Proposal MARIATI KEFI

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 30

PROPOSAL

SUATU KAJIAN YURIDIS TENTANG PENERAPAN DIVERSI TERHADAP


ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA OLEH KEJAKSAAN DALAM
TAHAP PENUNTUTAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11
TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

MARIATI KEFI

1802050006

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KARYADARMA KUPANG

2023

1
BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Peradilan pidana merupakan salah satu pilar penting dalam sistem hukum

suatu negara. Di Indonesia, sistem peradilan pidana melibatkan berbagai lembaga

seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Namun,

masih terdapat tantangan signifikan dalam implementasi sistem peradilan pidana

terpadu, termasuk dalam hal koordinasi antar lembaga, penegakan hukum, dan

perlindungan hak-hak tersangka serta korban. Seiring dengan perkembangan

zaman dan kompleksitas kejahatan, sistem peradilan pidana di Indonesia perlu

menyesuaikan diri untuk lebih efektif dalam menangani kasus kejahatan.

Anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Anak yang

terlibat dalam tindak pidana dikenakan perlakuan yang berbeda dibandingkan

dengan orang dewasa.1 Fokus utama dari peradilan pidana anak adalah rehabilitasi

dan reintegrasi sosial, bukan sekadar hukuman. Tujuan utamanya adalah untuk

memperbaiki perilaku anak dan membantunya kembali ke masyarakat dengan cara

yang positif.

1
Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

2
Peradilan pidana anak di Indonesia dirancang untuk memberikan

perlindungan khusus dan pendekatan yang lebih rehabilitatif daripada sistem

peradilan pidana untuk orang dewasa.

Anak yang terlibat dalam proses hukum memiliki hak-hak yang harus

dilindungi, termasuk hak untuk tidak diadili secara terbuka, hak untuk

mendapatkan bantuan hukum, dan hak untuk mendapatkan perlakuan yang layak

dan tidak merugikan perkembangan psikologis mereka.

Perlindungan anak dan remaja merupakan aspek penting dalam sistem

peradilan pidana. Di Indonesia, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) mengatur tentang penanganan anak

yang melakukan tindak pidana dengan pendekatan yang lebih humanis dan

rehabilitatif. Salah satu upaya yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah

penerapan diversi, yakni suatu proses penyelesaian perkara anak di luar pengadilan

untuk mencegah dampak negatif dari proses peradilan formal terhadap anak.

SPPA juga menyediakan mekanisme alternatif seperti diversion atau

pengalihan perkara, yang bertujuan untuk menghindari proses peradilan formal.

Diversion dapat dilakukan dengan cara mediasi atau penyelesaian di luar

pengadilan, asalkan melibatkan kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat dan

melibatkan pengawasan dari pihak berwenang.

Diversi bertujuan untuk menghindari stigma negatif yang mungkin timbul

dari proses hukum, serta memberikan kesempatan kepada anak untuk memperbaiki

3
perilakunya tanpa harus terjebak dalam sistem peradilan pidana. Meskipun

demikian, penerapan diversi di lapangan seringkali menemui berbagai tantangan,

baik dari segi pelaksanaan maupun dari pemahaman berbagai pihak terkait. Sistem

peradilan pidana anak di Indonesia berusaha untuk menyeimbangkan antara

penegakan hukum dan perlindungan hak-hak anak, dengan tujuan akhir untuk

membantu anak-anak yang terlibat dalam tindak pidana agar mereka dapat

berkembang menjadi anggota masyarakat yang produktif dan bertanggung jawab.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis bermaksud untuk melakukan

penelitian dan menyelesaikan tugas akhir (Skripsi) pada Fakultas Hukum dan Ilmu

Pemerintahan Universitas Karyadarma Kupang dengan judul “SUATU KAJIAN

YURIDIS TENTANG PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK YANG

MELAKUKAN TINDAK PIDANA OLEH KEJAKSAAN DALAM TAHAP

PENUNTUTAN BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 11

TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK”

4
1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana penerapan diversi terhadap anak yang melakukan tindak

pidana dalam tahap penuntutan?

1.2.2 Apa saja kendala yang dihadapi dalam penerapan diversi pidana dalam

tahap penuntutan?

1.2.3 Apa dampak dari penerapan diversi terhadap anak yang terlibat dalam

tindak pidana dan sistem peradilan pidana secara keseluruhan?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Mengidentifikasi dan menganalisis penerapan diversi terhadap anak

yang melakukan tindak pidana pidana dalam tahap penuntutan.

1.3.2 Mengidentifikasi kendala-kendala yang dihadapi dalam proses

penerapan diversi.

