Anak 1

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 72

M A S T E R CLASS

I LM U K E S E H ATA N A N A K - 1
NEONATOLOGI
A S F I KS I A N EO N ATA L
Neonatal Asphyxia

• Deprivation of oxygen to a
newborn infant that lasts long
enough during the birth process
to cause physical harm, usually
to the brain
• Etiology:
– Intrauterine hypoxia
– Infant respiratory distress
syndrome
– Transient tachypnea of the
newborn
– Meconium aspiration
syndrome
Mathai SS. Management of respiratory distress
– Pleural disease in the newborn. MJAFI 2007; 63: 269-72.
(Pneumothorax,
Pneumomediastinum)
– Bronchopulmonary dysplasia
http://en.wikipedia.org/wiki/Perinatal_asphyxia
HMD
• gangguan pernapasan yang disebabkan imaturitas paru dan defisiensi
surfaktan, terutama terjadi pada neonatus usia gestasi<34 minggu atau berat
lahir <1500 gram
• Gejala Klinis
– Sesak, merintih, takipnea, retraksi interkostal dan subkostal, napas cuping
hidung, dan sianosis yang terjadi dalam beberapa jam pertama kehidupan.
– Bila gejala tidak timbul dalam 8 jam pertama kehidupan, adanya PMH
dapat disingkirkan.
• Lung immaturity  salah satu penyebab Chronic Lung Disease
(bronchopulmonary dysplasia)
• Etiology:
– Defisiensi surfaktan (produksi dan sekresi menurun)
• Surfactant
– Berperan untuk pengembangan alveolus
– Komposis utama surfaktan :
• dipalmitoyl phosphatidylcholine (lecithin)
• Phosphatidylglycerol
• apoproteins (surfactant proteins SP-A, -B, -C, -D)
• Cholesterol
RESPIRATORY DISTRESS
• Pada dinding alveolus SYNDROME (Hyaline
dibedakan atas 2 macam membrane disease)
sel:
– sel epitel gepeng (
squamous pulmonary
epitheal atau sel alveolar
kecil atau pneumosit tipeI).
– sel kuboid yang disebut sel
septal atau alveolar besar
atau pneumosit tipe II.
• Menghasilkan surfaktan
untuk menurunkan tegangan
permukaan dan
mempertahankan bentuk
dan besar alveolus

Hyaline Membrane Disease (Respiratory Distress Syndrome). Nelson Textbook of http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000/010/102


Pediatrics 91-0550x0475.jpg
Patomekanisme HMD

Pathogenesis of hyaline membrane disease (HMD). Vascular


disruption causes leakage of plasma into the alveolar spaces
and layering of fibrin and necrotic cells arise from type II
pneumocytes (“hyaline membranes”) along the surface of
alveolar ducts and respiratory bronchioles partially denuded of
their normal cell lining.
Tatalaksana HMD
• Endotracheal (ET) tube
• Continuous positive airway pressure (CPAP)
• Surfactant replacement
• Broad spectrum antibiotic (Ampicillin) stop if there is no proof
of infection
• Corticosteroid  reduced overall incidence of death or chronic lung
disease
– Early Postnatal Corticosteroids (<96 hours)  not suggested because
risk> benefit (CP, development delay, Hyperglicemia, hypertension, GI
bleeding)
– Moderately Early Postnatal Corticosteroids (7-14 days)  not
suggested because risk> benefit
– Delayed Postnatal Corticosteroids (> 3 weeks)  can be used for
ventilator dependant infants in whom it is felt that steroids are
essential to facilitate extubation.
KLASIFIKASI HMD

Derajat I, Bercak retikulogranuler dengan air Derajat II, Bercak retikulogranular menyeluruh dengan
bronchogram air bronchogram

Derajat III, Opasitas lebih jelas, dengan Derajat IV, Seluruh lapangan paru terlihat putih (opak),
airbronchogram lebih jelas meluas kecabang di perifer. Tidak tampak airbronchogram, jantung tak terlihat,
Gambaran jantung menjadi kabur. disebut juga “White lung”
Sindroma Aspirasi Mekonium

• Distres intrauterin dapat menyebabkan keluarnya


mekonium ke cairan amnion.
• Faktor yang memicu: placental insufficiency, maternal
hypertension, preeclampsia, oligohydramnios, and
maternal drug abuse, especially of tobacco and cocaine.
• Matur/prematur, pertumbuhan janin terhambat (PJT),
mekonium staining pada kulit dan cairan amnion
• Saat dilakukan suction dari mulut dan jalan napas atas
terdapat mekonium, hiperinflasi dada
• Rontgen: hiperinflasi dengan banyak white areas dari paru
yang kolaps
Meconium Aspiration Syndrome

