286-Article Text-493-1-10-20200201
286-Article Text-493-1-10-20200201
286-Article Text-493-1-10-20200201
PENDAHULUAN
Merujuk kepada pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, Pancasila merupakan
falsafah negara (Philosophische Grondslag) yang dimaksudkan untuk menjadi dasar
negara. Pancasila juga dimaksudkan sebagai pandangan hidup (Weltanschauung) bangsa
Indonesia untuk dijadikan sebagai ideologi negara.1 Dengan tanpa kehadiran Pancasila,
sebagai falsafah dan ideologi bangsa, sebagai hasil dari konsensus dan kesepakatan
bersama, maka arah dan jalannya kehidupan bangsa akan terganggu dan menghadapi
masalah.2
Pancasila haruslah dipandang sebagai norma dasar bernegara
(Grundnorm/Staatsfundamentalnorm) yang menjadi sumber dari segala sumber hukum
di Indonesia.3 Pancasila menjadi napas dari segala peraturan dan kebijakan yang dibuat
pemerintah. Nilai-nilai Pancasila hendaknya menjelma secara aktual dalam kehidupan
1
Yudi Latif, Revolusi Pancasila (Jakarta: Penerbit Mizan, 2015), 31.
2
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam (Jakarta: LP3M STIE Ahmad Dahlan, 2008), 151-152.
3
Yudi Latif, Revolusi, 52.
23 - 24 NOPEMBER 2019
UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel Halaman 731
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Pancasila Perspektif Mohammad Hatta
Ahmad Syauqi Fuady – STIT Muhammadiyah Bojonegoro
berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Pancasila hendaknya tidak berhenti sekadar
kerangka normatif, namun harus menjadi interpretatif realitas dalam bentuk
pengetahuan dan ilmu, dan ujungnya menjadi kerangka operatif untuk rujukan dan
pedoman operasional segala peraturan dan kebijakan.
Pancasila merupakan hasil konsensus atau kesepakatan bersama (gentlemen’s
agreement) antara kelompok kebangsaan dan agama.4 Kelompok kebangsaan menolak
keinginan kelompok agama yang berkeinginan menjadikan agama Islam sebagai dasar
negara. Mohammad Hatta merupakan salah satu tokoh yang terlibat dalam perumusan
Pancasila yang ditempatkan dalam “kelompok nasionalis” atau kebangsaan.5 Mohammad
Hatta dimasukkan Endang Saifuddin Anshari, ke dalam kelompok Nasionalis muslim
“sekular” yang menghendaki pemisahan agama dan negara, antitesis kelompok
“nasionalis islami” yang menghendaki Islam sebagai dasar negara.6
Selain sebagai seorang yang terlibat dalam penyusunan Pancasila, pembahasan
tentang tafsir Pancasila berdasarkan perspektif Mohammad Hatta menarik. Pertama,
meskipun Mohammad Hatta dianggap sebagai biang keladi penghapusan tujuh kata
tentang syariat Islam dalam Piagam Jakarta7, namun tafsir Mohammad Hatta tentang Sila
Pertama tampak terasa berakar dari nilai-nilai ajaran Tauhid8 dan Islam sehingga dapat
diterima oleh umat Islam Indonesia, lebih masuk akal dan dapat dibenarkan sejarah
daripada tafsiran-tafsiran yang diberikan oleh seorang sekularis, agnostik, dan apalagi
komunis.9
Kedua, pribadi Mohammad Hatta. Mohammad Hatta dikenal khalayak sebagai
seorang Pancasilais sejati dalam teori dan praktik, dimana keseluruhan pandangan dan
tingkah laku dalam kehidupan pribadi, kenegaraan, dan pemerintahan senatiasa senapas
dengan nilai-nilai luhur Pancasila.10 Mohammad Hatta juga sebagai “negarawan moralis
yang paling dihormati di Indonesia” yang pengaruh dan integritas pribadinya diakui oleh
semua kelompok dan kalangan di Indonesia. 11 Ketiga, tafsiran Hatta terhadap Pancasila
tidak mendapat tentangan dan keberatan dari kelompok-kelompok aliran politik di
Indonesia. Hal ini disebabkan bahwa, di satu sisi, kalangan Islam menilai Hatta sebagai
seorang pribadi yang tidak pernah terpisah jauh dari ajaran agamanya, sementara di sisi
lain, kaum nasionalis sekuler dapat menerima pandangan Hatta karena dia tidak
membawa agama Islam ke dalam kehidupan bernegara secara langsung dan formal.12
Mohammad Hatta lahir dan tumbuh dari keluarga agamis, kakek dari ayahnya
adalah seorang tokoh sarekat yang terkenal. Nilai-nilai agama menjadi napas dan
menjelma nyata dalam kehidupan dan pribadi Manusia Hatta sebagai seorang muslim.
