Risiko Produksi
Risiko Produksi
Risiko Produksi
23-30
E-mail : 1)[email protected]
ABSTRACT
Cisarua District is one of the dairy farming centers with the lowest amount of milk
production in Bogor Regency. The amount of milk production in Cisarua District is also
known fluctuate. Differences in breeders' preferences in the use of production inputs affect
production risk in dairy farming businesses. The aims of this research are to analyze the
effect of production factors to production risk and risk preference of dairy farmers in
Cisarua District. This research was conducted in Cisarua Subdistrict, Bogor Regency. The
cross section data sourced from 91 dairy farmers were producing milk form second and
third lactation cows. The model used in this research were Just and Pope model to analyze
dairy farm risk production function and the Arrow-Pratt Absolute Risk Analysis model to
analyze farmer's risk preferences. The results showed that forage and polar are risk
reducing factors. Meanwhile, rice bran, tofu waste, concentrate, and work time are risk
inducing factors in dairy farm. The risk preference of dairy farmers are risk taker to the use
all of production inputs.
ABSTRAK
Kecamatan Cisarua merupakan salah satu sentra peternakan sapi perah dengan
jumlah produksi susu terendah di Kabupaten Bogor. Jumlah produksi susu di Kecamatan
Cisarua juga diketahui berfluktuasi. Perbedaan preferensi peternak dalam penggunaan
input produksi mempengaruhi risiko produksi pada usaha peternakan sapi perah.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor produksi yang memengaruhi risiko
produksi dan preferensi risiko para peternak sapi perah di Kecamatan Cisarua. Penelitian
ini dilakukan di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Data yang digunakan merupakan
data cross section dari 57 peternak yang memproduksi susu dari sapi laktasi kedua dan
ketiga. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Just and Pope untuk
menganalisis fungsi risiko produksi dan model Arrow-Pratt Absolute Risk Aversion untuk
menganlisis preferensi risiko peternak. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa input
produksi yang bersifat risk reducing factor terdiri dari pakan hijauan, polar dan
pengalaman beternak. Sementara, input produksi yang bersifat risk inducing factor
diketahui meliputi, pakan dedak, ampas tahu, konsentrat, dan waktu kerja. Preferensi
peternak hanya bersifat risk averse terhadap input produksi berupa ampas tahu.
PENDAHULUAN
Subsektor peternakan di Indonesia terdiri dari berbagai jenis hewan yang
diusahakan meliputi, ternak unggas, ternak sapi pedaging, ternak sapi perah, ternak
kambing, dan hewan ternak lainnya. Susu merupakan salah satu komoditi yang diproduksi
oleh subsektor peternakan khususnya usaha peternakan sapi perah. Usaha peternakan sapi
perah merupakan salah satu usaha yang berkembang di Indonesia. Berdasarkan data Ditjen
PKH (2018) diketahui bahwa jumlah populasi ternak sapi perah rata-rata meningkat
sebanyak dua persen setiap tahunnya. Jumlah produksi susu pun terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya dengan rata-rata peningkatan sebanyak lima persen. Namun,
diketahui bahwa jumlah impor susu merupakan jumlah impor terbesar diantara komoditi
peternakan lainnya. Jumlah impor susu pun terbilang cenderung mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Kondisi yang demikian menggambarkan bahwa jumlah produksi susu
nasional belum mampu memenuhi konsumsi masyarakat Indonesia.
Produktivitas susu di beberapa sentra usaha peternakan sapi perah di Indonesia pun
bervariasi. Produktivitas susu di Kelurahan Pujon, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa
Timur terbilang cukup tinggi yaitu sebesar 12.26 liter/ekor/hari (Soeyatno 2013).
Kabupaten Boyolali sebagai salah satu sentra produksi susu di Provinsi Jawa Tengah
memiliki produktivitas susu sebesar 8.98 liter/ekor/hari (Aini 2016). Provinsi Jawa Barat
adalah salah satu sentra produksi susu di Indonesia dengan produktivitas tertinggi yang
mencapai 16.04 liter/ekor/hari di Kabupaten Lembang (Malau 2017). Namun, Kabupaten
Bogor tepatnya di Kecamatan Cibungbulang sebagai salah satu sentra produksi susu
lainnya di Provinsi Jawa Barat hanya mencapai produktivitas sebesar 9.45 liter/ekor/hari
(Malau 2016). Terdapat beberapa sentra usaha peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor
meliputi Kecamatan Ciawi, Kecamatan Cibungbulang, Kecamatan Pamijahan dan
Kecamatan Cisarua.