Densitas ropey, kasar, patchy luas menyeluruh pada kedua


lapangan paru. Selain itu pada MAS juga bisa ditemukan
• Hiperaerasi paru pada daerah yang mengalami air-trapping
• Efusi pleura minimal (20%).
• pneumotoraks atau pneumomediastinum spontan.
• atelektasis paru emfisema obstruktif.
Transient Tachypnea of Newborn

(a) Fuzzy vessel, fisura interlobaris terisi cairan; (b) densitas bergaris divergen di medial
dengan sedikit efusi kanan. Gambaran paru membaik dalam waktu yang cepat sejalan
dengan perbaikan klinis.
Pneumonia Neonatal
• Terjadinya sindrom gagal napas akibat
komplikasi korioamnionitis jika terjadi saat
lahir ataupun karena infeksi nosokomial jika
terjadi setelah lahir
• Gejala klinis akan tampak pus cells dan bakteri
pada cairan lambung
• Ro thoraks akan tampak daerah paru yang
kolaps dan konsolidasi
• Tatalaksana : Suportif dan antibiotika
Pneumonia neonatal

Infiltrat inhomogen pada lapang paru kanan atas. Bila terjadi dalam 72 jam
pertama kehidupan, pneumonia neonatal perlu dipikirkan.
Distres Pernapasan pada Neonatus
KELAINAN GEJALA
Biasanya pada bayi matur, pertumbuhan janin terhambat, terdapat
Sindrom aspirasi staining mekonium di cairan amnion dan kulit, kuku, atau tali pusar.
mekonium Pada radiologi tampak air trapping dan hiperinflasi paru, patchy
opacity, terkadang atelektasis.
Pada bayi prematur, pada bayi dengan ibu DM atau kelahiran SC,
Respiratory distress
gejala muncul progresif segera setelah lahir. Pada radiologi tampak
syndrome (penyakit
gambaran diffuse “ground-glass” or finely granular appearance, air
membran hyalin)
bronkogram, ekspansi paru jelek.
Biasanya pada bayi matur dengan riwayat SC. Gejala muncul setelah
Transient tachypnea of lahir, kemudian membaik dalam 72 jam pasca lahir. Pada radiologi
newboorn tampak peningkatan corakan perihilar, hiperinflasi, lapangan paru
perifer bersih.

Terdapat risiko pneumonia (KPD, demam pada ibu, cairan amnion


Pneumonia neonatal berbau, dsb). Gejala meliputi gejala distress dan gejala sepsis.
Gambaran radiologis : Diffuse, relatively homogeneous infiltrates

Asfiksia perinatal
Asidemia pada arteri umbilikal, Apgar score sangat rendah, terdapat
(hypoxic ischemic
kelainan neurologis, keterlibatan multiorgan
encephalopathy)
R ES U S I TA S I N EO N AT U S
Resusitasi
Neonatus
Teknik Ventilasi dan Kompresi

• Ventilasi Tekanan Positif (VTP)


• Jika bayi tetap apnu atau megap-megap, atau jika
frekuensi denyut jantung kurang dari 100 per menit
setelah langkah awal resusitasi, VTP dimulai.
• Pernapasan awal dan bantuan ventilasi
• Bantuan ventilasi harus diberikan dengan frekuensi
napas 40 – 60 kali per menit untuk mencapai dan
mempertahankan frekuensi denyut jantung lebih dari
100 per menit. Penilaian ventilasi awal yang adekuat
ialah perbaikan cepat dari frekuensi denyut jantung.

Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Pemberian Oksigen & VTP
• Target saturasi oksigen dapat dicapai
dengan memulai resusitasi dengan • Peralatan yang digunakan untuk
udara atau oksigen campuran VTP adalah:
(blended oxygen) dan dilakukan – Self inflating bag (balon
titrasi konsentrasi oksigen untuk mengembang sendiri)
mencapai SpO2 sesuai target. – Flow inflating bag (balon tidak
• Jika oksigen campuran tidak mengembang sendiri)
tersedia, resusitasi dimulai dengan – T-piece resuscitator
udara kamar.
• Dalam 30 detik dilakukan VTP
• Jika bayi bradikardia (kurang dari 60
per menit) setelah 90 detik resusitasi 20-30 kali, mengikuti
dengan oksigen konsentrasi rendah, pernafasan bayi 40-60x/menit
konsentrasi oksigen ditingkatkan • Pada permulaan resusitasi,
sampai 100% hingga didapatkan oksigen tidak dibutuhkan secara
frekuensi denyut jantung normal. rutin. Namun bila terjadi
sianosis selama resusitasi 
boleh ditambahkan oksigen
Teknik Kompresi Dada
• Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60
per menit setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik.
Untuk neonatus, rasio kompresi: ventilasi = 3:1 (1/2 detik untuk masing-
masing).
• Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus dinilai secara
periodik dan kompresi – ventilasi tetap dilakukan sampai frekuensi denyut
jantung sama atau lebih dari 60 per menit.
• Kompresi dada dilakukan pada 1/3 bawah sternum dengan kedalaman 1/3
dari diameter antero-posterior dada.
• Teknik kompresi: (1) teknik kompresi dua ibu jari dengan jari-jari
melingkari dada dan menyokong bagian punggung, (2) teknik kompresi
dengan dua jari dimana tangan lain menahan bagian punggung
• Pada kompresi, dada harus dapat berekspansi penuh sebelum kompresi
berikutnya, namun jari yang melakukan kompresi tidak boleh
meninggalkan posisi di dada.

Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Indicator of Successful Resuscitation
• A prompt increase in heart rate remains the most sensitive
indicator of resuscitation efficacy (LOE 55).
• Of the clinical assessments, auscultation of the heart is the most
accurate, with palpation of the umbilical cord less so.
• There is clear evidence that an increase in oxygenation and
improvement in color may take many minutes to achieve, even in
uncompromised babies.
• Furthermore, there is increasing evidence that exposure of the
newly born to hyperoxia is detrimental to many organs at a cellular
and functional level.
• For this reason color has been removed as an indicator of
oxygenation or resuscitation efficacy.
• Respirations, heart rate, and oxygenation should be reassessed
periodically, and coordinated chest compressions and ventilations
should continue until the spontaneous heart rate is 60 per minute
Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Kapan menghentikan resusitasi?
• Pada bayi baru lahir tanpa adanya denyut
jantung, dianggap layak untuk menghentikan
resusitasi jika detak jantung tetap tidak terdeteksi
setelah dilakukan resusitasi selama 10 menit
(kelas IIb, LOE C).
• Keputusan untuk tetap meneruskan usaha
resusitasi bisa dipertimbangkan setelah
memperhatikan beberapa faktor seperti etiologi
dari henti hantung pasien, usia gestasi, adanya
komplikasi, dan pertimbangan dari orangtua
mengenai risiko morbiditas.

Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
I K T E R I K N EO N ATO R U M
Ikterus Neonatorum
• Ikterus neonatorum: fisiologis vs non fisiologis.
• Ikterus fisiologis:
– Awitan terjadi setelah 24 jam
– Memuncak dalam 3-5 hari, menurun dalam 7 hari (pada NCB)
– Ikterus fisiologis berlebihan → ketika bilirubin serum puncak adalah 7-15
mg/dl pada NCB
• Ikterus non fisiologis:
– Awitan terjadi sebelum usia 24 jam
– Tingkat kenaikan > 0,5 mg/dl/jam
– Tingkat cutoff > 15 mg/dl pada NCB
– Ikterus bertahan > 8 hari pada NCB, > 14 hari pada NKB
– Tanda penyakit lain
• Gangguan obstruktif menyebabkan hiperbilirubinemia direk. Ditandai
bilirubin direk > 1 mg/dl jika bil tot <5 mg/dl atau bil direk >20% dr total
bilirubin. Penyebab: kolestasis, atresia bilier, kista duktus koledokus.

Indrasanto E. Hiperbilirubinemia pada neonatus.


