara mendapat nilai C untuk sikapnya,
nilai itu dari Miss Nova sementara dengan guru lain Dara
baik-baik saja. Dara kesal, merasa tidak pernah membuat
masalah apa pun, merasa tidak pernah memaki siapa pun
saat mata pelajaran berlangsung di kelas.

Lalu di mana letak kesalahan Dara? Kenapa dia bisa dapat


nilai C?

Itu adalah mimpi buruk terburuk yang sayangnya adalah


kenyataan. Seumur hidup, Dara tidak pernah mendapat nilai
C untuk sikap maupun akademik. Sial, kalau begitu Dara
harus mulai bertopeng sejak detik ini. Apa pun yang
dikatakan dan diperintahkan Miss Nova, Dara harus
menurut.

Jam pelajaran berakhir, Dara tidak mengeluarkan sepatah


kata pun membalas ucapan “Selamat siang” dari Miss Nova
sebagai salam penutup sebelum ke luar kelas. Dara
memasukkan buku-bukunya ke tas dengan gerakan agak
kasar, kemudian Tian tiba-tiba merangkul cewek itu.
“Jangan marah-marah, Bun. Ntar nilai lo makin jelek,”
peringat Tian jenaka.

“Ban Bun Ban Bun, buntalan maksud lo?” tanya Dara


sarkas. Dengan bersungut-sungut, cewek itu menolak
dirangkul Tian.

“Tenang, sabarin aja,” kata Mia mengimbuhi. Cewek itu


mendekat, mengiringi Dara dan Tian menuju kantin untuk
makan siang. “Menurut gue .., menurut gue nih, ya, jangan
emosi dulu. Miss Nova itu nggak suka sama nada bicara lo,
Dara,” ujar Mia pelan-pelan.

Dara mendecih kesal, tapi jadi memikirkan pernyataan Mia


diam-diam. Miss Nova adalah salah satu guru lajang yang
usianya masih 20-an, usia dewasa muda. Cara bicaranya
anggun, cenderung dengan nada rendah. Tidak seperti Dara
yang tegas dan lantang.

“Cewek itu kalo ngomong emang mulutnya kayak gak niat,”


celetuk Mia. “Maksud gue, liat deh, dia gak bener-bener
buka mulutnya waktu ngomong. Kayak males banget, gitu.
Ngeselin, ‘kan?”

“Yang penting cantik,” sahut Tian sambil menyeringai.

“Ch, dasar bajingan,” balas Mia kesal. Cewek rambut


pendek itu mendelik pada Tian yang berlari kecil ke arah
kumpulan meja kantin di sudut ruangan.

Dara memperhatikan Tian, lalu memperhatikan arah tujuan


cowok itu—meja penuh cowok-cowok bertampang kurang
ajar. Hanya beberapa detik, kemudian Dara segera
melengos mengikuti Mia mencari meja kosong untuk makan
siang.


Awalnya Dara hanya berniat memasukkan baju-baju
Annastasia ke lemari pakaian adiknya itu. Sudah sangat
sore dan Annastasia tidak juga sampai di rumah. Akhir-akhir
ini cewek itu memang selalu pulang terlambat, dan Dara
merasa sedikit tidak adil karena Annastasia bisa melakukan
apa pun, tapi tidak dengan Dara.

Rasa penasaran Dara melonjak-lonjak ketika dia melihat


jaket kulit hitam di lemari Annastasia. Dara tidak pernah
melihat Annastasia memakainya, tapi itu terlihat
mencurigakan dengan lambang Phoenix yang sedang
mengibarkan sayap di bagian lengan kiri jaket. Lalu ada
garis melingkari lengan di bawah lambang itu, dan di sana
terdapat tulisan kecil-kecil berupa: From the ashes we will
rise.

Dara ingat Mia pernah menyebut sesuatu tentang Phoenix,


tapi dulu dia tidak pernah tertarik. Setelah memotret bagian
lengan jaket, Dara segera mengirim foto kepada Mia. Tidak
ingin ketahuan karena khawatir Annastasia akan segera
pulang, Dara buru-buru meninggalkan kamar itu dan masuk
ke kamarnya sendiri.

“Ha—”

“DEMI APA ITU JAKETNYA SIAPA?” Pekikan Mia memutus


kalimat Dara dalam sambungan telepon.

Dara mendecak kesal. “Santai bisa?” jawabnya setengah


bertanya. “Punya Anna,” kata Dara kemudian.

Terdengar suara seperti tarikan napas kaget di sana, dan


Mia jadi berbisik, “Itu geng yang dulu pernah gue bilang!
Gue pikir, Phoenix cuma mitos anak-anak doang!”

“Jadi itu semacam geng motor atau?” Dara bertanya


penasaran, sebelumnya dia bahkan tidak peduli pada
urusan Anna. Tapi kali ini, yang menarik Dara untuk mencari
informasi adalah jaket itu sendiri.

Phoenix adalah hewan mitos yang paling Dara kagumi,


karena kekuatannya yang bertambah berkali lipat setiap kali
burung itu hidup kembali. Dan untuk hidup kembali, Phoenix
harus menjadi abu.

“Gue gak yakin,” bisik Mia. “Ada yang bilang itu geng
motor, ada juga yang bilang itu cuma sekumpulan anak-
anak berpengaruh di sekolah.”

“Oke, kenapa lo bisik-bisik?” Dara mengernyit kebingungan.


Padahal tidak ada suara lain yang Dara dengar selain
bisikan Mia dan suara napas cewek itu, jadi dia pikir di sana
tidak ada siapa pun dan Mia tidak perlu berbisik.

Mia terkekeh pelan. “Lupa,” ujarnya kemudian tertawa lagi.


“Abis katanya informasi apa pun tentang mereka gak boleh
disebarluaskan, gitu.”

“Oh.” Dara melihat ke bawah dari balkon kamarnya, melihat


Annastasia masuk gerbang rumah setelah sebuah motor
ninja pergi. “Apa tujuan mereka? Kenapa sok misterius?”
tanyanya lagi.

“Entahlah.” Mia mendesah frustrasi. “Gue gak punya


banyak info soal mereka. Gimana kalo ... lo tanya aja ke ratu
gosip sekolah? Itu tuh, yang rambutnya abu-abu.”

“Bad idea,” ucap Dara sarkas. “Lo pikir gue tertarik?”


lanjutnya kesal. “Gue cuma nanya.”

Mia cekikikan. “Well, Dara. Gue mungkin gak tau keseharian


lo, tapi jangan coba-coba bohong karna gue tetep bakal tau.
Kenapa juga lo nanya kalo lo nggak tertarik, duh?”
Dara memutar mata malas. “Gue harus belajar. Bye, Mia,”
tuturnya datar.

“Nyenyenye, kalo udah ketahuan bohong suka gitu. Dasar


—”

Sambungan terputus dari pihak Dara, dan cewek itu


melempar ponsel ke ranjang setelah memutus sambungan
telepon. Layar ponsel menyala lagi, samar-samar Dara bisa
melihat bubble chat dengan nama Mia, dan ada pesan-
pesan kotor berhuruf kapital. Mia pasti mengumpati Dara.

Mendengar pintu diketuk, Dara segera membukakan pintu


khawatir itu Ibu. Namun, dia hanya menemukan Annastasia
si pirang yang lebih kecil darinya. Dara menunduk, melipat
tangan di dada, bersandar pada kusen pintu, lalu menatap
datar pada Annastasia.

“Kata Ibu, lo yang masukin baju-baju gue?” tanya


Annastasia dengan suaranya yang lemah lembut. Dara
mengangguk singkat. “Well, makasih, tapi lo gak perlu
lakuin itu lagi. Gue gak suka ada orang asing di teritori
gue,” ujar Annastasia dengan senyum manis.

Dara mendengkus sebal. “Well, bilang sama Ibu lo, jangan


suruh gue lakuin itu lagi,” sahut Dara mengikuti gaya bicara
Annastasia.

Annastasia mengangguk pelan. “Makasih, ya, Kakak.”


Setelah berkata demikian, Annastasia berbalik
meninggalkan radar Dara, dan kembali ke kamar.

Dara mendecih, kemudian menutup pintu kamarnya setelah


mengikuti punggung Annastasia dengan tatapan tajam.


Spam next, please :
2 · Big Reputations
VOTE DAN SPAM KOMENTAR YA

Dara benar-benar tidak tertarik tentang Phoenix, dia hanya


tidak sengaja memilih tempat duduk di kantin yang
berdekatan dengan para ratu gosip. Dia tidak sungguhan
berniat menguping, tapi topik yang para cewek itu pilih
terdengar cukup menarik.

“Lo pernah liat Andreas lagi sejak kasus terakhirnya?” tanya


si cewek dengan tindik di alis.

“Nggak,” jawab cewek rambut abu-abu. “Terakhir yang gue


tau cuma dia punya cewek.”

Cewek bertindik menyeru pelan, seolah dia juga tahu


tentang itu. “Yang jurusan Biologi, ‘kan?” Dia bertanya
antusias dan sangat ingin tahu.

Cewek rambut abu-abu mengangguk santai. “Agak kecil gitu


orangnya, yang suka tebar senyum sok ramah.”

Bukankah jadi manusia itu menyebalkan? Pikir Dara. Pelit


senyum salah, murah senyum juga salah. Tapi Dara memilih
untuk terlihat buruk alih-alih baik, karena setiap orang yang
melihat perlakuan baik seseorang pasti akan
mengekspektasikan hal-hal baik lainnya. Dara tidak bisa
seperti itu, tidak bisa bersikap baik pada semua orang
hanya agar disenangi.

“Kasus terakhir, kecanduan alkohol sama narkoba, ya?”


Dara hampir tersedak. Dia segera minum frappe warna
ungu dari gelasnya, melancarkan tenggorokan yang tiba-
tiba terasa kering dan sesak. Mia hanya melihat Dara
dengan tampang polos, seolah reaksi Dara berlebihan soal
kasus kecanduan alkohol, dan narkoba.

Seumur hidup, Dara hanya mengetahui kasus-kasus seperti


itu melalui televisi, berita para selebritas yang terjerat
narkoba. Sekarang Dara mendengarnya langsung, kasus itu
terjadi di sekitar Dara, dan rasanya jadi sangat dekat juga
nyata.

“Dia bener-bener ilang sekarang,” imbuh si rambut abu-abu.


“Lagian kalo dia masih di sini, kenapa juga harus
disembunyiin?”

Cewek bertindik mengangguk setuju. “Gue udah bosen liat


tampang-tampang cowok normal,” ujarnya sambil cekikikan.

Cewek rambut abu-abu turut tertawa. “Mizuki tolol,”


umpatnya pada cewek bertindik itu. “Andreas juga straight
kali.”

“Bukan gitu maksud gue, Briony Bego.” Mizuki—cewek


dengan tindik di alis—memelototi Briony—si rambut abu-
abu. “Bandingin sendiri gimana Andreas sama cowok-cowok
lain di sini.”

“Well, sama-sama kurang ajar.” Briony mengedik acuh tak


acuh.

“Tapi mereka gak pernah hancurin sistem keamanan di


sekolah, sejelek-jeleknya sikap Hanniel yang tiap hari bawa
rokok ke sekolah, lebih jelek lagi sikap Andreas sama
tempat ini.”
Briony memutar mata. “Jangan bawa-bawa Hanniel,”
katanya kesal. “Mantan adalah mantan, jangan sebut dia di
depan gue.”

Mizuki terkekeh sinis. “Lo denger soal Andreas yang bawa


narkoba ke pelabuhan?” tanya Mizuki dalam nada rendah.
“Dia pindah-pindah taksi supaya nggak ketahuan, dan
berakhir di pelabuhan, sendirian. Selain itu, mata siapa
yang gak silau liat mukanya? Andreas itu terlalu ganteng,
dan gue nggak percaya dia manusia normal dengan semua
itu.”

Apakah hanya Dara yang tidak mengenal Andreas? Kenapa


Mia tidak terkejut mendengar pembicaraan Mizuki dan
Briony? Dara mungkin sudah terlalu tenggelam dalam
pelajaran dan prestasi, fokus pada reputasinya sendiri.
Sampai-sampai dia tidak pernah tahu bahwa seseorang
yang mungkin pernah masuk penjara remaja adalah salah
satu murid di sekolah yang sama.

“Oke-oke, lo bener soal itu.” Briony mengalah. “Gara-gara


Andreas lenyap, Black Panther juga jadi gak pernah
kedengeran lagi kabarnya.”

“Black Panther masih idup?” tanya Mizuki dengan ekspresi


tak berperikemanusiaan.

“Anak-anak pernah liat mereka beberapa kali, katanya


masih sering turun ke lintasan. Tapi gue gak liat Andreas
waktu itu.”

“Harusnya dia gak perlu disembunyiin,” tutur Mizuki. “Mau


sejelek apa pun sikap anak itu, toh nyatanya pihak sekolah
masih manfaatin dia, ‘kan?”

Briony sekali lagi mengangguk setuju. “Lagian kabar soal


dia sekarang agak bentrok sama berita tentang cewek di
jurusan Matematika.”

Oh, itu kelas Dara. Dan sialnya, Dara bahkan tidak tahu apa
yang sedang ‘hangat’ dengan ‘cewek di jurusan
Matematika’. Apakah Dara separah itu? Dia ketinggalan
banyak informasi soal ruang lingkup sosial yang satu ini.
Dara memang bukan seseorang yang akan duduk berjam-
jam dan menceritakan banyak hal pada orang lain, karena
orang lain pasti tidak akan mengerti cara pikir Dara.

“Oh, Dara?”

“Iya, siapa lagi cewek gila yang ada di jurusan Matematika


selain Dara Shefania?”

Sepertinya tidak salah kalau Dara tersedak kali ini. Tapi


untung saja Mizuki dan Briony terlalu tak acuh, mereka
sampai tidak peduli bahwa objek pembicaraan mereka ada
di meja sebelah.

“Kenapa lagi dia? Dapet nilai A?” tanya Mizuki seolah bosan
dengan itu.

Briony mendengkus. “Kali ini soal kelas tambahannya.”

Dara menarik napas dalam, menahannya beberapa saat


sebelum mengembuskan keluar dari paru-paru. Apa yang
salah dengan Club Modern Dance? Apakah para koreografer
diam-diam menggosipkan Dara? Padahal mereka selalu
bilang gerakan Dara bagus dan dia mudah mengikuti semua
koreo.

“Kata anak-anak, Kak Draven suka sama cewek itu.”


Dara membenci kejutan dan segala hal yang datang
mendadak. Seperti hujan sore itu. Dia tidak mempersiapkan
payung dan earphone, jadi petir yang sangat keras
sekarang rasanya bisa membunuh Dara. Jantungnya
berdetak lebih cepat dari normal, apa lagi setiap kali petir
menggelegar seolah seseorang sedang membanting
sesuatu ke lantai. Tapi ini adalah sesuatu yang sangat
besar, mungkin seperti palu Dewa Thor.

