286-Article Text-493-1-10-20200201

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 9

Pancasila Perspektif Mohammad Hatta

Ahmad Syauqi Fuady – STIT Muhammadiyah Bojonegoro

PANCASILA PERSPEKTIF MOHAMMAD HATTA SEBAGAI DASAR


PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

Ahmad Syauqi Fuady


STIT Muhammadiyah Bojonegoro
[email protected]

Abstract: This article aims to find out how Mohammad Hatta's


interpretation of Pancasila is. And how these values become the basis of the
implementation of Islamic education in Indonesia. Mohammad Hatta was a
Muslim nationalist who was involved in the birth of Pancasila. The Islamic
style of Mohammad Hatta is oriented towards substance rather than
formality and symbols such as salt rather than lipstick. As a devout Muslim
and nationalist, his interpretation of Pancasila was accepted by different
political groups. Pancasila, according to Hatta, contains two main
fundamentals, namely the moral fundamentals of religious ethics (1st
principle) and political fundamentals (2nd to 5th precepts). The Precepts of
Godhead become the basis for leading the other precepts. The existence of
the One Precepts of Godhead as the first precepts causes the five precepts
to bind to each other and creates a harmonious pair between the five
precepts in Pancasila. Pancasila for Mohammad Hatta is a guideline for
realizing happiness, prosperity, peace and independence in a perfectly
sovereign Indonesian society and legal state. The practice of implementing
Islamic Education in Indonesia should make these four things as things that
need to be realized. The basic values of the Pancasila perspective of
Mohammad Hatta to be used as the basis for the implementation of Islamic
education in Indonesia: Divine values, human values, unity values, social
values, and justice values.

Keywords: Pancasila, Mohammad Hatta, Principal, Islamic Education.

PENDAHULUAN

Merujuk kepada pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, Pancasila merupakan
falsafah negara (Philosophische Grondslag) yang dimaksudkan untuk menjadi dasar
negara. Pancasila juga dimaksudkan sebagai pandangan hidup (Weltanschauung) bangsa
Indonesia untuk dijadikan sebagai ideologi negara.1 Dengan tanpa kehadiran Pancasila,
sebagai falsafah dan ideologi bangsa, sebagai hasil dari konsensus dan kesepakatan
bersama, maka arah dan jalannya kehidupan bangsa akan terganggu dan menghadapi
masalah.2
Pancasila haruslah dipandang sebagai norma dasar bernegara
(Grundnorm/Staatsfundamentalnorm) yang menjadi sumber dari segala sumber hukum
di Indonesia.3 Pancasila menjadi napas dari segala peraturan dan kebijakan yang dibuat
pemerintah. Nilai-nilai Pancasila hendaknya menjelma secara aktual dalam kehidupan
1
Yudi Latif, Revolusi Pancasila (Jakarta: Penerbit Mizan, 2015), 31.
2
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam (Jakarta: LP3M STIE Ahmad Dahlan, 2008), 151-152.
3
Yudi Latif, Revolusi, 52.

23 - 24 NOPEMBER 2019
UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel Halaman 731
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Pancasila Perspektif Mohammad Hatta
Ahmad Syauqi Fuady – STIT Muhammadiyah Bojonegoro

berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Pancasila hendaknya tidak berhenti sekadar
kerangka normatif, namun harus menjadi interpretatif realitas dalam bentuk
pengetahuan dan ilmu, dan ujungnya menjadi kerangka operatif untuk rujukan dan
pedoman operasional segala peraturan dan kebijakan.
Pancasila merupakan hasil konsensus atau kesepakatan bersama (gentlemen’s
agreement) antara kelompok kebangsaan dan agama.4 Kelompok kebangsaan menolak
keinginan kelompok agama yang berkeinginan menjadikan agama Islam sebagai dasar
negara. Mohammad Hatta merupakan salah satu tokoh yang terlibat dalam perumusan
Pancasila yang ditempatkan dalam “kelompok nasionalis” atau kebangsaan.5 Mohammad
Hatta dimasukkan Endang Saifuddin Anshari, ke dalam kelompok Nasionalis muslim
“sekular” yang menghendaki pemisahan agama dan negara, antitesis kelompok
“nasionalis islami” yang menghendaki Islam sebagai dasar negara.6
Selain sebagai seorang yang terlibat dalam penyusunan Pancasila, pembahasan
tentang tafsir Pancasila berdasarkan perspektif Mohammad Hatta menarik. Pertama,
meskipun Mohammad Hatta dianggap sebagai biang keladi penghapusan tujuh kata
tentang syariat Islam dalam Piagam Jakarta7, namun tafsir Mohammad Hatta tentang Sila
Pertama tampak terasa berakar dari nilai-nilai ajaran Tauhid8 dan Islam sehingga dapat
diterima oleh umat Islam Indonesia, lebih masuk akal dan dapat dibenarkan sejarah
daripada tafsiran-tafsiran yang diberikan oleh seorang sekularis, agnostik, dan apalagi
komunis.9
Kedua, pribadi Mohammad Hatta. Mohammad Hatta dikenal khalayak sebagai
seorang Pancasilais sejati dalam teori dan praktik, dimana keseluruhan pandangan dan
tingkah laku dalam kehidupan pribadi, kenegaraan, dan pemerintahan senatiasa senapas
dengan nilai-nilai luhur Pancasila.10 Mohammad Hatta juga sebagai “negarawan moralis
yang paling dihormati di Indonesia” yang pengaruh dan integritas pribadinya diakui oleh
semua kelompok dan kalangan di Indonesia. 11 Ketiga, tafsiran Hatta terhadap Pancasila
tidak mendapat tentangan dan keberatan dari kelompok-kelompok aliran politik di
Indonesia. Hal ini disebabkan bahwa, di satu sisi, kalangan Islam menilai Hatta sebagai
seorang pribadi yang tidak pernah terpisah jauh dari ajaran agamanya, sementara di sisi
lain, kaum nasionalis sekuler dapat menerima pandangan Hatta karena dia tidak
membawa agama Islam ke dalam kehidupan bernegara secara langsung dan formal.12
Mohammad Hatta lahir dan tumbuh dari keluarga agamis, kakek dari ayahnya
adalah seorang tokoh sarekat yang terkenal. Nilai-nilai agama menjadi napas dan
menjelma nyata dalam kehidupan dan pribadi Manusia Hatta sebagai seorang muslim.

4
Yudi Latif, Negara Paripurna (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Keenam, Agustus 2017), 24.
5
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta:
Paramadina, Cetakan I, 1998), 85.
6
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional (Jakarta: Gema Insani
Press, 1997), 42.
7
Deliar Noer, Mohammad Hatta Hati Nurani Bangsa (Jakarta: Kompas, 2012), 89.
8
Noer, Hati Nurani Bangsa, 91.
9
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985), 154-156.
10
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung: Mizan, edisi
kedua cetakan pertama, 2015), 291.
11
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, 153.
12
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam, 160.

23 - 24 NOPEMBER 2019
Halaman 732 UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Pancasila Perspektif Mohammad Hatta
Ahmad Syauqi Fuady – STIT Muhammadiyah Bojonegoro

Sementara dalam kehidupan kenegaraan yang majemuk, Mohammad Hatta lebih


menonjolkan agama sebagai substansi nilai dibandingkan dengan bentuk formalitas dan
simbol. Corak keislaman Mohammad Hatta bagaikan garam yang tidak terlihat namun
memberi rasa asin, bukan layaknya gincu yang tampak mencolok namun hambar
rasanya.13
Nilai-nilai Islam dan aspirasi politik kebangsaan menjadi dua sisi dari satu sosok
bernama Mohammad Hatta. Menjadi seorang Muslim bukan penghalang menjadi
seorang nasionalis. Nilai-nilai sebagai seorang Muslim dapat menjadi sumber nilai
pelaksanaan cita-cita kehidupan bernegara dan berbangsa. Oleh karena itu artikel ini
hendak menggali bagaimana perspektif Mohammad Hatta sebagai seorang nasionalis
muslim terhadap Pancasila. Nilai-nilai apa saja yang dapat digali dari Pancasila menurut
perspektif Mohammad Hatta. Serta bagaimana nilai-nilai tersebut menjadi dasar dari
pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia.

