POTRET,ESENSI,TARGET SERTA HAKIKAT SPIRITUAL QUOTIENT DAN
IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KEAGAMAAN AUD
(Potrait, Essence, Target and The Nature Of Spirutial Quotient and Its Implication In
The Development Of Religious Values In Early Children)
Ega Andriani*, Haya Mudianti**, Intan Octaviani***, dan Nadela Sustiarini****
*Institut Agama Islam Negeri Metro,Jl. Ki Hajar Dewantara 15A Iringmulyo Metro Timur dan
[email protected] **, Institut Agama Islam Negeri Metro,Jl. Ki Hajar Dewantara 15A Iringmulyo Metro Timur dan
[email protected]*** Institut Agama Islam Negeri Metro,Jl. Ki Hajar Dewantara 15A Iringmulyo Metro Timur dan
[email protected]**** Institut Agama Islam Negeri Metro,Jl. Ki Hajar Dewantara 15A Iringmulyo Metro Timur dan
[email protected] Abstract
Education in the modern era tends to influence the understanding of every human being that the
target of education is intellectual intelligence. This has an impact on the understanding of
education practitioners who always have the assumption that the success of students is only
seen from the acquisition of grades through numbers. This is what makes all elements of
education, such as parents and their children think practically and materialistically so that
parents forget the most essential element within themselves, namely as human beings who
have two important tasks in life, namely to serve and become caliphs on earth, in this case is
the moral and spiritual aspect. In moral education to achieve the expectations of parents, it is
necessary to have a portrait to describe the moral development of children, the essence of
developing children's religious values, and targets to achieve standard levels of achievement of
child development in developing early childhood morals and religion. Children who have spiritual
intelligence can never be bought with money. Really nothing is more valuable for a child than
when their parents no longer play a direct role in educating them. Therefore parents must
continue to learn and learn. They must be smart in educating children, directing all their
resources and efforts so that their children become the next generation that they can be proud
of in this world and the hereafter.
Abstrak
Pendidikan di era modern cenderung memberikan pengaruh kepada pemahaman setiap
manusia bahwa target dari Pendidikan adalah kecerdasan intelektual.Hal tersebut berdampak
pada pemahaman paktisi Pendidikan yang selalu memiliki asumsi bahwa keberhasilan anak
didik hanya dilihat dari perolehan nilai melalui angka. Hal ini yang menjadikan seluruh elemen
Pendidikan, seperti orang tua dan anaknya berfikir praktis dan materialistis sehingga
menjadikan para orang tua melupakan unsur yang paling esensial Dalam dirinya yakni sebagai
manusia yang mempunyai dua tugas penting dalam hidup yakni mengabdi dan menjadi khalifah
di bumi, dalam hal ini adalah aspek moral dan spiritual. Dalam pendidikan moral untuk
mencapai harapan orang tua perlu adanya potret untuk menggambarkan perkembangan moral
anak, esensi untuk mengembangkan nilai keagamaan anak, dan target untuk mencapai standar
tingkat pencapaian perkembangan anak dalam mengembangkan moral dan agama anak usia
dini. Anak yang memiliki kecerdasan spiritual tidak pernah dapat dibeli dengan uang. Sungguh
tidak ada yang lebih berharga bagi seorang anak kecuali bila orang tua mereka tidak lagi
berperan langsung dalam mendidik mereka. Karena itu para orang tua harus terus belajar dan
belajar. Mereka harus cerdas dalam mendidik anak, mengarahkan segenap daya dan upaya
agar anak-anaknya menjadi generasi penerus yang dapat dibanggakan didunia hingga akhirat
kelak.
Kata kunci: Potret, esensi, target, spiritual quotient
PENDAHULUAN
(Rita kencana, et al., 2020) Setiap manusia memiliki kecerdasan yang telah
tuhan titipkan sebagai salah satu kelebihan yang harus di optimalkan dan
dimanfaatkan dengan baik. Dengan adanya kecerdasan, menjadikan manusia mampu
1
bertahan hidup dan meningkatkan kualitas hidupnya semakin komprehensif. Untuk
mengembangkan kecerdasan yang dimiliki manusia perlu adanya stimulasi positif dan
berdaya ubah.