Ikterus Neonatorum
• Ikterus yang berkembang cepat pada hari ke-1
– Kemungkinan besar: inkompatibilitas ABO, Rh,
penyakit hemolitik, atau sferositosis. Penyebab
lebih jarang: infeksi kongenital, defisiensi G6PD
• Ikterus yang berkembang cepat setelah usia
48 jam
– Kemungkinan besar: infeksi, defisiensi G6PD.
Penyebab lebih jarang: inkompatibilitas ABO, Rh,
sferositosis.
Kramer’s Rule

Daerah tubuh Kadar bilirubin mg/dl


Muka 4-8
Dada/punggung 5 -12
Perut dan paha 8 -16
Tangan dan kaki 11-18
Telapak tangan/kaki >15
Tatalaksana Ikterus neonatorum
1. Pencegahan
– Inisiasi menyusu dini (IMD) dan pemberian minum
sesegera mungkin
– Sering menyusui untuk menurunkan siklus
enterohepatik
– Menunjang kestabilan flora normal
– Merangsang aktivitas usus halus
2. Panduan foto terapi

AAP, 2004
3. Panduan transfusi tukar

AAP, 2004
Ikterus yang Berhubungan dengan ASI (Fisiologis)

Breast Feeding Jaundice (BFJ) Breast Milk Jaundice (BMJ)


• Disebabkan oleh kurangnya asupan • Berhubungan dengan pemberian
ASI sehingga sirkulasi enterohepatik ASI dari ibu tertentu dan
meningkat (pada hari ke-2 atau 3 saat bergantung pada kemampuan
ASI belum banyak) bayi mengkonjugasi bilirubin
indirek
• Timbul pada hari ke-2 atau ke-3 • Kadar bilirubin meningkat pada
• Penyebab: asupan ASI kurang  hari 4-7
cairan & kalori kurang  penurunan • Dapat berlangsung 3-12 minggu
frekuensi gerakan usus  ekskresi tanpa penyabab ikterus lainnya
bilirubin menurun • Penyebab: 3 hipotesis
– Inhibisi glukuronil transferase oleh
hasil metabolisme progesteron
yang ada dalam ASI
– Inhibisi glukuronil transferase oleh
asam lemak bebas
– Peningkatan sirkulasi enterohepatik
Indikator BFJ BMJ
Awitan Usia 2-5 hari Usia 5-10 hari
Lama 10 hari >30 hari
Volume ASI asupan ASI kurang  cairan & Tidak tergantung dari volume ASI
kalori kurang  penurunan
frekuensi gerakan usus 
ekskresi bilirubin menurun
BAB Tertunda atau jarang Normal
Kadar Bilirubin Tertinggi 15 mg/dl Bisa mencapai >20 mg/dl
Pengobatan Tidak ada, sangat jarang Fototerapi, Hentikan ASI jika kadar
fototerapi Teruskan ASI bilirubin > 16 mg/dl selama lebih
disertai monitor dan evaluasi dari 24 jam (untuk diagnostik) AAP
pemberian ASI merekomendasikan pemberian
ASI terus menerus dan tidak
menghentikan
Gartner & Auerbach
merekomendasikan penghentian
ASI pada sebagian kasus
• For healthy term infants with breast milk or breastfeeding
jaundice and with bilirubin levels of 12 mg/dL to 17 mg/dL, the
following options are acceptable: Increase breastfeeding to 8-12
times per day and recheck the serum bilirubin level in 12-24
hours.
• Temporary interruption of breastfeeding is rarely needed and is
not recommended unless serum bilirubin levels reach 20 mg/dL.
• For infants with serum bilirubin levels from 17-25 mg/dL, add
phototherapy to any of the previously stated treatment options.
• The most rapid way to reduce the bilirubin level is to interrupt
breastfeeding for 24 hours, feed with formula, and use
phototherapy; however, in most infants, interrupting
breastfeeding is not necessary or advisable

Breast Milk Jaundice Treatment & Management. Medscape.com


I N KO M PAT I B I L I TA S
RHESUS & ABO
Anemia Hemolisis Neonatus ec. Inkompatibilitas

P E N YA K I T KETERANGAN

Adanya aglutinin ibu yang bersirkulasi di darah anak terhadap


I n ko m p a t i b i l i t a s aglutinogen ABO anak. Ibu dengan golongan darah O, memproduksi
A BO antibodi IgG Anti-A/B terhadap gol. darah anak (golongan darah A
atau B). Biasanya terjadi pada anak pertama

