Paper Rezi Tri Putri
Paper Rezi Tri Putri
Paper Rezi Tri Putri
Oleh:
Rezi Tri Putri
Pengacara pada Kantor Advocates & Legal Conultants SUDI PRAYITNO, S.H., LL.M.
Jl. S. Parman No. 115 D Lt. 2, Lolong, Padang, Sumatera Barat
e-mail : [email protected]
ABSTRACT
The authority of the Constitutional Court in resolving disputes over election results is
temporary, namely until the establishment of a Special Judicial Body as regulated in Article 157
paragraph (3) of Law Number 1 of 2015 as amended several times, most recently by Law
Number 6 of 2020. Currently, the Special Judicial Body has not yet been formed, so for the
simultaneous regional elections in 2024, it must be carefully prepared on how to design the
dispute resolution dispute over the results of the regional elections, which will be followed by all
provinces and regencies/cities in Indonesia. This research examines the authority of the
Constitutional Court and the institutional design and authority of the Special Courts Agency to
examine and adjudicate disputes over the results of the 2024 National Simultaneous Regional
Head Elections with the type of normative legal research. The results of this study are that in
resolving disputes over the results of the 2024 National Simultaneous Regional Elections, it is
not the authority of the Constitutional Court and to resolve disputes over the results of the
elections, a Special Judicial Body must be formed in the judicial environment under the Supreme
Court, namely the High Court.
ABSTRAK
1
sehingga untuk Pilkada serentak tahun 2024 harus dipersiapkan dengan matang
bagaimana desain penyelesaian sengketa perselisihan hasil Pilkada yang diikuti oleh
seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Penelitian ini meneliti tentang
kewenangan Mahkamah Konstitusi dan desain kelembagaan dan kewenangan Badan
Peradilan Khusus yang memeriksa dan mengadili sengketa perselisihan hasil Pemilihan
Kepala Daerah serentak Nasional 2024 dengan jenis penelitian hukum normatif. Hasil
Penelitian ini adalah dalam menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada serentak Nasional
2024 bukanlah kewenangan Mahkamah Konstitusi dan untuk menyelesaikan
perselisihan hasil pilkada harus dibentuk sebuah Badan Peradilan Khusus di
lingkungan Peradilan dibawah Mahkamah Agung yaitu di Pengadilan Tinggi.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945) yang telah empat kali dilakukan dengan retang waktu
dari tahun 1999 sampai tahun 2002, dengan tujuan untuk menciptakan suatu
pemerintahan yang demokratis, dengan amandemen tersebut mengakibatkan
perubahan yang fundamental terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia guna
menciptakan suatu pemerintahan yang demokratis. Salah satu bentuk wujud
nyata dari perubahan sistem ketatanegaraan Indonesia tersebut adalah
dibentuknya suatu lembaga peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi (MK)
Republik Indonesia, adapun tujuan dibentuknya MK adalah guna menjaga
pelaksanaan nilai-nilai konstitusi dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Dengan dibentuknya MK mengakibatkan kekuasaan kehakiman di Indonesia
dijlakanakan oleh dua lembaga peradilan yaitu Mahkamah Agung (MA) dan
MK (Satrio, 2015).
Kewenangan MK diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 salah
satunya adalah untuk memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum. Pemilihan umum berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD), perselisihan hasil pemihan tersebut merupakan kewenangan
MK untuk memutusnya, namun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2
2004 tentang Pemerintahan Daerah, MK juga berwenang untuk memutus
perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada), namun pada tahun 2013
MK menyatakan tidak lagi berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilihan
kepala daerah melalui Putusan Perkara Nomor 97/PUU-XI/2013 dengan alasan
pilkada bukanlah rezim pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (2)
UUD 1945 (Nazriyah, 2015).
Putusan perkara Nomor 97/PUU-XI/2013 menyebabkan ditetapkannya
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 yang
kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang yang telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi
Undang-Undang, selanjutnya disebut Undang-Undang Pilkada (Harun, 2016).
