Template Addin
Template Addin
Template Addin
Write Author names without title and professional positions such as Prof., Dr., Production
Manager, etc. Do not abbreviate your lastfamily name. Always give your First and Last
names. Write clear affiliation of all Authors. Affiliation includes: name of university,
address, and country. Please indicate Corresponding Author (include email address).
Write Abstract in two language, English and Indonesian. Abstract should stand alone,
means that no citation in abstract. Consider it the advertisement of your article. Abstract
should tell the prospective reader what you did and highlight the key findings. Avoid using
technical jargon and uncommon abbreviations. You must be accurate, brief, clear and
specific. Use words which reflect the precise meaning, Abstract should be precise
and honest. Please follow word limitations (150‐200 words).
Keywords are the labels of your manuscript and critical to correct indexing and searching.
Addin Journal: Dialectic Media of Islamic Studies 1
Therefore the keywords should represent the content and highlight of your article. Use
only those abbreviations that are firmly established in the field. e.g. DNA. Each
words/phrase in keyword should be separated by a comma (,).
A. Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup mandiri tanpa manusia
lainnya. Hal tersebut dikarenakan manusia tidak bisa hidup sendiri-sendiri dalam
mencukupi kebutuhan dalam kehidupannya. Keberagaman manusia sangat bermacam-
macam, mulai perbedaan ras, agama, suku, bangsa, dan lain sebagainya. Di Indonesia
sendiri, berbagai perbedaan tersebut diakomodir oleh UUD 1945 & Pancasila dengan
semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang mengharuskan adanya keharmonian antara
kemajemukan dalam kesatuan. Sebagai ma khluk sosial, sudah barang tentu manusia akan
berinteraksi dengan lainnya, bahkan dengan yang berbeda ideologi.
Berkaitan dengan hal tersebut, al Qur’an telah menjelaskan larangan menjadikan
non muslim sebagai teman atau bithanah. Keterangan tersebut dijelaskan dalam Surat Ali
‘Imran Ayat 118. Dalam ayat lainnya, teman ditemukan dengan redaksi awliya’,
sebagaimana ditemukan pada Surat An-Nisa’ Ayat 139, Surat Al-Ma’idah Ayat 51. Namun
di sisi lain, Surat Al-Mumtahanah Ayat 8 dan Ayat 9 menerangkan bahwa larangan
terhadap non muslim tersebut hanya berlaku bagi mereka yang memusuhi, tidak berlaku
bagi mereka yang tidak memusuhi.
Dalam memahami isi Al-Qur'an diperlukan pengetahuan kaidah-kaidah dalam ilmu
Tafsir (Qawaid At-Tafsir), agar tidak salah ketika ingin menafsiri, mengeluarkan hukum
dan lain-lain dari ayat-ayat tersebut. Al-Qur'an. Bagi seorang mufassir sangat dianjurkan
untuk mempelajari prinsip-prinsip tersebut, agar tidak salah dalam melakukan penahanan
terhadap Al-Quran. Term paling pokok dalam menggali hukum adalah kaedah Amr Nahy.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis berusaha menganalisis larangan
persahabatan dengan non muslim, karena adanya varian hukum yang berbeda yang sekilas
menjadikan al Qur’an mengalami kontradiktif. Satu sisi al Qur’an melarang dan di sisi
lainnya tidak ada larangan. Menurut penelusuran penulis, sudah banyak peneliti
sebelumnya yang membahas mengenai interaksi sosial dengan non-muslim. Rahmad
Nurdin menuliskan jurnal berjudul “Persahabatan dengan non Muslim dalam al Quran”
dengan pendekatan konstektualis Abdullah Saeed. Alan Juhri membuat penelitian yang
membahas relasi muslim dan non muslim menggunakan perspektif tafsir nabawi atau
B. Pembahasan
1. Kategori Non Muslim
Ada lima kelompok non-Muslim yang dijelaskan oleh Al-Qur'an, yaitu Yahudi,
Syabi'in, Nasrani, Shabi’in, dan Musyrik. Kata dominan yang digunakan adalah Ahl al-
Kitab. Al-Qur'an banyak menyebutkan Ahli Kitab yang umumnya ditafsirkan sebagai
Nasrani dan khususnya Yahudi. Pada periode Makkah, ayat-ayat yang terkait dengan Ahli
Kitab antara lain al-Ankabut:ayat 46:
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang
paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: “Kami
telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan
kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah
diri.”
