Karakteristik Kepemimpinan Pendidikan Islam Berbasis Masjid
Karakteristik Kepemimpinan Pendidikan Islam Berbasis Masjid
Karakteristik Kepemimpinan Pendidikan Islam Berbasis Masjid
Andri Adriansyah2
Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam, Universitas Ibnu Khaldun Bogor.
ABSTRACT
Leadership is the ideal of quality, both in terms of physical, mental, and intellectual. Maturity in
terms ofthis aspect will help a leader in carrying out the task. Knowledge and a wide perspective
is the key in solving many problems that block or make some breakthroughs for the success of
the important task of a leader. Islam encourage every Muslim to have these three types of power.
The strong and good believers are well loved by Allah more than the weak believers, each has a
virtue. For that, the vision and values of leadership comes from the ideal practices of Rasulullah
peace be upon him (Shalallahu 'alaihi wa sallam) and the Companions, it is necessary and must
continue to be extracted, distributed and socialized to become a strong issue in the stage of
leadership in society. Therefore, a good leadership is absolutely needed by the community, and
of course the leaders are expected to appear is a leader that has a nature or character laudable.
That is, on the side of truth, justice, has the nature of trust, a worthy model, simplicity, greatness
of the soul, forgive person, and others who emphasize kindness for the people.One of the
leadership Islamic education models is leadership based mosque, the mosque is a place where
Muslims join together in routines worship, both (hablum minallah) (relationship between human
and Allah) or (hablum minannas) (relationship between human and human). For Muslims, the
mosque become the heart moorings, the port development and the life energy of Muslims.
mosques also function as institutions of education and knowledge of Islam. In addition, the
mosque is also a place that can be delivered candidates Islamic leaders in the future, as
evidenced (applied) by Rasulullah peace be upon him (Shalallahu 'alaihi wa sallam), he built
with the friends so that future generations be able to lead the best and people through
developments that centred in mosque. People were educated in mosques in a shelter of the high
Islamic society and give priority in deliberation for solving problems. The mosque which was
established on the basis of devotion to Allah will inure to the influence of education in human
life. Thus, the mosque-based leadership can bear a good leader, the leader of a people-oriented
development, so that it can be delivered to devotee individuals, able to lead and bring the next
generation achieve their hopes; establishing a believer for himself, family, community, nation
and state.
ABSTRAK
Kepemimpinan adalah kualitas ideal, baik dari segi fisik, mental intelektual. Kedewasaan dalam
hal aspek ini akan membantu seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya. Pengetahuan dan
perspektif yang luas adalah kunci dalam memecahkan banyak masalah yang membuat terobosan
bagi keberhasilan tugas penting seorang pemimpin. Islam mendorong setiap muslim untuk
memiliki ketiga jenis kekuasaan ini. Orang-orang terpercaya dan kuat lebih dicintai Allah dan
lebih baik dari orang-orang yang lemah, masing-masing memiliki kebajikan. Untuk itu, visi dan
nilai kepemimpinan berasal dari praktik ideal Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan para
Sahabat, perlu dan harus terus didistribusikan dan disosialisasikan untuk menjadi isu kuat dalam
tahap kepemimpinan di masyarakat. Oleh karena itu, kepemimpinan yang baik sangat
dibutuhkan oleh masyarakat, dan tentu saja pemimpin diharapkan memiliki sifat atau karakter
terpuji, yaitu, di sisi kebenaran, keadilan, memiliki sifat kepercayaan, model yang layak,
kesederhanaan, kebesaran jiwa, berjiwa besar, dan lain-lain yang menekankan kebaikan bagi
rakyat. Salah satu kepemimpinan model pendidikan Islam adalah kepemimpinan berbasis masjid.
