22 10 21 Website Pedoman Pengelolaan Dan Pencegahan DMT2 Ebook
22 10 21 Website Pedoman Pengelolaan Dan Pencegahan DMT2 Ebook
22 10 21 Website Pedoman Pengelolaan Dan Pencegahan DMT2 Ebook
PY
R
GH
T
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
PEDOMAN
PENGELOLAAN DAN PENCEGAHAN
DIABETES MELITUS TIPE 2 DEWASA
DI INDONESIA
2021
tim penyusun revisi
KETUA
Dr. dr. Soebagijo Adi Soelistijo, SpPD,K-EMD, FINASIM, FACP
ANGGOTA TIM
Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD, K-EMD, FINASIM
Prof. Dr. dr. Dharma Lindarto, SpPD,K-EMD, FINASIM
Prof. Dr. dr.Eva Decroli, SpPD,K-EMD, FINASIM
Dr. dr. Hikmat Permana, SpPD,K-EMD, FINASIM
dr. Krishna W Sucipto, SpPD,K-EMD, FINASIM
dr. Yulianto Kusnadi, SpPD,K-EMD, FINASIM
Dr. dr. Budiman, SpPD-KEMD, FINASIM
dr. M. Robikhul Ikhsan, SpPD,K-EMD, M.Kes, FINASIM
dr. Laksmi Sasiarini, SpPD,K-EMD, FINASIM
Dr. dr. Himawan Sanusi, SpPD,K-EMD, FINASIM
Dr. dr. K. Heri Nugroho HS, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Hermawan Susanto, SpPD, K-EMD, FINASIM
Penerbit
PB. PERKENI
PEDOMAN PENGELOLAAN DAN PENCEGAHAN DIABETES MELITUS TIPE 2
DEWASA DI INDONESIA - 2021 PERKENI
i
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
ii
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Prof. Dr. dr. A.A.G Budhiarta, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. FX Suharnadi, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. A.A Gede Budhitresna, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Gatut Semiardji, SpPD, K-EMD, FINASIM
Prof. Dr. dr. Achmad Rudijanto, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Hari Hendarto, SpPD, K-EMD, PhD, FINASIM
Prof. Dr. dr. Agung Pranoto, SpPD, K-EMD, M.Kes, Prof. Dr. dr. Harsinen Sanusi, SpPD, K-EMD, FINASIM
FINASIM dr. Hemi Sinorita, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Agus Parintik Sambo, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Hendra Zufry, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Ali Baswedan, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Harli Amir Mahmudji, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Alwi Shahab, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Hermawan Susanto, SpPD, K-EMD, FINASIM
Dr. dr. Andi Makbul Aman, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Hermina Novida, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Andra Aswar, SpPD, K-EMD, FINASIM Dr. dr. Hikmat Permana, SpPD, K-EMD, FINASIM
Prof. Dr. dr. Ari Sutjahjo, SpPD, K-EMD, FINASIM Dr. dr. Himawan Sanusi, SpPD, K-EMD, FINASIM
Dr. dr. Aris Wibudi, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Hoo Yumilia, SpPD, K-EMD, FINASIM
Prof. Dr. dr. Asdie H.A.H., SpPD, K-EMD, FINASIM Dr. dr. Husaini Umar, SpPD, K-EMD, FINASIM
Prof. Dr. dr. Askandar Tjokroprawiro, SpPD, K-EMD, dr. Ida Ayu Made Kshanti, SpPD, K-EMD, FINASIM
FINASIM dr. IGN Adhiarta, SpPD, K-EMD, FINASIM
Prof. Dr. dr. Asman Manaf, SpPD, K-EMD, FINASIM Dr. dr. I Made Pande Dwipayana, SpPD, K-EMD
dr. Augusta Y.L. Arifin, SpPD, K-EMD, FINASIM Prof. Dr. dr. Imam Subekti, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Aywar Zamri, SpPD, K-EMD, FINASIM Dr. dr. Indra Wijaya, SpPD-KEMD, M. Kes, FINASIM
dr. Bastanta Tarigan, SpPD, K-EMD, FINASIM Dr. dr. Jazil Karimi, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Med. Benny Santosa, SpPD, K-EMD, FINASIM Prof. Dr. dr. Johan S. Masjhur, SpPD, K-EMD, SpKN,
Prof. Dr. dr. Asman Boedisantoso Ranakusuma, SpPD, K- FINASIM
EMD, FINASIM dr. Johanes Purwoto, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. R. Bowo Pramono, SpPD, K-EMD, FINASIM Prof. Dr. dr. John MF Adam, SpPD, K-EMD, FINASIM
Dr. dr. Budiman, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Jongky Hendro Prayitno, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Brama Ihsan Sazli, SpPD, K-EMD, FINASIM Dr. dr. K. Heri Nugroho H.S, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Cornelia Wahyu Danawati, SpPD, K-EMD, PhD, dr. K. Herry Nursetiyanto, SpPD, K-EMD, FINASIM
FINASIM Prof. Dr. dr. Karel Pandelaki, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Dante Saksono Harbuwono, SpPD, K-EMD, PhD, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD, K-EMD, FINASIM
FINASIM dr. Khomimah, SpPD, K-EMD, FINASIM
Prof. Dr. dr. Darmono, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Krishna Wardhana Sucipto, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Deasy Ardiany, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Laksmi Sasiarini, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Dewi Catur Wulandari, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Latif Choibar Caropeboka, SpPD, K-EMD, FINASIM
Prof. Dr. dr. Dharma Lindarto, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Leny Puspitasari, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Dian Anindita Lubis, SpPD, K-EMD, FINASIM Dr. dr. Libriansyah, SpPD, K-EMD, M.M, FINASIM
dr. Diana Novitasari, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Lindawati, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Dicky L Tahapary, SpPD, K-EMD, PhD, FINASIM dr. Lita Septina, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Dinda Aprilia, SpPD, K-EMD, FINASIM Prof. Dr. dr. Mardi Santoso, SpPD, K-EMD, FINASIM
Prof. dr. Djoko Wahono Soetmadji, SpPD, K-EMD, dr. Mardianto, SpPD, K-EMD, FINASIM
FINASIM Dr. dr. Made Ratna Saraswati, SpPD, K-EMD, FINASIM
Dr. dr. R.R. Dyah Purnamasari, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Marina Epriliawati, SpPD, K-EMD, FINASIM
Prof. Dr. dr. Dwi Sutanegara, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Melati Silvanni, SpPD, K-EMD, FINASIM
Dr. dr. Em Yunir, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. M. Ikhsan Mokoagow, SpPD, K-EMD, FINASIM
Prof. Dr. dr. Eva Decroli, SpPD, K-EMD, FINASIM
iii
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
dr. Mohammad Robikhul Ikhsan, SpPD, K-EMD, M. Kes, Prof. dr. Slamet Suyono, SpPD, K-EMD, FINASIM
FINASIM Dr. dr. Soebagijo Adi Soelistijo, SpPD, K-EMD, FINASIM,
dr. Munirulanam, SpPD, K-EMD, FINASIM FACP
dr. M. Aron Pase, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Soesilowati Soerachmad, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Myrna Martinus, SpPD, K-EMD, FINASIM Dr. dr. Sony Wibisono Mudjanarko, SpPD, K-EMD,
dr. Nanang Miftah Fajari, SpPD, K-EMD, FINASIM FINASIM
dr. Nanang Soebijanto, SpPD, K-EMD, FINASIM Prof. dr. Syafril Syahbuddin, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Nanny Natalia M. Soetedjo, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Sri Murtiwi, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Ndaru Murti Pangesti, SpPD, K-EMD, FINASIM Dr. dr. Suharko Soebardi, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Nenfiati, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Supriyanto Kartodarsono, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr N r Anna Calimah Sa diah SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Susie Setyowati, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Nurmilawati, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Tania Tedjo Minuljo, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Octo Indradjaja, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Teddy Ervano, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Olly Renaldi, SpPD, K-EMD, FINASIM Dr. dr. Tjokorda Gde Dalem Pemayun, SpPD, K-EMD,
dr. Olivia Cicilia Walewangko, SpPD, K-EMD, FINASIM FINASIM
dr. Pandji Muljono, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Tony Suhartono, SpPD, K-EMD, FINASIM
Prof. Dr. dr. Pradana Soewondo, SpPD, K-EMD, FINASIM Dr. dr. Tri Juli Edi Tarigan, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Putu Moda Arsana, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Vina Yanti Susanti, SpPD, K-EMD, PhD, FINASIM
dr. Ratna Maila Dewi Anggraini, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Waluyo Dwi Cahyo, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Rochsismandoko, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Wardhana, SpPD, K-EMD, FINASIM
Dr. dr. Pugud Samodro, SpPD, K-EMD, FINASIM Dr. dr. Wismandari, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Roy Panusunan Sibarani, SpPD, K-EMD, FINASIM Dr. dr. Wira Gotera, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Rulli Rosandi, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Yensuari, SpPD, K-EMD, FINASIM
Dr. dr. Santi Syafril, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Yosephine Yossy, SpPD, K-EMD, FINASIM
Prof. Dr. dr. Sarwono Waspadji, SpPD, K-EMD, FINASIM Dr. dr. Yuanita Asri Langi, SpPD, K-EMD, FINASIM
dr. Sebastianus Jobul, SpPD, K-EMD, FINASIM dr. Yulianto Kusnadi, SpPD, K-EMD, FINASIM
Prof. Dr. dr. Sidartawan Soegondo, SpPD, K-EMD, FINASIM
FACE
iv
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dengan dapat diselesaikannya penyusunan
buku Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus tipe 2 Dewasa ini. Saat ini prevalensi penyakit tidak menular
yang didalamnya termasuk Diabetes Mellitus (DM) semakin meningkat di Indonesia.
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 oleh Departemen Kesehatan, terjadi peningkatan
prevalensi DM menjadi 10,9%. International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2019 menempatkan Indonesia sebagai
negara peringkat ke 6 dalam jumlah penderita DM yang mencapai 10,3 juta. Prediksi dari IDF menyatakan akan terjadi
peningkatan jumlah pasien DM dari 10, 7 juta pada tahun 2019 menjadi 13,7 juta pada tahun 2030.
Perubahan gaya hidup dan urbanisasi nampaknya merupakan penyebab penting timbulnya masalah ini, dan
akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang. Diperkirakan masih banyak (sekitar 50%) penyandang diabetes yang
belum terdiagnosis di Indonesia. Selain itu hanya dua pertiga saja dari yang terdiagnosis yang menjalani pengobatan, baik
non farmakologis maupun farmakologis. Dari yang menjalani pengobatan tersebut hanya sepertiganya saja yang terkendali
dengan baik. Komplikasi dari DM terutama pada pembuluh darah baik makrovaskular maupun mikrovaskular, serta pada
sistem saraf atau neuropati akan menyebabkan morbiditas dan mortalitas meningkat dan membawa dampak pembiayaan
terhadap DM menjadi tinggi dan produktivitas pasien DM menjadi menurun.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa komplikasi diabetes dapat dicegah dengan kontrol glikemik yang optimal,
namun demikian di Indonesia sendiri target pencapaian kontrol glikemik masih belum tercapai secara memuaskan,
sebagian besar masih di atas target yang diinginkan sebesar 7%. Oleh karena itu, diperlukan suatu pedoman pengelolaan
yang dapat menjadi acuan dalam penatalaksanaan diabetus melitus. Mengingat sebagian besar penyandang diabetes adalah
kelompok DM tipe 2 dewasa, sehingga pedoman pengelolaan ini disusun untuk pasien DM tipe 2 dewasa, sedangkan
pedoman untuk DM tipe 1 dan DM gestasional akan dibicarakan pada buku panduan tersendiri.