Berdasarkan undang-undang tersebut yang berwenang untuk memeriksa dan
mengadili sengketa hasil pemilihan kepala daerah adalah badan peradilan
khusus, namun yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa
perselisihan hasil pemilihan kepala daerah menjelang badan peradilan khusus
tersebut terbentuk adalah Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam
Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Pilkada yang berbunyi, “Perkara perselisihan
penetapan perolehan suara hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah
Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus”, namun sampai saat ini
badan peradilan khusus masih belum terbentuk. Butuh waktu untuk mendesain
badan peradilan khusus yang nanti akan berwenang memeriksa dan mengadili
sengketa hasil pilkada serentak nasional yang akan dilaksanakan pada tahun
2024 secara lebih sederhana dan efektif.
Akibat dari Badan Peradilan Khusus yang memeriksa dan mengadili
perselisihan hasil Pemilihan masih belum terbentuk sampai saat ini adalah
pilkada terakhir yaitu tahun 2020 sengketa perselisihan hasilnya masih diperiksa
dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi. Pilkada serentak tahun 2020 diikuti oleh
sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota
(Saihu, 2021), dari 270 daerah tersebut, sampai saat ini telah 155 permohonan
sengketa hasil Pilkada yang telah diregister di Mahkamah Konstitusi. Berkaca
dari banyaknya yang mengajukan Permohonan Sengketa Hasil Pemilukada ke
Mahkamah Konstitusi, tentu harus dipersiapkan dengan matang bagaimana
mekanisme penyelesaian sengketa perselisihan hasil Pemilukada serentak tahun
3
2024 yang diikuti oleh seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia yang
terdiri dari 34 Provinsi, 416 Kabupaten dan 98 kota.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Memeriksa dan
Mengadili Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah serentak
Nasional tahun 2024?
2. Bagaimana Desain Kelembagaan dan Kewenangan Badan Peradilan Khusus
yang Memeriksa dan Mengadili Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala
Daerah serentak Nasional tahun 2024?
C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif atau disebut
juga dengan penelitian hukum kepustakaan sehingga yang terutama
dipergunakan adalah data sekunder, yaitu data yang berasal dari bahan pustaka
(Soekanto, 2008, p. 11), adapun teknik mengumpulkan data sekunder yang
digunakan adalah studi dokumenter yaitu studi yang mengkaji tentang berbagai
dokumen-dokumen, baik yang berkaitan dengan peraturan perundang-
undangan maupun dokumen-dokumen yang sudah ada. Metode pendekatan
yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan
pendekatan analitis (analityc approach) (Mamuji, 2010, p. 19).
II. PEMBAHASAN
A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Memeriksa dan Mengadili
Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah serentak Nasional
tahun 2024
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga kekuasaan
kehakiman dalam sistem hukum ketatanegaraan Indonesia. Lahirnya
Mahkamah Konstitusi secara teoretis dan praktis melengkapi badan peradilan
Mahkamah Agung yang telah terbentuk sebelum UUD 1945 diamandemen.
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan yang
berbeda sebagaimana diatur dalam UUD 1945 (Sanger, 2018).
Amandemen UUD Tahun 1945 berpengaruh pada perubahan sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia. Salah satu perubahan yang fundamental
adalah adanya penguatan terhadap program otonomi daerah. Sebagaimana
diatur dalam Pasal 18 UUD Tahun 1945, yang pada pokoknya memberi
kewenangan otonomi kepada daerah otonom yang seluas-luasnya untuk
4
mengatur (regelendaad) serta mengurus (bestuurdaad) urusan pemerintahan yang
menjadi kewengannya. Otonomi merupakan pendesentralisasian wewenang
pemerintahan oleh pusat kepada daerah otonom dengan tujuan memberi
kebebasan dan kemandirian untuk mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya (Suhartono, 2015).
Otonomi yang diberikan kepada daerah otonom tidak hanya terbatas
pada urusan pemerintahan saja, namun juga dalam bentuk pendesentralisasian
kehidupan politik lokal, yang terwujud dalam Pemilihan langsung dalam
pengisian jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota, sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pilkada yang berbunyi “Pemilihan dilaksanakan
secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”
berdasarkan ketentuan tersebut, maka Gubernur, Bupati atau Walikota dipilih
secara langsung oleh rakyat.
