Etika Penyembelihan
Etika Penyembelihan
Etika Penyembelihan
Abstrak
1
Dosen/Guru Besar Hukum Islam dan Ilmu Falak IAIN Curup Provinsi Bengkulu
2
hewan, tidak boleh menyebut nama selain Allah, harus menajamkan pisau,
menghadap kiblat, dan harus berbuat ihsan terhadap binatang yang akan disembelih.
Dunia modern memperkenalkan teknologi stunning, yaitu pemingsangan terhadap
binatang yang akan disembelih. Melalui teknologi tersebut proses penyembelihan
hewan berjalan lancar dan kualitas dagingnya pun menjadi lebih baik.
Dalam membahas persoalan di sekitar penyembelihan ini, metode yang
digunakan adalah deskriptif analisis dengan mengambil sumber utama Alquran dan
Alhadits yang berkaitan dengan hal-hal (makanan) yang dihalalkan dan diharamkan
dalam Islam. Hasil pembahasannya adalah bahwa Islam memandang bahwa stunning
merupakan pengejawantahan dari perbuatan ihsan terhadap binatang yang akan
disembelih. Oleh karena itu. MUI memfatwakan bahwa tindakan stunning
dibolehkan.
Makanan/minuman yang dikonsumsi manusia mempunyai dampak positif dan
negatif bagi kesehatan jasmani maupun ruhani. Islam mengajarkan agar dalam
mengkonsumsi makanan tidak hanya mempertimbangkan dampak positif bagi
jasmani, tetapi yang lebih penting adalah dampak positif bagi ruhani. Oleh karena
itulah maka ada kriteria halal dan haram dalam Islam bagi makanan yang akan
dikonsumsi.
Pendahuluan
Manusia hidup butuh makan meskipun manusia hidup bukan hanya untuk makan.
Manusia hidup memerlukan vitamin, protein, gizi dan zat-zat lain yang sangat dibutuhkan
oleh tubuh untuk kelangsungan hidupnya. Semuanya itu bisa diperoleh melalui asupan gizi
makanan/minuman yang dikonsumsinya. Daging hewan adalah salah satu jenis makanan
yang dikonsumsi manusia yang dapat menghasilkan energi. Hasil asupan gizi makanan/
minuman yang masuk ke dalam tubuh diproses oleh tubuh menjadi energi yang
menggerakkan tubuh manusia untuk melakukan aktifitas. Sebagai agama yang mengajarkan
kebersihan, Islam mewanti-wanti umatnya agar selalu menjaga dan berhati-hati dalam
memilih makanan/minuman yang akan dikonsumsi. Hal itu karena adanya hubungan yang
erat antara makanan/ minuman yang dikonsumsi dengan kesehatan dan energi yang
ditimbulkan oleh makanan/minuman tersebut. Islam tidak hanya mengajarkan umatnya
untuk mewaspadai adanya dampak buruk yang ditimbulkan oleh makanan/minuman pada
aspek kesehatan jasmani, tetapi yang lebih penting adalah adanya bahaya yang bisa
menimbulkan kerusakan ruhani2. Menurut Islam, kerusakan ruhani lebih berbahaya
2
Hal itu berdasarkan pesan Rasulullah Saw kepada sahabat Sa‘ad Ra.
3
dibanding kerusakan jasmani. Oleh sebab itu, Islam sangat serius mengatur urusan
makanan/minuman bagi umatnya agar manusia tidak rusak kehidupannya hanya lantaran
keliru dalam mengkonsumsi makanan/ minuman. Begitu pentingnya urusan
makanan/miniman ini di dalam kaitannya dengan kesehatan dan pembentukan energi yang
Islami, sampai-sampai Allah SWT menamakan salah satu surat di dalam Al-quran dengan
nama Al-Maidah yang berarti hidangan.
Artinya : "Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah : 168)
Ayat di atas mengajarkan kepada umat Islam untuk mengkonsumsi makanan yang
halal lagi baik. Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam mengkonsumsi makanan, yakni
pertama halal, dan kedua baik/bersih. Halal menunjukkan kriteria hukum yang harus
dipenuhi, sedangkan baik menunjukkan kriteria kandungan gizi yang sangat dibutuhkan
bagi kesehatan badan dan dalam memproses makanan itu sehingga memberikan efek positif
bagi ruhani.