Rasyid Ridha berpendapat bahwa istilah al-musyrikūn dalam Al-Qur'an berarti
bangsa Arab penyembah berhala. Oleh karena itu, penganut agama Zoroastrian, Shabi'in,
dan agama lain yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an, seperti Brahman (Hindu), Budha,
Khonghucu, dan Shinto dapat digolongkan sebagai Ahl al-Kitab. Alasan Rasyid Ridha
adalah tidak ada satu umat pun yang tidak diziarahi oleh rasul Allah. Awalnya, penganut
agama-agama ini memiliki kitab suci dan kepercayaan monoteistik, namun kitab suci dan
kepercayaan monoteistik mereka lambat laun menjadi rusak. Menurut Quraish Shihab, Ahl
al-Kitab dalam Al-Qur'an hanya ditujukan kepada orang-orang yang menganut agama
Yahudi dan Nasrani, kapanpun dan dimanapun, dan dari keturunan bangsa manapun.
Dalam perkembangan politik Islam, kategori penduduk berbasis agama ini juga
terkait dengan kategori status kewarganegaraan dan hubungan internasional. Di sini
Addin Journal: Dialectic Media of Islamic Studies 3
muncul istilah dar al-salam, dar al-harbi, dhimmi, dan musta'min.
Ali Mustafa Yaqub menjelaskan bahwa non-Muslim pada awal sejarah Islam
terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, golongan pagan (al-musyrikün), yaitu orang-
orang yang tidak menganut agama Semit (samawi), misalnya penganut agama Buddha,
Hindu, Khonghucu, Zoroastrianisme, Zarathusta (Zoroastrian), agama kepercayaan dan
resi bestari, dan lain-lain. Kedua, kelompok Ahl al-Kitab, atau penganut agama Semit,
yaitu Yahudi dan Nasrani. Tipologi ahli kitab didasarkan pada surah al-Bayyinah ayat 1:
“Orang-orang kafir, yaitu ahli kitab dan musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan
meninggalkan (agamanya) sebelum datang bukti yang jelas kepada mereka.” Dalam ayat 6
disebutkan, “Sesungguhnya orang-orang kafir, yaitu Ahli Kitab dan orang-orang musyrik
(akan masuk) ke dalam Neraka Jahannam; mereka tinggal di dalamnya. Merekalah
seburuk-buruk makhluk” (QS. Al-Bayyinah [98]: 6).
Dua golongan di atas dalam literatur Islam terbagi menjadi tiga, yaitu Harbi,
dhimmi (mu'ahad), dan musta'man. Harbi adalah orang kafir yang berperang melawan
Muslim. Dhimmi adalah non muslim yang mendapat jaminan keselamatan dan keamanan
dari pemerintah dan muslim dengan kewajiban membayar upeti (jizyah) kepada
pemerintah. Sedangkan musta'man adalah orang kafir yang dibawa oleh negara muslim
untuk tujuan tertentu, seperti perwakilan diplomatik dan duta besar. besar.
2. Ayat-Ayat Yang Berkaitan
Larangan menjadikan non muslim sebagai teman dijelaskan dalam Surat Ali ‘Imran
Ayat 28. Sebab turunnya ayat ini dari Ibnu ‘Abbas bahwa sekelompok Yahudi, al-Hajjaj
bin ‘Amr, Ibnu Abi Al-Huqaiq, dan Qais bin Zaid, hidup berbaur dengan sekolompok
orang-orang Anshar agar mengganggu mereka agar keluar dari islam. Maka Rifa ‘ah bin
al-Mundzir, Abdullah bin Jubair, dan Sa’id bin Khatsmah memberi saran kepada orang-
orang Anshar tersebut untuk mengindari orang-orang Yahudi tersebut, tetapi mereka.
mengabaikannya. Maka ayat ini turun.