1.3.3 Menganalisis dampak penerapan diversi terhadap anak dan sistem

peradilan pidana.

1.4 Manfaat Penelitian

Kegiatan Penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan sebagai berikut :

1.4.1 secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengembangan

ilmu pengetahuan tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

1.4.2 Secara Praktis, Sebagai pedoman dan masukan bagi semua pihak terutama

masyarakat agar lebih memahami tentang sistem peradilan pidana anak.

1.4.3 Bagi saya sendiri, penelitian ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Hukum

5
BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1 Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia

Sistem peradilan pidana dalam KUHAP adalah berupa sistem peradilan

pidana terpadu (integrated criminal justice system). Sistem ini diletakan pada

landasan prinsip diferensiasi fungsional di antara aparat penegak hukum sesuai

dengan proses kewenangan yang diberikan Undang-Undang 2. Sebelum berlakunya

KUHAP, sistem peradilan pidana di Indonesia dilandaskan pada Inlaands

Regelement yang berubah menjadi Het Herziene Inlaands Regelement (HIR)

Stbld. 1941 Nomor 44. Pada Tahun 1981, rancangan undang-undang hukum acara

pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada Tanggal 23

Desember 1981, kemudian Presiden mensahkan menjadi Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disebut juga dengan nama Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Sistem peradilan pidana di Indonesia tidak hanya diatur di dalam sebuah

kitab peraturan perundang-undangan saja dalam hal ini KUHAP melainkan di

dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan sistem

peradilan pidana3 .

2
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP: Penyidikan Dan Penuntutan,
Jakarta: Sinar grafika, 2009, hal. 90
3
Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana: Perbandingan Komponen Dan Proses Sistem Peradilan Pidana
Di Beberapa Negara, Yogyakara: Pustaka Yustisia, 2013, hal. 145.

6
Romli Atmasasmita mengartikan sistem peradilan pidana sebagai suatu

istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan

dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem4. Sebagai sebuah sistem

peradilan pidana mengenal tiga pendekatan yaitu pendekatan normatif,

administratif dan sosial5. Pendekatan normatif memandang keempat aparatur

penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan)

sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga

keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem

penegakan hukum semata-mata. Pendekatan administratif memandang keempat

aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki

mekanisme kerja baik hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat

vertikal sesuai dengan sruktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut,

sistem yang digunakan adalah sistem administrasi sedangkan pendekatan sosial

memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut

bertanggungjawab atas keberhasilan dan ketidakberhasilan dari keempat aparatur

penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya, sistem yang digunakan

adalah sistem sosial6.

Mardjono memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan sistem

peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-

4
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana: Perspektif eksistensialisme dan abolisionalisme,
Bandung:Putra abardin, 1996, hal. 14.
5
Ibid., hal. 17.
6
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2010, hal. 6-7.

7
lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan pidana 7. Mardjono

mengemukakan bahwa terdapat empat komponen dalam sistem peradilan pidana

(kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) yang diharapkan

dapat bekerjasama dan dapat membentuk suatu “integrated criminal justice

system”. Peradilan pidana sebagai suatu sistem mempunyai perangkat struktur atau

subsistem yang seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif agar

dapat mencapai efesiensi dan efektivitas yang maksimal. Antar subsistem apabila

tidak dapat bekerja secara simultan, maka menimbulkan kerugian yang dapat

diperkirakan antara lain:

1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-

masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama;

2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah pokok masing-masing

instansi sebagai subsitem dari sitem peradilan pidana;

3. Karena tanggungjawab masing-masing instansi sering kurang terbagi

maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas

menyeluruh dari sistem peradilan pidana8

Sistem peradilan pidana menuntut adanya keselarasan hubungan antara

subsistem secara administrasi dalam implementasi sistem peradilan pidana yang

terpadu. Secara pragmatis, persoalan administrasi peradilan dalam sistem peradilan

7
Mardjono Reksodiputro, “Sistem peradilan pidana Indonesia (melihat kepada kejahatan dan
penegakan hukum dalam batas-batas toleransi)”; Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar
Tetap Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993, hal. 1.
8
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan Karangan
Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas
Indonesia, Jakarta: 1994, hal. 85

8
pidana menjadi faktor signifikan dalam prinsip penegakan hukum dan keadilan

melalui subsistem sistem peradilan pidana yang terpadu.

Jika masalah administrasi peradilan tidak bagus dalam konsep dan

implementasinya maka tujuan yang hendak dicapai oleh adanya sistem peradilan

pidana yang terpadu tidak mungkin bisa terwujud dan yang terjadi justru

sebaliknya yakni kegagalan dari prinsip-prinsip dan asas hukum yang menjadi

dasar dari kerangka normatif sistem peradilan pidana terpadu9

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sistem peradilan

pidana selalu memiliki konsekuensi dan implikasi sebagai berikut:

1. Semua subsistem akan saling bergantung (interdependent) karena

produk (output) suatu subsistem merupakan masukan (input) bagi

subsistem yang lain;

2. Pendekatan sistem mendorong adanya interagency consultation and

cooperation yang pada gilirannya akan meningkatkan upaya

penyusunan strategi dari keseluruhan sistem;

3. Kebijakan yang diputuskan dan dijalankan oleh suatu subsistem akan

berpengaruh pada subsistem yang lain10.

Ketergantungan antar subsistem dalam sistem peradilan pidana dengan

sendirinya akan menjadikan sistem peradilan pidana sebagai suatu sisitem yang

terintegrasi menjadi suatu sistem dengan tujuan yang sama. Sistem peradilan

9
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang: UMM Press, hal. 256
10
Ibid.

9
memiliki tujuan besar yaitu untuk melindungi masyarakat dan menegakkan

hukum11.

2.2 Sistem Peradilan Pidana Anak

Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari istilah

The Juvenile Justice System, yaitu suatu istilah yang digunakan searti dengan

sejumlah institusi yang tergabung dalam pengadilan, yang meliputi polisi, jaksa

penuntut umum dan penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat

penahanan anak, dan fasilitas-fasilitas pembinaan anak. Dengan demikian, pihak-

pihak terkait dalam Juvenile Justice System, pertam: polisi sebagai institusi formal

ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga

akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diperoses lebih lanjut. Kedua,

jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak

akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak,

tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari

dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Yang terakhir,

institusi penghukuman.

Sistem peradilan pidana anak, terkandung unsur sistem peradilan

pidana, dan unsur “anak” dalam kata “sistem peradilan pidana anak” mesti di

cantumkan, karena untuk membedakan dengan sistem peradilan pidana

dewasa, sehingga sistem peradilan pidana anak adalah sistem peradilan


11
Tolib Effendi, op.cit., hal. 25.

10
bagi anak. Anak dalam sistem peradilan pidana anak, adalah anak nakal,

yaitu anak yang melakukan tindak pidana, ataupun anak yang melakukan

perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak12.

Sistem peradilan pidana anak merupakan sistem peradilan pidana,

maka di dalam memberikan pengertian sistem peradilan pidana anak, terlebih

dahulu (Criminal justice system) menunjukkan mekanisme kerja dalam

penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar “pendekatan

sistem”. Remington dan Ohlin mengemukakan13:

“Criminal Justice System dapat di artikan sebagai pemakaian

pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana.

Sebagai suatu sistem peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara

peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah

laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses

interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan efisien untuk

memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya”.

Sudarto mengemukakan bahwa di dalam peradilan anak terdapat

aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang tertuju pada kepentingan

anak14, yaitu segala aktivitas yang dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim, dan

pejabat lain, harus di dasarkan pada suatu prinsip ialah demi kesejahteraan

anak dan kepentiangan anak.

12
Setya Wahyudi, Implementasi ide diversi dalam pembaruan sistem pidana anak di Indonesia., hlm.
35.

13
ibd
14
Setya Wahyudi, Op. Cit., hlm. 36

11
Dengan beranjak pada pendapat-pendapat tersebut, maka sistem

peradilan pidana anak adalah suatu sistem penegakan hukum pidana anak

yang dilakasanakan secara terpadu oleh 4 (empat) sub-sistem kekuasaan, yaitu

kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan

mengadili/menjatuhkan pidana, dan kekuasaan eksekusi/pelaksanaan pidana,

berdasarkan hukum pidana materil anak, hukum pidna formal anak, dan

hukum pelaksanaan pidana anak, dan aktivitas dalam penegakan hukum

pidana anak ini lebih menekankan pada kepentingan perlindungan anak dan

tujuan kesejahteraan anak.