Sebagai upaya menghadapi tantangan zaman di era digital, setiap manusia
perlu mengoptimalkan dan mengeksplor kemampuan yang dimiliki. Karena pada
dasarnya sejak mausia lahir, mereka sudah memiliki potensi kecerdasan dalam
menghadapi perubahan zaman. Potensi tersebut akan semakin meningkat jika sudah
menjadi habituasi sejak usia dini.
Pendidikan di era modern cenderung memberikan pengaruh kepada
pemahaman setiap manusia bahwa target dari Pendidikan adalah kecerdasan
intelektual. Hal tersebut berdampak pada pemahaman paktisi Pendidikan yang selalu
memiliki asumsi bahwa keberhasilan anak didik hanya dilihat dari perolehan nilai
melalui angka. Hal ini yang menjadikan seluruh elemen Pendidikan, seperti orang tua
dan anaknya berfikir praktis dan materialistis seingga menjadikan para orang tua
melupakan unsur yang paling esensial Dalam dirinya yakni sebagai manusia yang
mempunyai dua tugas penting dalam hidup yakni mengabdi dan menjadi khalifah di
bumi, dalam hal ini adalah aspek moral dan spiritual.
Pendidikan moral dan spiritual perlu dikenalkan kepada anak usia dini
sebagai upaya pembentukan generasi yang kokoh secara spiritual dan santun dalam
hal moral. Sejatinya setiap manusia sejak lahir membawa potensi kecerdasan moral
dan spiritual. Kecerdasan moral merupakan kemampuan manusia memahami sesuatu
yang benar dan yang salah dengan keyakinan etika yang kuat dalam ucapan dan
tindakan, sehingga berdasarkan keyakinan tersebut menghantarkan sebuah sikap
yang benar dan terhormat. Kecerdasan moral perlu dikembangkan sejak usia dini agar
generasi bangsa kedepan bukan hanya cerdas secara intelektual. Namun juga
memiliki kepribadian yang berbudi luhur, berakhlak karimah serta mampu memfiltrasi
perkembangan kebudayaan luar yang masuk ke Indonesia.
Dalam memahami kecerdasan yang dimiliki anak usia dini, dibutuhkan
totalitas pikiran, tindakan yang bermuara pada kebahagiaan. Dalam hal moral dan
spiritual, metode yang komprehensif dan variatif mampu menghantarkan anak usia dini
pada kecerdasan moral dan spiritual sehingga akhirnya anak akan cerdas secara
intelektual, santun secara moral, dan cerdas spiritual.
METODE
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Potret
Adalah gambaran perkembangan kurikulum di negeri kita yang tidak
kejelasanya dari tahun ketahun. Ketidak jelasan tersebut tentu merupakan
indikasi betapa kita kurang adil dalam memperlakukan anak didik terhadap
pembentukan kepribadian dan pengembangan berbagai potensi yang ada pada
diri anak. Bila kondisi seperti ini dibiarkan begitu saja, tentu jangan salahkan
anak jika dalam perkembangan hidupnya mengarah pada panguasaan potensi
akademis belaka dan sangat minim dalam penugasan aspek nilai keagamaan.
Jika diperhatikan kebutuhan pokok manusia, dalam pandangan orang
sekuler hal itu hanya meliputi kebutuhan makan, tidur, minum, dan seks. Kalau
2
hanya berorientasi pada empat hal tersebut, tentu kita bias bertanya apa
bedanya dengan kebutuhan hewan. Kesadaran inilah seyogyanya mampu
mengingatkan kita bahwa bukan hanya hal tersebut yang kita butuhkan. Kita
pun butuh ajaran agama, bimbingan tuhan, dan nasihat kebenaran hidup.