Rh+ berarti mempunyai antigen D, sedangkan Rh– berarti tidak


memiliki antigen D. Hemolisis terjadi karena adanya antibodi ibu
dgn Rh- yang bersirkulasi di darah anak terhadap antigen Rh anak
I n ko m p a t i b i l i t a s (berati anak Rh+). Jarang pada anak pertama krn antibodi ibu
Rh terhadap antigen D anak yg berhasil melewati plasenta belum
banyak.
Ketika ibu Rh - hamil anak kedua dgn rhesus anak Rh + antibodi
yang terbentuk sudah cukup untuk menimbulkan anemia hemolisis
I N KO M PAT I B I L I TA S A B O I N KO M PAT I B I L I TA S R H
Tidak memerlukan proses sensitisasi Butuh proses sensitisasi oleh kehamilan RH +
oleh kehamilan pertama karena sdh pertama karena ibu blm punya antibodi.
terbentuk IgG. Dapat terjadi pada Terjadi pada anak ke dua atau lebih
anak 1
Inkompatibilitas ABO jarang sekali
Gejala biasanya lebih parah jika
menimbulkan hidrops fetalis dan
dibandingkan dengan inkompatibilotas ABO,
biasanya tidak separah
bahkan hingga hidrops fetalis
inkompatibilitas Rh
Risiko dan derajat keparahan meningkat
Risiko dan derajat keparahan tidak seiring dengan kehamilan janin Rh (+)
meningkat di anak selanjutnya berikutnya, kehamilan kedua menghasilkan
lebih dominan hiperbilirubinemia, bayi dengan anemia ringan, sedangkan
dibandingkan anemia kehamilan ketiga dan selanjutnya bisa
meninggal in utero

apusan darah tepi memberikan pada inkompatibilitas Rh banyak ditemukan


gambaran banyak spherocyte dan eritoblas dan sedikit spherocyte
sedikit erythroblasts
Tes Laboratorium
• Prenatal emergency care • Postnatal emergency care
– Tipe Rh ibu – Cek tipe ABO dan Rh,
– the Rosette screening test hematokrit, Hb, serum
atau the Kleihauer-Betke bilirubin, apusan darah,
acid elution test bisa dan direct Coombs test.
mendeteksi – direct Coombs test yang
alloimmunization yg positif menegakkan
disebabkan oleh fetal diagnosis antibody-induced
hemorrhage hemolytic anemia yang
– Amniosentesis/cordosente menandakan adanya
sis inkompabilitas ABO atau
Rh

http://emedicine.medscape.com/article/797150
Tatalaksana Umum Hemolytic Disease
of Neonates
• In infants with hyperbilirubinemia due to alloimmune HDN, monitoring serum
bilirubin levels, oral hydration, and phototherapy are the mainstays of
management.
• For infants who do not respond to these conventional measures, intravenous fluid
supplementation and/or exchange transfusion may be necessary to treat
hyperbilirubinemia. Intravenous immunoglobulin (IVIG) also may be useful in
reducing the need for exchange transfusion.
• Phototherapy — Phototherapy is the most commonly used intervention to treat
and prevent severe hyperbilirubinemia. It is an effective and safe intervention. The
AAP has developed guidelines for the initiation and discontinuation of
phototherapy based upon total serum bilirubin (TSB) values at specific hourly age
of the patient, gestational age, and the presence or absence of risk factors for
hyperbilirubinemia including alloimmune HDN
• Hydration — Phototherapy increases insensible skin losses and as a result the
fluid requirements of infants undergoing phototherapy are increased. In addition,
by-products of phototherapy are eliminated in the urine. If oral hydration is
inadequate, intravenous hydration may be necessary.
• Exchange transfusion — Exchange transfusion is used to treat severe anemia, as
previously discussed, and severe hyperbilirubinemia. Exchange transfusion
removes serum bilirubin and decreases hemolysis by the removal of antibody-
coated neonatal RBCs and unbound maternal antibody.
Tatalaksana Inkompatibilitas Rh
• Jika sang ibu hamil Rh – dan belum tersensitisasi,
berikan human anti-D immunoglobulin (Rh IgG atau
RhoGAM)
• Jika sang ibu sudah tersensitisasi, pemberian Rh IgG
tidak berguna
• Jika bayi telah lahir dan mengalami inkompatibilitas,
transfusi tukar/ foto terapi tergantung dari kadar
bilirubin serum, rendahnya Ht, dan naiknya
reticulocyte count

