165-Article Text-561-1-10-20210221
165-Article Text-561-1-10-20210221
165-Article Text-561-1-10-20210221
DOI: https://doi.org/10.31933/unesrev.v3i2
Diterima: 11/01/2021, Diperbaiki: 22/01/2021, Diterbitkan: 20/02/2021
Agnes Fajri
Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Ekasakti, Padang, Indonesia
Email: [email protected]
Corresponding Author: Agnes
ABSTRACT
The application of criminalism in investigating obscene crimes against speech impaired victims
by the PPA Unit of the Satreskrim Polres Agam is a science to help strategies in making light of
cases. Criminal science is used to obtain information from victims as crown witnesses or victim
witnesses, which is rather difficult to do. This is because the daily conditions of the victim cannot
hear (deaf), do not speak (mute), so they cannot communicate properly like normal people, and
never go to school. In this regard, investigators use criminalistic science with forensic
psychology aids, forensic medicine aids and body language or sign science for the deaf. In
forensic medicine, it is used by doing visum et repertum as evidence of violence against the
reproductive organs. Forensic Psychology is used to examine the victim's psyche and his honesty
about what he is going through. During the investigation into the investigation, the victim was
also accompanied by a teacher from the Lubuk Basung Special Elementary School (SDLB).
Victims are also examined using props or pictures to make it easier for victims to remember
what happened to them, because the victim's memory as a person with a mute disability has
limitations.
PENDAHULUAN
Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. menyatakan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum menurut Munir Fuady adalah suatu sistem
kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam
suatu konstitusi, dimana semua orang dalam negara tersebut, baik yang diperintah maupun yang
memerintah harus tunduk pada hukum yang sama, sehingga setiap orang yang sama
diperlakukan sama dan setiap orang berbeda diperlakukan berbeda dengan pembedaan yang
rasional, tanpa memandang perbedaan warna kulit, ras, gender, agama, daerah, dan kepercayaan
dan kewenangan pemerintah dibatasi undang undang.
Page 186
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 3, Issue 2, Desember 2020
Kejahatan merupakan perilaku seseorang yang melanggar hukum positif atau hukum
yang telah dilegitimasi berlakunya dalam suatu Negara. Didalam pergaulan masyarakat, setiap
hari terjadi hubungan antara anggota - anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya.
Pergaulan tersebut menimbulkan berbagai peristiwa atau kejadian yang dapat menggerakkan
peristiwa hukum. kejahatan hadir di tengah masyarakat sebagai model perilaku yang sudah
dirumuskan secara yuridis sebagai pelanggar dan dilarang oleh hukum dan telah ditetapkan oleh
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Hukum Pidana merupakan sarana yang penting dalam penanggulangan kejahatan atau
mungkin sebagai obat dalam memberantas kejahatan yang meresahkan dan merugikan
masyarakat pada umumnya dan korban pada khususnya. Penanggulangan kejahatan tersebut
dapat dilakukan secara preventif (pencegahan) dan represif (penindakan). Sesuai dengan sifat
sanksi pidana sebagai sanksi terberat atau paling keras dibandingkan dengan jenis-jenis sanksi
dalam berbagai bidang hukum yang lain, idealnya fungsionalisasi hukum pidana haruslah
ditempatkan sebagai upaya terakhir (ultimum remidium).
Pada proses hukum acara pidana penyidikan merupakan dasar untuk menentukan suatu
perbuatan sebagai tindak pidana dan sebagai proses pengumpulan alat bukti yang lengkap.
Dalam ketentuan umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu Undang-
undang Nomor 8 tahun 1981, Pasal 1 butir 1 dan 2 merumuskan pengertian penyidikan.
Penyidikan tindak pidana pada hakekatnya adalah suatu upaya penegakan hukum yang bersifat
pembatasan dan pengekangan hak hak warga negara, bertujuan untuk memulihkan terganggunya
keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum agar terpelihara dan
terciptanya situasi keamanan dan ketertiban, oleh karena penyidikan tindak pidana juga
merupakan bagian dari penegakan hukum pidana, maka harus dilaksanakan berdasarkan
ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku.
Pada proses penyidikan penyidik biasanya menggunakan ilmu-ilmu bantu lain guna
mengungkap suatu kasus tindak pidana salah satunya adalah ilmu bantu kriminalistik. Ilmu bantu
kriminalistik ini juga menggunakan ilmu-ilmu alam untuk menunjang penerapannnya.