Masjid adalah tempat dimana umat Islam bergabung bersama dalam ibadah rutin, baik hubungan
antara manusia dan Allah atau hubungan antara manusia dan manusia. Bagi umat Islam, masjid
menjadi tambatan hati, pembangunan pelabuhan dan energi kehidupan umat Islam. Masjid juga
berfungsi sebagai institusi pendidikan dan perdaban Islam. Selain itu, masjid juga merupakan
tempat yang bisa mengantarkan calon pemimpin di masa depan, sebagaimana diterapkan oleh
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, Ia membangun masjid bersama para sahabatnya sehingga
menjadi generasi penerus umat terbaik melalui pembinaan yang berpusat di masjid. Orang-orang
besar itu dididik di masjid yang merupakan tempat pembinaan masyarakat Islami juga dapat
memecahkan permasalahan umat. Masjid yang didirikan atas dasar pengabdian kepada Allah
akan sesuai dengan pengaruh pendidikan dalam kehidupan manusia. Dengan demikian,
kepemimpinan berbasis masjid dapat melahirkan pemimpin yang baik, pemimpin pembangunan
yang visioner sehingga mampu memimpin dan membawa generasi penerus mencapai cita-cita
mereka dengan penuh amanah, baik untuk dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara.
Berdasarkan tipe-tipe di atas, tipe pemimpin masjid yang paling cocok menurut
Mohammad Ayub (1996: 56), adalah tipe kepemimpinan situasional, dengan karakteristik
sebagai berikut: a) Supel dan Luwes; b) Berwawasan luas; c) Mudah menyesuaikan diri
dengan lingkungan; d) Mampu menggerakkan bawahan; e) Bersikap keras pada saat-saat
tertentu; f) Berprinsip dan konsisten terhadap suatu masalah; g) Mempunyai tujuan yang
jelas; h) Bersikap terbuka bila menyangkut bawahan; i) Mau membantu memecahkan
permasalahan bawahan; j) Mengutamakan suasana kekeluargaan dan komunikatif; k)
Mengutamakan produktifitas kerja; l) Bertanggungjawab dan mau memberikan
tanggungjawab; m) Memberikan kesempatan pada bawahan untuk mengutarakan
pendapat pada saat-saat tertentu; n) Melakukan atau mengutamakan pengawasan melekat;
o) Mengetahui kelebihan dan kelemahan bawahan; p) Mengutamakan kepentingan
bawahan; q) Bersikap tegas dalam situasi dan kondisi tertentu; dan r) Aspiratif; mau
menerima saran dan kritikan dari bawahan.
Figur dengan karakteristik seperti itu akan mudah diterima oleh jama‟ah yang pada
kenyataannya sangat beragam. Jama'ah masjid memerlukan pemimpin yang ideal dan
tidak kaku yang bisa diajak berbicara oleh lapisan sosial manapun. Pemimpin yang
bertipe situasional merupakan pilihan paling efektif untuk kepentingan jama'ah Masjid.
Sebab kepemimpinan lebih merupakan “Seni” ketimbang ilmu. Kenyataan kerap
menunjukan, seseorang yang piawai menguasai disiplin ilmu tertentu belum tentu mampu
memimpin. (Muhammad E. Ayyub, 1996 : 55-56).
Lebih jauh Ayub menjelaskan, pengurus masjid yang dalam melaksanakan tugas
kegiatan pelaksanaan ibadah memihak satu golongan atau faham akan mengakibatkan
jama'ah itu pasif. Dia menambahkan, menolak sikap/faham golongan yang kebetulan
tidak sehaluan, di samping tidak memperlihatkan jiwa besar, juga akan menjadikan
kegiatan masjid kehilangan gairah. Perbedaan faham dalam masalah khilafiyah, misalnya,
bukan harga mati untuk menolak kerjasama yang berdimensi keagamaan. Adalah ironis
jika pengurus masjid sampai terjebak pada fanatisme sempit atas nuansa perbedaan yang
bersifat tidak terlalu prinsip. Oleh karena itu, pengurus masjid justru harus berangkat dari
kesadaran dan pemahaman bahwa jama'ahnya beraneka ragam. (Muhammad E.Ayub,
1996:56)
Dengan demikian, hubungan dan kerjasama pengurus dengan jama'ah sangat
diperlukan dalam mengatasi berbagai problematika "masjid. Tanpa kerjasama, masalah
tetap tinggal masalah. Kerjasama sangatlah dibutuhkan terutama untuk meringankan
pengurus dalam melaksanakan berbagai kegiatan (syi'ar Islam) di masjid. Dari tipologi