Mekipun Pilkada dilaksanakan berdaarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil, namun masih ada kemungkinan potensi untuk
timbulnya pelanggaran dan sengketa dalam pelaksanaannya, salah satunya
sengketa hasil Pilkada, yaitu sengketa yang muncul akibat penetapan hasil
Pilkada oleh penyelenggara Pilkada. Sebagai suatu proses demokrasi di
Indonesia, maka jika terjadi sengketa hasil Pilkada harus diselesaikan dengan
tata cara dan melalui lembaga yang telah ditentukan oleh hukum yang berlaku
di Indonesia, agar tidak terjadinya konflik-konflik sosial di tengah-tengah
masyarakat (Suhartono, 2015).
Perselisihan hasil pilkada adalah perselisihan antara pasangan calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai peserta pilkada dengan KPU
provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota sebagai penyelenggara pilkada.
Adapun yang menjadi objek sengketa perselisihan hasil pilkada adalah
penetapan penghitungan suara hasil pemilihan kepala daerah yang ditetapkan
oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota yang mempengaruhi penentuan
calon untuk masuk ke putaran kedua pilkada atau terpilihnya pasangan calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah (Albab, 2018).
Penyelesaian sengketa hasil Pilkada dikenal sejak adanya peraturan
tentang Pilkada yang dilaksanakan secara langsung yaitu dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang memberi kewenangan kepada Mahkamah
Agung (MA) untuk menyelesaikan sengketa hasil Pilkada, sebagaimana diatur
dalam Pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi:
(1) Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada
5
Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah
penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan
hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
(3) Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud,
pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan
negeri untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
kabupaten/kota.
6
tahun 2013, dikarenakan MK mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 97/PUU-XI/2013MK yang menyatakan bahwa MK tidak berwenang
untuk mengadili sengketa hasil Pilkada langsung (Saragih, 2017).
Berdasarkan Putusan terebut, maka Mahkamah Konstitusi tidak
berwenang lagi memeriksa dan memutus sengketa hasil Pilkada langsung.
Namun, salah satu diktum Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 mengatur
bahwa: “Mahkamah Konstitusi masih berwenang mengadili perselisihan hasil
pemilhan umum kepala daerah selama belum ada undang-undang yang mengatur
mengenai hal tersebut”. Tujuan dari Diktum tersebut adalah agar mengisi
kekosongan hukum hingga ada peraturan perundang-undangan yang
mengatur lembaga peradilan apa yang berwenang untuk mengadili dan
memutuskan sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah. Pasca putusan MK
Nomor 97/PUU-XI/2013 terebut, lahirlah Undang-Undang Pilkada yang
mengatur bahwa “Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil
Pemilihan, peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan
hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung” (Pasal 157 UU No.
1 Tahun 2015). Namun ketentuan tersebut tidak berlaku lama, karena adanya
perubahan terhadap undang-undang tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 yang juga membawa perubahan kepada lembaga peradilan yang
berwenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa hasil Pemilukada yang
diatur dalam Pasal 157 yang berbunyi :
(1) Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Badan
Peradilan Khusus.
(2) Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk
sebelum pelaksanaanPemilihan serentak nasional.
(3) Perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan diperiksa
dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan
khusus”
7
Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Dr. Ibnu
Affan, 2019).
Undang-Undang Pilkada mengamanatkan Mahkamah Konstitusi untuk
memeriksa dan mengadili sengketa Pilkada selama belum dibentuk Badan
Peradilan Khusus, Badan Peradilan Khusus dibentuk paling lama sebelum
pelaksanaan Pilkada serentak Nasional. Lembaga yang diamanatkan atau
diberi tempat secara khusus oleh Undang-Undang untuk mengadili sengketa
Pemilihan Kepala Daerah adalah “Badan Peradilan Khusus”. Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 juga telah menyebut Badan Peradilan Khusus, namun
tidak secara langsung menyebut menangani sengketa Pilkada langsung secara
yuridis, akan tetapi dapat dibentuk untuk menjadi solusi yuridis atas masalah
yuridis tertentu di tengah masyarakat, diantaranya Pilkada langsung
(Sahabuddin, 2020).