“Tuhan, jangan gede-gede petirnya, takut,” Dara berbisik


dengan tangan terpaut di dada.

Hari ini entah sudah yang ke berapa ratus kalinya Dara


tidak bisa pulang karena hujan deras. Dia duduk sendirian di
salah satu kursi panjang di lorong lantai dasar bangunan
utama—yang menghadap ke utara. Perasaan Dara mulai
was-was karena meskipun lampu hidup di sepanjang lorong,
tapi suasana tetap gulita.

Punggung Dara menegap, napasnya tertahan beberapa


saat. Dara yakin ada sesuatu di belakangnya, entah apa tapi
harusnya Dara sendirian di sini. Sesuatu itu mungkin
berasal dari jendela di belakang Dara, tapi bukankah
seharusnya jendela itu terkunci?

Apakah itu manusia?

Dara menutup wajah dengan tangannya, dia benci merasa


takut. Setidaknya dia sendirian, jadi tidak perlu malu pada
siapa pun. Dara tidak pernah memperlihatkan sisi penakut
ini pada siapa pun, termasuk Ibu.

“Takut?”

“JANGAN GANGGU GUE, IBLIS!” Dara memekik lantang,


kemudian petir menyambutnya tak ingin kalah. Tangan Dara
yang menutup wajah jadi bergetar.
Sesuatu itu jelas sedang mendengkus, Dara bisa
mendengarnya. Tapi kemudian Dara berhenti menutup
wajah, karena angin yang menerpa baru saja membawa
aroma campuran vanilla dan caramel. Dara yakin iblis tidak
punya aroma seperti itu.

Dara menyipit pada cowok di sampingnya, kemudian segera


bergeser menjauh karena tidak ada jarak di sana. Tatapan
Dara meneliti penampilan cowok itu, dia bersidekap dengan
ekspresi tak menyenangkan.

Cowok itu sudah pasti sekolah di sini. Dia menggunakan


kemeja lengan panjang, rambutnya hitam dan agak tak
karuan karena baru saja diacak-acak. Dara sekali lagi
menyipit, mengenali cowok itu, tapi tidak tahu kapan
mereka pernah bertemu.

“Manusia?” tanya Dara sinis.

Cowok itu menatap Dara, kemudian meneliti wajah cewek


itu dengan tatapan datar. “Mau bukti?” jawabnya setengah
bertanya.

Nada bicara cowok itu sangat datar sampai-sampai dengan


mendengarnya saja bisa membuat Dara kesal. Dara
mendecih sinis. Dia tidak yakin dengan siapa dirinya bicara
sekarang, yang jelas cowok itu terlalu tidak wajar untuk jadi
manusia. Wajahnya, ketampanan cowok itu tidak
manusiawi.

“Lo gak liat CCTV?!” pekik Dara ketika cowok itu tahu-tahu
sudah membakar rokok yang terapit di bibir.

Cowok itu tidak mengindahkan pekikan Dara, dia justru


menghisap rokoknya dalam. Lalu tiba-tiba cowok itu
mendongak, menatap CCTV di lorong dengan raut datar.
Tatapannya turun pada Dara. “Liat,” jawab cowok itu polos.
Maksud Dara, harusnya cowok itu tidak merokok
sembarangan karena Dara mungkin akan terseret setelah
pihak sekolah melihat rekaman CCTV sore ini. Dara mungkin
akan dikira mulai nakal dan ingin coba-coba merokok,
padahal dia hanya didatangi cowok tidak jelas itu.

Dara merengut, dia sudah berdiri untuk segera pergi. Dara


ingin berpindah kursi karena tidak memungkinkan untuk
segera pulang, hujan masih sangat deras. Dia harus
meninggalkan cowok itu atau akan segera dapat masalah.

Entah kenapa, tapi duduk di samping cowok itu tadi terasa


seperti bersama dosa besar.

Dara terperanjat karena yang terjadi tidak sesuai rencana.


Harusnya dia bisa pergi tanpa gangguan. Tapi entah sejak
kapan, dia sudah duduk di salah satu kaki cowok itu dengan
posisi menyamping. Apakah itu hipnotis? Karena Dara tidak
sadar kapan dia ditarik.

“Jangan cari-cari masalah, Brengsek!” Dara berseru sampai


suaranya menggema di lorong.

“Sshh, jangan berisik,” ucap cowok itu. “Gue bakal nutup


mulut lo pake apa pun.”

Ancaman yang bagus. Dara tahu banyak hal yang bisa


digunakan untuk menutup mulutnya, dan entah bagaimana
itu membuat dia memerah. Dara seperti sebuah pajangan
yang terpaku di dinding, pelukan cowok itu di pinggangnya
terlalu kuat sehingga Dara tak bisa melawan untuk bangkit.

Dara tidak tahu harus bergerak ke mana, tangan cowok itu


yang memegang rokok ada di belakang. Jika Dara bergerak,
mungkin saja cowok itu akan melukai Dara dengan ujung
rokoknya. Tapi posisi ini membuat Dara tidak nyaman,
napasnya putus-putus dan sangat cepat.
Dara kehilangan kendali atas dirinya, dia bahkan lagi-lagi
terperanjat saat cowok itu melakukan sesuatu. Dara
menatap mata cowok itu; di sana adalah tempat yang
sangat gelap. Biologi tidak pernah menjelaskan bahwa mata
seseorang bisa segelap mata cowok itu.

Cowok itu menarik dagu Dara ke bawah dengan ibu jari,


kemudian meniupkan asap ke dalam mulut Dara. Cewek itu
tersedak, dan selagi Dara terbatuk yang cowok itu lakukan
justru dengan tenang menghirup udara di sekitar leher
Dara.

“Apa lo mau bunuh gue?!” pekik Dara bersungut-sungut.

Masih tanpa ekspresi dan tanggapan, cowok itu


memperhatikan wajah Dara lagi. Meneliti mata Dara,
kemudian bibirnya, naik kembali ke mata. Gerak mata
cowok itu bahkan tidak wajar, terlalu mulus untuk gerak
mata manusia normal.

“Hei, Dara. Long time no see,” bisik cowok itu di telinga


Dara. “Ini gue.”

Alis Dara berkerut, dan dia jadi sedikit memundurkan


kepala, melihat cowok itu dari jarak yang sedikit lebih jauh.
“Siapa lo sebenernya?” tanya cewek itu bingung.

“Andreas.”


Bang Andreas ;)

Oh iya, mau menyampaikan sesuatu.

Cerita ini FIKSI, dan SEMUA PERATURAN di dalamnya


adalah KARANGAN aku sendiri. Termasuk peraturan
sekolah, tapi aku berusaha supaya tidak cacat logika.

Spam next:
3 · First Hickey
VOTE DAN SPAM KOMENTAR

Ini hal buruk. Dara duduk di pangkuan Andreas beberapa


jam sampai hujan reda karena cowok itu bahkan tidak
membiarkannya pergi. Mereka diliputi hening, dan itu
sangat mencekam karena Dara yakin Andreas yang ini
adalah Andreas yang dibicarakan Mizuki dan Briony.

Saat tangan Andreas beralih dari pinggang Dara, cewek itu


spontan berdiri. Andreas meraih tas Dara, lalu memegangi
tangan cewek itu, menariknya keluar dari lorong.

“Lepasin, lepasin, lepasin!” Dara berusaha menahan


kakinya, tapi itu membuat dia terseret karena Andreas
bahkan tidak berhenti. Dara ingin menarik satu per satu
jemari Andreas agar berhenti memeganginya, tapi itu juga
tidak berhasil.

Dara menghela napas frustrasi, dia berdiri diam di depan


pintu mobil hitam mengkilap yang lagi-lagi terlihat familiar.
Tatapan Dara pergi pada Andreas yang baru saja menutup
pintu belakang setelah memasukkan tas Dara, cowok itu
memutar ke belakang mobil dan masuk ke kursi depan di
balik kemudi.

Kemudian saat pintu di depannya terbuka dari dalam, Dara


terkesiap, matanya melebar terkejut karena mengingat
sesuatu. Sudah lebih dari satu tahun, tapi Dara ingat mobil
ini, dan cowok itu adalah cowok yang sama dengan cowok
beraura seperti api. Andreas adalah cowok yang memberi
Dara tumpangan saat itu.

Dara segera masuk karena khawatir akan ada hujan


susulan, di dalam mobil hanya ada aroma Andreas;
campuran vanilla dan caramel. Andreas masih
menggunakan cara menyetir yang sama; dengan satu
tangan. Dara memperhatikan itu selagi pikirannya
berperang, setengah yakin Andreas itu orang baik, setengah
yakin Andreas juga adalah sumber masalah.

“Anter gue ke Taman Sa—”

“Masih inget,” tukas Andreas.

Dara merengut. Sambil melipat tangan di dada, dia sekali


lagi memperhatikan Andreas. Tidak ada name tag di dada
cowok itu, sama seperti satu tahun lalu.

“Lo gak berubah,” celetuk Andreas kemudian. Tatapannya


melirik Dara sekilas, menatap dari kepala sampai kaki
dengan gerak mata yang tidak wajar. “Kecil,” lanjutnya.

“Mata lo rabun, ya? Gue nggak kecil. Standar tinggi bagi


cewek buat keterima di sekolah kita itu 5 kaki 4 inci, dan
tinggi gue 5 kaki 6 inci. Gue nggak kecil, gue salah satu
cewek paling tinggi di sekolah!” Dara menggebu-gebu. Dia
tidak merasa kecil dilihat dari sisi mana pun. Bahkan saat
Dara berjalan di lorong, dia seperti tower bagi semua
cewek.

Andreas mendengkus, Dara menyipit tak senang saat


melihat cowok itu menahan seringai geli. Dara merasa
sedang diremehkan, dan itu membuatnya marah.

“Berapa tinggi lo?” tanya Dara kemudian. Dara tahu tentu


saja cowok itu pasti setinggi 6 kaki, karena Andreas lebih
tinggi darinya—dan perbedaan tinggi mereka harusnya
tidak banyak.

“Enam kaki,” jawab Andreas datar. “Empat inci,” Andreas


melanjutkan. Dia mengambil satu tangan Dara secara
paksa, lalu menggenggamnya.

Hampir dua meter, pikir Dara. Cewek itu membelalak kaget


beberapa detik pertama, kemudian mendengkus kesal dan
semakin merengut. Dara semakin kesal lagi setelah melihat
lengannya, lalu melihat lengan Andreas, atau ketika dia
tidak bisa melihat kepalan tangannya di dalam genggaman
cowok itu. Sial, Dara merasa kecil sekarang.

“Jangan pegang gue!” seru Dara sambil menarik tangannya,


meskipun tidak bisa terlepas dari Andreas.

“Jangan berisik,” peringat Andreas. “Mau gue tutup mulut


lo?”

“Makanya lepas tangan gue!” Dara tidak ingin kalah.

Tidak mendapat reaksi dari Andreas, Dara jadi nekat


menggigit pergelangan tangan cowok itu. Mata Andreas
agak menyipit, mungkin gigitan Dara terlalu kuat, sampai
kemudian cowok itu melepaskannya.

“Lo tau?” Andreas melirik Dara singkat. “Gue suka bales


dendam.”

Kemudian tahu-tahu saja tangan Dara sudah dicekal


Andreas lagi. Dara meringis kecil saat Andreas menggigit
pergelangan tangannya, di dekat nadi. Andreas tidak hanya
menggigit, tapi juga menghisap kulit Dara dengan tatapan
tenang memperhatikan jalanan sesekali.
Dara merintih, dan setelah balas dendam itu selesai dia bisa
melihat bekas gigitan Andreas di pergelangan tangannya.
Dara menelan ludah. Berbeda dengan bekas gigitan Dara di
pergelangan tangan Andreas, bekas yang satu ini justru
terlihat seperti tanda kepemilikan.

Dara mengembuskan napas frustrasi, berusaha menghapus


itu dengan usapan. Tapi justru kemerahan menyebar juga di
sekitar tanda ciptaan Andreas.

“Mau lagi?” tanya Andreas datar.

“Berisik!” pekik Dara ketus.

Lupa pada tanda di pergelangan tangannya, Dara mencuci


tangan sampai siku, dan itu menghapus concealer yang
sudah dia oleskan sebanyak mungkin. Mia melihat itu
sebelum Dara sempat menyembunyikannya, tapi untung
saja mereka sedang di toilet jadi pekikan Mia tidak akan
menarik perhatian.

“Oh my God! Oh my God! Dara! Lo dapet hickey dari


siapa?!” Mia memelototi Dara, dia jelas sedang menuntut.

“Ini bukan hickey,” jawab Dara datar. Dia segera


meninggalkan toilet berharap Mia mau berhenti
membicarakan itu.

“Bukan hickey dari mana?! Diliat dari sisi manapun itu jelas-
jelas hickey tau!” Mia mengikuti Dara, masih dengan
perkataan menggebu-gebu dia menuntut penjelasan. “Oke,
jadi lo pasti diem-diem punya pacar, ‘kan? Oh! Atau jangan-
jangan lo jadian sama Kak Draven?!”
“Nggak!” seru Dara kesal. Bahkan Dara tidak sempat
memikirkan Draven. Namun, Dara yakin kalau dia bilang
tanda itu dari Andreas, Mia akan berkali lipat lebih heboh
lagi.

Mia berjalan mundur di depan Dara sekarang, dia terlihat


benar-benar tidak ingin kehilangan informasi. “Jangan
bohong, deh! Mana mungkin lo bikin itu sendiri, ‘kan?
Kecuali lo udah bener-bener kesepian karena terlalu lama
jomblo—”

“Berisik tau gak?” sergah Dara berapi-api. “Gue bilang


nggak, ya nggak. Bukan urusan lo, jangan ikut campur.”

Dara tidak ingin tahu apa kalimatnya menyakiti Mia, selagi


bisa membuat cewek itu diam artinya tidak apa-apa. Dara
menghela napas kesal, Mia masih saja mengiringi jalannya
dengan tatapan “Gue bakal cari tau sendiri, loh”.

“Oke,” celetuk Mia kemudian. “Kalo bukan Kak Draven,


siapa?” Dia tidak putus asa.

Tidak ada jawaban dari Dara, dia hanya bergeming


mengundaki tangga ke arah kelasnya. Mia kemudian
berdecak pasrah, cewek itu melipat tangan di dada,
cemberut sambil menghentakkan kaki.

“Lagian kalo punya pacar itu bagus buat lo,” tambah Mia.
“Hati berfungsi untuk mencintai, jadi kalo lo nggak jatuh
cinta juga selama tiga tahun di kandang cowok ganteng,
hati lo bakalan beku.”