Kriminalistik adalah ilmu pengetahuan untuk menentukan terjadinya kejahatan dengan
menggunakan ilmu bantu lainnya seperti: ilmu kedokteran kehakiman (sekarang ilmu kedokteran
forensik), ilmu racun kehakiman (sekarang toksikologi forensik) dan ilmu penyakit jiwa
kehakiman (ilmu psikologi forensik).
Salah satu tindak pidana yang terjadi di wilayah hukum Polres Agam adalah tindak
pidana pencabulan dan persetubuhan yang dilakukan terhadap korban yang menderita
disabilitas. Penyidik kesulitan dalam hal memperoleh keterangan dari korban dikarenakan
kondisi korban sebagai seorang disabilitas. Dalam perkara tindak pidana cabul ini, penyidik
memerlukan peran ilmu kriminalistik guna mengungkap perkara tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka permasalahan yang dibahas
adalah penerapan ilmu kriminalistik dalam penyidikan tindak pidana cabul terhadap korban tuna
wicara oleh unit PPA Satreskrim Polres Agam.
Page 187
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 3, Issue 2, Desember 2020
METODE PENELITIAN
Spesifikasi penelitian adalah deskriptif analitis, dengan metode pendekatan yuridis
normative didukung oleh yuridis empiris. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data
sekunder diperoleh dari studi dokumen dan studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian
dianalisa secara kualitatif .
Page 188
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 3, Issue 2, Desember 2020
keadaan mayat postmortem, perlukaan, abortus, dan pembunuhan anak, perzinahan, dan
perkosaan, serta pemeriksaan noda darah. visum et repertum adalah keterangan tertulis yang
dibuat oleh dokter dalam ilmu kedokteran forensik atas permintaan penyidik yang berwenang
mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau
diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk
kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana.
Kejahatan yang dilakukan terhadap penyandang disabilitas sebagian besar tidak terlihat,
dan dapat diperkirakan bahwa kejahatan terhadap penyandang disabilitas lebih sering terjadi dari
pada terhadap seseorang tanpa kondisi disabilitas. Penyandang disabilitas memiliki resiko besar
mengalami kekerasan dari pada seseorang tanpa kondisi disabilitas. Lazimnya, pelecehan
seksual terhadap penyandang disabilitas relatif lebih tinggi.
Dalam pemeriksaan, Penyidik mengalami kesulitan berkomunikasi karena korban
merupakan penyandang disabilitas rungu dan disabilitas wicara. Pada perkara ini juga tidak ada
saksi yang melihat langsung peristiwa pidana tersebut. Hanya diketahui secara langsung oleh
korban dan tersangka. Penyidik dalam membuat terang perkara tersebut harus membuktikan
unsur daripada Pasal yang disangkakan yaitu Pasal 286 Jo Pasal 285 Jo Pasal 289 KUHP.
Masalah tersebut teratasi ketika adik dari korban membantu komunikasi dengan korban.
Pada pemeriksaan penyidikan korban juga di damping oleh guru dari Sekolah Dasar Luar Biasa
(SDLB) Lubuk Basung. Pada awalnya korban menunjukan tempat dimana tersangka
menyetubuhi korban yaitu bertempat di Rumah Kosong dekat kantor Wali Jorong, di dekat
Batang Sawit belakang rumah, namun saksi tidak mengetahui pasti kapan waktu nya tersangka
melakukan persetubuhan terhadap korban tersebut karena korban tidak dapat menjelaskannya.
Waktu terjadi persetubuhan oleh penyidik kemudian diperkira terjadi berdasarkan pada hasil
pemeriksaan ahli forensik yang berbentuk hasil visum et repertum. Korban juga menerangkan
bahwa tersangka sering menyetubuhi nya. Cara dilakukannya persetubuhan diterangkan oleh
korban dengan cara memperagakan kembali apa yang dilakukan tersangka terhadapnya.
Kesulitan penyidik memeriksa korban lainnya adalah selain tidak dapat mendengar
(Tuli), tidak berbicara (bisu), sehingga tidak dapat berkomunikasi layak nya seperti orang
normal, dan tidak pernah bersekolah, sehingga pemikirannya seperti anak-anak karena tidak
mengetahui apa yang dilakukan tersebut baik atau salah dan korban tersebut tidak mengetahui
apa yang telah dialaminya sekarang salah atau benar dan apa akibatnya. Untuk mengatasi ini
penyidik menggunakan jasa penerjemah yaitu Guru SDLB Lubuk Basung. Fungsi penerjemah
adalah mengartikan Bahasa tubuh yang digunakan korban dalam memberikan keterangan
terhadap penyidik. Namun, ternyata mengalami kesulitan karena bahasa isyarat korban dengan
penerjemah berbeda, serta jenjang pendidikan korban yang tidak pernah bersekolah. Selanjutnya,
penerjemah berinisiatif memanggil adik korban untuk membantu menerjemahkan bahasa isyarat
antara korban dengan Penyidik.
