Tanggung Jawab Instansi Terkait Terhadap
Tanggung Jawab Instansi Terkait Terhadap
Tanggung Jawab Instansi Terkait Terhadap
Oleh
1. Cendi Wulansari,SH 2. Dr. Firdaus,SH.,M.Si 3. Aktris Nuryanti,SH.,M.Hum
Abstract
Drug is a substance that is consumed by the body to reduce pain and eliminate the
disease . Medication can be useful to cure the kinds of diseases suffered by humans . In
the present development , the drug can be divided into 2 groups , namely Traditional
Medicine and modern medicine . Article 106 of Law No. 36 of 2009 states that the
pharmaceutical preparations and medical devices can only be released after obtaining a
marketing authorization.
Based on the description of the background , issues to be addressed in this study
are as follows , How oversight of imported traditional medicine in Indonesia ?, How
Legal responsibilities of imported traditional medicine importers in Indonesia ? and How
to remedy the negative impact of imported traditional medicine circulation without
permission on ? Research the law can be divided into normative legal research and legal
research soiologis . The legal research used in this thesis is a normative legal research is
research that is done by examining library materials which are also called secondary data
and legal research literature . Factor is the juridical legislation ( Act No. 8 of 1999 on
Consumer Protection ) , whereas the empirical factor is effort related agencies in order to
prevent the circulation of imported drugs without a marketing authorization.
The results of the study , each drug and food imports into Indonesia is overseen by
a body called the National Agency of Drug and Food of the Republic of Indonesia ( FDA
- RI ) . If we are keen to see the products and medicinal foods we consume from a foreign
country , usually in packs contained no FDA - RI Registration Number . Given these
numbers , it is clear that the food or medications that we purchase has been approved by
the FDA - RI . In order to keep an eye on any food and drug in Indonesia , FDA - RI has
issued a regulation , known as Regulation of the Head of Drug and Food Control
Republic of Indonesia Number HK.00.05.1.3459 on Drug Importation Import
Supervision and Regulation of Food and Drug Monitoring Agency number :
HK.03.1.23.10.11.08481 2011 on Criteria and Procedures for drug Registration , a
business agents in the course of import of traditional medicine has a good faith obligation
in conducting its business activities , provide information that is correct , clear and honest
about the condition and security of goods and / or services as well as member of
explanation use , repair and maintenance , treat or serve customers properly and honestly
1
and not discriminatory , Ensure quality of drugs produced and / or traded under the
provision of quality standard of goods and / or services are applicable , provide an
opportunity to the consumers to test and / or try the goods and / or services as well as
provide a guarantee and / or warranty on goods produced and / or traded , giving
compensation , compensation and / or reimbursement for damages resulting from the use
, consumption and use of goods and / or services traded , Giving compensation , damages
and / or replacement if the goods and / or services received or not used in accordance
with the agreements . Remedies Negative Impact Of Imported Traditional Without Drugs
Circulation Marketing Authorization is through the court and out of court Settlement
Suggested Need for awareness of the authorities to conduct surveillance and
more intensive examination of the circulation of imported traditional medicine as has
been mandated in the legislation governing it so that no consumers who feel aggrieved
Abstrak
Obat merupakan zat yang dikonsumsi tubuh untuk mengurangi rasa sakit maupun
menghilangkan suatu penyakit. Obat dapat berguna untuk menyembuhkan jenis-jenis
penyakit yang diderita oleh manusia. Pada perkembangan sekarang ini, obat dapat dibagi
menjadi 2 kelompok, yakni Obat Tradisional dan obat modern. Pasal 106 Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 menyatakan bahwa Sediaan farmasi dan alat kesehatan
hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar. Bertitik tolak dari uraian latar
belakang, masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah sebagai berikut,
Bagaimana mekanisme pengawasan atas peredaran obat tradisional impor di Indonesia?,
Bagaimanakah tanggung jawab importir dalam importasi obat tradisional ke dalam
wilayah hukum Republik Indonesia ? dan Bagaimana upaya hukum dari Instansi terkait
terhadap dampak negatif peredaran obat tradisional impor tanpa izin edar? Penelitian
hukum dapat dibedakan menjadi penelitian hukum normatif dan penelitian hukum
soiologis. Adapun penelitian hukum yang digunakan dalam thesis ini adalah penelitian
hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka
yang merupakan data sekunder dan disebut juga penelitian hukum kepustakaan. Faktor
yuridisnya adalah peraturan perundang-undangan (Undang-undang RI Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen), sedangkan mengenai faktor empirisnya adalah
upaya instansi terkait dalam rangka mencegah peredaran obat impor tanpa izin edar.
Hasil penelitian, Pengawasan yang dilakukan Badan POM terdiri 2 bentuk, yaitu
Pre market dan Post Market, Seorang pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan impor
obat tradisional mempunyai kewajiban Beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya, Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta member penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan, Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif, Menjamin mutu obat yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku, Memberikan
kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan / atau mencoba barang dan / atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan / atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan, Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
2
diperdagangkan, Memberi kompensasi, ganti rugi dan / atau penggantian apabila barang
dan / atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Upaya
Hukum Dari Dampak Negatif Peredaran Obat Impor Tradisional Tanpa Izin Edar yaitu
melalui pengadilan dan Penyelesaian di luar pengadilan Disarankan Perlu adanya
kesadaran dari pihak yang berwenang untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan
yang lebih intensif terhadap peredaran obat tradisional impor sebagaimana yang telah
diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hal tersebut
sehingga tidak ada lagi konsumen yang merasa dirugikan.
Kata kunci: Obat Tradisional Impor, tanpa izin edar dan Perlindungan Konsumen.
3
A. Latar Belakang
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat (1) dinyatakan bahwa setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Kemudian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 4
menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan. Karena itu setiap individu,
keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan
negara bertanggungjawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya.
Obat merupakan zat yang dikonsumsi tubuh untuk mengurangi rasa sakit maupun
menghilangkan suatu penyakit. Obat dapat berguna untuk menyembuhkan jenis-jenis
penyakit yang diderita oleh manusia. Pada perkembangan sekarang ini, obat dapat dibagi
menjadi 2 kelompok, yakni Obat Tradisional dan obat modern.
Pada masa sekarang ini telah banyak beredar obat tradisional di masyarakat. Obat
tradisional yang beredar di masyarakat sekarang ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis
yaitu : obat tradisional lokal dan obat tradisional impor. Obat tradisional lokal yang
banyak kita jumpai adalah obat tradisional temulawak yang sangat berkhasiat untuk
menyembuhkan penyakit tipus. Selain itu, obat tradisional lokal dari jahe juga sangat
bermanfaat untuk mengatasi masalah masuk angin. Kebanyakan obat tradisional yang
beredar sekarang di pasaran justru berasal dari luar negeri (impor). Padahal belum tentu
obat tradisional dari luar negeri tersebut telah lolos uji coba dan registrasi dari BPOM.
Pasal 106 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan
bahwa Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin
edar. Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi
persyar
atan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan. Pemerintah
berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan
farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti
tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita
dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan di atas, berarti obat-obat yang berasal dari industri farmasi,
distributor, sub-distributor, dan PBF (Pedagang Besar Farmasi), seharusnya tidak boleh
langsung sampai ke tangan klinik, dokter, mantri, toko obat dan pribadi. Namun demikian
4
sering juga terjadi pemutihan, yaitu obat-obat yang tidak memiliki izin edar diberikan
kepada industri farmasi, distributor, sub-distributor, dan PBF, di mana oleh industri
farmasi, distributor, sub-distributor, dan PBF obat-obat tersebut dibuatkan izin edar
sehingga seolah-olah memang sejak awal memiliki izin edar, kemudian obat-obat ini
diedarkan ke apotek dan rumah sakit, obat inilah yang disebut obat palsu. Peredaran obat
palsu juga terjadi jika seseorang atau pribadi yang tidak berwenang dalam
mendistribusikan obat, mengedarkan obat ke rumah sakit.
