2 +Yona+Fitri+hlm +175-190

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

EL-DARISA: Jurnal Pendidikan Islam

Volume 1 Nomor 2 Tahun 2023


http://ejournal.staihwduri.ac.id/index.php/eldarisa/index

KONSEP ETIKA GURU MENURUT HASYIM ASY ‘ARI

Yona Fitri
STAI Hubbulwathan Duri
Email: [email protected]

Abstract: This study aims to determine the concept of teacher ethics according to Hasyim Asy'ari to
reveal again KH. Hasyim Asy'ari's thoughts in the field of Islamic education ethics, especially teacher
ethics. What is the paradigm of Islamic education ethics and teacher ethics according to KH. Hasyim
Asy'ari along with his analysis. With the hope of being able to make a positive contribution to the world
of education, especially for the subjects of education.
The design and approach used in this research is descriptive qualitative which is library research in
nature and the analysis technique is content analysis.
From the results of this study it was concluded that KH. Hasyim Asy'ari has the view that as a teacher he
must be knowledgeable and also correct, meaning that he has an attitude that is in accordance with the
rules or values in ethics education in Islam. The more specific concept of ethics that must be owned by a
teacher is the ethics of students towards themselves, towards their students, towards their lessons and
ethical concepts towards their books. Imperfection is a reality inherent in human beings, as well as in the
analysis of KH. Hasyim Asy'ari's concept. Therefore, the concept and analysis should still need to be
dialogued with reality, reviewed in several descriptions so that values that are not yet relevant become a
concern for observers and researchers of Islamic education ethics.

Keywords:
Ethics, Teacher

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep etika Guru menurut Hasyim
Asy’ari untuk mengungkap kembali pemikiran KH.Hasyim Asy’ari dalam bidang etika
pendidikan Islam, khususnya etika guru. Bagaimana paradigma etika pendidikan Islam dan
etika guru menurut KH.Hasyim Asy’ari beserta analisisnya. Dengan harapan bisa memberikan
kontribusi yang positif terhadap dunia pendidikan khususnya bagi para subyek pendidikan.
Desain dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif yang bersifat studi pustaka (library research) dan teknik analisisnya bersifat kajian isi
(content analysis)
Dari hasil Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa KH.Hasyim Asy’ari
berpandangan bahwa sebagai guru harus berilmu pengetahuan dan juga benar, artinya
mempunyai sikap yang sesuai dengan kaidah atau nilai dalam pendidikan etika dalam Islam.
Adapun konsep yang lebih spesifik tentang etika-etika yang harus dimiliki oleh seorang guru
adalah etika peserta didik terhadap dirinya, terhadap murudnya, terhadap pelajarannya dan
konsep etika terhadap kitab-kitabnya. Ketidak sempurnaan adalah suatu realitas yang melekat
pada diri manusia, begitu juga pada analisa konsep KH.Hasyim Asy’ari tersebut. Oleh
karenanya seyogyanya konsep dan analisa tersebut masih perlu didialogkan dengan realitas,
dikaji ulang dalam beberapa uraian agar nilai yang belum relevan menjadi perhatian bagi
pemerhati dan peneliti etika pendidikan Islam.

Kata Kunci: Etika, Guru

175
Konsep Etika Guru Menurut Hasyim Asy ‘Ary

DOI: https://doi.org/10.15575/ath.xxx.xxx
Received: mm, yyyy. Accepted: mm, yyyy. Published: mm, yyyy.

PENDAHULUAN
Tidak banyak orang yang mengamati tentang problema yang cukup
serius dalam dunia pendidikan. Hal ini terkait dengan terbitnya
buku “Kekerasan Simbolik di Sekolah” karya Nanang Martono, yang telah
membuka mata kita, bahwa masih ada kekerasan yang dilakukan di sekolah,
baik oleh oknum dari dalam maupun oknum dari luar sekolah. Jika mendengar
kata kekerasan, otak akan langsung merekam bahwa itu adalah kekerasan
secara fisik, seperti yang masih sering terjadi di Indonesia pada saat ini.
Sejak dahulu, kekerasan selalu menjadi jalan utama untuk menerapkan
kedisiplinan pada anak. Di pesantren, sekolah, bahkan di rumah, kekerasan
seakan sudah dihalalkan. Sebagian hal itu memang dapat menimbulkan efek
jera pada sang anak. Namun, pada sebagian yang lain kekerasan malah menjadi
beban mental, gangguan psikis, ketakutan, bahkan trauma. Apalagi jika itu
diterapkan pada anak yang masih dalam tahap awal pembelajaran.
Masa kanak-kanak adalah masa pembentukan karakter juga penanaman
moral, respon dan daya ingatnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan di
sekitarnya. Imajinasinya sangat luas berkait dengan apa yang diketahuinya.
Akan tetapi, jika sang anak tetap dipaksa untuk menerima apa yang sudah
menjadi ketentuan, maka bisa jadi ia malah menganggap bahwa apa yang ada
di lingkungan sekitarnya adalah buruk.
Pertama, keluargalah yang paling berperan penting dalam pembentukan
karakter dan pengetahuan pertama kali pada sang anak. Kedua, guru yang
harus bisa mengarahkan imajinasi siswanya pada imajinasi yang dapat
diterima dan sesuai dengan kapasitasnya. Tidak hanya seorang guru yang
pintar dan bisa menguasai muridnya, akan tetapi lebih dibutuhkan akan guru
yang benar-benar mempunyai jiwa kecintaan pada pengabdian. Mampu
menyamaratakan hak dan kewajiban atas peserta didiknya.
Sekolah merupakan tempat siswa menimba ilmu pengetahuan dan
seharusnya menjadi tempat yang aman bagi siswa. Namun ternyata di
beberapa sekolah terjadi kasus kekerasan pada siswa oleh guru. Kekerasan-
kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada siswa seperti dilempar penghapus
dan penggaris, dijemur di lapangan, dipukul bahkan lebih dari itu. Disamping
itu siswa juga mengalami kekerasan psikis dalam bentuk bentakan dan kata
makian. Kasus-kasus kekerasan sangat berlawanan dari peran seorang guru
sebagai pendidik, pengajar, dan pembimbing.
Guru yang merupakan unsur terpenting didalam sistem kependidikan
nasional yang dikembangkan dan diadakan untuk menyelanggarakan
pembimbingan, pelatihan, dan pengajaran bagi setiap peserta didik. Terdapat
berbagai hal yang berkenaan dengan tenaga kependidikan yang sudah diatur
didalam UU Nomor 2 Tahun 1989, yang mengenai sistem kependidikan