Dalam soal makanan, menurut kajian Usul Fikih ada dua kriteria yang menunjukkan
kehalalan, yaitu (1) halal dzat atau substansi barangnya, (halal li dzatihi) dan (2) halal
ل ِم ْنهُ َع َم َل َأرْ بَ ِعينَ يَوْ ًماWُ َّ ِإنَّ ْال َع ْب َد لَيَ ْق ِذفُ اللُّ ْق َمةَ ْال َح َرا َم فِي جَوْ فِ ِه َما يُتَقَب، َوالَّ ِذي نَ ْفسُ ُم َح َّم ٍد بِيَ ِد ِه،اب ال َّد ْع َو ِة ْ يَا َس ْع ُد َأ ِطبْ َم
Wَ ط َع َمكَ تَ ُك ْن ُم ْست ََج
“Wahai Sa‘ad, perbaikilah makananmu, niscaya doamu mustajab. Demi Dzat yang menggenggam
jiwa Muhammad, sesungguhnya seorang hamba yang melemparkan satu suap makanan yang haram ke
dalam perutnya, maka tidak diterima amalnya selama empat puluh hari” (HR. At-Thabrani) Baca : Sulaiman
ibn Ahmad, al-Mu‘jam al-Ausath, jilid 6, hal. 310.
4
dalam mendapatkannya (halal li ghirihi).3 Halal secara dzat atau substansi adalah karena
memang barang tersebut secara substansial dihalalkan oleh Allah untuk dikonsumsi.
Adapun halal dalam mendapatkan berarti benar dalam mencari dan memperolehnya. Bahwa
makanan tersebut diperoleh melalui usaha yang dibenarkan oleh hukum, bukan dengan
usaha yang melawan hukum. Sesuatu yang halal karena diperoleh dengan cara yang tidak
benar, maka menjadi haram hukumnya. Keharaman di situ adalah haram li ghairihi, haram
karena sebab, bukan karena dzat atau substansi barang itu.
Lebih lanjut pengaruh makanan halal terhadap kehidupan ruhani manusia dijelaskan
oleh Ustadz M. Ali Zainal Abidin, anggota Komisi Fatwa MUI Jawa Timur bahwa ada lima
pengaruh makanan halal terhadap pribadi seseorang, yaitu :
Mengonsumsi makanan yang halal juga sangat penting bagi orang yang
menginginkan keturunan yang saleh dan salehah. Wali Qutbul Ghauts, Syekh Abdul Qadir
al-Jilani, dalam kitabnya al-Ghunyah menjelaskan:
5
Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûmiddîn, Beirut, Dârul Fikr, halaman 104.
Drs. Muammal Hamidy dkk., Terjemah Nailul Authar, Jilid 6, Surabaya : Bina Ilmu, 1993,
6
Halaman 3047
7
Ibid, halaman 305
6
ٍ َأس
اس اَل َي ُك ْو ُن َ الولَ ُد َعلَى
َ ق َ َات ِلُي ْخل
ِ الش به
ُّ ِ ِ
َ ُ اء َها م َن اْل َح َرام َو
ِ ِّ ات حْب ِل اْلم ر َِأة َفْليص
َ ف غ َذ َ ُ َْ َ ُ َأم َار
َ ت ْ ظهَ َرَ إ َذا
ان ِفى ِط َّ َأهلُ هُ وولَ ُدهُ ِم َن
َ الش ْي َ َ ْ ص ُه َو َو
ِ َ اف وي ُدوم علَى َذِل
َ ُك لَي ْخل
ِ ِّ َأن ي ُك ون ِم ْن ِح ْي ِن
َ ُ ْ َ َ َالزف َ ْ َ ْ :اَأْلولَى ِ ِ
ْ َو.ان َعلَْي ه َس بْي ٌلِط َّ ِل
َ لش ْي
ِ ك بِبر َك ِة تَص ِفي ِة اْل ِغ َذ ِ ُّ ِ ِ ك ي ْخرج الولَ ُد ص ِالحا ب ًّارا بَِأبو ْي ِه َ ِئ ِ ِ َّ الد ْنيا و ِمن
اء َ ْ َ َ َ ُكل َذل.طا ًعا ل َربِّه ََ َ ً َ َ ُ ُ َ َ َو َم َع َذل،الن ِار فى اْل ُع ْقَبى َ َ َ ُّ
Artinya, “Tatkala tampak tanda-tanda kehamilan wanita, hendaknya suami
menjaga makanannya dari yang haram dan yang syubhat agar anaknya dapat terbentuk
atas fondasi dimana setan tidak dapat menjangkaunya. Alangkah baiknya jika kebiasaan
menghindar dari makanan haram dan syubhat dimulai saat prosesi pernikahan dan terus
berlangsung sampai kelahiran anak, agar suami itu, istri, dan anak-anaknya nanti selamat
dari godaan setan di dunia dan selamat dari neraka di akhirat kelak. Dengan melakukan
hal tersebut, anak akan lahir sebagai anak yang salih, berbakti pada kedua orang tua, dan
taat kepada Tuhannya. Semua itu karena barokah menjaga makanan (dari yang haram dan
syubhat).”8
Selain itu, makanan yang halal juga akan menumbuhkan sifat qanaah dan syukur
serta mengurangi bahkan menghilangkan sikap rakus dan tamak kepada harta dunia. 10
Selanjutnya, di dalam surat al-Maidah ayat 3 Allah SWT menjelaskan jenis makanan yang
tidak halal dikonsumsi :
8
Abdul Qadir al-Jilani, al-Ghunyah, Beirut: Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah, juz I, 1997, halaman 103-
104.