pemimpin berbasis masjid inilah penulis dapat memberi catatan bahwa: a) Imam Masjid
adalah orang yang memiliki wawasan yang lebih (faham ilmu agama) faham tentang ilmu
Alqur'an dan As-Sunnah dan dasar-dasar ilmu agama Islam bacaannya fasih, banyak
hafalannya) daripada makmumnya, dipercaya untuk memimpin jama‟ah khususnya
dalam berkomunikasi secara vertikal dengan Allah. Disamping itu, imam masjid harus
dapat memahami kondisi objektif Masyarakat sekitarnya dari berbagai heterogenitas
sosial, didalamnya termasuk mengetahui aliran (corak) pemahaman keagamaan yang
berkembang dan dianut oleh masyarakat sekitarnya; b) Ketika makmum mendapati
kekeliruan atau kesalahan yang dilakukan oleh Imam, maka makmum wajib
mengingatkannya, tidak boleh berdiam diri. Begitu pula Imam shalat harus menyadari
kesalahannya untuk mau diperbaiki atau dikoreksi, hal ini demi untuk menyelamatkan
pelaksanaan dan kesempurnaan shalat jama‟ah. Ini berarti, bahwa ketika seorang Imam
atau pemimpin berbuat kesalahan maka harus bersedia menerima koreksi, kritik untuk
diperbaiki. Begitu pula bawahan (masyarakat) harus berarti meluruskan kesalahan
pemimpin. Karena bila dibiarkan itu terjadi maka akan menyebabkan kehancuran
terhadap sistem kerja yang menjadi tanggung jawab semua pihak (atasan dan bawahan);
dan c) Seorang pemimpin harus netral dan independent, yakni tidak mementingkan atau
memihak kepada kepentingan salah satu kelompok, baik itu partai atau organisasi
tertentu.
Eksistensi Masjid
Dewasa ini umat Islam terus menerus mengupayakan pembangunan masjid.
Bermunculan masjid-masjid baru di berbagai tempat, disamping renovasi atas Masjid-
masjid lama. Semangat mengupayakan pembangunan rumah-rumah Allah (S.W.T) itu
layak dibanggakan. Hampir di seluruh tanah air tidak ada yang tidak tersentuh oleh
pembangunan masjid. Ada yang berukuran kecil tapi mungil, dan ada yang berukuran
besar dan megah. Namun tidak sedikit pula masjid yang terkatung-katung
pembangunannya dan tidak kunjung rampung, terutama di daerah-daerah yang solidaritas
jamaahnya belum kuat (Muhammad. E. Ayyub, 1997 : 15).
Setelah bangunan masjid itu berdiri, volume kegiatan yang berlangsung di dalamnya
juga beragam. Ada yang mampu mengintensifkan kegiatannya seharian penuh dengan
menyelenggarakan tingkat pendidikan rendah sampai tinggi. Sebaliknya, tidak sedikit
jumlah masjid yang pembangunannya diusahakan dengan susah payah justru sepi dan
kegiatan (syiar). Banyak dijumpai di sana-sini masjid berfungsi hanya satu minggu
sekali, hanya untuk shalat jumat saja.
Pada zaman dahulu, mereka yang membangun masjid mulai dari pengurusannya sampai
tukangnya adalah para iltizam, yaitu pribadi-pribadi yang mempunyai komitmen dengan
Islam. Kini menghimpun dan mengumpulkan sejumlah manusia bertaqwa semacam itu
merupakan pekerjaan sulit. Maka kompromi dengan kondisi dan situasi objektif dengan
zaman mesti diambil. Dalam perkembangannya, sebagaimana yang terjadi saat ini, bahwa
terkadang panitia pembangunan masjid begitu antusias aktif di masjid ketika proses
berlangsungnya pembangunan masjid,karena memang itu menjadi resiko yang logis.
Namun, begitu masjid telah berdiri, seakan tanggung jawabnya juga selesai dan mereka
hanya sesekali mengunjungi masjid. Ironisnya, hal-hal seperti itupun makin menjadi
pemandangan biasa, sebagai “Proyek" si pemborong yang terbiasa berfikir dalam
perhitungan benefit menggunakan para pekerja. Mereka bekerja keras membangun
masjid bahkan tinggal di masjid, tetapi tidak pernah melaksanakan shalat. Bagi mereka
tidak ada bedanya antara kerja membangun gedung biasa dengan mendirikan
masjid.Belum pernah adapihak yang memberlakukan sanksi bagi para pekerja di masjid
yang tidak shalat. Mungkin saja ada yang menasehati mereka tetapi tidak sampai pada
tindakan pemecatan. Padahal, tidak sedikit pemborong bangunan yang berpredikat haji
(Muhammad, E. Ayyub,1997 : 15).