PEDOMAN PENGELOLAAN DAN PENCEGAHAN DIABETES MELITUS TIPE 2 DEWASA di INDONESIA 2021 yang
disiapkan dan diterbitkan oleh PERKENI ini diharapkan dapat memberikan informasi baru yang sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini dalam rangka pencapaian target kontrol glikemik yang optimal.
Pedoman pengelolaan ini diharapkan memberikan jawaban terhadap permasalahan perkembangan penyakit DM yang
berkaitan dengan beban pembiayaan, serta ditujukan untuk dokter di Indonesia.
v
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Dalam 2 tahun terakhir setelah diterbitkannya Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
Dewasa di Indonesia pada tahun 2019, banyak penelitian yang dilakukan terkait dengan usaha pencegahan dan pengelolaan,
baik untuk diabetes maupun komplikasinya. Dengan diketemukannya obat-obat baru selama kurun waktu tersebut
memberikan kemungkinan pengendalian glukosa darah yang lebih baik. Namun demikian, dalam melakukan pemilihan
regimen terapi harus selalu memperhatikan faktor keamanan, efektifitas, ketersediaan obat, harga dan toleransi pasien DM.
Buku pedoman ini berisikan Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 yang merupakan revisi pedoman
sebelumnya yang merupakan kesepakatan para pakar endokrinologi di Indonesia. Penyusunan buku panduan sudah mulai
dirintis oleh PB Perkeni (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) sejak pertemuan tahun 1993 di Jakarta. Revisi buku
Pedoman 2021 adalah revisi ke 7 kalinya setelah revisi terakhir tahun 2019.
Pedoman ini disusun secara spesifik sesuai kebutuhan kesehatan di bidang diabetes di Indonesia tanpa
meninggalkan kaidah-kaidah evidence-based. Penyusunan buku Pedoman dilakukan semata hanya untuk kepentingan
penatalaksanaan DM tipe 2 dewasa di Indonesia dan bebas dari kepentingan siapapun.
Terima kasih kepada Tim penyusun yang diketuai oleh Dr.dr. Soebagijo Adi Soelistijo, SpPD, K-EMD, FINASIM,
FACP dan semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan buku Pedoman.
Semoga buku ini bisa menjadi acuan penatalaksanaan Diabetes Melitus tipe 2 oleh para profesional kesehatan
di seluruh Indonesia dalam pengelolaan diabetes melitus secara menyeluruh
vi
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
KATA SAMBUTAN
KETUA UMUM PB PAPDI
A aa a aik W . Wb.
Prevalensi diabetes melitus (DM) secara global terus meningkat hingga menjadi 3 kali lipat pada
tahun 2030. Peningkatan ini sebenarnya telah diprediksi oleh World Health Organization (WHO) bahwa pada
tahun 2030 akan mencapai 21,3 juta dan dari International Diabetes Federation (IDF) di tahun 2045 akan
mencapai 16,7 juta. Kondisi di Indonesia tidak jauh berbeda, volume kejadian yang tinggi tentu saja diikuti
dengan beban biaya yang tinggi pula. Diagnosis dini dan tatalaksana komprehensif pada penderita DM dapat
menekan angka morbiditas dan mortalitas terhadap adanya penyakit komorbid ataupun komplikasinya. Namun,
dalam upaya penatalaksanaan penderita DM masih terdapat kendala dari segi pasien, pelayanan ataupun
pembiayaan kesehatan di Indonesia.
Dalam upaya menurunkan prevalensi DM yang semakin meningkat di masa depan, peran dari
berbagai pihak terkait sangatlah diharapkan. Salah satu unsur yang memegang peranan penting adalah dokter
dan tenaga kesehatan yang menangani kasus diabetes tersebut. Diabetes dengan segala keterkaitannya dengan
penyakit lain akibat komplikasi akut dan kronik, membutuhkan penatalaksaan yang komprehensif dan
terintegrasi baik. Peran seorang dokter umum, dokter spesialis khususnya dokter spesialis penyakit dalam dan
subspesialisasi endokrin, metabolik dan diabetes beserta dokter subspesialisasi lain yang terkait memegang
peranan penting. Salah satu upaya tatalaksana yang komprehensif tersebut adalah dengan menyusun Pedoman
Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa tahun 2021 ini yang merupakan karya
yang sangat berharga dan bermanfaat dari para Sejawat dari Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI).
Pada kesempatan ini perkenankan saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi
kepada para kontributor buku pedoman ini dan kepada Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
(PB PERKENI) yang telah menyelesaikan edisi terbaru dari Buku Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
vii
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Melitus Tipe 2 di Indonesia. Semoga pedoman ini dapat bermanfaat dan menjadi panduan bagi para dokter di
Indonesia dalam penanganan diabetes melitus secara komprehensif.
Wa a a a aik W . Wb.
viii
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
DAFTAR
SINGKATAN
A1C Hemoglobin-glikosilat/ HbA1c GIST Gastro Intestinal Stromal Tumor
AACE American Associationof Clinical Endocrinologist GLP-1 RA Glucagon Like Peptide-1 Receptor Agonist
ABI Ankle Brachial Index HCT Hydrochlorothiazide
ACE Angiotensin converting enzyme HDL High Density Lipoprotein
ADA American DiabetesAssociation HFrEF Heart Failure with reduced Ejection Fraction
ADI Accepted Daily Intake HIV Human Immunodeficiency Virus
ALT Alanine Aminotransferase IBS Irritable Bowel Syndrome
APS Angina Pektori Stabil IDAI Ikatan Dokter Anak Indonesia
ix
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
PPOK Panyakit Paru Obstruktif Kronik UACR Urinary Albumin toCreatinin Ratio
PUFA Poly Unsaturated Fatty Acid WHO World Health Organization
x
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
DAFTAR ISI
pendahuluan
I.1 Latar Belakang 1
I.2 Permasalahan 3
I.3 Tujuan 3
Tujuan Umum 3
Tujuan Khusus 3
I.4 Sasaran 4
I.5 Metodologi 4
Penelusuran Kepustakaan 4
Penilaian Telaah Kritis 4
Peringkat Bukti Rekomendasi Praktik Klinis 4
xi
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
sistem rujukan
penutup
xii
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
DAFTAR TABEL
1. Peringkat Bukti Eekomendasi Praktis Klinis 4
2. Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus 10
3. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus 11
4. Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan Prediabetes 12
5. Komponen Evaluasi Komprehensif Pasien Diabetes 14
6. Elemen Edukasi Perawatan Kaki 16
7. Profil Obat Antihiperglikemia Oral yang Tersedia di Indonesia 26
8. Klasifikasi Kategori Risiko Kardiovaskular pada Pasien Diabetes 35
9. Keuntungan, Kerugian dan Biaya Obat Anti Hiperglikemik 37
10. Prosedur Pemantauan Glukosa Darah 45
11. Sasaran Pengendalian Diabetes Melitus 45
12. Konversi Glukosa Darah Rerata ke Perkiraan HbA1c 46
13. Rekomendasi Pemberian Statin pada Pasien Diabetes 48
14. Tanda dan Gejala Hipoglikemia pada Orang Dewasa 53
15. Klasifikasi Hipoglikemia menurut ADA 2020 53
16. Klasifikasi Kaki Diabetes dengan Ulkus (Wagner) 67
17. Klasifikasi PEDIS pada Ulkus Diabetik 67
18. Derajat Infeksi pada Kaki Diabetes 68
19. Penilaian Hasil Pemeriksaan Ankle Brachial Index 71
20. Kuesioner Intenational Index of Erectile Function 5 75
21. Kategori Risiko terkait Puasa Ramadhan pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 79
xiii
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
DAFTAR GAMBAR
1. The Egregious Eleven 7
2. Cara Pelaksanaan TTGO 12
3. Algoritma Pengobatan DM Tipe 2 32
4. Algoritma Inisiasi dan Intensifikasi Pengobatan Injeksi 40
5. Tata Kelola Diabetes Melitus di PPK 1 atau Dokter Umum 91
LAMPIRAN
1. Daftar Obat Antihiperglikemik Oral
2. Berbagai Jenis Sediaan Insulin Eksogen
3. Jenis Obat GLP-1 RA
4. Jenis Obat Kombinasi Insulin dengan GLP-1 RA
xiv
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
BAB I - PENDAHULUAN
1
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
sangat besar dan merupakan beban yang berat untuk dapat ditangani sendiri oleh
dokter spesialis/subspesialis atau bahkan oleh semua tenaga kesehatan.
2
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
penyulit DM. Penyempurnaan dan revisi standar pelayanan harus selalu dilakukan
secara berkala dan disesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang berbasis
bukti, sehingga dapat diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi pasien DM.
I.2 Permasalahan
Data RISKESDAS 2018 menjelaskan prevalensi DM nasional adalah sebesar 8,5
persen atau sekitar 20,4 juta orang Indonesia terdiagnosis DM. Pasien DM juga sering
mengalami komplikasi akut dan kronik yang serius, dan dapat menyebabkan
kematian. Masalah lain terkait penanganan DM adalah permasalahan geografis,
budaya, dan sosial yang beragam.
Hal hal tersebut menjadi dasar bahwa penanganan diabetes memerlukan
panduan nasional pelayanan kedokteran yang bertujuan memberikan layanan pada
pasien atau masyarakat sesuai kebutuhan medis berdasarkan nilai ilmiah serta
mempertahankan mutu pelayanan kedokteran di Indonesia. Organisasi IDF
memperkirakan akan terjadi peningkatan pasien DM yang cepat di Indonesia. Hal ini
harus ditanggapi dengan upaya pencegahan yang terstruktur dan terprogram secara
nasional. Upaya kuratif dan preventif ini melibatkan berbagai disiplin ilmu sesuai
dengan kompetensi dan penugasan klinis yang berlaku di Indonesia. Metoda
penanganan dan pencegahan DM tipe 2 harus seragam dalam upaya meningkatkan
keselamatan dan kualitas hidupnya. Keadaan inilah yang mendukung perlunya
disusun Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 Dewasa.
I.3 Tujuan
I.3.1 Tujuan Umum
Pedoman ini dibuat dengan tujuan untuk:
1. Memberikan rekomendasi yang berbasis bukti tentang pengelolaan DM
tipe 2.
2. Pedoman untuk pengembangan sistem pelayanan kesehatan DM tipe 2 di
tingkat layanan primer dan rujukan yang komprehensif dan terintegrasi di
setiap fasilitas.
3
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
I.4 Sasaran
Dokter yang memiliki kewenangan klinis sesuai dengan tingkat
kompetensinya.
I.5 Metodologi
I.5.1 Penelusuran Kepustakaan
Pedoman ini menggunakan sumber pustaka dari berbagai jurnal, termasuk
jurnal elektronik seperti MedScape, PubMed, dengan menggunakan kata kunci
penelusuran: Diabetes Care, Treatment of Diabetes. Penyusunan buku pedoman juga
menggunakan konsensus dari American Diabetes Association (ADA), International
Diabetes Federation (IDF), American Association of Clinical Endocrinologist (AACE)
dan National Institute for Health and Clinical Excellent (NICE) sebagai rujukan.
Peringkat Penjelasan
Bukti
Bukti jelas yang didapatkan dari generalisasi percobaan klinis terandomisasi yang cukup mendukung
dan dilakukan dengan baik, antara lain:
1. Bukti yang didapatkan dari percobaan multisenter yang dilakukan dengan baik.
2. Bukti yang didapatkan dari meta-analisis yang menggabungkan peringkat kualitas pada
analisis.
