1567-Article Text-4744-3-10-20230118
1567-Article Text-4744-3-10-20230118
1567-Article Text-4744-3-10-20230118
Kurniati
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
e-mail: [email protected]
Lomba Sultan
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
e-mail: [email protected]
Abstract
Family life or marriage will only occur through a legal marriage, both according
to religion and the applicable statutory provisions. Marriage is an inner and outer
bond between a man and a woman as husband and wife with the aim of forming
a family (a happy household) and eternally based on the One and Only God. It is
hoped that this inner bond will become the foundation for the integrity of the
marriage so that it can last forever, because the Marriage Law adheres to the
principle of monogamy which only allows one wife to marry one husband. In
Islamic teachings, the principle of polygamy by the husband is permissible if the
wife cannot carry out her obligations as a good wife because of an incurable
disease, a disability and the inability to bear children. However, the conditions
are stricter with the approval of the Religious Courts. This research uses a
qualitative empirical approach. Data collection through observation, interviews
and documentation. The analysis technique was carried out by data reduction,
data verification and data analysis. While checking the validity of the data is
done by triangulation method. Therefore the relevance or relationship of law and
ethics in polygamous marriages can be properly considered so that the reality of
fiqh can be realized in accordance with religious shari'ah.
Keywords: Marriage, Monogamy, Polygamy
Abstrak
Kehidupan berkeluarga atau pernikahan hanya akan terjadi melalui perkawinan
yang sah, baik menurut agama maupun ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga
yang bahagia) dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan batin
itu diharapkan akan menjadi pondasi bagi keutuhan perkawinan agar bisa
berlangsung selamanya, karena Undang-Undang Perkawinan menganut asas
monogami yang hanya memperbolehkan menikah seorang istri dengan
Rondang Herlina, dkk Vol. 12 No. 1 Januari 2023
seorang suami. Di dalam ajaran Islam, asas poligami yang dilakukan oleh suami
diperbolehkan jika istri tidak dapat melaksakan kewajibannya sebagai istri baik
karena penyakit yang tidak bisa disembuhkan, cacat badan dan tidak dapat
melahirkan keturunan. Namun persyaratannya diperketat atas persetujuan dari
Pengadilan Agama. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif empiris.
Pengumpulan data melalui cara observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik
analisis dilakukan dengan reduksi data, verifikasi data dan analisis data.
Sedangkan pengecekan keabsahan data dilakukan dengan metode triangulasi.
Oleh karenanya relevansi atau hubungan hukum dan etika dalam perkawinan
poligami dapat dipertimbangkan dengan baik agar realitas fiqh dapat
diwujudkan sesuai syari’at agama.
Kata Kunci : Perkawinan, Monogami, Poligami
PENDAHULUAN
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang lelaki dan
seorang wanita sebagai pasangan suami istri yang bertujuan membentuk rumah
tangga atau keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan rida ilahi. (Atabik &
Mudhiiah, 2016) Undang-undang Perkawinan menghendaki perkawinan itu
haruslah berlangsung untuk seumur hidup dan perceraian hanya merupakan
alternatif terakhir setelah jalan lain. Adanya perkawinan membawa hikmah
dapat menghalangi mata dari penglihatan terhadap hal-hal yang tidak diizinkan
syara' dan menjaga kehormatan diri dari terjatuh pada kerusakan seksual,
sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh Nabi dalam hadisnya yang muttafaq
alaih yang berasal dari Abdullah ibn Mas'ud, ucapan Nabi sebagai berikut :
"Wahai para pemuda, siapa di antara kamu yang telah mempunyai
kemampuan untuk kawin, maka kawinlah, karena perkawinan itu lebih
menghalangi penglihatan (dari maksiat) dan lebih menjaga kehormatan (dari
kerusakan seksual). Siapa yang belum mampu hendaklah berpuasa, karena