Umat Islam dilarang menjadikan orang kafir sebagai sahabat, pemimpin atau
pembantu, karena hal itu akan merugikan mereka baik dalam urusan agama maupun
kepentingan umat, apalagi jika dalam hal ini kepentingan orang kafir lebih diutamakan
daripada kepentingan umat Islam. sendiri, yang akan membantu menyebarkan kekafiran.
Hal ini sangat dilarang oleh agama.
Orang beriman dilarang berhubungan dekat dengan orang kafir, baik karena
kekerabatan, teman lama dari masa jahiliah, atau karena mereka bertetangga. Larangan ini
tidak lain untuk menjaga dan memelihara kemaslahatan agama, dan agar umat Islam tidak
Addin Journal: Dialectic Media of Islamic Studies 4
terganggu dalam usahanya mencapai tujuan yang diinginkan oleh agamanya.
Adapun bentuk-bentuk perjanjian persahabatan dan kerjasama yang kiranya dapat
menjamin kemaslahatan umat Islam tidak dilarang. Nabi sendiri telah mengadakan
perjanjian persahabatan dengan Bani Khuza'ah saat mereka masih musyrik.
Kemudian disebutkan bahwa barangsiapa menjadikan orang kafir sebagai
penolongnya, dengan meninggalkan orang beriman, dalam hal-hal yang merugikan agama,
berarti ia telah melepaskan diri dari wali Allah, durhaka kepada Allah dan tidak membantu
agamanya. Ini juga berarti bahwa keimanannya kepada Allah telah terputus, dan dia
termasuk di antara orang-orang kafir.
Orang-orang yang beriman boleh menjalin hubungan intim dengan orang-orang
kafir, dalam keadaan takut akan bahaya atau untuk memberi manfaat bagi umat Islam.
Pemerintahan Islam tidak dilarang mengadakan perjanjian persahabatan dengan
pemerintah non-Islam; dengan maksud untuk menolak bahaya, atau untuk mendapatkan
keuntungan. Kebolehan menjalin persahabatan tidak khusus hanya dalam keadaan lemah
tetapi juga diperbolehkan sewaktu-waktu, sesuai aturan:
Menolak kerusakan diprioritaskan daripada membawa manfaat; Berdasarkan
kaidah ini, para ulama membolehkan “taqiyah”, yaitu mengatakan atau melakukan sesuatu
yang bertentangan dengan kebenaran untuk menangkal bencana dari musuh atau demi
keselamatan jiwa atau untuk melindungi kehormatan dan harta benda.
Maka barangsiapa mengucapkan kata-kata kufur karena terpaksa, sedangkan
hatinya (jiwanya) tetap beriman, karena untuk menjaga dirinya dari kebinasaan, ia tidak
menjadi kafir. Seperti yang dilakukan oleh 'Ammar bin Yasir yang dipaksa oleh kaum
Quraisy menjadi kafir, sementara hatinya tetap beriman.
Kelonggaran itu karena keadaan darurat yang sedang dihadapi, dan tidak terkait
dengan prinsip-prinsip agama yang harus selalu dipatuhi. Dalam hal ini seorang muslim
wajib berhijrah dari tempat yang tidak dapat menjalankan perintah agamanya dan terpaksa
melakukan taqiyyah disana. Tanda kesempurnaan iman jika seseorang tidak takut akan cela
dalam menjalankan agama Allah.
Larangan tersebut juga terdapat di Surat Ali ‘Imran Ayat 118. Dalam suatu riwayat
dikemukakan bahwa sebagian kaum muslimin mengadakan hubungan dengan orang
yahudi, karena pada zaman jahiliyah mereka bertetangga dan menjadi sekutu perang. maka
turunlah ayat ini agar melarang adanya hubungan dekat untuk meng hinari fitnah.
Peringatan kepada orang mukmin agar jangan bergaul rapat dengan orang kafir
yang telah nyata sifat-sifatnya yang buruk itu, jangan mempercayai mereka dan jangan
Addin Journal: Dialectic Media of Islamic Studies 5
menyerahkan urusan kaum Muslimin kepada mereka. Ayat ini ditutup dengan ungkapan
“Sesungguhnya Kami telah menjelaskan ayat-ayat kepada kamu agar kamu mengerti,”
agar orang beriman benar-benar mengerti dan menyadari tentang sifat-sifat buruk orang
kafir dan oleh sebab itu tidak sepantasnya mereka dijadikan teman dekat dalam pergaulan
selama mereka itu bersikap buruk terhadap orang beriman.