A Penarikan b k i nonek perimen al ai All or None dengan a ran ang dikembangkan oleh p a
Evidence-Based Medicine di Universitas Oxford.
Bukti pendukung yang didapatkan dari percobaan terandomisasi yang cukup mendukung dan dilakukan
dengan baik, antara lain:
1. Bukti yang didapatkan dari percobaan yang dilakukan dengan baik pada satu atau lebih institusi.
Bukti yang didapatkan dari meta-analisis yang menggabungkan peringkat kualitas pada analisis.
Bukti pendukung yang didapatkan dari studi kohort yang dilakukan dengan baik.
B
1. Bukti yang didapatkan dari studi kohort prospektif yang dilakukan dengan baik atau registri.
4
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
2. Bukti yang didapatkan dari meta-analisis yang dilakukan dengan baik pada studi kohort.
Bukti pendukung yang didapatkan dari kontrol yang buruk atau studi yang tidak terkontrol.
1. Bukti yang didapatkan dari percobaan klinis terandomisasi dengan satu atau lebih kesalahan
major atau tiga atau lebih kesalahan minor pada metodologi yang dapat membuat hasil
C tidak berlaku.
C 2. Bukti yang didapatkan dari studi observasional dengan potensial bias yang tinggi (seperti case
series dengan perbandingan historical controls).
3. Bukti yang didapatkan dari case series atau case reports. Bukti yang bertentangan dengan berat
bukti yang mendukung rekomendasi.
E Konsensus ahli atau pengalaman klinis
Indonesia sampai saat ini belum menetapkan derajat rekomendasi berdasarkan
bukti penelitian sendiri, sehingga derajat rekomendasi yang akan digunakan ini
mengacu dari ADA 2019 dan 2020.
5
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
II.1 Definisi
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya.
Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, hepar, dan sel
beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis pasien DM tipe 2 tetapi
terdapat delapan organ lain yang berperan, disebut sebagai the egregious eleven
(Gambar 1).
6
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Secara garis besar patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh sebelas hal (egregious
eleven) yaitu:
1. Kegagalan sel beta pankreas
Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea,
meglitinid, agonis glucagon-like peptide (GLP-1) dan penghambat dipeptidil
peptidase-4 (DPP-4).
7
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
3. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas (free fatty acid/FFA)
dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan
mencetuskan resistensi insulin di hepar dan otot, sehingga mengganggu sekresi
insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoksisitas.
Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidinedion.
4. Otot
Pada pasien DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multipel di
intramioselular, yang diakibatkan oleh gangguan fosforilasi tirosin, sehingga
terjadi gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen,
dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin
dan tiazolidinedion.
5. Hepar
Pada pasien DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh hepar
(hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini
adalah metformin, yang menekan proses glukoneogenesis.
6. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obese
baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan
mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan
makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di
otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 RA, amilin dan bromokriptin.
7. Kolon/Mikrobiota
Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam keadaan
hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan dengan DM tipe 1, DM tipe
2, dan obesitas sehingga menjelaskan bahwa hanya sebagian individu berat
badan berlebih akan berkembang menjadi DM. Probiotik dan prebiotik
diperkirakan sebagai mediator untuk menangani keadaan hiperglikemia.
8
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
8. Usus halus
Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih besar dibanding bilar
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek inkretin ini diperankan
oleh 2 hormon yaitu glucagon-like polypeptide-1 (GLP-1) dan glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide (GIP).
Pada pasien DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap hormon
GIP. Hormon inkretin juga segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4,
sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat
kinerja DPP-4 adalah penghambat DPP-4. Saluran pencernaan juga mempunyai
peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa glukosidase yang
akan memecah polisakarida menjadi monosakarida, dan kemudian diserap oleh
usus sehingga berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang
bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa glukosidase adalah acarbosa.
9. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM tipe 2.
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari
glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran enzim sodium glucose
co-transporter -2 (SGLT-2) pada bagian convulated tubulus proksimal, dan 10%
sisanya akan diabsorbsi melalui peran sodium glucose co-transporter - 1 (SGLT-1)
pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam
urin. Pada pasien DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2, sehingga terjadi
peningkatan reabsorbsi glukosa di dalam tubulus ginjal dan mengakibatkan
peningkatan kadar glukosa darah. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan
menghambat reabsorbsi kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan
dikeluarkan lewat urin. Obat yang bekerja di jalur ini adalah penghambar SGLT-
2. Dapaglifozin, empaglifozin dan canaglifozin adalah contoh obatnya.
10. Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan konsekuensi kerusakan sel
beta pankreas. Penurunan kadar amilin menyebabkan percepatan pengosongan
lambung dan peningkatan absorpsi glukosa di usus halus, yang berhubungan
dengan peningkatan kadar glukosa postprandial.
9
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
DM tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin perifer dan penurunan produksi insulin,
disertai dengan inflamasi kronik derajat rendah pada jaringan perifer seperti
adiposa, hepar dan otot. Beberapa dekade terakhir, terbukti bahwa adanya
hubungan antara obesitas dan resistensi insulin terhadap inflamasi. Hal tersebut
menggambarkan peran penting inflamasi terhadap patogenesis DM tipe 2, yang
dianggap sebagai kelainan imun (immune disorder). Kelainan metabolik lain yang
berkaitan dengan inflamasi juga banyak terjadi pada DM tipe 2.
II.3 Klasifikasi
Klasifikasi DM dapat dilihat pada Tabel 2.
10
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
III.1 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah dan
HbA1c. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan
dapat dilakukan dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar
adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan
kalori minimal 8 jam.(B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma 200 mg/dL 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. (B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL dengan keluhan klasik atau krisis
hiperglikemia.
Atau
Pemeriksaan HbA1c 6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP) dan Diabetes Control and
Complications Trial assay (DCCT) . (B)
Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard NGSP, sehingga harus hati-
hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti:
anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2 - 3 bulan terakhir, kondisi-kondisi yang memengaruhi
umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis maupun
evaluasi.
11
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Tabel 4. Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan Prediabetes.
Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan (dengan karbohidrat yang cukup) dan
1. melakukan kegiatan jasmani seperti kebiasaan sehari - hari
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa
2. glukosa tetap diperbolehkan
Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa
3.
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 g/kgBB (anak - anak), dilarutkan dalam air
4. 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum
5. larutan glukosa selesai
Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
6.
Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok
7.
12
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan
TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM.
13
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
14
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
dan o Profil lipid pada keadaan puasa: kolesterol total, High Density √ √
Lipoprotein (HDL), Low Density Lipoprotein (LDL), dan trigliserida.
Penunjang o Tes fungsi hati √ √
o Tes fungsi ginjal: Kreatinin serum dan estimasi LFG (Laju Filtrasi √ √
Glomerulus)
o Tes urin rutin √ √
o Albumin urin kuantitatif √ √
o Rasio albumin-kreatinin sewaktu. √ √
o Elektrokardiogram √ √
o Foto Rontgen dada √ √
(bila ada indikasi: TBC, penyakit jantung kongestif).
III.2.2.1 Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari
pengelolaan DM secara holistik (B). Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat
awal dan materi edukasi tingkat lanjutan.
15
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
tersedia).
Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia
Pentingnya latihan jasmani yang teratur
Pentingnya perawatan kaki.
Cara menggunakan fasilitas perawatan kesehatan (B)
Edukasi perawatan kaki diberikan secara rinci pada semua orang dengan ulkus maupun
neuropati perifer dan peripheral arterial disease (PAD)
1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan air.
2. Periksa kaki setiap hari dan dilaporkan pada dokter apabila kulit terkelupas,
kemerahan, atau luka.
3. Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.
4. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan mengoleskan krim
pelembab pada kulit kaki yang kering.
5. Potong kuku secara teratur.
6. Keringkan kaki dan sela sela jari kaki secara teratur setelah dari kamar mandi.
7. Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan pada ujung
ujung jari kaki.
8. Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan secara teratur.
9. Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang dibuat khusus.
10. Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak tinggi.
11. Hindari penggunaan bantal atau botol berisi air panas/batu untuk menghangatkan
kaki.
16
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
17
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya). TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap pasien DM
agar mencapai sasaran. (A)
Prinsip pengaturan makan pada pasien DM hampir sama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pasien DM perlu diberikan
penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah
kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang
meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri.
Lemak
o Asupan lemak dianjurkan sekitar 20 25% kebutuhan kalori, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
o Komposisi yang dianjurkan:
lemak jenuh (SAFA) < 7 % kebutuhan kalori.
lemak tidak jenuh ganda (PUFA) < 10 %.
selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal (MUFA) sebanyak 12-15%
Rekomendasi perbandingan lemak jenuh: lemak tak jenuh tunggal:
lemak tak jenuh ganda = 0.8 : 1.2: 1.
o Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain:
daging berlemak dan susu fullcream.
o Konsumsi kolesterol yang dianjurkan adalah < 200 mg/hari.
18
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Protein
o Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein
menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65%
diantaranya bernilai biologik tinggi.
o Pasien DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan protein menjadi 1
1,2 g/kg BB perhari.
o Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan
tempe. Sumber bahan makanan protein dengan kandungan saturated
fatty acid (SAFA) yang tinggi seperti daging sapi, daging babi, daging
kambing dan produk hewani olahan sebaiknya dikurangi untuk
dikonsumsi.
Natrium
o Anjuran asupan natrium untuk pasien DM sama dengan orang sehat yaitu
< 1500 mg per hari. (B).
o Pasien DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan pengurangan
natrium secara individual (B).
o Pada upaya pembatasan asupan natrium ini, perlu juga memperhatikan
bahan makanan yang mengandung tinggi natrium antara lain adalah
garam dapur, monosodium glutamat, soda, dan bahan pengawet seperti
natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
o Pasien DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-kacangan, buah
dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat.
o Jumlah konsumsi serat yang disarankan adalah 20 35 gram per hari.
Pemanis Alternatif
o Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas
aman (Accepted Daily Intake/ADI). Pemanis alternatif dikelompokkan
menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.
o Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai
bagian dari kebutuhan kalori, seperti glukosa alkohol dan fruktosa.
o Glukosa alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol
dan xylitol.
19
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
B. Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan pasien DM,
antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25 30
kal/kgBB ideal. Jumlah kebutuhan tersebut ditambah atau dikurangi bergantung
pada beberapa faktor yaitu: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain.
Beberapa cara perhitungan berat badan ideal adalah sebagai berikut:
o Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi:
Berat badan ideal (BBI) =
(TB dalam cm 100) x 1 kg
BB normal : BB ideal ± 10 %
Kurus : kurang dari BB ideal 10%
Gemuk : lebih dari BB ideal + 10%
20
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
*) WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective: Redefining Obesity and its
Treatment.
Umur
o Pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk setiap
dekade antara 40 dan 59 tahun.
o Pasien usia di antara 60 dan 69 tahun, dikurangi 10%.
o Pasien usia di atas usia 70 tahun, dikurangi 20%.
Stres Metabolik
o Penambahan 10 30% tergantung dari beratnya stress metabolik (sepsis,
operasi, trauma).
Berat Badan
o Pasien DM yang gemuk, kebutuhan kalori dikurangi sekitar 20 30%
tergantung kepada tingkat kegemukan.