176 El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Vol.1 No.2 Tahun 2023


Yona Fitri

nasional. Untuk tenaga kependidikan sekolah juga dijalur pendidikan luar


sekolah dan pada semua jenjang pendidikan pra-sekolah.
Sebagai seorang pendidik yang memahami fungsi dan tugasnya, guru
khususnya ia dibekali dengan berbagai ilmu keguruan sebagai dasar, disertai
pula dengan seperangkat latihan keterampilan keguruan dan pada kondisi itu
pula ia belajar mensosialisasikan sikap keguruan yang diperlukannya. Seorang
yang berpribadi khusus yakni ramuan dari pengetahuan sikap dan
keterampilan keguruan yang akan ditransformasikan kepada anak didik atau
siswanya. Guru yang memahami fungsi dan tugasnya tidak hanya sebatas
dinding sekolah saja, tetapi juga sebagai penghubung sekolah dengan
masyarakat yang juga memiliki beberapa tugas. mengemukakan bahwa fungsi
dan tugas guru profesional adalah : Menyerahkan kebudayaan kepada anak
didik berupa kepandaian, kecakapan dan pengalaman-pengalaman
membentuk kepribadian anak yang harmonis sesuai cita-cita dan dasar negara
kita Pancasila menyiapkan anak menjadi warga negara yang baik sesuai
dengan Undang-Undang Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003, Guru adalah
sebagai pembimbing untuk membawa anak didik ke arah kedewasaan.
Yang menyandang profesi guru adalah manusia yang pantas untuk ditiru
dalam kehidupan bermasyarakat khususnya oleh murid. Karena itu pihak yang
mempunyai kepentingan selayaknya tidak mengabaikan seorang guru.
Didalam menjalankan profesinya, seorang guru menyadari bahwa perlu
adanya ketetapan etika profesi guru sebagai pedoman dalam bersikap serta
berperilaku yang mencerminkan nilai-nilai moral sebagai pendidik anak
bangsa. Ketetapan etika guru yang tercermin dalam kehidupan yang disebut
dengan etika profesi guru.
Ketika menjalankan tugasnya, seorang guru harus sepenuhnya sadar akan
kode etik guru yang merupakan pedoman dalam bersikap serta berperilaku
yang menunjukkan nilai-nilai moral serta etika jabatan sebagai guru. Sikap taat
guru pada kode etik akan memicu mereka untuk berperilaku sesuai dengan
norma yang diizinkan serta menghindari norma yang tidak diperbolehkan.
Maka aktualisasi diri seorang guru dalam menjalankan proses pendidikan serta
pembelajaran yang profesional, beretika dan bermartabat akan terwujud. Kode
etik guru ini dibuat oleh asosiasi atau organisasi profesi guru.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library
Research) atau sering juga disebut sebagai kajian pustaka, yaitu telaah yang
dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya
bertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan
pustaka dan hasil penelitian yang terkait dengan masalah kajian.
Penelitian ini jika diklasifikasikan menurut aspek metodenya disebut
penelitian deskriptif kualitatif, yaitu menggambarkan kegiatan penelitian
yang dilakukan pada obyek tertentu secara jelas dan sistematis. Artinya
peneliti melakukan eksplorasi, menggambarkan dengan tujuan untuk

El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Vol. 1 No.2 Tahun 2023 177


Konsep Etika Guru Menurut Hasyim Asy ‘Ary

dapat menerangkan dan memprediksi terhadap suatu gejala yang berlaku


atas dasar data yang diperoleh.
Bila dilihat dari sumber data, maka pengumpulan data dapat
menggunakan sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah sumber
data yang langsung memberikan data kepada penulis, dan sumber
sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data
kepada penulis, misalnya lewat orang lain atau dokumen. (Sugiyono, 2009 :
62)
Pengumpulan data merupakan proses mengorganisasi dan
mengumpulkan data ke dalam kategori satuan uraian dasar, sehingga
dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis yang disarankan
oleh data tersebut.Pengumpulan data digali dari sumber kepustakaan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Pentingnya Sisitem Nilai (Etika) dalam Pemkiran Pendidikan KH
Hasyim Asy’ari
Manusia ingin lebih mempertanggung jawabkan cara ia mendidik
generasi penerusnya agar lebih berhasil dan melaksanakan hidupnya
dalam pertemanan dan perjalananya dengan sesame dan dunia serta
hubungannya dengan Tuhan. Karena sesungguhnya dalam dunia yang
dinamis ini, masyarakat selalu mengalami perubahan. Bila tidak turut
berubah dan mengikuti pertumbuhan zaman justru akan membahayakan
eksistensi masyarakat itu sendiri. (S. Nasution, 1994 : 23).
Bahkan pendidikan dalam konsep Islam, haruslah dapat mencapai
dua hal. Pertama, Mendorong manusia untuk mengenal Tuhannya
sehingga sadar untuk menyembah-Nya dengan penuh keyakinan,
menjalankan ritual yang diwajibkan dan mematuhi syari’at serta ketentuan-
ketentuan Ilahi, dan kedua, Mendorong manusia untuk memahami sunnah
Allah di alam raya ini, menyelidiki bumi dan memanfaatkannya untuk
melindungi iman dan Agamanya. (Syed Husain & syed Ali Ashraf, 1986 :
62).
Signifikasi pendidikan menurut KH Hasyim Asy’ari adalah upaya
memanusiakan manusia secara utuh, sehingga manusia bias taqwa (takut)
kepada Allah SWT, dengan benar-benar mengamalkan segala perintah-Nya
mampu menegakkan keadilan di muka bumi, beramal saleh dan maslahat,
pantas memandang predikat sebagai makhluk yang paling mulia dan lebih
tinggi derajadnya dari segala jenis makhluk Allah yang lainnya.
(Muhammad Hasyim Asy’ari, 2007 : 12-13).
Pandangan KH Hasyim Asy’ari tentang kehidupan selalu
berorientasi pada landasan Islam yang bersumber pada wahyu di samping
dalil – dalil naqliyah dan pendekatan diri melalui cara sufi. Dengan begitu,
maka dalam menetapkan tujuan pendidikan pun sesungguhnya tidak lepas
dari ideology yang menjadi sandaran berfikirnya.
Sebagaimana dijelaskan pada kitab Adab al-Alim, KH Hasyim
Asy’ari menyebutkan tujuan pendidikan yaitu:

178 El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Vol.1 No.2 Tahun 2023


Yona Fitri

1. Menjadi insan yang purna yang bertujuan mendekatkan diri


kepada Allah.
2. Insan purna yang berujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Dari pemahaman akan tujuan pendidikan ini, Nampak bahwa KH
Ksayim Asy’ari tidak menolak ilmu-ilmu sekuler (dunia) sebagai suatu
syarat untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia. Namun sekali lagi, KH
Hasyim Asy’ari tidak menjelaskan porsi pengetahuan dalm kitab tersebut
atau secara lebih luas mendeskripsikan cakupan kurikulumpendidikan
Islam itu sendiri.
Mengenai hukum mempelajari ilmu pengetahuan antara KH Hasyim
Asy’ari dan Al Ghazali terdapat kesamaan pandangan yakni:
1. Fardhu ‘Ain : Artinya kewajiban mencari ilmu di bebankan pada
setiap muslim
2. Fardhu Kifayah : Artinya ilmu yang di perlukan dalam rangka
menegakkan urusan duniawi. (KH Hayim Asy’ari, 2007 : 44-45)
Menurut KH Hasyim Asy’ari, tujuan ilmu pengetahuan adalah
mengamalkannya, demikian ini agar dapat menghasilkan buah dan
manfaat sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Bahkan lebih
lanjut dikatakan, agar penuntut ilmu dapat memperoleh ilmu yang
bermanfaat, maka harus memperhatiakn sepuluh macam etika antara lain :
membersihkan hati dari berbagai macam gangguan keimanan dan
keduniaan, membersihkan niat, tidak menunda-nunda kesempatan belajar,
bersabar dan bersifat qana’ah terhadap segala macam nikmat dan cobaan,
pandai mengatur waktu, menyederhanakan makan dan minum, bersikap
wara’, menghindari makanan dan minuman yang bias menyebabkan
kemalasan dan kebodohan, mengurangi waktu tidur serta meninggalkan
hal-hal yang kurang bermanfaat (KH Hasyim Asy’ari, 2007 : 24-28).
Dalam menuntut ilmu perlu di perhatikan dua hal. pertama bagi
murit hendaknya berniat murni untuk menuntut ilmu, jangan sekali-kali
berniat untuk hal duniawi dan jangan melecehkan atau menyepelekan. Niat
merupakan pondasi yang mendasari segala aktivitas belajar. Sehingga pada
akhirnya kegiatan belajar memiliki makna dan mempunyai nilai mulia
yang mampu mengantarkan pada derajat yang lebih tinggi.
Kedua, bagi guru/ulama dalam mengajarkan ilmu hendaknya
meluruskan niatnya dulu, tidak mengharapkan materi semata-mata. Dan
semua yang diajarkan hendaknya sesuai dengan tindakan /prilaku yang
diperbuat (bukan sekedar bisa menymapaikan belaka). Pentingnya
keikhlasan bagi seorang murid dalam menuntut ilmu. (Al Zarniji, 1963 : 29-
30).
Berpijak dari pemikiran tersebut, dapatlah ditarik kesimpulan,
bahwa sosok KH Hasyim Asy’ari sesungguhnya memiliki perhatian yang
besar terhadap arti pentingnya menuntut ilmu. Ia tidak hanya
mendasarkan pada hal-hal yang bersifat normative, namun untuk hal-hal
bersifat teknis juga tidak luput dari pengamatan. Demikian ini

El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Vol. 1 No.2 Tahun 2023 179


Konsep Etika Guru Menurut Hasyim Asy ‘Ary

dimaksudkan agar para penuntut ilmu dapat memahami betapa besarnya


perananilmu untuk bekal hidup di masa depan.
B. Pendekatan Moral dan Etika dalam Pendidikan Islam
Dengan pandangan tradisionalisme yang di pertahankan KH
Hasyim Asy’ari banyak mengadopsi tradisi pendidikan Islam klasik yang
lebih mengedankan normativitas, tradisi belajar mengajar dan etika dalam
belajar mengajar yang lebih mengantarkan Islam pada zaman keemasan.
dan ini terbukti dengan karyanya yang merupakan risalah khusus yang
membahas mengenai konsep kependidikan disusun secara khusus dalam
kitab Adab al-alim wa al-Muta’alim.
KH Hasyim Asy’ari terdorong untuk menulis kitab tersebut
disebabkan situasi pendidikan yang mengalami perubahan dalam
perkembangan yang pesat dari kebiasaan lama (Tradisional) yang mapan
ke dalam bentuk baru pendidikan imperialis Belanda yang semakin
menguat di Indonesia.
Nilai merupakan realiatas abstrak dalam diri manusia yang menjadi
daya pendorong terhadap sikap dan tingkah laku sehari-hari. Seorang yang
telah menghayati nilai kejurusan sebagaimana diajarkan oleh Islam akan
terdorong untuk bersikap dan bertindak jujur kepada orang lain bahkan
terhadap dirinya sendiri. Pendidikan nilai bertujuan untuk mengukir
akhlak melalui proses Knowing the good, loving the good, and acting the
good, yaitu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan
fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heard
and hands.
Pendidikan akhlak harus ditanamkan kepada peserta didik sebelum
mereka mencapai usia akhir pembentukan kepribadian pada usia 20 atau
21 tahun. Jika melewati batas ini sudah amat sulit untuk memasukkan nilai-
nilai karena harus membangun kembali kepribadian yang telah terbentuk
(reconsruction of personality) (Zakiyah Deradjat, 1988:66).
Mengapa pendidikan moral begitu penting didalam sekolah,
Pertama, pendidikan moral yang buruk dalam sekolah menjadikan
pendidikan menghasilkan penjahat–penjahat canggih di masa depan.
Seorang siswa yang pandai, dengn berbagai pengetahuan yang banyak,
tetapi bermoral rusak, akan menjadi alat perusak masyarakat yang
berbahaya sekali. Sebagaimana di disinyalir Kartini Kartono, seorang pakar
pendidikan mengatakan,”salah langkah dalam kegiatan mendidik-
membentuk ini, pasti membuahkan tipe manusia “salah jadi” yang
mengerikan dan berbahaya bagi kehidupan bersama di masa-masa
mendatang”.
Bahkan dalam syariat Islam sangat jelas memperhatikan pendidikan
anak dari segi moral, memberikan bimbingan- bimbingan bernilai dalam
membekali moral anak dengan sifat-sifat utama dan mulia, dan
mendidiknya dengan moral dan adat kebiasaan yang baik. Adapun tentang
pendidikan moral itu sendiri Abdullah Nashil Alwan mengatakan bahwa
pendidikan moral merupakan serangkaian sendi moral, keutamaan tingkah