puasa itu baginya akan mengekang syahwat." (An Nasai)
Dikutip dari NU online, definisi nikah dijelaskan oleh Syekh Zakariya Al-
Anshari dalam kitab Fathul Wahab, sebagai berikut :
2
Rondang Herlina, dkk Vol. 12 No. 1 Januari 2023
3
Rondang Herlina, dkk Vol. 12 No. 1 Januari 2023
PEMBAHASAN
A. Perkawinan dan Poligami
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara dua jiwa yaitu seorang
laki-laki dan seorang wanita yang diharapkan dapat menjadi pondasi dalam
keutuhan perkawinan agar bisa berlangsung selamanya karena Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada prinsipnya menganut asas monogami yang
hanya memperbolehkan seorang laki-laki menikahi seorang wanita sekali
dalam hidupnya, yang semata-mata dilakukan untuk mencapai ridho Allah
SWT dan membentuk keluarga yang bahagia. (Ismiranto, 2019) Adanya ikatan
perkawinan tentunya tidak terlepans hak-hak dan kewajiban yang dimiliki oleh
seorang suami dan seorang isteri untuk memenuhi kebutuhan dalam rumah
tangga. Manusia akan melangsungkan keturunan dan mencapai kebahagiaan
yang dicitak-citakannya melalui perkawinan sebagai keluarga yang sakinah,
mawaddah dan warahmah.
Perkawinan dalam Islam mempunyai hubungan yang erat dengan agama
sehingga perkawinan bukan hanya sekedar unsur jasmani saja tetapi juga
unsur rohani. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannnya dengan
keturunan yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan
menjadi hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya. Dalam Kompilasi
Hukum Islam menyebutkan pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqan ghaliizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Meskipun hak dan kewajiban dalam perkawinan sudah
cukup jelas digariskan dalam ajaran Islam bahkan dalan UUP, namun tidak
dapat diingkari dalam perjalanan perkawinan seseorang selalu saja ada
terjadinya perceraian yang sedapat mungkin, perceraian tersebut dihindarkan.
Berdasarkan penjelasan pasal 39 UUP jo. Pasal 19 PP no. 9 tahun 1975, salah
satu upaya mempersulit perceraian yakni proses perceraian harus dilakukan
di depan sidang pengadilan jika ada cukup alasan untuk itu.(Artono, Faradz, &
Mukhsinun, 2020)
Adakalanya perceraian tidak terjadi, tetapi hal lainnya terjadi berupa
adanya poligami yang dimintakan oleh suami. Secara aturan, poligami memang
diperbolehkan tetapi oleh UUP hal ini diatur sangat ketat yang harus dipenuhu
jika ingin melakukan poligami. Menurut undang-undang ini, pada dasarnya,
dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri.
Begitu juga sebaliknya. Meski demikian, UU Perkawinan membolehkan
dilakukannya poligami jika memang diinginkan dan dibolehkan oleh pihak
terkait. Pasal 3 Ayat 2 berbunyi, “Pengadilan dapat memberi izin kepada
seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan”. (Pemerintah Republik Indonesia, 1974) Bagi
yang beragama Islam, ketentuan mengenai poligami diatur lebih lanjut dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Mengacu pada KHI, suami yang hendak beristri
lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Poligami
yang dilakukan tanpa izin dari Pengadilan Agama dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum. Aturan ini pun membatasi seorang suami hanya boleh
berpoligami sampai empat istri pada waktu bersamaan.
4
Rondang Herlina, dkk Vol. 12 No. 1 Januari 2023
6
Rondang Herlina, dkk Vol. 12 No. 1 Januari 2023
lah cela aku pada sesuatu yang enkau miliki (kecintaan dalam hati) dan itu tak
dapat aku miliki (HR. Abu dawud dan Tirmidzi).
Hadis tersebut sebagai penguat kewajiban melakukan pembagian yang
adil terhadap istri-istrinya yang merdeka dan makruh bersikap berat sebelah
dalam menggaulinya yang beraarti mengurangi haknya, tapi tidak dilarang
untuk lebih mencinti perempuan yang satu dari pada lainnya. Dari Abu
Hurairah ra. dari Nabi SAW bersabda:
“Siapa yang beristri dua orang lalu ia cenderung kepada salah seorang
diantara keduanya (tidak adil) maka Ia datang di hari kiamat dengan badan
miring.” (HR. Abu dawud Tirmidzi dan Ibnu Hibban).
B. POLIGAMI DALAM TINJAUAN USHUL FIQH SHIGHAT AMAR DALAM
AYAT POLIGAMI DAN IMPLIKASI HUKUMNYA
1. Definisi Amar (Perintah)
Ulama ushul mendefinisikan perintah adalah tuntutan suatu, artinya.
perintah untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya
kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya. (Fahimah, 2018) Ulama sepakat
bahwa tidak selamanya perintah dalam Alquran dan Hadits itu hukumnya
wajib oleh karenannya ulama menyusun beberapa kaidah yang berhubungan
dengan amar sebagai berikut:
a. Kaidah, asalnya perintah adalah wajib kecuali ada indikasi atau dalil yang
memalingkannya dari hukum tersebut.
Contoh Perintah yang hukumnya wajib QS an-Nisa: 77.
...dan dirikanlah shalat dan hukumnya wajib tunaikanlah zakat...
(Kementerian Agama, 2019)
Ayat ini menunjukan hukum wajib mendirikan shalat dan menunaikan zakat.
Contoh perintah yang disertai indikasi yang menunjukan hukum selain
wajib, sebagai QS. al-Baqarah/2; 283:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang) Akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain,maka hendaklah maka hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian dan barang siapa menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinnya; dan allah maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Kementerian Agama, 2019)
Ini adalah perintah untuk menyerahkan barang jaminan utang, dalam
ayat tersebut oleh mayoritas ulama fikih difahami sebagai anjuran, karena
bagian berikutnya dari ayat tersebut “akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaknya dipercayai itu memegang
amanahnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah.
b. Kaidah Suatu Perintah harus dilakukan berulang kali atau cukup
dilakukan sekali saja
Menurut jumhur ulama ushul fiqh, pada dasarnya suatu perintah tidak
menunjukan harus berulang kali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu. Karena
suatu perintah hanya menunjukan perlu terwujudnya perbuatan yang
7
Rondang Herlina, dkk Vol. 12 No. 1 Januari 2023
diperintahkan itu dan hal sudah bisa tercapai meskipun hanya dilakukan satu
kali, di dalam QS.al-Baqarah: 196 sebagai berikut :
”Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah…” (Kementerian
Agama, 2019)
Perintah melakukan haji dalam ayat tersebut sudah terpenuhi dengan
melakukan satu kali haji selama hidup. Adanya kemestian pengulangan, bukan
ditunjukkan oleh perintah itu sendiri tetapi oleh dalil lain, QS. al-Isra:78
sebagai berikut :
“Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam (dan
dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu(disaksikan oleh
malaikat)”. (Kementerian Agama, 2019)
Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera
dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan untuk itu, karena
yang dimaksud oleh suatu perintah hanyalah terwujudnya perbuatan yang
diperintahkan. Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama ushul fiqh. Menurut
pendapat ini, adanya ajaran agar suatu kebaikan segera dilakukan, bukan
ditarik dari perintah itu sendiri, tetapi dari dalil lain, misalnya secara umum
terkandung dalam ayat 148 surat al-Baqarah: “…Maka berlomba-lombalah
dalam kebaikan…” (Kementerian Agama, 2019)
Menurut sebagian ulama, bahwa suatu perintah menunjukkan hukum
wajib. Segera dilakukan. Menurut pendapat ini, barang siapa yang tidak segera
melakukan suatu perintah di awal waktunya, barang siapa yang tidak
melakukan suatu perintah di awal waktunya, maka ia berdosa.