http://emedicine.medscape.com/article/797150
AT R ES I A B I L I E R
Kolestatis

Bilirubin Bilirubin Direk Larut air: dibuang lewat ginjal


indirek

OBSTRUKSI

Urin warna
teh

Feses warna
Tidak ada bilirubin direk yg menuju usus
Dempul
Kolestasis (Cholestatic Liver Disease)
• Definisi : Keadaan bilirubin direk > 1 mg/dl bila bilirubin total < 5
mg/dl, atau bilirubin direk >20% dari bilirubin total bila kadar
bil.total >5 mg/dl
• Kolestasis : Hepatoselular (Sindrom hepatitis neonatal) vs Obstruktif
(Kolestasis ekstrahepatik)
• Sign and Symptom : Jaundice, dark urine and pale stools,
nonspecific poor feeding and sleep disturbances, bleeding and
bruising, seizures
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang
Atresia Bilier
• Merupakan penyebab kolestasis tersering dan serius pada bayi yang
terjadi pada 1 per 10.000 kelahiran
• Ditandai dengan adanya obstruksi total aliran empedu karena destruksi
atau hilangnya sebagian atau seluruh duktus biliaris. Merupakan proses
yang bertahap dengan inflamasi progresif dan obliterasi fibrotik saluran
bilier
• Etiologi masih belum diketahui
• Tipe embrional 20% dari seluruh kasus atresia bilier,
– sering muncul bersama anomali kongenital lain seperti polisplenia, vena porta
preduodenum, situs inversus dan juga malrotasi usus.
– Ikterus dan feses akolik sudah timbul pada 3 minggu pertama kehidupan
• tipe perinatal/postnatal yang dijumpai pada 80% dari seluruh kasus atresia
bilier, ikterus dan feses akolik baru muncul pada minggu ke-2 sampai
minggu ke-4 kehidupan.

Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Dept IKA RSCM. 2007
Biliary Atresia Type

 Type I: atresia of the common bile


duct
 Type IIa: atresia of the common
hepatic duct
 Type IIb: atresia of common bile duct,
cystic duct, and common hepatic duct
 Type III: atresia of the common bile
duct, cystic duct, and hepatic ducts up
to the porta hepatis. This is the
subtype present in over 90% of
patients with biliary atresia
Atresia Bilier

• Gambaran klinis: biasanya terjadi pada bayi perempuan, lahir


normal, bertumbuh dengan baik pada awalnya, bayi tidak
tampak sakit kecuali sedikit ikterik. Tinja dempul/akolil terus
menerus. Ikterik umumnya terjadi pada usia 3-6 minggu
• Laboratorium : Peningkatan SGOT/SGPT ringan-sedang.
Peningkatan GGT (gamma glutamyl transpeptidase) dan
fosfatase alkali progresif.
• Diagnostik: USG dan Biopsi Hati
• Terapi: Prosedur Kasai (Portoenterostomi)
• Komplikasi: Progressive liver disease, portal hypertension,
sepsis

Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Dept IKA RSCM. 2007
Triangular Cord Sign in USG
• The triangular cord sign is a triangular or
tubular echogenic cord of fibrous tissue
seen in the porta hepatis at ultrasonography
and is relatively specific in the diagnosis of
biliary atresia.

• This sign is useful in the evaluation of


infants with cholestatic jaundice, helping for
the differential diagnosis of biliary atresia
from neonatal hepatitis.

• It is defined as more than 4 mm thickness of


the echogenic anterior wall of the right
portal vein (EARPV) measured on a
longitudinal ultrasound scan.
PA R A L I S I S P L E KS U S
BRAKIAL
Cedera Pleksus Brachialis
• Lesi pleksus brakhialis adalah lesi saraf yang
menimbulkan kerusakan saraf yang membentuk
pleksus brakhialis, mulai dari “radiks” saraf
hingga saraf terminal.
• Keadaan ini dapat menimbulkan gangguan fungsi
motorik, sensorik atau autonomic pada
ekstremitas atas.
• Istilah lain yang sering digunakan yaitu neuropati
pleksus brakhialis atau pleksopati brakhialis
Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.
Sindroma Erb-Duchenne
• Lesi di radiks servikal atas (C5 dan C6) atau trunkus superior dan biasanya
terjadi akibat trauma.
• Pada bayi biasanya akibat distosia bahu, orang dewasa terjadi karena
jatuh pada bahu dengan kepala terlampau menekuk kesamping.
• Presentasi klinis pasien berupa waiter’s tip position dimana lengan
berada dalam posisi adduksi (kelemahan otot deltoid dan supraspinatus),
rotasi internal pada bahu (kelemahan otot teres minor dan
infraspinatus), pronasi (kelemahan otot supinator dan brachioradialis)
dan pergelangan tangan fleksi (kelemahan otot ekstensor karpi radialis
longus dan brevis).
• Selain itu terdapat pula kelemahan pada otot biseps brakhialis, brakhialis,
pektoralis mayor, subscapularis, rhomboid, levator scapula dan teres
mayor.
• Refleks bisep biasanya menghilang, sedangkan hipestesi terjadi pada
bagian luar (lateral) dari lengan atas dan tangan.
Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.
Sindroma Klumpke’s Paralysis
• Lesi di radiks servikal bawah (C8, T1) atau trunkus inferior dimana
penyebab pada bayi baru dilahirkan adalah karena penarikan bahu
untuk mengeluarkan kepala, sedangkan pada orang dewasa
biasanya saat mau jatuh dari ketinggian tangannya memegang
sesuatu kemudian bahu tertarik.
• Presentasi klinis berupa deformitas clawhand (kelemahan otot
lumbrikalis) sedangkan fungsi otot gelang bahu baik.
• Selain itu juga terdapat kelumpuhan pada otot fleksor carpi ulnaris,
fleksor digitorum, interosei, tenar dan hipotenar sehingga tangan
terlihat atrofi.
• Disabilitas motorik sama dengan kombinasi lesi n. Medianus dan
ulnaris.
• Kelainan sensorik berupa hipestesi pada bagian dalam/ sisi ulnar
dari lengan dan tangan.

Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.


“claw
hand”
Netter 1997

2006 Moore & Dalley COA

Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.


Lesi Pan-supraklavikular
(radiks C5-T1 / semua trunkus)
• Pada lesi ini terjadi kelemahan seluruh otot
ekstremitas atas, defisit sensorik yang jelas
pada seluruh ekstremitas atas dan mungkin
terdapat nyeri.
• Otot rhomboid, seratus anterior dan otot-otot
spinal mungkin tidak lemah tergantung dari
letak lesi proksimal (radiks) atau lebih ke distal
(trunkus).

Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.


T R AU M A L A H I R
EKSTRAKRANIAL
Trauma Lahir Ekstrakranial
Kaput Suksedaneum Perdarahan Subgaleal
• Paling sering ditemui • Darah di bawah galea
• Tekanan serviks pada kulit aponeurosis
kepala • Pembengkakan kulit kepala,
• Akumulasi darah/serum ekimoses
subkutan, ekstraperiosteal • Mungkin meluas ke daerah
• TIDAK diperlukan terapi, periorbital dan leher
menghilang dalam • Seringkali berkaitan dengan
beberapa hari. trauma kepala (40%).
Trauma Lahir Ekstrakranial:
Sefalhematoma
• Perdarahan sub periosteal akibat ruptur pembuluh
darah antara tengkorak dan periosteum
• Etiologi: partus lama/obstruksi, persalinan dengan
ekstraksi vakum, Benturan kepala janin dengan pelvis
• Paling umum terlihat di parietal tetapi kadang-kadang
terjadi pada tulang oksipital
• Tanda dan gejala:
– massa yang teraba agak keras dan berfluktuasi;
– pada palpasi ditemukan kesan suatu kawah dangkal
didalam tulang di bawah massa;
– pembengkakan tidak meluas melewati batas sutura yang
terlibat
Trauma Lahir Ekstrakranial:
Sefalhematoma
• Ukurannya bertambah sejalan dengan bertambahnya
waktu
• 5-18% berhubungan dengan fraktur tengkorak
• Umumnya menghilang dalam waktu 2 – 8 minggu
• Komplikasi: ikterus, anemia
• Kalsifikasi mungkin bertahan selama > 1 tahun.
• Catatan: Jangan mengaspirasi sefalohematoma meskipun
teraba berfluktuasi
• Tatalaksana:
• Observasi pada kasus tanpa komplikasi
• Transfusi jika ada indikasi
• Fototerapi (tergantung dari kadar bilirubin total)
HIPOGLIKEMIA
N EO N ATA L
Hipoglikemia pada Neonatus
• Hipoglikemia adalah kondisi bayi • Insulin dalam aliran darah fetus
dengan kadar glukosa darah <45 mg/dl tidak bergantung dari insulin
(2.6 mmol/L), baik bergejala atau tidak ibu, tetapi dihasilkan sendiri
• Hipoglikemia berat (<25 mg/dl) dapat oleh pankreas bayi
menyebabkan palsi serebral, retardasi • Pada Ibu DM terjadi
mental, dan lain-lain hiperglikemia dalam peredaran
• Etiologi darah uteroplasental bayi
– Peningkatan pemakaian glukosa mengatasinya melalui
(hiperinsulin): Neonatus dari ibu DM, Besar hiperplasia sel B langerhans
masa kehamilan, eritroblastosis fetalis yang menghasilkan insulin 
– Penurunan produksi/simpanan glukosa: insulin tinggi
Prematur, IUGR, asupan tidak adekuat
– Peningkatan pemakaian glukosa: stres • Begitu lahir, aliran glukosa yang
perinatal (sepsis, syok, asfiksia, hipotermia), menyebabkan hiperglikemia
defek metabolisme karbohidrat, defisiensi tidak ada, sedangkan insulin
endokrin, dsb bayi tetap tinggi  hipoglikemia

Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010


Hipoglikemia
• Diagnosis
– Anamnesis: tremor, iritabilitas, kejang/koma, letargi/apatis, sulit menyusui,
apneu, sianosis, menangis lemah/melengking
– PF: BBL >4000 gram, lemas/letargi/kejang beberapa saat sesudah lahir
– Penunjang: Pemeriksaan glukosa darah baik strip maupun darah vena, reduksi
urin, elektrolit darah
PPM IDAI jilid 1
APCD
Vitamin K Deficiency Bleeding (VKDB)
Stadium Characteristic
Early-onset VKDB usually occurs during first 24 hours after birth. Baby born of
mother who has been on certain drugs: anticonvulsant,
antituberculous drug, antibiotics, VK antagonist anticoagulant.
Classic VKDB Occurs during 2 to 7 day of life when the prothrombin complex
is low. It was found in babies who do not received VKP or
VK supplemented.
Bleeding commonly occurs in the umbilicus, gastrointestinal (GI)
tract (ie, melena), skin, nose, surgical sites (ie, circumcision)
and, uncommonly, in the brain.
Late-onset VKDB / Late-onset vitamin K deficiency bleeding usually occurs
APCD (acquired between age 2-12 weeks; however, it can be seen as long as 6
prothrombin months after birth. This disease is most common in breastfed
complex disorder) infants who did not receive vitamin K prophylaxis at birth.
More than half of these infants present with acute intracranial
hemorrhages
Acquired Prothrombine Complex Deficiency
(APCD) dengan Perdarahan Intrakranial
• Sebelumnya disebut sebagai Hemorrhagic Disease of
the Newborn (HDN) atau Vitamin K Deficiency Bleeding
• Etiologinya adalah defisiensi vitamin K yang dialami
oleh bayi karena : (1) Rendahnya kadar vitamin K dalam
plasma dan cadangan di hati, (2) Rendahnya kadar
vitamin K dalam ASI, (3) Tidak mendapat injeksi vitamin
K1 pada saat baru lahir
• Mulai terjadi 8 hari-6 bulan, insidensi tertinggi 3-8
minggu
• 80-90% bermanifestasi menjadi perdarahan
intrakranial
Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010
Diagnosis APCD
– Anamnesis : Bayi kecil yang
sebelumnya sehat, tiba-tiba tampak
pucat, malas minum, lemah. Tidak
mendapat vitamin K saat lahir,
konsumsi ASI, kejang fokal
– PF : Pucat tanpa perdarahan yang
nyata. Tanda peningkatan tekanan
intrakranial (UUB membonjol,
penurunan kesadaran, papil edema),
defisit neurologis fokal
– Pemeriksaan Penunjang : Anemia
dengan trombosit normal, PT
memanjang, APTT
normal/memanjang. USG/CT Scan
kepala : perdarahan intrakranial
– Pada bayi dengan kejang fokal,
pucat, disertai UUB membonjol
harus difikirkan APCD sampai
terbukti bukan

Buku PPM Anak IDAI


Tatalaksana APCD
• Pada bayi dengan kejang fokal, pucat, dan UUB membonjol,
berikan tatalaksana APCD sampai terbukti bukan
• Vitamin K1 1 mg IM selama 3 hari berturut-turut
• Transfusi FFP 10-15 ml/kgBB selama 3 hari berturut-turut
• Transfusi PRC sesuai Hb
• Tatalaksana kejang dan peningkatan tekanan intrakranial
(Manitol 0,5-1 g/kgBB/kali atau furosemid 1 mg/kgBB/kali)
• Konsultasi bedah syaraf
• Pencegahan : Injeksi Vitamin KI 1 mg IM pada semua bayi
baru lahir

Buku PPM Anak IDAI

You might also like