(Athoillah Islamy, et al., 2020) Menurut Jalaluddin Rahmat
sebagaimana yang dikutip oleh abu Hasan Agus, implementasi pendidikan
spiritual bagi anak usia dini dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya:
pertama, jadilah kita gembala spiritual yang baik. Kedua, membantu anak untuk
merumuskan misi hidupnya. Ketiga, membaca kitab suci bersama dan
menjelaskan maknanya dalam kehidupan sehari-hari. Keempat, menceritakan
kisah-kisah dari tokoh spiritual. Kelima, mendiskusikan berbagai persoalan
dengan perspektif ruhaniah. Keenam, membaca puisi atau lagu-lagu spiritual.
Ketujuh, membawa anak untuk menikmati keindahan. Kedelapan, membawa
anak ke tempat-tempat orang yang menderita. Kesembilan, mengikutsertakan
anak dalam kegiatan sosial.
Secara teoritis, Safrudin Aziz menjelaskan bahwa perlunya pendidikan
spiritual yang diberikan sejak dini mempunyai beberapa tingkatan spiritualitas.
Pertama, unreflectife. Maksudnya, yakni anak usia dini tidak memiliki sikap
kritis terhadap ajaran agama. Kedua, egosentris dalam hal ini anak usia dini
mempunyai kesadaran akan diri sendiri sehingga semakin bertambahnya usia
maka akan muncul sifat keegosannya. Ketiga, antropomorphis. Pada sifat ini
anak menganggap bahwa Tuhan seperti manusia, karena dalam fase anak usia
dini daya imajinasi dan fantasi masih tinggi. Keempat, verbalis dan ritualis,
kehidupan spiritual anak dalam bahasa ini yakni anak mulai menghafal kalimat-
kalimat keagamaan dan melakukan kegiatan Amalia sesuai dengan ajaran
yang diikutinya. Kelima, imitatif tindakan yang dilakukan anak usia dini dalam
fase cara meniru dengan apa yang dilihat seperti melaksanakan salat dan
berdoa.
B. Esensi
Esensi pengembangan nilai kagamaan anak harus menkankan pada
aktifitas anak sehari-hari. Dimulai dari bangun tirur, mandi, berpakaian dan
kegiatan lainya samai anak tidur kembali. Itulah esensi yang sesunguhnya
harus kita warnai dan lengkapi dengan nilai keagamaan. Setiap langkah dan
3
perilaku anak jika diwarnai dengan nilai keagamaan tentu akan menjadi suatu
kebiasaan yang positif sekaligus mendekatkan anak dengan prilaku agamis.
(Rizki ananda, 2017) Pengembangan nilai moral dalam program
pendidikan TK dimasukkan dalam bidang pembentukan perilaku merupakan
kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dan ada dalam kehidupan
sehari-hari anak di TK, sehingga aspekaspek perkembangan tersebut
diharapkan berkembang secara optimal. Tujuan yang hendak dicapai dengan
pengembangan nilai moral tersebut dilakukan melalui pembiasaan dalam
rangka mempersiapkan anak sedini mungkin mengembangkan sikap dan
perilaku yang didasari oleh nilai moral sehingga dapat hidup sesuai dengan
norma-norma yang dianut oleh masyarakat. Pengembangan nilai moral ini
berfungsi untuk mencapai beberapa hal:
1) Agar perilaku dan sikap anak didasari oleh nilai moral sehingga anak dapat
hidup sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh masyarakat
2) Membantu anak agar tumbuh menjadi pribadi yang matang dan mandiri
3) Melatih anak untuk dapat membedakan sikap dan perilaku yang baik dan
yang tidak baik sehingga dengan sadar berusaha menghindarkan diri dari
perbuatan tercela.
C. Target
Sasaran yang hendak dicapai pada saat kita akan mengemangkan
nilai-nilai keagamaan pada anak TK. Target ini didasarkan pada dua pemikiran
bahwa pada hakikatnya anak :
1. Dilahirkan dalam keadaan suci, maka ayah dan ibunya lah yang turut
menentukan mau mejadi pemeluk agama apa kelak dikemudian hari.