Sejak tahun 2004 Mahkamah Konstitusi telah memeriksa dan mengadili
perselisihan hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi serta DPRD
Kabupaten/Kota seIndonesia, serta Presiden dan Wakil Presiden. Pengalaman
tersebut menjadi bekal bagi Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan
mengadili perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah
pada tahun 2008 (Wohon, 2021). Pemohon Perselisihan Hasil Pemilu dan
Pilkada tidak hanya mempermasalahkan penghitungan suara hasil pemilu
yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilu, melainkan juga berbagai
pelanggaran dalam dalam proses dan diseluruh tahapan pemilu tersebut.
Akibatnya, jumlah perkara perselisihan hasil pemilu yang terdaftar dan diadili
di Mahkamah Konstitusi sangat banyak dengan tenggang waktu yang sangat
pendek. Melihat volume jumlah perkara yang terdaftar, Mahkamah Konstitusi
cenderung menjadi Mahkamah Sengketa Pemilu (Election Court) karena jumlah
perkara perseliihan hasil pemilu yang ditangani lebih banyak volumenya
dibandingkan perkara pengujian undang-undang (Judicial Review) yang
merupakan kewenangan utama sebuah Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Pilkada, menjadi dasar
kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan mengadili perkara
perselisihan hasil pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Dalam setiap
pertimbangan hukum Putusan perkara perselisihan hasil pemilihan Kepala
Daerah, Mahkamah Konstitusi memaknainya dalam dua hal yaitu: Pertama,
kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan mengadili sengketa
perselisihan hasil pemilihan Kepala Daerah dalam Pilkada adalah kewenangan
yang non-permanen dan transisional, yaitu sampai dengan dibentuknya Badan
Peradilan Khusus dan saat badan peradilan khusus resmi terbentuk, maka saat
8
itu juga kewenangan Mahkamah Konstitusi harus ditanggalkan. Kedua,
kewenangan memeriksa dan mengadili perkara perselisihan penetapan
perolehan suara hasil pemilihan Kepala Daerah merupakan kewenangan
tambahan, karena kewenangan terebut tidak terdapat dalam ketentuan Pasal
24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (Wohon, 2021).
Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum
publik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Adminstrasi Pemerintahan. Menurut Philipus M. Hadjon
kewenangan yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau
penyelenggara negara hanya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu atribusi
atau dengan delegasi (Philipus M. Hadjon, 2008, p. 130). Menurut R. Soeroso
kewenangan mengadili dapat dibedakan menjadi dua yaitu kekuasaan
kehakiman atribusi dan kekuasaan kehakiman distribusi. Kekuasaan
kehakiman Atribusi adalah kewenangan mutlak suatu lembaga peradilan, atau
dikenal juga dengan kompetensi absolut, yaitu kewenangan lembaga peradilan
berdasarkan jenis perkara tertentu dan secara mutlak dan tidak dapat diperiksa
oleh lembaga peradilan lain. Sedangkan kekuasaan kehakiman distribusi atau
dikenal juga dengan kompetensi relatif, atau kewenangan lembaga peradilan
berdasarkan wilayah hukum suatu lembaga perdadilan (Soeroso, 2001, p. 77).
Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan juga mengatur tentang kewenangan yang
diperoleh oleh suatu Badan atau Pejabat Pemerintahan, yaitu dengan cara
pemberian Mandat, yakni pelimpahan kewenangan dari Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat
tetap berada pada pemberi mandate (Sahabuddin, 2020).
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara perselisihan
penetapan perolehan suara hasil pemilihan Kepala Daerah memiliki kualifikasi
yang berbeda dengan kewenangan yang diberikan langsung oleh Undang-
Undang Dasar 1945, karena sifat sementara yang diberikan Pasal 157 Undang-
Undang Pilkada. Pada saat MK menjalankan kewenangannya sesuai ketentuan
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, maka MK tunduk pada UUD 1945 dan posisi MK
berada ‘di atas’ undang-undang, namun saat memeriksa dan mengadili
sengketa pilkada posisi MK berada di bawah undang-undang dan hanya
sebagai pelaksana. Sebagai pelaksana undang-undang (Putra, 2018).