7,00
6,22
Produktivitas (lier/ekor/hari)
6,00
5,32
5,00 5,01 5,01
4,74
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
2013 2014 2015 2016 2017
Gambar 1.
Fluktuasi Produktivitas Susu Kecamatan Cisarua
Sumber : BPS Kabupaten Bogor 2018
Produktivitas rata-rata susu di Kecamatan Cisarua selama lima tahun dari tahun
2013 sampai tahun 2017 tercatat sebesar 5.26 liter/ekor/hari (BPS Kabupaten Bogor 2018).
Tingkat produktivitas susu di Kecamatan Cisarua terbilang cukup rendah karena masih
berada jauh di bawah tingkat produktivitas sentra produksi susu lainnya di Kabupaten
Bogor. Rata-rata produktivitas susu di Provinsi Jawa Barat diketahui adalah sebesar 13.57
liter/ekor/hari sampai 14.78 liter/ekor/hari (Asmara 2015). Adanya gap antara
produktivitas potensial di Provinsi Jawa Barat dengan produktivitas susu aktual di
Kecamatan Cisarua mengindikasikan adanya risiko produksi pada usaha peternakan sapi
perah di Kecamatan Cisarua. Selain itu, produktivitas susu di Kecamatan Cisarua pun
diketahui berfluktuasi selama lima tahun seperti data yang disajikan pada Gambar 1.
Rendahnya produktivitas susu menyebabkan tingkat produksi susu menjadi relatif
rendah. Tingkat produksi susu yang terbilang cukup rendah tersebut disebabkan karena
faktor pakan yang kurang memadai. Pemberian pakan konsentrat dan pakan hijauan yang
kurang dari jumlah kebutuhan mempengaruhi penurunan produksi susu (Malau 2017).
Pakan dan nutrisi merupakan faktor kunci yang mempengaruhi jumlah produksi susu
(Devendra 2017). Risiko produksi yang terjadi pada usaha peternakan sapi perah juga
dipengaruhi oleh faktor selain input produksi, seperti penyakit. Pemeliharaan kesehatan
ternak juga teridentifikasi sebagai salah satu permasalahan yang menyebabkan terjadinya
risiko pada usaha peternakan sapi perah (Septiani 2016). Penyakit yang menyerang ternak
sapi perah merupakan faktor risiko yang paling berdampak terhadap usaha peternakan sapi
perah di Belanda (Meuwissen et al. 2001).
Preferensi risiko peternak sapi perah yang menjalankan usaha peternakannya
secara konvensional akan berbeda dengan peternak sapi perah yang menjalankan usaha
peternakan sapi perahnya secara organik (Flaten 2005). Kedua jenis peternak tersebut
diketahui memiliki preferensi sebagai individu risk averse. Namun, peternak sapi perah
konvesional diketahui lebih risk averse dibandingkan dengan peternak sapi perah organik.
Perbedaan preferensi risiko tersebut mempengaruhi keputusan penggunaan input produksi
pada masing-masing jenis peternak. Peternak sapi perah organik memberikan jumlah pakan
konsentrat yang lebih sedikit dari jumlah pakan konsentrat yang diberikan oleh peternak
sapi perah konvensional. Hal tersebut berdampak terhadap jumlah produksi susunya. Rata-
rata peternak sapi perah organik menghasilkan susu yang lebih sedikit dari peternak sapi
perah konvensional. Setiap peternak sapi perah memiliki keputusan yang berbeda-beda
mengenai jenis dan jumlah pakan yang digunakan untuk ternak sapi perahnya. Peternak
sapi perah di Kabupaten Lembang akan memberikan pakan hijauan rata-rata sebanyak
41.37 kg/ekor/hari (Malau 2017). Para peternak sapi perah di Pujon akan memberikan
pakan hijauan rata-rata sebanyak 26.63 kg/ekor/hari (Soeyatno 2013). Perbedaan keputusan
penggunaan pakan tersebut menggambarkan bahwa para peternak sapi perah memiliki
preferensi risiko yang berbeda-beda terhadap penggunaan setiap faktor produksi.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas maka tujuan dari penelitian ini meliputi :
1. Menganalisis faktor produksi yang mempengaruhi risiko produksi susu pada
usaha peternakan sapi perah di Kecamatan Cisarua.