2. Pada awal kehidupan anak yang normal tentu akan melalui tahapan tugas-
tugas pertumbuhan dan perkembangan (tinjauan psikologis). Dari target
tersebut, diharapkan akan muncul suatu dampak positif yang berkembang
pada dimensi kemanusiaan anak itu sendiri, yang meliputi fisik, akal fikiran,
akhlak, perasaan, kejiwaan, estetika dan kemampuan sosialisasinya
siwarnai dengan keagamaan.
(Amir Syamsudin, 2013) Standar tingkat pencapaian perkembangan
anak dibagi menjadi tiga kelompok sesuai dengan usia anak. Kelompok
pertama adalah anak usia 0 sampai dengan kurang dari 24 bulan. bagi
4
kelompok ini, standar tingkat pencapaian perkembangan anak diserahkan pada
lembaga PAUD sesuai dengan visi dan misi lembaga masing-masing.
Kelompok kedua adalah anak usia 2 sampai dengan kurang dari 4 tahun.
Kelompok ketiga adalah anak usia 4 sampai dengan kurang dari atau sama
dengan 6 tahun. Kedua kelompok terakhir ini, sudah ditentukan standar tingkat
pencapaian perkembangannya. Adapun rinciannya sebagai berikut:
Table 1. anak usia 2-3 tahun
Lingkup Perkembangan Tingkat Pencapaian Perkembangan
Nilai-nilai Agama & Moral 1. Mulai meniru Gerakan berdo’a/ sembahyang
sesuai dengan agamanya.
2. Mulai meniru do’a pendek sesuai dengan
agamanya.
3. Mulai memahami arti kasihan dan saying
kepada ciptaan tuhan.
Tujuan pembelajaran bagi anak usia 2 tahun sampai dengan kurang dari 3
tahun ialah menirukan perbuatan orang dewasa yang ada di lingkungan anak.
Diantaranya perbuatan orang dewasa yang ditiru anak adalah gerakan orang
dewasa berdoa, seperti gerakan salat, menirukan bacaan doa-doa untuk
mengawali dan mengakhiri kegiatan, dan menirukan ucapan terima kasih, maaf,
bertegur sapa, senyum, melambaikan tangan, sesuai dengan konteksnya.
Dengan kata lain stimulasi perkembangan nilai-nilai agama dan moral untuk
anak usia 2 sampai dengan kurang dari 3 tahun adalah memberi teladan baik
yang dilakukan secara berulang-ulang.
Table 2. anak usia 3-4 tahun
Lingkup Perkembangan Tingkat Pencapaian Perkembangann
Nilai-nilai Agama & Moral 1. Mulai memahami pengertian perilaku yang
berlawanan meskipun belum selalu
dilakukan seperti pemahaman perilaku
baik-buruk, benar-salah, sopan-tidak sopan
2. Mulai memahami arti kasihan dan saying
5
kepada ciptaan tuhan.
Sedangkan tujuan pembelajaran untuk anak usia 3 sampai dengan 4 tahun
adalah mampu membedakan perilaku berlawanan seperti cium tangan kepada
orang tua sebelum berpisah itu baik dan tidak cium tangan itu buruk, meskipun
ia belum terbiasa melakukannya demikian pula anak sudah mulai memahami
arti mengasihi binatang peliharaan menggunakan air secukupnya dan
menyiram tanaman setiap pagi sebelum sekolah.
Table 3. anak usia 4-5 tahun
Lingkup Perkembangan Tingkat pencapaian perkembangan
Nilai-nilai moral & agama 1. Mengenal tuhan melalui agama
yang dianutnya.
2. Meniru Gerakan beribadah.
3. Mengenal perilaku baik/sopan
dan buruk.
4. Membiasakan diri berperilaku
baik.
