904-Article Text-3655-2-10-20230606
904-Article Text-3655-2-10-20230606
904-Article Text-3655-2-10-20230606
Ayub Mursalin
Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
[email protected]
Abstract
In Indonesian society, interfaith marriages always spark controversy. Due to
this fact, some people who are planning or have already begun an interfaith
marriage turn to the court to ask for the legalization of their marriage.
Through a doctrinal analysis using a comparative law approach, this article
aims to examine the arguments of judges in adjudicating and deciding
on the legality of interfaith marriages in three court institutions: the
Primary Court, the Supreme Court, and the Constitutional Court. Even
though the three court institutions have distinct absolute competencies,
it is vital to analyze them to identify any inconsistencies or harmonies
in the legal arguments, as this would have a significant impact on views
and even access to public law in the case. This paper argues that, on the
one hand, there is a legal conflict between the factors considered in the
Supreme Court’s judgment and those considered in the Primary Court’s
decision in situations involving interfaith marriages. While the Supreme
Court, which initially permitted interfaith marriages, now tends to forbid
them, the Primary Court’s reasoning generally tends to support interfaith
marriages. The Constitutional Court’s ruling in 2015 regarding the judicial
review of the Marriage Law of 1974 against the Constitution of 1945,
which in essence forbids interfaith marriage but does not violate the right
to establish a family, appears to have caused a change in the justification for
the Supreme Court’s decision.
Keywords: interfaith marriage; legality; disparity of judges’ decisions; legal
reasoning.
Ayub Mursalin
Abstrak
Legalitas perkawinan beda agama di Indonesia masih terus menjadi polemik
di tengah masyarakat. Fakta ini menyebabkan sebagian mereka yang
akan atau telah melangsungkan perkawinan beda agama untuk meminta
pengadilan sebagai forum yang bisa mengesahkan perkawinannya. Melalui
kajian doktrinal dengan pendekatan perbandingan hukum, artikel ini akan
mengungkap argumen hakim dalam mengadili dan memutus legalitas
perkawinan beda agama pada tiga lembaga pengadilan yang berbeda, yaitu
Pengadilan Negeri, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi. Meski
ketiga lembaga pengadilan tersebut memiliki kompetensi absolut yang
berbeda, kajian terhadapnya menjadi penting dalam upaya menemukan
keselarasan atau ketidakselarasan argumentasi hukum, dan ini akan sangat
menentukan sikap dan bahkan akses hukum masyarakat dalam perkara
tersebut. Hasil kajian menunjukkan adanya ketidakselarasan logika hukum
antara putusan-putusan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung maupun
Mahkamah Konstitusi terhadap perkara legalitas perkawinan beda agama
yang diajukan para pemohon. Putusan-putusan Pengadilan Negeri pada
umumnya cenderung membolehkan perkawinan beda agama, sedangkan
Mahkamah Agung, yang awalnya membolehkan perkawinan beda agama,
sekarang memiliki kecenderungan untuk melarangnya. Pergeseran
kecenderungan Putusan Mahkamah Agung ini baru terjadi pasca-putusan
Mahkamah Konstitusi tentang uji materiil Undang-Undang Perkawinan
1974 terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di tahun 2015 yang pada intinya
pelarangan perkawinan beda agama tidak melanggar hak asasi manusia
untuk membangun sebuah rumah tangga.
Kata kunci: perkawinan beda agama; legalitas; disparitas putusan; logika
hukum.
A. Pendahuluan
Artikel ini mengkaji logika hukum dan disparitas putusan-putusan
pengadilan terhadap perkara perkawinan beda agama di Indonesia.
Pembahasan ini diperlukan untuk memahami dengan baik bagai
mana pertimbangan para hakim, baik di Pengadilan Negeri (PN),
Mahkamah Agung (MA), maupun Mahkamah Konstitusi (MK),
dalam menerima atau menolak permohonan yang pada intinya
untuk mencari keadilan agar perkawinan beda agama dilegalkan
49 Lukito, “Trapped between Legal Unification and Pluralism,” hlm. 41; Aini,
“Inter-Religious Marriage from Socio-Historical Islamic Perspectives,” hlm.
669; Aini, dkk., “Interreligious Marriage in Indonesia,” hlm. 192-3.
F. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, kehadiran UU Perkawinan 1974, di
mana salah satu pasalnya mengatur bahwa keabsahan perkawinan
itu ditentukan oleh tatacara atau hukum agama dan kepercayaan
masing-masing, merupakan bentuk positivisasi norma ajaran agama
atau kepercayaan dalam hukum perkawinan di Indonesia. Hal
ini dipertegas dengan pandangan-pandangan hakim Mahkamah
Konstitusi yang masih mempertahankan posisi status quo Pasal
2 Ayat 1 bahwa peran negara dalam hal ini menindaklanjuti hasil
Daftar Pustaka
Artikel, Buku, dan Laporan
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Akademi Presindo,
1992.
Agnes, Sinta Felisa. “Izin Perkawinan Beda Agama di Pengadilan
Negeri (Studi Perbandingan Putusan PN Surakarta dan PN
Blora.” Tesis, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2019.
Aini, Noryamin. “Inter-Religious Marriage from Socio-Historical
Islamic Perspectives.” Brigham Young University Law Review 2008,
3 (2008): 669-705.
Aini, Noryamin, Ariane Utomo, dan Peter McDonald. “Interreligious
Marriage in Indonesia.” Journal of Religion and Demography 6
(2019): 189-214. DOI: 10.1163/2589742X-00601005.
Ali, Muhamad. “Fatwas on Inter-Faith Marriage in Indonesia.” Studia
Islamika 9, 3 (2002): 1-33. DOI: 10.15408/sdi.v9i3.658.
Amak FZ. Proses Undang-Undang Perkawinan. Bandung: Alma’arif,
1976.
Aprianto, Tri Chandra. “Aturan di Persimpangan Jalan: Perdebatan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan 1973-1974.”
Historia 1, 1 (2018): 70-84.
Buisson, Johanna Marie. “Interfaith Marriage for Muslim Women.”
Crosscrents 66, 44, (2016): 430-49. DOI: 10.1111/cros.12211.
BBC Hindi. “India’s Interfaith Couples on Edge after New Law.”
https://www.bbc.com/news/world-asia-india-56330206,
15/3/2021. Diakses 5/1/2023.
Cammack, Mark. “Legal Aspects of Muslim-non-Muslim Marriage
in Indonesia.” Dalam Muslim-non-Muslim Marriage: Political and
Cultural Contestations in Southeast Asia, diedit oleh Gavin Jones,
Chee Heng Leng, dan Maznah Mohamad, 102-38. Singapore:
ISEAS Publishing, 2009.
Asia, diedit oleh Gavin Jones, Chee Heng Leng, dan Maznah
Mohamad, 255-82. Singapore: ISEAS Publishing, 2009.
News18.com. “589 Inter-faith Marriages Among Over 19,000
Registered in Delhi Till September this Year.” https://www.
news18.com/news/india/589-inter-faith-marriages-among-
over-19000-registered-in-delhi-till-september-this-year-2398661.
html, 24/11/2019. Diakses 2/1/2023.
Nizami, Auliya Ghazna. “Public Sphere and Feminism in Tunisia:
Equal Inheritance between Female and Male Based on Latest
Amendment of Verse 146 MAS.” Prosiding International
Conference on University-Community Engagement, Post
Pandemic Resilience: From Islamic Higher Education to Social
Transformation, diselenggarakan IAIN Syekh Nurjati, Cirebon,
25/1/2022, 157-61.
Pew Research Center. “Chapter 2: Religious Switching
and Intermarriage.” https://www.pewresearch.org/
religion/2015/05/12/chapter-2-religious-switching-and-
intermarriage/#interfaith-marriage-commonplace, 12/5/2015.
Diakses 2/1/2023.
Pompe, Sebastiaan. “Mixed Marriages in Indonesia: Some Comments
on the Law and the Literature.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde 144, 2/3 (1988): 259-75. DOI: 10.1163/22134379-
90003296.
Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-
undangan Departemen Kehakiman. Sekitar Pembentukan
Undang-Undang Perkawinan Beserta Peraturan Pelaksanaannya.
Jakarta: Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan
Departemen Kehakiman, t.th.
Republika. “Sejarah Undang-Undang Perkawinan di Indonesia,”
14/9/2014.
Rizkiyansyah, Beggy. “Sejarah UU Perkawinan: Antara Mengikat
atau Menceraikan Agama dari Negara (2).” https://
hidayatullah.com/kajian/sejarah/2014/09/18/29732/sejarah-
uu-perkawinan-antara-mengikat-atau-menceraikan-agama-
dari-negara-2.html, 18/9/2014. Diakses 15/12/2022.