Badan Peradilan Khusus harus terbentuk sebelum pilkada serentak
Nasional 2024 sebagaimana diatur dalam Pasal 157 ayat (2) Undang-Undang
Pilkada yang berbunyi “Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
9
dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.”, karena Pilkada 2024
merupakan Pilkada serentak Nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 201 ayat
(8) Undang-Undang Pilkada yang berbunyi:
“pemungutan suara serentak Nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh
wilayahNegara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November
2024”
10
asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”, namun demikian masih ada
kemungkinan terjadinya pelanggaran dan sengketa dalam pelaksanaannya,
salah satunya sengketa Perselisihan Hasil Pilkada, yaitu sengketa yang muncul
akibat penetapan hasil Pilkada oleh penyelenggara Pilkada.
Perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah pada awalnya diperiksa dan
diadili oleh Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah karena Pilkada bagian dari pemerintahan
daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD Tahun 1945, kemudian
Undang-Undang tersebut diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
yang juga merubah tentang kewenangan penyelesaian perselisihan hasil
Pilkada yang beralih dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi
sebagaimana diatur dalam Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008. Kemudian
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 yang
pada hakikatnya menyatakan MK tidak lagi berwenang menangani
perselisihan hasil Pilkada dan dipertegas dengan terbitnya UU No. 1 Tahun
2015 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No.6 Tahun
2020 yang memerintahkan agar dibentuk sebuah Badan Peradilan khusus
Pilkada untuk memeriksa dan mengadili sengketa perselisihan hasil Pilkada.
Pembentuk Undang-Undang (pemerintah dan DPR) semestinya segera
melakukan terobosan untuk merealisaikan perintah UU Pilkada tersebut
dengan melakukan percepatan pembentukan Badan Peradilan Khusus sengketa
hasil Pilkada di daerah-daerah yang potensial. Political will pemerintah sangat
diperlukan demi menghindari potensi masalah konstitusional dalam
penyelesaian sengketa hasil pilkada. Sehingga seharusnya pembentukan
peradilan khusus pilkada Tidak dapat ditunda-tunda lagi karena sangat
dibutuhkan mengingat perkembangan perpolitikan di daerah. Selain itu,
perintah untuk membentuk Badan Peradilan Khusus tersebut telah tujuh tahun,
namun sampai saat ini Badan Peradilan Khusus belum terbentuk.
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 mengatur bahwa:
“Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk
memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk
dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung yang diatur dalam undang-undang”.
11
hasil Pilkada tersebut dapat terbentuk, maka akan menjadi solusi untuk
mengurangi beban perkara di Mahkamah Konstitusi, yang seharusnya fokus
pada penanganan masalah-masalah konstitusional yang menjadi kewenangan
dan kewajiban utama Mahkamah Konstitusi berdasarkan UUD 1945, tentu
dengan mengikuti paradigma dan mekanisme penyelesaian perselisihan hasil
pilkada langsung yang telah ditangani oleh MK (Sahabuddin, 2020).
Perubahan mekanisme penyelesaian sengketa perselisihan hasil Pilkada
dari kewenangan Mahkamah Konstitusi menjadi kewenangan Badan Peradilan
Khusus tersebut harus dibersamai dengan penghapusan ketentuan Pasal 158
ayat (1) UU Pilkada yang mengatur bahwa syarat formil selisih suara yang
dapat diajukan gugatan Perselisihan Hasil Pilkada yaitu rentang 0,5 - 2,0 %
yang disesuaikan dengan jumlah penduduk di daerah tersebut. Karena
ketentuan tersebut menyandera hak konstitusional seseorang dan berorientasi
pada penegakkan hukum yang bersifat legalistik formalistik. Selain itu syarat
formil dalam pasal terebut menabrak asas ius curia novit yang telah
termanifestasi dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Fauzi, 2018).
Pengadilan khusus dapat dibagi dua, yaitu: pertama yang kekhususannya
dilihat dari hukum materiil yang menjadi kewenangannya atau objek
perkaranya, kedua yang kekhususannya karena subjek yang terlibat dalam
perkara. Pengadilan khusus kategori pertama diantaranya adalah Pengadilan
HAM, Pengadilan ekonomi, Pengadilan Pajak, Pengadilan Niaga, dan
Pengadilan Perikanan. Pada pengadilan-pengadilan tersebut kompetensi
absolutnya berkaitan dengan objek hukum atau Objek perkara yang menjadi
wewenang pengadilan terebut, sedangkan pengadilan khusus yang termasuk
kategori kedua adalah Pengadilan Anak, subjek yang menjadi kekhususan
adalah tersangka/terdakwa, dalam hal ini anak yang masih berusia antara 8 -
18 tahun (Iwan Rois, 2018).