5. Mengucapkan salam dan
membalas salam.
Tujuan pembelajaran untuk anak usia 4 sampai dengan 5 tahun adalah
mengenal Tuhan dari agama yang dianut kedua orang tuanya, membiasakan
diri beribadah seperti gerakan ibadah yang dilihat dalam keluarganya,
membiasakan diri berdoa untuk mengawali kegiatan atau mengakhirinya,
mengenali perilaku baik dan buruk menurut ukuran keluarganya, membiasakan
diri berperilaku baik pada saat berinteraksi sosial dengan teman sebaya, guru,
orang tua, maupun anak yang usianya jauh lebih muda darinya dan
membiasakan diri bertegur sapa dengan orang yang dikenal maupun orang
yang tidak dikenal
Table 4. anak usia 5-6 tahun
Lingkup perkembangan Tingkat pencapaian perkembangan
Nilai-nilai agama & moral 1. Mengenal agama yang dianut.
2. Membiasakan diri beribadah.
3. Memahami perilaku mulia (jujur, penolong,
sopan, hormat, dsb).
6
4. Membedakan perilaku baik dan buruk.
5. Mengenal ritual dan hari besar agama.
6. Menghormati agama orang lain.
Tujuan pembelajaran untuk anak usia 5 tahun sampai dengan 6 tahun
adalah mengenal agama yang dianutnya secara lebih rinci, membiasakan
diri melaksanakan ibadah ritual sesuai keyakinan agamanya membiasakan
diri berperilaku terpuji pada saat berinteraksi dengan siapapun mampu
membedakan perilaku baik dan perilaku buruk dalam konteks lingkup
keluarga dan masyarakatnya mengenali hari besar agama yang dianutnya
dan memahami keragaman agama serta saling menghormati satu sama lain
D. Hakikat Spiritual Quotient dan Implikasinya
1. Hakikat Spiritual Quotient
(Wahyudi Siswanto, 2013) Menurut para ahli, ada banyak
kecerdasan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Salah satunya
yaitu kecerdasan spiritual (SQ), kecerdasan ini merupakan kecerdasan
yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang
memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di
balik sebuah kenyataan atau kejadian tertentu. Kecerdasan spiritual
(SQ) yang sangat terkait dengan persoalan makna dan nilai ini pertama
kali digagas dan ditemukan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall.
Menurut Zohar dan Marshall dalam bukunya Wahyudi Siswanto
menjelaskan bahwa kecerdasan spiritual secara terminologi adalah
kecerdasan pokok yang dengannya dapat memecahkan masalah-
masalah makna dan nilai, menempatkan tindakan atau suatu jalan hidup
dalam konteks yang lebih luas, kaya, dan bermakna.
(Ahmad Muhaimin, 2014) Menurut Danah Zohar dalam
bukunya Akhmad Muhaimin: “Menilai bahwa kecerdasan spiritual
merupakan bentuk kecerdasan tertinggi yang memadukan kedua bentuk
kecerdasan sebelumnya, yakni kecerdasan intelektual dan kecerdasan
emosional. Kecerdasan spiritual dinilai sebagai kecerdasan yang
tertinggi karena erat kaitannya dengan kesadaran orang untuk bisa
memaknai segala sesuatu dan merupakan jalan untuk bisa merasakan
kebahagiaan.”
7
(Mas Udik Abdullah, 2015) Berdasarkan pendapat para ahli di
atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan yang dibangun dari dua kecerdasan, yakni intelektual dan
emosional. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual adalah orang yang
bisa memecahkan permasalahan tidak hanya menggunakan rasio dan
emosi saja, namun mereka menghubungkan dengan makna kehidupan
secara spiritual. Kecerdasan spiritual yang tumbuh sejak dini akan
menjadi kekuatan untuk menjadikan anak yang berani karena keyakinan
kepada Tuhan, optimis, dan melakukan kebajikan secara terus
menerus.
(Yosi Novlan, et al., 2018) “Kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan yang membuat seseorang menjadi utuh, sehingga dapat
mengintegrasikan berbagai fragmen kehidupan, aktifitas dan
keberadaannya. Kecerdasan spiritual memungkinkan seseorang dapat
mengetahui apa sesungguhnya dirinya dan organisasinya. Kecerdasan
spiritual memungkinkan lahirnya wawasan dan pemahaman untuk
beralih dari sisi dalam ke permukaan keberadaan seseorang, tempat
seseorang bertindak, berpikir dan merasa. Kecerdasan spiritual juga
menolong seseorang untuk berkembang.”
Menurut pengertian-pengertian di atas peneliti kembali
menyimpulkan bahwa kecerdasan spiritual adalah implementasi dari
kecerdasan intelektual dan emosi, maksudnya adalah intelektual akan
lebih terarah ke tempat yang benar dengan adanya kecerdasan
spiritual. Begitu pula dengan kecerdasan emosi, apabila diiringi dengan
kecerdasan spiritual maka dunia dan akhirat dapat diraih, karena
kecerdasan spiritual dapat dijadikan tolak ukur dan pegangan dalam
bersikap. Contoh dalam kehidupan sehari-hari orang yang pandai dalam
bidang Pendidikan Islam misalnya, dia sangat kreatif dan selalu memiliki
inovasi serta motivasi dalam hidupnya namun, apabila dia belum bisa
berbuat baik terhadap sesamanya atau kepada penciptanya maka dia
belum bisa dikatakan cerdas secara spiritual, masih suka mengolok,
menggunjing atau pun tidak menghargai sesama manusia dan belum
bisa melaksanakan kewajibannya sebagai hamba yang baik. Karena
orang yang cerdas secara spiritual berarti ia dapat memaknai segala
sesuatu yang ada dalam hidup, artinya sebagai seorang yang pandai
8
dalam Pendidikan Islam berarti dapat melaksanakan segala sesuatu
yang di perintahkan dengan baik dan meninggalkan segala larangan
yang dilarang oleh Allah. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk
memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku untuk mendapat
kemuliaan dari tuhan. Spiritual Quotient adalah Kemampuan seseorang
untuk dapat mengimplementasikan nilai-nilai agama sebagai pusat
keyakinan dan landasan untuk melakukan segala sesuatu yang benar
dengan benar dan kegiatan serta mampu menyenergikan IQ, EQ dan
SQ secara komprehensif.
a. Tanda-tanda orang yang mempunyai kecerdasan spiritual
Orang yang memiliki kecerdasan spiritual, ketika menghadapi
persoalan dalam hidupnya, tidak hanya dihadapi dengan rasional
dan emosional saja, tapi ia akan menghubungkannya dengan
makna secara spiritual agar langkah-langkahnya lebih matang dan
bermakna dalam kehidupan.
Menurut Danah Zohar dan Ian Marshal, setidaknya ada
sembilan tanda orang yang mempunyai kecerasan spiritual, yakni
sebagai berikut:
1. Kemampuan Bersikap Fleksibel
Orang yang mempunyai kecerdasan spiritual yang tinggi
ditandai dengan sikap hidupnya yang fleksibel atau bisa luwes
dalam menghadapi persoalan. Orang yang fleksibel semacam
ini lebih mudah menyesuaikan diri dalam berbagai macam
situasi dan kondisi. Orang yang fleksibel juga tidak mau dalam
memaksakan kehendak dan tak jarang tampak mudah
mengalah dengan orang lain. Meskipun demikian, ia mudah
untuk bisa menerima kenyataan dengan hati yang lapang.
2. Tingkat Kesadaran Tinggi
Orang yang mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi
berarti ia mengenal dengan baik siapa dirinya. Orang yang
demikian lebih mudah mengendalikan diri dalam berbagai
situasi dan keadaan, termasuk dalam mengendalikan emosi.
Dalam menghadapi persoalan hidup yang semakin kompleks,
tingkat kesadaran yang tinggi ini sangat penting sekali. Tidak
mudah baginya untuk putus asa, orang yang semacam ini tidak
9
mungkin mendapatkan julukan sebagai orang yang tidak tahu
diri dari orang lain.
3. Kemampuan Menghadapi Penderitaan
Pada umumnya, manusia ketika dihadapkan dengan
penderitaan, akan mengeluh, kesal, marah atau bahkan putus
asa. Akan tetapi, orang yang mempunyai kecerdasan spiritual
yang baik akan mempunyai kemampuan dalam mengahadapi
penderitaan dengan baik. Kemampuan menghadapi penderitaan
ini didapatkan karena seseorang mempunyai kesadaran bahwa
penderitaan ini terjadi sesungguhnya untuk membangun dirinya
agar menjadi manusia yang lebih kuat. Ia juga mempunyai
kesadaran bahwa orang lain yang lebih menderita darinya
ternyata masih banyak. Lebih dari itu, ia juga menemukan
hikmah dan makna hidup dari penderitaan yang sedang
dihadapinya.
4. Kemampuan Menghadapi Rasa Takut
Dalam menghadapi rasa takut ini, tidak sedikit dari
manusia yang dijangkiti oleh rasa khawatir yang berlebihan
bahkan berkepanjangan. Padahal hal yang ditakutkan itu belum
tentu terjadi. Takut meghadapi kemiskinan misalnya, bila
berlebihan rasa takut itu bisa membuat seseorang lupa terhadap
hukum dan nilai. Akhirnya, dalam rangka supaya hidupnya tidak
miskin, tak segan ia menipu, berbohong, mencuri, atau
melakukan korupsi. Tidak demikian dengan orang yang
mempunyai kecerdasan spiritual yang tinggi. Ia bisa
menghadapi dan mengelola rasa takut itu dengan baik. Dengan
sabar ia akan menghadapi segala sesuatu.
5. Cenderung Melihat Keterkaitan Berbagai Hal
Agar keputusan dan langkah yang diambil oleh seseorang
dapat mendekati keberhasilan, diperlukan kemampuan dalam
melihat keterkaitan dalam berbagai hal. Agar hal yang sedang
dipertimbangkan itu menghasilkan kebaikan, sangat perlu
melihat keterkaitan antara berbagai hal dalam sebuah masalah.
Akan tetapi, tidak semua orang mempunyai kecenderungan
untuk melihat keterkaitan berbagai hal dari sebuah kejadian
10
yang sedang dihadapinya. Hanya orang-orang yang mempunyai
kecerdasan spiritual yang mampu melakukannya. Dengan
demikian, orang tersebut tampak lebih matang dan berkualitas
di berbagai hal dalam kehidupannya.
6. Cenderung Bertanya “Mengapa” atau “Bagaimana Jika”
Pertanyaan “mengapa” atau “bagaimana jika” biasanya
dilakukan oleh seseorang untuk mencari jawaban yang
mendasar. Inilah tanda bagi orang yang mempunyai kecerdasan
spiritual tinggi. Dengan demikian, ia dapat memahami masalah
dengan baik, tidak secara parsial, dan dapat mengambil
keputusan dengan baik pula. Pertanyaan “mengapa” atau
“bagaimana jika” ini penting agar seseorang tidak terjebak
dalam satu masalah. Hal ini juga penting agar seseorang
mempunyai kemungkinan sebagai jalan keluar dalam
menghadapi suatu masalah dan bisa merencanakan tujuan
dengan baik demi mencapai sebuah keberhasilan.
2. Implikasi Spiritual Quotient dalam kehidupan anak sebagai Individu dan
anggota masyarakat
Implikasi spiritual quotient dalam kehidupan anak usia dini
hanya bersifat pengetahuan awal yang berfungsi sebagai pengingat dan
pembatas dalam menentukan sikap serta perbuatanya.