Dara memutar mata malas. “Fungsi hati adalah


menghancurkan racun di dalam darah, menghasilkan
protein, hingga membantu proses pencernaan. Bukan
mencintai,” Dara menyanggah pendapat Mia dengan nada
ketus.
“Well, oke. Lo bener soal itu. Tapi kita lagi bahas fungsi hati
dalam konteks jatuh cinta, bukan peranannya di
pencernaan!”

“Nyenyenyenye.”

Mia menghentakkan kaki kesal. “Lo selalu gitu kalo


dibilangin, ya!” katanya tak terima. “Lo mau cari yang
gimana, sih? Yang humoris? Ada. Romantis? Banyak!
Ganteng? Jangan ragu lagi, ini jelas-jelas kandang cogan.
Tinggi? Siapa yang nggak tinggi di sini? Seberapa tinggi, sih,
standar lo, Dara? Bibit, bebet, bobot, cowok-cowok di sini
udah bagus padahal.”

“Lo mau tau?” tanya Dara setengah hati. Mia mengangguk


antusias ingin tahu seperti apa cowok yang Dara cari.
“Pinter, pinter, pinter,” Dara berucap sambil menghitung
tiga jarinya.

“Lo mah, mandang otaknya, doang.” Mia mendengkus


malas. “Ada kok yang pinter-pinter-pinter, tuh jurusan Fisika,
Hanniel.”

“Yang lebih pinter dari gue,” ucap Dara datar.

“Well, Sir Alister aja, deh, buat lo.” Mia tertawa keras sambil
berlari menghindari amarah Dara.

Dara memekik kesal, mengejar Mia di sepanjang lorong


menuju kelas mereka.

Apa tipe cowok idamannya Dara bakal berubah?


⊙.☉

Jangan lupa spam next! <333333


4 · Caught Up
VOTE DAN KOMENTAR YA

Tidak sengaja Dara melihat Annastasia ke luar rumah


dengan gerak-gerik mencurigakan. Sudah pukul sembilan
malam dan Ibu pasti sudah tidur, jadi Dara memutuskan
untuk mengikuti Annastasia. Menguntit sebenarnya bukan
keahlian Dara, tapi dia cukup baik dalam hal itu sampai-
sampai Annastasia tidak sadar sedang diikuti. Mereka
berakhir di jalan raya, ada motor hitam yang menjemput
Annastasia dan Dara kelabakan, buru-buru mencari taksi
untuk mengikuti cewek itu.

Sopir taksi terus mengikuti motor hitam tadi sampai


meninggalkan cahaya jalanan raya, memasuki jalanan yang
lebih sepi dengan banyak gedung. Dara diam-diam
meneguk ludah, untuk apa pun yang akan dilihatnya nanti,
Dara tahu dia pasti akan menyesal.

Dibawa rasa penasaran Dara sampai pada sebuah gedung


empat lantai yang pembangunannya tidak dilanjutkan. Taksi
pergi, Dara memasuki gerbang yang dilintasi motor hitam
tadi. Entah kenapa, tapi cewek itu merasa sedang diawasi.
Bagian samping gedung itu terlihat seperti pemakaman,
meskipun sebenarnya hanya batu-batu yang terletak secara
acak. Dara menelan ludah ketika melihat deretan motor
ninja hitam di area luas di dekat kolam renang.

Dara pasti sudah gila, tapi kalaupun dia tersesat, setidaknya


Dara masih memegang ponsel untuk menelepon bantuan.
Cewek itu berdiri kebingungan di depan pintu kaca yang
tertutup, tapi kacanya pecah dan Dara yakin orang-orang
masuk lewat lubang di kaca itu. Dengan susah payah Dara
masuk dan menghindari kaca-kaca tajam yang mungkin
saja bisa merobek kulitnya, cewek itu tidak tahu harus
melangkah ke lorong dan tangga yang mana.

Setelah dilihat dari dalam begini, Dara yakin gedung empat


tingkat ini adalah sebuah hotel tua. Banyak sofa-sofa yang
sudah rusak di bawah tangga, dan di sana sangat kotor
karena puntung rokok dan pecahan botol kaca. Dara
berjalan menunduk, menghindari pecahan-pecahan kaca di
lantai, dan ketika langkahnya sampai di tangga teratas,
Dara terperanjat hampir jatuh. Sial, Dara tertangkap.

“Lepas!” pekik Dara ketika cowok jangkung yang


menemukannya menarik lengan cewek itu.

“Lo udah berani masuk ke sini tanpa izin, jadi jangan pikir lo
bisa ke luar dengan selamat,” kata cowok itu kesal.

Dara menelan ludah, lagi-lagi menyesal karena tidak bisa


menahan diri. Harusnya dia tidak perlu ikut campur tentang
urusan Annastasia. “Gue bakal telfon polisi! Lepasin gue,
Bangsat!” Kali ini Dara berteriak kencang.

“Ngelapor ke polisi malah bikin keselamatan lo makin


terancam, Bego.” Cowok itu tetap menarik Dara, melewati
deretan tangga lain yang gelap.

Sampai Dara melihat cahaya, dan cewek itu yakin mereka


sampai ke rooftop. Di sana ramai sekali, Dara terengah-
engah, dia melihat Annastasia yang membelalak padanya di
antara cewek-cewek yang jumlahnya lebih sedikit
dibanding cowok-cowok di sini. Mereka semua, bertampang
menyeramkan.
Dara dibawa melintasi drum berapi, dan yang membuat
cewek itu terperanjat setelahnya adalah sesorang di sofa
tunggal biru tua. Orang itu bersama dengan dua cewek
yang masing-masing duduk di lengan sofa, dan entah yang
ke berapa kali untuk hari ini Dara mengumpat kasar dalam
hati.

“Ketua, liat siapa yang diem-diem masuk ke sini,” ucap


cowok yang menangkap Dara sambil mendorong bahu Dara
pelan. “Mungkin salah satu suruhan Black Panther lagi.”

Dua cewek di lengan sofa itu pergi setelah menatap Dara


seolah dia menganggu mereka, dan tatapan Dara kembali
seutuhnya pada cowok yang dipanggil-panggil sebagai
Ketua.

“Cewek ini kayaknya dari sekolah kita juga,” imbuh cowok


yang menangkap Dara.

“Lo boleh pergi,” jawab cowok yang disebut Ketua. Cowok


itu lalu menatap Dara. “Lo, Dara. Ikut gue.”

“Nggak!” seru Dara berani. Padahal cewek itu sedang


merasa amat kecil dikelilingi orang-orang bertampang
menyeramkan.

Dengan ogah-ogahan, cowok itu mendekati Dara yang


justru mundur. “Lo mau kita debat diliatin orang-orang ini
atau ikut gue ke tempat lain?” tanya cowok itu sambil
mengangkat dagu Dara.

“Gue mau pulang, Andreas!”

Andreas mendengkus kecil. “Nggak segampang itu, Dara,”


ucapnya dingin.
Entah kenapa Dara merasa tatapan-tatapan menyeramkan
tadi berubah jadi terkejut dan ingin tahu. Dara tahu mereka
pasti kaget mengetahui ketua mereka dan cewek yang
disangka mata-mata ini ternyata saling kenal. Dara
tersentak ketika badannya terangkat, dan cewek itu dalam
gendongan Andreas sekarang. Dara memukuli bahu
Andreas, memberontak ingin dilepaskan.

Andreas tidak berkata apa-apa, langkahnya tetap mantap


menuruni tangga tanpa penerangan. Dara terus saja
memekik dan mengumpati Andreas, kemudian ketika
Andreas membawa cewek itu memasuki ruangan yang
bercahaya merah, Dara terdiam. Di ruangan itu Dara
melihat kehidupan normal, hanya sebuah kamar biasa
dengan pancaran cahaya merah, ranjang besar dan
semuanya rapi. Tapi ketika Andreas menurunkan Dara,
cewek itu terperanjat lagi, sadar bahwa dirinya tetap dalam
bahaya meskipun ini hanya sebuah kamar.

Dara masih merasakan tangan Andreas memegangi


punggungnya, lalu cewek itu memberi jarak dan berbalik
menatap Andreas dengan mata yang seolah akan lepas.
Andreas balas melihat Dara, mengambil langkah maju terus-
menerus sampai cewek itu jatuh ke ranjang dan Andreas
memegangi tangan Dara di samping kepala.

“Apa yang lo lakuin di sini?” tanya Andreas lambat-lambat.

Posisi menegangkan yang baru pertama kali Dara alami ini


membuat cewek itu berdebar tak karuan, meskipun kesal
tapi Dara mengakui dia takut pada Andreas dan tetap
terpesona di waktu yang sama. Dara tidak pernah dalam
posisi di bawah cowok seperti ini, dan kewarasannya seperti
tiba-tiba direnggut oleh ketampanan Andreas yang tidak
manusiawi. Andreas semakin merunduk, memperhatikan
wajah Dara dan menunggu kapan cewek itu akan
menjawabnya.

“Awas!” Lagi-lagi Dara memekik. “Pergi dari atas gue!”


tambahnya lantang.

Karena kejadian di lantai dasar sekolah, Dara tahu bahwa


karakter Andreas adalah keras kepala, suka balas dendam,
dan akan melakukan apa pun untuk membuat Dara diam
atau menjawab pertanyaannya. Harusnya Dara tidak
berteriak pada cowok itu, karena setelahnya Dara
merasakan sesuatu di tenggorokan dan sisi lehernya. Dara
tidak sanggup menghirup udara, tangannya yang masih
ditahan Andreas jadi mengepal erat, dan ketika Andreas
berhenti, Dara tersengal-sengal.

Dara bisa merasakan jejak basah di lehernya dan Andreas


yang meninggalkan itu, dia menatap Andreas dengan
banyak perasaan yang bercampur; terkejut; kesal; takut.
Dan perasaan aneh yang membuatnya menggigil padahal
sedang kepanasan. Andreas terlihat seperti api, seolah Dara
bisa hangus dalam satu sentuhan, tapi nyatanya Dara selalu
merinding dan menggigil. Semuanya aneh, Dara menggigil
disentuh sesuatu yang terlihat seperti api, dan kepanasan
ditatap bola mata hitam yang dingin.

Di atas semua itu, Dara tiba-tiba kehilangan kendali atas


dirinya, dan itu selalu terjadi setiap kali ada Andreas di
dekat Dara. Entah sudah berapa puluh menit Dara
tenggelam di mata Andreas yang sehitam batu onyx,
padahal seumur hidup Dara hanya belajar bahwa mata yang
paling gelap warnanya adalah cokelat. Tapi mata Andreas
benar-benar hitam dan gelap.

“Lo cari apa di sini, hm?” tanya Andreas dengan nada


rendah.
Sialnya Dara justru hanya mampu menganga dan terengah-
engah, rasanya sangat melelahkan meskipun cewek itu
tidak melakukan apa-apa sejak tadi. Dara mengerjap,
melengos kasal dan tetap berusaha menarik tangannya dari
pegangan Andreas, walaupun itu akan berujung sia-sia.

“Karna ini lo,” Andreas menjeda. Cowok itu tiba-tiba bangkit,


menarik Dara untuk bangkit juga, Andreas kemudian duduk
di tepi ranjang, menarik pinggang cewek itu sampai berhasil
duduk di pangkuannya. “Gue nggak akan pake cara kasar,”
tambah Andreas datar.

“Ch, lepasin gue!” Dara mendelik, sudah kembali pada


realita dan punya sedikit keberanian untuk melawan
Andreas. “Gue mau pulang!” Tapi sekeras apa pun Dara
mencoba bangun, pinggangnya tetap ditahan tangan
Andreas yang sangat kuat. Cewek itu mendesis-desis kesal.

“Pulang, ya?” Andreas mengulangi perkataan Dara. “Kasih


tau gue dulu, apa tujuan lo ke sini? Kalo lo lolos, lo bisa
pulang. Kalo nggak, lo harus tetep di sini.”

Dara merengut sebal, cewek itu menggerakkan tangan


seolah sedang mencakar Andreas di depan wajah. Andreas
mendengkus kecil dan Dara jadi berkali lipat semakin kesal.
“Gue cuma ngikutin adek gue! Sekarang lepasin gue,
Andreas! Gue harus pulang!” Tiba-tiba suara Dara bergetar,
dan itu menghancurkan usahanya untuk tidak terlihat takut.

“Siapa?”

Cewek itu mendengkus sebelum menjawab, “Annastasia


Rheasa.”

Andreas mengangguk singkat, seolah jawaban Dara tidak


menarik. “Oke. Tapi lo tetep gak boleh pulang sekarang.”
Sentuhan Andreas di sisi pinggang Dara membuat cewek itu
terperanjat, tangan Dara naik mencengkeram bagian bahu
dari kemeja hitam yang Andreas kenakan. Cewek itu
bergetar menggigil, Dara menyesal tidak mengenakan jaket
atau pakaian panjang lainnya. Cropped t-shirt merah yang
Dara kenakan ternyata mengundang sial, Andreas jadi bisa
mengusap sisi badan Dara secara langsung tanpa
penghalang apa pun.

Dara menahan tangan Andreas, kemudian segera berdiri


dari pangkuan cowok itu. Mengambil kesempatan ketika
Andreas hanya diam, Dara segera ke luar dan membanting
pintu. Dara melangkah panjang ke lorong di sebelah kanan,
melihat tangga dan segera turun ke lantai berikutnya.
Cewek itu terkesiap saat melihat beberapa cowok berjalan
ke arahnya, Dara sembunyi di dalam suatu kamar yang
berantakan, dan ketika langkah-langkah tadi menjauh,
cewek itu segera ke luar.

Kesialan pasti sedang senang mengikuti Dara sekarang, di


luar hujan dan cewek itu membenci semua hal tentang
hujan. Petir dan bunyi hujan, Dara tidak menyukai semua
itu, tapi dia juga tidak ingin tetap di dalam hotel tua
menyeramkan bersama orang-orang menyeramkan. Cewek
itu memberanikan diri berdiri di ujung tangga pendek yang
langsung mengarah ke area bebas, Dara mengulurkan satu
kaki memilih tempat yang tidak terlalu basah.

Saat itu tiba-tiba saja petir menggelegar sampai rasanya


jantung Dara sanggup berhenti karena sangat kaget, dan
alih-alih jatuh basah di genangan air, Dara ditarik ke teras
hotel oleh seseorang. Dara memekik histeris, memukuli
lengan orang itu sambil terus menutup mata. Dara benci
suara hujan, karena rasanya seperti ada yang akan datang,
dan benar saja, ada yang datang pada cewek itu. Napas
Dara terputus-putus, tangannya bergetar takut apa lagi
petir jadi tidak memberi jeda.