2.3 Tujuan sistem peradila pidana anak

Tujuan-tujuan sistem peradilan pidana tersebut, tentunya sedikit

banyak berlaku pula bagi tujuan penyelenggaraan sistem peradilan pidana

anak, yaitu tujuan jangka pendek sistem peradilan pidana anak adalah

resosialisasi atau pembinaan untuk mempersiapkan kembali kepada masyrakat

bagi pelaku anak. Tujuan jangka menengah sistem peradilan pidana anak

adalah mencegah pelaku anak tersebut melakukan kejahatan lebih lanjut, dan

tujuan jangka panjang untuk kesejahterahan pelaku anak maupun

kesejahterahan masyarakat pada umumnya. Gordon Bazemore menyatakan

bahwa tujuan sistem peradilan pidana (SPP) anak berbeda-beda, tergantung

pada paradigma sistem peradilan pidana anak yang dianut. Terdapat tiga

paradigma peradilan pidana anak yang terkenal yaitu: Paradigma Pembinaan

Individual (Individual treatment paradigm); Paradigma Retributif (retributif

12
paradigm); Paradigma Restoratif (restoratif paradigm). Dari masing-masing

paradigma peradilan pidana anak, maka akan berlainan masing- masing tujuan

yang ditonjolkan.

Tujuan sistem peradilan pidana anak juga dapat dilihat dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan sistem peradilan pidana anak, yaitu:

SMRJJ/The Beijing Rule, Konvensi Hak-hak Anak Di Indonesia, tujuan

sistem peradilan pidana anak dapat diketahui pada UU Pengadilan Anak dan

UU Perlindungan Anak.

a. Tujuan SPP anak pada paradigma pembinaan individual

Sistem peradilan pidana anak dengan paradigma pembinaan

individual, yang dipentingkan adalah penekanan pada permasalahan yang di

hadapi pelaku, bukan pada perbuatan/kerugian yang diakibatkan. Tanggung

jawab ini terletak pada tanggung jawab sistem dalam memenuhi kebutuhan

pelaku. Penjatuhan sanksi dalam sistem peradilan pidana anak dengan

paradigma pembinaan individual, adalah tidak relevan, incidental dan secara

umum tak layak. Pencapaian tujuan sanksi ditonjolkan pada indikator hal-hal

berhubungan dengan apaka pelaku perlu diidentifikasi, apakah pelaku telah

dimintakan untuk dibina dalam program pembinaan khusus dan

sejauhmana program dapat diselesaikan.

Putusan ditekankan pada perintah pemberian program untuk

terapi dan pelayanan. Fokus utama untuk pengidentifikasian pelaku dan

pengembangan pendekatan fositifis untuk mengkoreksi masalah. Kondisi

delinkuensi ditetapkan dalam rangka pembinaan pelaku. Pelaku dianggap tak

13
berkompeten dan tak mampu berbuat rasional tanpa campur tangan terapitik.

Pada umumnya pelaku perlu dibina, karena pelaku akan memperoleh

keuntungan dari campur tangan trapitik. Pencapaian tujuan diketahui dengan

melihat apakah pelaku bisa menghindari pengaruh jelek dari

orang/lingkungan tertentu, apakah pelaku mematuhi aturan dari Pembina,

apakah pelaku hadir dan berperan serta dalam pembinaan, apakah pelaku

menunjukkan kemajuan dalam sikap dan selfcontrol, apakah ada kemajuan

dalam interaksi dengan kelaurga. Yang diutamakan dalam peraktek adalah

konseling kelompok dan keluarga: paket kerja probation telah disusun, dan

aktivitas rekreasi, yang telah berlangsung. Menurut sistem peradilan pidana

dengan paradigma pembinaan individual, maka segi perlindungan

masyarakat secara langsung, bukan bagian fungsi peradilan anak.

b. Tujuan SPP anak dengan paradigama retributif

Tujuan penjatuhan sanksi dalam sistem peradilan pidana anak dengan

paradigma retributif ditentukan pada saat pelaku menjalani pidana. Tujuan

penjatuhan sanksi tercapai dilihat dengan kenyataan apakah pelaku telah

dijatuhi pidana dan dengan pemidanaan yang tepat, pasti, setimpal, serta adil.

Bentuk pemidanaan berupa penyekapan, pengawasan elektronik, sanksi

punitive, denda dan fee. Untuk menciptakan perlindungan masyarakat

dilakukan dengan pengawasan sebagai strategi terbaik, seperti penahanan,

penyekapan, pengawasan elektronik. Keberhasilan perlindungan masyarakat

dengan dilihat pada keadaan apakah pelaku telah ditahan, apakah residivis

14
berkurang dengan pencegahan dan penahanan.

c. Tujuan SPP anak dengan paradigma restoratif

Ada asumsi dalam sistem peradilan pidana anak dengan paradigma

restoratif, bahwa di dalam mencapai tujuan penjatuhan sanksi, maka diikut

sertakan korban untuk berhak aktif terlibat dalam proses peradilan. Indikator

pencapaian tujuan penjatuhan sanksi tercapai dengan dilihat pada apakah

korban telah di restorasi, kepuasan korban, besarnya ganti rugi, kesadaran

pelaku atas perbuatannya, jumlah kesepakatan perbaikan yang dibuat, kualitas

pelayanan kerja dan keseluruhan proses yang terjadi. Bentuk-bentuk sanksi

yaitu restitusi, mediasi pelaku korban, pelayanan korban, restorasi

masyarakat, pelayanan langsung pada korban atau denda restortif.