Keterbatasan berupa tidak dapat berbicara dan mendengar dengan baik penyidik
mengalami kesulitan saat dimintai keterangan. Untuk menjamin hak penyandang disabilitas
rungu-wicara terpenuhi sesuai Peraturan Perundang-undangan, mereka wajib didampingi oleh
Page 189
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 3, Issue 2, Desember 2020
penerjemah bahasa isyarat yang memadai. Pada pemeriksaan Tindak pidana cabul dengan korban
tuna rungu dan tuna wicara dalam memeriksa korban digunakan alat peraga atau gambar untuk
mempermudah korban mengingat peristiwa yang menimpanya, karena ingatan korban sebagai
penyandang disabilitas tuna wicara memiliki keterbatasan. Kemudian, selain melakukan
rekonstruksi versi pelaku, rekontruksi juga dilakukan berdasarkan versi korban agar mendapat
cerita yang lebih utuh.
Bagi aparat penegak hukum yaitu polisi akan mudah membuktikan kebenaran materil bila
saksi dapat menunjukan bukti kesalahan yang melakukan tindak pidana dan tersangka mengaku
bukti tersebut yang digunakan dalam melakukan tindak pidana. Tetapi hal ini akan sulit untuk
membuktikan kebenaran materil, bila saksi tidak dapat menunjukann bukti permulaan tindak
pidana yang dilakukan tersangka. Bukti-bukti yang ditemukan ditempat kejadian dan seharusnya
saksi dapat menunjukan bahwa bukti tersebut yang digunakan atau milik korban atau saksi yang
digunakan oleh tersangka.
Guna melengkapi alat bukti untuk memenuhi unsur daripada suatu tindak pidana maka
disamping keterangan saksi korban, penyidik juga menggunakan bantuan ahli psikologi, ahli
hukum pidana dan kedokteran kehakiman.
Penyidikan kasus tindak pidana yang tidak didukung dengan alat bukti sah minimal dua
alat bukti sah untuk membuktikan bersalah atau tidak bersalah tersangka, maka aparat penegak
hukum sulit membuktikaan bersalah atau tidak bersalah tersangka. Eksistensi ilmu kriminalistik
di dalam hukum pidana materi sangat memberikan ruang untuk bagaimana ilmu-ilmu bantu yang
terdapat di dalam kriminalistik itu diterapkan dan difungsikan untuk bagaimana dapat berusaha
dalam upaya penegak hukum atau polisi untuk bisa dapat dengan muda membangun komunikasi
sambung nalar ilmu pengetahuan dalam menemukan pelaku tindak pidana. Perempuan disabilitas
yang tuna rungu dan tuna wicara di berbagai belahan bumi sering dipandang lebih rendah,
hingga pada akhirnya ketika terjadi praktek kekerasan atau pelecehan seksual pada mereka
adalah merupakan suatu hal yang wajar dan merupakan kodrat mereka yang kemudian
melahirkan sikap pasrah saja.
Untuk itu mengatasi berbagai persoalan tersebut petugas Unit PPA pun mendapatkan
bekal pelatihan khusus tentang teknik dan taktik penanganan para korban yang demikian,
termasuk juga personil dan ruangan pemeriksaannya pun khusus sehingga tidak menimbulkan
trauma yang lebih jauh lagi. Bagaimana menangani perempuan dan menangani anak tidak sama,
semuanya memerlukan kiat khusus sehingga pemeriksaan akan berjalan dengan lancar dan
akhirnya pelaku dapat dijerat sesuai dengan ketentuan perundang undangan yang berlaku.
Page 190
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 3, Issue 2, Desember 2020
Hal ini membuat tidak adanya SOP/mekanisme penanganan perempuan disabilitas sebagai
korban kekerasan seksual.