21
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Secara umum, makanan siap saji dengan jumlah kalori yang terhitung dan komposisi
tersebut di atas, dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%),
dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10 - 15%) di antaranya. Tetapi pada
kelompok tertentu perubahan jadwal, jumlah dan jenis makanan dilakukan sesuai
dengan kebiasaan. Untuk pasien DM yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan
makan disesuaikan dengan penyakit penyerta.
Latihan fisik merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Program
latihan fisik secara teratur dilakukan 3 5 hari seminggu selama sekitar 30 45
menit, dengan total 150 menit per minggu, dengan jeda antar latihan tidak lebih dari
2 hari berturut-turut. (A). Kegiatan sehari-hari atau aktivitas sehari-hari bukan
termasuk dalam latihan fisik. Latihan fisik selain untuk menjaga kebugaran juga
dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan fisik yang dianjurkan berupa latihan fisik
yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50 70% denyut jantung maksimal)
seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang. (A) Denyut jantung
maksimal dihitung dengan cara mengurangi 220 dengan usia pasien.
22
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya mirip dengan sulfonilurea,
namun berbeda lokasi reseptor, dengan hasil akhir berupa penekanan
pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara
cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
23
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Tiazolidinedion (TZD)
Tiazolidinedion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang
terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di jaringan perifer. Tiazolidinedion menyebabkan retensi
cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung (NYHA fungsional kelas III-IV) karena dapat memperberat
edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila
diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk
dalam golongan ini adalah pioglitazone.
24
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
25
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
a. Insulin
Insulin digunakan pada keadaan :
HbA1c saat diperiksa 7.5% dan sudah menggunakan satu atau dua obat
antidiabetes
HbA1c saat diperiksa > 9%
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Krisis hiperglikemia
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
26
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi
insulin diupayakan mampu menyerupai pola sekresi insulin yang fisiologis.
Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau
keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada
keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan.
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap
defisiensi yang terjadi.
Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal
(puasa/sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun insulin.
Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah
insulin basal (insulin kerja sedang, panjang atau ultrapanjang)
Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan
menambah 2 - 4 unit setiap 3 - 4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan HbA1c
belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial
(meal-related). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah
prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) yang disuntikan 5 - 10 menit
sebelum makan atau insulin kerja pendek (short acting) yang disuntikkan 30
menit sebelum makan.
27
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
b.
§ Agonis GLP-1 /Incretin Mimetic
28
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Golongan obat ini dapat dikombinasi dengan semua jenis oral anti diabetik
kecuali penghambat DPP-4, dan dapat dikombinasi dengan insulin.
Pemakaian GLP-1 RA dibatasi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang
berat, yaitu LFG kurang dari 30 mL per menit per 1,73 m2.
3. Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam
penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan
dengan pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak
29
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit) apabila kadar
glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada keadaaan kadar glukosa
darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah diberikan insulin
basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial,
pemberian obat antihiperglikemia oral terutama golongan Sulfonilurea
sebaiknya dihentikan dengan hati-hati.
Manfaat lain dari kombinasi insulin basal dengan GLP-1 RA adalah rendahnya
risiko hipoglikemia dan mengurangi potensi peningkatan berat badan.
Keuntungan pemberian secara terpisah adalah pengaturan dosis yang
fleksibel dan terhindar dari kemungkinan interaksi obat, namun pasien
30
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
31
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
32
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
33
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Jika karena sesuatu hal, metformin tidak bisa diberikan, misalnya karena
alergi, atau efek samping gastrointestinal yang tidak dapat ditoleransi
oleh pasien, maka dipilih obat lainnya sesuai dengan keadaan pasien dan
ketersediaan.
Sulfonilurea dapat dipilih sebagai obat pertama jika ada keterbatasan
biaya, obat tersedia di fasilitas kesehatan dan pasien tidak rentan
terhadap hipoglikemia.
Acarbose dapat digunakan sebagai alternatif untuk lini pertama jika
terdapat peningkatan kadar glukosa prandial yang lebih tinggi
dibandingkan kadar glukosa puasa. Hal ini biasanya terjadi pada pasien
dengan asupan karbohidrat yang tinggi.
Thiazolidinedione dapat juga dipilih sebagai pilihan pertama, namun
harus mempertimbangkan risiko peningkatan berat badan. Pemberian
obat ini juga harus diperhatikan pada pasien gagal jantung karena dapat
menyebabkan retensi cairan. Obat ini terbatas ketersediaannya,
terutama di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Penghambat DPP-4 dapat digunakan sebagai obat pilihan pada lini
pertama karena risiko hipoglikemianya yang rendah dan bersifat netral
terhadap berat badan. Pemilihan obat ini tetap mempertimbangkan
ketersediaan dan harga.
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan pilihan pada pasien
dengan PKVAS (Penyakit Kardiovaskular Aterosklerotik) atau memiliki
risiko tinggi untuk mengalami PKVAS, gagal jantung atau penyakit ginjal
kronik. Pemilihan obat ini juga harus mempertimbangkan ketersediaan
dan harga.
Obat golongan GLP-1 RA merupakan pilihan pada pasien dengan PKVAS
atau memiliki risiko tinggi untuk mengalami PKVAS atau penyakit ginjal
kronik. Pemilihan obat ini juga harus mempertimbangkan ketersediaan
dan harga.
34
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Risiko hipoglikemia
Pada pasien yang rentan terhadap risiko hipoglikemia maka untuk
kombinasi dengan metformin pertimbangkan obat dengan risiko
hipoglikemia rendah yaitu TZD, penghambat DPP-4, penghambat SGLT-2,
atau GLP-1 RA.
35
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Dalam hal penggunaan penghambat SGLT-2 perlu diperhatikan labelling dan aturan
berkaitan dengan batasan LFG untuk inisiasi terapi tidak sama untuk masing masing
obat, juga berbeda antar negara. Pada keadaan dimana GLP-1 RA atau penghambat
36
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
SGLT-2 tidak dapat diberikan atau tidak tersedia, maka dianjurkan pilihan kombinasi
dengan obat lain yang telah menunjukkan keamanan terhadap kardiovaskular antara
lain insulin.
Selanjutnya bila diperlukan intensifikasi terapi karena belum mencapai target HbA1c
< 7%, maka untuk penambahan obat berikutnya:
o Pertimbangkan menambah obat kelas lain yang terbukti
mempunyai manfaat kardiovaskular
o Sulfonilurea generasi terbaru dengan risiko hipoglikemia rendah
o Insulin
o Penghambat DPP-4, namun pada pasien dengan gagal jantung
hindari pemberian saxagliptin.
o Hindari TZD bila ada gagal jantung
37
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Menurunkan glukosa
Glinid Repaglinide
postprandial
- Tidak menyebabkan - Berat badan
hipoglikemia meningkat
- ↑ HDL - Edema, gagal jantung
TZD Pioglitazone
- ↓ TG - Risiko fraktur
- ↓ CVD event meningkat pada
wanita menopause
Sedang
- Tidak menyebabkan
- Efektivitas penurunan
hipoglikemia
Penghambat A1c sedang
- ↓ Glukosa darah
Alfa-glucosidase Acarbose - Efek samping GI
postprandial
- Penyesuaian dosis
- ↓ kejadian CVD
harus sering dilakukan
- Angioedema, urtikaria,
atau efek dermatologis
-Sitagliptin - Tidak menyebabkan
lain yang dimediasi
Penghambat DPP- -Vildagliptin hipoglikemia
respon imun
4 -Saxagliptin - Ditoleransi dengan
- Pankreatitis akut
-Linagliptin baik
- Hospitalisasi akibat
gagal jantung
- Infeksi urogenital
- Tidak menyebabkan - Poliuria
- Dapaglifozin hipoglikemia - Hipovolemia/
Penghambat SGLT - Canaglifozin - ↓ berat badan Hipotensi/
2 - Empaglifozin - ↓ tekanan darah pusing
Tinggi
- Efektif untuk semua - ↑ LDL
fase DM - ↑ kreatinin (transient)
38
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
- ↓ komplikasi
mikrovaskuler
(UKPDS)
Terapi inisiasi insulin dapat diberikan pada pasien DM baru dengan ciri gejala
atau tanda dekompensasi metabolik atau pasien DM lama dengan kombinasi
OHO namun tidak terkontrol. Algoritma terapi inisiasi, optimisasi dan
intensifikasi insulin dapat dilihat pada gambar 4.
39
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Gambar (4A) Algoritma Inisiasi dan Intensifikasi Pengobatan Injeksi pada Pasien DM Rawat Jalan yang Tidak Tekontrol dengan Kombinasi
OHO, dan (4B) Pasien DM Baru Rawat Jalan dengan Dekompensasi Metabolik
40
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Keterangan Bagan :
OHO : obat hipoglikemik oral; GLP-1 RA (Glucagon Like Peptide-1 Receptor Agonist); GD: glukosa darah; GDP : glukosa
darah puasa; GD 1-2 PP: glukosa darah 1-2 jam post-prandial; OD : 1 kali sehari; BD: 2 kali sehari; TID : 3 kali sehari
*Gejala dekompensasi metabolik seperti bukti katabolisme (penurunan berat badan yang signifikan tanpa terprogram,
ketosis, hipertrigliserida) atau gejala hiperglikemia berat (poliuria atau polipdipsia memberat).
**Intensifikasi sesuai dengan indikasi
DE-ESKALASI dilakukan jika dekompensasi metabolik atau glukotoksisitas telah teratasi
^Premixed dengan regimen kombinasi insulin 30/70 atau 25/75
#Intensifikasi regimen premixed BD menjadi TID, dengan syarat fungsi ginjal baik
Terapi inisiasi insulin pada pasien DM lama dengan terapi kombinasi 2 atau 3 OHO
dengan HbA1C 7,5% - <9%, dapat dilakukan dengan beberapa regimen berikut :
1. Insulin basal dengan 10 unit/hari atau 0,2 unit per kgBB/hari (dapat disertai atau
tidak dengan pemberian OHO)
2. Co-formulation (IDegAsp) atau Premixed (30/70 atau 25/75) 1 kali sehari dengan
dosis 10 unit pada malam hari (dapat disertai atau tidak dengan pemberian
OHO)
3. Fixed ratio combination (kombinasi insulin basal dan GLP-1 RA) seperti IdegLira
atau IglarLixi dengan dosis 10 unit/hari, dapat disertai atau tidak dengan
pemberian OHO.
Terapi Intensifikasi
Pada kelompok dengan regimen inisiasi basal OHO : jika HbA1c belum
mencapai target (>7%) dengan dosis insulin basal telah mencapai >0,5
unit/kgBB/hari, maka perlu dilakukan intensifikasi dengan insulin prandial
1 kali dosis 2 kali dosis 3 kali dosis (penambahan prandial
menyesuaikan nilai GD pre-prandial tertinggi dalam satu hari)
Pada kelompok dengan regimen co-formulation : jika setelah di titrasi ke
dosis optimal namun kontrol glikemik belum mencapai target, maka
intensifikasi dosis 2 kali sehari pagi dan sore
41
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Terapi Intensifikasi
Pada kelompok Co-formulation atau FRC : penyesuaian terapi intensifikasi sesuai
dengan penjelasan pada gambar 3A
Pada kelompok basal plus : jika target kontrol glikemik belum tercapai
maka dapat ditingkatkan menjadi basal plus 1 plus 2 plus 3 (atau basal
bolus)
42
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Pada pasien baru yang mengalami dekompensasi metabolik pada fase inisiasi
dan/atau intensifikasi dapat dilakukan de-eskalasi sesuai kondisi pasien, terutama
jika kondisi dekompensasi metabolik telah teratasi.