2. Menganalisis preferensi peternak sapi perah di Kecamatan Cisarua.
METODE PENELITIAN
Estimasi fungsi risiko produksi usaha peternakan sapi perah juga dibentuk
setelah model fungsi produksi memenuhi seluruh asumsi OLS. Berdasarkan hasil
estimasi fungsi risiko produksi diketahui bahwa nilai koefisien determinasi (R 2)
yang dihasilkan adalah sebesar 0.2941. Nilai koefisien determinasi tersebut
menggambarkan bahwa 29.41 persen keragaman varians produktivitas susu para
peternak sapi perah di Kecamatan Cisarua dapat dijelaskan oleh seluruh faktor
produksi yang digunakan dalam model. Nilai koefisien determinasi untuk fungsi
risiko produksi diketahui lebih besar dari nilai koefisien determinasi fungsi risiko
produksi yang dihasilkan oleh penelitian Fanani (2015), Apriana (2017), dan
Hartoyo (2018). Nilai koefisien determinasi untuk fungsi risiko produksi
cenderung rendah karena model estimasi tersebut diperolah dari beberapa
tahapan estimasi (Walter et al. 2014).
Tabel 2. Hasil estimasi fungsi risiko produksi usaha peternakan sapi perah di
Kecamatan Cisarua tahun 2019
Robust
Variabel Koefisien Standard t-hitung p>t
Error
Konstata 3.9617 3.6645 1.08 0.285
Hijauan - 4.6296 1.6695 -2.77 0.008
Dedak 0.7404 0.9025 0.82 0.416
Polar -0.9296 0.8511 -1.09 0.280
Ampas tahu 2.5956 1.4872 1.75 0.087
Konsentrat 2.8132 1.3295 2.12 0.039
Waktu kerja 1.2703 1.5402 0.82 0.414
Dummy penyakit 2.7481 1.4488 1.90 0.064
R-squared 0.2941
Koefisien variabel faktor produksi yang bertanda positif pada hasil estimasi
fungsi risiko produksi menggambarkan bahwa penggunaan faktor produksi
tersebut dapat meningkatkan risiko produksi atau disebut sebagai risk inducing
factor. Beberapa faktor produksi yang termasuk ke dalam risk inducing factors
antara lain, dedak, ampas tahu, konsentrat, dan waktu kerja. Koefisien variabel
produksi yang bertanda negatif pada estimasi fungsi risiko produksi
menggambarkan bahwa penggunaan faktor produksi tersebut dapat menurunkan
risiko produksi atau disebut sebagai risk reducing factor. Faktor produksi yang
dapat dikatakan sebagai risk reducing factors terdiri dari pakan hijauan dan polar.
Hijauan merupakan salah satu risk reducing factor yang secara signifikan
mengurangi varians produktivitas pada taraf kepercayaan satu persen.
Penambahan jumlah penggunaan pakan hijauan sebanyak satu persen dapat
menurukan risiko produksi sebesar 4.6296 persen pada usaha peternakan sapi
perah di Kecamatan Cisarua. Hal tersebut sejalan dengan hasil estimasi pada
fungsi produksi untuk pakan hijauan yang bertanda prositif pada taraf
kepercayaan satu persen. Nilai koefisien pada fungsi produksi tersebut
menggambarkan bahwa penambahan satu persen pakan hijauan akan
meningkatkan produktivitas susu sebesar 0.4881 persen. Hasil estimasi ini sesuai
dengan hasil penelitian Karuniawati (2013), Soeyatno (2013), Asmara (2015), dan
Firlia (2017). Hijauan merupakan pakan utama bagi ternak sapi perah. Minimal
pemberian pakan hijauan bagi ternak sapi perah adalah sebanyak 10 persen dari
bobot tubuh sapi. Pakan hijauan merupakan sumber energi utama bagi ternak sapi
perah.
