1567-Article Text-4744-3-10-20230118

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

SULTHANIYAH: Jurnal Ilmu Syariah, Hukum, Politik & Pemerintahan p-ISSN: 2775-3123

Vol. 12 No. 1 Januari 2023, hlm. 1-11 e-ISSN: 2775-3123

RELEVANSI HUKUM DAN ETIKA DALAM MENGHADAPI


REALITAS FIQH
Rondang Herlina
Sekolah Tinggi Agama Islam Mempawah
e-mail: [email protected]

Kurniati
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
e-mail: [email protected]

Lomba Sultan
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
e-mail: [email protected]

Abstract
Family life or marriage will only occur through a legal marriage, both according
to religion and the applicable statutory provisions. Marriage is an inner and outer
bond between a man and a woman as husband and wife with the aim of forming
a family (a happy household) and eternally based on the One and Only God. It is
hoped that this inner bond will become the foundation for the integrity of the
marriage so that it can last forever, because the Marriage Law adheres to the
principle of monogamy which only allows one wife to marry one husband. In
Islamic teachings, the principle of polygamy by the husband is permissible if the
wife cannot carry out her obligations as a good wife because of an incurable
disease, a disability and the inability to bear children. However, the conditions
are stricter with the approval of the Religious Courts. This research uses a
qualitative empirical approach. Data collection through observation, interviews
and documentation. The analysis technique was carried out by data reduction,
data verification and data analysis. While checking the validity of the data is
done by triangulation method. Therefore the relevance or relationship of law and
ethics in polygamous marriages can be properly considered so that the reality of
fiqh can be realized in accordance with religious shari'ah.
Keywords: Marriage, Monogamy, Polygamy
Abstrak
Kehidupan berkeluarga atau pernikahan hanya akan terjadi melalui perkawinan
yang sah, baik menurut agama maupun ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga
yang bahagia) dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan batin
itu diharapkan akan menjadi pondasi bagi keutuhan perkawinan agar bisa
berlangsung selamanya, karena Undang-Undang Perkawinan menganut asas
monogami yang hanya memperbolehkan menikah seorang istri dengan
Rondang Herlina, dkk Vol. 12 No. 1 Januari 2023

seorang suami. Di dalam ajaran Islam, asas poligami yang dilakukan oleh suami
diperbolehkan jika istri tidak dapat melaksakan kewajibannya sebagai istri baik
karena penyakit yang tidak bisa disembuhkan, cacat badan dan tidak dapat
melahirkan keturunan. Namun persyaratannya diperketat atas persetujuan dari
Pengadilan Agama. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif empiris.
Pengumpulan data melalui cara observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik
analisis dilakukan dengan reduksi data, verifikasi data dan analisis data.
Sedangkan pengecekan keabsahan data dilakukan dengan metode triangulasi.
Oleh karenanya relevansi atau hubungan hukum dan etika dalam perkawinan
poligami dapat dipertimbangkan dengan baik agar realitas fiqh dapat
diwujudkan sesuai syari’at agama.
Kata Kunci : Perkawinan, Monogami, Poligami
PENDAHULUAN
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang lelaki dan
seorang wanita sebagai pasangan suami istri yang bertujuan membentuk rumah
tangga atau keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan rida ilahi. (Atabik &
Mudhiiah, 2016) Undang-undang Perkawinan menghendaki perkawinan itu
haruslah berlangsung untuk seumur hidup dan perceraian hanya merupakan
alternatif terakhir setelah jalan lain. Adanya perkawinan membawa hikmah
dapat menghalangi mata dari penglihatan terhadap hal-hal yang tidak diizinkan
syara' dan menjaga kehormatan diri dari terjatuh pada kerusakan seksual,
sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh Nabi dalam hadisnya yang muttafaq
alaih yang berasal dari Abdullah ibn Mas'ud, ucapan Nabi sebagai berikut :
"Wahai para pemuda, siapa di antara kamu yang telah mempunyai
kemampuan untuk kawin, maka kawinlah, karena perkawinan itu lebih
menghalangi penglihatan (dari maksiat) dan lebih menjaga kehormatan (dari
kerusakan seksual). Siapa yang belum mampu hendaklah berpuasa, karena
puasa itu baginya akan mengekang syahwat." (An Nasai)
Dikutip dari NU online, definisi nikah dijelaskan oleh Syekh Zakariya Al-
Anshari dalam kitab Fathul Wahab, sebagai berikut :