Dalam rangka melindungi masyarakat dari peredaran obat yang tidak memenuhi
persyaratan khasiat, keamanan, dan mutu perlu dilakukan registrasi obat sebelum
diedarkan, pemerintah melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik
Indonesia membentuk Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor:
HK.03.1.23.10.11.08481 Tahun 2011 tentang Kreteria dan Tata Laksana Registrasi Obat.
Menurut Pasal 1 angka 8 UU Nomor 36 Tahun 2009, obat adalah bahan atau
paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau
menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk
manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 14 Peraturan Kepala Badan Pengawasan
Obat dan Makanan Nomor: HK.03.1.23.10.11.08481 Tahun 2011, Obat adalah obat jadi,
termasuk produk biologi, yang merupakan bahan atau paduan bahan digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
menetapkan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan peningkatan
kesehatan, dan kontrasepsi untuk manusia. Menurut Pasal 1 angka 8 Peraturan Kepala
Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor: HK.03.1.23.10.11.08481 Tahun 2011,
Izin Edar adalah bentuk persetujuan registrasi obat untuk dapat diedarkan di wilayah
Indonesia.
Berdasarkan ketentuan di atas berarti bahwa obat yang akan diedarkan di wilayah
Indonesia harus memiliki izin edar, dan izin edar tersebut diperoleh setelah melakukan
registrasi obat. Registrasi atau pendaftaran obat dilakukan agar supaya obat sebelum
diedarkan/diperjualbelikan harus melalui proses penilaian terutama penilaian terhadap
mutu dan keamanan obat oleh Badan POM RI. Penilaian dilakukan terhadap bahan obat
yang digunakan termasuk bahan tambahan obat lainnya, penilaian terhadap kemasan
yang digunakan dan penilaian terhadap proses produksi, serta penilaian terhadap mutu
5
dan efek samping obat, sehingga apabila sesuatu obat sudah diberikan persetujuan
registrasi atau pendaftaran, maka obat tersebut bermutu dan mempunyai manfaat bagi
kesehatan orang yang menggunakan obat tersebut.
Dalam kenyataannya di Kota Pontianak terdapat peredaran obat impor yang tidak
memiliki izin edar, artinya tidak dilakukan registrasi atau pendaftaran, sehingga tidak
diketahui bahan obat yang digunakan termasuk bahan tambahan obat lainnya, kemasan
yang digunakan, proses produksi, serta tidak diketahui mutu dan efek samping obat
tersebut. Obat yang beredar tidak memiliki izin edar berarti tidak ada perlindungan bagi
konsumen khususnya konsumen yang menggunakan obat tersebut, sehingga dapat
dikatakan melanggar aturan perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Sebagai contoh di Kota Pontianak pada bulan Juli 2012 terdapat Toko Obat yang
menyimpan untuk diedarkan sediaan farmasi (obat-obatan) yang berasal dari luar Negara
Indonesia (Obat Impor) tanpa memiliki izin edar. Kasus ini sedang dalam proses di
Pengadilan Negeri Pontianak, di mana pelaku (pemilik toko obat) diancam dengan sanksi
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 yang
PHQ\DWDNDQ ³6HWLDS RUDQJ \DQJ GHQJDQ VHQJDMD PHPSURGXNVL DWDX PHQJHGDUNDQ VHGLDDQ
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
WDKXQ GDQ GHQGD SDOLQJ EDQ\DN 5S VDWX PLOLDU OLPD UDWXV MXWD UXSLDK ´
Sebagaimana telah diuraikan pada latar belakang masalah bahwa walaupun sudah
tersedia aturan hukum (UU Kesehatan dab berbagai peraturan pelaksananya) yang di
dalam aturan tersebut terdapat adanya larangan mengedarkan sediaan farmasi atau obat-
obatan, namun dalam kenyataannya hal tersebut masih banyak dilakukan/dilanggar
masyarakat.
Uraian di atas menarik minat penulis untuk meneliti lebih lanjut dalam bentuk
penelitian tesis dengan judul: Tanggung Jawab Instansi Terkait Terhadap Peredaran
Obat Impor Tradisional Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen (Studi Terhadap
Obat Yang Tidak Terdaftar Di Kota Pontianak)
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian latar belakang tersebut, masalah yang akan dibahas pada
penelitian ini adalah sebagai berikut :
6
1. Bagaimana mekanisme pengawasan atas peredaran obat tradisional impor
di Indonesia?
2. Bagaimanakah tanggung jawab importir dalam importasi obat tradisional
ke dalam wilayah hukum Republik Indonesia ?
3. Bagaimana upaya hukum dari Instansi terkait terhadap dampak negatif
peredaran obat tradisional impor tanpa izin edar?
C. Pembahasan
1. Mekanisme Pengawasan Peredaran Obat Tradisional Impor di Indonesia
Setiap impor obat dan makanan yang masuk ke Indonesia diawasi oleh suatu
badan yang dinamakan dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
(BPOM-RI). Jika kita jeli melihat produk-produk makanan maupun obat yang kita
konsumsi dari negara asing, biasanya dalam kemasan ada tercantum Nomor Registrasi
BPOM-RI. Dengan adanya nomor tersebut, maka jelas bahwa makanan atau obat yang
kita beli telah disetujui oleh BPOM-RI. Selain dari BPOM pengawasan terhadap obat
impor juga dilakukan oleh Menteri kesehatan sebagaimana terdapat didalam Undang-
undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 182 tentang pengawasan
´PHQWHUL PHODNXNDQ SHQJDZDVDQ WHUKDGDS PDV\DUDNDW GDQ VHWLDS SHQ\HOHQJJDUD NHJLDWDQ
yang berhubungan dengan sumber daya dibidang kesehatan GDQ XSD\D NHVHKDWDQ´
Untuk mendukung kebijakannya menteri kesehatan mengeluarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 Tahun 2012 Tentang Registrasi Obat
Tradisional. Menteri dalam melakukan pengawasan dapat memberikan izin terhadap
setiap penyelenggaraan upaya kesehatan dan didalam melaksanakan pengawasan menteri
dapat mendelegasikan kepada lembaga pemerintah non kementrian,kepala dinas
diprovinsi dan kabupaten yang tugas dan fungsinya dibidang kesehatan.menteri juga
dalam melaksanakan pengawasannya mengikutsertakan masyarakat. Bahkan didalam
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Pasal 54 dijelaskan didalam
melaksanakan pengawasan, pemerintah berwenang mengambil tindakan administratif
berupa larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik
produk pangan dari peredaran apabila terdapat resiko tercemarnya pangan atau pangan
tidak aman bagi kesehatan manusia.
7
Pengawasan yang dilakukan Badan POM terdiri 2 bentuk,1 yaitu Pre market dan
Post Market diantaranya dilakukan saat pelaku usaha/importir mengurus pendaftaran dai
Badan POM dan saat pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan dokumen dan barang di
pintu gerbang pelabuhan/bandara yang dilakukan oleh petugas Bea dan Cukai. Dalam
rangka mengawasi setiap makanan dan obat yang masuk ke Indonesia, BPOM-RI telah
menerbitkan suatu peraturan yang dikenal dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2013 tentang Pengawasan
Pemasukan obat dan makanan kedalam wilayah Indonesia. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2013
tentang Pengawasan Pemasukan obat dan makanan kedalam wilayah Indonesia,2
menyatakan bahwa Izin Edar adalah bentuk persetujuan pendaftaran obat dan makanan
yang diberikan oleh kepala Badan untuk dapat diedarkan di wilayah Indonesia.
Dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor 27 tahun 2013 tentang Pengawasan Pemasukan obat dan makanan kedalam
wilayah Indonesia dinyatakan bahwa Obat dan Makanan yang dapat dimasukkan ke
dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan adalah Obat dan Makanan yang telah memiliki
izin edar. (Pasal 2). Kemudian Pasal 3 menegaskan bahwa obat yang dapat memilki izin
edar harus memenuhi kreteria sebagai berikut:
a. Khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai dibuktikan melalui uji
non-klinik dan uji klinik atau bukti-bukti lain sesuai dengan status perkembangan
ilmu pengetahuan yang bersangkutan.
b. Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi yang sesuai dengan
Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), spesifikasi dan metode analisis
terhadap semua bahan yang digunakan serta produk jadi dengan bukti yang sahih.
c. Penandaan dan informasi produk berisi informasi lengkap, obyektif, dan tidak
menyesatkan yang dapat menjamin penggunaan obat secara tepat, rasional, dan
aman.
d. Sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat.
1
Wawancara dengan Berthin Hendri petugas dari BPOM Kalimantan Barat pada tanggal 29 Juli
2014
2
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 27 tahun
2013 tentang Pengawasan Pemasukan obat dan makanan kedalam wilayah Indonesia
8
e. Khusus untuk psikotropika baru harus memiliki keunggulan dibandingkan dengan
obat yang telah disetujui beredar di Indonesia, dan untuk kontrasepsi atau obat
lain yang digunakan dalam program nasional dapat dipersyaratkan uji klinik di
Indonesia.
Untuk registrasi obat impor, dalam Pasal 12 Peraturan Kepala Badan Pengawasan
Obat dan Makanan Nomor: HK.03.1.23.10.11.08481 Tahun 2011 dinyatakan bahwa obat
impor diutamakan untuk:
a. Obat program kesehatan nasional;
b. Obat penemuan baru; dan/atau
c. Obat yang dibutuhkan tetapi tidak dapat diproduksi dalam negeri.
Lebih lanjut lagi, importir yang berhak memasukan obat impor ke dalam wilayah
Indonesia adalah industri farmasi atau pedagang besar farmasi sebagai pendaftar yang
telah memiliki izin edar atas obat impor dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pemasukan obat impor oleh industri farmasi atau pedagang besar farmasi selain harus
mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang impor, juga
harus mendapat persetujuan pemasokan obat impor dari Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan.
Adapun tata cara pemasukan obat impor oleh industri farmasi, antara lain sebagai
berikut :3
1. Persetujuan pemasukan obat impor diberikan atas dasar permohonan.
2. Setiap permohonan hanya berlaku untuk 1 (satu) kali pemasukan.
3. Permohonan diajukan secara tertulis kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
4. Proses persetujuan pemasukan obat impor diberikan dalam waktu selambat-lambatnya
1 (satu) hari kerja.
5. Surat permohonan yang ditandatangani oleh Apoteker penanggung jawab Industri
Farmasi atau Asisten Apoteker penanggung jawab Pedagang Besar Farmasi.
6. Lengkapi Foto kopi izin edar obat impor.
3
Pasal 4,5,6,7,8 dan 9 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK.03.1.3.12.11.10692 Tahun 2011 Tentang Pengawasan Pemasukan Obat
Impor
9
7. Sertifikasi analisa yang sah dari produsen untuk setiap bets Obat Impor yang
dimasukkan.
8. Certificate of Pharmaceutical Product4 dari negara produsen dan negara dimana
diterbitkan Sertifikat Pelulusan Bets.
Khusus untuk pemasukan Obat Impor berupa vaksin harus dilengkapi pula dengan
Sertifikat Pelulusan Bets dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan atau pejabat
yang berwenang dari negara asal tempat Obat Impor diproduksi. Sertifikat pelulusan
bets/lot (batch/lot release certificate) adalah dokumen resmi yang mengizinkan produsen
untuk mengeluarkan bets/lot tertentu sebagai konfirmasi bahwa bets/lot tersebut
memenuhi spesifikasi dan persyaratan yang berlaku.5 Semua pemasukan obat impor harus
didokumentasikan dengan baik sehingga mudah dilakukan pemeriksaan dan penelusuran
kembali serta setiap saat dapat diperiksa oleh petugas Badan Pengawas Obat dan
Makanan dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan sesuai dengan
Pedoman Cara Distribusi Obat yang Baik berdasarkan Keputusan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.3.2522 Tahun 2003.6
Bagi industri farmasi maupun pedagang besar farmasi yang terbukti memasukkan
obat impor ke dalam wilayah Indonesia tanpa adanya izin dari BPOM-RI, maka akan
dikenakan sanksi administratif sebagai berikut :
1. Peringatan tertulis
2. Penghentian kegiatan importir sementara
3. Pembekuan maupun pencabutan izin edar impor obat dari industri farmasi
maupun pedagang besar farmasi
4. Tindakan pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya.7
Setiap industri farmasi maupun pedagang besar farmasi dalam menjalankan
kegiatan impor obat harus memiliki izin edar. Setiap obat yang akan diedarkan di wilayah
Indonesia, sebelumnya harus melakukan registrasi untuk memperoleh izin edar.
4
The certificate of pharmaceutical product (CPP atau CoPP) adalah suatu sertifikat yang
diterbitkan oleh badan World Health Organization (WHO), yang mana sertifikat ini ditujukan untuk
produk farmasi yang telah teruji kualitasnya. Sertifikat ini dapat diaplikasi oleh pabrik farmasi
yang melakukan ekspor obat ke negara lain.
5
Pasal 1 angka 8 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.03.1.3.12.11.10692 TAHUN 2011 Tentang Pengawasan Pemasukan Obat Impor
6
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.3.2522 Tahun 2003
tentang Pedoman Cara Distribusi Obat yang Baik
7
Undang-Undang RI No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 7 Ayat (2)
10
Registrasi obat produksi dalam negeri hanya dilakukan oleh industri farmasi yang
memiliki izin industri farmasi yang dikeluarkan oleh Menteri.
Adapun tata cara melakukan registrasi, yaitu :
1. Registrasi diajukan kepada Kepala Badan.
2. Pendaftar yang telah mendapat izin edar wajib memproduksi dan mengedarkan obat
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah tanggal persetujuan dikeluarkan.
3. Terhadap obat yang telah diberikan izin edar dapat dilakukan evaluasi kembali.
4. Dengan tidak mengurangi ancaman pidana sebagaiman diatur dalam Undang-Undang
No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Kepala Badan dapat memberikan sanksi
administratif berupa pembatalan izin edar.
5. Bagi yang telah mengajukan permohonan dan melengkapi dokumen registrasi sebelum
diberlakukannya peraturan menteri ini tetap akan diproses sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan No. 949 Tahun 2000 tentang Registrasi Obat Jadi.
Post Market adalah terkait masa setelah produk memiliki ijin edar dan diedarkan di
masyarakat. Teknis pengawasan peredaran Obat tradisional impor yaitu selama peredaran
produk dilakukan pengawasan terus menerus secara berkesinambungan yaitu melalui
pemeriksaan/inspeksi sarana di lapangan, baik di sarana produksi maupun sarana
distribusi. Selanjutnya dilakukan sampling terhadap produk dan pemeriksaan label,
kemudian dilanjutkan dengan pengujian laboratorium terhadap mutu dan keamanan
produk. Jadi dalam post market ini dilakukan secara rutin oleh Badan POM dengan wujud
nyata melakukan sampling ke pasar, toko, warung, dan supermarket. Petugas memeriksa
labelnya, apakah baik atau tidak, apakah ada rusak/cacat pada kemasannya, ada ijin edar
atau tidak, ada kode produksi atau tidak, dan untuk pangan impor labelnya harus
bertuliskan bahasa Indonesia. Ketentuan ini diatur dalam PP 69 Tahun 1999 Tentang
Label dan Iklan Pangan.
Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM) dalam menjalankan fungsi
dan tugasnya untuk mengawasi peredaran obat impor tradisional di Indonesia harus
memperhatikan beberapa hal sebagai berikut, yaitu :
1. Kebenaran bahan
Tanaman obat di dunia terdiri dari beragam spesies yang kadang kala sangat sulit
untuk dibedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Kebenaran bahan menentukan
efek dari suatu obat terhadap konsumen. Bisa saja suatu obat tradisional yang
11
seharusnya menyembuhkan malah menjadi merugikan konsumen akibat bahannya
tidak tepat.
2. Ketepatan dosis
Obat tradisional tidak bisa dikonsumsi secara sembarangan. Harus ada dosis sesuai
yang harus dipatuhi. Dalam masyarakat beredar kabar yang menyatakan bahwa obat
tradisional aman untuk dikonsumsi walaupun gejala sakit sudah hilang merupakan
suatu pandangan yang keliru, karena mengkonsumsi suatu obat tradisional dengan
melampaui batas tetaplah membahayakan.
3. Ketepatan waktu penggunaan
Ketepatan penggunaan obat sangat menentukan sembuh atau tidaknya suatu penyakit.
Contoh : kunyit bermanfaat untuk menghilangkan nyeri haid apabila ditambah dengan
ramuan jamu kukir asam, namun kunyit akan sangat berbahaya jika dikonsumsi pada
awal kehamilan karena dapat menyebabkan resiko keguguran kandungan.
4. Kadaluarsa
Tanggal produksi obat dan habisnya masa beelaku obat mutlak wajib dicantumkan
dalam kemasan obat tradisional. Kita semua mengetahui bahwa mengkonsumsi obat
yang sudah habis masa berlakunya sama dengan mengkonsumsi racun yang sangat
membahayakan bagi tubuh.
Pihak BPOM selaku pengawas peredaran obat dan makanan harus memperhatikan
keempat hal tersebut agar pihak konsumen tidak dirugikan akibat mengkonsumsi obat-
obatan tradisional, khususnya obat impor.
2. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Obat Impor Tradisional di Indonesia
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi.8 Dari informasi yang dihimpun dari sales obat di Kota
Pontianak dimana mengatakan obat impor yang dijualnya ada yang memiliki izin edar
8
Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 Ayat (3)
12
dan ada yang tidak, menurut responden instansi terkait hanya memeriksa ke toko-toko
atau supermarket yang menjual langsung obat-obatnya ke konsumen.9
Seorang pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan impor obat tradisional
mempunyai kewajiban sebagai berikut:10
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
Industri farmasi dan pedagang besar farmasi dalam menjalankan usahanya, wajib
mempunyai itikad baik dalam menjalankan usahanya. Tidak adanya keinginan untuk
merugikan konsumen. Tidak melakukan penipuan atas produk obat mengenai kualitas,
kuantitas, bahan dan harga. Jika dalam suatu iklan dikatakan obat tradisional tersebut
mempunyai manfaat untuk menyembuhkan sakit flu, maka obat tersebut memang
mempunyai khasiat untuk itu. Kuantitas obat tradisional juga harus sesuai dengan yang
tertera di dalam kemasan. Jika kemasan obat tersebut tertulis isi 30 (tiga puluh) tablet
perbotol, maka isi dalam kemasan tersebut memang harus benar-benar 30 tablet.
Demikian juga dengan bahan yang terkandung dalam obat tradisional tersebut harus
jelas dan tertulis dalam bahasa Indonesia, supaya konsumen tahu bahan pembuat obat
tersebut. Pernah terdapat kasus yang cukup menghebohkan beberapa saat lalu, di mana
terindikasi kandungan lemak babi11 dalam beberapa jenis obat dan makanan yang
12
EDKNDQ WHODK GLFDQWXPNDQ NDWD ³+$/$/´ GDUL 0DMHOLV 8ODPD ,QGRQHVLD 08,
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta member penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan. Dalam kemasan obat harus tertera tanggal produksi dan tanggal
kadaluarsa (expire date) obat. Penulis banyak menjumpai kemasan obat yang tidak
mencantumkan tanggal kadaluarsa. Jika tidak tercantum tanggal produksi obat, tidak
menjadi suatu masalah besar. Namun, apabila tidak tercantum tanggal kadaluarsa maka
hal ini akan sangat membahayakan konsumen. Obat yang seharusnya bisa
menyembuhkan malah berganti fungsi menjadi mematikan. Memang seharusnya suatu
9
Hasil wawancara dengan Aseng, Sales obat di Kota Pontianak pada tanggal 22 Juli 2014
10
Op cit
11
Lemak babi dalam kandungan makanan biasanya diberi kode E-471 (Lecithin) dan kode E-472
(Emulsifier-ekstrak dari tulang babi)
12
Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan kehalalan suatu
SURGXN VHVXDL GHQJDQ V\DUL¶DW ,VODP 6HUWLILNDW +DODO LQL PHUXSDNDQ V\DUDW XQWXN PHQGDSDWNDQ LMLQ
pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang(
www.halalmui.org).akses pada tanggal 11 Juli 2014
13
industri farmasi dalam memproduksi suatu obat, wajib mencantumkan tanggal
produksi dan kadaluarsa dalam kemasannya.
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, seyogyanya para
pelaku usaha tidak membedakan antara suku yang satu dengan suku yang lainnya.
Harus berpegang teguh bahwa melayani masyarakat dalam pengobatan tidak boleh
memandang suku maupun keturunan.
4. Menjamin mutu obat yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan
standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Harus ada kesesuaian antara harga
barang dengan mutu obat, sehingga mutu obat tradisional dapat
dipertanggungjawabkan dan tidak merugikan masyarakat.
5. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan / atau mencoba barang
dan / atau jasa tertentu serta member jaminan dan / atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan / atau penggantian apabila barang dan / atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Adapun tanggung jawab seorang pelaku usaha menurut Undang-Undang
Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :13
1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan / atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan.
2. Ganti rugi yang dimaksud pada Ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian obat yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi.
13
Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 19
14
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud tidak menghapuskan kemungkinan
adanya tuntutan pidana dari pihak konsumen berdasarkan pembuktian lebih lanjut
mengenai adanya unsure kesalahan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) tidak berlaku apabila
pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan
konsumen.
Pada kenyataannya di Kota Pontianak, toko obat tradisional rata-rata menjual obat
impor dimana obat tersebut merupakan obat tradisional herbal. Dan mereka mengatakan
ada izin edarnya tapi ketika diminta menunjukkan izinnya mereka tak dapat
menunjukkannya.14 Lebih lanjut lagi menurut Pasal 21 UUPK, Importir barang
bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila informasi barang
tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri. Hal ini berarti
jika suatu obat tradisional tidak diimpor oleh suatu agen atau perwakilannya, maka pihak
importirlah yang dianggap sebagai produsen obat tradisional tersebut. Sehingga jika
terdapat adanya unsur kesalahan dalam kasus pidana tersebut, maka masalah ini
merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi
jaksa untuk melakukan pembuktian.
Hubungan hukum antara pelaku usaha/ penjual dengan konsumen tidak tertutup
kemungkinan timbulnya sengketa konsumen. Selama ini sengketa konsumen lebih
banyak diselesaikan melalui jalur pengadilan, namun pada kenyataannya kadangkala
lembaga pengadilan pun tidak akomodatif untuk menampung sengketa konsumen karena
proses perkara yang terlalu lama dan sangat birokratis.
3. Upaya Hukum Dari Dampak Negatif Peredaran Obat Tradisional Impor
Tanpa Izin Edar
a. Tanggung Jawab Hukum Importir Obat Tradisional di Indonesia
Obat tradisional telah dikenal sejak dulu sampai sekarang, bahkan obat tradisional
mendapat kepercayaan di tengah masyarakat luas. Dengen perkembangan teknologi
sekarang ini, pembuatan suatu obat tradisional telah bisa dilakukan dalam skala yang
besar. Obat tradisional yang telah diproduksi bahkan dapat menyebar ke setiap pelosok
daerah dengan sangat cepat karena adanya distribusi yang memadai. Konsumsi
14
Wawancara dengan Asun pemilik toko obat di jalan Pattimura kota Pontianak tanggal 03 jului
2014
15
masyarakat terhadap obat tradisional impor pun cukup tinggi, padahal pengetahuan
masyarakat terhadap produk dari negara Cina masihlah belum memadai dalam segala
sesuatunya, sehingga realitas itu meningkatkan resiko dengan implikasi yang luas pada
kesehatan dan keselamatan konsumen. Apabila terjadi produk sub standar, rusak atau
terkontaminasi oleh bahan berbahaya, maka resiko yang terjadi akan berskala besar dan
luas. Indonesia dalam menangani hal ini juga harus memiliki sistem pengawasan obat
yang memadai, efektif dan efisien sehingga mampu mendeteksi, mencegah dan
mengawasi produk-produk obat impor tradisional serta mampu melindungi keamanan,
keselamatan dan kesehatan konsumennya. Berdasarkan hal inilah, maka dibentuk BPOM
yang memiliki jaringan nasonal dan internasional serta kewenangan dalam penegakan
hukum masalah obat dan makanan baik lokal maupun bersifat impor.
Visi BPOM adalah menjadi institusi terpercaya yang diakui secara internasional di
bidang pengawasan obat dan makanan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Adapun
yang menjadi misi BPOM adalah sebagai berikut :15
1. Melindungi kesehatan masyarakat dari resiko peredaran produk terapetik, alat
kesehatan, obat tradisional, produk komplemen dan kosmetik yang tidak
memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan khasiat/ kemanfaatan serta produk
pangan yang tidak aman dan tidak layak dikonsumsi.
2. Melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan dan penggunaan yang salah
dari produk obat, narkotik, psikotropika dan zat-zat adiktif serta resiko akibat
penggunaan produk dan bahan berbahaya.
3. Mengembangkan obat asli Indonesia dengan mutu, khasiat dan keamanan yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan dapat digunakan untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat.
4. Memperluas akses obat bagi masyarakat luas dengan mutu yang tinggi dan harga
yang terjangkau.
Dari visi dan misi yang telah disebutkan di atas, maka jelaslah bahwa peranan
Balai POM sangat diperlukan untuk semakin memberikan perlindungan kepada
konsumen obat tradisional impor. Bahkan obat tradisional yang tidak modern sekalipun
juga perlu mendapatkan pengawasan oleh Badan POM karena alangkah baiknya jika
15
Profile, National Agency of Drug and Food Control Republic of Indonesia, Badan POM RI,
hal.2.
16
semua bahan obat-obatan tersebut diketahui secara pasti kegunaannya karena bukan tidak
mungkin suatu saat konsumen obat tradisional impor mendapatkan efek negatif dari obat
tradisional yang dikonsumsinya dan hal ini harus segera mendapatkan tanggapan dari
pemerintah.
Badan POM dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap obat impor
tradisional juga melakukan beberapa hal, yakni :
1. Pengaturan, regulasi dan standarisasi,
2. Membuat lisensi dan sertifikasi industri di bidang farmasi berdasarkan cara-cara
produksi yang baik,
3. Melakukan evaluasi produk sebelum diizinkan beredar,
4. Pengujian laboratorium,
5. Pemeriksaan sarana produksi dan distribusi,
6. Penyidikan dan penegakan hukum,
7. Riset terhadap pelaksanaan kebijakan pengawasan obat dan makanan,
8. Komunikasi, informasi dan edukasi publik termasuk peringatan publik.
Sebagai badan yang mengawasi peredaran obat-obatan di pasaran, maka Badan
POM harus tegas mengawasi setiap obat tradisional impor yang beredar di masyarakat.
Jika BPOM mengetahui adanya obat tradisional impor yang tidak memiliki izin edar,
namun beredar di pasaran, maka BPOM harus menariknya demi kepentingan konsumen
dan demi penegakan hukum. Pengawasan dilakukan dalam rangka melindungi konsumen
dari obat tradisional impor yang tidak memenuhi persyaratan, selain itu pengawasan yang
dilakukan oleh BPOM juga berdampak kepada pembinaan cara produksi dan cara
pengedaran obat tradisional impor yang baik dan benar. Pengawasan yang dilakukan oleh
BPOM memang memiliki aspek permasalahan berdimensi luas, oleh karena itu
diperlukan adanya suatu sistem pengawasan yang bersifat komperehensif semenjak awal
proses suatu produk hingga produk itu beredar di masyarakat.
Dalam rangka menekan resiko yang mungkin terjadi, maka dilakukan Sistem
Pengawasan Obat dan Makanan (SISPOM) secara tiga lapis, yaitu :
1. Sub sistem pengawasan produsen
Sistem pengawasan yang bersifat internal oleh produsen obat tradisional melalui
pelaksanaan cara-cara produksi yang baik agar setiap bentuk penyimpangan dari
standar mutu dapat terdeteksi sejak awal. Secara hukum pelaku usaha / importir
17
obat tradisional bertanggung jawab atas mutu dan keamanan produk yang
diedarkan atau dihasilkannya. Apabila terjadi penyimpangan dan pelanggaran
terhadap standar atau peraturan yang telah ditetapkan, maka pelaku usaha obat-
obatan tradisional akan dikenakan sanksi.
2. Sub sistem pengawasan konsumen
Sistem pengawasan oleh masyarakat konsumen obat tradisional impor melalui
peningkatan kesadaran hukum dan peningkatan kualitas obat tradisional impor
yang rasional. Pengawasan oleh masyarakat sendiri sangat penting dilakukan
karena pada akhirnya masyarakatlah yang mengambil keputusan untuk membeli
atau menggunakan obat tradisional impor tersebut. Konsumen dengan kesadaran
dan pengetahuan yang tinggi terhadap mutu dan kegunaan obat-obat tradisional
impor, di satu sisi dapat membentengi dirinya sendiri terhadap penggunaan obat
tradisional impor yang tidak memenuhi syarat atau tidak dibutuhkan sedangkan
pada sisi lainnya akan mendorong pelaku usaha atau importir untuk ekstra hati-
hati dan menjaga kualitas obat tradisional impor yang dipasarkannya.
3. Sub sistem pengawasan pemerintah / Badan POM
Sistem pengawasan oleh pemerintah melalui pengaturan dan standarisasi,
penilaian keamanan, khasiat dan mutu obat tradisional impor sebelum diizinkan
beredar di masyarakat, inspeksi, pengembilan sampel dan pengujian laboratorium
obat tradisional impor atas mutu, khasiat dan keamanan produk, maka pemerintah
juga melaksanakan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi.16
Adapun upaya yang dilakukan BPOM Kalimantan Barat yaitu menyebarkan
informasi yang baik terutama bagi masyarakat, baik pelaku usaha maupun konsumen,
menyarankan masyarakat membeli obat ditempat/sarana distribusi yang baik dan
melakukan pemeriksaan atau pengawasan terhadap tempat/saranan yang berhubungan
dengan obat-obatan.17 Dimana faktanya selama setahun pada toko obat di jalan Patimura
dalam setahun diperiksa sebanyak empat kali oleh BPOM Kalbar.18
16
Ibid
17
Wawancara dengan Berthin Hendri petugas dari BPOM Kalimantan Barat pada tanggal 29 Juli
2014
18
Wawancara dengan Asun pemilik toko obat di jalan Pattimura kota pontianak tanggal 03 jului
2014
18
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 30 Ayat (1) Undang-Undang
3HUOLQGXQJDQ .RQVXPHQ \DLWX ³3HQJDZDVDQ WHUKDGDS SHQ\HOHQJJDUDDQ SHUOLQGXQJDQ
konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan
oleh pemerintah, masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
PDV\DUDNDW´19 Pengaturan di bidang pengawasan harus senantiasa ditingkatkan dan sanksi
bagi pelanggaran yang tercantum dalam Undang-Undang Kesehatan perlu lebih
ditegakkan.