Aroma campuran vanilla dan caramel menghampiri indra


penciuman Dara, dan detik itu dia berhenti memberontak.
Dara membuka mata cepat, berbalik ketika orang yang
membawa cewek itu sudah berhenti berjalan. Setelah
dibuat takut karena kelakuannya, sekarang Dara justru
merasa telah aman bersama Andreas. Cewek itu melengos,
melipat tangan di dada karena telanjur malu.

“Udah gue bilang lo gak bisa pulang dulu,” kata Andreas


malas. Andreas memperhatikan Dara yang enggan
menatapnya, cewek itu merengut dan sedang menatap pilar
hotel seperti tidak pernah melihat benda seperti itu.
Andreas mendengkus pelan, kemudian menarik pinggang
Dara dan memeluk cewek itu dengan satu tangan. “Keras
kepala,” ucap cowok itu.

Dara menggerutu diam-diam, matanya menatap langit yang


gelap dan berharap hujan segera berhenti. Di sana tidak
ada penerangan, hanya kilatan dari langit yang selalu
datang tiba-tiba. Seperti saat itu ketika Dara tidak sengaja
melihat kilat, cewek itu terlonjak kaget dan refleks
menyembunyikan wajahnya di dada Andreas sambil
menutup telinga. Dara tanpa sadar menghilangkan jarak
yang semula masih tersisa beberapa sentimeter, cewek itu
lagi-lagi terlonjak ketika suara petir menyusul.

“Liat?” celetuk Andreas datar. “Lo takut.”

Karena sudah telanjur malu, Dara sekalian saja memeluk


Andreas ketika petir benar-benar bersuara sangat keras
seolah sedang menghukum Dara yang keras kepala dan
suka membenci anugerah Tuhan; hujan. Dara benar-benar
menyesal masuk ke hotel tua itu tanpa izin, dan karena
kecerobohan sendiri dia jadi bertemu Andreas, lalu
kewarasannya hilang.

Seseorang bilang sama aku, “Sky, hujannya deres


banget. Aku takut, rasanya kayak ada yang mau
dateng.”

Nah, makanya aku dapet ide bikin karakter Dara :D


*waktu itu aku mikirin sesuatu yang mistis sih 😆

Dannn, hotel tua itu ada di kota aku! Dia mirip sama
yang di MV Bad Things loh, makanya sempat aku
minta buat nonton dulu
Aku pernah masuk ke sana wkwk, nakal banget
emang 😭

Btw, Andreas itu ketua Phoenix! Bukan Black Panther,


ya 😭 sekarang ketahuan kan. Siapa yang kemaren
mikir Andreas ketua-nya Black Panther? 😭😭😭

Spam next dulu:


5 · Bione Carpenter
VOTE, DAN SPAM NEXT DI UJUNG

Dara perang dingin dengan Annastasia, tapi Dara tidak


peduli soal itu. Dia telanjur risih pada orang-orang yang
beberapa kali menatapnya dengan tatapan mengenali. Atau
justru yang terang-terangan tersenyum pada Dara.

Tentu saja Dara mengenali beberapa di antara mereka, dan


dia yakin mereka adalah anak-anak Phoenix. Dara berusaha
terlihat datar saat Mia menatapnya penuh keingintahuan.

“Kenapa, deh?” tanya Mia ingin tahu. “Tumben-tumbenan


banget mereka nyapa lo?”

Dara tetap melanjutkan makan siang dengan ekspresi datar,


berusaha terlihat tak mencurigakan. “Biarin, aja,” jawab
Dara kemudian.

“Nggak, nih, pasti ada sesuatu! Ayo ngaku.” Mia


mencondongkan badan ke arah Dara sambil menyipit.

“Gak usah ikut-ikutan repot deh lo,” sergah Dara sebelum


Mia jadi semakin curiga padanya. “Diemin, aja, mereka bisa
gak?”

“Huh, oke.”

Dara buru-buru menyelesaikan makan siangnya, dan Mia


jadi terpaksa ditinggalkan karena Dara berbohong dengan
bilang bahwa cewek itu punya urusan penting.
Padahal Dara hanya ingin menghindar, cewek itu merasa
hidupnya jadi tidak nyaman dikenali orang-orang itu. Dara
ingin dikenali karena prestasi, bukan karena dengan sengaja
mengendap-endap di sarang predator dan tertangkap
basah.

Seseorang menarik lengan Dara ke lorong toilet yang


pendek dan gelap, cewek itu memekik, tapi suaranya
bahkan tidak terdengar karena mulut Dara dibungkam.
Orang itu mengurung Dara di dinding, kemudian menarik ke
belakang penutup kepala dari hoodie hitam yang orang itu
gunakan. Dara terbelalak, cewek itu seketika diam dan
menganga di beberapa detik awal.

Ketika sadar bahwa dirinya dalam bahaya, Dara berusaha


lari dan menerobos lengan Andreas, tapi cowok itu menahan
Dara dengan menarik pinggangnya. Sekeras kepala apa pun
usaha yang Dara lakukan untuk kabur, Andreas tetap
berhasil mengunci cewek itu di dinding.

“Apa mau lo?!” tanya Dara murka.

Andreas meletakkan siku di samping kepala Dara, kemudian


mengusap pipi cewek itu dengan punggung jari telunjuk.
Dara mendelik, cewek itu melengos kesal.

Sekilas Andreas tersenyum kecil. “Denger,” Andreas berbisik


di telinga Dara. Cowok itu bergeser maju sedikit lagi sampai
hampir menghimpit Dara. “Jangan dateng ke hotel tua lagi,”
peringat cowok itu serius.

Seketika Dara melihat Andreas, memberontak lewat


tatapan. Dara tidak suka diberi peraturan apa lagi oleh
orang asing seperti Andreas. Cowok itu tidak punya kuasa
atas Dara, jadi dia merasa Andreas tidak perlu melarangnya
melakukan ini-itu.
“Satu lagi, tutup mulut soal apa pun yang lo tau dan lo liat,
termasuk soal gue.” Andreas merunduk, menghirup sekilas
aroma manis di sekitar leher Dara. “Kalo lo nurut, lo bakal
aman, dan gue gak akan ganggu lo.”

Dara diam, tapi tidak mendengarkan. Cewek itu menatap


dagu Andreas lurus-lurus, bibirnya tertekuk dan alis cewek
itu semakin menjorok ke dalam. Dara mendengarkan suara
napas dan detak jantungnya sendiri, kemudian mulai
bertanya-tanya dalam hati apakah dia punya riwayat sakit
jantung.

Dara terperanjat ketika punggung jari Andreas menyapu


batang hidung cewek itu, kemudian turun perlahan ke bibir
dan berhenti di dagu. Dara tidak punya persiapan,
jantungnya melonjak-lonjak ketika Andreas menarik bibir
cewek itu ke bawah dengan ibu jari.

Yang lebih membuat Dara gila adalah mata Andreas yang


mengikuti gerak ibu jarinya sendiri di bibir Dara. Kemudian
Andreas menarik dagu cewek itu sampai mulut Dara
terbuka, dan Andreas menatap ke dalam sana seperti
sedang meneliti sebuah lukisan.

Dara tidak pernah siap pada apa pun yang akan terjadi
ketika Andreas membuka mulut seperti siap menggigitnya,
cewek itu berniat mendorong Andreas tapi yang terjadi
justru mencengkeram bahu cowok itu.

Ketika Dara berkedip cepat, Andreas menatap cewek itu


masih dalam posisi yang sama; memiringkan kepala ke satu
sisi. Andreas kemudian memberi sedikit jarak, tapi
tangannya masih berada di ujung dagu Dara.

“Lo ngerti apa yang gue bilang?” tanya Andreas kemudian.


Terlihat penuh keterpaksaan, Dara mengangguk pelan.
“Ulang,” lanjut Andreas.
“Gue dilarang dateng ke hotel tua lagi dan harus tutup
mulut,” ucap Dara ogah-ogahan.

Andreas tersenyum kecil. “Kalo lo gak bisa tutup mulut, gue


yang bakal nutup mulut lo,” ujarnya lambat-lambat di
telinga Dara. “Ngerti?”

Dara mendengkus kesal, tapi cewek itu mengangguk pelan


seolah benar-benar akan mematuhi Andreas. Sisanya
hening, Dara melihat pada mata Andreas yang menunduk
menatapnya. Cewek itu berniat mencari sesuatu di mata
Andreas, tapi Dara justru tersesat dengan tangan kosong.
Tidak ada apa pun di sana, tidak ada emosi yang terlihat,
hanya lingkaran gelap tanpa kehidupan.

“Pinter.” Andreas menepuk-nepuk kepala Dara seolah


sedang bicara dengan anak kecil. Tangannya turun meraih
satu tangan Dara, Andreas melihat pergelangan tangan
cewek itu. “Udah pudar, ya?” celetuknya datar.

Dara ikut-ikutan merunduk, dan tiba-tiba wajahnya panas


karena yang dimaksud Andreas adalah tanda merah yang
diciptakan cowok itu beberapa hari lalu. Dara segera
menarik tangannya, menyembunyikan di balik punggung
sambil melengos sebal.

Andreas memakai lagi penutup kepalanya, kemudian


menarik dagu Dara supaya mereka bertatapan lurus-lurus.
“Bye, Dara,” ucapnya pelan sebelum melangkah pergi.

Dara menghentakkan kaki kesal, cewek itu keluar dari


lorong, melihat kanan-kiri dan sama sekali tidak
menemukan Andreas. Cowok itu hilang cepat sekali.

Dara mengepal tangan, merasa kesal dan marah, tidak


terima dilarang-larang pergi ke hotel tua seolah Dara adalah
anak kecil. Padahal di sana ada Annastasia yang beberapa
bulan lebih muda darinya, dan Andreas mempebolehkan
cewek itu.

Merasa diperlakukan tidak adil, Dara menggeram tertahan.


“Awas lo, Andreas,” gumamnya. “Lo pikir lo siapa bisa
ngatur-ngatur gue? Lo pikir gue bakal beneran patuh? Ch,
jangan mimpi.”

Kelas dance berakhir sekitar lima menit lalu, Dara baru saja
ke luar kafetaria membawa sebotol air mineral. Cewek itu
tidak peduli pada penampilannya—bahwa cropped t-shirt
dan celana legging yang Dara kenakan malah jadi
mengundang tatapan cowok-cowok.

Dara berbelok ke lorong kelas, memeriksa loker untuk


mengambil beberapa buku yang sengaja diletakkan di sana.
Ketika pintu tertutup, Dara terperanjat sampai melompat
kecil di tempatnya, dia mendelik pada Andreas yang tiba-
tiba terlihat. Cowok itu sedang bersandar pada loker dengan
kedua tangan di saku celana, dan tatapannya mengarah
lurus pada Dara.

Hei, siapa yang tadi siang membuat perjanjian untuk tidak


mengganggu Dara? Sejauh ini Dara tidak mengatakan apa
pun tentang Phoenix dan Andreas kepada orang-orang,
bahkan Mia atau Tian. Jadi pertanyaannya, kenapa Andreas
muncul di depan Dara seperti itu?

Dara tidak ambil pusing, cewek itu mendengkus kasar


setelah memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, dan
berniat pergi. Lalu tiba-tiba Andreas memegangi ikatan
lengan jaket di pinggang Dara, menariknya sampai cewek
itu berbalik menabrak Andreas. Dara memekik kesal,
langsung memaki-maki cowok itu dan berusaha melepaskan
tangan Andreas.
“Apa, sih, masalah lo?!” tanya Dara tajam. Dia menatap
Andreas berapi-api, dan yang Dara tidak mengerti adalah
tatapan Andreas yang juga sedang menjurus seperti anak
panah padanya.

Tidak ada siapa pun di lorong, itu adalah hal yang ingin
Dara syukuri dan sesali di waktu yang sama. Pertama,
karena tidak akan ada yang melihatnya bersama Andreas
kecuali CCTV. Tapi kedua, Dara tidak bisa minta tolong pada
siapa pun untuk menjauhkan cowok bermasalah itu dari
radarnya.

Andreas berdiri sempurna, cowok itu melepas ikatan lengan


jaket di pinggang Dara. “Jaket dipake di badan, bukan di
pinggang,” katanya datar.

Dara tidak bodoh dan dia tahu itu, lagi pula badannya juga
tidak pernah berpindah ke pinggang. Andreas menarik turun
tas di bahu kanan Dara, lalu meletakkan tas itu di lantai,
dan tanpa persetujuan cowok itu tiba-tiba memakaikan jaket
ke badan Dara. Gerakannya cepat dan cekatan, Dara
sampai berpikir dia hanya berkedip dan Andreas sudah
selesai, jaket sudah terpasang menutupi badan cewek itu.

Tanpa menunggu lama karena merasakan sinyal aneh, Dara


segera memungut tasnya dan berbalik meninggalkan
Andreas. Langkah cewek itu panjang-panjang dan terdengar
buru-buru, karena sudah mendung jadi Dara harus segera
mendapat kendaraan untuk pulang atau dia bisa saja
terjebak dengan Andreas lagi.

Sambil menghela napas lega, Dara bersyukur karena


Andreas tidak mengikutinya. Cewek itu berdiri di depan
gerbang dengan niat memesan kendaraan online yang
pangkalannya paling dekat.
Tapi perhatian Dara tersita pada motor ninja merah yang
berhenti di depannya, tatapan cewek itu naik perlahan,
meneliti seragam yang dikenakan si pengendara ninja
merah. Bukan salah satu murid di sekolahnya, jadi Dara
kembali tidak menaruh peduli karena merasa tidak punya
urusan dengan cowok itu.

“Hei, lo nunggu siapa?” tanya si pengendara ninja merah.

Dara tidak menjawab karena dia pikir cowok itu sedang


bicara pada orang lain. Dara bukan orang yang punya
kepercayaan diri setinggi itu sampai bisa berpikir seseorang
sedang bicara dengannya.

Sejak kecil Dara tidak pernah ‘terlihat’, tidak ada yang mau
berteman dan bicara pada cewek berwajah jutek serta tidak
mau menyapa orang lain lebih dulu.

Cowok ninja merah itu terkekeh kecil, kemudian tangannya


terulur menarik pipi Dara pelan. Barulah Dara terlonjak dan
yakin bahwa dia objek yang sedang diajak bicara.

Dara mundur, tatapannya langsung menusuk pada mata di


balik helm full face. Dara tidak suka disentuh orang asing.

“Lo nunggu seseorang?” ulang cowok itu.

Dara melengos. “Gak,” jawabnya jutek.

“Gue niatnya mau nganterin lo pulang, di sini udah gak ada


siapa-siapa, keburu hujan.”

Dara pikir menerima tawaran orang asing itu akan


membuatnya menyesal, jadi dia menolak dengan nada yang
sama jutek. Tapi cowok itu tidak menyerah, entah karena
memang punya niatan baik atau ada sesuatu yang dia
inginkan. Dara melihat dompet hitam yang diulurkan cowok
itu.