Polar merupakan faktor input produksi lainnya dengan nilai koefisien yang
bertanda negatif pada fungsi risiko produksi pada taraf kepercayaan di atas 20
persen. Hal tersebut sejalan dengan nilai koefisien polar pada fungsi produksi
yang bertanda positif pada taraf kepercayaan satu persen. Penambahan
penggunaan polar sebanyak satu persen dapat menurunkan risiko produksi susu
sebesar 0.9296 persen dan dapat meningkatkan produktivitas susu sebesar 0.1553
persen. Asmara (2015) menyatakan bahwa penambahan polar sebagai pakan
ternak sapi perah akan meningkatkan produksi susu pada peternakan rakyat di
Provinsi Jawa Barat.
Nilai koefisien ampas tahu pada fungsi risiko bertanda positif dengan taraf
kepercayaan sepuluh persen. Penambahan penggunaan ampas tahu sebagai
pakan ternak sapi perah sebanyak satu persen akan meningkatkan risiko produksi
sebesar 2.5956 persen. Hal tersebut sejalan dengan nilai koefisien ampas tahu yang
bertanda negatif pada fungsi produksi pada taraf kepercayaan lima persen.
Penambahan penggunaan ampas tahu sebanyak satu persen akan menurunkan
produktivitas susu sebanyak 0.1499 persen. Jumlah penggunaan ampas tahu yang
terlalu banyak sebagai pakan pelengkap bagi ternak sapi perah akan
menyebabkan penurunan produksi susu (Asmara 2015).
Penyakit digunakan sebagai variabel dummy pada penelitian ini dan
diketahui bahwa nilai koefisiennya bertanda positif pada fungsi risiko dengan
taraf kepercayaan sepuluh persen. Hal tersebut sejalan dengan nilai koefisien
dummy penyakit pada fungsi produksi yang bertanda negatif pada fungsi
produksi dengan taraf kepercayaan di atas 20 persen. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa adanya penyakit pada ternak sapi perah dapat menyebabkan
peningkatan risiko produksi dan penurunan produktivitas susu. Penyakit
merupakan sumber risiko produksi susu yang disebabkan oleh pemeliharaan
ternak yang kurang baik sehingga kondisi kesehatan ternak mengalami
penurunan (Septeani 2016).
Dedak merupakan risk inducing factor yang memengaruhi risiko produksi
pada usaha peternakan sapi perah pada taraf kepecayaan di atas 20 persen.
Penambahan penggunaan dedak sebagai pakan tambahan bagi ternak sapi perah
akan menurunkan produksi susu (Asmara 2015). Hal tersebut juga dapat
dipengaruhi oleh kualitas dari dedak yang diberikan lebih rendah dari kualitas
konsentrat yang juga diberikan sebagai pakan tambahan. Selain itu, konsentrat
juga merupakan risk inducing factor yang memengaruhi risiko produksi secara
signifikan pada taraf kepercayaan lima persen. Penggunaan pakan tambahan
konsentrat yang semakin banyak menyebabkan kekenyangan pada ternak sapi
perah. Penambahan jumlah pakan konsentrat juga menyebabkan produksi susu
pada usaha peternakan rakyat di Provinsi Jawa Timur (Asmara 2015).
Selanjutnya, faktor produksi berupa waktu kerja juga bertanda positif pada
estimasi fungsi risiko produksi. Penambahan waktu kerja para peternak diduga
dapat meningkatkan risiko produksi susu. Penambahan waktu kerja bagi para
peternak menyebabkan penurunan stamina dan kesehatan para peternak sehingga
berdampak terhadap kegiatan usaha peternakan sapi perah. Penambahan
penggunaan tenaga kerja akan menyebabkan penurunan produksi susu
(Karuniawati 2013).
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis diatas dapat diberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Variabel input produksi yang bersifat risk reducing factor diketahui terdiri dari
pakan hijauan dan polar. Sementara itu, input produksi yang bersifat risk inducing
factor diketahui meliputi, pakan dedak, ampas tahu, konsentrat, dan waktu kerja.
2. Preferensi risiko para peternak sapi perah di Kecamatan Cisarua bersifat risk taker
terhadap penggunaan seluruh faktor produksi pada usaha peternakan sapi perah.
