Analisis Kepemimpinan Perempuan Muslim Dalam Konte

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 18

Analisis Kepemimpinan Perempuan Muslim dalam Konteks Kontemporer

Politea : Jurnal Pemikiran Politik Islam


ISSN : 2621-0312
e-ISSN : 2657-1560
Vol. 4 No. 1 Tahun 2021
Doi : 10.21043/politea.v3i2.8844
http://journal.iainkudus.ac.id/index.php/politea

Kepemimpinan Perempuan Muslim dalam Diskursus Pemikiran


Kontemporer
Mufarikhin, Siti Malaiha Dewi
IAIN Kudus, Kudus, Indonesia
[email protected]; [email protected]

Abstract
Women's leadership has been a controversial issue in the contemporary history of some Muslim societies. While related to this,
some scholars have allowed it as a form of community needs in a modern context, most Muslim scholars have also refused
because of its debilitating effect. This issue can be debated because there is no clear direction regarding the leadership of the
state and the high position of the government which makes the problem divisive and full of conflict. Given the context, there is
a need to analyze Muslim leadership in the contemporary Muslim scholars thought. This paper discusses the concept, a brief
history, analyzes the views of contemporary Islamic scholars, and the importance of Muslim women's leadership within the
scope of contemporary Islamic thought with a comparative analysis of the thoughts of M. Quraish Shihab and KH. Husein
Muhammad's thoughts on women's leadership are based on arguments and interpretations of the Qur'an and As-Sunnah in a
contemporary context. This paper concludes that contemporary Muslim scholars under Islamic (Sharia) law do not provide a
clear and clear practical explanation of women's leadership. Technically, it is true that Islam does not provide practical
guidelines, but substantively Islam provides breadth for women to play a role in the public sector. This is because men and
women are created in equal positions and have equal opportunities in fields such as work and careers, including being a leader.

Keywords: Women, Leadership, Muslims, History, Society and Country

Abstrak
Kepemimpinan perempuan telah menjadi isu kontroversial dalam sejarah kontemporer beberapa masyarakat
Muslim. Sedangkan terkait hal tersebut sebagian ulama telah mengijinkan sebagai bentuk kebutuhan masyarakat
dalam konteks modern, sebagian besar cendekiawan muslim juga menolak karena efeknya yang dianggap
melemahkan. Persoalan tersebut bisa diperdebatkan karena tidak ada arahan yang jelas mengenai kepemimpinan
negara dan posisi tinggi pemerintahan yang membuat masalah itu memecah belah dan sarat konflik. Mengingat
konteksnya, ada kebutuhan untuk menganalisis kepemimpinan Muslim dalam pemikiran cendekiawan muslim
kontemporer. Tulisan ini membahas konsep, sejarah singkat, menganalisis pandangan ulama Islam kontemporer,
dan pentingnya kepemimpinan perempuan muslim dalam lingkup pemikiran Islam kontemporer dengan analisis
komparatif pemikiran M. Quraish Shihab dan KH. Pemikiran Husein Muhammad tentang kepemimpinan
perempuan yang didasarkan pada argumen serta tafsir Al-Qur‟an dan As-Sunnah dalam konteks kontemporer.
Makalah ini menyimpulkan bahwa cendekiwan muslim kontemporer secara hukum Islam (Syariah) tidak
memberikan penjelasan praktis yang tegas dan jelas tentang kepemimpinan perempuan. Secara teknis memang
benar bahwa Islam tidak memberikan pedoman praktis tetapi secara substantif Islam memberikan keluasan bagi
perempuan untuk berperan di sektor publik. Hal ini karena laki-laki dan perempuan diciptakan dalam kedudukan
yang sama dan memiliki kesempatan yang sama dalam bidang seperti pekerjaan dan karir, termasuk menjadi
pemimpin.

Kata kunci: Perempuan, Kepemimpinan, Muslim, Sejarah, Masyarakat dan Negara.