ْ ‫ض َّمنُ إبَا َحةَ َو‬


"‫كتاب النكاح‬. ‫طءٍ بِلَ ْف ِظ إ ْنكَاحٍ أ َ ْو نَحْ ِو ِه‬ ْ ‫ض ُّم َو ْال َو‬
َ َ ‫ط ُء َوش َْرعًا َع ْقد ٌ يَت‬ َّ ‫"ه َُو لُغَةً ال‬
"Kitab Nikah. Nikah secara bahasa memiliki makna; berkumpul atau
bersetubuh. Dan secara syara' berarti akad. Akad yang menyimpan makna
diperbolehkannya bersetubuh dengan menggunakan lafadz nikah atau
sejenisnya" (Ibnu Sahroji)
Seyogyanya melalui pernikahan dan guna menghindri hubungan
berlaianan jenis yang terlarang, maka menikahlah secara syara’ atau akad
karena memperbolehkan bersetubuh dengan menggunakan lafadz nikah atau
sejenisnya. Pernikahan merupakan sunah Rasul berdasarkan hadits
tentang pernikahan yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi. Dari Abu Ayyub RA, ia
menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

َ ‫سـن َِن ْال ُم ْر‬


َ"‫س ِليْن‬ ُّ ‫ َوالت َّ َع‬،‫" ا َ ْل َح َيـا ُء‬
ُ ‫أ َ ْر َب ٌع ِم ْن‬: ‫ َوالنِكَا ُح‬، ُ‫ َوالس َِواك‬،‫ط ُر‬

2
Rondang Herlina, dkk Vol. 12 No. 1 Januari 2023

"Ada empat perkara yang termasuk Sunnah para Rasul: rasa-malu,


memakai wewangian, bersiwak, dan menikah." (Al-Tirmizi, 2016)
Selanjutnya pernikahan juga merupakan tuntunan syariat yang
diajarkan oleh Rasulullah dalam menyatukan pasangan antara laki dan
perempuan atas dasar agama yang sah. Sebagaimana Rasulullah memberikan
statemen dalam hadisnya.
َ ‫ و َم ْن كان ذَا‬،‫ و ت َزَ َّو ُجوا؛ فإني ُمكَا ِث ٌر ِب ُك ُم األ ُ َم َم‬،‫ليس ِم ِني‬
‫ط ْو ٍل فَ ْل َي ْن ِك ْح‬ َ َ‫سنَّ ِتي ف‬
ُ ‫سنَّ ِتي ف َم ْن ل ْم َي ْع َم ْل ِب‬
ُ ‫’النكَا ُح من‬
ِ
“"Nikah termasuk sunnahku. Barangsiapa tidak mengamalkan sunnahku,
ia tidak termasuk golonganku. Menikahlah kalian, karena aku bangga dengan
banyaknya umatku. Barangsiapa memiliki kemampuan untuk menikah, maka
menikahlah."(Majah, 2020)
Pernikahan dalam komplikasi hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat
atau mitsaqan ghalidhan yang merupakan ikatan lahir batin antara seseorang
lelaki dengan seorang wanita untuk melaksanakan dan menaati perintah Allah
dalam ibadah, serta bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah mawaddah dan rahmah. Ditinjau dari segi sudut pandang
ibadah, pernikahan bermakna telah melaksanakan sunnah Nabi, sedangkan
menyendiri tidak menikah adalah meninggalkan sunnah Nabi. Rasulullah saw
juga telah menganjurkan agar para pemuda yang telah mempunyai
kesanggupan untuk bersegera menikah karena akan memelihara diri dari
perbuatan yang di larang Allah. Pernikahan yaitu akad yang dapat
menghalalkan pergaulan hubungan suami istri dapat memberikan batasan hak
dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang pria dan seorang wanita
yang bukan mahram.
Hakikat Pernikahan adalah akad yang membolehkan laki-laki dan
perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak boleh menjadi boleh.
Hükum asal dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah, tetapi jika dilihat
sifatnya sebagai ketentuan Allah dan sunnah Rasul tentu tidak mungkin
dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu hanya semata mubah. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa melangsungkan akad perkawinan
diperintahkan oleh agama dan dengan telah berlangsungnya akad perkawinan
itu, maka pergaulan laki-laki dengan perempuan menjadi mubah.
Sehubungan dengan tulisan yang diangkat oleh penulis ini, maka tulisan
ini tidak hanya mengangkat masalah perkawinan tetapi juga bagaimana
relevansi hukum dan etika perkawinan poligami dalam menghadapi realitas
fiqih di masyarakat.
METODE PENELITIAN
Kajian dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian studi pustaka
(library research) yang menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan
teknik pengumpulan data menggunakan bahan-bahan primer tertulis yang
telah dipublikasikan dalam bentuk buku sesuai tema penelitian ini, jurnal-
jurnal penelitian, majalah dan lain sebagainya . Pengecekan keabsahan data
dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber data, triangulasi metode,
dan triangulasi teori.

3
Rondang Herlina, dkk Vol. 12 No. 1 Januari 2023

PEMBAHASAN
A. Perkawinan dan Poligami
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara dua jiwa yaitu seorang
laki-laki dan seorang wanita yang diharapkan dapat menjadi pondasi dalam
keutuhan perkawinan agar bisa berlangsung selamanya karena Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada prinsipnya menganut asas monogami yang
hanya memperbolehkan seorang laki-laki menikahi seorang wanita sekali
dalam hidupnya, yang semata-mata dilakukan untuk mencapai ridho Allah
SWT dan membentuk keluarga yang bahagia. (Ismiranto, 2019) Adanya ikatan
perkawinan tentunya tidak terlepans hak-hak dan kewajiban yang dimiliki oleh
seorang suami dan seorang isteri untuk memenuhi kebutuhan dalam rumah
tangga. Manusia akan melangsungkan keturunan dan mencapai kebahagiaan
yang dicitak-citakannya melalui perkawinan sebagai keluarga yang sakinah,
mawaddah dan warahmah.
Perkawinan dalam Islam mempunyai hubungan yang erat dengan agama
sehingga perkawinan bukan hanya sekedar unsur jasmani saja tetapi juga
unsur rohani. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannnya dengan
keturunan yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan
menjadi hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya. Dalam Kompilasi
Hukum Islam menyebutkan pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqan ghaliizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Meskipun hak dan kewajiban dalam perkawinan sudah
cukup jelas digariskan dalam ajaran Islam bahkan dalan UUP, namun tidak
dapat diingkari dalam perjalanan perkawinan seseorang selalu saja ada
terjadinya perceraian yang sedapat mungkin, perceraian tersebut dihindarkan.
Berdasarkan penjelasan pasal 39 UUP jo. Pasal 19 PP no. 9 tahun 1975, salah
satu upaya mempersulit perceraian yakni proses perceraian harus dilakukan
di depan sidang pengadilan jika ada cukup alasan untuk itu.(Artono, Faradz, &
Mukhsinun, 2020)
Adakalanya perceraian tidak terjadi, tetapi hal lainnya terjadi berupa
adanya poligami yang dimintakan oleh suami. Secara aturan, poligami memang
diperbolehkan tetapi oleh UUP hal ini diatur sangat ketat yang harus dipenuhu
jika ingin melakukan poligami. Menurut undang-undang ini, pada dasarnya,
dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri.
Begitu juga sebaliknya. Meski demikian, UU Perkawinan membolehkan
dilakukannya poligami jika memang diinginkan dan dibolehkan oleh pihak
terkait. Pasal 3 Ayat 2 berbunyi, “Pengadilan dapat memberi izin kepada
seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan”. (Pemerintah Republik Indonesia, 1974) Bagi
yang beragama Islam, ketentuan mengenai poligami diatur lebih lanjut dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Mengacu pada KHI, suami yang hendak beristri
lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Poligami
yang dilakukan tanpa izin dari Pengadilan Agama dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum. Aturan ini pun membatasi seorang suami hanya boleh
berpoligami sampai empat istri pada waktu bersamaan.
4
Rondang Herlina, dkk Vol. 12 No. 1 Januari 2023