9
Abdul Wahab as-Sya’rani, Tanbîhul Mughtarrîn, Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002,
halaman 240).
10
Al-Ghazali, Benang Tipis antara Halal dan Haram, Surabaya : Putra Pelajar, 2002, halaman 11
7
َ ِإ َّن هللاَ تَ َعالَى طَيِّبٌ ال: صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َ ِال َرسُوْ ُل هللا َ َ ق: ي هللاُ َع ْنهُ قَا َل Wَ ضِ ع َْن َأبِي هُ َر ْي َرةَ َر
ِ اWWَوا ِمنَ الطَّيِّبWWُيَا َأيُّهَا الرُّ ُس ُل ُكل, : َوِإ َّن هللاَ َأ َم َر ْال ُمْؤ ِمنِ ْينَ بِ َما َأ َم َر بِ ِه ْال ُمرْ َسلِ ْينَ فَقَا َل تَ َعالَى،ًيَ ْقبَ ُل ِإالَّ طَيِّبا
ت
ُلWWْت َما َرزَ ْقنَا ُك ْم – ثُ َّم َذ َك َر ال َّر ُج َل يُ ِطي ِ يَا َأيُّهَا الَّ ِذ ْينَ آ َمنُوا ُكلُوا ِم ْن طَيِّبَا, : صالِحا ً – َوقا َ َل تَ َعالَى َ َوا ْع َملُوا
َ Wهُ َحWرا ٌم َو َم ْلبَ ُسW
را ٌمW َ W َربُهُ َحWرا ٌم َو َم ْشW ْ ا َربِّ َو َمWWَا َ َربِّ يW َما ِء يWالس
َ W هُ َحWط َع ُم َّ ِه ِإلَىWث َأ ْغبَ َر يَ ُم ُّد يَ َد ْي
َ ال َّسفَ َر َأ ْش َع
][رواه مسلم. ُي بِ ْال َح َر ِام فََأنَّى يُ ْست ََجابُ لَه َ َو ُغ ِّذ
“Dari Abu Hurairah ra dia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya
Allah ta’ala itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah
memerintahkan orang beriman sebagaimana dia memerintahkan para rasul-Nya dengan
firmannya: Wahai Para Rasul makanlah yang baik-baik dan beramal shalihlah. Dan Dia
berfirman: Wahai orang-orang yang beriman makanlah yang baik-baik dari apa yang
Kami rizkikan kepada kalian. Kemudian beliau menyebutkan ada seseorang melakukan
perjalan jauh dalam keadaan kumal dan berdebu. Dia memanjatkan kedua tangannya ke
langit seraya berkata: Yaa Robbku, Ya Robbku, padahal makanannya haram, minumannya
Kholilah Marhijanto, Pandangan Imam Ghazali tentang Halal dan haram, Surabaya : Tiga
11
haram, pakaiannya haram dan kebutuhannya dipenuhi dari sesuatu yang haram, maka
(jika begitu keadaannya) bagaimana doanya akan dikabulkan. (HR. Muslim)12
Hati manusia sebagai tempat berseminya iman adalah ibarat kaca bening yang siap
menerima pancaran Nur Ilahi (cahaya kebenaran). Nur Ilahi itu sangat dibutuhkan oleh
manusia agar iman yang bersemayam di dalam hatinya bisa tumbuh dan berkembang. Jika
seseorang melakukan perbuatan dosa, misalnya mengkonsumsi makanan/minuman yang
haram, maka perbuatan dosa itu akan menimbulkan noda hitam pada “kaca” itu. Semakin
banyak ia melakukan perbuatan dosa, makin banyak pula noda-noda hitam yang menutupi
hatinya. Akibatnya, Nur Ilahi yang akan menyinari iman terhalang oleh noda-noda tersebut.
Jika noda-noda tersebut tidak cepat-cepat dibersihkan, ia akan melekat kuat, dan iman yang
ada di dalamnya semakin merana karena tidak menerima siraman Nur Ilahi yang sangat
dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya. Dan jika hal itu dibiarkan terus, maka iman di
dalam hati pun akan layu dan akhirnya mati.