Dalam penjatuhan sanksi mengikut sertakan pelaku, korban,

masyarakat dan para penegak hukum secara aktif. Pelaku bekerja aktif untuk

merestore kerugian korban, dan menghadapi korban/wakil korban. Korban

aktif dalam semua tahap proses dan akan membantu dalam penentuan sanksi

bagi si pelaku. Masyarakat terlibat sebagai mediator, membantu korban dan

mendukung pemenuhan kewajiban pelaku. Penegak hukum memfasilitasi

berlangsungnya mediasi.

Fokus utama peradilan restoratif untuk kepentingan dan membangun

secara positif, maka anak dan keluarga merupakan sumber utama. Anak

dianggap berkompeten dan mempunyai kemampuan positif, bersifat preventif

dan proaktif. Untuk kepentingan rehabilitasi pelaku diperlukan perubahan

sikap lembaga kemasyarakatan dan perilaku orang dewasa. Rehabilitasi61

15
pelaku dilakukan dengan pelaku yang bersifat learning by doing, konseling

dan terapi untuk memotivasi keterlibatan aktif para pihak.

2.4 Konsep Diversi Dalam System Peradilan Pidana Anak Di Indonesia

Anak bukanlah untuk dihukum melainkan harus diberikan bimbingan

dan pembinaan, sehingga bisa tumbuh dan berkembang sebagai anak normal

yang sehat dan cerdas seutuhnya.31 Anak di dalam masa perkembangannya

dapat melakukan sesuatu perbuatan buruk yang dapat merugikan orang lain

baik secara fisik maupun materil. Kejahatan Anak ini dapat dikatakan sebagai

kenakalan anak. Kenakalan anak diambil dari istilah asing Juvenile

Deliquency, tetapi kenakalan anak ini bukan kenakalan anak yang

dimaksudkan di dalam Pasal 489 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 15.

Kenakalan yang dibahas di dalam penulisan skripsi ini adalah kenakalan anak

yang melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana.

Menurut Kartini Kartono yang dikatakan Juvenile Deliquency adalah

perilaku jahat/dusta, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan

gejala sakit secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh

suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk

pengabaian tingkah laku yang menyimpang.16

Romli Atmasasmita memberikan pula perumusan Juvenile Deliquency, yaitu

setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun
15
Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak edisi Revisi, Refika Aditama, Bandung, 2013,
hlm. 8.
16
Ibid., hlm. 9.

16
dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum

yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang

bersangkutan.17

Juvenile artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa

muda sifat khas pada remaja, sedangkan Deliquency artinya terabaikan,

mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial,

kriminal, dan lain-lain.35 Berdasarkan defenisi mengenai juvenile deliquency

dapat ditarik kesimpulan bahwa, Juvenile deliquency adalah perbuatan jahat

yang dilakukan oleh seorang anak dibawah usia 18 tahun yang menimbulkan

kerugian fisik maupun materil serta immaterial bagi orang lain. Istilah

kenakalan anak itu pertama kali ditampilkan pada Badan Peradilan di

Amerika Serikat dalam rangka usaha membentuk suatu Undang-Undang

Peradilan bagi anak di negara tersebut. Dalam Pembahasanya ada kelompok

yang menekankan segi pelanggaran hukumnya, ada pula kelompok yang

menekankan pada sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari norma

yang berlaku atau belum melanggar hukum namun, semua sepakat dasar

pengertiannya adalah perbuatan yang bersifat anti sosial.18

Indonesia sendiri telah memiliki undang-undang yang

memperhatikan mengenai kepentingan anak, diantarnya ialah Undang-

Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Kesejahteraan Anak, Undang-

Undang Pengadilan Anak, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak

yang menggantikan Undang-Undang Pengadilan Anak yang lama. Undang-


17
Ibid., hlm. 11.

18
Ibidh Hlm 9

17
Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mengenal istilah diversi dan

restorative justice.