“Di sana ada KTP, SIM, termasuk kartu debit dan ATM,” jelas
cowok itu saat Dara menerima dompetnya. “Gue cuma
pengen anterin lo pulang, tapi kayaknya lo nggak percaya,
ya.”

Bione Carpenter, eja Dara pada nama yang tertera di KTP


cowok itu. Bule, pikirnya kemudian. Dara diam beberapa
detik, memandangi sisi barat langit yang sudah benar-benar
gelap seolah di bagian itu sedang hujan deras. Kemudian
menatap ponsel, Dara belum kesampaian untuk memesan
kendaraan online dan sepertinya itu akan memakan waktu.

“Oke,” ucap Dara kemudian.

Bio terkekeh pelan sebelum menghidupkan mesin motor


lagi. Dara masih tampak ragu ketika naik ke jok belakang
motor Bio. Dan saat sudah benar-benar duduk cewek itu
memegangi bahu Bio, ada satu hal membuat mata Dara
sempat melebar. Satu hal yang baru dia sadari, satu hal
yang sebenarnya dia tidak peduli, tapi Dara ingat perkataan
Mizuki dan Briony saat itu.

Black Panther.

Begitu yang tertulis di bagian punggung jaket kulit hitam


Bione Carpenter.
6 · Don't Wanna Fall in
Love
VOTE DAN SPAM KOMENTAR

Andreas melanggar ucapannya untuk tidak menggangu


Dara. Itu adalah alasan paling tepat bagi Dara untuk
mengikuti Annastasia lagi. Dia bahkan sudah mengamati
cara berpakaian anak-anak Phoenix.

Dara memakai t-shirt yang sobek di beberapa bagian,


melapisinya dengan jaket kulit hitam, celana ripped jeans
biru muda, serta sepatu putih. Sudah mempersiapkan taksi,
Dara tinggal diam-diam mengikuti motor yang menjemput
Annastasia seperti saat itu.

Jalanan malam ini sedikit berisi, mungkin karena sedang


malam minggu, jadi banyak pasangan yang mencari tempat
sepi untuk melakukan sesuatu.

Dua kali Dara tersesat dan berujung di lorong gelap ketika


ingin mengikuti Annastasia ke rooftop, cewek kurus ringkih
itu menghilang cepat sekali. Entah karena di sana gelap,
atau karena memang ada jalan tikus sampai Annastasia bisa
hilang dalam waktu singkat.

Dara pikir dirinya tersesat lagi, tapi dia menemukan pintu


bercahaya. Ada cahaya yang tampak dari celah pintu, Dara
mendorong pintu perlahan dan memastikan tidak ada
sedikit pun bunyi.
Cewek itu membelalak ketika yang dia dapat adalah
sepasang remaja. Ruangan itu merupakan dapur yang
masih bagus, terlihat seperti dapur biasa. Ada Annastasia di
sana sedang mendekat ke arah seorang cowok, Annastasia
tampak tersenyum agak menggoda.

Dara tidak ingin tahu apa yang terjadi ketika adiknya itu
mendekatkan wajah pada Andreas yang bersandar di meja
pantry. Buru-buru Dara menghindari tempat itu, dan dia
justru berakhir di lantai dasar.

“Ah, sial. Harusnya gue ke atas,” gerutu Dara. Dia melihat


sesuatu yang memantulkan cahaya bulan, itu adalah kolam
renang dengan air yang sangat kotor.

“Ngapain lo?”

Suara itu membuat Dara terlonjak dan hampir jatuh ke


dalam kolam, tapi orang yang memergoki Dara segera
menarik cewek itu. Mereka berakhir jatuh di lantai dengan
Dara di atas cowok itu.

Seketika Dara terbelalak saat matanya menangkap wajah


Tian. Cewek itu duduk, dan masih melotot. “Lo anggota
geng ini juga?” tanya Dara kaget.

Tapi Tian menutup mulut Dara dengan telapak tangan,


cowok itu segera menarik Dara untuk berdiri, kemudian
mengendap-endap membawa cewek itu ke bawah tangga.
“Ngapain lo di sini?” Tian berbisik.

Dara tidak mengindahkan pertanyaan Tian. “Lo nyusup,


ya?” Cewek itu jadi ikutan berbisik. “Apa yang lo cari di
sini?”

“Sejak kapan lo ikut geng beginian?”


Mereka hanya saling melempar pertanyaan, dan tidak ada
yang berniat memberi jawaban lebih dulu. Sampai akhirnya
Dara menghela napas kesal. “Gue ngikutin Anna,” ujarnya.
“Lo? Mata-mata?” tanya Dara kemudian. Dia menyipit
curiga.

Tian menggerakkan telunjuk ke depan bibir ketika


mendengar suara langkah, mereka jadi sama-sama diam
menunggu langkah dan suara-suara cowok itu pergi.
Kemudian Tian menatap Dara lagi. “Lo harus pulang. Kalo
sampe ketahuan, lo bakal abis tau nggak,” ucapnya penuh
penekanan.

“Lo sendiri? Lo jelas-jelas penyusup, lo yang bakal abis!”


Dara jadi menebak-nebak, bahwa Tian mungkin salah satu
anggota Black Panther dan sedang ditugaskan untuk
memata-matai. Lagi pula, informasi apa yang ingin mereka
curi?

Cowok itu berdecak. “Lo ke sini naik taksi?” Tian melihat ke


belakang, kanan dan kiri, memastikan tidak ada siapa-siapa.
Cowok itu memegangi lengan Dara. “Dara, lo harus pulang.
Di sini nggak baik buat anak ambis kayak lo.”

Dara mendecih kesal, dia belum menyelesaikan tujuan.


Harusnya Dara membuat Andreas melihatnya datang ke
sini, dan setelah itu dia akan pulang dengan tenang. “Gue
ada urusan,” ujarnya datar.

Tian menyipit. “Oke, selesain urusan lo sekarang, gue bakal


cariin lo taksi.”

Tidak ingin memperumit keadaan, Dara segera


meninggalkan Tian, mencari-cari tangga untuk naik ke
rooftop dan memeriksa apakah Andreas ada di sana. Bicara
soal Andreas, Dara terkejut mengetahui cowok itu punya
hubungan dengan Annastasia. Oh, jadi mungkin yang
dimaksud cewek-cewek tukang gosip beberapa waktu lalu
pasti Annastasia.

Dara mendengkus kesal. Padahal Annastasia terlihat polos


dan lemah, ternyata cewek itu justru terlibat dengan hal-hal
seperti ini. Apa lagi sampai punya hubungan dengan
Andreas. Annastasia pasti sudah tidak normal.

Cewek normal tidak akan jatuh cinta pada Andreas dengan


segala masalahnya, terlebih cowok itu punya reputasi buruk
karena pernah dipenjara. Cewek yang menyukai Andreas
pasti hanya terhanyut dengan wajah tampannya yang tidak
manusiawi.

Setelah memijakkan kaki di rooftop, Dara melihat Andreas.


Cowok itu merokok di sofa biru tua, dan tatapannya
menemukan Dara. Entah karena tatapan itu terlalu tepat,
atau memang Dara yang jadi mudah terkejut. Andreas jelas
tampak marah dari tatapannya yang seperti berusaha
memanah kepala Dara, dan tujuan cewek itu tercapai.

Dara melengos datar, mendekat ke meja panjang, cewek itu


meraih sekaleng minuman soda dan ditatap oleh orang-
orang menyeramkan. Lalu Dara pergi, meninggalkan rooftop
sebelum tatapan Andreas benar-benar membuat Dara mati
konyol. Entah kenapa, Dara kesal sekali, cewek itu sampai
melempar kuat-kuat kaleng sodanya pada salah satu pintu.

Senin siang, Dara sudah berniat untuk mengatakan


semuanya pada Mia. Lagi pula, Andreas yang lebih dulu
melanggar perkataannya untuk tidak mengganggu cewek
itu.

Dara merasa dengan datang ke hotel tua saja tidak cukup,


ada rasa kesal yang sangat besar di hatinya sampai-sampai
Dara berniat memberi tahu Mizuki atau Briony tentang
Andreas, Phoenix, hotel tua, dan Annastasia.

“Gee! Lo bilang apa barusan?!” tanya Mia setelah tersedak


oleh mocktail yang dia minum.

Dara meringis kecil. “Gue ketemu Andreas,” ulang cewek itu


datar.

“Di mana?!”

“Hm, di sekolah.” Dara diam sesaat, tidak menyangka


respons cewek rambut pendek ith akan sedramatis ini. “Di
lantai dasar waktu itu, gak sengaja liat.”

Mia masih menganga seolah bertemu Andreas adalah


sebuah fenomena seribu tahun sekali. “Buset, bisa-bisanya
lo gak pingsan?” tanya Mia menuntut. “Katanya Andreas
ganteng banget tau.”

Dara ingat jelas bagaimana wajah Andreas, apa lagi dia


sudah melihat cowok itu dari dekat. Memang benar bahwa
Andreas itu ganteng banget, ketampanannya terlalu tidak
manusiawi sampai-sampai Dara ingin memajang cowok itu
di museum. Tapi bagaimanapun, cowok bermasalah seperti
Andreas akan punya nilai jelek di mata Dara.

“Ganteng, tapi tukang bikin masalah sama aja tetep jelek di


mata gue,” celetuk Dara malas. “Oh, dia juga pacaran sama
Anna.”

Sekarang Mia menganga lebih lebar lagi, Dara jadi khawatir


akan ada benda terbang yang masuk ke mulut cewek itu.
“Serius lo? Gila, sih. Sejak kenal lo, gue tau lo itu
sebenernya stalker handal,” ujar Mia mulai meracau. “Trus?
Trus?”
Dara menggumam panjang. “Terus … mereka sama-sama
anggota geng Phoenix itu,” Dara berbisik, tapi dia yakin Mia
masih mendengarnya.

“Oooh.” Mia tidak tampak terkejut. “Kalo Andreas emang


udah lama ada gosip kalo dia ikut geng begituan, malah
katanya dia ketua, tuh.”

“Hm. Gue nggak tertarik bahas itu lagi,” ucap Dara ogah-
ogahan.

Terdengar Mia yang merengek tidak terima. “Padahal ini


menarik banget, loh,” kata Mia sambil mengunyah kue
coklatnya. “Adek lo sendiri punya hubungan sama ketua
geng super ganteng dan terkenal di sekolah. Woah, itu bisa
jadi topik hangat, apa lagi Dara Shefania itu orangnya
disiplin. Orang bakal mulai banding-bandingin lo sama
Anna.”

Dara mendengkus kesal, cewek itu diam sebentar saat


menelan spaghetti. “Nilai A lebih seksi daripada Andreas,”
tutur Dara tajam. “Apa bagusnya punya cowok ganteng, tapi
reputasi buruk?”

“Gak boleh gitu, Dara.” Mia menasehati dengan tatapan


yang dibuat dramatis. “Nanti ujungnya lo tertarik sama dia,
kelar idup lo.”

Decihan Dara menjadi tanda bahwa cewek itu baru saja


menyangkal kalimat Mia. Cewek berpipi tembam itu
menyeringai kecil. “Sampe mati, gak bakal gue tertarik
sama yang namanya Andreas.” Dara mengucapkannya
penuh keyakinan.

“Awas karma,” peringat Mia sambil cekikikan. Mia ikut


berdiri ketika Dara beranjak, selesai dengan makan siang,
sekarang mereka punya tujuan masing-masing. “Dah sana,
cari cowok, kek. Jangan kayak nggak laku. Gue mau ketemu
laki gue dulu. Bye, Dara.”

Memutar mata malas, lagi-lagi Dara tidak menanggapi


ucapan Mia tentang segala hal yang memiliki kaitan dengan
pacaran. Namun, diam-diam Dara sedang merasa tidak
puas akan apa yang dia lakukan, rasanya memberitahu Mia
soal Andreas tidak akan berdampak apa-apa.

Mia bukan tipe yang akan segera menyebar informasi


seperti itu, jadi Andreas tidak akan tahu kalau Dara sudah
mengatakan sesuatu tentang cowok itu pada orang lain.
Andreas mungkin tidak akan tahu kalau Dara sedang
melanggar ucapan cowok itu.

Tapi Dara juga enggan dekat-dekat dengan para tukang


gosip hanya untuk memberitahu mereka bahwa dia punya
informasi tentang Andreas. Bisa-bisa Dara dijadikan sumber
informasi dan terus diminta menguntit Andreas. Itu
terdengar mengerikan.

“Hei, Dara.”

Dara kontan terlonjak kaget begitu suara itu terdengar


dekat dengan telinganya. Ketika Dara berbalik, dia tahu
dirinya akan melihat Andreas yang tinggi menjulang. Cowok
itu lagi-lagi mengenakan hoodie hitam, tapi kali ini dengan
tulisan fuck off di dada.

Andreas tidak melepas penutup kepalanya, cowok itu


merunduk. “Apa yang baru aja lo lakuin, Dara?” tanya
Andreas lambat-lambat.

Dara tahu Andreas sedang berusaha mengintimidasinya,


bahkan cowok itu sudah terlihat sangat mengintimidasi
tanpa perlu merunduk seperti sekarang. Berusaha tidak
terpengaruh, Dara menyipit dan maju sengaja menantang.
“Apa yang lo lakuin sekarang, Andreas?” jawab cewek itu
setengah bertanya.

Lorong sepi, di sudut bangunan dekat perpustakaan.


Andreas dan Dara selalu bertemu di tempat-tempat seperti
ini; sepi. Sial, Dara tahu di tempat seperti ini dia tidak akan
bisa minta tolong pada siapa pun. Meski melihat CCTV,
nyatanya itu tidak membuat kepanikan Dara berkurang.
Andreas tidak takut apa pun, itu yang Dara takutkan.

Andreas memperhatikan wajah Dara, melihat mata cewek


itu lekat dan lama, kemudian semakin maju sampai berhasil
mengurung Dara di dinding. Cewek itu menarik napas
terkejut, matanya mengerjap cepat beberapa kali. Ini pasti
cara Andreas untuk mendesak lawan perempuannya, dan
itu berhasil.

“Apa mau lo?” tanya Andreas serius.

Dara mendengkus kesal. “Gampang, Andreas. Jangan


muncul di depan gue, karna itu bikin gue keganggu. Lo yang
bilang gak bakal ganggu gue, ‘kan? Harusnya lo gak muncul
waktu itu dan maksa gue pake jaket. Terus lo pikir gue bakal
diem, aja?” Dara lagi-lagi berani menantang Andreas
dengan balas menatap cowok itu tajam, padahal Dara
sudah menciut diam-diam.

Andreas terkekeh kecil dan singkat, cowok itu meletakkan


tangan di dekat telinga Dara, menarik dagu cewek itu
dengan telunjuk. “Sayangnya gue nggak bisa,” jawab cowok
itu datar. “Kaki gue, mereka yang bawa gue ke lo.”

Rasanya Dara ingin meneriaki Andreas dan menyuruh


cowok itu mematahkan kakinya saja supaya tidak perlu
menghampiri Dara lagi. Sejauh ini yang Andreas lakukan
hanya mengintimidasi Dara, mengatakan hal-hal yang tidak
boleh dibantah, lalu dengan seenak hati membuat Dara
kehilangan akal.

Entah bagaimana caranya untuk bicara ketika Dara bahkan


tidak bisa merasakan apakah dia masih punya mulut atau
tidak. Andreas membayanginya, sampai-sampai Dara yakin
dia tidak akan terlihat di CCTV lorong karena tertutup oleh
badan Andreas.

Yakinkah nilai A lebih seksi dari Andreas?


( ╹▽╹ )

Oh, btw aku mau tambahin Don’t Leave Me Alone dari


David Guetta feat Anne-Marie sebagai lagu di playlist
Hey Shawty! Soalnya lirik lagu itu pas banget aja
gituuuu

Shipper Andara mana, nih? Say next!


7 · Please, Stop

I’m everything you can’t control.

Andreas. A

♚♚♚

VOTE DAN SPAM KOMENTAR

Suatu kesialan bisa bertemu dengan Andreas, dan Dara


akan menyesali itu seumur hidup mulai sekarang.

“Gak usah dipegangin! Gue bukan anak kecil, gue bisa jalan
sendiri!” seru Dara penuh kekesalan.

“Jangan berisik,” peringat Andreas datar. Dia melepas


cekalannya di tangan Dara, dan kembali berjalan melewati
lapangan utama menuju area parkir.

Dengan penuh keterpaksaan, Dara mengikuti Andreas.


Kondisi sekolah sudah sepi, tidak akan ada yang terganggu
dengan teriakan kesal Dara barusan.

Andreas itu selalu bertindak sesuka hati seolah dia adalah


penguasa, seperti kali ini saat cowok itu memaksa Dara ikut
bersamanya. Padahal Dara benar-benar berharap cowok itu
lenyap dari muka bumi supaya mereka tidak perlu bertemu
lagi.

“Pindah ke depan,” perintah Andreas.


“Gak.” Dara melipat tangan di dada, membantah Andreas,
dan tetap keras kepala untuk duduk di kursi belakang mobil
cowok itu.

Dara melengos ketika Andreas menetapnya tajam lewat


kaca, cewek itu masih memasang ekspresi ketus sebagai
bentuk ketidaknyamanan. Dara lupa bahwa Andreas suka
bertindak spontan, cowok itu tidak memberi aba-aba ketika
mengeluarkan Dara dari kursi belakang; dengan cara
menggendong cewek itu. Dara meneriaki Andreas, tapi tidak
bisa berbuat apa-apa ketika dia sudah duduk di samping
kemudi.

Sial. Andreas selalu berhasil memaksa Dara. Andreas itu


seperti suara di kepala Dara yang terus memberitahunya
untuk melakukan hal-hal buruk, dan sialannya cewek itu
tanpa sadar sangat mudah terpengaruh.

Entah kenapa Dara jadi menatap Andreas di sepanjang


perjalanan, dengan alis menjorok dan bibir bawah maju.
Andreas melirik singkat, lalu mendengkus geli, dan rasanya
Dara bisa memerah karena itu.

“Apa yang lo lakuin?” tanya Dara setelah keluar dari mobil


Andreas. Dara mengikuti Andreas, memasuki restoran
Jepang.

“Gue butuh temen makan,” jawab Andreas datar.

“Gue gak pernah setuju buat jadi temen makan lo!” Dara
berseru tidak terima, meski langkah kaki jenjangnya
mengikuti langkah Andreas.

“Gue juga gak minta persetujuan lo, Dara.”

Diam-diam Dara menggerutu sambil duduk di depan


Andreas, wajah cewek itu semakin tertekuk walaupun Dara
Shefania adalah cewek yang sangat menyukai makan-
makan. Lagi pula, kenapa Andreas tidak mengajak pacarnya
saja alih-alih menyeret Dara?

Ibu pasti juga akan mengomentari ketika Dara pulang telat


padahal sedang tidak hujan. Sial, cewek itu terpaksa
berbohong nanti kalau saja Ibu bertanya apa alasannya
pulang terlambat.

Udang adalah makanan kesukaan Dara, jadi kekesalannya


pada Andreas terlupakan ketika tempura sudah tersaji di
depannya bersama saus yang biasa disebut tentsuyu. Dara
meraih sumpit, menggunakannya dengan cekatan untuk
mengambil udang, dan makan dalam diam.

Beberapa detik pertama, Dara lupa bahwa dia bersama


Andreas, kemudian dia menunduk karena ingin fokus makan
saja daripada melihat cowok itu.

Ternyata makan dengan Andreas lebih tenang dibanding


makan dengan siapa pun, mereka hanya benar-benar fokus
makan tanpa ada pembicaraan yang akan mengganggu
satu sama lain. Dara benci seseorang yang bicara saat
makan atau mengunyah, dan Mia sering melakukan itu.

Andreas ternyata punya banyak uang dan kartu ATM di


dompetnya ketika Dara melihat cowok itu membayar semua
makanan mereka. Well, gayanya tidak terlalu mencolok
untuk cowok berdompet setebal itu. Dua kali pertemuan
dengan Andreas di luar sekolah, Dara selalu melihat cowok
itu memakai kemeja lengan panjang dan celana jeans
sobek-sobek, gayanya sederhana.

Dara melirik tangan Andreas yang memutar setir mobil, dan


satu tangan cowok itu yang lain sedang mengetuk-ngetuk di
atas paha. Entah kenapa Dara merasa puas hanya dengan
melihat cara cowok itu menyetir.
“Harusnya lo nggak lakuin ini,” celetuk Dara kemudian.
“Bukannya lo mau gue tutup mulut?”

Andreas mendengkus pelan. “Kenapa? Lo mau bilang sama


semua orang?” tanya cowok itu dingin, seolah tidak tertarik
pada masalah yang dibicarakan Dara. Lampu merah
menghentikan Andreas, dia menarik dagu Dara. “Mau gue
sendiri yang nutup mulut lo?”

Sebelumnya Dara tidak tahu bahwa pertanyaan seperti itu


bisa membuatnya kepanasan, entah dia yang berhalusinasi
atau memang Andreas menyampaikan makna ganda dari
pertanyaannya. Dara menjauhkan tangan Andreas, jemari
cowok itu yang menekan pipinya. Dia mendesis sebal.

“Gue cuma minta lo buat jangan ganggu gue, apa itu


susah?” tanya Dara menuntut.

“Lo takut?” Andreas menyahut setengah bertanya.

“Ch, lo pikir lo itu siapa, sih?”

“Andreas, and I’m everything you can’t control.”

Ibu belum pulang, sekarang hujan, jadi itu adalah


keuntungan untuk Dara karena dia tidak akan diomeli.
Annastasia juga pasti belum pulang, pasalnya pintu tertutup
rapat. Jadi Dara bisa langsung membersihkan diri dan
segera berlindung di balik selimut dari petir yang
menyambar-nyambar.

Dara mendelik ketika melihat Andreas ikut masuk ke


kamarnya. Sial, Dara pikir cowok itu akan langsung pulang.
“Lo salah kamar!” ujar Dara ketus. “Ini kamar gue—”
“Kalo gitu gue bener,” tukas Andreas datar. Cowok itu duduk
di ranjang Dara dengan santai, tidak mengindahkan pemilik
kamar yang sedang memelototinya. “Sepi, Dara.”

Sebelumnya, kamar Dara tidak pernah dimasuki cowok,


ruangan itu sangat pribadi untuknya, bahkan cewek itu bisa
marah kalau Ibu masuk sembarangan. Dari semua tempat
yang Dara tahu, kamarnya hanyalah tempat yang paling
aman dan nyaman.

“Anna belum pulang,” sahut Dara seolah itu yang dimaksud


Andreas. “Ke luar, gue gak nerima tamu.”

“Walaupun hujan?”

“Ch, lo bawa mobil, Andreas.” Dara bersungut-sungut.

Andreas melihat balkon kamar Dara sekilas, lalu menatap


cewek itu lagi. “Gue cuma sebentar,” kata cowok itu lagi.

“Gue nggak peduli!”

Setelah berseru lantang, Dara terkesiap melihat kilatan


cahaya dari pintu kaca balkon. Tirainya lupa tidak Dara
tutup kembali, dan kilatan barusan benar-benar
menakutkan.

“Sini tangan lo,” Andreas memerintah Dara lagi. Cowok itu


mengulurkan tangannya juga, seolah akan menyambut
Dara.

Dengan ekspresi polos Dara mengulurkan tangannya, dan


dia menyesali itu karena Andreas tiba-tiba menariknya.
Dara menahan badannya sendiri di atas Andreas, cewek itu
terbelalak kaget dan tidak punya persiapan. Andreas
menarik pinggang Dara pelan, lalu tiba-tiba posisi mereka
berbalik.
Dara tidak mampu meneriaki Andreas bahkan saat dia sadar
ini salah. Andreas merunduk, menghirup udara di dekat
telinga Dara sebelum menggigit telinga cewek itu.

Seperti diserang dengan panah, Dara menegang di


beberapa detik pertama sebelum napasnya jadi tersengal-
sengal. Andreas menyapu leher Dara dengan hidung sampai
cewek itu bisa merasakan napas hangat di permukaan
kulitnya.

“What are you doing?” tanya Dara tersendat-sendat.

“Guess what.” Suara Andreas yang seperti engahan serak


terdengar tepat di telinga Dara, cewek itu bergerak tidak
nyaman karena napas Andreas menggelitik telinganya.

Dara tidak ingin menebak-nebak, cewek itu tidak ingin tahu


apa yang sedang Andreas lakukan padanya sekarang.
Karena apa pun itu, pasti adalah hal buruk. Ini salah, Dara
seharusnya tidak membiarkan Andreas bertindak seperti
penguasa pada budaknya yang penakut.

Andreas benar tentang perkataannya bahwa cowok itu


adalah segala sesuatu yang tidak bisa Dara kendalikan.
Andreas dominan, dan dia punya kendali besar atas Dara.
Cewek itu meremas kemeja Andreas di bagian bahu,
membuka leher ketika udara panas menggelitiknya di sana
sampai-sampai Dara merasa mual.

“Please, stop.” Dara baru saja menjatuhkan harga dirinya


dengan memohon, tapi itu menghentikan Andreas.

Setelah Andreas tidak lagi di atas Dara, cewek itu langsung


bangun, terengah-engah sendiri menatap Andreas yang
duduk di tepi ranjangnya. Dara melengos, wajahnya terasa
panas sampai telinga, terlalu panas untuk udara sedingin
ini. Andreas menatap Dara seolah semua ini adalah
kesalahan cewek itu.

Sebelum satu di antara mereka berbicara, pintu kamar Dara


diketuk keras-keras. Dara terlonjak mendengar suara Ibu
memanggilnya dengan nada tinggi, cewek itu segera turun
dari ranjang dan dengan panik menarik Andreas, menyuruh
cowok itu sembunyi di kamar mandi karena Andreas terlalu
tinggi untuk diletakkan di dalam lemari.

“Di mana Anna?” tanya Ibu dengan wajah yang bercampur


antara kesal dan malas.

Dara memasang ekspresi datar, yang tentu saja akan


terlihat ketus karena struktur wajahnya. Cewek itu
memegangi daun pintu di belakang badan, berusaha tidak
terlihat mencurigakan. “Aku gak tau,” jawab Dara singkat
dan seadanya.

“Kamu itu Kakak-nya, Dara. Kalo kamu aja bisa pulang sama
seseorang yang bawa mobil hitam di depan, harusnya kamu
bawa Anna. Sampai kapan kamu mau buta tanggung
jawab?” Ibu mencerca Dara padahal sudah tahu karakter
Anna, putri bungsunya biasa pulang terlambat akhir-akhir
ini.

“Aku pulang terakhir, Bu.”

“Bukan berarti kamu bisa mengabaikan tanggung jawab.”

Itu bukan urusan Dara, bahkan Annastasia juga tidak pernah


peduli padanya. Untuk ukuran saudara yang meskipun tidak
satu Ibu, Dara dan Annastasia sangat jarang bicara, apa lagi
terlihat di tempat yang sama.

“Maaf,” ucap Dara akhirnya, walaupun dia membenci


dirinya sendiri untuk mengucapkan itu.
“Kamu cari makan sendiri malam ini, Ibu cuma bawa untuk
Anna.”

Lagi, pikir Dara. Cewek itu mengangguk singkat, tak ingin


semakin memperumit keadaan, khawatir Andreas bisa
mendengarnya. Tidak pernah ada yang tahu perlakuan Ibu
pada Dara yang jelas berbeda dengan perlakuan Ibu pada
Annastasia. Katanya karena Dara sudah besar, tapi
mungkin, karena Dara tidak lahir dari rahim Ibu.

“Mobil siapa di depan?” tanya Ibu kemudian.

“Temen,” jawab Dara setengah berbohong. Tentu saja


Andreas bukan temannya. “Lagi pinjem kamar mandi.”

Ibu pergi, Dara segera masuk dengan kekesalan tertahan.


Lalu semuanya tertukar jadi rasa malu saat Dara
menemukan Andreas bersandar di dekat pintu.

Bukan malu karena tatapan cowok itu yang seperti baru


melihat manusia setelah ratusan hari terlantar di antah-
berantah, tapi karena Andreas mendengar cara Ibu bicara
dan memperlakukan Dara.

“Pulang sana,” Dara mengusir dengan nada ketus dan


tatapan sinis. Dia mengedik pada pintu.

Tapi Andreas masih tidak beranjak, dia justru melipat tangan


di dada, menatap Dara lekat sampai cewek itu memerah.
Andreas seolah sedang meneliti spesies langka,
memperhatikan Dara dari wajah ke leher sampai ujung kaki.
Dara mendelik, cewek itu membuka pintu dengan tarikan
kasar, lalu menarik tangan Andreas untuk mengeluarkannya
dari kamar.

Ibu tidak sedang ada di bawah ketika Dara mengendap-


endap memegangi lengan Andreas, menyembunyikan
cowok besar itu. Rasanya Dara ingin menendang Andreas ke
luar, tapi cowok itu mungkin tidak akan peduli jika ketahuan
oleh Ibu.

Dara mengkhawatirkan karakter Andreas. Ibu bisa berpikir


macam-macam dan akan mengomentari Dara 24/7 karena
menyembunyikan seorang cowok. Apa lagi, cowok yang dia
sembunyikan adalah pacar Annastasia.

“See you,” kata Andreas datar di depan pintu mobilnya.

“Dih, males,” sahut Dara ketus.

Spam next dulu! 🙃

Jangan lupa rekomendasiin cerita ini ke temen-temen


kamu yang suka baca wattpad juga, ya.
8 · Can I Kiss You?
VOTE DAN SPAM KOMENTAR

Dara mengetatkan rahang ketika yang dia lihat adalah


tanda B- di halaman depan makalah kelompoknya, tapi
cewek itu tersenyum kecil menahan diri. “Maaf, Miss.
Kurangnya makalah kelompok saya di mana, ya?” tanya
Dara dengan nada rendah dan lembut.

“Udah saya tandai, Dara. Silakan cek sendiri,” jawab Miss


Nova jutek, masih dengan nada bicara seperti biasanya.

Tersenyum lembut, lagi-lagi Dara ingin bunuh diri, ini bukan


dirinya. Dara tidak suka bersikap dan tersenyum lembut,
atau bicara dengan nada rendah seperti seorang cewek
yang akan remuk seluruh tulangnya dalam sekali tampar.

Dara kembali ke kursinya, melihat tanda-tanda dengan tinta


merah yang dibuat Miss Nova. Secepat matanya
menangkap kejanggalan, secepat itu juga Dara menggeram
tertahan.

Hanya sebuah kesalahan kecil di mana Dara menyebutkan


klasifikasi dalam bentuk kalimat berkoma, tidak bernomor.
Ternyata itu bisa jadi fatal jika berurusan dengan Miss Nova,
atau mungkin memang semua yang satu kelompok dengan
Dara akan selalu sial, lalu dapat nilai jelek. Dara sudah
mengalami itu sebelumnya, tidak hanya satu kali dua kali,
tapi setiap kali ada soal latihan, nilainya tidak pernah jauh-
jauh dari B atau B-.
Dara mendesah frustrasi, bayangan kejadian itu
membuatnya sakit kepala. Meskipun sudah melewati mata
pelajaran dengan Miss Nova, rasanya Dara belum bisa
menerima nilai B- itu.

Berusaha menenangkan diri dengan minum cokelat dalam


botol, Dara menelusuri lorong tanpa tujuan pasti. Sedang
hujan deras lagi, tapi dia sudah berjaga-jaga dengan
earphone dan hoodie besar.

Sambil mendengarkan lagu yang terputar lewat earphone,


Dara mengingat-ingat lagi gerak koreograsfi yang baru
dipelajari kelas modern dance seminggu belakangan.
Kemudian semua pikiran Dara jadi menguar dan terpusat
pada satu titik. Dara membelalak di beberapa detik awal,
kemudian mendesis kesal dan hendak berbalik karena dia
baru saja melihat Andreas sedang menatapnya di ujung
lorong.

Rasanya seperti melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat


orang lain, dan itu mengerikan.

Langkah Dara refleks terpaku ketika earphone terangkat


dari telinganya, dan sekarang dia jadi bisa mendengar suara
hujan serta gemuruh petir. Tanpa menoleh ke belakang pun,
Dara tahu pasti siapa pelaku kejahatan barusan.

“Balikin!” seru Dara garang. Dia mendongak, melihat


Andreas di bawah penutup kepala dari hoodie cowok itu.
“Gue males berantem sama lo sekarang, Andreas. Jadi
jangan ganggu gue atau lo bakalan gue cakar.”

Andreas tetap menatap Dara datar, seolah ancaman cakar


saja tidak cukup untuknya. Bahkan sekarang earphone
nirkabel milik Dara sudah terpasang di telinga Andreas,
cowok itu memperhatikan Dara lagi. Melihat cewek itu
menghentakkan kaki kesal sebelum terlonjak kaget ketika
petir menggelegar.

Dara sudah berkaca-kaca ketika petir yang sama besar


seperti sebelumnya menyambar-nyambar, dia menutup
telinga dengan tangan, lalu mulai berpikir akan lari ke mana
yang lebih dekat ke arah kelasnya. Tapi sebelum Dara
menemukan jalan untuk lari, Andreas sudah menarik
pinggangnya lebih dulu sampai mereka bertabrakan pelan.

Andreas membuat Dara menarik napas terkejut lagi. Dia


menyelinap di dekat leher Dara, menghirup aroma rambut,
dan manis yang menyebar dari leher cewek itu ke udara.
“Takut?” bisik Andreas.

Tentu saja itu sudah terlihat jelas, Dara takut pada petir dan
hujan. Cewek itu bergeming, takut pada semua yang
sedang berada di sekitarnya sekarang, terutama Andreas.
Dara menahan-nahan diri untuk tidak menangis ketakutan
karena petir, dia tidak ingin malu lagi di depan Andreas.

“Boleh gue cium lo di sini?”

Dara terperanjat, tidak sadar Andreas sudah mensejajarkan


wajah di sampingnya. Andreas bahkan secara tidak
langsung sudah mencium Dara; karena bibir cowok itu
bersinggungan dengan pipi tembamnya saat bicara. Dara
ternyata tidak punya kekuatan untuk menggerakkan otot
mulut, jadi saat Andreas mencium pipinya, Dara hanya
terdiam kaku dan menatap bingung pada CCTV di belakang
cowok itu.

Lama sekali. Dara sampai mencengkeram ujung roknya


karena Andreas tidak kunjung selesai. Dia bahkan mulai
menghitung detik, dan jadi tidak fokus karena detak
jantungnya sendiri.
Harusnya ciuman di pipi tidak membuat Dara berdebar, dia
sudah melakukan yang lebih dari itu. Tapi Andreas ini … ada
sesuatu yang aneh, sesuatu sangat magis dengan cowok
itu. Dara merasakan sengatan kecil di dada kirinya.

Dara menelan ludah diam-diam. Di mana semua


kekesalannya pada Miss Nova? Semua kekhawatiran Dara
tentang nilai B- tadi? Lalu kenapa petir tidak lagi membuat
Dara terkejut? Semua perasaan buruk yang tadinya merong-
rong hati Dara, sekarang lenyap dan hanya tersisa berdebar
di sana.

Andreas selesai, dia membidik mata Dara dengan


tatapannya. Tatapan Andreas turun perlahan ke hidung
cewek itu, lalu berakhir di bibir Dara. Andreas membasahi
bibirnya sendiri, Dara bersumpah melihat cowok itu
meneguk ludah.

Ketika tatapan mereka bertemu lagi, saling membidik


seperti panah, Dara refleks mundur. Menyadari sudah
sepanas apa wajahnya sekarang.

Gara-gara kejadian beberapa hari lalu, Dara jadi enggan


bepergian ke luar kelas karena khawatir akan bertemu
Andreas lagi. Untung saja sampai sekarang dia bahkan tidak
mengendus keberadaan cowok itu, Dara bisa sedikit
bersantai alih-alih waspada memperhatikan semua orang,
takut salah satu di antara cowok-cowok setinggi pilar itu
adalah Andreas.

Sekarang adalah hari terakhir sekolah dalam minggu ini,


dan Dara baru saja selesai dengan kelas modern dance. Dia
sedang melewati area parkir, dan entah kenapa rasanya
sangat ingin menoleh ke sana, memperhatikan deretan
mobil para murid.
Walaupun mobil Andreas bukan satu-satunya yang
berwarna hitam, tapi Dara yakin mobil cowok itu akan
mudah dikenali dari bentuknya. Mobil Andreas—berani Dara
akui—adalah salah satu mobil paling mahal di deretan mobil
murid, dan yang termahal dari mobil-mobil hitam lainnya di
sekolah.

Tapi saat ini, Dara tidak melihat mobil itu. Andreas mungkin
sudah pulang, cowok itu pasti tidak ikut satu pun kelas
tambahan. Tampangnya saja sudah seperti orang bosan
sekolah, apa lagi Andreas tidak pernah terlihat membawa
tas atau buku. Dara melengos kesal, ingin marah pada
dirinya sendiri karena sudah berani mencari-cari mobil
Andreas.

“Hey, Girl.”

Dara menoleh pada cowok di atas ninja merah yang pernah


mengantarnya pulang waktu itu, dia hanya menatap Bio
alih-alih membalas sapaan cowok itu.

Bio terkekeh. “Ayo, gue bakal anter lo pulang lagi,” lanjut


cowok itu.

Diam-diam Dara memperhatikan jaket yang dipakai Bio, tapi


itu bukan jaket seperti beberapa waktu lalu. Hanya jaket
bomber biasa dan berwarna navy. Dara masih bergeming,
merasakan sensasi yang sama seperti ketika pertama kali
bertemu Andreas; seolah sedang dihadapkan dengan
masalah.

“Lo percaya gue?”

Dara menggeleng dengan wajah polos. Jawaban jujur bahwa


dia memang tidak mempercayai Bio, meskipun cowok itu
sudah pernah mengantarnya pulang satu kali, dan memang
tidak terjadi sesuatu yang buruk.
Bio tersenyum kecil, lagi-lagi itu terlihat geli seolah Dara
adalah hamster yang sedang melakukan atraksi. “Gue
keliatan jahat, ya?” lanjut Bio. Dan saat itu, Dara
mengangguk dengan air muka yang sama sampai-sampai
Bio terkekeh geli lagi. “Gue gak bakal ngapa-ngapain, kok.”

“Orang ngelakuin sesuatu pasti punya tujuan,” balas Dara


datar.

“Oke.” Bio terkekeh singkat. “Tapi tujuan gue cuma buat


nganter lo sampe rumah. Lo nggak sebawel ini waktu itu,
apa karna sekarang lo punya cowok?” tanya Bio menyelidik.

“Nggak, tuh,” ujar Dara ketus.

“Kalo gitu kenapa? Gue janji gak bakal minta imbalan apa
pun.”

Cowok itu suka memaksa juga ternyata. Dara melipat


tangan di dada, tapi Bio tidak punya sesuatu yang hanya
ada pada Andreas. Bio memaksa Dara dengan halus, dan itu
sudah biasa, lalu Andreas … cowok itu lebih suka melakukan
sesuatu yang bisa membuat Dara terdiam kaku dan
berdebar. Andreas selalu melakukan sesuatu yang
melumpuhkan Dara sampai dia tidak bisa menolak.

“Lo bakal liatin gue kayak gitu sampe mataharinya ilang?”


tanya Bio sambil menyeringai geli.

Dara mendengkus, dia hanya sedang berusaha


mengidentifikasi motif Bio melakukan hal-hal seperti ini.
Dan Dara sampai pada sebuah kesimpulan yang dirinya
sendiri tidak ingin mempercayai. Cewek itu kemudian
menerima tawaran Bio, membungkam hatinya yang
meragu. Dara mengikuti logika, karena setidaknya dia bisa
menghemat pengeluaran.
“Tunggu, siapa nama lo?” Bio menoleh ke belakang saat
Dara sudah duduk di jok.

“Dara,” jawab cewek itu. “Dara Shefania.”

“Oke, Dara. Pegangan.”

Sekilas Dara melihat pada kaca spion motor Bio, entah


hanya dugaannya saja atau memang cowok itu sedang
menyeringai. Dara berpegangan pada sisi jaket Bio,
melupakan firasat buruk yang baru saja menghampirinya.

Ups.

SPAM NEXT!
9 · Wild Things
So you come back, like I knew you would. And we're both
wild. And the night's young. And you're my drug. Breathe
you in 'til my face numb.

♚♚♚

VOTE DAN SPAM KOMENTAR

Entah dari mana asalnya keinginan kuat Dara untuk melihat


Andreas. Dia bahkan sampai berpikir untuk ke hotel tua lagi
malam ini, walaupun itu pasti akan jadi sangat menyebalkan
nanti karena Dara yakin dia akan melihat Andreas dan
Annastasia lagi. Memergoki orang pacaran bukan hal yang
baik untuk Dara, apa lagi saat itu mampu membuat
kekesalannya tersulut.

Tapi di sinilah Dara, di dalam taksi yang sedang membuntuti


motor ninja jemputan Annastasia. Entah mereka yang diam-
diam punya hubungan, atau justru Annastasia yang diam-
diam selingkuh dengan Andreas. Dara melihat Annastasia
berciuman dengan cowok yang menjemputnya di depan
gerbang rumah beberapa menit lalu.

Dara mengernyit ketika jalanan yang mereka tempuh bukan


ke hotel tua yang bahkan dia sendiri ingat titik
koordinatnya, mereka memasuki kompleks perumahan elit
dan asri dengan halaman-halaman yang luas. Banyak lampu
terang setiap beberapa meter ke depan. Kemudian sopir
taksi menghentikan mobil di depan halaman luas sebuah
rumah bercat putih.
Ralat. Itu lebih pantas disebut istana alih-alih sebuah
rumah.

Dari dalam taksi Dara sudah mengaga kecil. Tatapannya


pergi ke arah deretan motor ninja di suatu lantai luas yang
pasti adalah area parkir. Dara segera turun ketika
Annastasia dan cowok tadi masuk ke rumah megah dua
lantai itu.

Kali ini Dara berjalan ragu menuju pintu tinggi yang


tertutup, saat sudah di dalam dia hampir menganga lagi.
Bukan karena interior yang terlihat seperti istana kerajaan
di film Disney, tapi karena istana itu jadi terlihat seperti
sebuah club malam berdesain klasik.

Cahaya remang, alkohol, dan remaja-remaja yang sedang


mengejar kesenangan dunia. Dara meneguk ludah, ini lebih
mengerikan lagi dibanding hotel tua.

Belum sempat menyapu pandang, tahu-tahu Dara sudah


ditarik melewati lautan manusia di tengah ruangan. Dibawa
mengundaki tangga oleh tangan besar yang masih saja
menariknya. Dara menatap Andreas dari belakang, lalu
melihat tangan cowok itu dan baru ingat bahwa Andreas
selalu memakai gelang. Dua gelang berwarna hitam dan
merah.

"Lo mau bawa gue ke mana?!" Dara memekik waspada.


Suara musik berdentum sampai pada lantai yang dia pijaki
di ujung tangga.

Andreas tidak menjawab pertanyaan Dara, tapi dari cara


cowok itu memegangi tangan Dara sekarang, dia tahu
Andreas pasti marah. Diam-diam Dara menelan ludah,
nyalinya menciut saat Andreas membuka pintu yang
membawa mereka pada sebuah kamar.
Tidak cukup buruk dengan itu, Andreas mengunci pintu lalu
membuang kuncinya ke luar jendela yang terbuka lebar.
Dara mendelik, dia sudah akan protes sambil mengamuk,
tapi mulutnya jadi kaku oleh tindakan Andreas. Cowok itu
menarik Dara ke ranjang, dalam hitungan cepat, bahkan
Dara tidak bisa merasakan bagaimana dia jatuh dan tiba-
tiba sudah terbaring.