Peradilan khusus ciri utamanya ditandai dengan adanya hakim adhoc
diantara hakim-hakim karir yang bertugas memeriksa, mengadili dan memutus
suatu perkara di Pengadilan terebut. Adapun hakim adhoc direkrut secara
tersendiri melalui seleksi yang cukup ketat dan tidak harus ari orang dengan
latar belakang pendidikan hukum. Hakim adhoc direkrut dari orang-orang yang
mempunyai keahlian dan pengalaman di bidang tertentu yang berkkaitan
dengan pengadilan khusus tersebut. Maka dari itu dengan membentuk Badan
Peradilan Khusus sengkata Perselisihan Hasil Pilkada ini diharapkan mampu
menjawab tantangan di masa depan dengan permasalahan-permasalahan yang
semakin kompleks dengan menghasilkan putusan-putusan yang berkualitas
12
dan berkeadilan melalui proses peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan (Putra, 2018).
Ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang
mengatur bahwa Peradilan khusus dibentuk pada salah satu lingkungan badan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, meliputi Badan Peradilan
dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan
Peradilan Tata Usaha Negara, dari empat badan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung tersebut yang memiliki kewenangan dalam
memeriksa dan mengadili permasalahan atau sengketa Pemilihan adalah
Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 2 Perma Nomor 1
tahun 2018 mengatur bahwa Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi berwenang memeriksa dan mengadili tindak pidana Pemilihan, dan
berdasarkan ketentuan Pasal 470 Undang-Undang Pemilu Peradilan Tata Usaha
Negara berwenang memeriksa dang mengadili sengketa proses pemilu setelah
upaya administrasi di Bawaslu.
Dari dua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang
berwenang memeriksa dan mengadili permasalahan atau sengketa Pemilihan
Umum tersebut, maka Badan Peradilan Khusus yang berwenang memeriksa
dan mengadili Sengketa Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah sebagaimana
diamanatkan dalam pasal 157 Undang-Undang Pilkada adalah Badan Peradilan
Umum, karena Pemilihan Kepala Daerah termasuk salah satu bentuk pemilu
berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggaraan Pemilu, yang berbunyi: “Pemilu kepala daerah dan
wakil kepala daerah adalah pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah
secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasar Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Pengadilan Tata
Usaha Negara tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa hasil
Pemilihan Umum, sebagaimana ditegaskan dalam Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 7 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Sengketa mengenai
Pemilihan Umum Kepala Daerah. Surat Edaran tersebut menjelaskan bahwa
keputusan Komisi Pemilihan Umum, baik di tingkat pusat maupun daerah,
mengenai hasil pemilihan umum tidak dapat dijadikan objek gugatan di PTUN
berdasar ketentuan Pasal 2 huruf g UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
UU No. 51 Tahun 2009.
Berdaarkan hal-hal tersebut di atas maka Desain penyelesaian sengketa
perelisihan hasil pilkada oleh Badan Peradilan Khusus:
a. Lembaga Badan Peradilan Khusus adalah pengadilan adhoc khusus
perselisihan hasil pilkada, yang merupakan lembaga peradilan di bawah
13
Mahkamah Agung yang berada dalam lingkungan Peradilan Umum, karena
Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang memeriksa dan mengadili
sengketa hasil Pemilihan Umum, sebagaimana ditegaskan dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis
Sengketa mengenai Pemilihan Umum Kepala Daerah.
b. Ruang lingkup kewenangan Badan Peradilan Khusus sengketa Perselisihan
Hasil Pilkada merupakan pengadilan tingkat Banding dalam memeriksa dan
memutus sengketa hasil pilkada, mengingat beban perkara pada Pengadilan
tingkat Pertama yang banyak dan meminimalisir jumlah Badan Perdilan
Khusus dan hakim adhoc. Suatu Badan Peradilan Khusus berwenang
memerika beberapa sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah
berdasarkan kompetensi retalif Pengadilan Tingkat Banding atau Pengadilan
Tinggi tersebut.
c. bersifat Desentralistik yaitu penyerahan wewenang dari Pusat ke Daerah,
agar membuka akses yang lebih luas bagi pencari keadilan, dengan cepat
dan biayanya ringan, jika dibandingkan dengan penyelesaian yang
sentralistik.