Iman yang bersemi di dalam hati itu berfungsi semacam agregat yang dapat
menggerakkan kemauan seseorang untuk melakukan amal saleh. Maka, jika imannya telah
layu atau bahkan mati, semangat untuk berbuat kebajikan pun menjadi lemah dan
menghilang. Jika demikian keadaannya, maka yang muncul adalah kemauan berbuat
maksiat. Semakin lama semakin terbiasa ia bergelimang dalam lumpur maksiat. Sehingga,
ia tidak lagi menyadari bahwa perbuatannya itu adalah dosa. Baginya perbuatan dosa bukan
lagi menjadi aib, melainkan malah menjadi kebutuhan. Ia tidak malu-malu lagi berbuat
maksiat itu dan bahkan merasa puas dan terhormat berakrab-akrab dengan maksiat. Saking
terbiasanya ia melakukan maksiat, sampai-sampai hatinya tidak lagi tersentak dan
ruhaninya tidak pernah mengutuk terhadap perbuatan dosa dan maksiat. Mata hatinya
sudah membuta dan suara nuraninya telah membisu. Semua itu disebabkan oleh perbuatan
dosa, termasuk dalam hal ini memakan makanan yang haram.13
12
Drs. Muammal Hamidy dkk., Terjemah Nailul Authar, op.cit., Halaman 305
13
Thabieb Al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Ruhani,
Jakarta : Al-Mawardi Prima, 2003, halaman 39
9
akan makanan yang haram”. Ibnu Umar berkata : “Sekiranya kamu shalat hingga
bungkuk, dan kamu berpuasa sampai badanmu seperti lidi (karena kurus), Allah tidak akan
menerima amalan-amalanmu itu sampai kamu benar-benar hanya memakan sesuatu yang
halal.14
Dalam kitab Taurat disebutkan : “Barang siapa yang tidak menghiraukan dari
mana sumber makanannya, niscaya Allah tidak menghiraukan pula pintu mana ia akan di
masukkan ke dalam neraka”. 15
Sofyan Ats-Tsauri mengatakan : “Orang yang memakan makanan yang haram dan
syubhat (belum jelas halalnya), meskipun pada lahirnya ia telah berbuat kebaikan, maka
semua kebaikannya tidak akan diterima Allah SWT.16
Sebagai penutup uraian tajuk ini penulis nukilkan hadits Nabi saw. : “Sesungguhnya
Allah itu baik/suci. Ia tidak akan menerima kecuali yang suci pula”.
Sembelihan binatang yang halal dapat dikatakan memenuhi ketentuan syar’i apabila
memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
Pertama, binatang tersebut disembelih dengan alat yang tajam (pisau/ mesin atau
yang lainnya) sehingga darah binatang itu dapat dialirkan secara tuntas. Dalam suatu
riwayat dijelaskan bahwa Adi bin Hatim berkata : “Ya Rasulullah, kami berburu binatang
sedangkan kami tidak membawa pisau kecuali batu tajam dan serpihan tongkat. Dapatkah
kami pakai untuk menyembelih?. Rasulullah menjawab: “Alirkan darahnya dengan
apapun yang kau bisa, dan sebutlah nama Allah atasnya”.(HR. Ahmad dan Abu Daud) .17
Tidak boleh menyembelih binatang dengan benda tumpul karena akan berakibat tidak
tuntasnya aliran darah dari badan binatang, dan juga hal itu berarti penganiayaan terhadap
binatang tersebut.
14
Drs. Muammal Hamidy, dkk.Op.Cit.,, halaman 93
15
Ibid, halaman 102
16
Al-Ghazali, Op. Cit, halaman 121.
17
Hasbi Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jiilid VI, Jakarta : Bulan Bintang, 1980, halaman
587
10
Sehubungan dengan hal ini Rafi’ bin Khudaij menceritakan : “Kami bersama
Rasulullah saw. dalam suatu perjalanan. Ketika itu ada seekor unta liar milik seseorang
yang tak bisa ditangkap. Rafi' lalu melemparnya dengan tombak sehingga unta itu jatuh
terjerembab dan akhirnya mati. Rasulullah saw. lalu bersabda : “Binatang-binatang ini
mempunyai potensi menjadi garang sebagaimana yang dimiliki binatang buas. Karena itu,
jika ada yang berperilaku seperti itu, perlakukanlah dia seperti itu juga”. (HR. Bukhari-
Muslim).18 Maksudnya, jika binatang tersebut tidak bisa ditangkap, cara menyembelihnya
boleh dilukai dari jauh seperti dengan cara ditembak, dipanah, atau ditombak.
Ketiga, Seorang yang menyembelih binatang tidak boleh menyebut nama selain
Allah. Jika ia menyebut nama selain Allah, maka binatang yang telah disembelih itu tidak
halal dikonsumsi. Alquran surat Al-An’am ayat 121 menyatakan:
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah
ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu
kefasikan.
Tuntunan ini dimaksudkan untuk memberantas tradisi syirik yang berlaku dalam
masyarakat, baik masyarakat jahiliyah dulu maupun masyarakat sekarang. Allah melarang
memakan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Dia karena
sesungguhnya semua makhluk yang bernyawa, dalam hal ini manusia dan binatang adalah
Drs. Muammal Hamidy dkk., Terjemah Nailul Authar, Jilid 6, Surabaya : Bina Ilmu, 1993,
18
Halaman 3045
11
miliknya. Allah melarang manusia menguasai dan mencabut nyawa binatang tanpa seizin-
Nya. Penyebutan nama Allah ketika menyembelih hakikatnya adalah pernyataan
permintaan izin manusia kepada Zat yang memiliki nyawa binatang itu. Maka, jika yang
disebut oleh seseorang bukan nama Allah, misalnya nama berhala tertentu atau untuk
persembahan kepada gunung atau keramat tertentu, padahal berhala atau penunggu gunung
atau keramat bukanlah pemilik sejati dari binatang, berarti orang itu telah keliru meminta
izin. Itu artinya sama saja bahwa binatang tersebut diambil tanpa seizin pemiliknya, atau
berarti dia mengakui ada pemilik nyawa selain Allah. Inilah syirik, sehingga binatang yang
disembelih dengan menyebut nama selain Allah itu menjadi haram. Sebagai pemilik resmi,
Allah murka terhadap perbuatan manusia semacam itu. Perbuatan itu merupakan bentuk
kedurhakaan makhluk kepada Khaliknya.
Keempat, harus disebut nama Allah (membaca bismillah). Dalil yang mengharuskan
membaca bismillah ketika menyembelih adalah Hadits Rasulullah saw. juga menerangkan :
“Apa saja yang dapat mengalirkan darah binatang dan disebut nama Allah atasnya, maka
makanlah”. (HR. Bukhari)19
Di antara yang memperkuat persyaratan ini ialah beberapa hadits Nabi yang
mengharuskan menyebut asma Allah ketika hendak berburu atau melepaskan anjing
pemburu. Dalam hubungan ini ada ulama yang berpendapat bahwa kemestian membaca
bismillah ini bukan ketika akan menyembelih saja, melainkan bisa dilakukan ketika akan
mengkonsumsi daging. Apabila kita disuguhi makanan/daging yang kita tidak mengetahui
proses penyembelihannya, maka hendaknya diucapkan bismillah ketika akan
menyantapnya. Aisyah pernah mengatakan bahwa ada beberapa orang baru masuk Islam
bertanya kepada Rasulullah saw. : “ Suatu kaum memberi kami daging, tetapi kami tidak
tahu apakah mereka menyebut asma Allah atau tidak. Bolehkah kami makan pemberian
mereka itu? Rasul menjawab : “Bacalah bismillah, dan makanlah!” (HR. Bukhari)
19
Hasbi Ash-Shiddieqy, Op. Cit., halaman 547
20
Abdul Aziz Dahlan et.al, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 6, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
Cet.7, 2006 Halaman 1971
12
Yang dimaksud stunning adalah memasukkan zat kimia tertentu ke tubuh binatang
yang akan disembelih sehingga pingsan. Dalam waktu tertentu binatang yang di stunning
tidak sadarkan diri. Tetapi bila dibiarkan, binatang tersebut akan sadar kembali dan sehat
seperti semula. Tujuan dari stunning adalah agar proses penyembelihan berjalan lancar dan
binatang tidak merasakan menderita, serta aliran darahnya akan lebih lancar dan tuntas
sehingga kualitas dagingnya pun menjadi lebih baik.
Pada prinsipnya Islam dapat menerima kemajuan teknologi yang tidak bertentangan
dengan ajaran Islam. Dalam bidang penyembelihan, Islam menganjurkan agar binatang
yang akan disembelih diperlakukan dengan baik, pisaunya diasah tajam, menyembelihnya
dilakukan pada leher, menghadap kiblat, tidak membaca selain asma Allah, dan dengan
membaca bismillah sebagaimana telah diterangkan di atas. Kesemuanya itu adalah
merupakan etika dan dalam rangka berbuat ihsan terhadap binatang sebagai makhuk Allah
SWT. yang juga dapat merasakan sakit apabila disakiti atau dilukai. Binatang yang
disembelih secara tradisional merasakan kesakitan yang luar biasa. Kesakitan itu nampak
dari gerakan-gerakan seluruh anggota badannya yang meronta-ronta dan mengejang-
ngejang. Maka, jika manusia telah dapat menemukan teknologi yang bisa mengurangi atau
bahkan menghilangkan rasa sakit bagi binatang yang akan disembelih, Islam tentu sangat
mengapresiasi penemuan itu. Islam dapat menerima dan membenarkan teknologi stunning
sebagaimana tersebut di atas karena teknologi ini sejalan dengan tuntunan Islam, yakni
berbuat ihsan atau memperlakukan binatang yang akan disembelih dengan sebaik-baiknya
agar dapat mengurangi rasa sakitnya.