Ayat yang serupa artinya adalah Surat Al-Ma’idah Ayat 51. Sebab turunnya ayat ini
adalah bahwa abdullah bin ubai bin salul (tokoh munafiq madinah) dan ubadah bin shamit
(salah satu tokoh islam bani auf) berjanji untuk membela yahudi bani qainuqa’ ketika bani
qainuqa’ memerangi rasulullah SAW, abdullah bin ubai tidak ikut berperang. Ubadah bin
shamit menghadap rasulullah SAW untuk membersihkan diri dari ikatan perjanjiannya
dengan bani qainuna’ dan bergabung dengan rasulullah SAW. dia menyatakan taat hanya
kepada Allah SWT dan rasulNya ayat ini turun untuk memperingatkan orang mukmin
untuk taat kepada Allah dan rasulNya dan tidak menjadikan kaum yahudi dan nasrani
sebagai kekasih.
Ayat ini melarang orang beriman untuk menjadikan orang Yahudi dan Nasrani
sebagai teman dekat yang akan memberikan pertolongan dan perlindungan, apalagi
dipercaya sebagai pemimpin. Selain ayat ini, masih banyak ayat lain dalam Al-Qur'an yang
menyebutkan larangan semacam ini terhadap orang Yahudi dan Nasrani. Mengulangi
larangan ini berkali-kali dalam beberapa ayat Al-Qur'an, menunjukkan bahwa hal itu
sangat penting dan jika dilanggar akan membawa kerugian yang besar.
Larangan ini berlaku untuk individu. Orang beriman dilarang menjadikan Yahudi
dan Nasrani sebagai sahabat karib, tempat berbagi rahasia dan keyakinan sebagaimana
halnya sesama orang beriman. Begitu pula dengan jemaah dan orang beriman, dilarang
menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pembela, pelindung, dan penolong, terutama
dalam hal yang berkaitan dengan agama. Jika hanya untuk berteman biasa dalam
pergaulan, apalagi dalam urusan duniawi, Allah tidak melarangnya, asalkan berhati-hati
dalam pergaulan, karena bagi mereka sifat ingkar janji dan berbohong untuk mencari
keuntungan duniawi adalah hal yang wajar. . Hal seperti ini pernah ditunjukkan oleh Nabi
saat berada di Madinah. Dia menjalin hubungan kerja sama dengan orang Yahudi dan
Kristen dan kadang-kadang mengadakan perjanjian defensif dengan mereka, jika dianggap
bermanfaat bagi orang beriman.
Yudaisme dan Kristen memiliki rasa kelas dan etnis yang sangat kuat. Oleh karena
itu, betapapun baiknya hubungan mereka dengan orang-orang beriman, mereka suka
membuat perjanjian untuk bekerja sama dengan mereka, tetapi jika itu merugikan
Addin Journal: Dialectic Media of Islamic Studies 6
golongan dan bangsa mereka, mereka tidak akan segan-segan untuk berbalik, mengingkari
janji dan menjadi musuh umat. percaya. Mereka selalu saling membantu, bersatu dalam
menghadapi orang-orang beriman. Dia terlahir baik, tapi hatinya selalu mencari
kesempatan untuk menghancurkan orang beriman.1
Berhubungan dengan non muslim tidak dilarang asalkan tidak ia memusuhi
sebagaimana Surat Al-Mumtahanah Ayat 8-9. Ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa
yang menegaskan bahwa Allah tidak melarang berbuat baik kepada orang yang tidak
memusuhi agama Allah. Diceritakan bahwa Qatilah, (wanita non muslim mantan istri Abu
bakar) menadatangi putri kandungnya Asma’ binti Abu bakar membawa oleh-oleh Asma’
bertanya kepada Rasulullah SAW apakah boleh dia berbuat baik kepada ibu kandungnya,
lalu turunlah ayat ini.