E. Pemantauan
Pada praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara
terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah :
b. Pemeriksaan HbA1c
43
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
44
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Parameter Sasaran
IMT (kg/m2) 18,5 22,9
Tekanan darah sistolik (mmHg) < 140 (B)
Tekanan darah diastolik (mmHg) < 90 (B)
HbA1c (%) < 7 atau individual (B)
Glukosa darah prepandial kapiler (mg/dL) 80 130
Glukosa darah 2 jam PP kapiler (mg/dL) < 180
Kolesterol LDL (mg/dL) < 100
< 70 bila risiko KV sangat tinggi (B)
Trigliserida (mg/dL) < 150 (C)
Kolesterol HDL (mg/dL) Laki laki : > 40; Perempuan > 50 (C)
Apo-B (mg/dL) < 90
45
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
HbA1c Rerata Glukosa Plasma Rerata Glukosa Darah Rerata Glukosa Darah
(mg/dL) selama 3 bulan Puasa 3 bulan terakhir Post Prandial 3 bulan
terakhir (mg/dL) terakhir (mg/dl)
6 126 (100 152)
5.5 – 6.49 122 (177 217) 144 (139-148)
6.5 – 6.99 142 (135 150) 164 (159-169)
7 154 (123 185)
7.0 – 7.49 152 (143 162) 176 (170-183)
7.5 – 7.99 167 (157 177) 189 (180-197)
8 183 (147 217)
8.0 – 8.5 178 (164 192) 206 (195-217)
9 212
10 240
11 269
12 298
* Modifikasi dari table 6.1. Standard of Medical Care in Diabetes American Diabetes Association 2019. Diabetes Care
Volume 42, Supplement 1, January 2019.
46
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
III.3.1 Dislipidemia
1. Dislipidemia pada pasien DM lebih meningkatkan risiko timbulnya penyakit
kardiovaskular.
2. Pemeriksaan profil lipid perlu dilakukan pada saat diagnosis DM ditegakkan.
Pada pasien dewasa pemeriksaan profil lipid sedikitnya dilakukan setahun
sekali (B) dan bila dianggap perlu dapat dilakukan lebih sering. Pada pasien
yang pemeriksaan profil lipidnya menunjukkan hasil yang baik (LDL <
100mg/dL; HDL > 50 mg/dL; trigliserida < 150mg/dL), maka pemeriksaan
profil lipid dapat dilakukan 2 tahun sekali (B).
3. Gambaran dislipidemia yang sering didapatkan pada pasien DM adalah
peningkatan kadar trigliserida, dan penurunan kadar kolestrol HDL,
sedangkan kadar kolestrol LDL normal atau sedikit meningkat. (B)
4. Perubahan perilaku yang ditujukan untuk pengurangan asupan kolestrol dan
lemak jenuh serta peningkatan aktivitas fisik terbukti dapat memperbaiki
profil lemak dalam darah (A).
5. Modifikasi gaya hidup yang berfokus pada penurunan berat badan (jika
diperlukan), dapat juga menerapkan pola makan Mediterania atau
pendekatan pola makan untuk menghentikan hipertensi (Dietary Approaches
to Stop hypertension/DASH), mengurangi asupan lemak jenuh dan lemak
trans, meningkatkan asupan asam lemak omega-3, serat, dan tumbuhan
stanol/sterol tumbuhan, dan meningkatkan aktivitas fisik, yamg bertujuan
untuk memperbaiki profil lipid dan mengurangi risiko terjadinya penyakit
kardiovaskular aterosklerotik pada pasien DM.(A)
6. Terapi farmakologis perlu dilakukan sedini mungkin dengan menggunakan
statin. (Tabel 13)
7. Pencegahan primer kejadian kardiovaskular menggunakan terapi statin
intensitas sedang (moderate intensity).
8. Pencegahan primer kejadian kardiovaskular pada pasien disertai faktor risiko
kardiovaskular multipel menggunakan terapi statin intensitas tinggi (high
intensity).
9. Pencegahan sekunder kejadian kardiovaskular menggunakan terapi statin
intensitas tinggi (high intensity).
10. Pada pasien DM dengan kadar trigliserida tinggi ( 150 mg/dL) dan/atau
kolesterol HDL rendah (< 40 mg/dL untuk pria, < 50 mg/dL untuk wanita)
47
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Sasaran terapi:
o Pada pasien DM, target utamanya adalah penurunan LDL.
o Target LDL < 100 mg/dL pada pasien diabetes tanpa disertai penyakit
kardiovaskular (kelompok risiko tinggi). (B)
o Target LDL < 70 mg/dL pada diabetes risiko kardiovaskuler multipel (kelompok
risiko sangat tinggi). (C)
o Target LDL < 55 mg/dL pada diabetes yang disertai dengan penyakit
kardiovaskular (kelompok risiko ekstrim). (B)
o Bila LDL tetap 70 mg/dL meskipun sudah mendapat terapi statin dosis optimal
yang dapat ditoleransi, pertimbangkan pemberian terapi tambahan dengan
ezetimibe. (A)
o Bila kadar trigliserida mencapai 500 mg/dL perlu segera diturunkan dengan
terapi fibrat untuk mencegah timbulnya pankreatitis.
o Pada wanita hamil penggunaan statin merupakan kontraindikasi (B).
III.3.2. Hipertensi
48
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
3. Pengelolaan :
Non farmakologis :
Pada pasien dengan tekanan darah >120/80 mmHg diharuskan melakukan
perubahan gaya hidup. Modifikasi gaya hidup dengan cara menurunkan
berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan merokok dan
alkohol serta mengurangi konsumsi garam (< 2300 mg/hari),
meningkatkan konsumsi buah dan sayuran (8 - 10 porsi per hari), produk
dairy low-fat (2 -3 porsi per hari).
Farmakologis :
a. Pemberian terapi obat antihipertensi harus mempertimbangkan
proteksi terhadap kardiorenal, efek samping obat dan kebutuhan
pasien. (C)
b. Pasien dengan tekanan darah 140/90 mmHg dapat diberikan terapi
farmakologis secara langsung. Umumnya cukup dengan pemberian
monoterapi, namun bila target terapi tidak tercapai dapat diberikan
terapi kombinasi.
c. Pada pasien dengan tekanan darah darah 160/100 mmHg maka
langsung diberikan terapi antihipertensi kombinasi.
d. Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah
tercapai. Tekanan darah yang terkendali setelah satu tahun
pengobatan, dapat dicoba menurunkan dosis secara bertahap. Pada
orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap.
49
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Catatan :
Penghambat ACE atau ARB dengan dosis maksimum yang dapat ditoleransi, sebagai pilihan pertama
pada pasien DM dengan hipertensi disertai albuminuria (albumin to creatinin ratio 300 mg/g (A), <
300 mg/g (B)).
Penghambat ACE dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular.
Kombinasi penghambat ACE (ACE-I) dengan ARB tidak dianjurkan.
Pemberian diuretik Hydrochlorothiazide (HCT) dosis rendah jangka panjang, tidak terbukti
memperburuk toleransi glukosa.
Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah tercapai.
Tekanan darah yang terkendali setelah satu tahun pengobatan, dapat dicoba menurunkan dosis
secara bertahap.
Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap.
III.3.3. Obesitas
50
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
51
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
1. Krisis Hiperglikemia
Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Komplikasi akut DM yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah
yang tinggi (300 - 600 mg/dL), disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma
keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300 - 320 mOs/mL) dan
peningkatan anion gap.
Status Hiperglikemia Hiperosmolar (SHH)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (>600
mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat
meningkat (>320 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau
sedikit meningkat.
Catatan: Kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi, sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang
memadai.
2. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah < 70 mg/dL.
Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau
tanpa adanya tanda dan gejala sistem autonom, seperti adanya whipple s
triad:
o Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
o Kadar glukosa darah yang rendah
o Gejala berkurang dengan pengobatan.
52
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari,
mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental yang
bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering
lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama. Pasien dengan
risiko hipoglikemi harus diperiksa mengenai kemungkinan hipoglikemia
simtomatik ataupun asimtomatik pada setiap kesempatan (C).
Tanda Gejala
Rasa lapar, berkeringat, gelisah, Pucat, takikardia, widened pulse
Autonomik parestesia, palpitasi, pressure
tremulousness
Lemah, lesu, dizziness, Cortical-blindness, hipotermia,
confusion, pusing, perubahan kejang, koma
Neuroglikopenik
sikap, gangguan kognitif,
pandangan kabur, diplopia
Klasifikasi Hipoglikemia
Level 1 Gl ko a er m mg dL dan 54 mg/dL
Level 2 Glukosa serum <54 mg/dL
Level 3 Kondisi berat yang ditandai dengan perubahan fungsi mental dan/atau
fisik yang memerlukan bantuan dari orang lain untuk pemulihan.
53
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
54
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Pencegahan hipoglikemia:
1. Lakukan edukasi tentang tanda dan gejala hipoglikemia, penanganan
sementara, dan hal lain harus dilakukan.
2. Anjurkan melakukan PGDM, khususnya bagi pengguna insulin atau obat oral
golongan insulin sekretagog.
3. Lakukan edukasi tentang obat-obatan atau insulin yang dikonsumsi,
tentang: dosis, waktu megkonsumsi, efek samping.
4. Bagi dokter yang menghadapi pasien DM dengan kejadian hipoglikemia
perlu melalukan:
o Evaluasi secara menyeluruh tentang status kesehatan pasien.
o Evaluasi program pengobatan yang diberikan dan bila diperlukan
melakukan program ulang dengan memperhatikan berbagai aspek
seperti: jadwal makan, kegiatan oleh raga, atau adanya penyakit
55
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
1. Makroangiopati
Pembuluh darah otak : stroke
Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner
Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang sering terjadi pada
pasien DM. Gejala tipikal yang biasa muncul pertama kali adalah nyeri
pada saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat (claudicatio
intermittent), Namun sering juga tanpa disertai gejala. Ulkus iskemik
pada kaki merupakan kelainan lain yang dapat ditemukan pada pasien
DM.
Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik
2. Mikroangiopati
a. Retinopati Diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko
atau memperlambat progresi retinopati (A). Terapi aspirin tidak
mencegah timbulnya retinopati.
b. Nefropati Diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko atau memperlambat progresifitas nefropati (A).
Untuk pasien penyakit ginjal diabetik, menurunkan asupan protein
sampai di bawah 0.8 g/kgBB/hari tidak direkomendasikan karena
tidak memperbaiki risiko kardiovaskular dan menurunkan LFG
ginjal (A).
c. Neuropati
Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal merupakan faktor
penting yang berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki yang
meningkatkan risiko amputasi.
Gejala yang sering dirasakan berupa kaki terasa terbakar dan
bergetar sendiri, dan terasa lebih sakit di malam hari.
Setelah diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, pada setiap pasien perlu
56
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
57
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Indikator keberhasilan intervensi gaya hidup adalah penurunan berat badan 0,5 - 1
kg/minggu atau 5 - 7% penurunan berat badan dalam 6 bulan dengan cara mengatur
pola makan dan meningkatkan aktifitas fisik. Studi Diabetes Prevention Programme
58
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
(DPP) menunjukkan bahwa intervensi gaya hidup yang intensif dapat menurunkan
58% insiden DM tipe 2 dalam 3 tahun. Tindak lanjut dari DPP Outcome Study
menunjukkan penurunan insiden DM tipe 2 sampai 34% dan 27 % dalam 10 dan 15
tahun.