Jika dilihat dari fungsinya, seharusnya setelah masjid itu berdiri dalam rangka
membangun mentalitas dan peradaban umat. Dengan demikian, secara teoritis mestinya
terdapat hubungan timbal balik yang saling memaknai antara keduanya. Kalau pada
mulanya “umat membangun masjid” sekarang saatnya “masjid yang membangun umat”.
Keterikatan semacam ini, khususnya di desa-desa belum terlihat. Karena itu perlu dikaji
kembali fungsi masjid yang sesungguhnya sebagaimana fungsi masjid di zaman
Rasulullah, yakni “masjid didirikan atas dasar taqwa”, sehingga masjid berfungsi yang
sesungguhnya dan berlaku secara permanen sepanjang waktu.
Rasulullah memakmurkan masjid sebagai tempat pembinaan Umat. Benang merah
kemakmuran masjid dirangkai dari pembinaan yang intensif. Pada zaman Nabi, masjid
senantiasa padat dengan kegiatan syi‟arnya, terutama shalat berjama'ah, sehingga masjid
tidak pernah sepi dari kegiatan ubudiyah untuk meningkatkan taqwa. Keadaannya
berbeda dengan zaman ini, wujud/fisik masjid begitu megah, namun sepi dari kegiatan
syi'ar Islam, hal ini merupakan penyimpangan fungsi yang sesungguhnya.
Ketidakberdayaan masjid sebagai media pembinaan umat terlihat dengan jelas, terutama
di masjid-masjid perkampungan. Suara adzan pun terkadang jarang dikumandangkan
setiap awal waktu shalat, apalagi waktu subuh Begitu pula di kota-kota, banyak masjid
yang berdiri megah, indah, tempatnya strategis namun jama'ahnya hanya beberapa orang
saja, lebihlebih pada waktu shalat subuh.
KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, bermula dari sejarah kepemimpinan masjid,
peranan dan fungsi kelembagaan masjid. Penulis mencoba menarik benang merah dari
karakteristik kepemimpinan berbasis masjid. Bahwa seorang pemimpin hendaklah
memiliki beberapa kariteria yang perlu ditanamkan, antara lain sebagai berikut: 1)
Kepemimpinan berbasis masjid dapat melahirkan pemimpin yang baik, yaitu pemimpin
yang berorientasi pada pembinaan umat, sehingga dapat melahirkan pribadi-pribadi yang
bertaqwa, mampu mengarahkan dan menghantarkan bawahan (generasi) untuk mencapai
cita-citanya, yakni membentuk pribadi-pribadi yang beriman dan bermaslahat bagi
dirinya, keluarganya, masyarakat dan agamanya. Untuk itulah, nilai-nilai luhur
kepemimpinan yang diajarkan Islam hanya dapat dilaksanakan secara maksimal jika
pelakunya seorang mukmin. Karena seorang mukmin akan menyadari bahwa kebaikan
yang dilakukannya akan mendapat pahala, sedangkan keburukan yang diperbuat akan
berakibat datangnya azab; 2) Keahlian yang teruji dipadu dengan integritas pribadi yang
terpuji membuat seorang pemimpin mudah diterima oleh masyarakat. Tegasnya seorang
pemimpin harus memiliki kemampuan dan keahlian (kapabilitas), ini merupakan syarat
mutlak dalam meletakan amanah di pundak seseorang. Seperti disebutkan dalam teori
manajemen, ”The right man on the right place" (orang yang tepat di tempat yang benar).