Ayat ini memberikan ketentuan umum dan prinsip-prinsip agama Islam dalam
menjalin hubungan dengan non-Muslim di satu negara. Umat Islam diwajibkan untuk
berperilaku baik dan bergaul dengan orang-orang kafir, selama mereka berperilaku dan
ingin bergaul dengan baik, terutama dengan umat Islam. Allah tidak melarang orang-orang
beriman untuk berbuat baik, menjalin persaudaraan, membantu dan membantu orang-
orang musyrik selama mereka tidak memiliki niat untuk menghancurkan Islam dan kaum
muslimin, tidak mengusir kaum muslimin dari negaranya, dan tidak berteman dekat
dengan orang tersebut. yang ingin mengusirnya.
Jika dalam sejarah Islam, khususnya pada masa Nabi Muhammad SAW dan para
sahabatnya, terdapat tindakan kekerasan yang dilakukan umat Islam terhadap kaum
musyrik, maka tindakan tersebut semata-mata dilakukan untuk mempertahankan diri dari
kezaliman dan siksaan yang dilakukan kaum musyrik. Di Mekkah, Nabi dan para
sahabatnya disiksa dan dianiaya oleh kaum musyrik, hingga mereka dipaksa hijrah ke
Madinah. Sesampainya di Madinah, mereka pun memusuhi kaum Yahudi yang bersekutu
dengan kaum musyrik, padahal telah dibuat perjanjian damai antara mereka dengan Nabi.
Oleh karena itu, Nabi terpaksa mengambil tindakan keras terhadap mereka. Begitu pula
ketika kaum muslimin berhadapan dengan kerajaan Persia dan Romawi, kaum kafir disana
telah memprovokasi permusuhan sehingga pecah perang. Maka ada satu prinsip yang perlu
diperhatikan dalam hubungan antara muslim dan non muslim, yaitu boleh berhubungan
baik, selama non muslim melakukan hal yang sama. Hal ini hanya dapat dibuktikan dalam
sikap dan tindakan kedua belah pihak. Di Indonesia asas ini dapat dilaksanakan, selama
tidak ada pihak agama lain yang bermaksud untuk mengkristenkan umat Islam atau
1
Tafsir Kemenag
Addin Journal: Dialectic Media of Islamic Studies 7
menghancurkan Islam dan umat Islam.
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah hanya melarang umat Islam untuk
membantu orang yang menghalangi atau merintangi orang untuk beribadah di jalan Allah,
dan memusnahkan umat Islam agar pindah agama lain, yang berperang, mengusir, dan
membantu mengusir umat Islam dari negara tersebut.. Dengan orang-orang seperti itu,
Allah dengan tegas melarang umat Islam untuk berteman dengan mereka.
Kesimpulan
Allah mengizinkan seorang muslim berbuat baik, berlaku adil dan berteman dengan
non muslim selama non muslim tidak memerangi muslim. Allah juga menyeru mereka
untuk selalu berbuat baik kepada orang tua mereka meskipun mereka non-muslim, kecuali
mereka terpaksa meninggalkan Islam dan melakukan kemusyrikan. Bahkan Allah
menyerukan untuk selalu menjaga kerukunan dalam bertetangga meskipun bertetangga itu
non muslim karena bertetangga adalah orang terdekat yang pada suatu saat keduanya
saling membutuhkan pertolongan.
Dijk, Kees van. “Colonial Fear: the Netherlands Indies and Malay Pennisula 1890-
1918, Pan Islamism and the Germano-Indian Plot”, in Transcending
Borders: Arabs, Politics, Trade, and Islam in Southeast Asia, edited by H.
de Jonge and N. Kaptein. Leiden: KITLV Press, 2002.
_______. “From Head to Toe: Dress, Script, Cultur, and Identity”, presented at the
International Workshop on Southeast Asian Studies, Script as Identity
Marker in Southeast Asia Jakarta, 2004.
Kaptein, N.J.G. “The Sayyid and the Queen: Sayyid Uthman on Queen
Wilhelmina’s Inauguration on the Throne of the Netherland in 1898”, Journal of
Islamic Studies,