d. Hakim berjumlah 5 orang, dengan rincian hakim karir 2 orang, dan hakim
adhoc 3 orang yang berasal dari Akademisi, Bawaslu Provinsi, dan Pengamat
Pemilu.
e. Sistem pelaksanaan pilkada diadakan serentak secara Nasional mulai tahun
2024 berdasarkan ketentuan Pasal 201 ayat (8) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 yang berbunyi:“pemungutan suara
serentak Nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayahNegara
Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024”
f. Hukum Acara yang berlaku dalam persidangan sengketa perselisihan hasil
pilkada diatur dalam peraturan tersendiri dengan berpedoman pada konsep
Hukum Acara sengketa perselisihan hasil pilkada yang sudah ada dengan
menyadur Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Pedoman Beracara
Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota.
14
Pembentukan Badan peradilan khusus yang memeriksa dan mengadili
perselisihan hasil pilkada di Indonesia bukanlah sesuatu yang sulit karena telah
berpengalaman dalam membentuk lembaga peradilan khusus, diantaranya
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), Pengadilan Hak Asasi Manusia
(HAM), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dan Pengadilan
Perikanan. Dasar Hukum Pembentukan Peradilan Khusus adalah Pasal 27 UU
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal tersebut memberi
wewenang kepada lembaga negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) untuk
membentuk suatu peradilan khusus di lingkungan peradilan dibawah
Mahkamah Agung. Dalam hal ini hanya menunggu kemauan politik (polical
will) pemerintah untuk membentuk badan peradilan khusus yang memeriksa
dan mengadili perselisihan hasil pilkada di Indonesia.
III. KESIMPULAN
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan mengadili
sengketa perselisihan hasil pemilihan Kepala Daerah dalam pilkada adalah
kewenangan yang non-permanen dan transisional, sehingga perlu segera dibentuk
Badan Peradilan Khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 157 Undang-Undang
Pilkada.
Peradilan Khusus sengketa hasil pilkada ini dapat dibentuk di Pengadilan
Tinggi, karena objek sengketa perselisihan hasil pilkada adalah penetapan
penghitungan suara hasil pemilihan kepala daerah, Pengadilan Tata Usaha Negara
tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa hasil Pemilihan sebagaimana
ditegaskan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2010.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
Albab, M. A. (2018). Problem Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hasil
Pilkada. Jurnal Hukum & Pembangunan, 546.
http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol48.no3.1745
Dr. Ibnu Affan, S. M. (2019). Menanti Kehadiran Pengadilan Khusus Pilkada. Jurnal Hukum
Kaidah . https://doi.org/10.33059/jhsk.v13i2.1079
15
Fauzi, I. D. (2018). Desain Badan Peradilan Khusus Pemilihan Kepala Daerah dalam Rangka
Menghadapi Pemilihan Kepala Daerah Serentak Nasional Tahun 2024. Jurnal Adhyasta
Pemilu , 34. https://doi.org/10.55108/jap.v1i1.3
Iwan Rois, R. H. (2018). Urgensi Pembentukan Peradilan Khusus Pemilu dalam rangka
Mewujudkan Integritas Pemilu. Jurnal Magister Hukum Udayana, 268.
https://doi.org/10.24843/JMHU.2018.v07.i02.p10
Sahabuddin, A. A. (2020). Konsep Peradilan Sengketa Pemilihan Kepala Daerah. PAULUS Lau
Jurnal, 32. https://doi.org/10.51342/plj.v2i1.152
Saihu, M. (2021). Belajar dari Pilkada Terakhir tahun 2020. Jurnal Etika dan Pemilu.
https://journal.dkpp.go.id/index.php/jep/article/view/20
16
Buku
Mamuji, S. S. (2010). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo
Persada,.
Philipus M. Hadjon, e. (2008). Pengantar Hukum Adminstrasi Negara. Jogjakarta: UGM Pers.
Siahaan, M. (2010). Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Edisi 2. Jakarta: Sinar
Grafika.
Soeroso, R. (2001). Praktek Hukum Acara Perdata; Tata Cara dan Proses Persidangan. Jakarta: Sinar
Grafika.
17