Allah mewajibkan berlaku ihsan terhadap segala sesuatu. Maka, jika kamu akan
membunuh, hendaknya berlaku ihsan terhadap si terbunuh, dan jika kamu akan
menyembelih juga hendaknya berlaku ihsan terhadap binatang sembelihanmu, yakni
dengan menajamkan pisau dan menghibur sembelihannya.” (HR. Muslim)21
Di antara perilaku ihsan sebagaimana disebut dalam hadis di atas ada juga
diterangkan dalam hadits lain, yakni dari Ibnu Umar mengatakan bahwa Nabi saw.
memerintahkan untuk menajamkan pisau dan menyembunyikannya (merahasiakannya) dari
binatang. Ibnu Abbas menghabarkan bahwa ia melihat seorang akan menyembelih
kambing. Orang tersebut merebahkan kambingnya sembari mengasah pisau. Nabi lalu
bersabda : “Apakah engkau hendak membunuhnya dengan berkali-kali kematian?
Tajamkan pisaumu dulu sebelum engkau rebahkan kambingmu itu”. (HR. Hakim).22
Dalam kisah lain disebutkan bahwa Umar melihat seseorang menarik kambing pada
kakinya untuk disembelih. Umar menegur orang itu dengan mengatakan: “Celaka engkau!
Tuntunlah kambing itu menuju kematiannya dengan baik”. (HR. Abdul Razaq).23
Dari berbagai riwayat di atas jelaslah bahwa Islam sangat memperhatikan etika
kesopanan sekalipun terhadap binatang yang akan disembelih. Atas pertimbangan-
pertimbangan dalil di atas, Majelis Ulama Indonesia melalui Komisi Fatwanya pada
tanggal 18 Oktober 2009 telah mengeluarkan fatwa nomor 12 tahun 2009 tentang Standar
Sertifikasi Penyembelihan Halal menyatakan bahwa melakukan stunning atau pemingsanan
terhadap binatang yang akan disembelih hukumnya mubah.24
Hikmah Penyembelihan
21
Drs. Mu'ammal Hamidy, dkk., op.cit,. halaman 3038
22
Ibid., halaman 3041
23
Dr. Yusuf Qardlawi, Op.cit., halaman 92
24
Departemen Agama RI, Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia , Jakarta : Dirjen Bimas
Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2009, halaman 159.
14
Sesungguhnya, pada binatang yang masih hidup masih tercampur antara barang
yang halal dan barang yang haram, antara yang bersih dengan yang kotor. Barang yang
halal/ bersih adalah daging, dan barang yang haram/kotor adalah darah. Maka, tuntunan
menyembelih binatang sebelum dimakan (dimasak) menurut Islam tujuannya adalah untuk
memisahkan dua jenis barang yang berbeda hukumnya dan menyatu dalam satu wadah
(tubuh). Keduanya itu adalah daging dan darah. Daging hukumnya halal dan darah
hukumnya haram. Untuk memisahkan keduanya adalah dengan cara menyembelih atau
mengalirkan darah agar keluar dari tubuhnya sehingga dagingnya tidak tercampur dengan
darah. Proses pemisahan itu tidak boleh dilakukan dengan sembarangan, tetapi harus
dengan etika islami agar tidak mengotori akidah (syirik) dan tidak menganiaya binatang 25.
Oleh karena itu, apabila binatang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, maka
berarti ada pencemaran akidah yang dapat membayakan iman. Demikian pula apabila
binatang itu mati tercekik, mati dipukul, mati karena jatuh, mati karena ditanduk, atau mati
karena diterkam binatang buas yang tak sempat menyembelihnya sebagaimana dijelaskan
dalam ayat 3 al-Maidah di atas diharamkan dalam Islam karena dalam tubuh binatang itu
masih tercampur antara barang yang halal dengan barang yang haram, antara daging
dengan darah, dan tidak bisa lagi dipisahkan antara keduanya sehingga menjadi bangkai
yang tidak halal dikonsumsi karena — paling tidak— dapat merusak iman.
Persoalan lain yang cukup mengganjal di hati kaum muslimin adalah kita tidak tahu
apakah daging yang dijual di pasaran itu disembelih secara islami atau tidak. Maka,
25
Ibid., halaman 94
26
Prof. H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, Jakarta : Prenada Media Group, Cet. III, 2010, halaman
175.