Bagi seseorang yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil / Aparatur


Sipil Negara dan ingin berpoligami, terdapat pula aturan tambahan yang harus
dipatuhi. Dasar hukum untuk melakukan poligami bagi PNS tertuang dalam
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas PP
Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai
Negeri Sipil. Pasal 4 Ayat 1 berbunyi, “Pegawai Negeri Sipil pria yang akan
beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat”.
(Pemerintah Republik Indonesia, 1990) Syarat poligami menurut hukum yang
berlaku Menurut UU Perkawinan, pengadilan hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: :
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri ;
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidakdapat disembuhkan ;
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, ada sejumlah
syarat yang harus dipenuhi, yakni:
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri,
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka,
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka.
Persetujuan ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-
istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian. Selain itu, persetujuan juga tidak dibutuhkan jika tidak ada
kabar dari istrinya selama minimal dua tahun atau karena sebab lainnya yang
perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan. Secara garis besar, syarat
poligami yang ada pada UU Perkawinan tertuang juga dalam KHI dan PP Nomor
45 Tahun 1990.
Namun, KHI menyebut, syarat utama untuk poligami adalah suami harus
mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Jika syarat utama
ini tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri dari seorang. Sementara
itu, bagi PNS, ada juga syarat kumulatif yang seluruhnya harus dipenuhi, yaitu:
ada persetujuan tertulis dari istri, PNS pria yang bersangkutan mempunyai
penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang istri dan anak-
anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan, ada
jaminan tertulis dari PNS yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Izin untuk beristri lebih dari seorang
tidak akan diberikan jika bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang
dianut PNS yang bersangkutan, tidak memenuhi syarat alternatif dan ketiga
syarat kumulatif, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat, ada
kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.
Ijin mengajukan perceraian bagi PNS tentunya harus memenuhi
persyaratan dan mengajukan permohonan ijin tertulis kepada pejabat atasan
secara berjenjang. Ketentuan khusus yang mengatur tentang ijin perkawinan
PNS untuk berpoligami diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil
5
Rondang Herlina, dkk Vol. 12 No. 1 Januari 2023

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun


1990. (Pemerintah Republik Indonesia, 1990) Digunakannya Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tersebut karena dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil,
khususnya dalam Pasal 45 menyatakan bahwa Pada saat Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku: (1) Peraturan perundang-undangan yang
merupakan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan mengenai Disiplin
PNS yang ada sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diubah berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini.
Jadi izin untuk melakukan poligami diatur dengan ketat melalui Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas PP Nomor 10
Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS. Pasal 4 ayat (1)
berbunyi, “Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.” (Pemerintah Republik Indonesia,
1990) Permintaan izin PNS untuk berpoligami harus diajukan secara tertulis
dengan mencantumkan alasan lengkap untuk beristri lebih dari seorang
berikut syarat yang harus dipenuhinya atau tidak dibenarkan PNS poligami
diam-diam. Terdapat sanksi bagi PNS yang berpoligami tanpa izin, baik dari
istrinya maupun pejabat berwenang, atau yang tidak melapor pada atasannya.
Sanksi yang akan dijatuhkan adalah hukuman disiplin berat yang salah
satunya berupa pemecatan.
Pada hakekatnya inti dari penegakan hukum di sini adalah secara
konseptional yang terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang ada dalam masyarakat guna
memelihara dan mempertahankan ketertiban. Apabila ketentuan poligami bagi
PNS laki-laki dilanggar maka akan dikenakan sanksi hukuman disipilin
meskipun secara realitas fiqih poligami tidak dilarang. Hukuman disiplin di sini
berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun,
pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama
tiga tahun, pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih
rendah, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas
permintaan sendiri sebagai PNS, dan pemberhentian tidak dengan hormat
sebagai PNS.
Sementara secara realitas fiqih terhadap perkawinan asas poligami telah
diatur dalam Al-Qur’an QS. An-Nisa: 3 sebagai berikut :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil Maka (kawinilah) seorang saja atau
budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuatan. (Kementerian Agama, 2019)
Kemudian dari Hadits Aisyah ra. Ia berkata :
“Nabi membagi bagi sesuatu antara istri-istrinya, seadil-adilnya dan beliau
berkata Ya Allah ini cara pembagianku(yang dapat aku lakukan)maka jangan

6
Rondang Herlina, dkk Vol. 12 No. 1 Januari 2023

lah cela aku pada sesuatu yang enkau miliki (kecintaan dalam hati) dan itu tak
dapat aku miliki (HR. Abu dawud dan Tirmidzi).
Hadis tersebut sebagai penguat kewajiban melakukan pembagian yang
adil terhadap istri-istrinya yang merdeka dan makruh bersikap berat sebelah
dalam menggaulinya yang beraarti mengurangi haknya, tapi tidak dilarang
untuk lebih mencinti perempuan yang satu dari pada lainnya. Dari Abu
Hurairah ra. dari Nabi SAW bersabda:
“Siapa yang beristri dua orang lalu ia cenderung kepada salah seorang
diantara keduanya (tidak adil) maka Ia datang di hari kiamat dengan badan
miring.” (HR. Abu dawud Tirmidzi dan Ibnu Hibban).
B. POLIGAMI DALAM TINJAUAN USHUL FIQH SHIGHAT AMAR DALAM
AYAT POLIGAMI DAN IMPLIKASI HUKUMNYA
1. Definisi Amar (Perintah)
Ulama ushul mendefinisikan perintah adalah tuntutan suatu, artinya.
perintah untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya
kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya. (Fahimah, 2018) Ulama sepakat
bahwa tidak selamanya perintah dalam Alquran dan Hadits itu hukumnya
wajib oleh karenannya ulama menyusun beberapa kaidah yang berhubungan
dengan amar sebagai berikut:
a. Kaidah, asalnya perintah adalah wajib kecuali ada indikasi atau dalil yang
memalingkannya dari hukum tersebut.
Contoh Perintah yang hukumnya wajib QS an-Nisa: 77.
...dan dirikanlah shalat dan hukumnya wajib tunaikanlah zakat...
(Kementerian Agama, 2019)
Ayat ini menunjukan hukum wajib mendirikan shalat dan menunaikan zakat.
Contoh perintah yang disertai indikasi yang menunjukan hukum selain
wajib, sebagai QS. al-Baqarah/2; 283:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang) Akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain,maka hendaklah maka hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian dan barang siapa menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinnya; dan allah maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Kementerian Agama, 2019)
Ini adalah perintah untuk menyerahkan barang jaminan utang, dalam
ayat tersebut oleh mayoritas ulama fikih difahami sebagai anjuran, karena
bagian berikutnya dari ayat tersebut “akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaknya dipercayai itu memegang
amanahnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah.
b. Kaidah Suatu Perintah harus dilakukan berulang kali atau cukup
dilakukan sekali saja
Menurut jumhur ulama ushul fiqh, pada dasarnya suatu perintah tidak
menunjukan harus berulang kali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu. Karena
suatu perintah hanya menunjukan perlu terwujudnya perbuatan yang