3. Peran guru dalam Pengembangan Spiritual Quotient Anak
Guru memiliki peran sebagai stimulator, motivator, dan
fasilitator ayng pelu menyediakan lingkungan yang kondusif sehingga
anak memiliki kesempatan untuk mengembangkan seluruh potensinya.
Tanpa partisipasi aktif dan kontribusi yang optimal, sebaik apapun
strategi yang ditetapkanakan memberikan dampak yang kurang baik.
Selain peran guru, semua pihak juga harus memberi dukungan
yang sama untuk mengembangkan spiritual quotient, termasuk orang
tua dan lingkungan masyarakat. Tanpa komitmen yang jelas dari semua
pihak dan tidak dimilikinya konsistensi dari semua pihak, justru disitulah
awal kerusakan spiritual quotient yang akan melanda anak bangsa.
11
KESIMPULAN
Pendidikan moral dan spiritual perlu dikenalkan kepada anak usia dini sebagai
upaya pembentukan generasi yang kokoh secara spiritual dan santun dalam hal moral.
Yakni, anak usia dini belum memiliki sikap kritis terhadap ajaran agama. Maka,
diharapkan memiliki efek positif pada dua dimensi yakni kesejahteraan dan
perilaku prososial kepada anak seperti memiliki harga diri yang tinggi, memiliki
kepuasan, prestasi dan harapan pendidikan. Hal ini disebabkan karena orang tua
mewariskan agama kepada anak-anak mereka. Dalam pendidikan moral untuk
mencapai harapan orang tua perlu adanya potret untuk menggambarkan
perkembangan moral anak, esensi untuk mengembangkan nilai keagamaan anak, dan
target untuk mencapai standar tingkat pencapaian perkembangan anak dalam
mengembangkan moral dan agama anak usia dini.
UCAPAN TERIMA KASIH (optional)
Puji dan syukur Kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan Jurnal ini. Penulisan Jurnal ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah perkembangan moral
dan agama anak usia dini pada Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, progam studi
pendidikan Islam Anak Usia Dini, Institut Agama Islam Negeri Metro Penulis menyadari
dalam penulisan Jurnal ini masih terdapat kekurangan, untuk itu diharapkan kritik dan
saran yang membangun untuk dapat menyempurnakan Jurnal ini. Akhir kata, penulis
mengucapkan terimakasih dan semoga jurnal ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang membutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Nur Faizah Mhd. Habibu Rahman, Rita kencana,. Pengembangan Nilai Moral dan
Agama Anak Usia Dini. (Tasikmalaya:Edu Publisher, 2020) hlm. 1-4
Athoillah Islamy, Dwi Puji Lestari, Saihu, Nurul Istiana. Pembiasaan ritualis kolektif
dalam pembentukan sikap sosial religius anak usia dini. Educandum:Jurnal
Ilmiah pendidikan. Volume 6 No 2, 2020. Hlm. 178
Amir Syamsudin, Pengembangan Nilai Agama dan Moral pada Anak Usia Dini , dalam
Jurnal Pendidikan Anak, volume 1 Edisi 2 tahun 2013, hlm. 109-110.
Rizki ananda, Implementasi Nilai-nilai Moral dan Agama pada Anak Usia Dini, dalam
Jurnal Obsesi:Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Vol. 1 issue 1 tahun 2017,
hlm. 23.
12
Wahyudi Siswanto, Membenntuk Kecerdasan Spiritual Anak, (Jakarta: Amzah, 2013),
hal. 10.
Akhmad Muhaimin Azzet, Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Bagi Anak,
(Jogjakarta: Kata Hati, 2014), hal. 31
Mas Udik Abdullah, Meledakkan IESQ Dengan Langkah Takwa & Tawakal, (Jakarta:
Zikrul Hakim, 2015), hal. 231.
Yosi Novlan dan N. Faqih Syarif H, QLA-T, (Surabaya: PT. Java Pustaka Media
Utama, 2018), hal.12
13