PEMBAHASAN

Pancasila menurut Mohammad Hatta

Pancasila, menurut Hatta, memuat dua fundamen pokok, yakni fundamen moral
etika agama (sila ke-1) dan fundamen politik (sila ke-2 sampai sila ke-5). Dengan
diletakkannya sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, negara dan
pemerintah memperoleh dasar moral yang kuat dan kokoh, yang didalamnya terdapat
ajaran untuk berbuat benar, menegakkan keadilan, kebaikan, bersikap jujur serta
menciptakan persaudaraan dan tolong-menolong. Jalannya politik pemerintahan
mendapat dasar moral yang kuat. Berdasar modal nilai-nilai moral inilah, maka cita-cita
keadilan sosial bagi seluruh rakyat dapat tercapai. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi
dasar yang memimpin sila-sila yang lain. Keberadaan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai sila pertama menyebabkan kelima sila saling ikat-mengikat dan menimbulkan
pasangan yang harmonis antara kelima sila dalam Pancasila.14
Urutan antara sila pertama dengan sila kedua tidak dapat dipisahkan dan harus
selalu berurutan. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab merupakan kelanjutan dengan
perbuatan dalam praktik hidup daripada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Ajaran-ajaran
tentang kebaikan, keadilan, kejujuran, persaudaraan, dan tolong-menolong sebagaimana
yang diajarkan oleh prinsip-prinsip ketuhanan menjadi modal dasar dalam menjalankan
prinsip kemanusiaan. Prinsip kemanusiaan akan tegak dengan menerapkan nilai-nilai
dasar tersebut. Seperti juga dengan dasar Ketuhanan yang Maha Esa yang sifatnya
universal, maka sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab juga berlaku universal yang
tidak terikat kepada batas negara dan corak bangsa. Kemanusiaan berlaku secara
universal.
Wujud pelaksanaan dari prinsip Kemanusiaan ini, Hatta menekankan tentang
perlunya negara menjamin dan melindungi hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi

13
Ihsan Ali-Fauzi, “The Politic of Salt, not the Politics of Lipstick: Mohammad Hatta on Islam and
Nationalism”, dalam Jurnal Studia Islamika, Vol. 9 No. 2, 2002, 89-90.
14
Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila (Jakarta: Idayu Press, 1977), 12-30.

23 - 24 NOPEMBER 2019
UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel Halaman 733
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Pancasila Perspektif Mohammad Hatta
Ahmad Syauqi Fuady – STIT Muhammadiyah Bojonegoro

warga negara. Indonesia merdeka sebagai negara hukum harus melindungi hak hidup,
hak, keselamatan badan, dan hak kebebasan yang merupakan karunia Tuhan yang Maha
Esa.
Dasar kemanusiaan yang berakar pada prinsip ketuhanan kemudian tercermin
dalam sila-sila setelahnya. Sila Persatuan Indonesia menghendaki Indonesia yang satu dan
tidak terpecah-pecah. Persatuan adalah syarat hidup bagi Indonesia. Perasaan persatuan
Indonesia dipupuk oleh perasaan senasib dan sertujuan. Sila Persatuan Indonesia
bukanlah berarti menutup diri dari dunia internasional, melainkan haruslah mengandung
di dalamnya cita-cita persahabatan, persaudaraan segala bangsa yang diliputi oleh
suasana kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, kesucian, dan keindahan.
Sila Kerakyatan bukanlah prinsip yang menghendaki dan mencari suara terbanyak
saja, melainkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan. Prinsip kerakyatan menghendaki adanya perilaku yang
mengedepankan gotong-royong, musyawarah mufakat, dan kekeluargaan. Prinsip
kerakyatan yang didasari oleh ketuhanan dan kemanusiaan akan mampu menghilangkan
korupsi dan anarki, yang dapat mengancam, merusak, dan merubuhkan tatanan
demokrasi seperti yang pernah terjadi dalam catatan sejarah lampau.
Sila Kelima tidak hanya sebagai dasar negara melainkan juga sebagai tujuan negara.
Keadilan sosial adalah langkah untuk menuju Indonesia yang adil dan makmur. Jika
keempat sila ini dapat dijalankan dengan baik, maka sila keadilan sosial sebagai tujuan
dari negara Republik Indonesia akan dapat tercapai.15