55 Vol. 4 No. 1 Tahun 2021


Mufarikhin, Siti Malaiha Dewi

Pendahuluan
Konsep „kepemimpinan perempuan‟ bukanlah fenomena baru dalam sejarah umat manusia,
karena perempuan merupakan separuh organ masyarakat yang mampu berkontribusi dalam
pembangunan bangsa secara spiritual, fisik, intelektual, dan moral. Dalam masyarakat kontemporer,
kesalahpahaman yang meluas tentang peran dan hak perempuan serta konsekuensi perbedaannya
menciptakan hambatan bagi kemajuan sosial-budaya dan politik-ekonomi. Kepemimpinan
perempuan dalam rana politik dan perspektif hukum Islam sedang banyak diperdebatkan. Ini
menjadi sesuatu yang penting untuk dibahas antara orang-orang yang melarangnya dan yang
melegalkannya (Hanapi, 2018). Akar pertama masalah pertama, ialah tentang perbedaan penafsiran
surat Al-Quran An-Nisa ayat 34: " Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab
itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,
dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Yang kedua, hadis
"tidak akan ada kemakmuran bagi umat yang menyerahkan kepemimpinannya kepada perempuan"
(Bukhari, Ahmad, Tirmidhi dan an-Nasa'i dari Abu Bakrah ra) (Kosim, 2017).
Kepemimpinan perempuan pada umumnya diperbolehkan di semua agama, dan beberapa
cendekiawan Muslim membenarkannya sementara beberapa melarangnya dari sudut pandang
agama. Islam dengan keras melarang perempuan untuk menampilkan kecantikannya dalam konteks
ini disebut aurat tetapi Islam mengijinkan mereka untuk berjuang untuk menjaga hak asasi manusia,
membangun masyarakat, bangsa, dan membela agama dengan kapasitasnya. Dalam sejarah
kenabian Muhammad SAW, belum pernah teriwayat secara jelas peran perempuan dalam
pemerintahan, baik sebagai gubernur atau pejabat tinggi pemerintah. Konsekuensinya, narasi terkait
kepemimpinan perempuan sama sekali terdengar asing dalam sejarah dan teologi Islam. Beberapa
cendekiawan, yang sebagian besar dari intelektual barat, menyebarkan Islam sebagai pandangan
yang konservatif dan kaku. Namun, dengan masuknya dan perkembangan Islam moderat, posisi dan
martabat perempuan telah dipulihkan sehingga memungkinkan mereka untuk menjalankan perintah
Allah yakni tugas mereka untuk kemajuan umat manusia.
Kontroversial debat table terjadi sejak dahulu hingga sekarang. Hal ini terjadi secara
metodologis berpikir sistematis (ushul al-fiqh) terlihat disebabkan berbeda pendekatan dalam
pemahaman dan interpretasi terhadap teks-teks al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah, dan penilaian
terhadap eksistensi ijma‟ ulama sebagai sumber dan dalil hukum atau sebagai metode istinbat

56 Politea : Jurnal Pemikiran Politik Islam


Analisis Kepemimpinan Perempuan Muslim dalam Konteks Kontemporer

hukum, sehingga implikasi dari padanya menghasilkan konklusi hukum yang berbeda pula. Karena
itu dapat dikatakan bahwa permasalahan perempuan menjadi pemimpin termasuk dalam rana
ijtihadiyah yang dinamis sepanjang masa. Maka wajar kiranya kalau para ulama‟ berbeda pendapat
dalam mensikapi permasalahan kepemimpinan perempuan (Basri, 2018).
Mengingat konteks ini, ada kebutuhan untuk menentukan posisi perempuan dan mengkaji
dari perspektif Islam. Makalah ini akan menganalisis sejarah kepemimpinan perempuan,
menganalisis kebutuhannya dalam konteks kontemporer, dan menyajikan perspektif Islam tentang
masalah tersebut. Makalah ini juga mengevaluasi secara singkat tanggapan para ulama dengan
analisis tekstual dan pendekatan induktif untuk menganalisis serta merumuskan sikap Islam
terhadap kepemimpinan perempuan dalam konteks saat ini. Diharapkan ide-ide yang dimunculkan
pada akhirnya akan berkontribusi untuk memahami dan memperjelas sikap Islam tentang
kepemimpinan perempuan baik bagi Muslim maupun masyarakat non-Muslim dalam masyarakat
yang kontemporer.