Perubahan gaya hidup yang dianjurkan untuk individu risiko tinggi DM tipe 2 dan
intoleransi glukosa adalah :
Tidak semua individu dengan risiko tinggi dapat menjalankan perubahan gaya hidup
dan mencapai target penurunan berat badan seperti yang diharapkan, oleh karena
itu dibutuhkan intervensi lain yaitu dengan penggunaan obat-obatan. Intervensi
farmakologis untuk pencegahan DM tipe 2 direkomendasikan sebagai intervensi
sekunder yang diberikan setelah atau bersama-sama dengan intervensi perubahan
gaya hidup.
59
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Berdasarkan studi STOP-NIDDM dalam tindak lanjut selama 3,3 tahun, acarbose
terbukti menurunkan risiko DM tipe 2 sampai 25% dan risiko penyakit kardiovaskular
sebesar 49%.
(Pencegahan primer terhadap DM tipe 2 dapat dibaca lengkap pada Buku Panduan
Pengelolaan Prediabetes dan Pencegahan Diabetes Tipe 2 tahun 2019 yang
diterbitkan oleh PB PERSADIA)
Vaksinasi Hepatitis B
Pasien DM memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena hepatitis B
dibandingkan populasi umum. Risiko ini disebabkan karena kontaknya
darah yang terinfeksi atau peralatan pemantauan glukosa atau jarum yang
terinfeksi. Vaksin hepatitis B direkomendasikan pada pasien DM berusia <
60 tahun.
60
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Vaksinasi Pneumokokus
Pasien DM berisiko tinggi terhadap infeksi pneumokokus dan bakteremia
nosokomial, dengan tingkat mortalitas 50 persen. Vaksinasi pneumokokus
berguna untuk memberikan perlindingan terhadap pneumonia
pneumokokal. Vaksin yang direkomendasikan berupa vaksin polisakarida
pneumokokus valen -23 (PPSV-23). Vaksinasi ini direkomendasikan untuk
pasien diabetes berusia 2 64 tahun. Usia 65 tahun juga diperbolehkan
mendapatkan vaksin jenis ini walaupun sudah memiliki riwayat vaksinasi
pneumokokus sebelumnya.
Vaksinasi COVID-19
Berdasarkan data dari CDC, diketahui bahwa sebagian besar angka
kematian (40%) infeksi COVID-19 berasal dari pasien dengan DM.
Berdasarkan data tersebut, CDC merekomendasikan bahwa pasien dengan
DM diprioritaskan untuk mendapatkan vaksin COVID-19.
61
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Kejadian infeksi lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes akibat munculnya
lingkungan hiperglikemik yang meningkatkan virulensi patogen, menurunkan
produksi interleukin, menyebabkan terjadinya disfungsi kemotaksis dan aktifitas
fagositik, serta kerusakan fungsi neutrofil, glukosuria, dan dismotitilitas
gastrointestinal dan saluran kemih. Sarana untuk pemeriksaan penunjang harus
lengkap seperti pemeriksaan kultur dan tes resistensi antibiotik.
62
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
tuberkulosis juga sering mengalami risiko untuk terjadinya hepatitis imbas obat
(drug induced hepatitis) akibat obat-obat antituberkulosis.
Pada pasien dengan DM perlu dilakukan skrining untuk infeksi TB, dan sebaliknya
pada pasien dengan tuberkulosis perlu dilakukan skrining diabetes.
Skrining tuberkulosis yang direkomendasikan adalah penilaian gejala-gejala
tuberkulosis seperti batuk lebih dari 2 minggu pada setiap pasien DM. Skrining
lengkap dengan pemeriksaan penunjang belum disarankan karena belum ada
bukti yang mendukung.
Pasien DM yang menunjukkan gejala tuberkulosis perlu mendapatkan
pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan foto dada dan pemeriksaan sputum
tuberkulosis sebanyak tiga kali untuk menegakkan diagnosis.
Penatalaksanaan TB pada pasien DM umumnya tidak berbeda dengan pasien TB
tanpa DM, tidak ada bukti yang mendukung perlunya regimen baru ataupun
penambahan masa pengobatan. Namun apabila kadar glukosa darah tidak
terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan.
Pasien dengan TB direkomendasikan untuk mendapatkan skrining diabetes
dengan pemeriksaan kadar glukosa darah saat diagnosis TB ditegakkan.
Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi efektivitas
obat oral antidiabetik (golongan sulfonilurea) sehingga diperlukan monitoring
kadar glukosa darah lebih ketat atau diganti dengan anti diabetik lainnya seperti
insulin yang dapat meregulasi glukosa darah dengan baik tanpa memengaruhi
efektifitas OAT.
Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena pasien DM sering mengalami
komplikasi pada mata.
Pemberian isoniazid (INH) dapat menyebabkan neuropati perifer yang dapat
memperburuk atau menyerupai diabetik neuropati maka sebaiknya diberikan
suplemen vitamin B6 atau piridoksin selama pengobatan.
63
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
terjadi 4 5 kali lipat lebih tinggi pada pasien DM dibandingkan pasien non-DM
dengan manifestasi klinis yang umumnya sama kecuali keterlibatan ginjal
bilateral pada pasien DM.
64
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Kejadian DM baru diperkirakan terjadi pada lebih dari 5% pasien HIV yang
meggunakan golongan protease inhibitor, sedangkan angka kejadian prediabetes
relatif lebih tinggi yaitu lebih dari 15%. Obat golongan PI ini diduga dapat
meningkatkan resistensi insulin akibat tingginya kadar sitokin antiinflamasi dan
menyebabkan apoptosis sel-sel beta pankreas. Obat ARV golongan NRTI juga
memengaruhi distribusi lemak tubuh, baik berupa lipohipertrofi maupun
lipoatrofi, yang berkaitan dengan resistensi insulin. Pasien HIV yang mengalami
hiperglikemia akibat pemberian terapi ARV, perlu dipertimbangkan untuk
mengganti dengan obat ARV golongan lain yang lebih aman dengan
memperhatikan kondisi penyakitnya. Terapi obat antidiabetes dapat diberikan
bila diperlukan.
Pada pasien HIV dengan prediabetes, asupan nutrisi yang sehat dan aktivitas fisik
yang baik, sangat dianjurkan karena dapat menurunkan risiko untuk menjadi
diabetes. Penatalaksanaan pada pasien HIV dengan diabetes juga sama dengan
pasien non-HIV yaitu bertujuan untuk mencegah komplikasi mikrovaskular dan
makrovaskular.
65
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Deteksi dini kelainan kaki pada pasien diabetes dapat dilakukan dengan penilaian
karakteristik:
Kulit kaku yang kering, bersisik, dan retak-retak serta kaku
Rambut kaki yang menipis
Kelainan bentuk dan warna kuku (kuku yang menebal, rapuh, ingrowing nail).
Kalus (mata ikan) terutama di bagian telapak kaki.
Perubahan bentuk jari-jari dan telapak kaki dan tulang-tulang kaki yang
menonjol.
Bekas luka atau riwayat amputasi jari-jari
Kaki baal, kesemutan, atau tidak terasa nyeri.
Kaki yang terasa dingin
Perubahan warna kulit kaki (kemerahan, kebiruan, atau kehitaman).
Kaki diabetik dengan ulkus merupakan komplikasi diabetes yang sering terjadi. Ulkus
kaki diabetik adalah luka kronik pada daerah di bawah pergelangan kaki, yang
meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan mengurangi kualitas hidup pasien. Ulkus
kaki diabetik disebabkan oleh proses neuropati perifer, penyakit arteri perifer
ataupun kombinasi keduanya.
66
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
67
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Keterangan :
PAD : Peripheral Arterial Diisease
CLI : Critical Limb Ischemia
SIRS : Systemic Inflammatory Response Syndrome
68
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
69
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Diagnosis PAD ditegakkan dengan pemeriksaan ankle brachial index (ABI), yaitu rasio
tekanan darah sistolik antara arteri dorsalis pedis/tibialis posterior dengan tekanan
sistolik tertinggi antara arteri brachialis kiri dan kanan. Pemeriksaan dilakukan
dengan menggunakan handheld ultrasound. Penilaian hasil ABI adalah:
70
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Terapi pada pasien dengan PAD selain dengan menggunakan medikamentosa, juga
dapat dilakukan tindakan revaskularisasi. Tindakan revaskularisasi adalah suatu
tindakan untuk membuka pembuluh darah arteri yang tersumbat, dengan melalui
intervensi endovaskular atau teknik bedah terbuka (bypass surgery). Pasien PAD
dengan infeksi umumnya memiliki prognosis buruk sehingga perlu dilakukan terapi
infeksi sebelum dilakukan tindakan revaskularisasi.
71
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
72
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
perluasan infeksi jaringan lunak sepanjang fasia otot (fasitis nekrotikan) sehingga
perlu dilakukan tindakan debridement yang luas dengan membuang seluruh fascia
otot yang mengalami infeksi.
73
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
9. Penatalaksanaan
a. Optimalisasi kontrol glukosa untuk mengurangi risiko ataupun
menurunkan progresi nefropati. (A)
b. Optimalisasi kontrol hipertensi untuk mengurangi risiko ataupun
menurunkan progresi nefropati. (A)
c. Pengurangan diet protein pada diet pasien diabetes dengan penyakit
ginjal kronik tidak direkomendasikan karena tidak mengubah kadar
glikemik, risiko kejadian kardiovaskular, atau penurunan LFG. (A)
d. Terapi dengan penghambat ACE atau obat penyekat reseptor
angiotensin II tidak diperlukan untuk pencegahan primer. (B)
e. Terapi Penghambat ACE atau Penyekat Reseptor Angiotensin II
diberikan pada pasien tanpa kehamilan dengan albuminuria sedang (30
299 mg/24 jam) (C) dan albuminuria berat (> 300 mg/24 jam) (A).
10. Perlu dilakukan monitoring terhadap kadar serum kreatinin dan kalium serum
pada pemberian penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II, atau
diuretik lain. (E)
a. Diuretik, penyekat kanal kalsium, dan penghambat beta dapat diberikan
sebagai terapi tambahan ataupun pengganti pada pasien yang tidak
dapat mentoleransi penghambat ACE dan Penyekat Reseptor
Angiotensin II.
b. Apabila serum kreatinin 2,0 mg/dL sebaiknya ahli nefrologi ikut
dilibatkan.
c. Pertimbangkan konsultasi ke ahli nefrologi apabila kesulitan dalam
menentukan etiologi, manajemen penyakit, ataupun gagal ginjal
stadium lanjut. (B)
74
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Keluhan 1 2 3 4 5
75
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
76
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
77
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
(Pembahasan lebih detail mengenai diabetes melitus gestasional akan terpisah pada
konsensus pengelolaan Diabetes Melitus Gestasional)
Bagi pasien DM, kegiatan berpuasa (dalam hal ini puasa Ramadhan) akan
memengaruhi kendali glukosa darah akibat perubahan pola dan jadual makan serta
aktivitas fisik. Berpuasa dalam jangka waktu yang lama akan meningkatkan risiko
terjadinya komplikasi akut seperti hipoglikemia, hiperglikemia, ketoasidosis
diabetikum, dan dehidrasi atau thrombosis. Risiko tersebut terbagi menjadi risiko
sangat tinggi, tinggi, sedang dan rendah. Risiko komplikasi tersebut terutama muncul
pada pasien DM dengan risiko sedang sampai sangat tinggi
78
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
7. Puasa harus segera dibatalkan bila kadar glukosa darah kurang dari 60
mg/dL. Pertimbangkan untuk membatalkan puasa bila kadar glukosa darah
kurang dari 80 mg/dL atau glukosa darah meningkat sampai lebih dari 300
mg/dL untuk menghindari terjadi ketoasidosis diabetikum.