4
Yudi Latif, Negara Paripurna (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Keenam, Agustus 2017), 24.
5
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta:
Paramadina, Cetakan I, 1998), 85.
6
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional (Jakarta: Gema Insani
Press, 1997), 42.
7
Deliar Noer, Mohammad Hatta Hati Nurani Bangsa (Jakarta: Kompas, 2012), 89.
8
Noer, Hati Nurani Bangsa, 91.
9
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985), 154-156.
10
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung: Mizan, edisi
kedua cetakan pertama, 2015), 291.
11
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, 153.
12
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam, 160.
23 - 24 NOPEMBER 2019
Halaman 732 UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Pancasila Perspektif Mohammad Hatta
Ahmad Syauqi Fuady – STIT Muhammadiyah Bojonegoro
PEMBAHASAN
Pancasila, menurut Hatta, memuat dua fundamen pokok, yakni fundamen moral
etika agama (sila ke-1) dan fundamen politik (sila ke-2 sampai sila ke-5). Dengan
diletakkannya sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, negara dan
pemerintah memperoleh dasar moral yang kuat dan kokoh, yang didalamnya terdapat
ajaran untuk berbuat benar, menegakkan keadilan, kebaikan, bersikap jujur serta
menciptakan persaudaraan dan tolong-menolong. Jalannya politik pemerintahan
mendapat dasar moral yang kuat. Berdasar modal nilai-nilai moral inilah, maka cita-cita
keadilan sosial bagi seluruh rakyat dapat tercapai. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi
dasar yang memimpin sila-sila yang lain. Keberadaan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai sila pertama menyebabkan kelima sila saling ikat-mengikat dan menimbulkan
pasangan yang harmonis antara kelima sila dalam Pancasila.14
Urutan antara sila pertama dengan sila kedua tidak dapat dipisahkan dan harus
selalu berurutan. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab merupakan kelanjutan dengan
perbuatan dalam praktik hidup daripada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Ajaran-ajaran
tentang kebaikan, keadilan, kejujuran, persaudaraan, dan tolong-menolong sebagaimana
yang diajarkan oleh prinsip-prinsip ketuhanan menjadi modal dasar dalam menjalankan
prinsip kemanusiaan. Prinsip kemanusiaan akan tegak dengan menerapkan nilai-nilai
dasar tersebut. Seperti juga dengan dasar Ketuhanan yang Maha Esa yang sifatnya
universal, maka sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab juga berlaku universal yang
tidak terikat kepada batas negara dan corak bangsa. Kemanusiaan berlaku secara
universal.
Wujud pelaksanaan dari prinsip Kemanusiaan ini, Hatta menekankan tentang
perlunya negara menjamin dan melindungi hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi
13
Ihsan Ali-Fauzi, “The Politic of Salt, not the Politics of Lipstick: Mohammad Hatta on Islam and
Nationalism”, dalam Jurnal Studia Islamika, Vol. 9 No. 2, 2002, 89-90.
14
Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila (Jakarta: Idayu Press, 1977), 12-30.
23 - 24 NOPEMBER 2019
UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel Halaman 733
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Pancasila Perspektif Mohammad Hatta
Ahmad Syauqi Fuady – STIT Muhammadiyah Bojonegoro
warga negara. Indonesia merdeka sebagai negara hukum harus melindungi hak hidup,
hak, keselamatan badan, dan hak kebebasan yang merupakan karunia Tuhan yang Maha
Esa.
Dasar kemanusiaan yang berakar pada prinsip ketuhanan kemudian tercermin
dalam sila-sila setelahnya. Sila Persatuan Indonesia menghendaki Indonesia yang satu dan
tidak terpecah-pecah. Persatuan adalah syarat hidup bagi Indonesia. Perasaan persatuan
Indonesia dipupuk oleh perasaan senasib dan sertujuan. Sila Persatuan Indonesia
bukanlah berarti menutup diri dari dunia internasional, melainkan haruslah mengandung
di dalamnya cita-cita persahabatan, persaudaraan segala bangsa yang diliputi oleh
suasana kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, kesucian, dan keindahan.
