Nasional 3 NIC:KOE Penetrating Cervial Spine Injury EN

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 6

Penetrating Trauma of Cervial Spine Injury: A Case

Report
Heru Sutanto Koerniawan1; Raka Janitra2; Tjokorda Gede Bagus Mahadewa3
1. Resident, Department of Surgery, Sanglah Hospital / Udayana Medical University
2. Resident, Sub Division Neurosurgery, Department of Surgery, H Adam Malik Hospital / North Sumatra
University
3. Associate Professor, Consultant, Sub Division of Neurosurgery, Department of Surgery, Sanglah Hospital /
Udayana Medical University

ABSTRACT
The Incident of cervical spine injury and cervical spinal cord injury is between 2.0& to 5.0%1
The ATLS stated that everyone with multitrauma patient should even have to be assumed has
cervical spinal injury especially if the patient loss his consciousness when present in the ER.2
it stressed that cervical spine injury requires continous immobilisation of the entire patients
with semi-rigid collar, backboard with tape and straps before and during transfer to definitf
care facility. The understanding of mechanism of injury is the most important as the forces
transferred are significantly different as well as the impact causing different injury.3 A Serial
Cases was reported by Walter and Adkins found that there was no significent different
between the patient who are the bullet removed from the neck and the patient who are the
bullet left in the cervical cord and did not improve the neurologic outcome. Kupcha
recommend to do selective wound management and observation of retained intracanal bullet
fragments in patient with complete lessions. Surgical decompression after the injury is not
recomended. We reported a case of 14 years old boy who were treated in Sanglah hospital
referred from Type C Hospital out of island with SCI ASIA A caused by gun shot wound in
the cervical. We did Surgical Decompresion and bullet removal as well as Fusion
Stabilisation. He is then treated in the Intensive Care unit for 48 hours with slight
improvement in motorik of upper and lower extremity.

ABSTRAK
Insiden Trauma spincal cervical dan trauma korda spinalis cervical berkisar antara 2.0%
hingga 5%. ATLS menyebutkan bahwa semua orang dengan politrauma harus dianggap
mempunyai trauma cervical dan tulang belakang lainnya terutama bila pasien mengalami
penurunan kesadaran. ATLS menekankan untuk melakukan immobilisasi kontinu terhadap
seluruh bagian tubuh pasien dengan collar brace, papan keras dengan isoloasi dan tali
sebelum, selama transfer ke pusat pelayanan definitif. Pengetahuan tentang mekanisme
trauma sangat penting karena menentukan tingkat kerusakan dan rencana manajemen
penanganan. Suatu serial kasus dilaporkan oleh Walter dan Adins, menemukan bahwa tidak
ada perbedaan bermakna antara pasien trauma dengan cervial rod injury post excisi tumor hr
0 keduanya tidak mengalami perbaikan. Kupcha menyarankan untuk tidak melakukan operasi
dekompresi dan hanya menyarankan manajemen luka yang selektif, observasi dari peluru
yang ditinggal di dalam kanalis spinalis pada pasien dengan lesi komplit. Dekompresi tidak
direkomendasikan. Pemberian Methylprednisolone tidak memberikan efek postifi yang
signifikan terhadap pasien dengan trauma korda spinalis
Kami melaporkan pasien lelaki 14 tahun dirujuk dari RS di Sumba Barat Daya disebabkan
luka tembak leher. Kami melakukan pembedahan stabilisasi fusi serta pengangkatan corpus
alienum dari kanalis spinali servikal. Pasien dirawat di ICU selama 48 jam paska operasi
dengan sedikit perbaikan didapatkan pada motorik ekstremitas atas dan bawah.
INTRODUCTION

There are about 15% incident of penetrating spinal cord injury in US annually. Grossman et 1,2,3

al found that there are 2 to 5 % incident of cervical spinal cord injury in the US at 1999. 2

Spinal cord penetrating injury is one of the third leading cause of spinal cord injury due to
motor vehicle accident and fell from height. Penetrating injury can be caused by knife,
1

missile, or gun assault and most of the time occurred in the high crime rate area. 1,3

BNowadays, there are seeral medical breakthrough that allow patient with spinal cord injury
to have longer life opportunity and higher quality of life. It is including, Antibiotic, modern
and advance ATLS system. To date knowledge about pathophysiology of penetrating spinal
cord injury is developing but the has limited choices of trauma management.1,4

CASE REPORT

A 14 years old boy was shot by air soft gun on his neck causing paralysis on his both upper
and lower limb, accompanied with tingling sensation and hypoesthesia. He underwent
superficial exploration and primary wound closure, Hard neck collar stabilization as well as
cervical x-ray (Anterior – Posterior and Lateral aspect) at Emergency Department at
Secondary Health Centre at East Nusa Tenggara Province. The patient was then referred to
Sanglah General Hospital 6 days later and admitted at Emergency Unit.
On the anamnesis, Patient complained severe pain (5-6 out of 10 on Visual Analog Scale).
On physical examination, vital sign was within normal limit and stable, there was no
inflammation signs, cerebrospinal fistula on the neck. On general exam the patient showed
thoraco-abdominal breathing pattern.

