1043 37 2759 1 10 20180210 PDF

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

PENGARUH GLOBALISASI EKONOMI TERHADAP

HUKUM EKONOMI ISLAM DI INDONESIA

Siti Zulaikha

STAIN Jurai Siwo Metro


Email : [email protected]

Abstrac
Nowadays, the world is experiencing a global crisis that the impact is also felt by
Indonesia. Moreover, Indonesia is attempting to restore the economic system after
the economic crisis was hitting since the middle of July 1997s. One of the best ways
to solve the problem is the development of syariah economy system, that was tested
to solve the economic crisis. It was caused by economic system that was used not
influenced by the banking interest rate that caused by coming up of inflation. The
implementation of law aspects of Islamic economic must be understood
comprehensively. It starts from the conceptual and teoritical to the problem and the
implementation. A number of experimental implementation of the economic system
which is based on the principles Islamic Syari’ah has shown many indications of
success, such as, the development of the Islamic Development Bank (IDB). The
various economic institutions and the action program which was conducted in
Islamic countries and the other countries that the majority of the population
converted to Islam, such as: Algeria, Pakistan, Bangladesh, and Turkey. Moreover,
a number of banking and non-banking financial institutions is based on the
Syari’ah values that has developed quite rapidly in leading business cities, such as
London, New York, and Geneva.

Keywords: Globalization, Economics, Economic Law

Abstrak
Dunia saat ini sedang mengalami krisis global yang dampaknya juga dirasakan
oleh Indonesia. Sementara Indonesia sedang berupaya memulihkan sistem
perekonomian setelah dilanda krisis ekonomi yang cukup berkepanjangan sejak
pertengan juli 1997. Salah satu jalan keluar dari masalah tersebut adalah dengan
jalan pengembangan sistem perekonomian syariah yang telah teruji cukup tangguh
dalam menghadapi krisis ekonomi. Hal ini disebabkan sistem perekonomian yang
digunakan tidak terpengaruh dengan tingkat bunga perbankan yang mendorong
timbulnya inflasi.

1
Dalam memahami aspek hukum penerapan ekonomi Islam haruslah secara
komprehensif, mulai dari tataran teoritik-konseptual sampai pada problematika dan
implementasinya. Sejumlah eksperimen penerapan sistim perekonomian yang
didasarkan pada prinsip-prinsip syariat Islam telah menunjukkan banyak indikasi
keberhasilan, seperti yang ditunjukkan pada perkembangan Islamic Development
Bank (IDB) yang pesat. Berbagai lembaga ekonomi dan program aksi yang
dilaksanakan di negara-negara Islam dan negara-negara yang mayoritas
penduduknya memeluk agama Islam seperti Aljazair, Pakistan, Bangladesh, dan
Turki. Bahkan sejumah lembaga keuangan bank dan non-bank berbasis nilai
syariat telah berkembang dengan cukup pesat di kota-kota bisnis terkemuka seperti
London, New York, dan Geneva.

Key Words : Globalisasi, Ekonomi, Hukum Ekonomi

Pendahuluan
Istilah globalisasi dalam dekade terakhir ini tidak saja menjadi
konsep ilmu pengetahuan sosial dan ekonomi, tetapi juga telah menjadi
jargon politik, ideologi pemerintahan (rezim), dan hiasan bibir masyarakat
awam di seluruh dunia. Teknologi informasi dan media elektronik dinilai
sebagai simbol pelopor yang mengintegrasikan seluruh sistem dunia, baik
dalam aspek sosial, budaya, ekonomi dan keuangan.
Globalisasi bukanlah sesuatu yang baru, semangat pencerahan
eropa di abad pertengahan yang mendorong pencarian dunia baru bisa
dikategorikan sebagai arus globalisasi. Revolusi industri dan transportasi
di abad XVIII juga merupakan pendorong tren globalisasi, yang
membedakannya dengan arus globalisasi yang terjadi dua-tiga dekade
belakangan ini adalah kecepatan dan jangkauannya. Selanjutnya, interaksi
dan transaksi antara individu dan negara-negara yang berbeda akan
menghasilkan konsekuensi politik, sosial, dan budaya pada tingkat dan
intensitas yang berbeda pula. Masuknya Indonesia dalam proses
globalisasi pada saat ini ditandai oleh serangkaian kebijakan yang
diarahkan untuk membuka ekonomi domestik dalam rangka memperluas
serta memperdalam integrasi dengan pasar internasional.
Negara indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam
adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Namun, dalam
kehidupan perekonomian berada pada posisi minoritas. Mengapa
demikian? kondisi seperti ini mengkhawatirkan ketika berhadapan dengan
globalisasi. Untuk itu bagaimana sesungguhnya islam memiliki suatu
aturan yang cukup mendasar dalam hal ekonomi.

2
Dalam sejarah tata hukum Indonesia yang nota bene hasil
pemikiran masa kolonial Belanda telah membawa dampak yang cukup
signifikan dalam pengimplementasiannya. Materi-materi hukum banyak
dihasilkan dari produk Belanda yang masih sulit untuk dilakukan
perubahan, sehingga hukum di Indonesia tidak bisa digolongkan pada
pola hukum tertentu karena ia memiliki keunikan dalam proses
pemberlakuannya.
Meski demikian, pembangunan dan pembaharuan hukum nasional
sedang dan terus berlangsung. Salah satu sumber materi yang memberikan
sumbangan signifikan pada hukum nasional adalah hukum Islam.
Positivasi hukum Islam khususnya dalam bidang ekonomi, menjadi satu
tuntutan masyarakat seiring dengan perkembangan pesat kegiatan
ekonomi berdasarkan syariat di Indonesia. Hubungan hukum dalam
berbagai bentuk kegiatan ekonomi dikehendaki dilakukan dengan
berdasarkan ketentuan hukum Islam.

Pembahasan
A. Pengaruh Globalisasi Ekonomi Terhadap Hukum Ekonomi Islam
Dunia saat ini sedang mengalami krisis global yang
dampaknya juga dirasakan oleh Indonesia. Sementara Indonesia
sedang berupaya memulihkan sistem perekonomian setelah dilanda
krisis ekonomi yang cukup berkepanjangan sejak pertengan juli 1997.
Salah satu jalan keluar dari masalah tersebut adalah dengan jalan
pengembangan sistem perekonomian syariah yang telah teruji cukup
tangguh dalam menghadapi krisis ekonomi. Hal ini disebabkan sistem
perekonomian yang digunakan tidak terpengaruh dengan tingkat
bunga perbankan yang mendorong timbulnya inflasi.
Dalam memahami aspek hukum penerapan ekonomi Islam
haruslah secara komprehensif, mulai dari tataran teoritik-konseptual
sampai pada problematika dan implementasinya. Sejumlah
eksperimen penerapan sistim perekonomian yang didasarkan pada
prinsip-prinsip syariat Islam telah menunjukkan banyak indikasi
keberhasilan, seperti yang ditunjukkan pada perkembangan Islamic
Development Bank (IDB) yang pesat. Berbagai lembaga ekonomi dan
program aksi yang dilaksanakan di negara-negara Islam dan negara-
negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam seperti
Aljazair, Pakistan, Bangladesh, dan Turki. Bahkan sejumah lembaga
keuangan bank dan non-bank berbasis nilai syariat telah berkembang

3
dengan cukup pesat di kota-kota bisnis terkemuka seperti London,
New York, dan Geneva.1
Pada tataran implementasi, hukum ekonomi Islam masih
mengalami kendala karena kurangnya pemahaman secara teoritik-
konseptual, baik bagi kalangan pemerhati, pelaku ataupun masyarakat
luas, sehingga secara sosiologis kurang dapat menumbuhkan
kepercayaan publik yang luas mengenai kehandalan persoalan
perekonomian sesungguhnya.Beberapa masalah yang timbul dalam
ranah implementasi antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. pemahaman umat Islam mengenai makna dan aspek aspek
fundamental ekonomi Islam masih lemah dan simpang siur
2. belum optimalnya keterlibatan lembaga-lembaga keagamaan umat
Islam dalam upaya mensukseskan sosialisasi dan penerapan sistim
ekonomi berbasis syariat
3. masalah hubungan antara kegiatan ekonomi berbasis syariat
dengan sistim ekonomi yang lain serta dengan garis-garis kebijakan
perekonomian yang ditempuh negara
4. sistim pendidikan yang berlaku tidak memberikan porsi yang
memadai untuk membuat peserta didik dan warga masyarakat
pada umumnya memiliki pemahaman yang lebih baik tentang
aspek-aspek paling penting dalam kehidupan masyarakat.
Terkait dengan kendala implementasi di atas, namun pada sisi
lain keberadaan perekonomian Islam memberikan dampak positif pada
perkembangan perekonomian nasional. Seiring dengan perkembangan
kegiatan ekonomi yang bercorak syariah di indonesia, apakah dapat
mengantisipasi sisi negatif dari globalisasi ekonomi?. Oleh karena itu
penulis tertarik untuk melakukan suatu kajian mengenai pengaruh
globalisasi terhadap hukum ekonomi Islam.
Secara etimologis, kata ekonomi berasal dari bahasa Yunani
oikos yang artinya kemakmuran dan nomos yang artinya ilmu
pengetahuan. Jadi makna dasar kata ekonomi adalah ilmu pengetahuan
tentang cara-cara yang ditempuh manusia dalam upayanya meraih
kemakmuran dalam hidupnya. Pembahasan dalam ilmu ekonomi
berdasarkan sudut pandang yang digunakan, dapat diklasifikasi dalam
tiga kelompok sebagai berikut :

1 Muhammad Daud Ali, Sistim Ekonomi Islam, Zakat, dan Wakaf (Jakarta: UI
Press, 1988), h. 4.

4
1. Economical life yang mengkaji ekonomi sebagai kegiatan hidup
manusia untuk mendapatkan kemakmuran hidup dengan berbagai
aspek-aspeknya.
2. Economical politics atau economic policy yang membahas ekonomi
sebagai bentuk-bentuk kebijakan negara dalam mengatur dan
memajukan perekonomian warganya.
3. Economical sciences yang berisi kajian ekonomi dari sudut pandang
keilmuan, seperti sejarah perkembangannya, mazhab-
mazhabnya,perandingan sistem yang berlaku di berbagai
lingkungan masyarakat dan sebagainya.2
Globalisasi3 telah merambah hampir di semua ranah kehidupan
masyarakat, baik itu bidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek), budaya, pendidikan, dan lain-lain. Globalisasi
merupakan sesuatu proses alamiah yang timbul serta merta akibat
kompleksitas dan heterogenitas hubungan antar- manusia sebagai
makhluk sosial, akibat penemuan alat-alat teknologi modern4.
Walaupun istilah „globalisasi‟ telah menjadi suatu kosakata yang klasik,
tetapi suka atau tidak suka, masyarakat di seluruh pelosok dunia
sekarang ini telah hidup dalam suatu habitat yang global5, transparan,

2 Abdullah Zaky al-Kaff, Ekonomi dalam ang merePerspektif Islam

(Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 19.


3 Globalisasi menurut Albrow mengacu pada keseluruhan proses di

mana manusia di bumi ini diinkorporasikan ke dalam masyarakat dunia yang


tunggal, masyarakat global. Oleh karena proses itu bersifat majemuk, maka
kitapun dapat memandang globalisasi di dalam kemajemukan. Lihat M.
Albrow, Globalization Knowledge and Society, London, Sage Publication, 1990. lihat
G.C. Lodge, Managing Globalization in the Age of Interdependence, San Diego,
Pfeiffer & Company, 1995, h. 1. “Globalization is the process wereby the world‟s
people are becoming increasingly interconnected in all facts of their lives-
cultural, economic, political, technological, and environmental”. Lihat juga
Roland Robertson, Globalization, London, Sage Publication, 1992, h. 8.
“Globalization as a concept refers both to the compression of world and the
intensification of conciousness of world as a whole”.
4 Muladi, “Menjamin Kepastian, Ketertiban, Penegakan dan Perlindungan

Hukum dalam Era Globalisasi”, tanpa tahun, h. 4.


5 John Naisbit mengistilahkan dengan global village. Lihat dalam Mega

Trend 2000, Published in Great Britain, Sidwig & Jackson Ltd., 1990, h. 12.

5
tanpa batas6, saling kait mengkait (linkage)7, dan saling ketergantungan
(interdependence)8.
Bagi negara seperti Indonesia, pilihan yang terbuka bukanlah
apakah menerima atau tidak menerima globalisasi itu, tetapi
bagaimana menempatkan diri dan mengantisipasi segala tantangan dan
peluang yang akan muncul. Globalisasi yang dibicarakan hanya
memfokuskan pada globalisasi ekonomi yang berpengaruh pada
bidang hukum di Indonesia. Globalisasi di bidang ekonomi ditandai
dengan lahirnya atau disepakatinya beberapa bentuk multinational
agreement, yang berskala internasional (GATT – PU - General Agreement
on Tariffs and Trade), maupun berskala regional (NAFTA – North
America Free Trade Associations, AFTA – ASEAN Free Trade Agreement,
EEC – European Economic Community, APEC – Asia Pacific Economic
Cooperation, CARICO – Caribian Community, CACM – Central American
Common Market). Dari beberapa multinational agreement tersebut yang
banyak memberikan implikasi serius dalam bidang hukum di
Indonesia adalah disepakatinya GATT-PU.
Disepakatinya GATT-PU menandakan munculnya era
liberalisasi perdagangan dunia tanpa proteksi dan tanpa hambatan, dan
mempertinggi tingkat persaingan perdagangan antar pelaku-pelaku
ekonomi. Di samping itu, semua negara yang ikut menandatangani
kesepakatan tersebut wajib untuk menyesuaikan hukum nasional
mereka dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam GATT-PU.
Apabila hal ini tidak dilakukan maka WTO (World Trade Organization),
selaku badan yang berfungsi untuk menafsirkan dan menjabarkan isi
perjanjian GATT-PU serta menyelesaikan sengketa di antara negara
anggotanya, akan memberikan sanksi yang dapat merugikan
kepentingan ekonomi dan perdagangan negara tersebut.

6 Lihat Keinichi Ohmae, Borderless World, USA, Harper Business; Maknisey

Company Inc., 1990, h. XII.


7 Lihat Muladi, op. cit., tt., h. 6.
8 Hazel Henderson, Building a Win-win World, Life Beyond Global Economic

Warfare, San Fransisco, Berret-Koehler Publishers, Inc., 1996, h. 11-12.


Menurutnya paling sedikit ada enam proses globalisasi menuju era saling
ketergantungan, yaitu: (1) globalizations of industrialism and technology, (2)
globalizations of work and migration, (3) globalizations of finance, (4) globalizations of
human effects on the biosphere, (5) globalizations of militarism and arms trafficking, and
(6) globalizations of communications and planetary culture.

6
Dalam melakukan pembaharuan hukum ekonomi di Indonesia
ada dua faktor penting yang harus diperhatikan, yaitu pertama,
pembaharuan hukum ekonomi wajib mengacu pada hasil-hasil GATT-
PU yang telah disepakati Indonesia9, jika hal ini tidak dilakukan, maka
pelaku-pelaku ekonomi Indonesia akan mengalami kesulitan bila
melakukan transaksi di dunia bisnis internasional; kedua, reformasi
hukum ekonomi harus memberi perhatian pada persoalan ekonomi
kerakyatan atau keadilan ekonomi10 sebagaimana diamanatkan
Pancasila dan UUD 1945, karena pengalaman masa lalu menunjukkan
bahwa sistem pembangunan ekonomi gaya trickle down effect ternyata
menimbulkan kesenjangan dan menciptakan penjarah-penjarah
ekonomi tingkat tinggi. Dua faktor penting reformasi Ekonomi di
Indonesia dapat diilustrasikan dalam diagram berikut :

reformasi hukum reformasi hukum


Dua Faktor
ekonomi wajib ekonomi harus
Penting
mengacu pada hasil- Reformasi memberi perhatian
hasil GATT-PU yang Hukum pada persoalan
telah disepakati oleh Ekonomi di ekonomi kerakyatan
Indonesia Indonesia atau keadilan
ekonomi

Dengan memperhatikan dua faktor tersebut, diharapkan bahwa


yang disebut hukum nasional dalam era globalisasi di samping
mengandung local characteristics, seperti ideologi bangsa, kondisi-kondisi
manusia, alam dan tradisi bangsa, juga harus mengandung
kecenderungan-kecenderungan internasional (international trends) yang
diakui oleh masyarakat internasional yang beradab.
Bagaimanapun karakteristik dan hambatan globalisasi ekonomi
menimbulkan akibat yang besar sekali pada bidang hukum, globalisasi
ekonomi juga menyebabkan terjadinya globalisasi hukum. Globalisasi

9 Isi perjanjian GATT-Putaran Uruguay terbagi dalam 15 kelompok. Empat


di antaranya berupa ketentuan baru, yang meliputi: Trade Related Investment
Measures (TRIMs), Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), World
Trade Organization (WTO), dan General Agreement on Trade in Service (GATS). Lihat
dalam Final Act of Uruguay Round.
10 Lihat A. Soni Keraf, “Reorientasi Pembangunan Ekonomi”, Kompas, 31 Juli 1998.

7
hukum tersebut tidak hanya didasarkan kesepakatan internasional antar
bangsa, tetapi juga pemahaman tradisi hukum dan budaya antara barat
dan timur.
Friedman, menyatakan bahwa tegaknya peraturan-peraturan
hukum tergantung kepada budaya hukum masyarakatnya. Budaya hukum
masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang
dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan budaya, posisi
atau kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan. Dalam menghadapi
hal yang demikian itu perlu “check and balance” dalam bernegara. “check
and balance” hanya bisa dicapai dengan parlemen yang kuat, pengadilan
yang mandiri, dan partisipasi masyarakat melalui lembaga-lembaganya.
Dalam hal tersebut, khususnya dalam masalah pengawasan dan Law
Enforcement, dua hal yang merupakan komponen yang tak terpisahkan
dari sistim rule of law. Tidak akan ada law enforcement kalau tidak ada
sistim pengawasan dan tidak akan ada rule of law kalau tidak ada law
enforcement yang memadai.
Dalam konteks pembahasan tentang perekonomian, Islam tidak
menganjurkan kepada umat manusia untuk menjadikan harta kekayaan
sebagai tujuan akhir dan paling utama dalam hidup mereka. Islam juga
tidak menyuruh mereka untuk mengabaikannya, karena harta kekayaan
dapat menjadi sarana yang penting dan amat dibutuhkan untuk
mendapatkan beragai kemudahan dan kenikmatan hidup sebagai karunia
Allah.
Dalam ajaran Islam, aktivitas ekonomi bisa menjadi bagian dari
aktivitas ibadah. Prinsip ini memiliki dua konsekuensi:
Pertama, bekerja bukanlah aktivitas yang dilakukan hanya untuk
tujuan mencari penghasilan demi menyambung kelangsungan hidup dan
menikmati kemakmuran didunia, melainkan juga harus diniatkan, dan
dikhayati sebagai panggilan mulia ajaran agama. Dengan pengkhayatan
seperti ini, aktivitas ekonomi juga akan memiliki nilai ibadah kepada Allah
SWT.
Kedua, dalam kegiatan perekonomian setiap muslim tidak boleh
semata-mata berorientasi pada aspek jumah keuntungan material yang
dapat diperoleh, melainkan juga harus memperhatikan aturan-aturan atau
nilai etika yang diajarkan oleh syariat Islam, baik yang berkaitan dengan
tujuan dan motivasi bekerja, cara-cara menjalankannya maupun dalam hal
penggunaan hasil kerja yang diperoleh dari setiap pekerjaannya
Dalam setiap lingkungan masyarakat, terutama yang berkembang
menjadi masyarakat yang kompleks, senantiasa terdapat sistim-sistim yang

8
membangun suatu sistim sosial secara keseluruhan. Masing-masing susb-
sistim tersebut di samping berkembang secara internal juga berinteraksi
satu sama lain, misalnya sistim pendidikan, politik, kebudayaan, ekonomi,
dan sebagainya. Masing-masing sub-sistim ini dengan segenap konsep
pemikiran, institusi, aturan-aturan, perangkat-perangkat pendukung, dan
implementasinya terus menerus mengalami proses perkembangan untuk
menyesuaikan diri dengan kebutuhan historisnya dari waktu ke waktu.
Sesuai dengan karakteristik kulturalnya, sistim ekonomi
berkembang berbeda-beda antara masyarakat satu dengan lainnya.
Masyarakat barat yang secara cultural sangat menekankan prinsip hak dan
kebebasan individu memiliki sistim ekonomi yang bercorak individualistis.
Main-stream pemikiran dan kegiatan perekonomian masyarakat secara
umum juga didasarkan pada prinsip hak dan kebebasan individu tersebut.
Jika dibandingkan dengan sistim-sistim ekonomi yang lain,
misalnya sistym ekonomi yang secara ekstrim didasarkan pada prinsip
kapitalisme atau sosialisme, sistim ekonomi Islam memiliki ciri
fundamental sebagai berikut:
Pertama, sistim ekonomi Islam, baik pada tataran konsep maupun
implementasi, dibangun di atas nilai-nilai fundamental dan ajaran utama
syariat Islam. Kedua, pelaksanaan sistim ekonomi Islam berdasar pada
motivasi mencapai keberuntungan dan kesejahteraan secara komprehensif,
yang mencakup kesejahteraan material-spiritual, individual-kolektif, serta
dunia-akhirat sekaligus. Ketiga, kegiatan ekonomi di samping ditujukan
untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri, harus pula diupayakan
pada membangkitkan semangat kesetiakawanan sosial di antara sesama
warga masyarakat demi terciptanya masyarakat yang lebih adil dan
sejahtera.
Dewasa ini, dengan sejumlah kecil perkecualian dikawasan
tertentu, negara dengan segenap organnya merupakan institusi yang peran
sosialnya paling kuat di antara institusi sosial yang ada. Hal itu antara lain
karena negara memiliki kekuatan paling lengkap berupa paratur, senjata
dan sumber pembiayaan yang pasti. Oleh karena itu, demi kepentingan
masyarakat luas, negara harus memainkan peran-peran positif yang
signifikan , penting dan strategis dalam pengembangan kehidupan
masyarakat, termasuk dalam kegiatan perekonomian. Beberapa peran
negara yang penting, terkait dengan bidang perekonomian antara lain :
1. Peran regulative (pengaturan) yakni peran menyusun, menetapkan,
dan menegakkan berbagai peraturan dalam lapangan perekonomian
yang harus dipatuhi oleh semua warga masyarakat.

9
2. peran sebagai motifator yakni memberikan dorongan bagi segenap
warga masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang produktif
3. peran sebagai fasilitator yakni menyediakan berbagai fasilitas
infrastruktur yang diperlukan para pelaku usaha dalam menjalankan
dan memperlancar kegiatan usaha.
4. Peran meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan transformasi
sosial.
5. Peran dalam penyelesaian sengketa dan konflik kepentingan
6. Peran supervise, yaitu mengawasi kegiatan perekonomian yang
dijalankan oleh masyarakat agar tidak bertentangan dengan norma-
norma sosial dan hukum yang berlaku, membahayakan masyarakat
yang lain atau bertentangan dengan ajaran syariat.
7. Peran sebagai mediator, yakni menjembatani dan menghubungkan
berbagai sektor kegiatan ekonomi agar dapat saling mendukung dan
mengambil keuntungan.
8. Peran pemberdayaan masyarakat miskin.
Politik ekonomi atau kebijakan ekonomi adalah langkah-langkah
mendasar dibidang perekonomian yang diambil oleh para pejabat negara
dalam upaya mengembangkan kegiatan perekonomian dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Kebijakan dibidang ekonomi tidak terlepas dari
filosofi yang menjadi tujuan didirikannya sebuah kepemimpinan politik,
misalnya negara.
Dalam kaidah hukum Islam juga disebutkan bahwa semua
kebijakan dan langkah yang diambil oleh penguasa atau pemegang
tampuk kepemimpinan umat yang berkenaan dengan urusan rakyatnya
harus senantiasa berorientasi pada tujuan membangun kemaslahatan dan
kesejahteraan.11 Oleh karena itu, setiap langkah ataupun kebijakan yang
diambil oleh para penguasa harus memiliki argumentasi dan landasan
pemikiran menuju tercapainya peningkatan kesejahteraan seluruh warga
masyarakat. Jika tidak demikian maka keijakan tersebut tidak dapat
dibenarkan dari sudut pandang syariat Islam.

B. Kodifikasi Hukum Ekonomi Syari’ah Sebagai Prisai Globalisasi


Ekonomi
Lahirnya Undang – Undang No 3 tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang – Undang No 7/1989 tentang Peradilan
Agama membawa implikasi besar terhadap perundang-undangan

11 Adul Hamid Hakim, al-Bayan (Jakarta: Sa‟odah Putra, tt.), h. 15.

10
yang mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan secara luas. Pada
pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam
di bidang ekonomi syariah.
Dalam penjelasan Undang–Undang tersebut disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari‟ah, antara
lain meliputi : a. Bank syariah, b. Lembaga keuangan mikro syari‟ah, c.
asuransi syari‟ah, d. reasurasi syari‟ah, e. reksadana syari‟ah, f. obligasi
syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, g. sekuritas
syariah, h. Pembiayaan syari‟ah, i. Pegadaian syari‟ah, j. dana pensiun
lembaga keuangan syari‟ah dan k. bisnis syari‟ah.
Amandemen ini membawa implikasi baru dalam sejarah
hukum ekonomi di Indonesia. Selama ini, wewenang untuk
menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah
diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap
sebagai hukum syari‟ah. Dalam prakteknya, sebelum amandemen UU
No 7/1989 ini, penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga
keuangan syariah tersebut mengacu pada ketentuan KUH Perdata
yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW), kitab
Undang-undang hukum sipil Belanda yang dikonkordansi
keberlakuannya di tanah Jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854 ini,
sehingga konsep perikatan dalam Hukum Islam tidak lagi berfungsi
dalam praktek formalitas hukum di masyarakat, tetapi yang berlaku
adalah BW.
Secara historis, norma-norma yang bersumber dari hukum
Islam di bidang perikatan (transaksi) ini telah lama memudar dari
perangkat hukum yang ada akibat politik Penjajah yang secara
sistematis mengikis keberlakuan hukum Islam di tanah jajahannya,
Hindia Belanda. Akibatnya, lembaga perbankan maupun di lembaga-
lembaga keuangan lainnya, sangat terbiasa menerapkan ketentuan
Buku Ke tiga BW (Burgerlijk Wetboek) yang sudah diterjemahkan.
Sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syariah tanpa
pedoman teknis yang jelas akan sulit sekali dilakukan.
Ketika wewenang mengadili sengketa hukum ekonomi syariah
menjadi wewenang absolut hakim pengadilan agama, maka
dibutuhkan adanya kodifikasi hukum ekonomi syariah yang lengkap
agar hukum ekonomi syariah memiliki kepastian hukum dan para

11
hakim memiliki rujukan standart dalam menyelesaikan kasus-kasus
sengketa di dalam bisnis syari‟ah. Dalam bidang perkawinan, warisan
dan waqaf, kita telah memiliki KHI (Kompilasi Hukum Islam),
sedangkan dalam bidang ekonomi syariah kita belum memilikinya.
Kedudukan KHI secara konstitusional, masih sangat lemah, karena
keberadaannya hanyalah sebagai inpres.
Karena itu dibutuhkan suatu aturan hukum yang lebih kuat
yang dapat menjadi rujukan para hakim dalam memutuskan berbagai
persoalan hukum . Untuk itulah kita perlu merumuskan Kodifikasi
Hukum Ekonomi Islam, sebagaimana yang dibuat pemerintahan Turki
Usmani bernama Al-Majallah Al-Ahkam al-‟Adliyah yang terdiri dari
1851 pasal. Kodifikasi adalah himpunan berbagai peraturan menjadi
undang-undang atau hal penyusunan kitab perundang-undangan
Dalam sejarahnya, formulasi suatu hukum atau peraturan dibuat
secara tertulis yang disebut jus scriptum. Dalam perkembangan
selanjutnya lahirlah berbagai peraturan-peraturan dalam bentuk
tertulis tersebut yang disebut corpus juris. Setelah jumlah peraturan itu
menjadi demikian banyak, maka dibutuhkan sebuah kodifikasi hukum
yang menghimpun berbagai macam peraturan perundang-undangan.
Para ahli hukum dan hakim pun berupaya menguasai peraturan-
peraturan itu dengan baik agar mereka bisa menyelesaikan berbagai
macam persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat dengan
penuh keadilan dan kemaslahatan.
Berdasarkan atas pemikiran itu, maka hukum ekonomi syariah
yang berasal dari fikih muamalah, yang telah dipraktekkan dalam
aktifitas di lembaga keuangan syariah, memerlukan wadah
perundang-undangan agar memudahkan penerapannya dalam
kegiatan usaha di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut. Dalam
pengambilan keputusan di Pengadilan dalam bidang ekonomi syariah
dimungkinkan adanya perbedaan pendapat. Untuk itulah diperlukan
adanya kepastian hukum sebagai dasar pengambilan keputusan di
Pengadilan. Terlebih lagi dengan karakteristik bidang muamalah yang
bersifat “elastis dan terbuka” sangat memungkinkan berfariasinya
putusan-putusan tersebut nantinya yang sangat potensial dapat
menghalangi pemenuhan rasa keadilan. Dengan demikian lahirnya
Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah dalam sebuah Kitab-Undang-
Undang Hukum Perdata Islam menjadi sebuah keniscayaan.
Sebagaimana dimaklumi bahwa formulasi materi Kodifikasi
Hukum Ekonomi Syariah tidak terdapat dalam Yurisprudensi di

12
lembaga-lembaga peradilan Indonesia. Meskipun demikian,
yurisprudensi dalam kasus yang sama bisa dirujuk sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip hukum ekonomi syariah. Artinya,
keputusan hukum masa lampau itu difikihkan, karena dinilai sesuai
dengan syariah. Jadi pekerjaan para mujtahid ekonomi syariah
Indonesia, bukan saja merumuskan hukum ekonomi baru yang berasal
dari norma-norma fikih/syariah, tetapi bagaimana bisa memfikihkan
hukum nasional yang telah ada. Hukum nasional yang bersumber dari
KUH Perdata (BW), kemungkinan besar banyak yang sesuai syariah,
maka materi dan keputusan hukumnya dalam bentuk yurusprudensi
bisa ditaqrir atau diadopsi.
KUH Perdata (BW) yang mengambil masukan dari Code Civil
Perancis ini dalam pembuatannya mengambil pemikiran para pakar
hukum Islam dari Mesir yang bermazhab Maliki, sehingga tidak aneh
apabila terdapat banyak kesamaan prinsip-prinsip dalam KUH
Perdata dengan ketentuan fikih Muamalah tersebut, seperti hibah,
wadi‟ah dan lain-lain. Selain itu, yurisprudensi putusan ekonomi
syariah, mungkin juga bisa dicari dari penerapan hukum adat di
dalam putusan pengadilan yang ada di negara kita yang sedikit
banyak telah diinspirasikan oleh ketentuan hukum Islam. Yang paling
bagus adalah merujuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam
yang pernah dibuat di zaman Kekhalifahan Turki Usmani yang
disebut Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah” KUH Perdata Islam ini dapat
dikembangkan dan diperluas bahasannya disesuaikan dengan
perkembangan aktivitas perekonomian di zaman modern ini.
Selain itu, penyusunan Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah
atau Hukum Perdata Islam, harus menggunakan ilmu ushul fiqh dan
qawa‟id fiqh. Disiplin ini adalah metodologi yurispridensi Islam yang
mutlak diperlukan para mujtahid. Dengan demikian maqashid syariah
perlu menjadi landasan perumusan hukum. Metode istihsan, urf, sadd
zariah, dan pertimbangan-pertimbangan „kemaslahatan‟ menjadi
penting. Dengan demikian, diharapkan, selain akan dapat memelihara
dan menampung aspirasi hukum serta keadilan masyarakat,
Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah juga akan mampu berperan
sebagai perekayasa (social enginaring) masyarakat muslim Indonesia.
Secara teoritis penerapan Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah di
Indonesia ini dapat terwujud melalui peran penting pemerintah
„Political Will‟ Penguasa, sebagaimana telah diterapkan pada
Kompilasi Hukum Islam yang ada sekarang ini. Untuk menyusun

13
Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah, peran Ikatan Ahli Ekonomi Islam
(IAEI) sangat penting, mengingat IAEI adalah kumpulan para pakar
ekonomi syariah Indonesia dari berbagai perguruan tinggi terkemuka.

Simpulan
Rasanya tidaklah adil apabila melihat globalisasi dan liberalisasi
ekonomi secara apriori, namun sebaliknya menerimanya dengan mentah-
mentah begitu saja tanpa bersikap kritis juga bukan sikap yang bijaksana.
Dengan berbagai akibat positif dan negatifnya, globalisasi ekonomi
bukanlah sesuatu yang tidak dapat dikendalikan, diubah atau bahkan
dihentikan. Salah satu langkahnya adalah dengan tetap memberikan
kewenangan kepada negara untuk melakukan fungsinya sebagai
pengendali pasar melalui berbagai regulasi ekonomi, menyerahkan
sepenuhnya aktivitas ekonomi nasional pada mekanisme pasar yang
diyakini sebagai “self regulating” justeru akan menimbulkan ketidakadilan
bagi banyak pihak di dalam negeri dan sebaliknya membuka peluang
transnational untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya ekonomi bangsa
Indonesia.
Oleh karena itu, jika sistem ekonomi islam menjadi bagian dalam
bentuk regulasi ekonomi nasional adalah suatu keniscayaan. Regulasi
ekonomi islam berorientasi pada tujuan membangun kemaslahatan dan
kesejahteraan sebagai pencegah dampak negatif globalisasi menuju
masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang di cita-citakan.

Daftar Pustaka
Ali, Muhammad Daud, Sistim Ekonomi Islam, Zakat, dan Wakaf (Jakarta: UI
Press, 1998).
Al-Kaff, Abdullah Zaky, Ekonomi Dalam Perspektif Islam (Bandung: Pustaka
Setia, 2002).
Chapra, M. Umar, Islam dan Tantangan Ekonomi, terj. Ridwan Abidin
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001).
Hakim, Abdul Hamid, al-Bayan (Jakarta: Sa‟odah Putra, tt.).
Karim, Adiwarman A., Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006).
Lubis, Suwardi K., Hukum Ekonomi Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2004).
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin,
1989).
Shiddiqie, Muhammad Nejatullah, Kegiatan Ekonomi dalam Islam. Terj. Anas
Sidik (Jakarta: Bumi Aksara, 2004).

14

You might also like