Sila Kerakyatan bukanlah prinsip yang menghendaki dan mencari suara terbanyak
saja, melainkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan. Prinsip kerakyatan menghendaki adanya perilaku yang
mengedepankan gotong-royong, musyawarah mufakat, dan kekeluargaan. Prinsip
kerakyatan yang didasari oleh ketuhanan dan kemanusiaan akan mampu menghilangkan
korupsi dan anarki, yang dapat mengancam, merusak, dan merubuhkan tatanan
demokrasi seperti yang pernah terjadi dalam catatan sejarah lampau.
Sila Kelima tidak hanya sebagai dasar negara melainkan juga sebagai tujuan negara.
Keadilan sosial adalah langkah untuk menuju Indonesia yang adil dan makmur. Jika
keempat sila ini dapat dijalankan dengan baik, maka sila keadilan sosial sebagai tujuan
dari negara Republik Indonesia akan dapat tercapai.15
Pancasila, menurut Hatta dalam pidatonya Ilmu dan Kedudukan Sarjana Ekonomi
dalam Masyarakat, “mengikat seluruh lapisan masyarakat, terutama mengikat
pemerintah serta alat-alat negara yang bertugas sebagai pelaksana haluan negara.”16
Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara haruslah dijadikan pedoman dan penuntun
arah dalam pelaksanaan pemerintahan dalam berbagai bidang “untuk mewujudkan
kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan
negara hukum Indonesia Merdeka berdaulat sempurna.”17
Pertama, kebahagiaan. Kebahagiaan bagi Mohammad Hatta akan terwujud jika
seseorang telah berhasil memenuhi keperluan dan kebutuhan hidupnya. Keperluan
hidupnya yang terpenting dapat dipuaskan. Kedua, kesejahteraan. Kesejahteraan
setingkat lebih tinggi daripada kebahagiaan. Orang merasa hidupnya sejahtera apabila ia
merasa senang tidak kurang suatu apa dalam batas yang mungkin dicapainya. Jiwanya
tenteram, lahir dan batin terpelihara. Ia merasakan keadilan dalam hidupnya, tidak ada
yang patut menimbulkan iri-hatinya dan tidak ada gangguan dari sekitarnya. Ketiga,
perdamaian. Bagi Hatta perdamaian baru akan tercapai apabila orang benar-benar
merasa hidup dalam suasana damai, keluar dan ke dalam. Perdamaian tidak bisa
15
Hatta, Pengertian Pancasila, 12-34.
16
Mohammad Hatta, “Ilmu dan Kedudukan Sarjana Ekonomi dalam Masyarakat”, dalam I. Wangsa Widjaja
dan Meutia F. Swasono, Kumpulan Pidato II dari Tahun 1951 s.d 1979 (Jakarta: Inti Idayu Press, 1983),
185.
17
Mohammad Hatta, Ekonomi Terpimpin (Jakarta: Penerbit Fasco, 1960), 40-44.
23 - 24 NOPEMBER 2019
Halaman 734 UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Pancasila Perspektif Mohammad Hatta
Ahmad Syauqi Fuady – STIT Muhammadiyah Bojonegoro
dilepaskan Suasana damai ini bisa timbul apabila orang merasakan hidup bahagia dan
sejahtera. Keempat, kemerdekaan. Menurut Hatta kemerdekaan tidaklah hanya
berkaitan dengan masalah penjajahan, melainkan kemerdekaan tiap-tiap orang dari
segala penindasan. Kemerdekaan adalah terlindunginya hak-hak asasi manusia dari segala
bentuk pelanggaran dan penindasan orang lain.
Uraian berikut ini menjelaskan lima nilai Pancasila menurut Mohammad Hatta:
18
Deliar Noer, “Antara Ide Agama dan Kebangsaan”, dalam Seri Buku Tempo Bapak Bangsa, Hatta Jejak
yang Melampaui Zaman (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), 141.
19
Mohammad Hatta, “Sambutan Hari Natal 1947”, dalam Kumpulan Karangan IV (Jakarta: Penerbitan dan
Balai Buku Indonesia, 1954), 157.
20
Mohammad Hatta, “Amanat Kepada Konferensi Golongan Tionghoa”, dalam Kumpulan Karangan IV
(Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, 1954), 159.