Selain melakukan pengawasan, BPOM juga diarahkan terutama pada kegiatan
yang memiliki efek yang besar terhadap tujuan perlindungan masyarakat konsumen yang
luas, yaitu :
1. Evaluasi mutu, keamanan dan khasiat produk obat tradisional impor yang
beresiko oleh tenaga ahli berdasarkan bukti-bukti ilmiah.
2. Standarisasi mutu produk untuk melindungi konsumen sekaligus meningkatkan
daya saing.
3. Pelaksanaan cara-cara produksi dan distribusi obat-obatan tradisional impor
yang baik.
4. Operasi pemeriksaan dan penyidikan terhadap produksi, distribusi dan produk
obat tradisional impor yang ilegal.
5. Komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat untuk meningkatkan
kesadaran dan pengetahuan terhadap mutu, khasiat dan keamanan produk dari
obat tradisional impor.
Di dalam Badan POM juga terdapat Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional
(termasuk obat tradisional impor) yang melaksanakan penilaian dan registrasi obat
tradisional, selanjutnya juga melakukan pengawasan peredaran obat tradisional termasuk
penandaan dan periklanan.
Penegakan hukum dilakukan dengan melakukan inspeksi cara produksi yang baik,
sampling, penarikan produk. Badan POM juga mempunyai tempat pengujian secara
laboratorium, pengembangan prosedur pengujuan dan penilaian mutu obat yang beredar,
selain itu juga ada pusat penyidikan obat untuk melaksanakan kegiatan penyidikan
terhadap perbuatan melawan hukum di bidang produk obat tradisional impor dan yang
tidak kalah pentingnya adalah Badan POM juga menyediakan Pusat Informasi Obat.
19
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 30
19
Dilihat dari segala sisi dan kegiatan BPOM, maka sangatlah besar harapan semua
pihak bahwa perlindungan konsumen terhadap jual-beli obat-obatan tradisional impor
semakin kuat dan terjamin. BPOM yang mempunyai kinerja yang tinggi juga diharapkan
dapat memberikan konstribusi yang besar terhadap masyarakat atau konsumen obat
tradisional impor. Adapun kendala dalam memberikan perlindungan taerhadap
masyarakat dari peredaran obat impor tanpa izin ialah masih banyak masyarakat yang
memilih membeli obat dengan harga lebih murah.20
Adapun tanggung jawab importir obat tradisional di Indonesia, dapat dilihat dalam
beberapa bagian, yaitu :
1. Produksi
a. Bahan baku
Pihak importir atau pelaku usaha harus senantiasa mengawasi proses
pengolahan bahan baku obat tradisional, cara penyimpanan dan mutu bahan
baku tersebut. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting dilakukan
karena hasil pengawasan tahap awal ini akan digunakan untuk rancangan
pembinaan selanjutnya.
b. Pemeriksaan
Tahap pemeriksaan untuk meningkatkan cara pengelolaan obat tradisional
sehingga sesuai dengan mutu dan khasiat yang diharapkan.
c. Sampling
Sampling diperlukan untuk mengawasi mutu bahan baku. Pelaksanaan
sampling di samping melihat dari dekat mutu produk obat tradisional, juga
dapat dilakukan dengan mengambil dan diperiksa di laboratorium.
2. Distribusi
Sewaktu dilakukan distribusi obat tradisional impor tersebut, pihak importir
seanntiasa harus selalu mengadakan pemeriksaan terhadap cara pengaturan di
pasaran dan produk yang di jual agar tidak ada obat tradisional impor yang
sudah habis masa kadaluarsanya, namun masih diperjualbelikan di masyarakat.
Intinya, obat tradisional impor yang dijual di pasaran harus selalu ditinjau oleh
20
Wawancara dengan Berthin Hendri petugas dari BPOM Kalimantan Barat pada tanggal 29 Juli
2014
20
pihak importir agar obat yang dijual tersebut memenuhi persyaratan mutu dan
keabsahan.
Selain itu, pelaku usaha atau importir obat tradisional juga mempunyai tanggung
jawab yang terkait dengan masalah impor obat traGLVLRQDO \DNQL ³3HODNX XVDKD GLODUDQJ
memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan
WHUFHPDU GHQJDQ DWDX WDQSD PHPEHULNDQ LQIRUPDVL VHFDUD OHQJNDS GDQ EHQDU´ 21
b. Pelanggaran Terhadap beredarnya Obat Tradisional Impor tanpa izin edar
21
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
³KDODO´ \DQJ GLFDQWXPNDQ GDODP WDEHO
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat / isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan
lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang / dibuat.
j. Tidak mencantumkan informasi dan / atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8 Ayat (4) UUPK juga mengatur bahwa jika pelaku usaha melakukan
pelanggaran-pelanggaran tersebut, maka pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang
dan / atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.23 Selain itu menurut Pasal
19 Ayat (1), (2), (3) dan (4) UUPK, pelaku usaha juga wajib bertanggung jawab kepada
konsumen dengan memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan kerugian
konsumen akibat mengkonsumsi barang dan / atau jasa yang diperdagangkan24 Ganti rugi
yang dimaksudkan dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan / atau
jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan kesehatan dan / atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku25
Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi.26 Pemberian ganti rugi sebagaimana yang dimaksud dalam Ayat (1) dan (2)
tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih
lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.27
Di Kota Pontianak terdapat Toko Obat yang menyimpan untuk diedarkan sediaan
farmasi (obat-obatan) yang berasal dari luar Negara Indonesia (Obat Impor) tanpa
memiliki izin edar., di mana pelaku (pemilik toko obat) diancam dengan sanksi pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 yang menyatakan:
³6HWLDS RUDQJ \DQJ GHQJDQ VHQJDMD PHPSURGXNVL DWDX PHQJHGDUNDQ VHGLDDQ IDUPDVL
dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23
Ibid
24
Ibid
25
Ibid
26
Ibid
27
Ibid
22
106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
SDOLQJ EDQ\DN 5S VDWX PLOLDU OLPD UDWXV MXWD UXSLDK ´
Mengenai adanya tuntutan pidana dari pihak konsumen yang merasa dirugikan
akibat mengkonsumsi obat tradisional impor, sebelumnya dapat dilaporkan dahulu
kepada Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Pasal 46 Ayat (1) UUPK
merumuskan bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:28
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama,
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,
yaitu berbadan hukum atau yayasan,
d. Pemerintah dan / atau instansi terkait apabila barang dan / atau jasa yang
dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan /
atau korban yang tidak sedikit.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam hal ini juga berperan
untuk melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara
melalui mediasi, arbitrase maupun konsiliasi. Bahkan BPSK wajib mengeluarkan putusan
paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.
Dalam waktu Paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan BPSK, maka pelaku usaha
wajib melaksanakan putusan tersebut. BPSK dalam memutuskan suatu gugatan, bisa saja
memberikan sanksi administratif kepada pelaku usaha. Hal ini sesuai dengan rumusan
3DVDO $\DW GDQ 883. \DNQL ³ %DGDQ 3HQ\HOHVDLDQ 6HQJNHWD .RQVXPHQ
berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang terbukti
PHODNXNDQ SHODQJJDUDQ´ 29 ³6DQNVL DGPLQLVWratif berupa penetapan ganti rugi paling
banyak Rp 200.000.000,- GXD UDWXV MXWD UXSLDK ´ 30
Selain itu, Sanksi pidana juga dapat diberikan pelaku usaha dan / atau
SHQJXUXVQ\D +DO LQL VHVXDL GHQJDQ NHWHQWXDQ 3DVDO 883. \DQJ EHULVLNDQ ³ 3HODNX
usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana yang diatur pada pasal sebelumnya dapat
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp 2.000.000.000,00,- (dua milyar rupiah).