Menurut Agustinus Pohan, yang dimaksud Restoratif Justice adalah

merupakan konsep keadilan yang sangat berbeda dengan apa yang kita kenal

saat ini dalam sistem hukum pidana Indonesia yang bersifat retributif. Konsep

restoratif justice dari UNICEF menitikberatkan kepada keadilan yang dapat

memulihkan, yaitu memulihkan bagi pelaku tindak pidana anak, korban dan

masyarakat yang terganggu akibat adanya tindak pidana tersebut. 19 Proses

konsep restorative justice ini dijalankan melalui diversi.

Pengertian diversi terdapat banyak perbedaan sesuai dengan praktek

pelaksanaanya. United Nations Standard Minimum Rules for the

Administration of Juvenile Justice butir 6 dan 11 terkandung pernyataan

mengenai diversi yakni sebagai proses pelimpahan anak yang berkonflik

dengan hukum dari sistem peradilan pidana ke proses informal seperti

mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat baik pemerintah atau non

pemerintah.20

Diversi adalah Pengalihan atau pemindahan dari proses peradilan ke

dalam proses alternatif penyelesaian perkara, yaitu melalui musyawarah

pemulihan atau mediasi. Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-

kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana

formal ke penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana

19
Ibid hlm 134
20
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia ( Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative
Justice), Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 11 (selanjutnya disebut buku II).

18
dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan atau/masyarakat,

Pembimbing Kemasyarakatan Anak, Polisi, Jaksa atau Hakim.21 Secara

singkat, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses

peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.22

2.3.1 Tujuan Diversi

Prinsip pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau

pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk

memperbaiki kesalahan.23 Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk

taat dan menegakkan hukum negara, pelaksanaanya tetap mempertimbangkan

rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian kesempatan

kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi, kerja

sosial atau pengawasan orang tua.24 Langkah pengalihan dibuat untuk

menghindarkan anak dari tindakan hukum selanjutnya dan untuk dukungan

komunitas, di samping itu pengalihan bertujuan untuk mencegah pengaruh

negatif dari tindakan hukum berikutnya yang dapat menimbulkan

stigmatisasi.25

Tujuan dilakukan diversi berdasarkan ketentuan Undang-Undang

Sistem Peradilan Pidana Anak adalah sebagai berikut26 ;

a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak,

21
Dalam Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, hlm. 49.
22
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
23
Marlina, Buku II, op. cit., hlm. 13.
24
Ibid., hlm. 14.
25
Pasal 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

26
Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Penanggulangan Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana
Narkotika Oleh Anak, UMM Press, Malang, 2009, hlm. 110.

19
b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan,

c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan,

d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan

e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Tujuan lain dalam proses pengalihan anak dari proses yustisial ke

proses non-yustisial mempunyai urgensi dan relevansi sebagai berikut;27

a. Proses penyelesaian yang bersifat non-yustisial terhadap anak akan

menghindarkan terjadinya kekerasan terpola dan sistematis,

khususnya kekerasan psikologis terhadap anak oleh aparat penegak

hukum. Terjadinya kekerasan terpola dan sistematis terhadap anak

dalam proses pemeriksaan akan menimbulkan trauma yang sangat

mendalam bagi anak. Oleh karenanya, penyelesaian yang bersifat

non-yustisial melalui mekanisme diversi terhadap anak justru akan

menghindarkan anak dari terjadinya kontak antara anak dengan

aparat penegak hukum.

b. Melalui mekanisme diversi anak tetap diberikan peluang untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya, tetapi melalui

mekanisme yang lebih elegan menurut prespektif anak.

Penyelesaian secara non-yustisial tidak dimaksudkan untuk

membebaskan anak dari kemungkinan adanya

pertanggungjawaban anak terhadap segala akibat perbuatannya.

Oleh karenanya, melalui mekanisme diversi akan diperoleh


27
Ibid

20
keuntungan ganda. Di satu sisi anak terhindar dari berbagai

dampak negatif akibat kontak dengan aparat penegak hukum,

sementara di sisi lain anak tetap dapat mempertanggungjawabkan

akibat perbuatannya tanpa harus terjadi tekanan terhadap mental

anak.

c. Mekanisme diversi dapat dianggap sebagai mekanisme koreksi

penyelenggaraan peradilan terhadap anak yang berlangsung selama

ini. Mekanisme formal yang ditonjolkan dalam proses peradilan

pidana termasuk terhadap anak sering menimbulkan dampak

negatif yang demikian kompleks, sehingga menjadi faktor

kriminogen yang sangat potensial terhadap tindak pidana anak.

d. Sebagai pengalihan proses yustisial ke proses non yustisial, diversi

berorientasi pada upaya untuk memberikan pelayanan sosial

kepada pelaku kejahatan, tetapi lebih dipandang sebagai korban

yang membutuhkan berbagai layanan seperti, medis, psikologi,

rohani. Oleh karena sifatnya yang demikian maka diversi

hakekatnya merupakan upaya untuk menghindarkan anak dari

kemungkinan penjatuhan pidana. Dengan demikian, diversi juga

merupakan proses depenalisasi dan sekaligus deskriminalisasi

terhadap pelaku anak.