Saran
Peternak diharapkan untuk melakukan pembelian pakan berupa hijauan untuk
menambahkan jumlah pakan hijauan yang didapatkan dari hasil pengaritan. Hal tersebut
disarankan untuk dilakukan karena pakan hijauan merupakan pakan utama bagi ternak sapi
perah. Produktivitas susu menjadi semakin baik dengan ditambahkannya pakan berupa
hijauan sehingga risiko produksi susu dapat diperkecil. Peternak diharapkan tidak
mengurangi jumlah pemberian pakan berupa polar dan sebaiknya mengurangi pemberian
pakan berupa ampas tahu. Meskipun harga polar terbilang lebih tinggi dibandingkan harga
ampas tahu, tetapi penambahan jumlah penggunaan polar diketahui dapat meningkatkan
produktivitas susu. Komponen biaya produksi untuk penyediaan ampas tahu dapat
dialihkan untuk penyediaan polar. Dengan demikian, kemungkinan terjadinya risiko
produksi dapat diperkecil.
DAFTAR PUSTAKA
Aini AN. 2016. Analisis Biaya Transaksi pada Usaha Sapi Perah di Kabupaten
Boyolali, Jawa Tengah. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Akinola BD. 2014. Risk Preference and Coping Strategies Among Poultry
Farmers in Abeokula Metropolis Nigeria. Global Journal Inc (USA).
14(5):22-29.
Apriana N. 2017. Analisis Risiko Produksi Petani Padi di Daerah Aliran Sungai
Bengawan Solo, Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur. [tesis].
Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Asmara A, Purnamadewi YL, Lubis D. 2015. Keragaan Produksi Susu dan Efisiensi
Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat di Indonesia. Jurnal Manajemen dan
Agribisnis. 13(1): 14-25.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2018. Kabupaten Bogor Dalam Angka 2018.
BPS Kabupaten Bogor.
Devendra C. 2007. Constraint analysis to improve integrated dairy production
systems in developing countries: The importance of participatory rural
appraisal. Tropical Animal Health and Production. 39(8): 549-556.
[Ditjen PKH] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2018.
Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (ID): Kementerian
Pertanian.
Flaten O, Lien G, Koesling M, Valle PS, Ebbesuik M. 2005. Comparing Risk
Perception and Risk Management in Organic and Conventional Dairy
Farming: Emperical Results From Norway. Livestock Production Science.
95: (11-25).
Hartoyo KL. 2018. Risiko Produksi dan Preferensi Risiko Petambak Udang
Vanamei di Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat. [tesis]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Just RE, Pope RD. 1976. On the relantionship of input decisions and risk.
California Agricultural Experiment Station. University of California.
Karuniawati R, Fariyanti A. 2013. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi
Susu Sapi Perah di Kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor Provinsi
Jawa Barat. Forum Agribisnis. 3(1): 73-86
Malau LRE. 2016. Pendapatan Usahaternak Sapi Perah Anggota KPS Bogor
(Kasus: KUNAK Cibungbulang dan Kelurahan Kebon Pedes) [skripsi].
Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Malau LRE. 2017. Pengaruh Layanan Usaha Koperasi dan Tingkt Partisipasi
Anggota Terhadap Efisiensi Produksi Usaha Ternak Sapi Perah (Kasus:
KPSBU Lembang, Jawa Barat). [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Meuwissen MPM, Huirne RBM, Hardaker JB. 2001. Risk and Risk Management:
An Empirical Analysis of Dutch Livestock Farmers. Journal of Livestock
Production Science 69: 43-53.
Miglior F, Sewalem A, Jamrozik J, Bohmanova J, et al. 2007. Genetic Analisis of
Milk Urea Nitrogen and Lactose and Their Relationships with Other
Production Traits in Canadian Holstein Cattle. J Dairy Sci. 90 : 2468-2479.
Robinson LJ, Barry PJ. 1987. The Competitive Firm’s Response to Risk. London:
Macmillan Publisher.
Septiani W. 2016. Rancang Bangun Model Manajemen Risiko Rantai Pasok
Agroindustri Susu Berbasis Pengetahuan. [disertasi]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Soeyatno RF. 2013. Analisis Pendapatan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Produksi Susu di Desa Pandesari Kecamatan Pujon Kabupaten Malang
Jawa Timur [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Walter JT, Roberts RK, Larson JA, English BC, Howard DD. 2004. Effects of
Risk, Disease, and Nitrogen Source on Optimal Nitrogen Fertilization
Rates in Winter Wheat Production [Working Paper]. Oklahoma. Southern
Agricultural Economic Association
ISSN: 1412-8837 e-ISSN : 2579-9959