28
Ibid
29
Ibid
30
Ibid
23
c. Upaya Hukum atas Kerugian Akibat beredarnya Obat Tradisional Impor tanpa izin
edar
a. Setiap konsumen yang merasa dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan
pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dalam lingkungan peradilan
umum.
31
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Cetakan keenam),Bandung: Angkasa, 2000, hal.70
32
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: Citra
Aditya Bhakti,2003, hal.308
33
Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 45 Ayat (1).
24
b. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di
luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
c. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam
undang-undang.
d. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya
tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh pihak yang
bersengketa.
Dari ketentuan tersebut, jelas terbukti bahwa proses penyelesaian masalah melalui
pengadilan sebenarnya merupakan tahap terakhir yang harus dijalani oleh pihak
bersengketa jika semua cara yang lain telah ditempuh, namun tidak ada penyelesaian
yang memuaskan. Lebih lanjut lagi adalah pada ayat (3) dinyatakan bahwa bukan hanya
tanggung jawab pidana yang tetap dibukakan kesempatannya untuk diperkarakan,
melainkan juga tanggung jawab lainnya, misalnya administrasi negara. Hal ini bermakna
bahwa konsumen yang dirugikan haknya, tidak hanya diwakilkan oleh jaksa dalam
penuntutan peradilan umum untuk kasis pidana, tetapi pihak konsumen sendiri juga dapat
menggugat pihak lain di lingkungan peradilan tata usaha negara jika terdapat sengketa
administrasi di dalamnya. Hal yang dikemukakan terjadi dapat saja terjadi apabila ada
kaitannya dengan kebijakan aparat pemerintah yang ternyata dipandang merugikan
konsumen secara individual. Bahkan mengingat semakin banyaknya perusahaan
multinasional yang beroperasi di Indonesia dan mengadakan kegiatan ekspor impor obat
tradisional, hal ini tidak menutup kemungkinan akan adanya konsumen yang menggugat
pelaku usaha di peradilan negara lainnya, sehingga sengketa konsumen ini pun bisa
berubah menjadi transnasional.
Dalam kasus perdata di Pengadilan Negeri, adapun pihak konsumen yang
diberikan hak untuk mengajukan gugatan menurut Pasal 46 Undang-Undang RI No. 8
Tahun 1999, adalah :34
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
34
Ibid
25
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,
yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi itu adalah
untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai
dengan anggaran dasarnya.
d. Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi
atau dimanfaatkan mengekibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban
yang tidak sedikit.
Dari ketentuan pasal 46 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa gugatan dapat dilakukan oleh sekelompok orang atau
konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Ketentuan ini tentu harus dibedakan
dengan gugatan dengan mewakilkan kepada orang lain sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 123 Ayat (1) HIR. Penjelasan Pasal 46 menyebutkan gugatan kelompok ini dengan
istilah class action (gugatan berkelompok).
Secara pidana di Kota Pontianak pelaku yang menyimpan untuk diedarkan
sediaan farmasi (obat-obatan) yang berasal dari luar Negara Indonesia (Obat Impor) tanpa
memiliki izin edar. Kasus ini sedang dalam proses di Pengadilan Negeri Pontianak, di
mana pelaku (pemilik toko obat) diancam dengan sanksi pidana sebagaimana diatur
GDODP 3DVDO 88 1RPRU 7DKXQ \DQJ PHQ\DWDNDQ ³6HWLDS RUDQJ \DQJ
dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan
yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima UDWXV MXWD UXSLDK ´
2. Penyelesaian di luar pengadilan
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan adalah melalui suatu lembaga
mediasi yang dikenal dengan nama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK). Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan suatu pengadilan
khusus konsumen (small claim court) yang sangat diharapkan dapat menjawab
tuntutan masyarakat agar proses berperkara dapat berjalan dengan cepat,
sederhana tanpa birokrasi rumit dan tentunya jauh lebih murah. Kesimpulannya,
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen hanya menangani sengketa yang nilai
kerugiannya kecil. Pemeriksaan melalui lembaga ini dilakukan oleh hakim
26
tunggal dan bagi pihak berperkara tidak dboleh didampingi oleh pengacara atau
kuasa hukum sebagai wakil pihak yang bersengketa. Putusan dari Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen tidak dapat dilakukan usaha banding kecuali
bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang didirikan di setiap Daerah Tingkat
II (DATI II) berguna untuk menyelesaikan sengketa konsumen di laur pengadilan.35
BPSK mempunyai anggota-anggota dari unsur pemerintahan, konsumen dan pelaku
usaha. Setiap unsur tersebut terdapat 3 (tiga) orang atau sebanyak-banyaknya 5 (lima)
orang, yang semuanya diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Perindustrian dan
Perdagangan.
Tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, meliputi:36
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara
melalui mediasi, arbitrasi atau konsiliasi.
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen.
c. Pengawasan klausul baku.
d. Melapor kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran undang-undang
ini.
e. Menerima pengaduan dari konsumen baik secara lisan maupun tertulis tentang
dilanggarnya perlindungan konsumen.
f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa konsumen.
g. Memanggil pelaku usaha pelanggar.
h. Menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran ini.
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan mereka tersebut pada huruf g
apabila tidak memenuhi panggilan.
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen atau alat-alat bukti lain
guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.
k. Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian konsumen.
l. Memberitahukan keputusan kepada pelaku usaha pelanggaran undang-undang.
35
Ibid
36
Ibid
27
m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha pelanggar Undang-
Undang.
Dalam menyelesaikan sengketa konsumen, maka dibentuklah majelis yang terdiri
dari sedikitnya 3 orang anggota dibantu dengan seorang panitera. Putusan yang
dijatuhkan majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen telah bersifat final dan
mengikat. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen menjatuhkan putusan selambat-
lambatnya 21 (dua puluh satu) hari sejak gugatan diterima. Keputusan dari Badan
Penyelesaian Sengketa Publik wajib dilaksanakan oleh pelaku usaha dalam jangka waktu
7 (tujuh) hari sejak diterimanya atau apabila pelaku usaha keberatan, maka dapat
mengajukan kepada Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari.
Pengadilan Negeri yang menerima keberatan pelaku usaha memutus perkara tersebut
dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan tersebut.37
Selanjutnya kasasi pada putusan Pengadilan Negeri ini diberikan peluang selama 14
(empat belas) hari untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Keputusan
Mahkamah Agung, wajib dikeluarkan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
permohonan kasasi. Dari keseluruhan proses persidangan berdasarkan ketentuan Undang-
Undang RI No. 8 Tahun 1999, terlihat setidaknya dari sudut biaya dan waktu
penyelenggaraan, pihak konsumen dan pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab
dimudahkan dan dipercepat. Putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti dapat
dijatuhkan dalam jangka waktu relatif pendek. Maksimum 100 (seratus) hari sejak dari
proses pertama sampai dikeluarkannya putusan.