23 - 24 NOPEMBER 2019
UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel Halaman 735
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Pancasila Perspektif Mohammad Hatta
Ahmad Syauqi Fuady – STIT Muhammadiyah Bojonegoro
23 - 24 NOPEMBER 2019
Halaman 736 UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Pancasila Perspektif Mohammad Hatta
Ahmad Syauqi Fuady – STIT Muhammadiyah Bojonegoro
21
Mohammad Hatta, “Perguruan Dagang”, dalam Kumpulan Karangan IV (Jakarta: Penerbitan dan Balai
Buku Indonesia, 1954), 97.
22
Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan (Jakarta: UI Press, cetakan
ketiga 1997), 179.
23
Hatta, Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan, 179.
24
Mohammad Hatta, “Kedaulatan Rakyat”, dalam Kumpulan Karangan IV (Jakarta: Penerbitan dan Balai
Buku Indonesia, 1954), 213.
23 - 24 NOPEMBER 2019
UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel Halaman 737
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Pancasila Perspektif Mohammad Hatta
Ahmad Syauqi Fuady – STIT Muhammadiyah Bojonegoro
Tidak boleh ada diskriminasi akses terhadap pendidikan, baik secara kualitas
maupun kuantitas.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang penulis jelaskan di atas, ada beberapa kesimpulan yang
dapat diperoleh, bahwa Pancasila, menurut Hatta, memuat dua fundamen pokok, yakni
fundamen moral etika agama (sila ke-1) dan fundamen politik (sila ke-2 sampai sila ke-
5). Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar yang memimpin sila-sila yang lain.
Keberadaan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama menyebabkan kelima
sila saling ikat-mengikat dan menimbulkan pasangan yang harmonis antara kelima sila
dalam Pancasila.
Pancasila bagi Mohammad Hatta adalah pegangan untuk mewujudkan
kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan
negara hukum Indonesia Merdeka berdaulat sempurna. Praktik pelaksanaan Pendidikan
Islam di Indonesia hendaknya menjadikan keempat hal tersebut sebagai hal yang perlu
diwujudkan. Nilai-nilai dasar Pancasila perspektif Mohammad Hatta untuk dijadikan
sebagai dasar pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia: Nilai ketuhanan berorientasi
iman dan amal; nilai kemanusiaan yang menjunjung hak-hak manusia; nilai persatuan
yang menghargai perbedaan; nilai kerakyatan yang berorintasi kerjasama, tolong-
menolong, dan mufakat; dan nilai keadilan untuk mewujudkan persamaan dan
kedaulatan rakyat. []
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Anwar. 2008. Bung Hatta dan Ekonomi Islam. Jakarta: LP3M STIE Ahmad
Dahlan.
Ali-Fauzi, Ihsan. 2002. “The Politic of Salt, not the Politics of Lipstick: Mohammad Hatta
on Islam and Nationalism”, dalam Jurnal Studia Islamika, Vol. 9 No. 2, 2002.
Anshari, Endang Saifuddin. 1997. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus
Nasional. Jakarta: Gema Insani Press.
Effendi, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, Cetakan I.
Hatta, Mohammad. 1954. “Amanat Kepada Konferensi Golongan Tionghoa”, dalam
Kumpulan Karangan IV. Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku Indonesia.
_________.1997. Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan. Jakarta: UI Press,
cetakan ketiga.
_________.1983. “Ilmu dan Kedudukan Sarjana Ekonomi dalam Masyarakat”, dalam I.
Widjaja, Wangsa dan Meutia F. Swasono. Kumpulan Pidato II dari Tahun 1951 s.d
1979. Jakarta: Inti Idayu Press.
_________.1960. Ekonomi Terpimpin. Jakarta: Penerbit Fasco.
_________.1954. “Kedaulatan Rakyat”, dalam Kumpulan Karangan IV. Jakarta:
Penerbitan dan Balai Buku Indonesia.
_________.1977. Pengertian Pancasila. Jakarta: Idayu Press.
_________.1954. “Sambutan Hari Natal 1947”, dalam Kumpulan Karangan IV. Jakarta:
Penerbitan dan Balai Buku Indonesia.
23 - 24 NOPEMBER 2019
Halaman 738 UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Pancasila Perspektif Mohammad Hatta
Ahmad Syauqi Fuady – STIT Muhammadiyah Bojonegoro
23 - 24 NOPEMBER 2019
UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel Halaman 739
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya