2757 7987 1 SM

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 23

Adminitrative Law & Governance Journal Vol.

1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

Memahami Peran Ombudsman Sebagai Badan Pengawas Penyelenggaraan


Pelayanan Publik di Indonesia

SOLECHAN
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
[email protected]

Abstract

This study aims to determine the role of the ombudsman as the organizing body of public service
delivery in Indonesia. The study is a normative legal research that is analyzed using qualitative
analysis. The results of the research show that the Ombudsman as the supervisory body of the
public service providers in the implementation of their role to support good governance, perform
their duties by receiving Report / complaint of every Indonesian citizen or residents to the
alleged maladministration conducted by the state organizer. Based on the results of substantive
examination, the Ombudsman may conduct written clarification, field investigation or summons.
Ombudsman examination results can be: a. refuse report, or b. receive reports and make
recommendations. In addition, the Ombudsman may engage in mediation / conciliation to obtain
agreement among the parties, as well as undertake special adjudication relating to the settlement
of damages if it can not be resolved through mediation and conciliation. In supervising public
services, in addition to receiving reports from the public, the Ombudsman may also undertake its
own initiative through a systemic review whose results may be recommendations. To ensure
compliance with the Ombudsman's resolution by the Reported Party or the Reported Party's
Supervisor, the Ombudsman conducts direct and in-stream monitoring through media /
publications and submits periodic and annual reports to the President of the Republic of
Indonesia and the House of Representatives.

Keywords: Ombudsman, Supervision, Public Service

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran ombudsman sebagai badan pengawasa
penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia. Penelitian merupakan penelitian hukum
normatif yang dianalisis menggunakan analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa
Ombudsman sebagai badan pengawas penyelenggara pelayanan publik dalam pelaksanaan
perannya untuk mendukung good governance, menjalankan tugasnya dengan cara menerima
Laporan/pengaduan setiap Warga Negara Indonesia atau penduduk terhadap dugaan
maladministrasi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Berdasarkan hasil pemeriksaan
substantif maka Ombudsman dapat melakukan klarifikasi tertulis, investigasi lapangan maupun
pemanggilan. Hasil pemeriksaan Ombudsman dapat berupa: a. menolak laporan, atau b.
menerima laporan dan memberikan rekomendasi. Selain itu Ombudsman dapat melakukan
mediasi/konsiliasi untuk memperoleh kesepakatan di antara para pihak, dan juga melakukan
ajudikasi khusus yang berkaitan dengan penyelesaian ganti rugi apabila tidak dapat diselesaikan
melalui mediasi dan konsiliasi. Dalam melakukan pengawasan pelayanan publik, selain
menerima Laporan dari masyarakat, Ombudsman juga dapat melakukan atas inisiatif sendiri
melalui systemic review yang hasilnya dapat berupa rekomendasi/saran. Untuk memastikan

Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 67


Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

ditaatinya upaya penyelesaian Ombudsman oleh Terlapor atau Atasan Terlapor, maka
Ombudsman melakukan monitoring langsung maupun melalui media/publikasi serta
menyampaikan laporan berkala dan tahunan kepada Presiden Reublik Indonesia dan Dewan
Perwakilan Rakyat.

Kata Kunci: Ombudsman, Pengawasan, Pelayanan Publik

A. Latar Belakang
Penjelasan umum Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
dinyatakan bahwa negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga negara melalui
suatu sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik
yang prima dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak sipil setiap warga negara atas
barang publik, jasa publik, dan pelayanan administratif. Selanjutnya dinyatakan bahwa
dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada kondisi yang belum
sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Hal tersebut bisa disebabkan oleh ketidaksiapan untuk menanggapi
terjadinya transformasi nilai yang berdimensi luas serta dampak berbagai masalah
pembangunan yang kompleks. Sementara itu tatanan baru masyarakat Indonesia dihadapkan
pada harapan dan tantangan global yang dipicu oleh kemajuan di bidang ilmu pengetahuan,
informasi, komunikasi, transportasi, investasi, dan perdagangan.
Penyelenggaraan pelayanan publik yang prima sangat diharapkan oleh segenap
lapisan masyarakat. Hal tersebut patut dipahami karena sampai saat ini masyarakat seringkali
masih menerima pelayanan yang buruk dari penyelenggara negara dan pemerintahan
sehingga dapat menimbulkan kerugian materiil maupun immateriil bagi masyarakat maupun
orang perorangan. Ketidakpuasan masyarakat maupun orang perorangan terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik tersebut banyak diadukan kepada Ombudsman Republik
Indonesia.
Hal-hal mengenai proses seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS),
pengurusan perizinan, penanganan sengketa pertanahan maupun sengketa ketenagakerjaan,
maupun hal-hal lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan pelayanan publik, bahkan
yang terakhir kasus penangkapan dan pemeriksaan wakil ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) non aktif Bambang Widjojanto oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Keberanian masyarakat untuk melaporkan perilaku penyelenggara pelayanan publik yang
tidak memuaskan masyarakat tersebut tidak dapat dipungkiri merupakan imbas dari adanya
keterbukaan publik dan perkembangan teknologi informasi sehingga tuntutan agar
penyelenggara pelayanan publik memberikan pelayanan yang prima menjadi sesuatu yang
tidak mustahil.
Ombudsman Republik Indonesia merupakan lembaga pengawas eksternal yang
keberadaannya diharapkan mampu mengontrol tugas penyelenggara negara dan
pemerintahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan penegakan hukum. Ombudsman
Republik Indonesia menangani pengaduan pelayanan publik yang dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Undang-undang Nomor 37
Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia menjadi dasar pembentukan
Ombudsman Republik Indonesia, walaupun pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman
Wahid berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 telah dibentuk Komisi
Ombudsman Nasional.

Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 68


Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman


Republik Indonesia, ditegaskan bahwa Ombudsman Republik Indonesia adalah lembaga
negara yang mempunyai wewenang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang
diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan
Hukum Milik Negara, serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas
menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber
dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja
daerah.
Tugas Ombudsman Republik Indonesia menurut undang-undang tersebut antara lain
adalah memeriksa laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan
publik. Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia, maladministrasi adalah: “Perbuatan melawan hukum,
melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan
wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam
penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan
pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau imateriil bagi masyarakat dan
orang perseorangan.”
Pelayanan publik menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan
penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik. Selanjutnya menurut Pasal 1 angka 2, penyelenggara
pelayanan publik yang selanjutnya disebut sebagai penyelenggara adalah setiap institusi
penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-
undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata
untuk kegiatan pelayanan publik.
Menurut Mediya Lukman, institusi penyelenggara layanan publik dapat digolongkan
ke dalam 3 (tiga) bentuk yakni institusi birokrasi biasa dengan derajat otonomi dan
kemandirian yang terbatas atau tidak ada sama sekali, BLU/D sebagai institusi yang semi
otonom, dan BUMN/D sebagai institusi publik/negara yang benar-benar otonom dalam
mengelola setiap sumber daya dan pembuatan keputusan.1 Dalam perkembangan selanjutnya
setelah keluarnya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi maka
ditambahkan 1 (satu) bentuk lagi institusi penyelenggara layanan publik yang memiliki
otonomi dan diskresi jauh lebih besar daripada institusi /organisasi publik yang berbentuk
BLU yaitu BPJS dan PTN badan hukum. 2
Pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh
Ombudsman Republik Indonesia diharapkan dapat mendukung terwujudnya pemerintahan
yang baik (good governance). Konsep good governance telah menjadi kemauan politik
dalam berbagai peraturan perundang-undangan Negara Indonesia. Oleh karena itu Ardi
Partadinata sebagaimana dikutip oleh H.A. Muin Fahmal menyatakan bahwa good
governance sebagai norma pemerintahan adalah suatu sasaran yang akan dituju dan
diwujudkan dalam pelaksanaan pemerintahan yang baik. 3

1
Mediya Lukman, Badan Layanan Umum dari Birokrasi Menuju Korporasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013),
halaman 5
2
Ibid, halaman 244.
3
H.A. Muin Fahmal, op cit halaman 61

Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 69


Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka akan dilakukan penelitian dengan judul:
“Kajian Yuridis Terhadap Peran Ombudsman Sebagai Badan Pengawas Penyelenggaraan
Pelayanan Publik Dalam Mendukung Terwujudnya Good Governance.”

2. Perumusan Masalah
Penelitian ini akan mengajukan permasalahan sebagai berikut: bagaimanakah
pelaksanaan peran Ombudsman sebagai badan pengawas penyelenggaraan pelayanan publik
dalam mendukung terwujudnya good governance. Apakah hambatan-hambatan yang timbul
dalam pelaksanaan peran Ombudsman untuk mendukung terwujudnya good governance.
Upaya-upaya apakah yang dilakukan oleh Ombudsman untuk mengatasi hambatan-
hambatan tersebut?

B. Tinjauan Pustaka

1. Konsep Negara Kesejahteraan


Tujuan nasional Indonesia yang dituangkan dalam Alinea IV Pembukaan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan komitmen bangsa
Indonesia dan menjadi tugas negara untuk mewujudkannya. Berdasarkan rumusan Alinea IV
Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, maka
Indonesia menganut konsep negara hukum baru yang lebih dinamis yakni yang dikenal
dengan istilah welfare state (negara kesejahteraan) atau negara hukum materiil. Di dalam
negara hukum modern welfare state ini tugas pemerintah bukan lagi sebagai penjaga malam
dan tidak boleh pasif tetapi harus aktif turut serta dalam kegiatan masyarakat sehingga
kesejahteraan bagi semua orang tetap terjamin. Jadi di dalam welfare state pemerintah itu
diserahi bestuurzorg yaitu penyelenggaraan kesejahteraan umum.4
Berkaitan dengan konsep negara kesejahteraan yang merupakan revisi dari konsep
negara pasif, Asshiddiqie sebagaimana dikutip oleh W Riawan Tjandra menguraikan bahwa
dalam konsep negara kesejahteraan ini, negara dituntut untuk memperluas tanggung
jawabnya kepada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi rakyat banyak.
Perkembangan inilah yang memberikan legalisasi bagi „negara intervensionis‟ abad ke 20.
Negara justru perlu dan bahkan harus melakukan intervensi dalam berbagai masalah sosial
dan ekonomi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan bersama dalam masyarakat.
Walhasil dengan intervensi ini fungsi negara juga meliputi kegiatan-kegiatan yang
sebelumnya berada di luar jangkauan fungsi negara, seperti memperluas ketentuan pelayanan
sosial kepada individu dan keluarga dalam hal-hal khusus seperti ‘social security’, kesehatan,
kesejahteraan sosial, pendidikan, dan pelatihan serta perumahan. 5
Soekanto dalam W. Riawan Tjandra menyatakan apabila semula negara hanya
dipandang sebagai instrument of power, maka mulai timbul aliran-aliran yang menganggap
negara sebagai agency of service, maka timbullah konsep welfare state yang terutama
memandang manusia tidak hanya sebagai individu, akan tetapi juga sebagai anggota atau
warga dari kolektiva dan bahwa manusia bukanlah semata-mata merupakan alat kepentingan
kolektiva akan tetapi juga untuk tujuan diri sendiri.6

4
SF Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1987),
halaman 45
5
W Riawan Tjandra, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2008),
halaman 9.
6
Ibid, halaman 11-12

Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 70


Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

2. Wewenang Pemerintahan
Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh Ridwan HR berpendapat bahwa wewenang
dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya
menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum wewenang sekaligus
berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). 7
Menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Pasal 1 angka 5, wewenang adalah “hak yang dimiliki oleh badan dan/atau pejabat
pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau
tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.” Dalam negara hukum, wewenang
pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara teoritik,
kewenangan yang bersumber dari peraturan peraturan perundang-undangan tersebut
diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Menurut HD van
Wijk/WillemKonijnenbelt sebagaimana dikutip oleh Ridwan HR, atribusi, delegasi, dan
mandat didefinisikan sebagai berikut:8.
a. atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada
organ pemerintahan.
b. delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan
kepada organ pemerintahan lainnya.
c. mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh
organ lain atas namanya.
Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
kewenangan pemerintahan yang selanjutnya disebut sebagai kewenangan menurut Pasal 1
angka 6 adalah: “kekuasaan badan dan/atau pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara
lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik.” Selanjutnya Pasal 8 ayat (2) mengatur
bahwa: “Badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang wajib
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan AUPB.” Kewenangan yang dimiliki oleh
badan dan/atau pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya menurut Pasal 11
diperoleh melalui atribusi, delegasi, dan/atau mandat.
Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, mengetahui sumber dan cara memperoleh
wewenang organ pemerintahan ini penting karena berkenaan dengan pertanggungjawaban
hukum dalam penggunaan wewenang tersebut, seiring dengan salah satu prinsip dalam
negara hukum: “Tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban.” Dalam hal atribusi,
penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang
sudah ada, dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang
diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris). Pada delegasi tidak
ada penciptaan wewenang, yang ada hanya pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu
kepada pejabat lainnya. Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi
(delegans) tetapi beralih pada penerima delegasi (delegataris). Sementara pada mandat,
penerima mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat
(mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada
mandans. 9
Bagi negara yang bersifat welfare state, asas legalitas saja tidak cukup sehingga
dibutuhkan adanya kebebasan bertindak (freies ermessen/diskresi) dari pemerintah untuk
lebih mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan (doelmatigheid) yaitu memberikan
pelayanan umum atau mengusahakan kesejahteraan rakyat di samping tentunya tetap
7
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2013), halaman 99
8
ibid, halaman 102
9
Ibid, halaman 105-106

Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 71


Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

memberikan perlindungan bagi seluruh rakyat. Menurut Pasal 1 angka 9 Undang-undang


Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, diskresi adalah: “Keputusan
dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk
mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal
peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau
tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.”
Meskipun kepada pemerintah dalam arti eksekutif saja yang diberikan wewenang
bebas (freies ermessen/diskresi), namun penggunaannya harus tetap dalam batas-batas yang
diberikan oleh hukum yang berlaku, sehingga penggunaannya tetap dapat
dipertanggungjawabkan. Menurut Pasal 15 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan diatur tentang pembatasan kewenangan sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Wewenang Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dibatasi oleh:
a. masa atau tenggang waktu Wewenang;
b. wilayah atau daerah berlakunya Wewenang; dan
c. cakupan bidang atau materi Wewenang.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang telah berakhir masa atau tenggang waktu
Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dibenarkan mengambil
Keputusan dan/atau Tindakan.
Adapun Pasal 17 mengatur tentang larangan penyalahgunaan wewenang sebagai
berikut:
Pasal 17
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang.
(2) Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. larangan melampaui Wewenang;
b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau
c. larangan bertindak sewenang-wenang.
Kemerdekaan atau kebebasan bertindak (freies ermessen atau pouvoir discretionaire)
memiliki potensi untuk disalahgunakan ke arah perbuatan sewenang-wenang (detournement
de pouvoir), perbuatan menyalahgunakan kewenangan (willekeur/a bus de droit), melampaui
wewenang (ultravires), tergelincir ke arah perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
overheidsdaad), yang bermuara kepada pelanggaran hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu
diperlukan suatu sistem pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan guna memberikan
perlindungan hukum baik bagi warga masyarakat maupun bagi badan /pejabat tata usaha
negara sendiri.10

C. METODE PENELITIAN

Menurut Soerjono Soekanto: “Penelitian hukum adalah sebagai kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisa untuk
kemudian mengadakan sesuatu pemecahan atas permasalahanyang timbul pada gejala yang
bersangkutan.”
Penelitian hukum dengan judul “Kajian Yuridis terhadap Peran Ombudsman sebagai
Badan Pengawas Penyelenggaraan Pelayanan Publik dalam Mendukung Terwujudnya Good

10
S.F. Marbun, Hukum Administrasi Negara II, (Yogyakarta: FH UII Press, tahun 2013), halaman 1-2

Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 72


Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

Governance” ini membutuhkan data-data yang akurat, baik data primer maupun data
sekunder. Data-data tersebut dimaksudkan untuk mendukung penyusunan penulisan hukum
ini sehingga dapat memenuhi syarat secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu
diperlukan adanya metode penelitian tertentu.

D. PEMBAHASAN

1. Peran Ombudsman sebagai Suatu Badan Pengawas


Ombudsman sebagai lembaga pengawas eksternal dan bersifat mandiri melakukan
tugas pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik berdasarkan Undang-undang Nomor
37 Tahun 2008 Pasal 1 angka 1 sebagaimana berikut:
“Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Ombudsman adalah lembaga
negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik
yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan
Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas
menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber
dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja
daerah.”

Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman


Republik Indonesia menyatakan bahwa reformasi mengamanatkan perubahan kehidupan
bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat yaitu kehidupan yang didasarkan pada
penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang demokratis dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan, menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Sebelum reformasi, penyelenggaraan negara dan pemerintahan diwarnai dengan
praktek maladministrasi antara lain terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme, sehingga
mutlak diperlukan reformasi birokrasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan demi
terwujudnya penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur,
bersih, terbuka, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penyelenggaraan negara dan
pemerintahan yang baik hanya dapat tercapai dengan peningkatan mutu aparatur
penyelenggara negara dan pemerintahan dan penegakan asas-asas umum yang baik. Untuk
penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan upaya meningkatkan pelayanan publik dan
penegakan hukum diperlukan keberadaan lembaga pengawas eksternal yang secara efektif
mampu mengontrol tugas penyelenggara negara dan pemerintahan. Oleh karena itu
dibentuklah Ombudsman Republik Indonesia atau yang selanjutnya disebut sebagai
Ombudsman.
Menurut Roy Gregory sebagaimana dikutip oleh Galang Asmara, arti kata
Ombudsman dalam kamus Swedia antara lain: agents, proxy, deputy, atau authorished
representative. Istilah-istilah tersebut menurut Roy Gregory dengan jelas menunjuk pada
seseorang yang bekerja mewakili orang lain untuk menangani permasalahan-permasalahan
antara mereka dengan pemerintah atau organisasi kekuasaan pada umumnya. 11

11
Galang Asmara, Ombudsman Republik Indonesia dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,
(Surabaya: Laksbang Yustisia, 2012), halaman 9

Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 73


Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

Menurut R.M. Surachman dan Antonius Sujata, “dalam bahasa Swedia, arti “ombud”
sebenarnya adalah “wakil”sah seseorang, sehingga pengacara yang bertindak untuk
kliennyadi depan pengadilanpun adalah “ombud” kliennya.” 12
Menurut Paulus Effendi Lotulung, arti kata secara harfiah istilah “Ombudsman” itu
berarti wakil atau kuasa yang diserahi kepercayaan, dalam hal ini ialah wakil atau kuasa dari
Parlemen yang diserahi kepercayaan melakukan kontrol terhadap Pemerintah.13
Menurut S.F. Marbun, pengawasan dapat ditinjau dari berbagai segi, antara lain segi
ekonomi atau manajemen dan segi hukum. Dari segi manajemen, pengawasan diperlukan
untuk menjamin agar suatu kegiatan organisasi berjalan sesuai dengan rencana (planning)
sehingga tujuan organisasi tercapai. Di samping itu, pengawasan juga untuk menjaga agar
fungsi pemerintahan berjalan dengan baik dan terjamin penerapan tata kelola pemerintahan
yang baik (good governance). Dengan demikian pengawasan dapat memperkecil hambatan
yang terjadi dan segera melakukan perbaikan.
Dari segi hukum administrasi, pengawasan diperlukan untuk menjamin agar
pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan berjalan sesuai dengan norma hukum atau
ketentuan peraturan perundang-undangan dan perlindungan hukum bagi rakyat atas sikap
tindak badan/pejabat tata usaha negara dapat diupayakan. 14
Tujuan pokok dari pengawasan (kontrol) adalah untuk menghindari terjadinya
kekeliruan-kekeliruan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, sebagai suatu
usaha preventif, atau juga untuk memperbaikinya apabila sudah terjadi kekeliruan itu,
sebagai suatu usaha represif. 15
Selanjutnya ia menyatakan bahwa ada beberapa macam bentuk kontrol yang dapat
dibedakan dari beberapa segi, yaitu: 16
1 Segi kedudukan dari badan/organ yang melaksanakan kontrol itu terhadap badan/organ
yang dikontrol, yang dibedakan sebagai kontrol intern dan kontrol ekstern. Kontrol intern
berarti bahwa pengawasan itu dilakukan oleh suatu badan yang secara
organisatoris/struktural masih termasuk dalam lingkungan pemerintah sendiri.
Pengawasan tersebut disebut juga kontrol teknis-administratif atau lazim disebut pula
sebagai suatu bentuk “built-in control”. Sebaliknya, kontrol ekstern adalah pengawasan
yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara organisatoris/struktural
berada di luar pemerintah dalam arti eksekutif.
2 Segi saat/waktu dilaksanakannya suatu kontrol atau pengawasan, dibedakan dalam dua
jenis yaitu Kontrol A-Priori dan Kontrol A-Posteriori. Kontrol A-Priori adalah bilamana
pengawasan itu dilakukan sebelum dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan
pemerintah ataupun peraturan lainnya yang pengeluarannya memang menjadi wewenang
pemerintah. Dalam hal ini tampak jelas unsur preventif dari maksud kontrol itu, sebab
tujuan utamanya adalah untuk mencegah atau menghindari terjadinya kekeliruan.
Sebaliknya, Kontrol A-Posteriori adalah bilamana pengawasan itu baru terjadi sesudah
dikeluarkannya keputusan. Dengan kata lain, arti pengawasan di sini adalah
dititikberatkan pada tujuan yang bersifat korektif dan memulihkan suatu tindakan yang
keliru.

12
R.M. Surachman dan Antonius Sujata, Ombudsman Indonesia di Tengah Ombudsman Internasional, Sebuah
Antologi, (Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2002), halaman 2
13
Paulus Effendie Lotulung, Seri ke-I Perbandingan Hukum Administrasi – Beberapa Sistem tentang Kontrol
Segi Hukum terhadap Pemerintah, (Jakarta: PT. Bhuana Pancakarsa, 1986), halaman 76
14
S.F. Marbun, Op cit, halaman 2
15
Paulus Effendi Lotulung, Op cit, halaman xv
16
Loc cit, halaman xv-xvi

Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 74


Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

3 Segi sifat kontrol itu terhadap obyek yang diawasi, dibedakan menjadi dua yaitu kontrol
segi hukum (rechmatigheidstoetsing) dan kontrol segi kemanfaatan
(doelmatigheidstoetsing). Kontrol segi hukum dimaksudkan untuk menilai segi-segi atau
pertimbangan yang bersifat hukumnya saja (segi legalitas), yaitu segi “rechmatigheid”
dari perbuatan pemerintah. Sedangkan kontrol segi kemanfaatan menilai pada benar
tidaknya perbuatan pemerintah itu ditinjau dari segi/pertimbangan kemanfaatan
(oportunitas), yaitu segi “doelmatigheid.”

2. Pelaksanaan Peran Ombudsman sebagai Badan Pengawas Penyelenggaraan Pelayanan


Publik dalam Mendukung Terwujudnya Good Governance
Kantor Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi DIY terletak di
Jl. Wolter Mongonsidi No. 20, Karangwaru, Tegalrejo, Yogyakarta. Visi yang
dicanangkan Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi DIY tidak
berbeda dengan visi Ombudsman Republik Indonesia, yaitu “Mewujudkan
PelayananPublik Prima yang Menyejahterakan dan Berkeadilan bagi Seluruh Rakyat
Indonesia”. Untuk mewujudkan visi tersebut Ombudman Republik Indonesia
mencanangkan misi sebagai berikut:
1. Melakukan tindakan pengawasan, menyampaikan saran dan rekomendasi serta
mencegah maladministrasi dalam pelaksanaan pelayanan publik
2. Mendorong penyelenggara negara dan pemerintah agar lebih efektif dan efisien,
jujur, terbuka, bersih serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme
3. Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaraan hukum masyarakat dan
supremasi hukum yang berintikan pelayanan, kebenaran serta keadilan
4. Mendorong terwujudnya sistem pengaduan masyarakat yang terintegrasi berbasis
teknologi informasi
Dalam menjalankan tugasnya Ombudsman Republik Indonesia selalu
mendasarkan dirinya pada prinsip-prinsip yang dianutnya sehingga menjadi jati diri
yang melekat bagi setiap anggotanya. 7 (Tujuh) falsafah tersebut yaitu :
1) Saling menghargai,
Melayani setiap pribadi dengan prinsip–prinsip kesopanan dan saling menghargai
sebagai manusia sederajat.

2.) Keteladanan
Menjadi teladan dan pelopor dalam prinsip keterbukaan, kesederajatan, tidak
memihak, serta pelopor dalam pembaharuan dan selalu konsisten dalam
keputusan.
3) Kesetaraan
Mempelopori adanya kesetaraan dan selalu membuka akses bagi setiap orang
tanpa memandang status ekonomi, keluarga, bahasa, agama, kesukuan dan ras,
termasuk juga tidak memandang dari segi kondisi fisik, jenis kelamin, umur
ataupun status perkawinan.
4) Pemberdayaan Masyarakat
Mendorong dan membantu masyarakat yang menggunakan sarana publik dalam
mencari pemecahan bagi setiap masalahnya.
5) Pembelajaran yang Berkesinambungan
Menjadi pelopor dan pendorong dalam hal pembelajaran yang berkesinambungan
bagi setiap staf, pemerintah dan masyarakat.
6) Kerjasama

Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 75


Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

Selalu menggunakan prinsip-prinsip kerjasama, empati dan niat baik dalam setiap
tugas.
7) Kerjasama Tim
Mengkombinasikan perbedaan latar belakang dan pengalaman dalam mencapai
satu tujuan dan komitmen untuk sukses.
Dalam menjalankan tugasnya Ombudsman Republik Indonesia selalu
berdasarkan pedoman dasar dan etika sebagai berikut:
1) Integritas
Bersifat mandiri, tidak memihak, adil, tulus dan penuh komitmen, menjunjung
tinggi nilai-nilai moral dan budi pekerti serta melaksanakan kewajiban, agama
dengan baik.
2) Pelayanan kepada Masyarakat
Memberikan pelayanan kepada masyarakat secara cepat dan efektif agar
mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai institusi publik yang benar-benar
membantu peningkatan penyelenggaraan kepentingan masyarakat sehari-hari.
3) Saling Menghargai
Kesejajaran penghargaan dalam perlakuan, baik kepada masyarakat maupun
antara sesama anggota/staf Ombudsman Republik Indonesia.
4) Kepemimpinan
Menjadi teladan dan panutan dalam keadilan, persamaan hak, transparansi,
inovasi dan konsistensi.
5) Persamaan Hak
Memberikan perlakuan yang sama dalam pelayanan kepada masyarakat dengan
tidak membedakan umur, jenis kelamin, status perkawinan, kondisi fisik ataupun
mental, suku, etnik, agama, bahasa maupun status sosial keluarga.
6) Sosialisasi Tugas Ombudsman
Menganjurkan dan membantu masyarakat memanfaatkan pelayanan publik secara
optimal untuk penyelesaian persoalan.
7) Pendidikan yang Berkesinambungan
Melaksanakan pelatihan serta pendidikan terus menerus untuk meningkatkan
ketrampilan.
8) Kerja Sama
Melaksanakan kerjasama yang baik dengan semua pihak, memilik ketegasan dan
saling menghargai dalam bertindak untuk mendapatkan hasil yang efektif dalam
menangani keluhan masyarakat.
9) Bekerja Secara Berkelompok
Penggabungan kemampuan serta pengalaman yang berbeda-beda dari anggota
dan Tim yang mempunyai tujuan yang sama serta komitmen demi keberhasilan
Ombudsman Republik Indonesia secara keseluruhan.
10) Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat
Menyebarluaskan informasi hukum yang diterima dan diolah oleh Ombudsman
kepada lembaga negara, lembaga non pemerintah, masyarakat ataupun
perseorangan.

11) Profesional
Memiliki tingkat kemapanan intelektual yang baik dalam melaksanakan tugas
kewajibannya sehingga kinerjanya dapat dipertanggungjawabkan baik secara
hukum maupun secara ilmiah.

Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 76


Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

12) Disiplin
Memiliki loyalitas dan komitmen tinggi terhadap tugas kewajiban yang menjadi
tanggung jawabnya.
3. Maladministrasi dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Pasal 6 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik
Indonesia mengatur tentang fungsi Ombudsman dalam mengawasi penyelenggaraan
pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan
baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD,
BHMN serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan
pelayanan publik tertentu. Menurut Pasal 1 angka 2, yang dimaksud dengan
Penyelenggara Negara adalah pejabat yang menjalankan fungsi pelayanan publik yang
tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Adapun pengertian penyelenggara negara menurut
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa:
“Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif,
legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan
dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku..”.
Penyelenggara pelayanan publik menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik Pasal 1 angka 2 adalah: “setiap institusi penyelenggara negara,
korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk
kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk
kegiatan pelayanan publik.” Berdasarkan rumusan pasal tersebut, maka perlu diketahui
rumusan pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 sebagai berikut:
“Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga
negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan
oleh penyelenggara pelayanan publik.”
Penyelenggara pelayanan publik menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor
25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik adalah: "Penyelenggara pelayanan publik yang
selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara,
korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk
kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk
kegiatan pelayanan publik.” Sementara pelaksana pelayanan publik menurut Pasal 1
angka 5 adalah: “Pelaksana pelayanan publik yang selanjutnya disebut Pelaksana adalah
pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam Organisasi
Penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan
pelayanan publik.”
Menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik, undang-undang ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam
hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik. Sedangkan
tujuan undang-undang tentang Pelayanan Publik menurut Pasal 3 adalah:
a. terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab,
kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan
pelayanan publik;

Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 77


Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

b. terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan


asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik;
c. terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-
undangan; dan
d. terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
Penyelenggaraan pelayanan publik menurut Pasal 4 Undang-undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik berasaskan: a. kepentingan umum; b. kepastian
hukum; c. kesamaan hak; d. keseimbangan hak dan kewajiban; e. keprofesionalan; f.
partisipatif; g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif; h. keterbukaan; i. akuntabilitas; j.
fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; k. ketepatan waktu; dan l.
kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan, oleh karena itu menurut Pasal 5 Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, ruang lingkup pelayanan publik
meliputi:
(1) Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik
serta pelayanan administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendidikan, pengajaran,
pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup,
kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam,
pariwisata, dan sektor lain yang terkait.
(3) Pelayanan barang publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah
yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan
belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah;
b. pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh suatu badan usaha
yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan
negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
c. pengadaan dan penyaluran barang publik yang pembiayaannya tidak bersumber
dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan
belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau
seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang
dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.
(4) Pelayanan atas jasa publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penyediaan jasa publik oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh
dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau
anggaran pendapatan dan belanja daerah;
b. penyediaan jasa publik oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian
atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang
dipisahkan; dan
c. penyediaan jasa publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau
badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari
kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi

Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 78


Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

ketersediaannya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-


undangan.
(5) Pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi skala
kegiatan yang didasarkan pada ukuran besaran biaya tertentu yang digunakan dan
jaringan yang dimiliki dalam kegiatan pelayanan publik untuk dikategorikan sebagai
penyelenggara pelayanan publik.
(6) Ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur lebih lanjut dalam
peraturan pemerintah.
(7) Pelayanan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. tindakan administratif pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam
peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan perlindungan pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda.
b. tindakan administratif oleh instansi nonpemerintah yang diwajibkan oleh negara
dan diatur dalam peraturan perundang-undangan serta diterapkan berdasarkan
perjanjian dengan penerima pelayanan.

Dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana ruang lingkupnya diatur


berdasarkan Pasal 5 tersebut, dalam realita di lapangan penyelenggara pelayanan publik
kerap kali masih melakukan perbuatan/tindakan yang termasuk dalam rumusan
maladministrasi seperti yang diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 37
Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, sebagai berikut: “Maladministrasi
adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan
wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk
kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik
yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan
kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.” Yang
termasuk maladministrasi antara lain:17 1. Penundaan berlarut 2. Tidak memberikan
pelayanan 3. Penyalahgunaan wewenang 4. Penyimpangan prosedur 5.
Diskriminasi 6. Permintaan imbalan 7. Konflik kepentingan 8.
Berpihak 9. Tidak kompeten 10. Sewenang-wenang 11. Pengabaian kewajiban
hokum 12. Kelalaian, dan lain-lain.

Tabel 1 SubtansiMaladministrasi
Dugaan Maladministrasi Tahun
2013 2014 2015* Jumlah
Penundaan berlarut 109 56 36 201
Penyalahgunaan wewenang 29 11 4 44
Berpihak 32 3 1 36
Tidak memberikan pelayanan 24 34 14 72
Penyimpangan prosedur 95 109 35 239
Permintaan uang, barang dan jasa 15 10 0 25
Tidak kompeten 0 4 0 4
Tidak patut 11 12 10 33
Diskriminasi 7 7 2 16
Konflik kepentingan 0 0 0 0

17
Wawancara, Budhi Masthuri, Kepala Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan D I Yogyakarta,
(Yogyakarta: 10 Juni, 2015)

Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 79


Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

Jumlah 322 246 102 670


Sumber : Kantor Perwakilan Ombudsman DIY
Catatan:
* sampai dengan bulan Mei 2015

Dari Tabel 1 tersebut di atas diketahui bahwa dugaan maladministrasi terbanyak


yang dilaporkan adalah Penyimpangan prosedur sebanyak 239 atau 36% dan penundaan
berlarut sebanyak 201 atau 30%. Sementara secara umum terjadi penurunan jumlah
dugaan maladministrasi pada tahun 2014 dibanding tahun 2013, sedangkan untuk tahun
2015 belum dapat disimpulkan, karena data yang tersedia baru sampai dengan bulan Mei
2015.
Penyelenggaraan pelayanan publik dalam pelaksanaannya perlu dilakukan
pengawasan, di sinilah pentingnya peranan Ombudsman, agar tujuan pelayanan publik
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik dapat tercapai. Tercapainya tujuan pelayanan publik tidak lain adalah
untuk membangun kepercayaan masyarakat dalam memperoleh pelayanan sesuai harapan
mereka, sehingga pada akhirnya juga dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat guna
mewujudkan tujuan nasional negara Republik Indonesia.
4. Pemeriksaan dan Penyelesaian Laporan
a. Tata Cara Pemeriksaan dan Penyelesaian Laporan
Berdasarkan ketentuan Pasal 25 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008
tentang Ombudsman Republik Indonesia, maka Ombudsman setelah menerima
Laporan dan terhadap Laporan tersebut dirasakan masih kurang, Ombudsman akan
memberitahukan secara tertulis kepada Pelapor untuk melengkapi Laporannya.
Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari Pelapor harus sudah melengkapi berkas
Laporan, dan apabila tidak melengkapi dalam waktu tersebut maka Pelapor dianggap
mencabut Laporannya.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 26, Ombudsman segera melakukan
pemeriksaan substantif setelah berkas Laporan dinyatakan lengkap. Berdasarkan
pemeriksaan substantif tersebut, maka Ombudsman dapat menetapkan:
a. tidak berwenang melanjutkan pemeriksaan, atau
b. berwenang melanjutkan pemeriksaan.
Dalam hal Ombudsman tidak berwenang melanjutkan pemeriksaan, maka
Ombudsman memberitahukan secara tertulis kepada Pelapor paling lambat 7 (tujuh)
hari terhitung sejak tanggal hasil pemeriksaan ditanda tangani oleh Ketua
Ombudsman. Pemberitahuan tersebut dapat memuat saran kepada Pelapor untuk
menyampaikan Laporannya kepada instansi lain yang berwenang. (Pasal 27).
Menurut Pasal 28, dalam hal Ombudsman berwenang melanjutkan
pemeriksaan, maka Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan dapat:
a. memanggil secara tertulis Terlapor, saksi, ahli, dan/atau penerjemah untuk
dimintai keterangan;
b. meminta penjelasan secara tertulis kepada Terlapor, dan/atau;
c. melakukan pemeriksaan lapangan.
Dalam melakukan pemeriksaan substantif tersebut, Ombudsman dapat melihat
dokumen asli dan meminta salinan dokumen yang berkaitan dengan pemeriksaan.
Dalam memeriksa Laporan, Ombudsman wajib berpedoman pada prinsip
independen, non diskriminasi, tidak memihak, dan tidak memungut biaya. Di

Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 80


Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

samping itu Ombudsman juga wajib mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat


para pihak serta mempermudah Pelapor dalam menyampaikan penjelasannya.
(Pasal 29)
Menurut Pasal 30, Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan, wajib
menjaga kerahasiaan kecuali demi kepentingan umum. Kewajiban tersebut tidak
gugur setelah Ombudsman berhenti atau diberhentikan dari jabatannya.
Menurut Pasal 31, dalam hal Terlapor dan saksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) huruf a telah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tidak memenuhi
panggilan dengan alasan yang sah, Ombudsman dapat meminta bantuan Kepolisian
Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa.
Dalam hal Ombudsman meminta penjelasan secara tertulis kepada Terlapor,
maka Terlapor harus sudah memberikan penjelasan tertulis dalam waktu paling
lambat 14 (empat belas hari) terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan
penjelasan. Apabila dalam waktu tersebut Terlapor tidak memberikan penjelasan
secara tertulis, maka Ombudsman untuk kedua kalinya meminta penjelasan secara
tertulis kepada Ter, lapor. Apabila permintaan penjelasan tertulis kedua tidak
dipenuhi Terlapor, maka Terlapor dianggap tidak menggunakan hak untuk
menjawab. (Pasal 33).
Menurut Pasal 34, dalam melaksanakan pemeriksaan lapangan, Ombudsman
dapat melakukan pemeriksaan ke obyek pelayanan publik tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu kepada pejabat atau instansi yang dilaporkan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban dan kesusilaan.
Pasal 46 ayat (5) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik, menyatakan bahwa Ombudsman wajib melakukan mediasi dan konsiliasi
dalam menyelesaikan pengaduan atas permintaan para pihak. Dalam Pasal 1 angka
10, yang dimaksud dengan mediasi adalah penyelesaian sengketa pelayanan publik
antar para pihak melalui bantuan, baik oleh Ombudsman sendiri maupun melalui
mediator yang dibentuk oleh Ombudsman. Sedangkan ajudikasi menurut Pasal 1
angka 11 adalah proses penyelesaian sengketa pelayanan publik antar para pihak yang
diputus oleh Ombudsman.
Menurut Pasal 50 ayat (5) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik, dalam hal penyelesaian ganti rugi, Ombudsman dapat melakukan
mediasi, konsiliasi, dan ajudikasi khusus. Penjelasan Pasal 50 ayat (5) tersebut
menyatakan bahwa ajudikasi khusus adalah ajudikasi yang hanya terkait dengan
penyelesaian ganti rugi. Penyelesaian ganti rugi dalam ketentuan ini dimaksudkan
apabila tidak dapat diselesaikan dengan mediasi dan konsiliasi.
Pasal 35 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia menyatakan bahwa hasil pemeriksaan Ombudsman dapat berupa:
a. menolak laporan; atau,
b. menerima laporan dan memberikan Rekomendasi.
Menurut Pasal 36 ayat (1), Ombudsman menolak Laporan dalam hal:
a. Pelapor belum pernah menyampaikan keberatan tersebut baik secara lisan
maupun tertulis kepada pihak yang dilaporkan;
b. Substansi Laporan sedang dan telah menjadi obyek pemeriksaan pengadilan,
kecuali Laporan tersebut menyangkut tindakan Maladministrasi dalam proses
pemeriksaan di pengadilan;

Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 81


Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

c. Laporan tersebut sedang dalam proses penyelesaian oleh instansi yang dilaporkan
dan menurut Ombudsman proses penyelesaiannya masih dalam tenggang waktu
yang patut;
d. Pelapor telah memperoleh penyelesaian dari instansi yang dilaporkan;
e. Substansi yang dilaporkan ternyata bukan wewenang Ombudsman;
f. Substansi yang dilaporkan telah diselesaikan dengan cara mediasi dan kosiliasi
oleh Ombudsman berdasarkan kesepakatan para pihak; atau
g. Tidak ditemukan terjadinya Maladministrasi.
Dalam melakukan penolakan, Ombudsman berpedoman pada Pasal 36 ayat
(2) yaitu pemberitahuan secara tertulis kepada Pelapor dan Terlapor dalam waktu
paling lambat empat belas hari terhitung sejak tanggal hasil pemeriksaan
ditandatangani oleh Ketua Ombudsman.
Dalam hal ditemukan Maladministrasi, Ombudsman memberikan
Rekomendasi yang memuat antara lain disebutkan dalam Pasal 37 ayat (2), yaitu: a.
Uraian tentang laporan yang disampaikan kepada Ombudsman; b. Uraian tentang
hasil pemeriksaan; c. Bentuk Maladministrasi yang telah terjadi; dan d.
Kesimpulan dan pendapat Ombudsman mengenai hal-hal yang perlu dilaksanakan
Terlapor dan atasan Terlapor.
Ayat (3) menyatakan bahwa Rekomendasi tersebut kemudian diserahkan
kepada Terlapor, Pelapor, dan atasan Terlapor paling lambat empat belas hari sejak
tanggal Rekomendasi ditandatangani oleh Ketua Ombudsman.
Dalam Pasal 38 menyatakan tindak lanjut yang harus dilakukan atas
Rekomendasi tersebut, antara lain:
a. Terlapor dan atasan Terlapor wajib melaksanakan Rekomendasi Ombudsman.
b. Atasan terlapor wajib menyampaikan laporan kepada Ombudsman tentang
pelaksanaan Rekomendasi yang telah dilakukannya disertai hasil pemeriksaannya
dalam waktu paling lambat enam puluh hari terhitung sejak tanggal diterimanya
Rekomendasi.
c. Ombudsman dapat meminta keterangan Terlapor dan/atau atasannya dan
melakukan pemeriksaan lapangan untuk memastikan pelaksanaan Rekomendasi.
d. Dalam hal Terlapor dan atasan Terlapor tidak melaksanakan Rekomendasi atau
hanya melaksanakan sebagian Rekomendasi dengan alasan yang tidak dapat
diterima oleh Ombudsman, Ombudsman dapat mempublikasikan atasan Terlapor
yang tidak melaksanakan Rekomendasi dan menyampaikan laporan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
Apabila dalam pelaksanaannya Terlapor dan atasan Terlapor ada yang
melanggar ketentuan dalam Pasal 38 ayat (1), ayat (2), maupun ayat (4), berdasarkan
Pasal 39 dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,
Pasal 51 menyatakan bahwa masyarakat dapat menggugat Penyelenggara atau
Pelaksana melalui peradilan tata usaha negara apabila pelayanan yang diberikan
menimbulkan kerugian di bidang tata usaha negara. Pasal 52 menyatakan antara lain:
a. Dalam hal Penyelenggara melakukan perbuatan melawan hukum dalam
penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini,
masyarakat dapat mengajukan gugatan terhadap Penyelenggara ke pengadilan.
b. Pengajuan gugatan terhadap penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak menghapus kewajiban penyelenggara untuk melaksanakan keputusan
Ombudsman dan/atau Penyelenggara.
Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 82
Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

c. Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 53 menyatakan bahwa:
a. Dalam hal Penyelenggara diduga melakukan tindak pidana dalam
penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini,
masyarakat dapat melaporkan Penyelenggara kepada pihak berwenang.
b. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengahpus kewajiban
penyelenggara untuk melaksanakan keputusan Ombudsman dan/atau
Penyelenggara.
Dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Ombudsman wajib membuat
laporan berkala dan laporan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia pada Pasal 42 yang
berbunyi:
(1) Ombudsman menyampaikan laporan berkala dan laporan tahunan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden.
(2) Laporan berkala disampaikan setiap tiga bulan sekali dan laporan tahunan
disampaikan pada bulan pertama tahun berikutnya.
(3) Ombudsman dapat menyampaikan laporan khusus kepada Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden selain laporan berkala dan laporan tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipublikasikan setelah
disampaikan kepada Dewan perwakilan Rakyat dan Presiden oleh Ombudsman.
(5) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sekurang-kurangnya
memuat mengenai:
a. jumlah dan macam laporan yang diterima dan ditangani selama satu tahun;
b. pejabat atau instansi yang tidak bersedia memenuhi permintaan dan/atau
pelaksanaan Rekomendasi;
c. pejabat atau instansi yang tidak bersedia atau lalai melakukan pemeriksaan
terhadap pejabat yang dilaporkan, tidak mengambil tindakan administratif,
atau tindakan hukum terhadap pejabat yang terbukti bersalah;
d. pembelaan atau sanggahan dari atasan pejabat yang mendapat Laporan atau
dari pejabat yang mendapat Laporan itu sendiri;
e. jumlah dan macam Laporan yang ditolak untuk diperiksa karena tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan
Pasal 36 ayat (1);
f. laporan keuangan; dan
g. kegiatan yang sudah atau yang belum terlaksana dan hal-hal lain yang
dianggap perlu.
Alur penyelesaian laporan/pengaduan yang sesuai dengan Undang-Undang
Ombudsman RI Nomor 37 Tahun 2008, ditampilkan dalam gambar yaitu:
1) Laporan Masyarakat atau Inisiatif Ombudsman. Apabila laporan masyarakat,
maka dilakukan registrasi dengan cara:
a) Mengisi data diri lengkap
b) Memuat kronologis peristiwa
c) Sudah menyampaikan laporan secara langsung kepada pihak terlapor atau
atasannya dan tidak ada penyelesaian

Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 83


Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

d) Peristiwa yang terjadi belum lewat 2 tahun


e) Identitas pelapor dapat dirahasiakan.
Sedangkan registrasi atas inisiatif Ombudsman sendiri berarti Ombudsman
proaktif untuk menengahi masalah pelaksanaan pelayanan publik, misal:
masalah penggusuran yang mengakibatkan kerugian pada masyarakat
tergusur.
2) Seleksi Laporan atau Pengaduan dari Masyarakat
Ombudsman RI memeriksa laporan, jika data kurang lengkap maka
Ombudsman RI akan memberikan laporan tertulis kepada Pelapor. Paling lambat
30 hari untuk melengkapi laporan, jika lewat dari 30 hari maka pelapor dianggap
mencabut laporannya.
3) Proses Pemeriksaan
Di tahap ini Ombudsman RI dapat menetapkan berwenang atau tidak
berwenang melanjutkan pemeriksaan. Jika berwenang maka Ombudsman akan
melakukan: a) Klarifikasi tertulis b) Investigasi lapangan c). Pemanggilan
d)Mediasi / Konsiliasi e) Ajudikasi khusus f) Systemic Review
Setelah dilakukan klarifikasi tertulis, investigasi lapangan dan
pemanggilan, maka hasil dari proses pemeriksaan tersebut berupa
rekomendasi/saran. Sedangkan proses pemeriksaan melalui mediasi/konsiliasi
akan menghasilkan kesepakatan, dan ajudikasi khusus akan menghasilkan
putusan. Adapun proses pemeriksaan systemic review sebagai inisiatif
Ombudsman sendiri akan menghasilkan rekomendasi/saran.
4) Rekomendasi Ombudsman
Berisi kesimpulan, pendapat dan saran yang disusun berdasarkan hasil
investigasi Ombudsman, disampaikan kepada Pelapor, Terlapor dan atasan
Terlapor. Selanjutnya Terlapor dan atasan Terlapor wajib untuk melaksanakan
dan/atau menindaklanjuti dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan
administrasi pemerintahan yang baik.
5) Monitoring
Monitoring yang dilakukan Ombudsman untuk mengawal pelaksanaan
rekomendasi/saran, kesepakatan ataupun putusan Ombudsman, dapat berupa:
a) Selesai, apabila telah dilaksanakan/ditindaklanjuti oleh Terlapor atau atasan
Terlapor.
b) Publikasi media atau pendekatan publikatif, yang dapat dilakukan terhadap
temuan hasil investigasi Ombudsman dan juga terhadap pejabat yang tidak
melaksanakan rekomendasi Ombudsman. Di sini media dapat mengekspose
walaupun Ombudsman tidak memberikan opini.
c) Presiden Republik Indonesia/DPR, sebagai pihak yang menerima laporan
berkala dan laporan tahunan Ombudsman.

5. Efektivitas Penanganan Laporan


Pada tahun 2014, Ombudsman RI Perwakilan DIY memperoleh tambahan
Asisten Ombudsman sehingga jumlah 5 (lima) Asisten sebagaimana ketentuan
Peraturan Pemerintah sudah terpenuhi. Meskipun jumlah tersebut masih jauh dari
memadai jika dibandingkan dengan luasan area kerja, tetapi setidaknya relatif cukup
bisa untuk mengatasi penanganan dan tindak lanjut laporan di Ombudsman RI
Perwakilan DIY.

Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 84


Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

Dari 243 laporan yang disampaikan masyarakat, sebanyak 231 laporan atau
95,06% sudah ditindaklanjuti oleh Tim Ombudsman RI Perwakilan DI. Yogyakarta
sebanyak 135 laporan (55,56%) dinyatakan selesai dan ditutup dengan kualifikasi,
karena Terlapor menindaklanjuti dan menyelesaikan keluhan Pelapor (selesai tuntas),
tidak terbukti/tidak ditemukan maladministrasi, laporan dilimpahkan ke Ombudsman
Republik Indonesia Jakarta atau Perwaklan lain, Pelapor mencabut laporan, laporan
sudah kadaluwarsa dan Ombudsman tidak berwenang menindaklanjuti laporan.
Selain menyampaikan laporan, masyarakat juga dapat mengakses layanan
Ombudsman RI Perwakilan DIY untuk berkonsultasi, tembusan laporan sebagai
bentuk kontrol awal, dan berdiskusi secara umum tentang isu pelayanan publik.
Pemanfaatan layanan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan DIY seperti ini
tetap dicatat sebagai akses masyarakat. Biasanya ditindaklanjuti Tim Ombudsman
dengan memberika advice tentang bagaimana seharusnya penyelesaian permasalahan
mereka alami, sehingga diharapkan masyarakat semakin berdaya mengadvokasi
dirinya sendiri apabila mengalami pelayanan publik yang buruk. Sehubungan dengan
ini juga, pada penghujung tahun ini Ombudsman RI Perwakilan DIY mulai merintis
model pengawasan pelayanan publik berbasis masyarakat dengan membentuk
kantong-kantong komunitas "Sahabat Ombudsman".
Jika dibandingkan tahun lalu, tahun ini terjadi penurunan jumlah laporan di
Ombudsman RI DIY sebesar 24,53%. Meskipun demikian tingkat kerjasama instansi
dan efektivitas penyelesaian laporan dirasa semakin meningkat. Kualitas respon
instansi terlapor juga semakin membaik, ditandai dengan tindak lanjut penyelesaian
substansi laporan secara konkret, pelibatan ombudsman dalam event-event
pembahasan layanan publik, dll. Berikut ini contoh beberapa laporan yang berhasil
ditindaklanjuti dan diselesaikan secara tuntas oleh instansi terlapor.:
1. Laporan tentang realokasi pedagang lama yang tidak kebagian kios di pasar yang
baru dibangun di Kebumen, Jawa Tengah. Ombudsman RI Perwakilan DIY
melakukan mediasi, dan tercapai kesepakatan kedua belah pihak dengan
komitmen menyediakan (membangun) kios-kios baru yang letaknya lebih
stretegis untuk dialokasikan bagi para pedagang lama.
2. Laporan tentang salah satu Sekolah Menengah Kejuruan di Yogyakarta yang
menahan kartu ujian dengan alasan siswa belum melunasi kewajiban keuanganya.
Ombudsman menindaklanjuti dengan mendatangi sekolah, dan saat itu juga kartu
ujian diberikan sehingga siswa yang bersangkutan bisa mengikuti ujian.
3. Laporan tentang penahanan SKHUN oleh salah satu sekolah MTS di Bantul yang
masih dalam lingkungan Kementerian Agama RI, padahal SKHUN tersebut
diperlukan untuk mendaftar ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Setelah
Ombudsman Rl Perwakilan DIY menemui Kantor Wilayah Kementerian Agama
DIY dan memanggil sekolah yang bersangkutan untuk menindaklanjuti laporan
tersebut, satu hari kemudian SKHUN sudah diberikan oleh sekolah yang
bersangkutan.
4. Laporan tentang permintaan uang oleh perangkat desa di Cilacap, Jawa Tengah
untuk pembuatan akta kelahiran. Ombudsman RI Perwakilan DIY
menindaklanjuti dengan mendatangi terlapor guna meminta keterangan, dan
terlapor mengakui kekeliruan serta mengembalikan uang tersebut kepada pelapor.
5. Laporan tentang penundaan berlarut penerbitan sertipikat di BPN Bantul, dapat
diselesaikan BPN setelah Ombudsman RI Perwakilan DIY menyurati Kepala
Kantor Pertanahan Bantul untuk meminta penjelasan mengenai substansi masalah

Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 85


Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

yang dikeluhkan pelapor. sertifikat kemudian dapat diterbitkan dalam waktu tidak
terlalu lama.
6. Laporan tentang bank Pemerintah yang tidak segera mencairkan beasiswa CSR
untuk Mahasiswa UNS, ditindaklanjuti Ombudsman RI Perwakilan DIY dengan
meminta keterangan pimpinan bank yang bersangkutan, dan setelah itu beasiswa
dapat dicairkan secara penuh untuk satu tahun bagi lebih kurang dua ratus
mahasiswa masing-masing mahasiswa sekitar Rp. 4.000.000.
Alur penyelesaian laporan pengaduan kepada Kantor Ombudsman RI
Perwakilan DIY dapat dilihat pada Gambar 4
b. Contoh Penanganan Kasus
1) LaporanMasuk
Pada tanggal 23 Desember 2014 Ombudsman RI Perwakilan DIY
mendapatkan Laporan masyarakat melalui surat. Dalam surat tersebut dinyatakan
bahwa guru di Sleman yang sudah terdaftar dan telah menerima tunjangan
sertifikasi diharuskan mengisi instrumen evaluasi secara online dan hardcopy
yang berisi tentang penggunaan uang tunjangan profesi sampai sedetail-detailnya
dan dianggap sebagai bentuk intimidasi dan intervensi kepada guru. Pelapor
meminta untuk dirahasiakan.
2) Proses Administrasi
Setelah melalui proses administrasi dan telaah maka dugaan awal dari
laporan ini adalah penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Instansi yang
mengurusi masalah pendidikan di salah satu Kabupaten dalam intruksi pengisian
formulir peruntukan sertifikasi guru.
3) Proses yang dilakukan:
a) Mengirimkan surat klarifikasi ke Instansi terlapor pada tanggal 2 Januari 2015
berkenaan dengan kasus tersebut.
b) Mendapatkan tanggapan dari Instansi terlapor pada tanggal 22 Januari 2015
berupa penjelasan dan alasan dari pelaksanaan program evaluasi sertifikasi
yang dikeluhkan.
c) Hasil tanggapan disampaikan kepada pelapor melalui surat
d) Dilakukan telaah oleh Ombudsman Republik Indonesia dan diambil
kesimpulan awal:
(1) Evaluasi yang dilakukan sudah sesuai juknis
(2) Instrumen yang digunakan tidak bertentangan dengan ketentuan yang
berlaku
(3) Ada beberapa pertanyaan dalam instrumen yang tidak patut diajukan
dalam instrumen tersebut
(e) Mengirimkan surat ke Instansi terlapor berupa saran penyelesaian laporan
yaitu untuk mempertimbangkan kembali formulasi pertanyaan yang dirasa
tidak patut untuk diajukan pada 1 April 2015
(f) Tanggal 28 April 2015 Instansi terlapor mengirimkan jawaban atas saran yang
diberikan yaitu mengikuti saran untuk mempertimbangkan formulasi
pertanyaan untuk beberapa pertanyaan dan tetap mempertahankan beberapa
pertanyaan lain karena dianggap masih relevan.
(g) Ombudsman RI melakukan telaahan dan investigasi lebih lanjut dan diambil
kesimpulan bahwa tindak lanjut dari Instansi terlapor terkait saran dari
Ombudsman RI dapatditerima.

Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 86


Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

(h) Pada tanggal 27 Mei 2015 laporan dinyatakan ditutup dengan diterbitkannya
Berita Acara Penutupan dan dikirimkan surat pemberitahuan ke Instansi
Terlapor dan Pelapor.
4) Laporan Ditutup

E. Simpulan
Berdasarkan uraian, maka dapat diambil simpulan bahwa Ombudsman sebagai badan
pengawas penyelenggara pelayanan publik dalam pelaksanaan perannya untuk mendukung
good governance, menjalankan tugasnya dengan cara menerima Laporan/pengaduan setiap
Warga Negara Indonesia atau penduduk terhadap dugaan maladministrasi yang dilakukan
oleh penyelenggara negara. Berdasarkan hasil pemeriksaan substantif maka Ombudsman
dapat melakukan klarifikasi tertulis, investigasi lapangan maupun pemanggilan. Hasil
pemeriksaan Ombudsman dapat berupa: a. menolak laporan, atau b. menerima laporan dan
memberikan rekomendasi. Selain itu Ombudsman dapat melakukan mediasi/konsiliasi untuk
memperoleh kesepakatan di antara para pihak, dan juga melakukan ajudikasi khusus yang
berkaitan dengan penyelesaian ganti rugi apabila tidak dapat diselesaikan melalui mediasi dan
konsiliasi. Dalam melakukan pengawasan pelayanan publik, selain menerima Laporan dari
masyarakat, Ombudsman juga dapat melakukan atas inisiatif sendiri melalui systemic review
yang hasilnya dapat berupa rekomendasi/saran. Untuk memastikan ditaatinya upaya
penyelesaian Ombudsman oleh Terlapor atau Atasan Terlapor, maka Ombudsman melakukan
monitoring langsung maupun melalui media/publikasi serta menyampaikan laporan berkala
dan tahunan kepada Presiden Reublik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Ombudsman juga menghadapi beberapa
hambatan, antara lain: jumlah SDM yang terbatas; sarana dan prasarana yang belum
memadai, anggaran yang terbatas dan resistensi dari beberapa pihak. Upaya-upaya yang
dilakukan oleh Ombudsman dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut adalah:
meningkatkan kinerja SDM Ombudsman secara efektif dan efisien; melakukan pendekatan
akuntabel ke Kementerian Keuangan dan Bappenas agar anggaran bertambah sehingga dapat
meningkatkan sarana dan prasarana serta peningkatan kualitas pengawasan yang dilakukan
Ombudsman. Di samping itu Ombudsman juga melakukan kerjasama dan koordinasi dengan
institusi pemerintahan yang terkait dan lembaga-lembaga yang berkompeten serta melakukan
pemberdayaan dan edukasi kepada masyarakat agar masyarakat lebih peka terhadap
pelayanan publik. Dengan demikian masyarakat dapat juga mengawasi pelaksanaan
pelayanan publik agar penyelenggara negara lebih bertanggungjawab dalam memberikan
pelayanan yang terbaik demi kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

2. Saran
Lembaga Ombudsman merupakan lembaga yang sangat besar peran dan fungsinya
dalam mengawasi tugas-tugas instansi yang memberikan pelayanan publik. Dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya, lembaga obdusman menghadapi berbagai kendala, di
antaranya jumlah SDM yang terbatas; sarana dan prasarana yang belum memadai, anggaran
yang terbatas dan resistensi dari beberapa pihak. Agar Lembaga Ombudsman dapat berperan
lebih optimal, maka Lembaga Ombudsman perlu perkuatan khususnya dalam hal anggaran,
mengingat hambatan yang dihadapi Lembaga Ombudsman bersumber dari keterbatasan
anggaran yang dialokasikan untuk lembaga tersebut. Dengan peningkatan anggaran,
diharapkan hambatan berupa jumlah SDM yang terbatas; sarana dan prasarana yang belum
memadai dapat teratasi. Dengan penambahan anggaran pula Ombudsman dapat melakukan

Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 87


Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

sosialisasi kepada pihak-pihak yang selama ini memiliki resistensi terhadap lembaga
tersebut.

F. DAFTAR PUSTAKA
Asmara, Galang, Ombudsman Republik Indonesia dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia, (Surabaya: Laksbang Yustisia, 2012)
Denim, Sudarwan, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setia, 2002)
Fahmal, H.A. Muin, Peran Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewujudkan
Pemerintahan yang Bersih, (Yogyakarta: UII Press, 2006)
HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2013)
Idrus, Muhammad, Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, (Yogyakarta: UII Press, 2007)
Khaerandy, Ridwan dan Malik, Camelia, Good Corporate Governance, (Yogyakarta: Total
Media, 2007)
Lotulung, Paulus Effendie, Seri ke-I Perbandingan Hukum Administrasi – Beberapa Sistem
tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah, (Jakarta: PT. Bhuana Pancakarsa,
1986)
Lukman, Mediya, Badan Layanan Umum dari Birokrasi Menuju Korporasi, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2013)
Marbun, S.F., Hukum Administrasi Negara II, (Yogyakarta: FH UII Press, tahun 2013)
Marbun, SF dan MD, Moh. Mahfud, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta:
Liberty, 1987)
Ratminto dan Winarsih, Atik Septi, Manajemen Pelayanan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013)
Santoso, R. Slamet; Astuti, Retno Sunu; Hutapea, Huntal, Penguatan Governance dan
Kelembagaan dalam Meningkatkan Daya Saing Bangsa: Pengantar (Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 2014)
Setiyono, Budi, Pemerintahan dan Manajemen Sektor Publik, (Yogyakarta: CAPS, 2014)
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1981)
Soemitro, Ronny Hanityo, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, (Jakarta: Ghalia
lndonesia, 1994)
Surachman, R.M. dan Sujata, Antonius, Ombudsman Indonesia di Tengah Ombudsman
Internasional, Sebuah Antologi, (Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2002)
Tjandra, W Riawan, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya,
2008)
Wicaksono, Kristian Widya, Telaah Kritis Administrasi & Manajemen Sektor Publik di
Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2014)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik


Indonesia
Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 88
Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 ISSN 2621 – 2781 Online

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan


KEPPRES Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional

Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 2 Mei 2018 89

You might also like