180 El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Vol.1 No.2 Tahun 2023


Yona Fitri

laku dan naluri yang wajib dilakukan oleh anak didik, diusahakan an
dibiasakan sejak kecil hingga dewasa, untuk menyongsong kehidupan,
tidak diragukan keutamaan akhlak dan tingkah laku serta naluri
merupakan buah iman yang meresap dalam pertumbuhan keberagaman
yang sehat. (Abdullah Nashil Ulwan, 1990 :169).
Kedua, Manusia adalah makhluk yang berni;lai moral. Pendidikan
adalah mendidik hidup. Hidep bukan sekedar sebuah kebetulan,
melainkan ada makna dan tujuan di dalamnya. Oleh karena itu, seorang
siswa belajar bukan untuk sekedar belajar pengetahuan kognitif, tapi
bagaimana implementasi ilmunya menjadikan hidupnya bermakna, baik
secara individu maupun dalam masyarakat. Maka, tanpa kehidupan moral
yang baik seluruh hidup menjadi tidak bermakna, ataupun bahkan menjadi
sangat menjadi negative. Untuk apa dia hidup dan eksis di dunia jika
hanya menjadi perusak dan penghancur masyarakat, mendatangkan aib
bagi keluarga, lingkungan dan Negara.
Ketiga, sangat sulit untuk membentuk manusia menjadi orang baik,
tetapi begitu mudahnya seseorang untuk menjadi rusak. Jika seseorang
anak dibiarkan begitu saja, ia akan berkecenderungan berbuat jakat
ketimbang berbuat baik. Ketika manusia dibiarkan tanpa pendidikan baik,
ia akan dengan cepat mengadopsi perilaku-perilaku jahat, malah
memperkembangkan daya kreatif negatifnya, ketimbang dia berusaha
mengadopsi perilaku baik. Perlu pejuangan berat seseorang bisa
mengadopsi perilaku baik dan mengembangkan daya kreatif yang positif
dan bermoral tinggi. Perlu upaya serius untuk mendidik menjadi anak
yang bermoral tinggi, yang hidupnya jujur, adil, mulia, suci dan
berintegritas.
Menutut Frans Magnis Susno, kata moral selalu mengacu pada baik
buruknya manusia sebagai individu. Bidang moral adalah bidang
kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-
norma moral merupakan tolak ukur untuk menentukan benar salahnya
sikap dan tindakan manusia, bukan sebagai pelaku peran tertentu dan
terbatas.( Frans Magnis Susno, 1993 : 19).
Ada banyak hal yang bisa dan perlu sekolah lakukan dalam
pendidikan moral. Di antaranya, Pertama, setiap institusi pendidikan perlu
memperhatiakan bukan hanya hebatnya pengetahuan atau gelar guru atau
dosennya, tetapi juga perilaku moralnya. Perlu ada mekanisme pengujian
kehidupan keseharian insane pendidikan, bukan hanya kekuatan
intelektualnya saja. Kedua, perlu adanya penilaian kelakuan di sekolah.
Seorang siswa lulus atau naik kelas, bukan hanya di ukur oleh kemampuan
intelektualnya, tetapi juga kemampuan social, moral, mental dan spiritual.
Dengan demikian, sekolah betul betul menjalankan fungsi pedagogis
yang benar. Ketiga. Sekolah juga perlu secara berkala melibatkan orang tua
di dalam pembinaan moral pengawasan moral bagi anak-anak mereka.
Sekolah harusnya bergandengan tangan dengan orang tua didalam
mendidik anak, sehingga pendidikan anak berjalan secara integrative.

El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Vol. 1 No.2 Tahun 2023 181


Konsep Etika Guru Menurut Hasyim Asy ‘Ary

Hal seperti ini sangat banyak di abaikan, karena di anggap terlalu


menyulitkan bagi pihak sekolah, sekolah hanya sibuk mengukur
kemampuan intelektual anak didiknya, dan berbangga diri jika anak – anak
didiknya berhasil dengan nilai intelektual yang tinggi dan mempunyai
ilmu pengetahuan yang banyak. Kini paradigm ini perlu di pertanyakan
dan dikembalikan kepada panggilan pendidikan yang mendasar yaitu
membentuk seorang anak menjadi seorang anak menjadi orang yang betul-
betul dewasa secara moral, mental, spiritual dan intelektual.
Sebagaina di sinyalir seorang tokoh pendidikan Van Dusen, yang
menganggab bahwa pendidikan persekolahan telah gagal dalam upaya
menjalin kekuatan yang menyatukan filsafah keagamaan dalm orientasi
pembelajaran, karena timbulnya konflik antara sisi keagamaan di satu
pihak dan sisi sekuler dipihak lain dalam pendidikan sekolah.
Menurut Amir, pendidikan watak menurut kosep Islam
sesungguhnya menginginkan terbentuknya kepribadian etis yang memiliki
cirri-ciri : (1) mengabdi kepada Tuhan dengan menjalankan kaidah-kaidah
keimanan, keislaman, dan keikhlasan, (2) memahami, menghayati dan
mengamalkan fungsi manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Dengan demikian, pada dasarnya pendidikan moral menurut
konsep Islam merupakan bagian dari pendidikan manusia seutuhnya,
sebab Islam sendiri sesungguhnya tidak pernah memisahkan antara hal
yang bersifat spiritual dan hal yang bersikap secular. Islam menganut
struktur paradigmatic moral yang selalu berhubungan dengn salah satu
segi alam cita yang di sebut dengan etika, ssedang etika sendiri berkaitan
erat dengan fungsi konatif kesadaran manusia yang berupa kemauan dan
perbuatan. (Imron Arifin, 1993 : 41).
Oleh karena itu, Hasyim Asy’ari sebagai seorang pendidik yang
sangat memperhatikan nilai –nilai moral dan etis, merasa berkewajiban
untuk memberikan arahan –arahan dan nasehat yang berarti bagi para
penuntut ilmu untuk memperhatikan perilaku dan sifat hidup yang
berlandaskan pada nilai – nilai akhlak al karimah.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya inti dari akhlak
penuntut ilmu dalam pandangan Hasyim Asy’ari adalah ibadah kepada
Allah. Sikap ini akan sendirinya terejawantahkan dalam kehidupan
penuntut ilmu dalam bentuk perilaku hidup, tawakkal, wara’ beramal
dengan mengharapkan ridho Allah semata, bersyukur dan sebagainya.
Pada akhirnya, bila nilai – niai ini sudah menyatu dalam jiwa peserta didik,
maka akan tumbuh jiwa – jiwa yang memliki rasa percaya diri, sikap
optimis, serta mampu memaksimalkan seluruh potensi yang ada secara
positif, kreatif, dinamis, produktif.

C. Etika Guru Menurut Hasyim Asy’ari


Di antara banyak adab (etika) yang harus dimiliki oleh setiap pribadi
‘alim (ahli Ilmu), sedikitnya ada 20 macam, sebagainya di sampaikan
berikut ini:

182 El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Vol.1 No.2 Tahun 2023


Yona Fitri

1. Selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam berbagai


situasi dan kondisi.
2. Takut kepada murka/siksa Allah SWT dalam setiap gerak, diam,
perkataan dan perbuatan.
3. Sakinah (besikap tenang).
4. Wara’ (berhati-hati dalam setiap perkataan dan perbuatan).
5. Tawadhu’ (rendah hati/tidak menyombongkan diri).
6. Khusyu’ kepada Allah.
7. Senantiasa berpedoman kepada hukum Allah dalam setiap hal.
8. Tidak menjadikan ilmu pengetahuan yang di miliki sebagai
sarana mencari (tujuan) keuntungan duniawi seperti harta
benda, kedudukan, prestise, pengaruh atau untuk menjatuhkan
orang lain.
9. Tidak merasa rendah dihadapan para pemuja dunia. Tidak pula
terlalu mngagungkan mereka dengan sering-sering berkunjung
dan berdiri menyambut kedatangan mereka tanpa kemaslahatan
apapun di dalamnya. Termasuk juga mengunjungi murid-murid
yang pernah belajar kepadanya meskipun mereka mempunyai
kedudukan yang amat terhormat. Hal yang demikian itu perlu
di perhatikan demi menjaga wibawa dan kemuliaan diri dan
ilmu pengetahuan sebagaimana hal itu telah dilakukan oleh
ulama salafus sholih di hadapan para kholifah (penguasa) di
masanya.
10. Zuhud (tidak terlampau mencintai kesenangan dunia duniawi)
dan rela hidup sederhana.
11. Menjauhi pekerjaan/propesi yang di anggap rendah/hina
menurut pandangan adat maupun syariat.
12. Menghindari tempat-tempat yang dapat menimbulkan fitnah,
serta meninggalkan hal-hal yang menurut pandangan umum
dianggap tidak patut dilakukan meskipun tidak ada larangan
atasnya dalam syariat Islam. Yang demikian menjaga martabat
dan harga diri seorang ‘alim serta agar terhindar dari
prasangka–prasangka kurang baik di depan umum.
13. Menghidupkan syiar dan ajaran–ajaran Islam seperti mendirikan
sholat bejamaah di Mesjid, menebarkan salam kepada orang lain
dan mencegah kemungkaran dengan penuh kesabaran (dalam
menghadapi resiko yang menghadang).
14. Menegakkan sunnah Rasulullah dan memerangi bid’ah serta
memperjuangkan kemaslahatan umat Islam dengan cara-cara
yang populis (memasyarakat) dan tidak asing bagi mereka.
Menjaga (mengamalkan) hal-hal yang sangat di anjurkan oleh
syariat Islam, baik berupa perkataan, maupun perbuatan, seperti
memperbanyak membaca Al Quran, berzikir dengan hati
maupun lisan, berdo’a disiang maupun malam hari,
memperbanyak ibadah sholat dan berpuasa, bersegera

El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Vol. 1 No.2 Tahun 2023 183


Konsep Etika Guru Menurut Hasyim Asy ‘Ary

menunaikan ibadah haji bagi yang mampu, serta menghaturkan


sholawat dan salam kepada Rasulullah SAW sebagai ungkapan
rasa cinta dan penghormatan kepada beliau.
15. Mempergauli manusia (orang lain) dengan akhlak-akhlak terpuji
seperti bersikap ramah, menebar salam, berbagi makanan,
menahan (emosional), tidak suka menyakiti, tidak berat hati
dalam memberi penghargaan (kepada yang berhak) serta tidak
terlalu menuntut untuk di hargai, pandai bersyukur, selalu
berusaha memerikan pertolongan kepada mereka yang
membutuhkan, bersikap lembut kepada orang yang fakir
(miskin), memcintai tetangga dan para sahabat, serta
memberikan kasih sayang kepada mereka yang menimba ilmu
pengetahuan (murid-muridnya).
16. Menyucikan jiwa dan raga dari akhlak-akhlak tercela, dan
menghiasi keduanya dengan akhlak-akhlak mulia.
17. Selalu berusaha mempertajam ilmu pengetahuan (wawasan) dan
amal, yakni melalui kesungguhan hati, ijtihad, muzakarah
(merenung), ta’liq (membuat catatan-catatan), menghafal,
melakukan pembahasan (diskusi).
18. Tidak merasa enggan dalam mengambil faedah (ilmu
pengetahuan) dari orang lain atas apapun yang belum di
mengerti, tanpa perlu memandang perbedaan
status/kedudukan, nasab/garis keturunan dan usia.
19. Meluangkan sebagian waktu untuk kegiatan menulis
(mengarang/ menyusun kitab).

D. Etika Guru dalam Mengajar


1. Sebelum mendatangi mejelis kelas, seorang ‘alim hendaknya terlebih
dahulu menyucikan diri dari segala hadats dan kotoran, memakai
parfum, serta mengenakan pakaian yang layak menurut pandangan
masyarakat di lingkungannya.
2. Ketika keluar rumah menuju tempat mengajar, ia dianjurkan berdzikir
dan berdo’a kepada Allah.
3. Apabila ia telah sampai di majelis pengajaran, hendaknya
mengucapkan salam kepada seluruh hadirin (peserta didik). Setelah itu
hendaknya ia duduk dengan tenang, sopan , khusu’ serta tawadhu’/
rendah hati, jika situasi memungkinkan sebaiknya ia duduk dengan
menghadap kearah kiblat.
4. Menghadapi seluruh siswa dengan penuh perhatian. Ia juga hendaknya
melayani setiap orang yang bertanya atau berbicara kepadanya dengan
cara menghadap wajah/pandangan kepada mereka. Ini demi
menunjukkan sikap perhatiannya atas mereka, termasuk terhadap
mereka yang dianggap kecil atau mereka yang memiliki kedudukan
tendah.

184 El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Vol.1 No.2 Tahun 2023


Yona Fitri

5. Sebelum melulai pengajaran, hendaknya ia membaca beberapa ayat Al


qur’an terlebih dahulu dengan maksud mengambil berkah dari ayat-
ayat Allah, setelah itu memanjatkan do’a untuk dirinya, para hadirin,
seluruh kaum muslim, juga untuk orang yang mewaqofkan sebagian
hartanya untuk tempat ia mengajar.
6. Apabila ia hendak menyampaikan pelajaran lebih dari satu materi
(pembahasan), sebaiknya ia memulainya dengan materi-materi yang
lebih penting dahulu.
7. Mengatur volume suara sehingga tidak terlampau keras ataupun
terlalu lirih/pelan hingga tidak dapat didengar dengan jelas oleh para
hadirin. Di samping itu ia hendaknya tidak terlalu cepat (tergesa-gesa)
dalam menyampaikan penjelasan, akan tetapi seyogyanya ia
menyampaikanya dengan pelan-pelan sehingga penjelasannya akan
dapat disimak dan di fikirkan baik-baik oleh orang yang
mendengarnya. Kemudian, apabila ia seorang ‘alim telah selesai
menjelaskan suatu pokok persoalan ( materi) hendaknya ia berhenti
sejenak, hal ini demi memberikan kesempatan kepada para siswa
supaya mereka dapat memikirkan kembali penjelasan yang telah ia
sampaikan, ataupun menanyakan hal-hal yang belum mereka pahami.
8. Menjaga (mengendalikan) majelis dari kegaduhan, kebisingan, dan
segala sesuatu yang dapat mengganggu kelancaran (konentrasi) proses
belajar–mengajar.
9. Mengingatkan para hadirin (siswa) akan pentingnya menjaga
kebersamaan dan persaudaraan.
10. Memberikan peringatan tegas terhadap siswa yang melakukan hal-hal
di luar batas etika yang semestinya dijaga disaat mereka berada di
dalam majlis. Misalnya, mengabaikan peringatan dan petunjuk,
melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat, bersikap tidak baik terhadap
siswa lain, tidak menghargai orang yang lebih tua, tidur, mengobrol
dan bercanda.
11. Apabila ia di tanya tentang suatu persoalan yang tidak ia ketahui,
hendaknya ia mengakui ketidaktauannya itu. Karena hal yang
demikiaan itu termasuk sebagian dari ilmu pengatuan (sikap orang
yang berilmu).
12. Apabila di dalam majelis pengajaran ikut pula hadir orang yang bukan
dari golongan mereka, hendaknya seorang guru memperlakukannya
dengan baik dan berusaha membuatnya nyaman berada di dalam
majelis tersebut.
13. Menyebut dan menyertakan asma Allah baik ketika membuka maupun
menutup pengajaran.
14. Mengajar secara propesional sesuai bidangnya. Tidak memaksakan diri
memberikan pengajaran atau penjelasan yang tidak dikuasai.

E. Etika Guru Terhadap Siswa

El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Vol. 1 No.2 Tahun 2023 185


Konsep Etika Guru Menurut Hasyim Asy ‘Ary

1. Dalam menjalankan profesi sebagai guru yang tugas utamanya adalah


memberikan pengajaran dan pendidikan kepada siswa, sudah
seharusnya seorang guru membangun niat dan tujuan yang luhur,
yakni demi mencari ridho Allah mengamalkan ilmu pengetahuan,
menghidupkan syariat Islam, menjelaskan sesuatu yang hak dan yang
batil, menyejahterakan kehidupan umat, serta demi meraih pahala dan
berkah ilmu dan berkah ilmu pengetahuan.
2. Kadang-kadang, dalam kegiatan pembelajaran sering kali ditemukan
siswa yang tidak serius serta memiliki niat yang kurang lurus.
Terhadap hal yang seperti ini, guru hendaknya bersabar dan tidak
menyurutkan semangatnya dalam memberikan pengajaran kepada
mereka. Karena bagaimanapun juga suatu niat memerlukan proses.
Niat yang tulus dalam belajar sering kali akan segera mereka dapatkan
melalui unsur barokah ilmu pengetahuan yang terus menerus
dipelajari/diajarkan.
3. Mencintai para siswa sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri,
berusaha memenuhi kemaslahatan mereka, serta memperlakukan
mereka dengan baik sebagaimana ia memperlakukan anak-anaknya
sendiri yang amat disayangi. Selain itu, ia hendaknya bersabar dalam
menghadapi kekurangan dan ketidak sempurnaan mereka dalam
beretika. Karena bagaimanapun juga mereka adalah manusia yang
tidak luput dari kesalahan, oleh karena itu hendaknya memberikan
nasehat kepada mereka dengan lembut dan penuh kasih sayang.
4. Mendidik dan memberi pelajaran kepada mereka dengan penjelasan
yang mudah dipahami sesuai dengan kemampuan mereka. Selain itu,
ia hendaknya tidak memberikan materi-materi yang terlalu berat bagi
mereka, karena hal itu akan mengganggu akan merusak konsentrasi
mereka.
5. Bersungguh-sungguh dalam memberiakan pengajaran dan
pemahaman kepada mereka. Oleh karena itu ia hendaknya memahami
metode-metode pengajaran secara baik agar dapat memudahkan dan
mempercepat pemahaman mereka.
6. Meminta sebagian waktu mereka (para siswa) untuk mengulang
kembali pembahasan yang telah ia sampaikan serta jika perlu ia
hendaknya memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka
melalui latihan, ujian semacamnya demi mengetahui sejauh mana
tingkatan pemahaman mereka dalam menyerap materi yang telah
disampaikan. Terhadap siswa yang mampu menjawab pertanyaan-
pertanyaan dengan baik dan benar, hendaknya ia tidak segan-segan
memberinya penghargaan. Ini demi memberi motivasi agar tetap tekun
dan meningkatkan belajarnya. Penghargaan tersebut juga tentunya
dapat menjadi dorongan bagi siswa-siswa yang lain.
7. Apabila diantara para siswa terdapat siswa yang tempat tinggalnya
cukup jauh sehingga untuk sampai ke tempat pengajaran gurunya itu
(sekolah, madrasah dan sebagainya) di butuhkan waktu yang cukup

186 El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Vol.1 No.2 Tahun 2023


Yona Fitri

lama dan juga stamina yang prima, seorang guru hendaknya


memaklumi keadaannya jika saat mengikuti pelajaran siswa itu
mungkin Nampak kelelahan atau sering terlambat lantaran perjalanan
yang telah di tempuhnya.
8. Selain itu, hendaknya tidak terlalu memberati siswa dengan
memberikan materi yang terlalu banyak atau memberikan materi di
luar porsi pemahaman mereka. Materi-materi yang akan diajarkan
kepada mereka hendaknya juga di sesuaikan dengan situasi dan
kondisi serta diberikan secara bertahap.
9. Tidak memberikan perhatian dan perlakuan khusus kepada salah
seorang siswa dihadapan siswa-siswa yang lain, karena hal seperti ini
akan menimbulkan kecemburuan dan perasaaan yang kurang baik
diantara mereka.
10. Memberikan kasih sayang dan perhatian kepada siswa. Salah satu
bentuk perhatian dan kasih sayang terhadap mereka adalah dengan
cara berusaha sebaik mungkin mengenal kepribadian dan latar
belakang mereka serta berdo’a untuk kebaikan (keberhasilan) mereka.
Selain itu, ia hendaknya memperhatikan setiap akhlak dan prilaku
mereka. Sehingga apabila ia mendapati mereka berbuat tidak baik, ia
dapat menegur dan mengingatkannya.
11. Membiasakan diri sekaligus memberikan contoh kepada siswa tentang
cara bergaul yang baik, seperti mengucapakan salam, berbicara dengan
baik dan sopan, saling mrncintai terhadap sesama, tolong menolong
dalam kebaikan dan ketakwaan dan lain sebagainya.
12. Apabila memungkinkan (punya kemampuan), seorang guru
hendaknya turut membantu dan meringankan masalah mereka dalam
hal materi, posisi (kedudukan/pekerjaan) dan sebagainya.
13. Apabila di antara beberapa siswa terdapat seseorang siswa yang tidak
hadir dan hal itu di luar kebiasaannya, hendaknya ia mananyakannya
kepada siswa yang lain. Jika di antara mereka tidak ada satu pun yang
mengetahui keberadaan siswa tersebut, hendaknya ia mengutus
seseorang atau akan lebih baik jika ia melakukannya sendiri, untuk
mengunjungi rumahnya demi memastikan keberadaannya. Jika
ternyata siswa tersebut sedang sakit, hendaknya ia menjenguknya. Dan
jika siswa itu tengah menghadapi masalah (kesusahan), hendaknya ia
membantu meringankan masalahnya.
14. Meskipun berstatus sebagai guru yang berhak dihormati oleh murid-
muridnya, hendaknya ia tetap bersikap tawadhu’ (rendah hati)
terhadap mereka.
15. Memperlakukan siswa dengan baik. Seperti memanggilnya dengan
nama dan sebutan yang baik, menjawab salam mereka, menanyakan
kabar dan kondisi mereka dan lain sebagainya.

SIMPULAN

El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Vol. 1 No.2 Tahun 2023 187


Konsep Etika Guru Menurut Hasyim Asy ‘Ary

Tiga dimensi penting, yakni dimensi keilmuan yaitu dimensi yang


memandang pendidikan sebagai wadah pengembangan keilmuan, dimensi
pengamalan berarti mengupayakan pendidikan sebagai aktualisasi dari ilmu
yang selama ini dicari, dan dimensi religius sebagai kontrol bahwa pendidikan
merupakan sarana untuk meningkatkan keimanan dan pengetahuan kepada
Tuhan. Dimana dari tiga dimensi tersebut terangkum dalam satu konsepsi
pendidikan yang bercirikan dengan nilai-nilai moral dan berlandaskan “etika”.
Kaitanya dengan etika guru terhadap murid yang disampaikan K.H Hasyim
Asy’ari dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa yang harus dilakukan oleh
seorang guru dalam menjalankan tugas utama profesinya sebagai guru adalah
memberikan pendidikan dan pengajaran kepada murid atau anak didik, apa
yang dilakukan oleh guru kurang lebih nantinya adalah yang akan dilakukan
oleh murid atau anak didik.
Guru hendaknya bersikap hati-hati dalam menjaga sikap, etika dan
perilakunya dalam menjalankan kegiatan belajar mengajarnya, serta mendasari
setiap perilaku pengajarannya dengan nilai nilai etika keagamaan (religius
ethic). KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan, bahwa kunci sukses belajar mengajar
adalah adanya aturan etika yang dijalankan dalam relasi hubungan komunikasi
yang baik antara guru dengan murid yang berdasarkan pada nilai-nilai agama.
Hal ini membuktikan bahwa apa yang dipahami beliau dalam bidang
pendidikan merupakan buah karya perhatian beliau tentang tentingnya nilai
etika dalam pendidikan. Adapun peran dan pentingnya kesuksesan suatu
pendidikan itu hanya dapat dilakukan oleh guru yang mempunyai kompetensi
tertentu dengan menjadikan etika sebagai landasan tinggi belajar mengajarnya.
Relevansi pemikiran etika guru yang digambarkan KH. Hasyim Asy’ari
meliputi empat etika pokok yaitu, etika guru terhadap diri sendiri , etika guru
dalam proses belajar mengajar, etika guru terhadap murid atau anak didik,
etika terhadap kitab sebagai alat untuk belajar. Untuk sekarang ini dirasa
sangat penting untuk diapresiasi kembali di tengah-tengah keadaan sistem
pendidikan yang sudah terjebak dalam pandangan material oriented. Dimana
dalam pandangan beliau bahwa materi bukanlah tujuan dari pendidikan.
Adapun jika diimplementasikan dalam praktek kegiatan belajar mengajar,
pemikiran K.H Hasyim Asy’ari sangatlah penting, artinya ditengah-tengah
keadaan sistem pendidikan yang terjebak pada materialoriented seperti sekarang
ini.
Guru memandang bahwa pendidikan merupakan satu-satunya wadah
untuk menghasilkan materi. Maka yang akan terjadi adalah hilangnya aspek
etika religius dan barakah dalam pendidikan tersebut. Oleh karena itu, berefleksi
dari pemikiran beliau, perlu rasanya untuk mengadakan evaluasi diri, sudah
sejauh manakah perjalanan pendidikan selama ini, maka apa yang
diungkapkan K.H Hasyim Asy’ari layak direnungkan kembali, yakni tentang
adanya guru profesional yang mempunyai kompetensi akademik dengan
kualitas etika tinggi yang memadai dengan menjadikan dirinya sebagai top
model atau uswah bagi perkembangan murid atau anak didik. Namun
demikian, tidak harus sampai mereduksi adannya nilai-nilai etika dalam proses

188 El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Vol.1 No.2 Tahun 2023


Yona Fitri

pembelajaran. Jadi, yang perlu diingat adalah bagaimana proses pembelajaran


tersebut, dibangun atas dasar etika dan ta’zim yang besar dari seorang murid
dan cinta kasih yang tulus dari seorang guru. Maka pendidikan yang
berdasarkan etik di atas akan terjalin sikap yang kritis dan demokratis dan
eksistensi guru dan siswa sama-sama diakui, lebih dari itu siswa diperlakukan
secara manusiawi, diberikan hak untuk mengemukakan pendapat, mengkritik.

REFERENSI
Abidin ibnu Rusn, (1998), Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Ali Mudlofir, (2012), Pendidik Propesional, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada
KH. M Hasyim Asy ‘Ari, (2007), Etika Pendidikan Islam, Yogyakarta: Titian
Wacana
M Sanuri, (2013), Kebiasaan-kebiasaan KH Ahmad dahlan dan KH Hasyim
Asy‘Ari , Yogyakarta: Difa Press
Rahma Yulis, Profesi dan etika keguruan, (2013), Jakarta: Kalam Mulia
Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam,
(2010), Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu
Samsul Nizar, Metodologi Penelitian kepustakaan (Library Research); Studi
Analisis pendahuluan, (2008)
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (2009), Bandung: Alfabeta
Syaiful bahri Djamrah, Guru dan Anak didik dalam Interaksi Edukatif, (2010),
Jakarta: Rineka Cipta
Tamyiz Burhanuddin, Akhlak Pesantren Solusi Bagi Kerusakan Akhlak, (2001),
Yogyakarta: Ittaqa Press
Djamal, (2015), Paradigma Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hayanti sri, (2018), Belajar & Pembelajaran Berbasis Cooperatif Leraning,
Magelang:Graha Cendekia.
Kompri, (2019), Motivasi Pembelajaran Perspektif Guru dan Siswa, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya Ofset.
Majid Abdul, (2013), Perencanan Pembelajaran, Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya.
Mudasir, (2011), Manajemen Kelas, Pekanbaru: Zanafa Publishing.
Musfiqon, (2012), Panduan Lengkap Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta : PT
Prestasi Pustakaraya.
Nata Abuddin, (2003), Manajemen Pendidikan Edisi ke 4, Jakarta: Kencana.
Sanjaya Wina, (2008), Perencanaan & Desain SistemPembelajaran, Jakarta:
Kencana.
Sugiyono, (2017), Metodologi Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D), Bandung: Alfabeta.
Syaodih Sukmadinata Nana, (2017), Metode Penelitian Pendidikan, Bandung : PT
Remaja Rosdakarya.
Undang-undang guru dan dosen (UU RI NO.14 Th. 2005), (2005), Sinar Grafika

El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Vol. 1 No.2 Tahun 2023 189


Konsep Etika Guru Menurut Hasyim Asy ‘Ary

Muhammad Rahman dan Sofan Amri, (2014), Kode Etik Profesi Guru, Jakarta:
Pretasi Pustaka
Soejipto, Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, (2009), Jakarta: Rineka Cipta

190 El-Darisa: Jurnal Pendidikan Islam Vol.1 No.2 Tahun 2023

You might also like