Figure 1. Cervical X-ray AP and Cross table lateral of 1 years old boy. There is a bullet lodge at the spinal cord
at C3-C4 level. There was no fracture in the bony system

Pasien masuk RS Sanglah melalui Instalasi Gawat Darurat Bedah. Pada anamnesis
dan pemeriksaan fisik, pasien mengeluh nyeri yang hebat dengan visual analog scale 5-6,
tanda tanda vital dalam batas normal dan stabil, tidak tampak tanda tanda inflamasi, wound
dehiscence, ataupun fistula cairan cerebro spinal pada leher. Pada pemeriksaan secara umum
didapatkan pernafasan torakoabdominalis. Pemeriksaan neurologis menunjukkan kesadaran
penuh dan fungsi saraf kranialis intak, adanya tetraparese dan hiperrefleksia. Sebagai
penangangan awal di UGD setelah evaluasi menyeluruh dan dinyatakan stabil, pasien
diberikan metil-prednisolone untuk mencegah trauma lebih jauh pada korda spinalis. Pasien
juga diberikan cefazoline. Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan CT Scan leher yang
menunjukkan adanya Korpus Alienum berdensitas logam pada kanalis servikalis setinggi
Corpus Vertebrae C3 dengan tidak tampak adanya kelainan pada sistim pertulangan servikal.
Pasien kemudian menjalani operasi hemilaminektomi kanan dan pemotongan
prosesus spinosus, ekstraksi korpus alienum peluru angin, dan stabilisasi fusi pada C3 hingga
C4. Durante Operasi didapatkan peluru di antara C3-C4. Tampak laserasi dari duramater
parietalis . Setelah peluru diangkat korda spinalis terdekompresi dan berpulsasi dengan baik.
Defek pada duramater ditutup dengan fibrin glue.
Paska Operasi, pasien dirawat di Ruang Terapi Intensif selama 48 jam dengan tanpa
pemakaian ventilator. Pasien dirawat bersama sama dengan bagian rehabilitasi medik. Pada
hari 3 paska operasi pasien mengalami perbaikan motorik pada kedua ekstrmitas bawah
dengan derajat motorik 3. Fungsi bladder membaik dan fungsi bowel sudah membaik di
mana pasien dapat merasakan dan menahan
Pasien dipulangkan 7 hari paska operasi dengan keadaan umum baik, kesadaran baik,
dengan tenaga motorik derajat 2 pada kedua ekstremitas atas dan tenaga motorik derajat 3
pada kedua ekstremitas bawah. Pasien diberikan kursi roda dan dijadwalkan untuk
rehabilitasi motorik ekstensif oleh bagian Rehabilitasi medik.
Gambar 2a-2d. Gambaran CT Scan servikal dari seorang anak lelaki berumur 14 tahun setelah
tertembak senapan angina pada leher. Pada Gambaran CT Scan didapatkan korpus alienum peluru
logam pada kanalis vertebralis level CV C3. Tidak tampak jelas adanya kompresi / litesis / maupun
diskontinuitas tulang.
Gambar 3. Foto Durante Operasi pemasangan Screw pada tulang belakang setelah ekstraksi tulang
Gambar 4. Foto korpus alienum peluru yang telah berhasil diekstraksi
DISKUSI
Meskipun banyak literatur mengenai trauma luka tembak pada tulang belakang, tetapi
suatu kajian yang menyeluruh dari faktor mekanis dan biologis yang unik yang
mempengaruhi hasil akhir sangat kurang. Pato-fisiologi dari luka tembak pada spinal
sangatlah rumit. Faktor yang terpenting yang mempengaruhi kerusakan jaringan adalah
tergantung dari jumlah energi yang dihantarkan ke jaringan yang terkena.5 Pada peluru
dengan kecepatan rendah dan tinggi, keduanya dapat menyebabkan kerusakan neural yang
sangat hebat karena peluru tersebut merusak jaringan sekitarnya dalam perjalanannya
menembus jaringan. Derajat kerusakan jaringan oleh peluru tersebut tergantung dari peluru
itu sendiri, dan jaringan yang dilewatinya. Energi yang dipindahkan oleh peluru ke jaringan
tergantung dari massa dan kecepatan peluru dengan rumus (energi = Massa x Kecepatan2).
Massa, bentuk, dan komposisi bahan peluru sangat penting untuk menentukan derajat
keparahan dari trauma. Selain itu, kecepatan peluru lebih menyebabkan mortalitas 2x
dibandingkan dari massa. Peluru yang dihasilkan oleh senapan angin dan peluru yang
dihasilkan dari senjata api akan menimbulkan efek kerusakan jaringan yang berbeda karena
adanya panas yang ditimbulkan dan kecepatan yang tinggi oleh peluru yang dihasilkan dari
senjata api. Efek peluru yang dihasilkan dari senjata sipil hampir selalu disertai dengan