Tujuan Pancasila menurut Mohammad Hatta

Pancasila, menurut Hatta dalam pidatonya Ilmu dan Kedudukan Sarjana Ekonomi
dalam Masyarakat, “mengikat seluruh lapisan masyarakat, terutama mengikat
pemerintah serta alat-alat negara yang bertugas sebagai pelaksana haluan negara.”16
Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara haruslah dijadikan pedoman dan penuntun
arah dalam pelaksanaan pemerintahan dalam berbagai bidang “untuk mewujudkan
kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan
negara hukum Indonesia Merdeka berdaulat sempurna.”17
Pertama, kebahagiaan. Kebahagiaan bagi Mohammad Hatta akan terwujud jika
seseorang telah berhasil memenuhi keperluan dan kebutuhan hidupnya. Keperluan
hidupnya yang terpenting dapat dipuaskan. Kedua, kesejahteraan. Kesejahteraan
setingkat lebih tinggi daripada kebahagiaan. Orang merasa hidupnya sejahtera apabila ia
merasa senang tidak kurang suatu apa dalam batas yang mungkin dicapainya. Jiwanya
tenteram, lahir dan batin terpelihara. Ia merasakan keadilan dalam hidupnya, tidak ada
yang patut menimbulkan iri-hatinya dan tidak ada gangguan dari sekitarnya. Ketiga,
perdamaian. Bagi Hatta perdamaian baru akan tercapai apabila orang benar-benar
merasa hidup dalam suasana damai, keluar dan ke dalam. Perdamaian tidak bisa

15
Hatta, Pengertian Pancasila, 12-34.
16
Mohammad Hatta, “Ilmu dan Kedudukan Sarjana Ekonomi dalam Masyarakat”, dalam I. Wangsa Widjaja
dan Meutia F. Swasono, Kumpulan Pidato II dari Tahun 1951 s.d 1979 (Jakarta: Inti Idayu Press, 1983),
185.
17
Mohammad Hatta, Ekonomi Terpimpin (Jakarta: Penerbit Fasco, 1960), 40-44.

23 - 24 NOPEMBER 2019
Halaman 734 UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Pancasila Perspektif Mohammad Hatta
Ahmad Syauqi Fuady – STIT Muhammadiyah Bojonegoro

dilepaskan Suasana damai ini bisa timbul apabila orang merasakan hidup bahagia dan
sejahtera. Keempat, kemerdekaan. Menurut Hatta kemerdekaan tidaklah hanya
berkaitan dengan masalah penjajahan, melainkan kemerdekaan tiap-tiap orang dari
segala penindasan. Kemerdekaan adalah terlindunginya hak-hak asasi manusia dari segala
bentuk pelanggaran dan penindasan orang lain.

Nilai-Nilai Pancasila Mohammad Hatta sebagai Dasar Pendidikan Islam di


Indonesia

Uraian berikut ini menjelaskan lima nilai Pancasila menurut Mohammad Hatta:

a. Nilai Dasar Ketuhanan.


Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menurut pendapat Hatta menggambarkan
prinsip tauhid, yang hanya dijumpai dalam ajaran Islam. Percaya kepada Tuhan bagi
Hatta memiliki dua arti yang saling berkaitan dan tidak bisa dilepaskan. Pertama,
percaya kepada Tuhan memiliki konsekuensi bagi kepercayaan dan beriman
kepada Tuhan secara mutlak. Kedua, wujud dari iman dan percaya tersebut adalah
kepedulian terhadap sesama manusia. Iman dan percaya kepada Tuhan haruslah
diikuti dan ditindaklanjuti dengan amal saleh dan perbuatan nyata dalam
kehidupan.18
Kepercayaan kepada Tuhan akan melahirkan perasaan agama yang luhur
dalam setiap pribadi manusia Indonesia. “Perasaan keagamaan”, urai Hatta,
“membawa manusia ke alam yang suci, menciptakan segala yang suci di dunia dan
akhirat.”19 Ajaran-ajaran suci agama yang berisi kebajikan, kebaikan, kebenaran,
keadilan, persaudaraan, perdamaian, adalah nilai-nilai pokok yang harus
ditanamkan ke setiap dada masyarakat Indonesia.
Pendidikan Islam sudah seharusnya menempatkan nilai ketuhanan dan
keislaman sebagai pokok utama. Mendidik anak untuk memiliki keimanan,
pengamalan keislaman, dan meneguhi kebenaran adalah prinsip dasar pendidikan
Islam.
b. Nilai Dasar Kemanusiaan
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab merupakan kelanjutan dengan
perbuatan dalam praktik hidup daripada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai
dasar kemanusiaan, dalam kerangka berpikir Hatta, adalah bagian yang tidak bisa
dipisahkan dari nilai ketuhanan. Keduanya adalah erat hubungannya sebagai sebuah
landasan moral bangsa. Dasar ketuhanan mengajarkan tentang kesatuan hidup
manusia serta membimbing manusia untuk meraih hidup yang suci, sedangkan
dasar kemanusiaan menghendaki praktik dalam kehidupan yang menghargai
manusia.20 Dasar ketuhanan memberi sinaran terang bagi kemanusiaan, sebaliknya,
dasar kemanusiaan memperoleh fondasi kukuh dari nilai-nilai ketuhanan.