7
Rondang Herlina, dkk Vol. 12 No. 1 Januari 2023

diperintahkan itu dan hal sudah bisa tercapai meskipun hanya dilakukan satu
kali, di dalam QS.al-Baqarah: 196 sebagai berikut :
”Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah…” (Kementerian
Agama, 2019)
Perintah melakukan haji dalam ayat tersebut sudah terpenuhi dengan
melakukan satu kali haji selama hidup. Adanya kemestian pengulangan, bukan
ditunjukkan oleh perintah itu sendiri tetapi oleh dalil lain, QS. al-Isra:78
sebagai berikut :
“Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam (dan
dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu(disaksikan oleh
malaikat)”. (Kementerian Agama, 2019)
Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera
dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan untuk itu, karena
yang dimaksud oleh suatu perintah hanyalah terwujudnya perbuatan yang
diperintahkan. Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama ushul fiqh. Menurut
pendapat ini, adanya ajaran agar suatu kebaikan segera dilakukan, bukan
ditarik dari perintah itu sendiri, tetapi dari dalil lain, misalnya secara umum
terkandung dalam ayat 148 surat al-Baqarah: “…Maka berlomba-lombalah
dalam kebaikan…” (Kementerian Agama, 2019)
Menurut sebagian ulama, bahwa suatu perintah menunjukkan hukum
wajib. Segera dilakukan. Menurut pendapat ini, barang siapa yang tidak segera
melakukan suatu perintah di awal waktunya, barang siapa yang tidak
melakukan suatu perintah di awal waktunya, maka ia berdosa.
Kaidah “Perintah terhadap sesuatau berarti perintah juga perantaranya,
perintah shalat berarti perintah bersuci.”Dalam kaidah ini artinya segala yang
diperintahkan oleh Allah berarti diperintahkannya sesuatu yang menjadi
perantara untuk mencapai sesuatu tersebut, seperti ketika Allah
memerintahkan untuk shalat, Allah memerintahkan juga untuk bersuci.
c. Kaidah Perintah terhadap sesuatu, berarti larangan untuk
sebaliknya.contoh dari kaidah ini firman Allah SWT dalam surat al-
Baqarah: 83: “...berkatalah kepada orang-orang itu dengan baik.
(Kementerian Agama, 2019)
Dalam kaidah ini artinya ketika Allah memerintah kepada manusia agar
berkata baik terhadap sesama manusia berarti dilarang untuk melakukan
sebaliknya yaitu berkata kasar.
d. Makna Perintah Dalam Ayat Poligami
Sebagaimana firman Allah dalam QS. an-Nisa’: 3 sebagai berikut : “Dan jika
kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat Berlaku adil12, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
(Kementerian Agama, 2019)
Ulama ushul berbeda pendapat dalam memaknai lafaz di atas, ada yang
mengatakan wajib, sunnah, mubah dan haram, kemudian mereka juga berbeda

8
Rondang Herlina, dkk Vol. 12 No. 1 Januari 2023

pendapat tentang bilangan yang dinikahi, ada yang mengatakan perintah


awalnya adalah dua, tiga, empat, maka satu adalah rukhsah. Ada juga yang
menambahkan dua ditambah tiga ditambah empat sama dengan sembilan. Ada
juga yang menambahkan dua kali lipat menjadi delapan belas, menurut ahli
bahasa itu udul artinya dua-dua, tiga-tiga. Akan tetapi perbedaan ulama secara
bahasa tersebut terbantahkan dengan hadits nabi yang memerintahkan kepada
sahabat agar menyisakan empat saja diantara para istrinya tersebut.
Selanjutnya, untuk kebolehan poligami sebagian ulama juga sangat
menekankan kepada syarat adil sebagai syarat muthlak atas dasar pandangan
mereka.