fraktur vertebra menyebabkan trauma langsung oleh peluru atau karena fraktur dari segmen
tulang. Sedangkan senjata militer menyebabkan trauma korda spinalis yang disebabkan
sekunder dari gelombang kejut dan kavitasi yang disebabkan oleh peluru kecepatan tinggi.
Luka tembak karena senjata sipil yang menyebabkan kontusio pada korda spinalis tanpa
disertai fraktur tulang vertebrae atau trauma langsung sangatlah jarang. Peluru yang berjalan
dengan kecepatan tinggi di plana paravertebral menyebabkan kontusio korda kebanyakan
dikarenakan gelombang kejut yang dihasilkan dari trajektori peluru. Kemungkinan lain
disebabkan oleh sekunder dari kelemahan ligamen yang berlebihan sehingga menimbulkan
hipermobilisasi korda, yang kebanyakan dijumpai pada anak-anak
Peluru secara umum dapat menyebabkan kerusakan dengan secara langsung merusak
jaringan sekitar pada jalur dilewati atau kerusakan sekunder dengan menciptakan gelombang
kejut untuk menciptakan proses kavitasi dari jaringan yang dilewatinya.4,5 Di Amerika, hanya
sekitar 20% trauma tajam dengan senjata yang mengenai korda spinalis servikalis dan hanya
5% yang mengenai aksis servikalis.6 Trauma non-missile seringkali terlihat di kehidupan
sehari-hari dengan objek seperti pisau, material dari kayu, obeng, peluru angin / burung
dengan tantangan penanganan yang mirip dengan trauma missile. Korda spinalis pada regio
torakal dan servikal adalah daerah yang paling sering terkena.5 Jumlah trauma tembus ke
korda spinalis di antara penduduk, sayangnya meningkat pada beberapa dekade terakhir. Di
negara maju, luka tembus disebabkan oleh tembakan senjata meningkat, sedangkan luka
tusuk disebabkan oleh pisau lebih sering terjadi di Afrika Selatan, di mana ini mencakup 25%
dari keseluruhan trauma korda spinalis.1
Penanganan awal dari pasien dengan trauma tembus spinal harus mengikuti protokol
dari ATLS sebagai dasar dari resusitasi trauma. Begitu stabilisasi sistemik tercapai,
Anamnesis secara detail termasuk mekanisme trauma, senjata yang digunakan, dan jarak dari
tembakan, jumlah tembakan harus dicatat. Pemeriksaan neurologis harus dilakukan,
penentuan level dan karakteristik trauma juga mutlak dikerjakan. Klasifikasi akurat apakah
Trauma korda spinalis komplit atau in-komplit harus dilakukan menggunakan American
Spinal Injury Association-SCI Score. Perlu dicatat bahwa risiko kematian pasien yang
terkena
luka tembak meningkat seiring dengan tingkat keparahan dari defisit neurologis.7 Luka harus
diklasifikasikan sebagai luka masuk dan luka keluar dan dicatat di region mana. Luka juga
harus diinspeksi terhadap adanya kebocoran cairan serebrospinal, peluru, dan korpus alienum
yang lain. Godaan untuk mencabut korpus alienum harus dihindari, karena korpus alienum
tersebut dapat berfungsi sebagai tampon pada pembuluh darah dan mencegah perdarahan
hebat. Ekstraksi korpus alienum harus dilakukan di ruang operasi.5
Trauma luka tembak pada servikal seringkali berhubungan dengan lesi jalan nafas dan
vaskuler yang seringkali membutuhkan intubasi atau trakeostomi dengan ataupun tanpa
eksplorasi leher. Kebanyakan luka tembak seringkali menyebabkan defisi neurologis yang
komplit daripada tidak komplit.8
Pemeriksaan Foto polos tulang belakang secara rutin harus dilakukan pada pasien
dengan trauma tembus korda spinalis. Pada foto harus dievaluasi fraktur pada tulang
belakang, fragmen tulang pada kanalis spinalis dan formaen neural. Saat ini kebanyakan
senter di Negara Negara maju dan perkotaan, CT Scan dan MRI menjadi alat investigasi yang
umum digunakan.5
CT Scan adalah alat diagnostik tambahan yang sangat penting pada proses assessment
dari Trauma tembus korda spinalis. Identifikasi yang akurat dari fraktur, lokasi fragmen
tulang dan diskus vertebrae, lokasi korpus alienum serta hematoma dapat dilakukan dengan
menggubnakan CT Scan.9 CT Scan juga dapat membantu dalam menilai stabilitas dari tulang
belakang.10 MRI sangatlah berbahaya digunakan sebagai alat diagnostik pada kasus di mana
jenis dari peluru tidak diketahui apalagi apabila peluru tersebut dengan komponen