18
Deliar Noer, “Antara Ide Agama dan Kebangsaan”, dalam Seri Buku Tempo Bapak Bangsa, Hatta Jejak
yang Melampaui Zaman (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), 141.
19
Mohammad Hatta, “Sambutan Hari Natal 1947”, dalam Kumpulan Karangan IV (Jakarta: Penerbitan dan
Balai Buku Indonesia, 1954), 157.
20
Mohammad Hatta, “Amanat Kepada Konferensi Golongan Tionghoa”, dalam Kumpulan Karangan IV
(Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, 1954), 159.

23 - 24 NOPEMBER 2019
UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel Halaman 735
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Pancasila Perspektif Mohammad Hatta
Ahmad Syauqi Fuady – STIT Muhammadiyah Bojonegoro

Nilai-nilai kemanusiaan yang dijalankan secara penuh konsisten dan seiring


sejalan dengan nilai ketuhanan akan mampu mengantarakan pendidikan sebagai
upaya menuju cita-cita ideal yang diinginkan Hatta: manusia beradab. Manusia yang
beradab akan dapat menjalin hubungan yang baik dan harmonis terhadap Tuhan,
dirinya sendiri, sesama manusia, makhluk hidup lain, dan seluruh lingkungan hidup
di alam semesta ini.
Pendidikan Islam menganut paralelisme antara hubungan vertikal dengan
Tuhan (hablun minallah) dan hubungan horizontal dengan antarmanusia (hablun
minanaas). Iman dan amal salih sepaket dan tidak dipisahkan. Wujud keimanan dan
keislaman adalah berbuat baik terhadap sesama manusia. Perbuatan baik terhadap
manusia tidak dibatasi oleh batas-batas agama, bangsa, negara, suku. Kemanusiaan
hendaknya bersifat universal untuk seluruh umat manusia.
Selain itu, nilai kemanusiaan ini diwujudkan dalam bentuk penghargaan yang
setinggin-tingginya terhadap hak asasi manusia. Manusia lahir dengan potensi
lahiriah yang harus dijaga, dipelihara, dan dikembangkan.
c. Nilai Dasar Persatuan
Persatuan Indonesia mensyaratkan adanya kesadaran terhadap
kemajemukan yang dimiliki Indonesia. Perbedaan suku, budaya, ras, agama, warna
kulit, dan lain sebagainya bukanlah jurang pemisah yang mengancam persatuan.
Kemajemukan dan multikultur adalah napas Indonesia yang tidak bisa disangkal
dan harus senantiasa dijaga dan dirawat dari generasi ke generasi. Sikap yang
merasa lebih unggul dibanding kelompok lain dapat mengancam persatuan
Indonesia.
Sila Persatuan Indonesia mensyaratkan dipupuknya persahabatan,
persaudaraan yang diliputi oleh suasana kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran,
kesucian, dan keindahan. Nilai-nilai ini harus senantiasa dipegang dalam pergaulan
dengan sesama anak bangsa maupun dengan bangsa-bangsa yang lain. Tentu saja,
persatuan Indonesia harus senantiasa dipertahankan meski menghadapai tantangan
dan ancaman dari musuh.
Kemajemukan dan perbedaan menurut pendidikan Islam adalah sunnatullah
yang tidak bisa ditolak. Sementara menjaga persatuan merupakan kebajikan yang
harus diutamakan dalam menghadapi kemajemukan dan perbedaan. Berpecah
belah menjadi perihal yang tidak disukai dalam agama Islam. Pendidikan Islam
hendaknya mengupayakn untuk mendidik dan menanamkan kesadaran kepada
anak didiknya tentang kemajemukan dan persatuan ini. Mencintai negara adalah
juga nilai-nilai yang harus diajarkan.
d. Nilai Dasar Kerakyatan
Mohammad Hatta menginginkan bangunan struktur sosial masyarakat yang
ideal adalah masyarakat berdasar kolektivisme. Nilai-nilai gotong-royong, tolong-
menolong, musyawarah mufakat, dan kekeluargaan haruslah menjadi fondasi
kehidupan masyarakat. Jembatan untuk mewujudkan itu adalah dibangunnya
sistem demokrasi kerakyatan yang bersendikan hikmat kebijaksanaan,
musyawarah mufakat, dan perwakilan.
Masyarakat yang berdiri atas prinsip-prinsip kekeluargaan, kebersamaan,
persaudaraan, gotong-royong, dan saling tolong-menolong adalah masyarakat yang