Pembahasan
Konsep Kepemimpinan Perempuan
Kepemimpinan, dalam Kamus Arab al-Mu'jam al-Wasit, adalah memimpin sebagai kepala
kelompok dengan berada di depan. Secara istilah, kata Arab „wilayah‟, „Imamah‟, dan „khilafah‟
berarti „kepemimpinan‟. Wilayah, menurut Ibn Taymiah, adalah “sesuatu untuk mempertahankan
kehidupan yang membantu orang untuk memahami agamanya”, sementara Imamah, menurut
Mawardi, adalah “untuk menjaga agama dan kehidupan dari gelap menuju terang” seperti ayat yang
terkandung dalam Al-Qur‟an: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu seorang Imam bagi seluruh
manusia” (Al-Qur'an, 2: 124). Dalam Islam, „Uli al-„Amr‟ ialah (orang yang memiliki kemampuan
dalam memerintah sesuai dengan pengetahuan Ilahi), yang telah didelegasikan wewenang membuat
keputusan untuk menentukan kebijakan, aturan dan hukum (Beekun & Badawi, 1999).
Kepemimpinan perempuan didefinisikan sebagai tingkat kontrol perempuan dalam posisi
pengambilan keputusan, kontrol atas alokasi sumber daya, penentuan kebijakan, peraturan dan
hukum. Ini mengacu pada otoritatif perempuan yang memegang posisi teratas untuk membuat
keputusan akhir dengan metode sederhana, sistematis dan terstandar untuk mengukur kemajuan
nasional dan untuk membandingkan situasi di berbagai negara (Wadud, 1999).
„Kepemimpinan‟, menurut definisi Don Clark, “adalah proses kompleks di mana seseorang
memengaruhi orang lain untuk menyelesaikan misi, tugas, tujuan dan mengarahkan organisasi
dengan cara membuatnya lebih kohesif dan koheren”. Ini adalah kemampuan untuk membuat orang
mengikuti secara sukarela dan mempengaruhi perilaku manusia untuk menyelesaikan apa yang