8. Selalu berhubungan dengan dokter selama menjalankan ibadah puasa.
Tabel 21. Kategori Risiko Terkait Puasa Ramadan pada Pasien DM tipe 2
79
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
80
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
81
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
7. GLP-1 RA
Obat agonis reseptor GLP-1 meniru kerja hormon inkretin, GLP-1
endogen, yaitu meningkatkan sekresi insulin sehingga dapat menurunkan
glukosa dalam darah, yang bergantung pada glukosa (glucose dependent).
Agonis reseptor GLP-1 juga mengurangi sekresi glukagon, meningkatkan
penyerapan glukosa dan penyimpanan glikogen di otot, mengurangi
produksi glukosa oleh hati, mengurangi nafsu makan dan memperlambat
pengosongan lambung.
Risiko hipoglikemianya rendah ketika digunakan sebagai monoterapi.
Penelitian terakhir juga menunjukkan bahwa kombinasi GLP-1 RA dengan
metformin efektif dalam mengurangi berat badan dan kadar HbA1c.
Sebelum Ramadan pasien sebaiknya sudah melakukan pengaturan dosis
GLP-1 sesuai dengan target HbA1c dan kadar glukosa darah yang ingin
dicapai, sehingga 6 minggu sebelum Ramadhan pasien sudah
menggunakan dosis yang tepat.
8. Insulin
Penggunaan insulin selama puasa dapat mengakibatkan hipoglikemia.
Insulin analog lebih direkomendasikan daripada human insulin, karena
risiko kejadian hipoglikemia lebih rendah.
Hasil penelitian observasional membuktikan bahwa penggunaan insulin
basal aman digunakan selama bulan Ramadan dan tidak ada peningkatan
signifikan kejadian hipoglikemia.
Pemberian insulin kerja menengah atau kerja panjang sekali sehari
diberikan saat berbuka puasa dengan dosis yang diturunkan sebanyak 15
30% dari dosis sebelumnya. Bila diberikan dua kali sehari maka dosis pagi
hari diberikan saat berbuka puasa, dan dosis sore hari diturunkan sebesar
50% dan diberikan saat sahur.
Insulin kerja cepat atau kerja pendek dapat digunakan untuk lebih
mengontrol glukosa darah postprandial.
Uji coba acak label terbuka menunjukkan bahwa peningkatan kadar
glukosa darah postprandial setelah berbuka puasa dan tingkat
hipoglikemia, lebih rendah pada pemberian insulin kerja cepat.
Pasien yang menggunakan insulin kerja cepat atau kerja pendek maka
pada saat berbuka puasa diberikan dosis normal, dosis siang hari tidak
diberikan, dan pada saat sahur dosis diturunkan 25 50% dari dosis
sebelumnya.
Insulin premixed yang menggabungkan insulin kerja cepat dan insulin
82
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
83
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
84
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Glukosa darah yang direkomendasikan untuk pasien DM dengan penyakit kritis harus
dikontrol pada kisaran 140 180 mg/dL dan tidak boleh melebihi 180 mg/dL (A).
Target yang lebih ketat seperti 110 140 mg/dL, mungkin dapat diterapkan pada
pasien-pasien tertentu, namun harus diperhatikan risiko terjadinya hipoglikemia (C).
Pada hampir seluruh kondisi klinis di rawat inap, terapi insulin merupakan pilihan
utama dalam kontrol glikemik. Pada pasien ICU, pemberian insulin secara drip
intravena umumnya lebih dipilih. Di luar ICU, terapi insulin subkutan lebih
direkomendasikan. Perlu diperhatikan risiko hiperglikemia pada perubahan terapi
insulin drip intravena menjadi subkutan.
Pemberian insulin secara sliding scale sangat tidak disarankan. Pemberian insulin
subkutan dengan memperhatikan pola sekresi insulin endogen yang fisiologis berupa
insulin basal, prandial, lebih direkomendasikan, yang bila diperlukan dapat
ditambahkan dosis insulin koreksi.
1. Krisis Hiperglikemia
Sudah dibahas pada bab komplikasi.
85
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
86
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
3. Stroke
Stroke adalah manifestasi klinis akut akibat disfungsi neurologis pada otak,
medula spinalis, dan retina baik sebagian atau menyeluruh yang menetap
selama 24 jam atau menimbulkan kematian akibat gangguan pembuluh
darah.
Stroke yang disebabkan oleh infark (dibuktikan melalui pemeriksaan
radiologi, patologi, atau bukti lain yang menunjukkan iskemi otak, medula
spinalis, atau retina) disebut stroke iskemik.
Stroke perdarahan dapat disebabkan oleh perdarahan intrakranial atau
subaraknoid. Perdarahan intrakranial terjadi pada parenkim otak maupun
ventrikel tanpa didahului trauma, sementara perdarahan subaraknoid terjadi
di rongga subaraknoid (antara membran araknoid dan piamater).
Definisi transient ischemic attack (TIA) adalah disfungsi neurologis sementara
akibat iskemia fokal termasuk iskemi retina dan medulla spinalis, tanpa bukti
adanya infark.
Menurut Riskesdas tahun 2007, prevalensi nasional stroke adalah 8,3 per
1.000 penduduk. Hasil Riskesdas 2013 didapatkan prevalensi stroke nasional
naik 50% menjadi 12,1 per 1000 penduduk.
Berdasarkan data stroke registry tahun 2012 2014, sebanyak 67% dari total
stroke adalah iskemik, dan 33% lainnya adalah stroke hemoragik.
Keadaan hiperglikemia sangat memengaruhi tingkat mortalitas penyakit
stroke dan penyembuhan pasca stroke. Hiperglikemia yang berkelanjutan
dapat meningkatkan ukuran infark.
Manajemen stroke untuk pasien dengan stroke iskemik non-kardioembolik
atau TIA, direkomendasikan untuk pemberian antiplatelet daripada
antikoagulan oral, karena dapat menurunkan risiko stroke berulang dan
kejadian kardiovaskular yang lain.
Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia (kadar
glukosa darah > 180 mg/dL) pada stroke akut harus diobati dengan titrasi
insulin. (C)
87
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Rekomendasi target glukosa darah untuk pasien stroke akut adalah 110 140
mg/dL tetapi tanpa terjadi keadaan hipoglikemia. Penelitian metaanalisis
membuktikan bahwa glukosa darah > 200 mg/dL mengakibatkan peningkatan
mortalitas dibandingkan dengan target glukosa darah 140 180 mg/dL.
Pemberian insulin regular secara intravena berkesinambungan dianjurkan
untuk menurunkan variabilitas glukosa darah.
Metode kontrol glikemik yang lain (perubahan gaya hidup) dapat
diimplementasikan pada saat fase penyembuhan.
4. Sepsis
Respon imun mengalami perubahan dan kerentanan terhadap infeksi yang
meningkat pada pasien DM. Orang dengan DM memiliki kemungkinan lebih tinggi
untuk terkena infeksi, tetapi masih belum jelas jika prognosis mereka lebih buruk
dari non-diabetik.
Langkah-langkah kontrol glukosa darah pada pasien sepsis:
Stabilisasi
Pasien dengan sepsis berat dan hiperglikemia dirawat ICU dan diberikan
terapi insulin intravena. Pemberian terapi insulin pada pasien sepsis
direkomendasikan setelah hasil pemantauan glukosa serum > 180 mg/dL
sebanyak dua kali pemeriksaan berturut-turut, dengan target
mempertahankan kadar glukosa di bawah 180 mg/dL.
Pasien yang menerima insulin intravena juga menerima sumber glukosa
kalori
Memantau nilai glukosa darah setiap 1 2 jam sampai kadar nilai glukosa
dan infus insulin stabil, dan dimonitor setiap 4 jam setelah itu.
Pertimbangan dalam mengontrol glukosa darah pada sepsis, antara lain:
Kadar glukosa darah yang rendah pada tes point-of-care darah kapiler harus
diintepretasikan dengan hati-hati, karena pengukuran tersebut melebihi
darah arteri atau nilai plasma glukosa
Akurasi dan produksi pada tes point-of-care darah kapiler
88
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Diabetes melitus sebagai satu kasus dengan frekuensi kunjungan yang tinggi dan
terus menerus akan meningkatkan pembiayaan pelayanan kesehatan. Kasus yang
membutuhkan perawatan khusus dan modalitas pemeriksaan yang canggih menjadi
permasalahan penting di bidang endokrin. Pada sisi lain permasalahan biaya
kesehatan akan menjadi beban keluarga maupun pemerintah. Sejak tahun 2014,
sistem pembiayaan kesehatan dibebankan kepada BPJS berdasarkan koding tarif
INACBGs termasuk di dalamnya terdapat unsur kodefikasi ICD X dan ICD 9CM, tidak
berdasarkan out of pocket. Permasalahan lain, diagnosis diabetes melitus diawali
dengan kondisi hiperglikemia yang telah terbukti sebagai penyebab komplikasi, baik
secara langsung atau tidak langsung, akan sangat memengaruhi kualitas hidup
pasien dan meningkatkan biaya kesehatan.
Upaya mengatasi hiperglikemia dapat dilakukan mulai dengan perubahan gaya hidup
secara komprehensif sesuai dengan indikasi medis meliputi pemberian obat oral
maupun injeksi, aktifitas fisik yang teratur serta pengaturan makanan sesuai dengan
kebutuhan. Selain itu kesinambungan pelayanan kesehatan secara terpadu dan
paripurna sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 374 Tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Nasional, dapat dicapai
melalui sistem rujukan yang jelas sesuai dengan peran dan fungsi dari setiap jenjang
fasilitas pelayanan kesehatan.
89
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
90
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Pada pasien DM tipe 2 di PPK II, apabila di temukan salah satu hal hal sebagai berikut
:
Diabetes dengan tanda unstable angina
Hypoglikemia yang tidak teratasi dan tidak ada perbaikan setelah tatalaksana
medis.
Komplikasi akut seperti ketoasidosis, hyperglycemic/ hyperosmolar state
setelah diberikan tindakan awal.
Komplikasi retinopati/nefropati diabetik
Dalam 3 bulan ditemukan GDP > 130 mg/dL, GDPP > 180 mg/dL atau HbA1c
>7 %
Dislipidemia, hipertensi, anemia, infeksi tidak terkendali dalam 3 bulan
Dalam terapi OAD tunggal dalam 3 bulan tidak tercapai target
Dalam terapi kombinasi OAD dalam 3 bulan tidak tercapai target
Komplikasi kronis akibat diabetes tidak terkendali
Kehamilan dengan gula darah tak terkontrol dalam 3 bulan
Hipoglikemia yang tidak teratasi dan tidak ada perbaikan setelah tatalaksana
medis.