Kaidah “Perintah terhadap sesuatau berarti perintah juga perantaranya,
perintah shalat berarti perintah bersuci.”Dalam kaidah ini artinya segala yang
diperintahkan oleh Allah berarti diperintahkannya sesuatu yang menjadi
perantara untuk mencapai sesuatu tersebut, seperti ketika Allah
memerintahkan untuk shalat, Allah memerintahkan juga untuk bersuci.
c. Kaidah Perintah terhadap sesuatu, berarti larangan untuk
sebaliknya.contoh dari kaidah ini firman Allah SWT dalam surat al-
Baqarah: 83: “...berkatalah kepada orang-orang itu dengan baik.
(Kementerian Agama, 2019)
Dalam kaidah ini artinya ketika Allah memerintah kepada manusia agar
berkata baik terhadap sesama manusia berarti dilarang untuk melakukan
sebaliknya yaitu berkata kasar.
d. Makna Perintah Dalam Ayat Poligami
Sebagaimana firman Allah dalam QS. an-Nisa’: 3 sebagai berikut : “Dan jika
kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat Berlaku adil12, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
(Kementerian Agama, 2019)
Ulama ushul berbeda pendapat dalam memaknai lafaz di atas, ada yang
mengatakan wajib, sunnah, mubah dan haram, kemudian mereka juga berbeda
8
Rondang Herlina, dkk Vol. 12 No. 1 Januari 2023
PENUTUP
Pernikahan adalah sesuatu yang sakral karena merupakan ikatan batin
antara seorang suami dan seorang isteri berdasarkan keTuhanan Yang Maha
Esa. Di dalam perkawinan manakala istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai istri, mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidakdapat disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan, maka
suami dapat melakukan poligami. Namun untuk melakukan poligami, secara
hukum dan etika tentunya harus diperhatikan. Oleh karenanya persyaratan
poligami diperketat dan untuk mengajukan permohonan poligami harus ke
pengadilan dengan memenuhi persyaratan adanya persetujuan dari istri/istri-
istri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka dan adanya jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Hubungan antara etika dan hukum dalam persoalan pernikahan
poligami seyogyanya harus berjalan seimbang karena masyarakat kita tentuya
masih ada pro dan kontra meskipun sudah ada regulasi yang mengaturnya
baik secara negara maupun secara agama. Pada akhirnya jika hukum dan etika
telah berjalan baik maka realitas fiqh terkait poligami juga dapat diwujudkan.
Regulasi permasalahan poligami seringkali disinggung dalam surat an-nisa
ayat 3 dan ayat 129. Dalam ayat 3 berbicara tentang kebolehan poligami, dalam
ayat 129 membicarakan tentang kesulitannya dan ketidak mampuan seorang
suami untuk berbuat adil terhadap para istri, ini artinya kebolehan poligami
itu terikat dengan syarat yang ketat yang berarti jika syarat itu tidak terpenuhi
maka poligami tidak bolah dilakukan. Oleh karenanya manakala seorang suami
memutuskan untuk berpoligami, maka perlu pertimbangan yang matang
supaya keutamaan poligami untuk berlaku adil dapat dilaksanakan dengan
baik.
9
Rondang Herlina, dkk Vol. 12 No. 1 Januari 2023
DAFTAR PUSTAKA
https://doi.org/10.21043/yudisia.v5i2.703
An Nasai. Hadits Nasai No. 2185 | Perbedaan pada Abu Shalih tentang hadis
http://www.hadits.id/hadits/nasai/2185
Artono, W., Faradz, H., & Mukhsinun, M. (2020). CERAI GUGAT KARENA
http://journal.fh.unsoed.ac.id/index.php/SLR/article/view/59
keluarga/definisi-dan-macam-macam-hukum-nikah-pJcHS
https://doi.org/10.33474/hukum.v8i1.4477
10
Rondang Herlina, dkk Vol. 12 No. 1 Januari 2023
https://archive.org/details/al-quran-kemenag-edisi-penyempurnaan-
2019
Majah, I. (2020, May 26). Pesan Rasulullah SAW untuk Pasangan Muda-Mudi
https://republika.co.id/share/qav2on320
Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (1990). Available at:
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/60959/pp-no-45-tahun-
1990
11