Andreas berada dalam posisi yang membuat Dara semakin


waspada, cowok itu di atasnya. Andreas menyelipkan
tangan di bawah pinggang Dara, menarik cewek itu ke
tengah ranjang sampai mereka bisa saling menatap. Lagi-
lagi, sebelum Dara sempat memekik panik, Andreas sudah
lebih dulu mencium lehernya sampai dia menahan napas.

Dara lumpuh oleh perlakuan Andreas, dia berkali-kali


menarik napas kaget lewat mulut saat bibir Andreas yang
panas mencium sepanjang lehernya. Ada beberapa jejak
basah yang membuat kulit Dara jadi semakin membara, lalu
Andreas mencium belakang telinga cewek itu juga, berakhir
di pipi dan sangat lama.

"Apa yang lo mau, Dara?" Andreas berbisik, menyapu sisi


wajah Dara dengan ujung hidung mancungnya. "Mau tau
apa lagi?" lanjut cowok itu.

Dara menggerakkan tangan, berniat mendorong Andreas


tapi cowok itu justru menggigit pipinya, dan Dara berakhir
mencengkeram kemeja Andreas. Dia merintih, matanya
sudah berkaca-kaca karena yang Andreas lakukan kali ini
sangat berlebihan.

Ketika Andreas mencium pipi Dara berkali-kali, cewek itu


justru berpikir apakah dia sempat memijak tanah karena
sepatunya sekarang pasti akan mengotori ranjang.
Kemudian Dara menatap Andreas dengan nyali yang sudah
hancur, dan cowok itu menatapnya dengan pandangan
gelap yang tidak pernah Dara lihat dari siapa pun.

Hanya separuh kelopak mata Andreas yang terbuka,


menatap turun pada mata Dara yang melihatnya
kebingungan. Mereka bertukar napas lewat mulut, Dara
menganga dan Andreas bernapas di depan cewek itu. Wajah
Dara merona, sedangkan Andreas hanya memperhatikan
cewek itu sambil mengusap pipinya pelan.

"Look what you made me do," bisik Andreas.

Dara tersengal-sengal ketika Andreas menyentuh bibir


bawah cewek itu dengan ibu jari, lalu menekannya pelan
sebelum ditarik ke bawah. Andreas memperhatikan apa
yang dia lakukan pada bibir Dara dengan pandangan gelap
yang sama. Kewarasan Dara rasanya benar-benar hilang
sekarang.

Setelah memperhatikan bibir Dara, Andreas kembali


menatap cewek itu dan berbisik, "Lo bisa bikin gue gila."

Dara terperanjat, sponton menutup bibirnya dengan satu


tangan, dan tangannya yang lain masih mencengkeram
kemeja Andreas. Cowok itu menarik paksa telapak tangan
Dara, lalu mencium pipinya lama sekali sebelum dia
beranjak duduk. Tapi Andreas tetap tidak membiarkan
mangsa kecilnya merasa tenang, dia menjelajahi wajah
Dara dengan jemari, seolah ingin mengingat jelas
bagaimana rupa cewek itu.

"Gue mau pulang," Dara mencicit.

"Pulang?" ulang Andreas seolah sedang bicara pada anak


kecil. Dia mendengkus pelan ketika Dara mengangguk
dengan wajah polos. "Gak bisa."
Dara tetap ingin pulang. Cewek itu bangkit, memperbaiki
posisi cropped t-shirt yang dia kenakan karena itu sudah tak
karuan. Kemudian Dara terpaku, baru mengingat bahwa
Andreas sudah membuang kunci kamar ini ke luar jendela.

"Tidur, Dara. Lo gak bakal pulang lewat mana pun." Andreas


terdengar dingin dan kalimatnya mempersuasi Dara.

"Kenapa gue harus di sini?" tanya Dara ketus.

"Kenapa lo dateng ke sini?" Andreas menatap Dara datar.


"Sekali lo masuk, lo gak bisa ke luar lagi."

Dara terdiam, menyesali kecerobohannya, dan keinginan


gila yang dia miliki untuk menguntit Annastasia demi
melihat wajah datar Andreas. Dara memperhatikan kamar
bernuansa magis ini, seperti sedang berada di dunia fantasi,
di kamar seorang Slytherin dengan segala mantra yang
melingkupi tempat ini.

Nuansa hijau di sini menyejukkan, tapi keberadaan Andreas


saja sudah cukup membuat Dara kepanasan. Dara
memegangi celana jeans pendeknya, melihat Andreas takut-
takut. Cowok itu sudah duduk di kusen jendela sambil
merokok, Andreas memang hanya diam tapi tatapannya
membidik Dara tepat sasaran.

Apa Dara benar-benar harus tidur di ranjang besar ini?


Dengan Andreas yang menatapnya seperti itu? Atau
bagaimana Dara bisa tidur jika ada yang sedang
menatapnya dengan tatapan seolah siap menelannya
hidup-hidup?

Andreas beranjak dari kusen jendela, dia menarik kedua


kaki Dara dengan satu tangan sampai cewek itu berpindah
ke tepian ranjang. Dara sudah menatap Andreas dengan
mata yang akan lepas, tapi dia tidak mempedulikan itu.
Andreas berjongkok dengan satu kaki di depan Dara,
meletakkan kaki cewek itu di atas lututnya.

Dara yakin tangannya bergetar sekarang, entah karena


udara yang masuk dari jendela, atau justru sentuhan
Andreas yang membuat dia menggigil. Sekarang sepatu
Dara sudah terlepas, hanya kaus kaki abu-abu yang
melindungi kakinya. Andreas berdiri, menyimpan tangannya
yang memegang rokok di belakang punggung, lalu
menundukkan tatapan ke arah Dara.

Andreas meraih dagu Dara agar cewek itu mendongak, lalu


dia mencium pipi kanan cewek itu lagi beberapa detik.
"Night, Baby Girl," bisiknya.

Dara memajukan bibir bawah sebal, cewek itu menarik kaki


ke atas ranjang, membanting dirinya sendiri ke bantal. "I'm
not a baby!" seru Dara ketika menarik selimut tebal sampai
menutup kepala.

Rasanya masih mustahil Dara sekarang bisa kembali


sekolah, bahkan dia bisa pulang dari istana megah kemarin
setelah terkurung berdua dengan Andreas. Sampai
sekarang Dara masih berpikir itu mimpi, sebelumnya dia
tidak pernah tidur di kamar cowok, bahkan menginap
sampai pagi.

Dara ingat ketika dia bangun, Andreas ada di sofa warna


kelabu di sisi ranjang yang menghadap langsung padanya.
Dan cowok itu sedang menatap Dara sambil bersidekap
seolah hanya itu yang Andreas lakukan sepanjang malam.

"Woi, Dara," panggil Tian sambil menyeringai lebar.


Oh, Dara lupa mewawancarai cowok itu soal kejadian di
hotel tua, selama satu minggu mereka bahkan hanya saling
lempar tatapan mengancam. Dara segera menyipit ketika
Tian menghampirinya, merangkul dengan cengiran sok
akrab yang sudah biasa terpatri di bibir cowok itu.

"Mana Mia?" tanya Tian setelah tidak melihat Mia mengikuti


Dara ke kantin.

Dara mengedik tak acuh. "Nyamperin cowoknya," jawab


Dara datar.

Tian menyapa beberapa cowok dengan seringai lebar, lalu


masih menarik Dara dalam rangkulan, mencari kursi di
kantin. Kali ini mereka duduk berdua, sebenarnya bukan hal
baru, tapi Dara merasa Tian sedang memiliki maksud lain.
Biasanya cowok itu lebih memilih berkumpul dengan cowok-
cowok urakan alih-alih bersama Dara atau Mia.

"Lo kenal Bio?" Lalu Tian bertanya dalam nada rendah.


"Bione Carpenter," ulang cowok itu, memastikan Dara tidak
salah orang.

Saat itu Dara tahu dia pasti sedang jadi incaran; jadi
mangsa supaya bisa diperbudak atau mungkin akan diminta
tutup mulut seperti yang Andreas lakukan. Dara pura-pura
tidak tertarik dengan topik pembicaraan mereka, jadi
tingkahnya terlihat santai ketika menjawab, "Iya, tukang
ojek, 'kan?"

Tian terkekeh kecil. "Gue tau dia anter lo pulang beberapa


kali," ujarnya. "Punya hubungan?" tanya Tian lagi.

Dara menyipit kali ini, menatap Tian penuh selidik. "Kenapa


kalo gue punya hubungan sama dia? Dan kenapa kalo
nggak?" tanya Dara menuntut.
"Gue cuma pengen tau," bisik Tian seolah memperingati
Dara untuk memelankan suara.

"Gak," jawab Dara jutek. "Gue gak tertarik sama cowok itu."

"Termasuk Andreas?"

Dara tersedak, bukan karena dia akan menyangkal Tian,


tapi itu membuatnya terkejut. Dara pikir soal Andreas dan
dirinya, hanya mereka berdua yang tahu. Tian ini pasti
pernah di-didik untuk jadi salah satu anggota intel sampai
dia bisa mengetahui segala hal, termasuk hal yang
disembunyikan seperti Andreas dan pertemuan Dara
dengan cowok itu.

"Apa yang lo tau soal Andreas?" Dara mendelik, kali ini dia
benar-benar membisikkan suara alih-alih menjawab dengan
nada normal.

Tian tertawa kecil seolah cowok itu sungguhan mengetahui


segalanya. "Jangan panik, gue gak sengaja liat kalian di
restoran Jepang waktu itu," ujarnya santai. "Apa yang lo tau
soal Andreas?" tanya Tian setelah itu, bukan mengulangi
pertanyaan Dara, tapi melemparnya kembali seolah sedang
berusaha menekan cewek itu.

"Cowok bermasalah," ucap Dara ketus. Dia tidak ingin


terlalu tertarik, jadi ketika menu makan siangnya datang,
Dara buru-buru menikmatinya.

"Selain itu?" Tian masih bertanya setelah sempat


mengucapkan terima kasih dengan nada rayuan pada
pelayan cantik yang mengantar menu makan siang mereka.

Dara bergeming, tidak akan menjawab selagi mulutnya


mengunyah waffle penuh-penuh. Kemudian Dara menghela
napas panjang, cewek itu minum susu cokelatnya. "Kenapa
lo mau tau?" balasnya setengah bertanya. "Gue bukan
narasumber yang tepat buat masalah ini."

Tian terkekeh singkat. "Oke ..," katanya sengaja menjeda


seolah hendak menarik perhatian Dara. "Lo tau Andreas
sama Anna-"

"Pacaran," tukas Dara, entah kenapa harus


mengucapkannya dengan kesal.

"Bukan," sanggah Tian sampai Dara yang tadinya


menunduk pada waffle jadi mendongak dengan terkejut.
"Maksud gue, udah nggak. Anna itu mantannya."

Dara kembali menunduk, melanjutkan gerakan pisau untuk


memotong waffle. Sebelum menyuap ke mulut, Dara
menatap Tian datar. "Mereka masih deket," ucapnya
kemudian.

"Oh, ya?" Tian memotong kue pelangi di piring kecilnya.


"Kayak gimana?" tanya cowok itu santai.

"Mereka ciuman waktu itu," ujar Dara tak berminat. Dia


kemudian mendecak tanpa alasan, meneguk susu sangat
banyak.

Tian menarik sudut bibir ke bawah sekilas, seolah sedang


meremehkan sesuatu. Cowok berdarah Belgia itu tidak
berkata apa pun untuk beberapa menit dan fokus makan
siang. Saat itu justru Dara yang jadi penasaran karena dia
merasa Tian mengetahui lebih banyak lagi kebenaran.

"Kenapa Andreas masih diterima di sini?" tanya Dara


akhirnya. "Dia pernah dipenjara."

Tian menatap Dara beberapa detik, lalu menggumam


pendek sengaja membuat cewek itu menunggu-nunggu.
"Biasanya gue dibayar buat ngelakuin ini." Tian terkekeh.
"Tapi karna Dara lucu dan gemesin, jadi gratis, nih."

Dara sudah pasang telinga dan konsenterasi, tapi Tian tidak


juga memulai sampai dia harus memelototi cowok itu dulu
dan berhenti makan. Kalau sudah begini, mana mungkin
Dara tidak tertarik.

"Andreas cuma rehab 9 bulan," ucap Tian menggantung.


"Dia masih sekolah di sini karna ... apa, ya? Kalo gue kasih
tau kayaknya lo bakal ... ngamuk? Atau stress?" Tian
tertawa seolah dia meremehkan Dara.

"Apa maksud lo?"

"Mau buat perjanjian?"

Dara menyipit curiga, tapi Tian tidak mungkin


merugikannya bukan?

"Oke." Dara mengangguk setuju.

"Kita mutual, aja, Dara. Gue bakal butuh bantuan lo nanti,


bukan sekarang, dan saat itu lo harus siap. Ngerti?" Tian
tersenyum meyakinkan, Dara menatap cowok itu lama
sebelum mengangguk lagi.

"Jangan bacot, deh. Buruan."

Tian menyeringai lebar, kemudian cowok itu berdehem dan


raut wajahnya jadi serius. Dia berkata dalam nada rendah,
"Ibaratnya anak emas. Apa pun kelakuannya, Andreas bakal
tetep jadi kebanggan guru-guru, lo doang mah gak ada apa-
apanya. Dan ... lo tau Robert Athanius? Atau ... Carla
Athanius? Mereka pemilik sekolah ini sekaligus orang yang
dipanggil Andreas sebagai ... 'Papa Mama'."

[Kolom spam next]


10 · Big Enemy
Dihapus untuk kepentingan penerbitan.
11 · Miss Me?
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
12 · La La Lost You
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
13 · Dangerous Touch
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
14 · He Wanted A Kiss
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
15 · Fears
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
16 · Good Shit
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
17 · Can We Fucking Do It?
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
18 · Friends with Benefits
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
19 · Forget Me Too
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
20 · And I Still Want You
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
21 · Bad Boy, Good Lips
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
22 · Favorite Things
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
23 · The New Romantics
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
24 · Love Bite
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
25 · I Just Had S
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
26 · Love Me Harder
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
27 · Broken Angels
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
28 · Big Conversation
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
29 · He's A Good Fighter
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
30 · I Wanna
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
31 · I Didn't Eat Her
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
32 · Problem Solved, Game
Over
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
33 · Andreas Van Antonius
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
34 · Migraine and Erection
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
35 · Bathroom
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!
Epilog
Bagian ini hanya terdapat di KUBACA. Silahkan
download dan install aplikasi untuk membaca sisa
part A-String!

⚠ TERBIT TAHUN DEPAN ⚠


Twitter Andreas

yah silahkan difollow bucin-bucinnya bujang satu ini


VOTE COVER
Ayo mana yang nunggu Andreas terbit? 😋
REVEAL HARGA

You might also like