Rusaknya sebuah sistem organisasi, banyak diakibatkan oleh penempatan tugas dan
amanah secara asal-asalan, yang seringkali dilatari oleh kepentingan dan subyektifitas; 3)
Pemimpin yang baik senantiasa mengupayakan terwujudnya kemaslahatan umat. Aspek
inilah yang banyak diabaikan oleh pemimpin mat saat ini Orientasi kepemimpinan yang
semestinya ditujukan kepada kemaslahatan umat berubah ke arah kepentingan dan
kekuasaan. Padahal Rasulullah Shallallahu „alaihi wasallamsudah memberi peringatan
keras, “Siapa yang memimpin dan ia tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka
ia tidak termasuk dalam golongan mereka”. (HR Bukhari dan Muslim). Selain itu,
seorang pemimpin hendaknya tidak arogan, tidak otoriter tetapi bersedia menerima
koreksi. Pemimpin yang baik juga memiliki karakter bersahaja dan bijaksana; 4)
Pemimpin yang ideal adalah yang berkualitas, baik dari segi fisik, mental dan intelektual.
Kematangan dalam segi-segi ini sangat membantu seorang pemimpin dalam
melaksanakan tugas. Pengetahuan dan wawasan yang luas, kunci dalam memecahkan
berbagai persoalan yang menghadang atau melakukan terobosan-terobosan penting bagi
keberhasilan tugas seorang pemimpin. Islam sangat menganjurkan kepada setiap muslim
untuk memiliki tiga jenis kekuatan ini, yaitu;bahwa mukmin yang kuat dan baik lebih
dicintai oleh Allah SWT dari pada mukmin yang lemah, masing-masing mempunyai
kebaikan.
Dalam kenyataannya, kepemimpinan seseorang memang tak bisa membuat semua
orang lega. Walaupun demikian, seorang pemimpin yang memiliki program yang benar
dan sudah dimusyawarahkan dengan penasehat-penasehat yang berpengalaman, tak boleh
mundur dan patah semangat. Tentu saja, ia juga harus memiiiki tim kerja yang solid dan
mumpuni, yang sanggup menerjemahkan visi menjadi bukti, tidak sekedar mengumbar
harapan palsu, janji tanpa bukti, atau hanya pintar berkarya dengan kata tanpa berkarya
dengan nyata.
Mudah-mudahan pada setiap pribadi pemimpin di negeri ini, baik pemimpin agama
terlebih pemimpin bangsa dan negara benar-benar terdapat potensi seperti yang
diidamkan oleh seluruh rakyat negeri tercinta ini sebagaimana karakteristik pemimpin
berbasis masjid serta berkomitmen dalam mewujudkan visi dan misinya, dalam upaya
membawa seluruh rakyatnya pada peningkatan kelayakan hidup yang lebih sejahtera,
damai, adil, dan makmur serta berwibawa dalam kancah pergaulan internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an dan Terjemahnya, Madinah Al-Munawarah, KSA: Komp. Percetakan Al-Qur‟an al-
Karim Raja Fahd, 1419 H.
Al-Hadits. Shahih Bukhari Muslim, Tt .
Abu Faris, Muhammad Abdul Qodir, Menelusuri Jejak Hijrah Nabi (Terj.) Nurqosim, Jakarta:
Pustaka Qalami, 2004.
Al-Abrasy, Muhammad Atiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1970. __________Ruh Al-Tarbiyah Wa Al-Ta'lim, Saudi Arabia: Tt. X.
Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, Cet. II.
An-Nahlawi, Abdurrahman, Ushul Al-Tarbiyah al-Islam wa Asaalibuha. Beirut: Darul Fikr,
1979. __________Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Terj.) Jakarta: Gema
Insani Press, 1995.
Departemen Agama RI, Ilmu Pendidikan, Jakarta; Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, 1997.
E. Ayub, Muhammad, dkk, Manajemen Masjid, Jakarta: Gema Insani Press. 1996.
Farid, Miftah, Masjid, Bandung: Pustaka,1995, Cet-II.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995.
Langgulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka AlHusna, 1988.
Mursi, Muhammad Munir, Al-Tarbiyah Al-Islamiyah, Qatar: Muntaqah Darul Ma'arif, Tt
Raqith, Hamad Hasan, Mas'uliyatud Da'wah Ilallah, (terj.). Ibnu Burdah: Meraih Sukses
Perjuangan Da'i, Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2001.
Siswanto, Panduan Praktis Organisasi Remaja Masjid, Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2005.