57 Vol. 4 No. 1 Tahun 2021


Mufarikhin, Siti Malaiha Dewi

diinginkan dan ditentukan oleh pemimpin. Kepemimpinan kemudian diklasifikasikan menjadi tiga
jenis: kepemimpinan otoriter, partisipatif atau demokratis dan delegatif (Olifiansyah et al., 2020).
Namun kepemimpinan perempuan juga dapat dilihat dari berbagai sudut pandang;
perempuan akan memiliki akses penuh ke partisipasi agama, ekonomi, sosial, politik dan intelektual
yang memungkinkan pertumbuhan dan perluasan individu dan berdampak bagi masyarakat luas.
Dari perspektif agama, perempuan dapat berperan serta dalam mengembangkan pertumbuhan
ekonomi untuk pengentasan kemiskinan, menegakkan keadilan sosial, dan menstabilkan sistem
politik untuk pemerintahan yang baik. Dari perspektif umat Muslim misalnya, memperbolehkan
perempuan menjadi hakim di pengadilan, memproduksi produk pertanian, dan membantu tentara
yang terluka selama perang. Seorang perempuan yang memenuhi syarat dapat mengambil jalan
untuk memimpin sebuah negara, hal ini terlihat dalam kasus perdana menteri atau presiden dari
berbagai masyarakat negara Muslim sebagai cara untuk menunjukkan efisiensi dan menunjukkan
kesetiaan kepada bangsa. Dalam sejarah kepemimpinan perempuan, pemisahan total terkait jenis
kelamin bukanlah sistem Islam yang asli dan asal mula praktik ini justru berakar pada kebiasaan
orang non-Muslim (Siddique, 2000).
Hal yang ditekankan di sini adalah bahwa sebagian ulama melarang kepemimpinan
perempuan karena dianggap bertentangan dengan sifat asli dan kualitas bawaan yang dianugerahkan
oleh Allah SWT, yang dapat berakibat kehancuran sosial dalam masyarakat Islam. Perempuan
dalam masyarakat kontemporer yang berkontribusi bagi kemanusiaan untuk mencapai tujuan yang
bersifat politik, agama, dan ideologis juga diyakini tidak sah dan terlarang yang mengarah pada
kehancuran sosial dan jalan menyimpang dari jalan yang benar. Islam melarang segala macam
pembauran antar jenis kelamin dan mereka wajib menjaga urusan rumah tangga, keluarga, dan anak
(Fata, 2015).
Namun dalam konteks saat ini, kepemimpinan perempuan membuktikan kemampuan dan
efisiensi dalam memimpin bangsa. Memang, fakta terkait pertanyaan tersebut harus lebih jauh
disorot, misalnya dengan keberhasilan Benazir Bhutto pada tahun 1989 di Pakistan dan Khaleda Zia
pada tahun 1991 & 2001, Sheikh Hasina pada tahun 1996 dan 2009 di Bangladesh sebagai kepala
pemerintahan masing-masing. Terlebih lagi, baru-baru ini beberapa perempuan di Afrika Selatan
dan belahan dunia Muslim lainnya juga melakukan hal serupa berupa kampanye yang menuntut hak
kepemimpinan. Penegasan terhadap kepemimpinan perempuan yang dimana perempuan harus
bekerja dan berkontribusi untuk kepentingan umum serta seluruh umat manusia.

58 Politea : Jurnal Pemikiran Politik Islam


Analisis Kepemimpinan Perempuan Muslim dalam Konteks Kontemporer

Sejarah Singkat Kepemimpinan Perempuan


Penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan dapat ditemukan di sepanjang
sejarah kemanusiaan. Meskipun tidak mungkin untuk menceritakan secara menyeluruh terkait
kepemimpinan perempuan dalam usia kepemimpinan dan periode yang berbeda tetapi kita dapat
mengambil sedikit contoh terkait gambaran yang benar tentang perempuan dalam nilai-nilai Islam
sebagai agama universal dan jalan hidup yang utuh yakni berlaku sama bagi semua laki-laki dan
perempuan, yang merupakan khalifah Allah SWT di muka bumi untuk beribadah dan mengabdi
pada kemanusiaan. Laki-laki dan perempuan setara dalam tanggung jawab agama dan sipil seperti
memegang pejabat tinggi pemerintah, berpartisipasi dalam pembangunan bangsa bahkan juga dalam
mengurus urusan rumah tangga. Muhammad Sharif berkomentar bahwa Alquran mengutuk secara
terbuka dan tegas aturan Firaun Mesir yang adalah seorang laki-laki, tetapi tidak mengungkapkan
sedikitpun ketidaksetujuan terhadap penguasa yang adalah seorang perempuan (Wadud, 1999). Jadi,
bukan jenis kelamin penguasa yang penting, tetapi fakta, sifat dan aturan yang berdampak
signifikan. Keadaan berbeda mungkin muncul bagi umat Muslim ketika pemerintahan yang baik
dan demokratis dari seorang perempuan seperti Ratu Sheba mungkin lebih disukai daripada
pemerintahan dzalim dan tirani dari seorang laki-laki seperti Firaun Mesir.
Dalam sejarah Muslim modern, perempuan memainkan peran penting dalam memimpin
negara dan masyarakat yang telah dipilih oleh rakyat dan memerintah bangsa sebagai perdana
menteri dengan bijaksana dan efisien seperti pada abad ketiga belas, Razia Sultana, putri Sultan
Iltutmish di India, dan Shajrat-ul-Darr, putri Raja Nizam-ud-Din di Mesir. Chand Bibi di bagian
selatan India pada abad ke-16, Sutt-ul-Mulk, putri Khalifah Al-Aziz Billah di Mesir pada abad ke-
11 M dan Ratu Shahjahan Begum dari Bhopal di India pada awal abad ke-20, adalah kepala negara.
Pengambilan kebijakan mereka tidak pernah ditentang atau ditantang oleh salah satu dari ulama
terkemuka pada periode kepemimpinan mereka. Dan tidak ada ahli hukum atau ulama terkemuka
yang memberikan fatwa yang menyatakan pemerintahan mereka sebagai haram (melanggar
hukum). Kepemimpinan perempuan akhir-akhir ini juga semakin akrab dalam lingkup
kemasyarakatan skala besar yang tidak terlepas dari dukungan oleh ulama terkemuka, calon
presiden Fatima Jinnah pada tahun 1964 di Pakistan, Perdana Menteri terpilih Benazir Bhotto di
Pakistan pada tahun 1989, Perdana Menteri terpilih Bangladesh pada tahun 1991 dan 2001,
didukung oleh Jama‟at-e-Islami Bangladesh, dan Perdana Menteri terpilih Sheikh Hasina pada 2006
dan 2009. Pada 2001-2004 Megawati Sukarnoputri sebagai presiden di Indonesia terpilih, pada
1993 Tansu Ciller terpilih sebagai Perdana Menteri di Turki, pada 2011 Atifete Jahjaga di Kosovo
terpilih sebagai presiden, pada 2010 Roza Otunbayera di Kyrgyzstan terpilih sebagai presiden, pada
2001 Mame Madior Boye di Senegal terpilih sebagai perdana menteri, dan pada 2007 Nadia

59 Vol. 4 No. 1 Tahun 2021


Mufarikhin, Siti Malaiha Dewi

Yasmine atas nama Justice and Charity Party di Maroko adalah seorang juru kampanye untuk
oposisi (Kausar, 2002).
Dalam masyarakat kontemporer, kepemimpinan perempuan diterima oleh banyak kelompok
agama di banyak negara mayoritas Muslim, seperti Indonesia, Malaysia, Bangladesh, Pakistan, Iran,
Mesir, Maroko, Turki, dan Arab Saudi. Pembenaran kepemimpinan perempuan dalam Berbagai
sektor tidak didasarkan pada pandangan para ulama klasik tetapi terdiri dari pemberdayaan
perempuan untuk menjaga hak-hak dasar mereka dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan
bangsa. Kepemimpinan perempuan sangat potensial dalam konteks kekinian yang membawa
perubahan dan kemakmuran dalam kehidupan manusia, harta benda, dan martabat. Dalam hal ini,
semua ulama harus menunjukkan pendirian Islam yang konkret dengan pedoman agar perempuan
yang memenuhi syarat dapat berpartisipasi dalam pembangunan bangsa. Situasi saat ini menuntut
upaya yang serius untuk menghasilkan pedoman berbasis nilai-nilai Islam oleh otoritas masing-
masing. Yang bertujuan untuk menghadirkan persamaan hak perempuan dan untuk membangun
perdamaian dan keadilan dalam masyarakat untuk seluruh umat manusia sebagai hamba dan
khalifah yang diutus Allah SWT di bumi (Bennett, 2005).