feromagnetik, sehingga tidak disarankan menggunakan MRI sebagai modalitas pertama pada
kasus trauma tembus korda spinalis disebabkan oleh tembakan senjata.5
Penanganan Pra Hospital menjadi faktor yang cukup penting dalam menentukan
mortalitas dan morbiditas pasien dengan trauma tembak spinal. Basic Life Support adalah
faktor pertama yang harus dilakukan di lapangan. Stabilisasi dari spinal servikalis selama
manajemen awal korban trauma menjadi perdebatan dan kontroversial di antara ahli bedah
trauma dan ahli bedah saraf di Amerika Serikat. Kebanyakan literatur merekomendasikan
semua pasien dengan trauma tembak spinal harus diimobilisasi, bahkan ATLS tidak
memberikan penjelasan perbedaan penanganan antara trauma tumpul dan tajam leher, secara
umum ATLS menyatakan “... setiap pasien dengan suspek trauma spinal harus dimmobilisasi
pada daerah di atas dan di bawah lokasi trauma yang dicurigai hingga kecurigaan trauma
pada spinal dapat dikeluarkan. Sebagai tambahan ATLS menekankan “... trauma servikal
membutuhkan immobilisasi berkesinambungan pada keseluruhan pasien dengan semi-rigid
cervical collar, backboard, tape, dan pengikat ketat sebelum dan selama proses pengantaran
ke fasilitas kesehatan dengan penanganan definitif. 3,11 Pada studi yang dilakukan oleh
barkana dan kawan kawan disimpulkan bahwa sangatlah jarang trauma tajam servikal
menyebabkan spina servikalis. Komplikasi yang mengancam jiwa dapat terjadi dan dapat
terlewatkan apabila leher ditutup dengan alat stabilisasi (collar neck).11 Pada trauma tembus
pada leher tanpa adanya defisit neurologis yang jelas, tidak ada tempat untuk penggunaan
collar neck atau alat stabilisasi leher apapun. Alat stabilisasi leher digunakan apabila ada
defisit neurologis atau diagnosis sulit untuk dibuat (Pasien yang tidak sadar), dalam hal ini
sangat penting untuk membuka porsi anterior dari alat stabilisasi setiap beberapa menit
minimal pada fase awal penanganan.11
Gambar 5. Protokol penanganan sistemik dari luka tembak spinal
Meskipun kurangnya guideline tentang ekplorasi pembedahan, konsensus umum telah dibuat,
di mana disebutkan bahwa luka tembakan pada spinal harus ditangani secara konservatif
tidak peduli dengan tipe dari trauma korda spinalis karena tidak terlalu menghasilkan efek
signifikan pada pemulihan neurologis4, kecuali pada kondisi tersebut di bawah ini5:
1. Fistula Cairan Cerebro Spinalis yang persisten
2. Gangguan dan defisit neurologis yang progresif
3. Nyeri yang menetap karena kompresi akar saraf
4. Peluru yang berpindah posisinya
5. Instabilitas kolom spinalis
6. Peluru pada kanalis lumbalis menyebabkan sindroma kauda ekuina
Hasil dari Penelitian NASCIS (National Acute SCI Study) II dan III menyebabkan
pengadopsian penggunaan metil-prednisolon untuk pasien dengan trauma korda spinalis
dalam kurun waktu 8 jam paska trauma. Tetapi beberapa penelitian di tahun tahun berikutnya
menghasilkan kesimpulan yang bertentangan dan mempertanyakan validitas dari kesimpulan
yang dibuat oleh penelitian NASCIS.5,12
Infeksi spinal adalah komplikasi yang dulunya cukup sering, tetapi dengan adanya
antibiotik, laju infeksi secara drastis menurun.5 Pemberian Antibiotika spektrum luas secara
intravena selama 7-14 hari mengurangi infeksi secara signifikan dibanding apabila diberikan
antibiotika hanya 48-72 jam saja.13,14,15
KESIMPULAN
Trauma tembak spinal adalah suatu trauma yang sangat kompleks. Suatu konsep trauma
tembak spinal dengan pemahaman patofisiologi, tipe peluru dan trauma, faktor prognosis,
dan strategi manajemen menjadi hal yang sangat penting. Trauma tembak spinal tanpa
adanya fraktur vertebra tidak boleh diremehkan dan harus ditangani secara tepat dan tidak
berlebihan. Karena prognosis dari trauma tembak spinal tidaklah terlalu bagus, pendekatan
konservatif dengan protokol yang tepat harus diikuti. Spinal yang tidak stabil tentu harus
dioperasi dan distabilisasi secara non pembedahan dan pembedahan untuk mencegah adanya
trauma lebih jauh dari Trauma korda spinalis. Eksplorasi pembedahan, apabila diindikasikan
harus dilakukan secara tim (radiologis dan neurologis).