23 - 24 NOPEMBER 2019
Halaman 736 UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Pancasila Perspektif Mohammad Hatta
Ahmad Syauqi Fuady – STIT Muhammadiyah Bojonegoro

harus senantiasa dijaga dan diwujudkan. Dalam prinsip kerakyatan dan


kolektivisme ini, setiap individu harus memiliki kesadaran bahwa dirinya
merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari masyarakat.
Kesadaran manusia sebagai bagian dari masyarakat berarti bahwa manusia
tidak boleh bersifat egois dengan selalu mengarahkan orientasi usahanya untuk
kepentingan diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan bersama dalam
masyarakat. Oleh sebab itu, manusia harus benar-benar memperhatikan hak dan
kewajibannya sebagai bagian dari anggota masyarakat. Manusia yang selalu
menuntut haknya, tetapi abai dari kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat
bukanlah ciri manusia yang diinginkan Hatta. Manusia yang terdidik dalam ideal
Hatta haruslah tertanam dalam benaknya keyakinan dan kewajiban untuk
mengusahakan terwujudnya kemajuan dari masyarakatnya.21
Prinsip tolong-menolong, musyawarah, dan mewujudkan kehidupan
bersama yang aman damai adalah nilai-nilai utama dalam pendidikan Islam.
Pendidikan Islam selain mendidik individu mengembangkan potensinya juga harus
menanamkan kesadaran peserta didik sebagai bagian dari masyarakat. Penyadaran
tentang hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama penting dilakukan.
e. Nilai Dasar Keadilan
Keadilan sosial adalah cita-cita dan tujuan negara yang ingin diwujudkan
Indonesia merdeka. Adil menurut Hatta adalah kondisi di mana “tiap-tiap orang
dalam masyarakat merasakan keadilan diperlakukan serupa oleh negara dalam
segala rupa dan bebas dari tindakan kezaliman.”22 Keadilan adalah kondisi yang
tercipta akibat perbuatan adil. Keadilan dekat maknanya dengan persamaan.
Keadilan dapat terwujud jika tiap orang diperlakukan oleh negara dengan sama
tanpa dibeda-bedakan dalam berbagai bidang kehidupan. Tiap orang bersamaan
hak dan kewajibannya dalam tiap bidang kehidupan.
Nilai dasar keadilan, menurut Hatta, selain berkaitan dengan perlakuan yang
sama dan tidak dibeda-bedakan oleh negara, juga berkaitan erat dengan
kedaulatan rakyat. “Pokok dari keadilan dalam negara dan masyarakat adalah
kedaulatan rakyat.”23 “Kedaulatan rakyat adalah memberi kekuasaan yang tertinggi
kepada rakyat, tetapi juga meletakkan tanggung jawab yang terbesar.”24 Rakyat lah
yang memperoleh kekuasaan dan juga sekaligus tanggung jawab untuk
melaksanakan kekuasan itu.
Keadilan adalah bagian penting dalam pendidikan Islam. Perbuatan adail
dekat dengan takwa. Oleh sebab itu nilai dasar keadilan hendaknya dapat
diimplementasikan dalam manajemen di lembaga pendidikan, keadilan dalam
memperlakukan siswa, dan keadilan dalam menentukan target-terget belajar.

21
Mohammad Hatta, “Perguruan Dagang”, dalam Kumpulan Karangan IV (Jakarta: Penerbitan dan Balai
Buku Indonesia, 1954), 97.
22
Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan (Jakarta: UI Press, cetakan
ketiga 1997), 179.
23
Hatta, Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan, 179.
24
Mohammad Hatta, “Kedaulatan Rakyat”, dalam Kumpulan Karangan IV (Jakarta: Penerbitan dan Balai
Buku Indonesia, 1954), 213.