BPSK yang setelah melakukan penyelidikan dan mendapati bahwa memang
importir obat tradisional melakukan kelalaian, maka BPSK dapat menentukan sanksi
administratif kepada importir atau pelaku usaha tersebut berupa penetapan ganti rugi
sampai setinggi-tingginya Rp 2.000.000.000,- (dua ratus juta rupiah) terhadap para pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran karena tidak memiliki izin edar obat tradisional
sehingga merugikan konsumen. Selain melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK), bagi konsumen yang dirugikan dapat menyelesaikan sengketa dengan melalui
jalur arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Jalur arbitrase mempunyai daya tarik
khusus bagi penyelesaian sengketa di Indonesia karena hal ini sesuai dengan sosial
budaya masyarakat Indonesia yakni musyawarah mufakat. Melalui jalur arbitrase
37
Ibid
28
diharapkan tidak terjadi prinsip lose-win melainkan win-win (sama-sama menang), para
pihak merasa menang sehingga menghindarkan terjadinya hard feeling dan loosing face
(kehilangan muka).38
D. Penutup
Kesimpulan
1. Pengawasan yang dilakukan Badan POM terdiri 2 bentuk,39 yaitu Pre market
dan Post Market diantaranya dilakukan saat pelaku usaha/importir mengurus
pendaftaran dai Badan POM dan saat pemeriksaan kelengkapan dan
keabsahan dokumen dan barang di pintu gerbang pelabuhan/bandara yang
dilakukan oleh petugas Bea dan Cukai. Post Market adalah terkait masa
setelah produk memiliki ijin edar dan diedarkan di masyarakat. Teknis
pengawasan peredaran Obat tradisional impor yaitu selama peredaran produk
dilakukan pengawasan terus menerus secara berkesinambungan yaitu melalui
pemeriksaan/inspeksi sarana di lapangan, baik di sarana produksi maupun
sarana distribusi.
2. Adapun tanggung jawab importir obat tradisional di Indonesia, dapat dilihat
dalam beberapa bagian, yaitu :
I. Produksi
a. Bahan baku
Pihak importir atau pelaku usaha harus senantiasa mengawasi proses
pengolahan bahan baku obat tradisional, cara penyimpanan dan mutu bahan
baku tersebut. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting dilakukan
karena hasil pengawasan tahap awal ini akan digunakan untuk rancangan
pembinaan selanjutnya.
b. Pemeriksaan
Tahap pemeriksaan untuk meningkatkan cara pengelolaan obat tradisional
sehingga sesuai dengan mutu dan khasiat yang diharapkan.
38
Muhammad Djumana, Albitrase Penyelesaian Sengketa,Jakarta :Kencana, 2008, hal. 98
39
Wawancara dengan Berthin Hendri petugas dari BPOM Kalimantan Barat pada tanggal 29 Juli
2014
29
c. Sampling
Sampling diperlukan untuk mengawasi mutu bahan baku. Pelaksanaan
sampling di samping melihat dari dekat mutu produk obat tradisional, juga
dapat dilakukan dengan mengambil dan diperiksa di laboratorium.
II. Distribusi
Sewaktu dilakukan distribusi obat tradisional impor tersebut, pihak importir
seanntiasa harus selalu mengadakan pemeriksaan terhadap cara pengaturan
di pasaran dan produk yang di jual agar tidak ada obat tradisional impor
yang sudah habis masa kadaluarsanya, namun masih diperjualbelikan di
masyarakat. Intinya, obat tradisional impor yang dijual di pasaran harus
selalu ditinjau oleh pihak importir agar obat yang dijual tersebut memenuhi
persyaratan mutu dan keabsahan. Selain itu, pelaku usaha atau importir obat
tradisional juga mempunyai tanggung jawab yang terkait dengan masalah
impor obat WUDGLVLRQDO \DNQL ³3HODNX XVDKD GLODUDQJ PHPSHUGDJDQJNDQ
sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar,
GHQJDQ DWDX WDQSD PHPEHULNDQ LQIRUPDVL VHFDUD OHQJNDS GDQ EHQDU´
3. Upaya Hukum Dari Dampak Negatif Peredaran Obat Impor Tradisional
Tanpa Izin Edar, dimana penyelesaiannya terdapat dua cara yang pertama
penyelesaian di peradilan umum dimana dapat digugat lewat perdata di
Pengadilan Negeri, adapun pihak konsumen yang diberikan hak untuk
mengajukan gugatan menurut Pasal 46 Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen ataupun pidana pelaku yang menyimpan
untuk diedarkan sediaan farmasi (obat-obatan) yang berasal dari luar Negara
Indonesia (Obat Impor) tanpa memiliki izin edar. Pelaku (pemilik toko obat)
diancam dengan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 197 UU
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
5S VDWX PLOLDU OLPD UDWXV MXWD UXSLDK ´. Cara kedua yaitu
penyelesaian di luar pengadilan adalah melalui suatu lembaga mediasi yang
dikenal dengan nama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan suatu pengadilan khusus
konsumen (small claim court) yang sangat diharapkan dapat menjawab
30
tuntutan masyarakat agar proses berperkara dapat berjalan dengan cepat,
sederhana tanpa birokrasi rumit dan tentunya jauh lebih murah.
Kesimpulannya, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen hanya menangani
sengketa yang nilai kerugiannya kecil. Pemeriksaan melalui lembaga ini
dilakukan oleh hakim tunggal dan bagi pihak berperkara tidak dboleh
didampingi oleh pengacara atau kuasa hukum sebagai wakil pihak yang
bersengketa. Putusan dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tidak
dapat dilakukan usaha banding kecuali bertentangan dengan hukum yang
berlaku.
Saran
1. Undang-Undang Perlindungan Konsumen tahun 1999 dirasakan perlu
segera diganti atau diubah karena penulis merasa undang-undang ini tidak
lengkap atau tidak mampu mengakomodir perubahan perekonomian pada
masa sekarang ini. Hal ini terbukti dengan tidak jelasnya prosedur
pelaporan gugatan berkelompok (class action) yang diatur pada Undang-
Undang Perlindungan konsumen
2. Perlu peningkatan kinerja dari pihak yang berwenang untuk melakukan
pengawasan dan pemeriksaan yang lebih intensif terhadap pelaku usaha
dalam hal peredaran obat tradisional impor sebagaimana yang telah
diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai hal tersebut agar tidak ada konsumen yang merasa dirugikan.
3. Masyarakat perlu diberitahukan resiko resiko jika menggunakan obat
tradisional impor tanpa izin edar sehingga tidak ada lagi konsumen yang
dirugikan oleh pedagnag-pedagang obat tradisional impor nakal.
31
Daftar Pustaka
32
John Sinclair, Collins Cobuild English Language Dictionary. William Collins Sons & Co,
Glasgow, 1988;
Lazo H., Marketing, Alexander Hamilton Institute, New York, 1971;
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996;
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Kesatu, 2005;
Markus Lukman, Penerapan Metode Statistik Non Parametrik Dalam Penelitian Hukum,
Pontianak: PMIH Untan Press, 2007;
Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya,
Alumni Bandung, 1981;
Mariam Darus, Perlindungan Konsumen dilihat dari Perjanjian Baku (Standar, Kertas
Kerja pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen,
Jakarta : Gramedia Pustaka, 1988;
Muhammad Djumana, Albitrase Penyelesaian Sengketa,Jakarta :Kencana, 2008;
Munir Fuadi, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, buku ke-2. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999;
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu,
Surabaya, 1987;
R.A. Anderson dan W.A. Krumpt, Business Law, South-Western, Publishing Co.,
Cincinnati, 1972;
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum Dan Juri Metri, Jakarta; Ghalia,
1990;
Sanapiah Faisal, Penelitian Kualitatif, Malang: Penerbit Asah-asih, 1990;
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986;
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Cetakan keenam),Bandung: Angkasa, 2000;
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia,Jakarta:Grasindo, 2004;
Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis studi Hukum Dalam Masyarakat, Erlangga,
Jakarta;
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006;
Soleman B. Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum Dalam Masyarakat, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1993;
33
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta : Kencana Premedia Group, 2008
Teguh Samudra, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992;
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung:
Citra Aditya Bhakti,2003;
Zakyah Eryunica, Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Produsen Atas Pernyataan
Kadaluarsa Pada Produk Makanan dan Minuman Berdasarkan Undang-
Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Tesis Magister
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta : 2006;
34
35