REFERENCES
1. Amps J., Steinmetz MP., Krishnaney AA., Benzel EC. Surgical Treatment of Penetrating
Wound of the Spine. Neurosurgical Operative Atlas: Spine and Peripheral Nerves, 3rd
edition, ISBN: 9781604068986, Thiemes, 2016
2. Grossman MD, Reilly PM, Gillet. The National survey of the incidence of cervical spine
injury and the approach to cervical spine clearance. J Trauma. 1999;47:684-690.
3. Advanced Trauma Life Support for Doctors. American College of Surgeons, Chicago Il.
1997 ed. P27.
4. Waters RL, Adkins RH. The effects of removal of bullet fragments retained in the spinal
canal: A Collaborative Study by the National Spinal Cord Injury Model Systems. Spine
1991;16 (8): 934-939
5. Patil R., Jaiswal G., Gupta TK. Gunshot wound causing complete spinal cord injury
without mechanical violation of spinal axis: Case report with review of literature. J
Craniovertebr Junction Spine. 2015 Oct-Dec; 6(4): 149–157.
6. Farmer JC, Vaccaro AR, Balderston RA, Albert TJ, Cotler J. The changing nature of
admissions to a spinal cord injury center: Violence on the rise. J Spinal
Disord. 1998;11:400–3. [PubMed: 9811100]
7. Azevedo-Filho HR, Martins C, Carneiro-Filho GS, Azevedo R, Azevedo F. Gunshot
wounds to the spine: Study of 246 patients. Neurosurg Q. 2001;267:14–21.
8. Sidhu GS, Ghag A, Prokuski V, Vaccaro AR, Radcliff KE. Civilian gunshot injuries of
the spinal cord: A systematic review of the current literature. Clin Orthop Relat Res.
2013;471:3945–55. [PMCID: PMC3825909] [PubMed: 23479233]
9. Daghfous A, Bouzaïdi K, Abdelkefi M, Rebai S, Zoghlemi A, Mbarek M, et al.
Contribution of imaging in the initial management of ballistic trauma. Diagn Interv
Imaging. 2015;96:45–55.[PubMed: 25540928]
10. Rentfrow B, Vaidya R, Elia C, Sethi A. Lead toxicity and management of gunshot
wounds in the lumbar spine. Eur Spine J. 2013;22:2353–7. [PMCID: PMC3886506]
[PubMed: 23715890]
11. Barkana, Y. et al. Prehospital stabilization of the cervical spine for penetrating injuries of
the neck – is it necessary?. Injury, Int J. Care Injured 31 (2000) 305-309
12. Levy ML, Gans WBS, Wijensinghe. Use of Methylprednisolone as an adjunct in the
management of patients with penetrating spinal cord injury: outcome analysis.
Neurosurgery 1996:39(6): 1141-1149.
13. Kumar A, Wood GW, 2nd, Whittle AP. Lowvelocity gunshot injuries of the spine with
abdominal viscus trauma. J Orthop Trauma. 1998;12:514–7. [PubMed: 9781777]
14. Roffi RP, Waters RL, Adkins RH. Gunshot wounds to the spine associated with a
perforated viscus. Spine (Phila Pa 1976) 1989;14:808–11. [PubMed: 2781395]
15. Bono CM, Heary RF. Gunshot wounds to the spine. Spine J. 2004;4:230–40. [PubMed:
15016402]

You might also like