15
Jadi, solusi yang bisa dilakukan untuk menghadapi kasus di atas adalah dengan
membaca bismillah ketika akan menyantap daging tersebut sebagai langkah ikhtiyath
(kehati-hatian) agar jangan sampai termakan barang yang haram. Yang penting untuk
diperhatikan juga adalah, jika membeli daging di pasar, pilihlah daging yang berkualitas.
Belilah daging kepada pedagang yang muslim, dan daging yang masih segar, tidak berair
atau berlendir, dan jika daging ayam pilihlah yang tidak kemerah-merahan.
bermutasi ke dalam tubuh manusia jika seseorang mengkonsumsi daging binatang tersebut.
Berbeda dengan orang yang membiasakan konsumsi sayuran dan buah-buahan, ia
cenderung tidak bertemperaman tinggi karena pada sayur-sayuran dan buah-buahan tidak
ada sifat-sifat yang bisa bermutasi kepada manusia. Sampai di sini kita bisa memahami
mengapa Allah SWT mengharamkan umat Islam mengkonsumsi daging babi dan binatang-
binatang buas karena manusia bisa tertulari sifat-sifat binatang itu. Babi, misalnya, di antara
sifat yang dimiliki dan paling dominan adalah pemakan segala, seperti tumbuh-tumbuhan,
buah-buahan, bangkai, cacing, bahkan kotorannya sendiri. Jika sifat ini bermutasi kepada
seseorang, maka orang tersebut menjadi tidak peduli lagi dari mana asal makanannya,
apakah halal atau haram, bersih atau kotor, semua tidak ada bedanya bagi dirinya. Kalau itu
terjadi, maka martabat manusia sebagai ahsanu taqwim akan jatuh meluncur. Allah sangat
mencela terhadap manusia seperti itu.
Sebagai tambahan penjelasan, dalam sebuah kisah disebutkan, konon suatu ketika
Syeikh Muhammad Abduh, seorang tokoh ulama terkemuka berkunjung ke Perancis.
Beberapa mahasiswa menanyakan padanya tentang alasan ajaran Islam mengharamkan
babi. “Umat Islam mengatakan babi itu haram karena memakan sampah yang mengandung
cacing pita, mikroba, dan bakteri-bakteri berbahaya lainnya. Sekarang, semua itu sudah
hampir tidak ada lagi, karena ternak babi dipelihara di peternakan moden. Kebersihannya
terjamin, bahkan dengan proses sterilisasi yang memadai. Lantas, bagaimana mungkin
babi-babi itu terjangkit dengan cacing pita atau bakteri dan mikroba berbahaya?”
Muhammad Abduh tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Tapi dengan cerdik ia
meminta dibawakan dua ekor ayam jantan dan seekor ayam betina, serta dua ekor babi
jantan dan seekor babi betina. Mereka pun bertanya, “Untuk apa semua itu?” “Penuhi apa
yang saya minta, maka kalian akan melihat satu rahasia,” jawab Syeikh. Mereka memenuhi
permintaan Syeikh Muhammad Abduh. Pemikir Islam ini segera mengurung kedua ekor
ayam jantan bersama seekor ayam betina dalam satu kandang. Apa yang terjadi? Dua ekor
ayam jantan itu berkelahi dan saling menyerang untuk mendapatkan ayam betina. Setelah
itu Muhammad Abduh melepas dua ekor babi jantan dengan seekor babi betina. Kali ini,
mereka menyaksikan sebuah “keanehan”. Tidak ada sedikit pun perkelahian untuk
memperebutkan babi betina. Tanpa rasa cemburu dan harga diri, babi jantan yang satu
justeru membantu babi jantan lainnya melaksanakan hajat seksualnya. Mengapa hal ini
terjadi?” Itu semua terjadi, karena (daging) babi membunuh ‘ghirah’ orang yang
17
memakannya. Itulah yang sering terjadi pada orang-orang yang mengkonsumsi babi,
dan/atau makanan haram lainnya. Banyak terjadi dalam keluarga yang biasa mengkonsumsi
babi, dan/atau makanan haram lainnya. Seorang lelaki membiarkan isterinya bersama lelaki
lain, tanpa rasa cemburu. Atau bahkan si suami itu sendiri yang terlibat dalam
perselingkuhan. Seorang bapak melihat anak perempuannya bersama lelaki asing, tetapi
justru membiarkannya tanpa rasa cemburu dan was-was. Sesungguhnya daging babi itu
menularkan sifat-sifat buruk pada orang yang memakannya. Muhammad Abduh kemudian
memberikan contoh-contoh baik dalam syariat Islam. Misalnya, Islam mengharamkan
beberapa jenis ternak dan unggas yang berkeliaran serta memakan kotorannya. Siapapun
yang ingin menyembelihnya harus mengurungnya selama beberapa hari, sebagai bentuk
karantina, serta memberinya makanan yang sesuai. Mengapa? Agar perut hewan tersebut
dapat terbebas/bersih dari kotoran-kotoran yang telah dimakannya, yang mengandungi
bakteri dan mikroba berbahaya yang bisa menular pada manusia. Itulah hukum Allah.