2.3.2 Sejarah Diversi

Sebagaimana diamanatkan dalam Standart Minimum Rules

for the Administration of Juvenile Justice (SMR-JJ) atau yang

21
lebih dikenal dengan Beijing Rule, bahwa dipandang penting

adanya jaminan bagi aparat penegak hukum untuk tidak

mengambil jalan formal di dalam menyelesaikan perkara anak

yaitu dapat menggunakan kewenangannya (diskresi). Diskresi

adalah wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani

kasus pelaku tindak pidana untuk mengambil tindakan

meneruskan perkara atau menghentikan perkara.28

Diskresi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dapat

dikatakan sebagai salah satu bentuk diversi. Dikatakan sebagai

salah satu bentuk diversi dikarenakan diskresi yang dilakukan

memiliki sifat menyelesaikan suatu perkara di luar peradilan sama

seperti diversi yang bertujuan menyelesaikan perkara di luar

peradilan.

Diversi telah lama dilakukan oleh aparat penegak hukum di

luar negeri, hanya saja namanya bukanlah diversi akan tetapi

menggunakan bentuk diskresi. Inggris telah lama melakukan

diskresi dan mengalihkan anak kepada proses non- formal seperti

pada kasus-kasus yang mempergunakan barang mainan yang

membahayakan orang lain.29 Menurut aturan Children Act tahun

1908 polisi diberi tugas menangani anak sebelum masuk ke

pengadilan dengan lebih memperhatikan pemberian kesejahteraan

dan keadilan kepada anak pelaku tindak pidana. Ketentuan


28
Marlina, Disertasi Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Medan, 2017, hlm. 137.
29
Marlina, Buku I, Op. cit., hlm. 25.

22
Children Act tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk

diskresi dan mengenai pemberian kesejahteraan dan keadilan

kepada anak pelaku tindak pidana dapat menggunakan program

diversi. Perkembangan pelaksanaan diversi yang dilakukan di

Inggris terus dilaksanakan hingga akhir abad ke 19. Menurut

sejarah perkembangan hukum pidana, kata diversion pertama kali

dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan

peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana (

President’s Crime Commision ) Australia di Amerika Serikat pada

tahun 1960.30

Pada awalnya konsep diversi di Indonesia muncul

dikenalkan melalui sebuah acara-acara seminar yang sering

diadakan yang memberikan pengertian dan pemahamam diversi,

sehingga menimbulkan semangat dan keinginan untuk

mempelajari jauh lagi mengenai konsep diversi tersebut.

Berdasarkan hasil seminar yang diketahui bahwa, konsep diversi

itu ditunjukan untuk memberikan perlindungan hukum bagi anak

yang berhadapan dengan hukum.

Selanjutnya pada tahun 2004 di Jakarta diadakan diskusi di

antara aparat penegak hukum yang terkait dalam sistem peradilan

pidana anak untuk membicarakan langkah terbaik dalam upaya

penanganan terhadap anak pelaku tindak pidana. Setelah adanya

diskusi tersebut para hakim di Bandung secara intern


30
Ibid., hlm. 10

23
membicarakan tentang langkah awal yang dapat dilakukan untuk

memberikan perlindungan terhadap anak yang bermasalah dengan

hukum yaitu dengan mendirikan ruang sidang khusus anak dan

ruang tunggu khusus anak31.

Setelah Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak dikeluarkan maka, di dalam undang-

undang tersebut dikenalah istilah diversi yang dilakukan melalui

pendekatan keadilan restoratif yang dapat berupa musyawarah

diversi. Melihat sejarah tersebut, maka dapat dikatakan bahwa

diversi telah lama ada akan tetapi, di luar negeri pelaksanaan

program diversi dilaksanakan dalam bentuk diskresi berbeda

dengan di Indonesia yang menggunakan bentuk musyawarah

diversi.