23 - 24 NOPEMBER 2019
UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel Halaman 737
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Pancasila Perspektif Mohammad Hatta
Ahmad Syauqi Fuady – STIT Muhammadiyah Bojonegoro

Tidak boleh ada diskriminasi akses terhadap pendidikan, baik secara kualitas
maupun kuantitas.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang penulis jelaskan di atas, ada beberapa kesimpulan yang
dapat diperoleh, bahwa Pancasila, menurut Hatta, memuat dua fundamen pokok, yakni
fundamen moral etika agama (sila ke-1) dan fundamen politik (sila ke-2 sampai sila ke-
5). Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar yang memimpin sila-sila yang lain.
Keberadaan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama menyebabkan kelima
sila saling ikat-mengikat dan menimbulkan pasangan yang harmonis antara kelima sila
dalam Pancasila.
Pancasila bagi Mohammad Hatta adalah pegangan untuk mewujudkan
kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan
negara hukum Indonesia Merdeka berdaulat sempurna. Praktik pelaksanaan Pendidikan
Islam di Indonesia hendaknya menjadikan keempat hal tersebut sebagai hal yang perlu
diwujudkan. Nilai-nilai dasar Pancasila perspektif Mohammad Hatta untuk dijadikan
sebagai dasar pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia: Nilai ketuhanan berorientasi
iman dan amal; nilai kemanusiaan yang menjunjung hak-hak manusia; nilai persatuan
yang menghargai perbedaan; nilai kerakyatan yang berorintasi kerjasama, tolong-
menolong, dan mufakat; dan nilai keadilan untuk mewujudkan persamaan dan
kedaulatan rakyat. []

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Anwar. 2008. Bung Hatta dan Ekonomi Islam. Jakarta: LP3M STIE Ahmad
Dahlan.
Ali-Fauzi, Ihsan. 2002. “The Politic of Salt, not the Politics of Lipstick: Mohammad Hatta
on Islam and Nationalism”, dalam Jurnal Studia Islamika, Vol. 9 No. 2, 2002.
Anshari, Endang Saifuddin. 1997. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus
Nasional. Jakarta: Gema Insani Press.
Effendi, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, Cetakan I.
Hatta, Mohammad. 1954. “Amanat Kepada Konferensi Golongan Tionghoa”, dalam
Kumpulan Karangan IV. Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku Indonesia.
_________.1997. Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan. Jakarta: UI Press,
cetakan ketiga.
_________.1983. “Ilmu dan Kedudukan Sarjana Ekonomi dalam Masyarakat”, dalam I.
Widjaja, Wangsa dan Meutia F. Swasono. Kumpulan Pidato II dari Tahun 1951 s.d
1979. Jakarta: Inti Idayu Press.
_________.1960. Ekonomi Terpimpin. Jakarta: Penerbit Fasco.
_________.1954. “Kedaulatan Rakyat”, dalam Kumpulan Karangan IV. Jakarta:
Penerbitan dan Balai Buku Indonesia.
_________.1977. Pengertian Pancasila. Jakarta: Idayu Press.
_________.1954. “Sambutan Hari Natal 1947”, dalam Kumpulan Karangan IV. Jakarta:
Penerbitan dan Balai Buku Indonesia.

23 - 24 NOPEMBER 2019
Halaman 738 UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Pancasila Perspektif Mohammad Hatta
Ahmad Syauqi Fuady – STIT Muhammadiyah Bojonegoro

_________.1954. “Perguruan Dagang”, dalam Kumpulan Karangan IV. Jakarta:


Penerbitan dan Balai Buku Indonesia.
Latif, Yudi. 2017. Negara Paripurna. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cetakan
Keenam, Agustus.
_________.2015. Revolusi Pancasila. Jakarta: Penerbit Mizan.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. 2015. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan.
Bandung: Mizan, edisi kedua cetakan pertama.
_________.1985. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES.
Noer, Deliar. 2010. “Antara Ide Agama dan Kebangsaan”, dalam Seri Buku Tempo
Bapak Bangsa, Hatta Jejak yang Melampaui Zaman. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
_________.2012. Mohammad Hatta Hati Nurani Bangsa. Jakarta: Kompas.

23 - 24 NOPEMBER 2019
UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel Halaman 739
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya

You might also like