Kendala kedua adalah pihak penyidik yang memiliki keterbatasan waktu dalam
memproses berkas dari tindak pidana tersebut. Dengan keterbatasan waktu yang diberikan untuk
mengungkap tindak pidana tersebut, pihak penyidik mengalami kesulitan untuk menyelesaikan
berkas perkara seusia target yang di tentukan dari waktu satu bulan. Keterbatasan waktu adalah
terkait pada waktu penahan yang dijalani oleh pelaku. Sementara penyidik kesulitan untuk
memeriksa korban tindak pidana pencabulan yang tuna rungu dan tuna wicara. Berkas tersebut
baru dapat selesai atau terungkap setelah batas waktu penahanan hampir habis. Hal tersebut
dikarenakan jumlah atau kuota dari penyidik mengalami kekurangan personel. Saat ini, jumlah
personel penyidik yang terdapat di dalam Unit PPA Polres Agam adalah hanya 3 (tiga) orang
penyidik yang mengungkap tindak pidana kekerasan seksual pada korban disabilatas tuna wicara
dan tunan rungu. Pada kondisi sekarang, satu orang penyidik harus mengungkap sekitar 5-6
Laporan Polisi sehingga penyidik harus bekerja ekstra keras. Jumlah personel tersebut
berbanding jauh dengan besar wilayah dari kabupaten Agam dan jumlah penduduknya sehingga
dalam pelaksanaan pengungkapan tindak pidana kekerasan seksual pada korban disabilitas masih
kurang maksimal. Personel pada unit PPA Polres Agam juga diberi tugas untuk menangani
perkara lainnya.
Belum ada kebijakan yang menyediakan saksi ahli, penerjemah, visum kejiwaan,
pemeriksaan terkait disabilitas, contoh telinga, hidung dan tenggorokan bagi perempuan atau
anak perempuan dengan disabilitas rungu/ wicara korban kekerasan. Hal ini masih merupakan
bagian dari teknik dan taktik penyidik dalam melakukan penyidikan tindak pidana cabul dengan
korban disabilitas tuna rungu dan tuna wicara. Saksi ahli pada penyidikan ini didatangkan dari
kota Padang sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk dating ke Polres Agam.
Pada Penyidikan mengenai tindak pidana kekerasan seksual pada tuna wicara dan tuna
rungu, salah satu langkah penyidik mendapatkan alat bukti dari adanya tindak pidana kekerasan
seksual pada tuna wicara dan tuna rungu adalah dengan melakukan visum. Dalam
pelaksanaannya, tidak ditemukan kesulitan yang sangat memberatkan pihak penyidik, akan tetapi
sebagian besar korban beserta keluarganya yang melakukan visum adalah berasal dari keluarga
yang kurang mampu dalam hal perekonomian. Pihak korban dan keluarganya sering merasa
keberatan umtuk membayar proses visum yang cukup mahal. Visum yang dilakukan
mengeluarkan biaya rata-rata sekitar Rp. 60.000 hingga Rp. 300.000 dan belum termasuk obat-
obatan yang diterima. Perbedaan dalam penentuan tarif dalam melakukan visum sangat
tergantung dari pengobatan yang dilakukan. Visum dapat dilakukan di Rumah Sakit Kepolisian
setelah pembuatan surat pengantar SPKP yang berdasar kepada Laporan Polisi yang dibuat oleh
korban dan keluarganya dan pihak SPKP memproses dengan membuat surat permohonan kepada
kepala Rumah Sakit untuk melakukan visum kepada korban tindak pidana tersebut. Apabila
tidak terdapat surat permohonan dari SPKP maka hasil visum yang dilakukan oleh korban tidak
dianggap sah secara hukum sebagai alat bukti.
Page 191
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 3, Issue 2, Desember 2020
PENUTUP
Pihak pemerintah sebaiknya dapat membantu secara finansial kepada korban dan
keluarganya dari tindak pidana kekerasan seksual pada korban tuna wicara yang berasal dari
kurang mampu atau dapat memberikan subsidi untuk pembiayaan dari prosess visum sehingga
tidak memberatkan dari pihak korban dan keluarganya. Pihak penyidik dapat membuat
kerjasama dalam mekanisme penanganan korban tuna wicara yang menjadi korban tindak pidana
kekerasan seksual dengan membuka pelayanan khusus.
Page 192
E-ISSN: 2622-7045, P-ISSN: 2654-3605 Volume 3, Issue 2, Desember 2020
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Saleh, Hukum Tata Negara, Indepth Publishing, Bandar lampung, 2014.
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2001
Djisman Samosir, Segenggam Tentang Hukum Acara Pidana, Nuansa Aulia, Bandung, 2013
Reiter, Shunit, Diane N. Bryen, and Ifat Shachar, Adolescents with Intellectual Disabilities as
Victims of Abuse.” Journal of Intellectual Disabilities Vol 11(4), 2007
Page 193