91
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
(Perlu dilakukan rujukan ke PPK III untuk mendapatkan pelayanan Subspesialis Endokrin
Metabolisme Diabetes)
(Dirujuk balik ke PPK I untuk mendapatkan pelayanan kesehatan kedokteran dasar atau
melanjutkan saran dari pemberi pelayanan kesehatan perujuk)
Pada pasien DM tipe 2 di PPK III yang sudah diberikan pelayanan subspesialis
endokrin metabolism diabetes, apabila di temukan salah satu hal hal sebagai
berikut :
Dalam 3 bulan ditemukan GDP < 130 mg/dL, GDPP < 180 mg/dL atau HbA1c
<7%
Dalam terapi OAD tunggal dalam 3 bulan telah tercapai target
Dalam terapi kombinasi OAD dalam 3 bulan telah tercapai target
Komplikasi kronis akibat diabetes terkendali
Diabetes gestasional terkontrol
Hipoglikemia yang telah teratasi
Infeksi kaki: ulkus, selulitis teratasi dan gula darah telah terkontrol
(Dirujuk balik ke PPK II untuk mendapatkan pelayanan kesehatan spesialis peyakit dalam
atau melanjutkan saran dari pemberi pelayanan kesehatan perujuk)
92
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Pada pasien DM tipe 1 di PPK II yang sudah diberikan pelayanan spesialis penyakit
dalam, apabila di temukan salah satu hal hal sebagai berikut:
GDP <130 mg/dL, GDPP < 180 mg/dL atau HbA1c <7 %
Dalam terapi insulin setiap 3 bulan
Komplikasi kronis akibat diabetes setiap 3 bulan
Kehamilan dengan DM setiap 3 bulan
Infeksi kaki : ulkus , selulitis teratasi dan gula darah telah terkontrol
(Dirujuk balik ke PPK I untuk mendapatkan pelayanan kesehatan kedokteran dasar dan
melanjutkan saran dari pemberi pelayanan kesehatan perujuk)
93
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Pada pasien DM tipe 1 di PPK III yang sudah diberikan pelayanan subspesialis
endokrin metabolism diabetes, apabila di temukan salah satu hal hal sebagai
berikut :
Dalam 3 bulan ditemukan GDP <130 mg/dL, GDPP <180 mg/dL atau HbA1c
<7 %
Dalam terapi insulin dalam 3 bulan telah tercapai target
Komplikasi kronis akibat diabetes terkendali
Diabetes gestasional terkontrol
Hipoglycemia yang telah teratasi
Infeksi kaki : ulkus, selulitis teratasi dan gula darah telah terkontrol
(Dirujuk balik ke PPK II untuk mendapatkan pelayanan kesehatan spesialis penyakit dalam
dan melanjutkan saran dari pemberi pelayanan kesehatan perujuk)
94
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Dari hasil RISKESDAS tahun 2018, terlihat bahwa prevalensi pasien DM di Indonesia
mengalami peningkatan. Tidak hanya itu, jumlah pasien prediabetes juga masih
cukup tinggi. Untuk glukosa darah puasa terganggu sebanyak 26,3% dan untuk
toleransi glukosa terganggu sebanyak 30,8% dari seluruh penduduk yang melakukan
TTGO. Berdasarkan data penelitian DiabCare, pasien DM tipe 2 yang menjalani
pengobatan di fasilitas kesehatan dengan HbA1c 7 % hanya sekitar 30%. DM yang
tidak terkontrol akan menyebabkan komplikasi baik mikro- maupun makrovaskular
yang sulit untuk dikelola.
Setiap pasien DM yang sudah memiliki komplikasi mikro- atau makrovaskular akan
menimbulkan beban sosial dan finansial yang besar untuk negara. Dari laporan BPJS
th 2018 periode januari Agustus 2018 diketahui bahwa pengeluaran dana untuk
penyakit kronik jantung sebesar Rp. 6,67 triliun (peringkat 1) dan gagal ginjal sebesar
Rp. 1,50 triliun (peringkat 2), dan komplikasi DM merupakan porsi yang terbesar
untuk penyakit kronik tersebut. Pada tahun 2020, diprediksi akan terjadi
peningkatan beban biaya pada jaminan kesehatan nasional (JKN) sebesar 56% untuk
diabetes sehingga menambah beban biaya sebesar Rp. 81,2 triliun (sekitar 5,8 miliar
US dolar) pada sistem JKN Indonesia.
Oleh karena itu, diperlukan suatu Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus tipe 2 Dewasa yang lebih komprehensif yang mengedepankan proses
preventif melalui edukasi modifikasi gaya hidup yang terstruktur, serta mewujudkan
sistem layanan rujuk baik yang baik di antara FKTP dan FKTL.
Kerja sama yang baik dari berbagai ahli juga diperlukan untuk memberikan tata
laksana yang holistik untuk pasien-pasien DM dengan penyulit. Perkembangan
pengetahuan yang baru tentang patofisiologi DM, obat-obatan antidiabetes baru
dengan keluaran klinis kardiovaskular yang baik, perkembangan insulin dan inkretin
serta penelitian tentang stem sel akan makin membuka peluang untuk
meningkatkan kontrol glikemik pasien DM dan mencegah komplikasi.
95
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
96
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Adecco 500
Efomet 500-850
Formell 500-850
Gludepatic 500
Gradiab 500-850
Metphar 500
Zendiab 500
Diafac 500 Bersama/
Biguanid Metformin 500- 3000 6-8 1-3
Forbetes 500-850 sesudah makan
Glucophage 500-850- 1000
Glucotika 500-850
Glufor 500-850
Glunor 500-850
Heskopaq 500-850
Nevox 500
Glumin 500
Vildagliptin Galvus 50 50-100 12-24 1-2
Penghambat Sitagliptin Januvia 25-50-100 25-100
Tidak
DPP-4 Saxagliptin Onlyza 24 1
5 5 bergantung
Linagliptin Trajenta
jadwal makan
Penghambat Dapaglifozin Forxigra 5-10 5-10
24 1
SGLT-2 Empagliflozin Jardiance 10-25 10-25
1,25/250
Glibenclamide +
Glucovance 2,5/500
Metformin
5/500
1/250 12-24
Amaryl M
Glimepiride + 2/500 1-2
Metformin 1/250
Velacom plus
2/500
Actosmet 15/850
Pioglitazone +
15/500 Mengatur dosis 18-24
Metformin Pionix-M
15/850 maksimum
Obat kombinasi
50/500 masing
tetap
Sitagliptin + Metformin Janumet 50/850 masing
Bersama/
50/1000 komponen
2 sesudah makan
50/500
Vildagliptin +
Galvusmet 50/850
Metformin
50/1000 12-24
Saxagliptin +
Kombiglyze XR 5/500 1
Metformin
2,5/500
Linagliptin + Metformin Trajento Duo 2,5/850 2
2,5/1000
2,5/1000
Dapaglifozin- 5/500
Xigduo XR 1-2
Metformin HCl XR 5/1000
10/500
97
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Humulin N®
8 12
Insulatard® 4 10 jam Vial, pen/ catridge
1,5 4 jam jam
Insuman Basal®
NPH: neutral protamine Hagedorn; NPL: neutral protamine lispro. *Belum tersedia di Indonesia
98
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Kandungan Kemasan
iGlar/Lixi (Soliqua® Insulin
Lixisenatide
100/33) Glargine Pen 3 mL
33 mcg/mL
100U/mL
iGlar/Lixi (Soliqua® Insulin
Lixisenatide
100/50) Glargine Pen 3 mL
50 mcg/mL
100U/mL
iDeg/Lira (Xultophy®) Insulin
Liraglutide
Degludeg Pen 3 mL
3,6 mg/mL
100U/mL
99
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Aiello LM, Cavallerano JD, Aiello LP and Bursell SE. Diabetic retinopathy. In:
Guyer DR, Yannuzzi LA, Chang S, et al, eds. Retina Vitreous Macula. 1999; Vol 2: 316
44.
American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes 2019.
Diabetes Care. 2019;38 (Sppl 1):S1-S87.
American Association of Clinical Endocrinologists and American College of
Endocrinology Clinical Practice Guidelines for Developing a Diabetes Mellitus
Comperehensive Care Plan 2015. Endocrinbe Practice. 2015;21 (sppl1):1-87.
American Diabetes Association. Introduction: Standards of Medical Care in
Diabetes 2019. Diabetes Care. 2019; 42(Suppl.1): S1-S2.
American Diabetes Association. Classification and Diagnosis: Standards of
Medical Care in Diabetes 2019. Diabetes Care. 2019; 42(Suppl.1): S13-28.
American Diabetes Association, Diabetes Care in Specific Settings, Diabetes
Care. 2019; 35(suppl 1): S44.
American Diabetes Association, Comprehensive Medical Evaluation and
Assessment of Comorbidities: Standard of medical care in diabetes-2020, Diabetes
Care 2020; 43(Suppl. 1): S37 S47
American Diabetes Association. ADA applauds CDC Decision to prioritize all
people with diabetes for the COVID-19 vaccine [cited on 30 June 2021]. Avalaible at
: https://www.diabetes.org/search?keywords=covid%20vaccination&page=1
American Diabetes Association, Pharmacologic Approaches to Glycemic
Treatment. 2020; 43(suppl1):S98
American Diabetes Association, Glycemic Targets. 2020; 43(suppl1):S66
Benson WE, Tasman W, Duane TD. Diabetes mellitus and the eye. In: Duane's
Clinical Ophthalmology. 1994; 3.
Bhavsar A. R.; Atebara, N. H.; Drouilhet, J. H. Diabetic Retinopathy: Presentation
See http://emedicine.medscape.com/article/1225122-overview for further details.
Boulton A, Vinik A and Arezzo, J. American Diabetes Association. Diabetic
neuropathies: a statement by the American Diabetes Association, Diabetes Care.
2005; 28: 956 62.
Calvet H and Yoshikawa T. Infections in diabetes. Infect Dis Clin North Am. 2001;
15: 407 20.
Carfrae M and Kesser B. Malignant otitis externa, Otolaryngol Clin North Am.
2008; 41: 537 49.
100
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Clement S. Braithwate SS, Magee MF, Ahmann A, Smith EP, Schafer RG and
Hisch IB. American Diabetes Association Diabetes in Hospitals Writing Committee.
Diabetes Care. 2004; 27(2): 553-91.
Clement S. Management of diabetes and hyperglycemia in hospitals, Diab Care.
2004; 27(2).
Coven DL, Kalyanasundaram A and Shirani J. Overview Acute Coronary
Syndrome. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1910735-overview
for further details.
Diabetes Australia. COVID-19 Vaccine FAQ. [cited on 30 June 2021]. Avalaible
at : https://www.diabetesaustralia.com.au/living-with-diabetes/covid19/covid-19-
vaccine-faq/
Defining and reporting hypoglycemia in diabetes: a report from the American
Diabetes Association Workgroup on Hypoglycemia. Diabetes Care. 2005; 28: 1245
9.
Dellinger RP. Crit Care Med. 2008; 36: 296 327.
Donath D and Shoelson SE. Type 2 diabetes as an inflammatory disease. Nature
Review Immunology. 2011; 11(2): 98 107.
(EWMA), E. W. M. A. Wound bed preparation in practice.). London: MEP Ltd,
2004.
Frisch A, Chandra P, Smiley D, Peng LMMR and Gatcliffe C. Prevalence and
clinical outcome of hyperglycemia in the perioperative period in noncardiac surgery.
Diabetes Care. 2010; 33: 1783 8.
Furie KL, Kernan WN, Ovbiagele B, Black HR Bravata DM Chimowitz MI, et al.
Guidelines for the prevention of stroke in patients with stroke or transient ischemic
attack: A guideline for healthcare professionals from the American Heart
Association/American Stroke Association. Stroke. 2011; 42: 227 76.
Garber AJ, Abrahamson MJ, Barzilay JI, et al. AACE Comprehensive Diabetes
Management Algorithm 2013, Endocrine Practice. 2013;19: 327-36.
Geerlings, S.; Hoepelman, A. Immune dysfunction in patients with diabetes
mellitus (DM), FEMS Immunol Med Microbiol. 1999; 26: 256 65.
101
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
102
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
103
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
104