Itulah perlindungan dan kasih sayang Al-Khaliq kepada kita, umat manusia.
Penutup
28
https://halalmui.org/makanan-berdampak-terhadap-watak-dan-akhlak/ diakses 11 Januari 2023
18
Sebagai agama yang suci, Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk menjalani
kehidupan dengan menempuh jalur kesucian lahir batin. Keduanya saling berkaitan dan
memberi pengaruh satu sama lain. Ajaran itu dimulai dengan tuntunan menkonsumsi
makanan yang halal dan thoyyib serta menghindari makanan yang haram dan kotor. Yang
demikian itu karena Islam hendak menjaga kesehatan lahir dan batin. Islam mengajarkan
bahwa ada pengaruh timbal balik antara makanan yang dikonsumsi dengan kesehatan batin
seseorang. Kesehatan jasmani dan kesehatan ruhani menjadi tujuan utama ajaran Islam
dalam hal pemenuhan kebutuhan gizi. Gizi sebagai nutrisi yang dibutuhkan fisik dapat
diperoleh melalui asupan makanan yang mengandung protein nabati dan protein hewani.
Jika dalam memenuhi kebutuhan protein nabati Islam tidak terlalu “njlimet” memberikan
tuntunan/ajaran. Yang penting dalam hal ini adalah makanan itu halal dan bergizi/bersih.
Berbeda halnya jika yang akan dikonsumsi itu protein hewani, maka Islam memberi
tuntunan bagaimana cara mengkonsumsi daging binatang dan binatang apa saja yang boleh
dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi. Yang demikian itu karena protein hewani
sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter Islami. Itu sebabnya kenapa Islam
memberikan tuntunan bagaimana menyembelih binatang agar protein hewani itu
memberikan pengaruh positif terhadap ruhani seseorang. Ada etika yang harus dipatuhi
ketika menyembelih binatang. Diantaranya adalah dengan memperlakukan binatang secara
baik/ihsan, tidak kasar, apalagi dengan menyiksanya. Tidak boleh. Stunning adalah
pengejawantahan dari ihsan terhadap binatang yang akan disembelih. Selain itu juga harus
disebut asma Allah, bukan nama yang lain agar daging binatang itu menjadi halal. Jika
disembelih dengan disebut nama selain Allah, maka daging binatang itu menjadi tidak halal
karena mengandung kotoran akidah (kesyirikan). Begitu juga jika binatang itu mati tidak
sempat menyembelihnya, maka binatang itu menjadi haram karena mengandung kotoran
berupa darah. Masih tercampur antara barang haram (darah) dengan barang halal (daging).
Syariat menyembelih adalah cara yang diajarkan Islam untuk memisahkan kedua barang
yang berbeda hukumnya itu. Selain itu Islam melarang umat Islam mengkonsumsi babi dan
binatang buas. Binatang-binatang tersebut memiliki sifat-sifat buruk yang bisa merusak
karakter manusia jika dikonsumsi. Sifat-sifat buruk itu akan bermutasi kepada siapa yang
menkonsumsinya. Islam tidak menghendaki terjadinya mutasi sifat-sifat buruk itu ke dalam
diri seseorang agar derajat manusia sebagai ahsanu taqwim tidak rusak karenanya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Benang Tipis antara Halal dan Haram, Surabaya : Putra Pelajar, 2002
Ash-Shiddieqy, Hasbi, 2002 Mutiara Hadits, Jiilid VI, Jakarta : Bulan Bintang,
1980
Dahlan, Abdul Aziz (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 6, Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, Cet.7, 2006
Djazuli, Prof. H.A., Kaidah-kaidah Fikih, Jakarta : Prenada Media Group, Cet. III,
2010.
Muammal Hamidy dkk., Terjemah Nailul Authar, Jilid 6, Surabaya : Bina Ilmu,
1993
Sumber: https://islam.nu.or.id/tasawuf-akhlak/5-faedah-mengonsumsi-makanan-
halal-GWJ63 diakses 2 Januari 2023
Sumber : https://halalmui.org/makanan-berdampak-terhadap-watak-dan-akhlak/
diakses 11 Januari 2023
Sumber : Sumber: https://islam.nu.or.id/ubudiyah/4-bahaya-makanan-yang-tak-
halal diakses 11 Januari 2023