Pendidikan Islam, Tasawuf, Dan Tantangan Era Society 5.0: Bestari

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 18

BESTARI Vol. 18, No.

2, 2021
p-ISSN 1907-1337 DOI: https://doi.org/10.36667/bestari.v18i2.943
e-ISSN 2807-6532

Pendidikan Islam, Tasawuf, dan Tantangan


Era Society 5.0

Rifa Hazim Rustam Fuady


Institut Agama Islam Cipasung (IAIC) Tasikmalaya
Email: [email protected]

Abstract
Advances in information and communication technology in the industrial
revolution era demand a culture of society that integrates technology in
their lives to become a super smart society in the era of society 5.0.
Islamic education is certainly experiencing the impact of new problems
that will be faced and the need for reconstruction in order to produce a
generation that is not only able to adapt to technology but can realize an
advanced Islamic civilization. This paper aims to reveal the challenges of
the era of society that will be faced by Islamic education and the relevance
of Islamic education according to Sufism in responding to these
challenges. This paper is a library research that uses qualitative-
descriptive-analytic research methods. The results of this study indicate
that the opposition to Islamic education in the era of society 5.0 is (a) it is
necessary to form education that produces a generation that understands
universal Islam which makes Islam not only made into law but also a way
of life (b) it is necessary to erode the dichotomy of science in Islamic
education by open a good integration between the two (c) Islamic
education must be able to fortify the progress of science and technology
with Islamic values so as not to get out of the way of benefit. All of these
problems are relevant to the use of the Sufism approach in Islamic
education.

Abstrak
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi di era revolusi industri
menuntut budaya masyarakat yang memadukan teknologi dalam
kehidupannya hingga menjadi super smart society di era society 5.0.
Pendidikan Islam tentunya mengalami dampak problematika baru yang
akan dihadapi dan perlu adanya rekonstruksi agar menghasilkan generasi
yang tidak hanya mampu beradaptasi dengan teknologi namun dapat
mewujudkan peradaban Islam yang maju. Tulisan ini bertujuan untuk
mengungkap tantangan era society yang akan dihadapi oleh pendidikan
Islam dan relevansi pendidikan Islam berpendakatan tasawuf dalam
menjawab tantangan tersebut. Tulisan ini merupakan penelitian
kepustakaan yang menggunakan metode penelitian kualitatif-deskriptif-
analitik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tantangan pendidikan
Islam era society 5.0 adalah (a) perlu membentuk pendidikan yang
menghasilkan generasi yang berpaham Islam Universal yang membuat

125
Rifa Hazim Rustam Fuady

agama Islam tidak hanya dijadikan hukum semata namun menjadi way
of life (b) perlu mengikis dikotomi ilmu dalam pendidikan Islam dengan
membuka integrasi yang baik antar keduanya (c) pendidikan Islam harus
mampu membentengi kemajuan sains dan teknologi dengan nilai-nilai
keislaman supaya tidak keluar jalur kemanfaatan. Seluruh problematika
tersebut relevan dengan digunakannya pendekatan tasawuf dalam
pendidikan Islam.

Keywords: Islamic education, Society 5.0, sufism

PENDAHULUAN
Nabi Muhammad diutus untuk membawa perubahan peradaban
manusia ke arah yang paripurna. Bersama al-Quran yang menjadi
mukjizatnya dan keelokan pribadinya Beliau mampu mengangkat
peradaban yang tidak dikenal pada saat itu bahkan bisa dikatakan masih
primitif menjadi sejajar atau mengalahkan kemajuan peradaban Romawi
dan Persia. Selanjutnya, para Ulama dengan Islam yang menjadi
pedomannya mampu memimpin kemajuan dunia pada saat itu. Jelas,
bahwa kehadiran Islam saat berhasil terwujud sebagai Rahmat bagi
seluruh alam semesta.
Di antara segi kemujizatan al-Quran adalah kemukjizatannya
bersifat abadi tanpa mengenal zaman. Bahwasanya ajaran Islam akan
tetap menjadi Rahmat bagi seantero jagad raya apapun tantangan
zamannya. Secara teori dari keyakinan tersebut, kemajuan-kemajuan
dunia tidak akan terlepas dari umat yang mengamalkan nilai-nilai
keislaman dalam hidupnya. Namun nyatanya, umat muslim sekarang ini
terkesan hanya tampil sebagai ekor kemajuan dunia.
Dunia berkembang semakin cepat, masyarakat dunia belum
selesai beradaptasi dengan revolusi Industri 4.0 yang dikenalkan negara
Eropa tahun 2010, Jepang pada tahun 2016 dengan bangganya
mengenalkan ke seluruh dunia gagasan Society 5.0.(Gularso, 2021)
Gagasan Society 5.0 (masyarakat 5.0) muncul atas respons
kemajuan era revolusi industri 4.0 di mana dinilai mengakibatkan
disrupsi segala bidang sehingga memberikan dampak berupa
ketidakpastian, ambisiusitas dan kompleksitas pada masyarakat.(Putra,
2019). Gagasan ini diharapkan akan menyelesaikan permasalahan sosial
dengan cara berkolaborasi dengan teknologi yang terintegrasi antara
dunia nyata dan maya(Fukuyama, 2018).
Dilain hal, pendidikan Islam dinilai terjangkit konformisme
dengan merasa cukup dengan keberhasilan mengajarkan agama
didasarkan nilai normatif namun mengesampingkan sosio-kultural
masyarakat (Choli, 2020). Lebih jauh lagi konsep tasawuf bagian dari
Islam yang lebih menekankan aspek batin yang berhubungan langsung
dengan Tuhan dan cenderung menolak dunia yang dianggapnya berisiko
terhadap kebahagiaan akhiratnya. Padahal Pendidikan Islam dan konsep

126 http://riset-iaid.net/index.php/bestari
BESTARI
Vol. 18, No. 2, 2021
p-ISSN 1907-1337; e-ISSN 2807-6532

tasawuf didalamnya diharapkan melahirkan generasi-generasi yang


mampu berinovasi untuk kemaslahatan umat dunia atau paling tidak
membentuk generasi yang mampu beradaptasi dan memanfaatkan
kemajuan yang ada. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui
tantangan pendidikan Islam di era society 5.0 dan relevansi pendidikan
Islam dengan pendekatan tasawuf yang cenderung berputar pada
masalah spiritual keagamaan dengan era society 5.0 yang penuh dengan
teknologi.

Metode
Tulisan ini merupakan penelitian kepustakaan yang menggunakan
metode penelitian kualitatif-deskriptif-analitik dengan menjadikan
berbagai literatur menjadi sumber datanya mulai dari hasil penelitian
mutakhir dan karya tulis ilmiah lain yang memuat tema society 5.0,
pendidikan Islam dan tasawuf demi tergambarnya hubungan yang
sistematis antar fenomena tersebut. Dengan demikian, penyusunan
tulisan ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
pertama, penelaahan secara seksama literatur bertema society 5.0,
pendidikan Islam dan tasawuf; kedua, pengkategorian data dalam
kelompok tema menurut objek formalnya; ketiga, analisis data sesuai
teori yang digunakan; keempat, pemberian konklusi terhadap hasil
pembahasan sebagai penegasan pemikiran peneliti.

Hasil dan Pembahasan


Konsep Pendidikan Islam dan Tasawuf
Sebelum membahas pendidikan Islam perlu ditegaskan kembali
makna Islam yang ada pada istilah tersebut. Sebab yang menjadi masalah
umum penggunaan kata Islam sering dipahami berbeda antara menjadi
kata benda yang merujuk kepada orang yang mengklaim diri sebagai
penganut ajaran Islam (muslim) atau kata sifat yang bermakna islami
atau keislaman (Jasminto, 2020). Antara kedua makna tersebut tentu
akan menghasilkan perbedaan yang sangat mencolok jika dikaitkan
dengan pendidikan. Pendidikan Islam bisa hanya dimaknai sebagai klaim
semata oleh sebuah lembaga misalnya karena seluruh peserta didiknya
adalah seorang muslim meskipun praktik pendidikannya tidak
sepenuhnya mempresentasikan nilai ke-Islaman.
Pendidikan Islam haruslah dimaknai pendidikan yang islami
secara ideologis yakni berlandaskan al-Quran dan al-Hadits (Akmansyah,
2015). Pendidikan tersebut menghasilkan beragam tipologi pendidikan
Islam pada praktiknya. Pertama, pendidikan yang mengajarkan agama
Islam itu sendiri untuk diamalkan dan disebarluaskan kepada masyarakat
seperti pesantren klasik, majelis taklim, pengajian-pengajian dan
sebagainya, kedua, pendidikan yang dasar nilainya adalah Islam namun
tidak hanya mengajarkan keilmuan Islam namun juga dengan ilmu yang
lain yang diharapkan mengantarkan menjadi seorang profesional sesuai

127
Rifa Hazim Rustam Fuady

kebutuhan yang ada di masyarakat seperti Perguruan Tinggi Islam,


Madrasah Kementerian Agama dan Pesantren modern.(Jasminto, 2020)
Menilik lebih dalam tentang pendidikan, bahwasanya teori,
pandangan atau paradigma manusia tentang sesuatu tentunya
dipengaruhi oleh banyak faktor, tidak terkecuali pendidikan. Seperti yang
dijelaskan Tatang dan Toto (Hidayat & Suryana, 2018) paradigma
pendidikan di barat cenderung terpengaruhi oleh paham-paham yang
memang berkembang di barat yakni sekulerisme, materialisme,
rasionalisme, dan humanisme. Maka paradigma pendidikan versi barat
bisa disimpulkan pendidikan yang mengembangkan potensi manusia ke
arah pemuasan jasmani saja tanpa diikat oleh aturan agama, pendidikan
yang penentuan kebenarannya hanya terikat dengan data dan fakta yang
terukur secara indrawi sedangkan aspek-aspek non-indrawi dan
ruhaniyah tidak tersentuh, dan motivasi pendidikannya hanyalah untuk
mengumpulkan keuntungan materi saja.
Berbeda dengan negara Indonesia, pendidikan masih terpengaruh
dengan paham non-barat dan masih mengemas religiusitas dalam
pendidikan. Hal tersebut dibuktikan bahwasanya semua sistem
pendidikan Indonesia dijiwai oleh spirtualitas yang tinggi yakni keimanan
kepada Tuhan yang maha esa. Hal tersebut tertuang dalam Undang-
undang RI No. 20 Tahun 2003.
Inilah konsep pendidikan Islam khususnya di Indonesia, yang hal
tersebut lahir dari kondisi sosio kultural bangsa Indonesia yang memang
banyak dipengaruhi pandangan-pandangan Islami yang sudah tertanam
semenjak Islam tersebar di Indonesia. Misalnya Imam al-Ghazali (E.
Setiawan, 2015) berpandangan bahwa pendidikan adalah proses
mengembangkan esensi manusia yakni hati (qalb) ruh, jiwa (nafs) dan
akal (aql) ke arah mendekatkan diri kepada Allah yang mampu
melaksanakan kewajibannya kepada sang maha Pencipta maupun kepada
sesama makhluk dengan tujuan diraihnya profesi manusia sesuai bakat
dan kemampuannya serta dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Secara lebih terperinci dalam membatasi istilah pendidikan Islam,
Bahru Rozi (Hashim, 2009) menuturkan bahwa pendidikan Islam
memiliki ciri khusus yakni pertama bersumber utama al-Quran dan al-
Hadits serta Ijma para sahabat, kedua, berdasar kepada ; 1) dasar ibadah
(ta’abbudi) yakni mendidik jiwa berorientasi kepasrahan total kepada
Allah Swt. dalam setiap kehidupannya, 2) dasar syariat (tasyri) yakni
pendidikan intelektual manusia tentang bagaimana ajaran Islam
memandang alam semesta ini dan bagaimana mengatur dirinya supaya
berada pada jalur yang ditetapkan agama, 3) dasar rasional, yakni
mendidik intelektual manusia supaya mampu berpikir rasional tentang
kehidupan dan fenomena ciptaan-Nya sehingga menjadi manusia yang
kreatif dan inovatif untuk kemaslahatan diri dan masyarakat.
Melihat realitas problematika pendidikan sekarang di mana dirasa
belum terselesaikan melalui pendidikan Islam yang berlaku saat ini,
sudah banyak para peneliti yang berusaha mengungkap konsep

128 http://riset-iaid.net/index.php/bestari
BESTARI
Vol. 18, No. 2, 2021
p-ISSN 1907-1337; e-ISSN 2807-6532

pendidikan tasawuf dan merekomendasikannya untuk merekonstruksi


pendidikan Islam, di antaranya :
a) Pendidikan tasawuf merupakan pendidikan yang bertujuan mengenal
Allah Saw atau makrifatullah yang dilaksanakan utamanya dengan
melalui pendidikan hati, juga pembelajaran berbagai ilmu dan
tingkatan jalan yang harus dilalui supaya bisa mencapai derajat
seorang yang mengenal Allah. Dalam prosesnya kehadiran seorang
guru dalam membimbing, keberhasilan seorang murid sangat
tergantung oleh kesholehan seorang guru atau dalam istilah dunia
tasawuf disebut mursyid, mursyid ibarat pengendara yang
menentukan arah kemana tujuan penumpangnya.(Khairuddin, 2014)
b) Pendidikan sufistik adalah pendidikan kecerdasan spiritual dan emosi.
Didalamnya dituntun untuk mengikuti segala aturan agama dalam
segala keadaan kehidupan, bagaimana menghadapi musibah,
kekayaan, kemiskinan, pertentangan dari orang lain, dan belajar
mengendalikan diri sekaligus mengembangkan potensinya. (Isbiq,
2011)
c) Pendidikan sufistik merupakan pendidikan yang bertujuan akhir
untuk mendekatkan diri kepada Allah yang prosesnya melalui
pembelajaran ilmu dan nilai-nilai yang ada dalam ilmu tasawuf.
Secara garis besar pendidikan prioritasnya adalah pendidikan
hati.(Basyar, 2011)
d) Pendidikan sufistik adalah pendidikan yang garis besarnya adalah
aspek batin dibanding materi, dilaksanakan dengan upaya yang sadar
untuk membimbing murid menjadi hanya berharap kepada Allah dan
lebih takut kepada-Nya.(Nasiruddin, 2007)
Sejatinya secara konsep, pendidikan tasawuf itu tidak berbeda
jauh dengan konsep pendidikan Islam karena konsep tasawuf itu lahir
dari rahim Islam itu sendiri bahkan para pengamal tasawuf adalah Nabi
sendiri, sahabat dan para ulama salaf (Al-Qusyairi, 1046) Maka dari itu
pendidikan tasawuf itu lebih kepada pendidikan Islam yang memakai
ajaran tasawuf didalamnya. Ajaran tasawuf sejatinya, berisi tuntutan
untuk berusaha menjalani kehidupan dan bertingkah laku dalam hal
apapun sedekat mungkin dengan yang dicontohkan Rasulullah Saw dan
para sahabat serta para ulama. Bisa dikatakan tasawuf merupakan jalan
memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara lebih mendalam
hingga ke akar-akarnya (hakikat).
Secara garis besar, di dalam pendidikan tasawuf bahwasanya
mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam diharuskan secara utuh
meliputi aspek syari’at, thariqoh dan hakikat. Imam Nawawi al-Bantani
(Ilyas, 2019) seorang ulama asal Indonesia yang keilmuannya diakui
dunia mendefinisikan konsep tersebut :
a) Syari’at merupakan tahapan awal seorang muslim mengamalkan
ajaran agamanya dengan sekedar melaksanakan yang wajib dan
menjauhi yang dilarang oleh Allah Swt.

129
Rifa Hazim Rustam Fuady

b) Thariqoh merupakan tahapan ajaran lanjutan dengan tidak hanya


melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan namun bertakhalli
yakni berusaha menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan mubah
yang berlebihan, kemudian mengambil sikap kehati-hatian seperti
wara‟ dan melatih diri dengan ibadah-ibadah sunat seperti banyak
berpuasa, banyak Shalat malam, berzikir dan sebagainya.
c) Hakikat merupakan pencapaian puncak seseorang di mana dia
memperoleh pemahaman tentang hakikat segala sesuatu seperti
mendalami makna nama dan sifat-sifat Allah, mengetahui rahasia-
rahasia Al-Quran dan hikmah-hikmah Ilahi yang tidak akan tercapai
melalui pengajaran dari seorang guru melainkan pengajarannya dari
arah yang tidak terduga yakni dari Allah Swt. secara langsung.
Di lain sumber, di dalam tasawuf dikenal memiliki bagian lain
yakni makrifat, yakni mengenal sang maha pencipta dalam artian
mengenal dengan dekat dengan-Nya dengan gambaran hati selalu
terhubung dengan-Nya(Ansori et al., 2019)
Dengan kata lain, aspek syariat dan thariqoh adalah proses yang
harus dilalui seseorang untuk menuju tercapainya hakikat yang mana
Imam al-Ghazali (Wahyudi, 2020) menyebutnya dengan nihayah al-
hidayah atau pencapaian puncak petunjuk Islam sedangkan syariat dan
thariqah sebagai bidayah al-hidayah yakni permulaan petunjuk Islam.
Sebagai wujud pengamalan syariat dan thariqah, mula-mula para
penuntut Ilmu harus membekali diri dengan niat yang ikhlash dan
waspada terhadap jeratan setan untuk riya dan niat-niat menuntut ilmu
demi keuntungan duniawi berupa harta, kebanggaan dan ketenaran.
Kemudian mengatur jadwal kegiatannya sehari-hari dengan amalan-
amalan yang wajib maupun yang sunah dari semenjak bangun tidurnya
sampai kembali tidur. Para penuntut ilmu pun dipastikan dapat
menghindari dari sifat-sifat tercela dalam hidupnya seperti bohong,
hasad, ujub, takabur. Intinya, peserta didik memiliki akhlak yang terpuji
baik terhadap Allah, terhadap dirinya sendiri, dan terhadap orang lain
termasuk keluarga dan masyarakat dalam perjalanan pencarian
ilmunya.(Wahyudi, 2020)
Maka dari itu, pendidikan tasawuf didalamnya memiliki
kompetensi dasar yakni berhasil melaksanakan syariat dan thariqah
berupa amalan-amalan kebaikan baik berupa kewajiban maupun yang
bersifat sunat, menghiasi diri dengan akhlak terpuji dan menghindari
akhlak tercela, dengan cara melatihnya dengan target jadwal kegiatan
sehari-hari yang tersusun rapi. Hingga tercapainya hakikat dan ma’rifat
sebagai tujuan pendidikan tasawuf.
Ajaran tasawuf yang diimplementasikan kepada konsep
pendidikan tasawuf di atas oleh para ahli digolongkan kepada tasawuf
amali atau tasawuf yang berorientasi pada amal. Bagian ajaran tasawuf
yang lain adalah tasawuf akhlaqi dan tasawuf falsafi. Tasawuf akhlaki
merupakan ajaran tasawuf yang berfokus kepada akhlak yakni
pembenahan jiwa untuk mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji dan

130 http://riset-iaid.net/index.php/bestari
BESTARI
Vol. 18, No. 2, 2021
p-ISSN 1907-1337; e-ISSN 2807-6532

menjauhkannya dari sifat tercela sehingga tercapai jiwa yang paripurna


yang dipenuhi dengan nur Ilahi yang menghilangkan sifat-sifat
kemanusiaan yang hina dalam dirinya atau dikenal pula dengan istilah
takhalli, tahalli, dan tajalli. Sedangkan tasawuf falsafi memiliki kekhasan
yakni banyaknya istilah-istilah khusus dalam ajarannya yang sulit
dipahami oleh kebanyakan orang kecuali mereka yang memiliki perasaan
yang sama seperti orang yang mencetuskan ajarannya seperti wahdatul
wujud, hulul, fana dan baqa dan isyraq. Meski istilahnya menyandang
kata filsafat namun banyak yang mengklasifikasikannya bukanlah bagian
dari filsafat sebab pengambilan ajarannya adalah perasaan atau dzauq
yang memadukan mistis dengan rasional. (Qomarudin, 2019)
Ajaran tasawuf amali dan akhlaki sebenarnya merupakan satu
kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan. Tahap menyucikan diri dari
akhlak yang tercela (takhalli) dan menghiasinya dengan akhlak yang baik
(tahalli) adalah bagian dari thariqoh. Thariqoh sendiri tidak dapat
dikatakan berhasil jika tidak melakukan keduanya. Adapun tajalli
merupakan bagian dari hakikat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Maka dari itu, secara konsep ajaran tasawuf inilah yang menjadi dasar
bagi konsep pendidikan tasawuf. Adapun falsafi, sebab sulitnya dijelaskan
kepada semua orang dan dikhawatirkan menyebabkan kesalahpahaman
dalam memahaminya maka ajaran tasawuf ini sulit untuk
diimplementasikan kepada pendidikan.

Tasawuf di Era Society 5.0


Meskipun banyak yang mengira bahwa era society 5.0 tahap
lanjutan era revolusi industri 4.0, asumsi tersebut kurang tepat,
meskipun benar bahwa society 5.0 kemunculannya di dasarkan industri
4.0. Era society 1-5 menunjukkan garis waktu atau lini masa
perkembangan masyarakat dunia tergantung dengan kondisi pada setiap
zamannya sedangkan era revolusi industri 1-4 mengarah kepada
perkembangan dunia dalam bidang industri.
Fase Era society 1.0 diawali dengan masyarakat berburu kira-kira
70.000 – 100.000 tahun yang lalu, di mana manusia tidak bertempat
tinggal dan berpindah-pindah untuk memenuhi kebutuhannya. Setelah
itu, manusia mulai mengenal bercocok tanam dan sudah memilih untuk
menetap pada sebuah daerah, masa tersebut dikenal dengan society 2.0
atau era masyarakat agraris yang dimulai kisaran 9.000 – 10.000 tahun
yang lalu.(Gularso, 2021).
Setelah dimulainya era revolusi industri 1.0 pada akhir abad 18 M
dan ditemukannya mesin uap lahirlah era di mana manusia mulai
mengenal mesin untuk membantu pekerjaannya, untuk bepergian
manusia tidak hanya mengandalkan kereta kuda namun bisa bepergian
dengan kereta uap dan kendaraan lain serta dibidang industri barang
mulai diproduksi secara masal dengan bantuan mesin-mesin uap. Pada
era ini dimulai society 3.0 atau masyarakat industri. Tidak lama setelah

131
Rifa Hazim Rustam Fuady

itu satu abad kemudian pada tahun 1870-an masuklah kepada era
revolusi industri 2.0 yang ditandai dengan mulai digunakannya tenaga
listrik, masyarakat dunia pada era ini masih dikategorikan era
masyarakat industri atau society 3.0 dengan disertai perubahan yang
tadinya manusia terbatas bekerja pada siang hari saja menjadi tidak
terbatas dan mulai menggunakan alat-alat bertenaga listrik. Kemudian,
setelah ditemukannya komputer mulailah era industri 3.0 yang berisi
otomatisasi, komputerisasi dan digitalisasi apalagi setelah ditemukannya
internet maka perubahan secara cepat ini menuntut manusia berubah
kepada era masyarakat informasi atau society 4.0. Perkembangan
teknologi yang sangat cepat setelahnya dengan adanya penggabungan
internet dengan manufaktur membuat digitalisasi dan otomatisasi
mengantarkan kepada era revolusi industri 4.0. yang dimulai tahun 2010,
kemajuan tersebut ditandai dengan Artificial Intelligence (kecerdasan
buat), Robotics (robot), Automation (otomatisasi), Big Data (data dalam
jumlah besar), dan Internet of Things (internet di segala lini). Efek dari
era revolusi industri 4.0 inilah yang membuat negara jepang
mengusulkan cara pandang baru yakni super smart society atau dikenal
society 5.0 (Al Faruqi, 2019).

Gambar 1. Ilustrasi hubungan fase society dan revolusi industri

132 http://riset-iaid.net/index.php/bestari
BESTARI
Vol. 18, No. 2, 2021
p-ISSN 1907-1337; e-ISSN 2807-6532

Gambar 2. Ilustrasi fase society hingga society 5.0 (Goverment, 2018)

Gagasan era baru ini mengintegrasikan tempat di mana manusia


ada secara fisik dengan dunia maya (cyber space). Teknologi mutakhir
dioptimalkan untuk mewujudkan manfaat yang lebih luas untuk manusia.
Berbeda dengan revolusi industri 4.0 yang fokusnya terhadap
optimalisasi berbagai teknologi dan sistem informasi dalam bidang
produktivitas industri bisnis (D. Setiawan & Lenawati, 2020). Selain itu,
penerapan society 5.0 diarahkan untuk memenuhi tujuan Sustainable
Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan berkelanjutan
yang disepakati oleh 193 negara di markas PBB tahun 2015 meliputi 17
tujuan di antaranya, mengakhiri kemiskinan, menciptakan ketahanan
pangan, terciptanya kehidupan yang sehat, terwujudnya pendidikan yang
inklusif dan setara dalam kualitas dan tujuan lainnya. Untuk
mewujudkannya negara jepang merencanakan sembilan layanan untuk
masa depan menggunakan teknologi berbasis manusia contohnya one
platform for health dan mitigasi bencana.(Al Faruqi, 2019).

Gambar 3. Layanan kesehatan dan pencegahan bencana Society 5.0


(Goverment, 2018)

Tantangan Pendidikan Islam Era Society 5.0


Society 5.0 dilihat sebagai sebuah konsep merupakan perwujudan
peradaban manusia yang lebih maju. Untuk menuju ke arah kemajuan

133
Rifa Hazim Rustam Fuady

tersebut diperlukan berbagai faktor untuk menunjang untuk


mewujudkannya. Islam menilai sebuah kemajuan dari sudut
kemaslahatan dan kemanfaatan bagi umat manusia. Pendidikan sebagai
salah satu aspek utama dalam menopang kemajuan ini perlu
merekonstruksi nilai-nilai keislaman yang selama ini hilang dan justru
dipraktikkan oleh pihak lain.
Di sisi lain, modal awal bagi kemajuan suatu bangsa adalah
stabilitas keamanan. Baik ekonomi, sains, teknologi, bahkan pendidikan
sendiri akan mengalami sebuah kemunduran jika dihadapkan kepada
konflik dalam sebuah negara. Hari ini masih terlihat di beberapa negara
mayoritas muslim terutama di timur tengah yang mengalami
kemunduran tersebut akibat belum terwujudnya keamanan bagi warga
negaranya.
Konflik di beberapa negara timur tengah yang seakan tidak pernah
ada habisnya ini pemicu utamanya adalah perbedaan agama, suku dan
etnis bahkan perbedaan sesama muslim pun menjadi faktor pemicu
perang saudara sesama muslim disana (Muttaqin, 2018). Meskipun
terdapat faktor lain yang menambah kompleks permasalahannya tetap
saja hal ini membuktikan ajaran Islam yang seharusnya memberikan
pengaruh kedamaian bagi seluruh manusia dan alam semesta tereduksi
dan malah menjadi berideologi memperjuangkan kedamaian demi
kelompoknya masing-masing.
Jika dianalisis racun dalam tubuh umat muslim tersebut adalah
kesalahan ideologi yang diyakini benar atas nama agama yakni masih
tersisanya ideologi takfiri yang tidak memberikan ruang untuk
perbedaan. Orang-orang di luar kelompoknya meskipun masih dalam
ruang lingkup seagama saja tidak bisa ditolelir apalagi beda agama, suku
atau etnisnya. Kemudian ideologi ini dibawa ke ranah politik dengan cara
mengeksploitasi dogma agama sebagai alat untuk meraih dukungan dan
membangkitkan fanatisme beragama menjadi emosi kemarahan umat
untuk menentang kelompok lain bahkan negaranya sendiri. Pada
akhirnya jalan untuk menyelesaikan masalahnya hanyalah jalur
kekerasan dan terjadilah perang saudara berkepanjangan dan sulit untuk
dihentikan.
Di Indonesia sendiri benih-benih konflik seperti di atas telah
muncul. Contoh yang nyata umat Islam Indonesia terpolarisasi dan
hampir tersulut akibat konstelasi politik di Pilpres 2014 dan 2019.
Ekspresi keislaman diubah menjadi sumber daya politik. Sentimen-
sentimen agama sengaja dimobilisasi untuk menjadi bahan bakar
dukungan elektoral. Sebagian umat Islam seakan keluar dari nilai-nilai
keislamannya dengan munculnya pelabelan antar kelompok Islam seperti
ulama munafik–ulama cebong, partai setan-partai Allah, ulama kadrun
(kadal gurun) dan sebagainya. Tujuannya adalah memberikan stereotip
buruk antar kelompok. Fenomena ini didukung oleh kemajuan teknologi
informasi seperti media sosial (Masykuri & Ramadlan, 2021)

134 http://riset-iaid.net/index.php/bestari
BESTARI
Vol. 18, No. 2, 2021
p-ISSN 1907-1337; e-ISSN 2807-6532

Meski di Indonesia tidak terjadi konflik, di era ini masyarakat


muslim Indonesia harus membentengi diri agar benih-benih tersebut
tidak meluas dan mengganggu stabilitas keamanan. Hal ini menjadi
tantangan Pendidikan Islam untuk mampu berperan penting untuk
menghadirkan edukasi wajah Islam yang membawa kedamaian bukan
menimbulkan perpecahan. Akhlak yang luhur menjadi urgensi dasar
untuk ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam penggunaan
teknologi informasi dalam menyambut era society 5.0 ke depan. Dengan
kata lain, pendidikan Islam terlebih dahulu harus memastikan selesainya
masalah dalam tubuh Islam sendiri untuk bisa menjadi masyarakat yang
berlabel super smart society.
Beberapa peneliti lain mengungkapkan berbagai tantangan dan
problematika yang dialami oleh pendidikan Islam di era industri 4.0 saat
ini maupun era society 5.0 ke depan. Misalnya Bahru Razi (Rozi, 2019)
menyebutkan bahwa setidaknya ada tujuh poin yang harus dihadapi oleh
pendidikan Islam di era industri 4.0 yakni :
a) Adanya dikotomi pendidikan Islam dengan pendidikan umum atau
sains bahkan hal tersebut menjadi asumsi dasar sebagian masyarakat
bahwa pendidikan Islam hanya bertujuan untuk menyiapkan generasi
ulama atau pendakwah saja. Pernyataan ini, walaupun bisa
terbantahkan oleh perguruan tinggi Islam yang berubah wajah
sebagai universitas saat ini, realitanya lembaga-lembaga lain seperti
pondok pesantren dinilai belum maksimal membangun generasi
ilmuwan dalam bidang selain agama Islam itu sendiri.
b) Minimnya penelitian, hal ini disebabkan berbagai faktor termasuk
pembiayaan.
c) Terlalu banyak menggunakan literatur barat sehingga keislaman
banyak terkikis
d) Lemah dalam kemampuan berbahasa
e) Kelembagaan pendidikan Islam yang masih terkotak-kotak antara
pendidikan Islam tradisional dan pendidikan Islam modern
f) Minimnya kemampuan menggunakan teknologi
g) Pembaharuan pendidikan Islam belum dirasakan secara signifikan
sehingga seakan menjadi ekor dari pendidikan sekuler di dunia yang
perkembangannya pesat
Pristian (Putra, 2019) menambahkan jika gagasan era society 5.0
diterapkan maka yang harus diupayakan untuk diubah dalam pendidikan
Islam adalah pertama sebagai pendidikan Islam di Indonesia lebih
menitikberatkan kepada dimensi kognitif sehingga melahirkan pesatnya
kehidupan beragama secara fisik ritual namun justru banyak yang malah
bertentangan dengan ajaran agamanya, kedua pendidikan masih bersifat
sentralistik, ketiga kurangnya sumber daya manusia yang belum
kompeten.
Secara lebih menjurus kepada permasalahan, Ifham (Choli, 2020)
menjelaskan bahwa era ini disatu sisi akan menjadikan lapangan kerja

135
Rifa Hazim Rustam Fuady

menjadi berkurang karena adanya teknologi terutama robot, namun di


sisi lain akan menciptakan ruang inovasi lebih terbuka. Dengan demikian,
pendidikan Islam dituntut melahirkan generasi yang kreatif, inovatif dan
inklusif dengan berbagai pihak meskipun berbeda budaya, etnis bahkan
agama.
Oleh karena era super smart society ini titik yang paling
menonjolnya adalah teknologi dan kebijakan pemanfaatan teknologi yang
lebih humanis maka teknologi dan pemanfaatannya merupakan
tantangan terbesar dunia pendidikan. Pendidikan Islam dituntut
melahirkan generasi yang mampu berinovasi dalam teknologi untuk
kemaslahatan masyarakat dan tetap bijak dalam menggunakannya.
Dengan kata lain, pendidikan Islam bukan hanya berfungsi sebagai
pengontrol moral dalam penggunaan teknologi namun subjek pembaharu
dalam teknologi.
Selain itu, dalam proses pendidikan pemanfaatan teknologi yang
ada dalam society 5.0 seperti AI, IOT, Big Data dan Virtual Reality harus
benar-benar dioptimalkan demi mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan
dengan memperhatikan efisiensi dan efektivitas. Oleh karena itu, hal-hal
yang perlu diperhatikan adalah infrastruktur yang mumpuni dan merata
yang mana hal ini diperlukan peran aktif pemerintah dalam
mewujudkannya, kemudian penguatan sumber daya manusia pendidikan
diberikan pelatihan-pelatihan teknologi terbaru, dan tidak kalah
pentingnya harus ada sinkronisasi antara pendidikan dengan dunia
industri.
Jika poin-poin tersebut terpenuhi maka dapat terwujudlah
harapan dari pemerintah yakni Menteri Riset Teknologi dan Perguruan
Tinggi (Nastiti & „Abdu, 2020) menerangkan bahwa perguruan tinggi
khususnya dalam meningkatkan kualitas pendidikannya harus
memperhatikan pendekatan teknologi informasi dalam penentuan bakat
dan minat mahasiswa, menggunakan Internet of Things dalam proses
belajar, pemanfaatan Virtual Reality dalam dunia pendidikan untuk
mengasah kemampuan peserta didik dan penggunaan Artifical
Intelligence untuk membantu peserta didik atau mahasiswa dalam
mencari informasi dan belajar.

Relevansi Pendidikan Islam dengan Pendekatan Tasawuf di Era Society


5.0
Problematika era society 5.0 di atas membangkitkan rekonstruksi
pendidikan Islam agar mampu membangun relevansi dengan kemajuan-
kemajuan teknologi dan kondisi sosio-kultural masyarakat saat ini serta
menjaga hal-hal yang baru tidak keluar jalur ke-Islaman. Rekonstruksi
tersebut diperlukan juga guna memberikan ilham motivasi bagi umat
Islam bahwasanya Islam sudah saatnya ikut menyumbangkan
sumbangsih kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi manusia
seperti yang telah dilakukan ilmuwan-ilmuwan di luar Islam. Secara rinci
dasar rekonstruksi tersebut adalah pertama, isu pengetahuan agama

136 http://riset-iaid.net/index.php/bestari
BESTARI
Vol. 18, No. 2, 2021
p-ISSN 1907-1337; e-ISSN 2807-6532

umat Islam hanya bersifat kognitif sehingga menimbulkan reduksi ajaran


Islam menjadi ritualistik namun jauh dari nilai substansi. Seakan Islam
hanyalah agama hukum dan tidak menjadi way of life, sehingga
berdampak kepada ekslusifitas, radikalisme bahkan terorisme. Kedua, isu
dikotomi pengetahuan dalam Pendidikan Islam yang menjadikan relasi
antara doktrin agama dengan sains tidak terjalin sebagaimana mestinya.
Terakhir, isu moral penggunaan teknologi, kemajuan teknologi
mempunyai dampak negatif seperti kecanduan gadget, game online,
tersebarnya hoax dan sebagainya.
Untuk isu yang pertama, melalui pendekatan tasawuf posisi ilmu
hanya dijadikan “sarana” saja. Ilmu haruslah ditopang motif Ilahi secara
murni dan eksklusif melalui konsep keikhlasan. Ilmu harus terbebas dari
motif-motif dunia yakni pujian manusia, kehormatan, dan perantara
untuk memperoleh kekayaan. Orang yang mencari ilmu dengan motif
mengundang kedudukan di mata manusia atau harta sejatinya adalah
orang yang sedang menghancurkan dirinya sendiri dan menjual
agamanya dengan siksaan di hari pembalasan(Wahyudi, 2020). Bahkan
surga dan neraka tidak menjadi motif untuk konsep keikhlasan tasawuf.
Dzun Nun al-misri seorang sufi abad ketiga hijriyah berkata tiga tanda
keikhlasan adalah pujian dan hinaan dari makhluk kedudukannya sama
(dengan tidak mempedulikannya), melupakan pandangan manusia dalam
beramal dan melupakan pahala di akhirat (Al-Qusyairi, 1046). Konsep
keikhlasan tasawuf adalah menghadirkan cinta murni kepada Tuhannya
sebagaimana cinta Tuhannya yang tidak berbatas kepada hambanya.
Pengajaran ilmu agama Islam disajikan secara hakikat bukan
hanya soal hukum dan kognisi saja, namun seluruhnya berorientasi
kepada nilai akhlak dan amal perbuatan, seperti hikmah dibalik halal dan
haram pada sebuah hukum atau sejarah Islam disajikan tentang hikayat-
hikayat kesholehan para sahabat dan hikmah dalam setiap kejadian
bukan disajikan berupa peperangan saja.
Sebab dalam tasawuf, ilmu itu akan berbalik berbahaya jika tidak
menghasilkan amal. Pengetahuan bukanlah sebuah titik henti namun
permulaan untuk menghasilkan kemanfaatan untuk dirinya sendiri dan
untuk sekitarnya. Kesalehan ritual beragama bukanlah satu-satunya yang
dikejar dalam pendidikan Islam namun puncak dari kesalehan ritual
tersebut adalah kesalehan sosial. Seperti yang Allah firmankan (Q.S. Al-
Ankabut ; 45) sesungguhnya Shalat itu mencegah perbuatan keji dan
munkar. Amal tersebut diwujudkan sebagai kemanfaatan dari ilmu dan
puncaknya adalah untuk kemanfaatan untuk orang lain dari sikap dan
moralnya maupun penemuan-penemuan teknologi baru dari ilmu
pengetahuan yang berguna untuk sesama manusia dan alam semesta.
Selain itu, tasawuf mengajarkan bahwa ilmu harus menyadarkan
sisi kemanusiaannya bahwasanya dirinya hanyalah satu dari hamba yang
berada dalam ruang Ilahi yang tidak terbatas. Tugasnya hanya untuk

137
Rifa Hazim Rustam Fuady

menjadi terbaik di mata Tuhannya, menjadi rendah dimata dirinya dan


menjadi seorang manusia di mata manusia yang lain.
Ibnu Hajr Al-Asqalani dalam kitabnya al-munbihat ala al-isti’dadi
li yaumi al-ma’ad mengutip perkataan Imam Ali R.A. ; “jadikanlah
dirimu manusia terbaik dalam pandangan Allah, jadikanlah dirimu
manusia rendah dalam pandangan dirimu sendiri, dan jadikanlah dirimu
satu orang dari manusia di pandangan manusia”. Imam Nawawi al-Jawi
dalam mensyarahi kitab tersebut mengutip perkataan Abd al-Qadir Al-
Jilani :”apabila kamu bertemu dengan seseorang maka kamu harus
memandang bahwa dirinya mempunyai keutamaan dibanding dirimu
kamu berkata boleh jadi dia lebih baik dan mempunyai derajat lebih
tinggi ketimbang diriku di sisi Allah. Jika seseorang itu lebih muda
darimu maka kamu berkata dia belum banyak bermaksiat kepada Allah
sedangkan aku telah lama bermaksiat kepada Allah, jika seseorang itu
lebih tua darimu maka kamu berkata dia menjadi hamba Allah lebih dulu
dariku, jika seseorang itu adalah orang yang berilmu maka kamu berkata
dia telah memperoleh apa yang belum aku capai, dia mengetahui apa
yang aku tidak ketahui dan dia beramal dengan ilmunya, jika seseorang
itu adalah orang yang bodoh maka kamu berkata dia berdosa karena
kebodohannya sedangkan aku bermaksiat dengan ilmuku dan aku tidak
tahu apa yang nanti dia raih dan yang aku raih pada akhirnya, dan jika
seseorang itu adalah orang kafir maka kamu berkata boleh jadi dia akan
menjadi muslim dan menutup umurnya dengan kebaikan dan aku tidak
tahu pasti boleh jadi aku malah menjadi kafir dan menutup umurku
dengan kejelekan.
Ditambah lagi tasawuf mengajarkan manusia untuk tidak merasa
lebih baik dan lebih benar dalam hatinya dari apa pun yang ada meski
dengan hewan sekalipun. Najis anjing bisa disucikan dengan tujuh kali
basuhan sedangkan najis dari kotoran hati yang merasa lebih baik dari
seekor anjing yang senantiasa bertasbih kepada-Nya tidak bisa disucikan
oleh air dari tujuh samudra.
Dengan demikian pendidikan Islam dengan pendekatan tasawuf
akan menjadikan seorang manusia berpaham Islam Universal dan
bersifat inklusif, bukan Islam yang hanya kosmetik semata. Berawal dari
kesalehan ritual menjelma menjadi kesalehan sosial yang menebarkan
cinta dan kedamaian tanpa melihat latar belakang agama, ras, dan
etnisnya, baik dengan saudara seagamanya (ukhuwwah islamiyyah),
saudara setanah airnya (ukhuwwah wathaniyyah), saudara sesama
manusia (ukhuwwah insaniyyah) dan sesama ciptaan Allah (ukhuwwah
makhluqiyyah).
Berkenaan dengan isu kedua, pendidikan Islam dengan
pendekatan tasawuf tidaklah menegaskan agama Islam berelasi konflik
dengan sains dan teknologi seperti yang terjadi pada Galileo dan Sir Issac
Newton dengan gereja pada masanya. Para ilmuwan muslim terdahulu di
era golden age justru berhasil mengaktualisasikan kajian sains dan
memberikan pengaruh besar bagi perkembangan sains modern seperti az-

138 http://riset-iaid.net/index.php/bestari
BESTARI
Vol. 18, No. 2, 2021
p-ISSN 1907-1337; e-ISSN 2807-6532

Zahrawi dan Ibnu Sina tentang operasi bedah, Abbas Ibn Firnas
mengenai dasar pesawat terbang, al-Khawirizmi di bidang matematika,
Ibn al-Haitam tentang teknologi optik dan masih banyak lagi.(Priyanto,
2020)
Imam al-Ghazalipun mengklasifikasikan sains seperti ilmu
kedokteran, matematika dan keterampilan-keterampilan menjadi ilmu
yang berhukum fardu kifayah (E. Setiawan, 2015). Oleh karena itu,
pelajar-pelajar muslim yang belajar agamanya dengan baik sekaligus
mengambil peran dalam sains dan teknologi telah mendapatkan posisi
yang lebih tinggi dari yang hanya mempelajari agama.
Di era society 5.0 ini lembaga pendidikan Islam pengamal
pendekatan tasawuf dalam pendidikannya yakni pondok pesantren yang
tiap tahunnya meluluskan ribuan santri sudah saatnya mengarahkan
santri kepada pengaktualisasian sains dan teknologi, tidak seluruhnya
dikader menjadi ilmuan dalam agama atau pendakwah saja. Al-Quran
yang didalamnya banyak memerintah untuk berpikir tentang alam
semesta dan anjuran mempelajari alam semesta harus dijadikan motivasi
bagi pengembangan teknologi yang bermanfaat bagi kehidupan
sebagaimana para ilmuan Islam di zaman terdahulu. Sehingga ke depan
peradaban Islam tidak hanya dikendalikan zaman namun mengendalikan
zaman.
Selain itu, penggunaan teknologi artificial intelligence dan
internet of things bisa digunakan dalam membantu proses pembelajaran
para santri atau pelajar muslim lainnya. Kemudian karena jumlah Kyai
yang luas keilmuannya kini semakin sedikit, supaya bisa memberikan
manfaat lebih luas dapat menggunakan teknologi seperti penggunaan IOT
tersebut untuk dapat membantu proses pembelajaran dan dakwah kepada
santri dan pelajar muslim yang jumlahnya banyak. Sedangkan augment
reality bisa menjadi solusi fasilitas pembelajaran sains di mana alat
peraga sains menghabiskan banyak anggaran. Hal tersebut tentunya perlu
adanya langkah nyata dari pemerintah dan lembaga guna
mewujudkannya.
Terakhir untuk isu yang ketiga, tasawuf sebagai manifestasi ihsan
dipenuhi nilai-nilai keislaman yang sangat luhur. Seperti konsep
keikhlasan, bersikap hati-hati, menebarkan kebaikan kepada siapapun
dengan tidak melihat perbedaan. Maka pendidikan Islam dengan
pendekatan tasawuf mampu berfungsi sebagai pengontrol akhlak dan
moral dalam penggunaan teknologi. Seperti teknologi nuklir tidak
digunakan sebagai alat perang, ilmuwan muslim membuat smartphone
yang tidak membuat orang kecanduan gadget atau dampak negatif lain
dan sebagainya.

KESIMPULAN
Era society 5.0 merupakan era yang menuntut masyarakat
menjadi super smart society. Masyarakat yang mampu mengintegrasikan

139
Rifa Hazim Rustam Fuady

teknologi ke dalam kehidupan sehari-hari. Umat Islam dalam


membangun kegemilangan peradabannya di era ini perlu menyelesaikan
masalah di tubuh umat Islam sendiri dengan membentuk generasi yang
berpaham Islam universal. Yakni umat yang berkesalehan ritual yang
mewujudkan kesalehan sosial di mana menebar kedamaian dan cinta
kepada sesama manusia tanpa melihat latar belakangnya dan alam
semesta sesama ciptaan Allah. Hal tersebut sangat relevan dicapai dengan
pendidikan Islam bercorak tasawuf yang mengupas ajaran Islam hingga
berbuah hikmah akhlak atau moral dan perbuatan yang bermanfaat bagi
diri maupun orang lain. Pendidikan Islam dengan pendekatan tasawuf
pun relevan dengan era ini untuk mengilhami para pelajar muslim untuk
mengaktualisasikan diri di bidang sains dan teknologi. Kemudian
pendidikan tasawuf mampu membentengi sains dan teknologi agar terus
memberi kemanfaatan bukan memberikan efek negatif bagi siapapun.

DAFTAR PUSTAKA

Akmansyah, M. (2015). Al-Quran dan As-Sunnah sebagai Dasar Ideal


Pendidikan Islam. Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam.
Al-Qusyairi, A. al-Q. A. al-K. ibn H. A.-N. (1046). Risalat al-Qusyairiyyah
fi Ilmi at-Tasawwuf. Dar al-Kutub al-Islamiyyah.
Al Faruqi, U. (2019). Survey Paper : Future Service in Industry 5.0. Jurnal
Sistem Cerdas, 02(01), 67–79.
Ansori, M. R., Ibrahim, D., & Munir, M. (2019). Konsep Pendidikan
Sufistik Menurut Syeh Abu Hasan Asy-Sadzily (Tela‟ah Kitab
Risalatul Amin Fi Wusuli Li Robbil Alamin). Muaddib: Islamic
Education Journal, 2(1), 60–69.
https://doi.org/10.19109/muaddib.v2i1.5658
Basyar, A. B. B. (2011). Pemikiran Ibnu Athaillah As-Sakandari Tentang
Pendidikan Sufistik Dan Relevansinya dengan Pendidikan Karakter
Di Indonesia (Telaah Kitab al-Hikam). Tesis UIN Malang.
Choli, I. (2020). Pendidikan Agama Islam dan Industri 4.0. Tahdzib Al-
Akhlaq: Jurnal Pendidikan Islam, 3(2), 20–40.
https://doi.org/10.34005/tahdzib.v3i2.891
Fukuyama, M. (2018). Society 5.0: Aiming For a New Human-Centered
Society. Japan Spotlight, 1, 47–50.
Goverment, of J. (2018). Realizing Society 5.0. 5.
Gularso, D. (2021). Pedoman Komunitas Untuk Masa Depan Indonesia
di Era Society 5.0 dan Revolusi Industri 4.0.
Hashim, R. (2009). Pendidikan Islam di Era Globalisasi: Antara Potensi,
Keunggulan, dan Tantangannya. Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu,
I(September), 2–7.
Hidayat, T., & Suryana, T. (2018). Menggagas Pendidikan Islami:
Meluruskan Paradigma Pendidikan di Indonesia. Jurnal Pendidikan
Islam Indonesia, 3(1), 75–91. https://doi.org/10.35316/jpii.v3i1.89

140 http://riset-iaid.net/index.php/bestari
BESTARI
Vol. 18, No. 2, 2021
p-ISSN 1907-1337; e-ISSN 2807-6532

Ilyas, M. A. (2019). Ajaran Syeikh Nawawi al-Bantani Tentang Pendidikan


Akhlak Anak. AR-RIAYAH: Jurnal Pendidikan Dasar, 2(2), 113–
126.
Isbiq, M. (2011). Pemikiran Pendidikan Sufistik KH. Habib Lutfi bin
Yahya dan Respons Jamaah Kanzus Salawat di Pekalongan. Tesis
IAIN Walisongo.
Jasminto. (2020). Pendidikan Islam Perspektif Pesantren: Diferensiasi,
Aplikasi dan Motivasi. Tebuireng Journal of Islamic Studies and
Society, 1, 40.
Khairuddin, H. (2014). Pendidikan Sufistik Syekh Abdul Qadir al-Jailani
dan Relevansinya terhadap Pendidikan Islam; Telaah Kitab al-Fath
ar-Rabbani wa al-Fayd ar-Rahmani. Tesis UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Masykuri, R., & Ramadlan, M. F. S. (2021). Analisis Manifestasi Segragasi
Politik Pelabelan dan Polarisasi di antara Kelompok Islam Sepanjang
2014-2019. Politika: Jurnal Ilmu Politik, 12(1), 68–87.
https://doi.org/10.14710/politika.12.1.2021.68-87
Muttaqin, M. Z. (2018). Ideologi: Faktor Konflik dan Kegagalan Timur
Tengah. Nation State Journal of International Studies, 1(2), 207–
219. https://doi.org/10.24076/nsjis.2018v1i2.134
Nasiruddin. (2007). Pemikiran Sufistik Jalaluddin Rahmat dan
Implikasinya pada Dunia Pendidikan Islam. Tesis UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Nastiti, F. E., & „Abdu, A. R. N. (2020). Kesiapan Pendidikan Indonesia
Menghadapi era society 5.0. Edcomtech : Jurnal Kajian Teknologi
Pendidikan, 5(1), 61–66.
Priyanto, A. (2020). Pendidikan Islam dalam Era Revolusi Industri 4.0. J-
PAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 6(2), 80–89.
https://doi.org/10.18860/jpai.v6i2.9072
Putra, P. H. (2019). Tantangan Pendidikan Islam dalam Menghadapi
Society 5.0. Islamika : Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 19(02), 99–110.
https://doi.org/10.32939/islamika.v19i02.458
Qomarudin, A. Q. (2019). Pendekatan Sufistik Dalam Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam. Journal PIWULANG, 2(1), 25.
https://doi.org/10.32478/piwulang.v2i1.299
Rozi, B. (2019). Problematika Pendidikan Islam di Era Revolusi Industri
4.0. Jurnal Pendidikan Islam.
Setiawan, D., & Lenawati, M. (2020). Peran dan Strategi Perguruan
Tinggi dalam Menghadapi Era Society 5.0. RESEARCH : Computer,
Information System & Technology Management, 3(1), 1.
https://doi.org/10.25273/research.v3i1.4728
Setiawan, E. (2015). Tinjauan Pendidikan Menurut Pandangan Al-
Ghazali. J-PAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 2(1), 69–86.
https://doi.org/10.18860/jpai.v2i1.3961
Wahyudi, M. I. (2020). Implikasi Sikap Religius Peserta Didik dalam

141
Rifa Hazim Rustam Fuady

Kegiatan Belajar Mengajar Menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab


Bidayah Al-Hidayah. Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim.

142 http://riset-iaid.net/index.php/bestari

You might also like