PENUTUP
Pernikahan adalah sesuatu yang sakral karena merupakan ikatan batin
antara seorang suami dan seorang isteri berdasarkan keTuhanan Yang Maha
Esa. Di dalam perkawinan manakala istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai istri, mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidakdapat disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan, maka
suami dapat melakukan poligami. Namun untuk melakukan poligami, secara
hukum dan etika tentunya harus diperhatikan. Oleh karenanya persyaratan
poligami diperketat dan untuk mengajukan permohonan poligami harus ke
pengadilan dengan memenuhi persyaratan adanya persetujuan dari istri/istri-
istri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka dan adanya jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Hubungan antara etika dan hukum dalam persoalan pernikahan
poligami seyogyanya harus berjalan seimbang karena masyarakat kita tentuya
masih ada pro dan kontra meskipun sudah ada regulasi yang mengaturnya
baik secara negara maupun secara agama. Pada akhirnya jika hukum dan etika
telah berjalan baik maka realitas fiqh terkait poligami juga dapat diwujudkan.
Regulasi permasalahan poligami seringkali disinggung dalam surat an-nisa
ayat 3 dan ayat 129. Dalam ayat 3 berbicara tentang kebolehan poligami, dalam
ayat 129 membicarakan tentang kesulitannya dan ketidak mampuan seorang
suami untuk berbuat adil terhadap para istri, ini artinya kebolehan poligami
itu terikat dengan syarat yang ketat yang berarti jika syarat itu tidak terpenuhi
maka poligami tidak bolah dilakukan. Oleh karenanya manakala seorang suami
memutuskan untuk berpoligami, maka perlu pertimbangan yang matang
supaya keutamaan poligami untuk berlaku adil dapat dilaksanakan dengan
baik.

9
Rondang Herlina, dkk Vol. 12 No. 1 Januari 2023

DAFTAR PUSTAKA

Al-Tirmizi, I. (2016). PERNIKAHAN DAN HIKMAHNYA PERSPEKTIF HUKUM

ISLAM. YUDISIA : Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam, 5(2).

https://doi.org/10.21043/yudisia.v5i2.703

An Nasai. Hadits Nasai No. 2185 | Perbedaan pada Abu Shalih tentang hadis

ini. Retrieved 01/12/2023 from

http://www.hadits.id/hadits/nasai/2185

Artono, W., Faradz, H., & Mukhsinun, M. (2020). CERAI GUGAT KARENA

KEKERASAN PSIKIS (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Agama

Jakarta Pusat Nomor: 0639/Pdt.G/2018/Pa.Jp). Soedirman Law Review,

2(2). Retrieved from

http://journal.fh.unsoed.ac.id/index.php/SLR/article/view/59

Atabik, A., & Mudhiiah, K. (2016). PERNIKAHAN DAN HIKMAHNYA

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. YUDISIA : Jurnal Pemikiran Hukum Dan

Hukum Islam, 5(2). https://doi.org/10.21043/yudisia.v5i2.703

Fahimah, S. (2018). Urgensitas Amr Nahy Dalam Memahami Ayat-Ayat Al

Qur’an. Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran Dan Tafsir, 1(1), 1–13.

Ibnu Sahroji, M. Definisi dan Macam-macam Hukum Nikah | NU Online.

Retrieved 01/12/2023 from https://islam.nu.or.id/nikah-

keluarga/definisi-dan-macam-macam-hukum-nikah-pJcHS

Ismiranto, D. (2019). ASAS MONOGAMI DALAM SISTEM HUKUM

PERKAWINAN DI INDONESIA DAN TUNISIA. Negara Dan Keadilan, 8(1).

https://doi.org/10.33474/hukum.v8i1.4477

10
Rondang Herlina, dkk Vol. 12 No. 1 Januari 2023

Kementerian Agama. Al-Qur’an Dan Terjemahnya (2019). Available at:

https://archive.org/details/al-quran-kemenag-edisi-penyempurnaan-

2019

Majah, I. (2020, May 26). Pesan Rasulullah SAW untuk Pasangan Muda-Mudi

yang Kasmaran. Retrieved 01/12/2023 from

https://republika.co.id/share/qav2on320

Pemerintah Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 3 Ayat 2 (1974).

Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun

1990 tentang Perubahan Atas PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin

Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (1990). Available at:

https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/60959/pp-no-45-tahun-

1990

11

You might also like