BAB III

Metode Penelitian

3.1. Tipe Penelitian

31
Marlina, Buku I, op. cit., hlm. 10.

24
Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe normatif. Hal ini karena hukum

normatif merupakan suatu bentuk penulisan hukum yang mendasarkan pada

karakteristik ilmu hukum yang normatif. Karakter ini berbeda dengan penelitian ilmu

sosial pada umumnya.32

3.2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah Statute Approach yaitu

pendekatan perundang-undangan, dilakukan dengan menelaah semua undang-undang

dan regulasi yang terkait dengan isu hukum yang sedang diteliti atau dengan kata lain

bahwa dalam metode pendekatan ini, peneliti perlu memahami hirarki dan asas-asas

dalam peraturan perundang-undangan.33 Pendekatan Conceptual Approach yaitu

merupakan pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin

yang berkembang di dalam ilmu hukum.34

3.3. Sumber Bahan Hukum

3.3.1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mengikat berupa ketentuan

perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti : Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak.

32
Mahmud, Peter, Marzuki dalam Asro Wijayanti, Strategi Penulisan Hukum, Penerbit, Sinar Grafika
Surabaya, Tahun 2010, hlm.69.
33
Ibid, hlm.96
34 I
bid, hlm.137

25
3.3.2. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan tentang

bahan hukum primer seperti berupa literatur-literatur dan didukung dengan

buku-buku karena dalam penelitian normatif, bahan pustaka merupakan

data dasar yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai data

sekunder35.

Adapun bahan-bahan hukum sekunder, seperti : Majalah, Koran, Tulisan-

tulisan, Jurnal Ilmiah dan buku-buku yang berkaitan dengan permalahan

yang diangkat.

3.3.3. Bahan Hukum Tersier yang merupakan data penunjang, mencakup bahan-

bahan yang memberikan penjelasan terhadap sumber data primer dan

sumber data sekunder, meliputi : kamus dan ensiklopedia yang bermaksud

menjelaskan makna yang kurang jelas dalam bahan dan sumber hukum36.

3.4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Prosedur pengumpulan dan pengolahan bahan hukum, yaitu:

3.4.1. Melalui data primer yaitu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh

peneliti dengan membaca atau mempelajari literatur yang berhubungan

dengan judul penelitian kemudian menelaah sesuai aturan yang terkait.

35 Sarjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), 24

36
Amiruddin dan Zainal Asikin, Op. cit., 36

26
3.4.2. Melalui data sekunder yaitu data yang diperoleh dari membaca jurnal

ilmiah, tulisan-tulisan, koran dan majalah yang berkaitan dengan judul

yang diangkat penulis.

3.4.3. Langkah-langkah pengumpulan dan pengolahan bahan hukum :

3.4.3.1. Inventarisasi bahan hukum;

3.4.3.2. Klasifikasi bahan hukum;

3.4.3.3. Sistematisasi bahan hukum;

3.4.3.4. Verifikasi bahan hukum ;

3.4.3.5. Interpretasi bahan hukum;

3.5. Analisis

Semua informasi dalam bahan hukum yang telah diolah, kemudian dianalisis secara

yuridis deskriptif sesuai dengan asas dan kaidah hukum yang berlaku, khususnya

dalam bidang Penerapan Diversi.

3.6. Sistimatika Penulisan

Proposal Penelitian ini berjudul: SUATU KAJIAN YURIDIS TENTANG

PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK

PIDANA OLEH KEJAKSAAN DALAM TAHAP PENUNTUTAN

BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG

27
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Sistimatika Proposal Penelitian ini

diuraikan dalam 3(tiga) bab. Masing-masing bab akan mengetengahkan bagian-

bagian yang secara normatif memenuhi standar penulisan yang berciri khas ilmiah.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Penanggulangan Alternatif Penanggulangan


Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, UMM Press, Malang, 2009

28
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP: Penyidikan
Dan Penuntutan, Jakarta: Sinar grafika, 2009
Mahmud, Peter, Marzuki dalam Asro Wijayanti, Strategi Penulisan Hukum, Penerbit,
Sinar Grafika Surabaya, Tahun 2010
Mardjono Reksodiputro, “Sistem peradilan pidana Indonesia (melihat kepada
kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas toleransi)”; Pidato
Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Pada
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana:
Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian
Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta: 1994
Marlina, Disertasi Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Medan, 2017
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia ( Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice), Refika Aditama, Bandung, 2009
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2010
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana: Perspektif eksistensialisme dan
abolisionalisme, Bandung:Putra abardin, 1996
Sarjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2006)
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang: UMM Press

Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana: Perbandingan Komponen Dan Proses Sistem
Peradilan Pidana Di Beberapa Negara, Yogyakara: Pustaka Yustisia, 2013
Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak edisi Revisi, Refika Aditama,
Bandung, 2013

B. Undang-Undang

Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak


Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

29
30

You might also like