Pemikiran Para Tokoh Islam Indonesia tentang Kepemimpinan Perempuan Muslim


Pada awal abad kedua puluh, reformis ulama‟ Timur Tengah dan Asia, seperti India, Mesir,
Suriah, Arab Saudi, hingga Indonesia berpendapat bahwa interpretasi kontemporer harus didasarkan
pada teks-teks Islam Al-Qurʾān, sunnah, dan hadist dan pada kemampuan para cendekiawan muslim
untuk terhubung dengan audiens awam, juga sebagai kapasitas mereka untuk memahami dan
menafsirkan teks-teks Islam. Argumen reformis awal abad ke 20 yang kontemporer banyak
menginterpretasikan Islam harus didasarkan terutama pada teks sumber dan bukan pada putusan
sebelumnya yang secara tidak sengaja, tetapi secara signifikan menghasilkan interpretasi
kepemimpinan yang otoritatif (Moghadam & Haghighatjoo, 2016).
Munculnya kembali dan perluasan kepemimpinan perempuan di berbagai komunitas Muslim
sangat penting untuk sejumlah alasan. Kepemimpin perempuan mewakili pergeseran struktural
otoritas Islam, karena mereka telah meningkatkan kehadiran perempuan di ruang publik maupun
ruang kegamaan. Akhirnya, perkembangan kepemimpinan perempuan secara inheren juga terkait
dengan sosial, agama, dan perubahan politik yang berdampak pada masyarakat Muslim sejak awal
abad kedua puluh (EI-gousi, 2010). Untuk memahami sepenuhnya tren yang lebih besar ini, peran
perempuan dan dampaknya terhadap masyarakat dan agama harus dipertimbangkan. Sebaliknya,
kepemipinan perempuan pada saat ini menawarkan kepada para cendekiawan Muslim lensa untuk
melihat sifat perubahan praktik sosial dan keagamaan Muslim. Pemeriksaan ide dan praktek banyak
dari perempuan-perempuan ini tidak hadir dari cendekiawan muslim klasik. Oleh karena itu,

60 Politea : Jurnal Pemikiran Politik Islam


Analisis Kepemimpinan Perempuan Muslim dalam Konteks Kontemporer

penting kiranya melihat pandangan cendekiawan muslim kontemporer dalam isu kepemimpinan
perempuan. Penelitian ini akan mengangkat bacaan dan wacana baru tentang partisipasi perempuan,
menurut pandangan Muhammad Quraish Shihab dan Kiai Husen Muhammad. Karena selama ini,
wacana yang berkembang khususnya di Indonesia perempuan selalu dinafikan di bawah kaum laki-
laki. Isu dan tindakan yang seperti inilah, yang seharusnya dilakukan oleh kaum perempuan sendiri
demi mengubah realitas politik yang mendiskriditkan terhadap peran politik perempuan saat
sekarang ini. Karena tidak menutup kemungkinan, banyak kaum perempuan yang lebih mampu di
atas kaum laki-laki. Persoalan ini juga harus menjadi pelajaran bagi seluruh warga negara, tanpa
membedakan ia laki-laki atau perempuan. Demi terciptanya realitas politik yang ramah dan
mencerminkan rasa keadilan dan persamaan kedudukan atas sesama manusia, laki-laki ataupun
perempuan (Keddie, 1990).

Latar Belakang Intelektual Muhammad Quraish Shihab


Muhammad Quraish Shihab ialah penulis dari kitab Tafsir al-Misbah, lahir di Rampang,
Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1944. Sejak kecil, M. Quraish Shihab telah menjalani
pergumulan dan kecintaan terhadap al-Qur‟an. Pada umur 6-7 tahun, ia harus mengikuti pengajian
al-Qur‟an yang diadakan ayahya sendiri. Pada waktu itu, selain menyuruh membaca al-Qur‟an,
ayahnya juga menguraikan secara sepintas tentang kisah-kisah dalam al-Qur‟an. Di sinilah mulai
tumbuh benih-benih kecintaan Quraish Shihab kepada al-Qur‟an. Pada tahun 1958, ketika berusia
14 tahun, ia berangkat ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan studi, dan diterima di kelas II
Tsanawiyah Al-Azhar. Setelah itu ia diterima sebagai mahasiswa di Universitas Al-Azhar dengan
mengambil jurusan Tafsir dan Hadits, Fakultas Ushuluddin hingga menyelasaikan Lc pada tahun
1967. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya pada fakultas dan jurusan yang sama hingga
memperoleh gelar master (MA) pada tahun 1969 (Marzaniatun, 2016).
Pada tahun 1980, M. Quraish Shihab kembali melanjutkan pendidikanya di Universitas al-
Azhar, dan menulis disertasi yang berjudul Naẓm al-Durar li al-Baqā‟ī Taḥqīq wa Dirāsah sehingga
pada tahun 1982 berhasil meraih gelar doktor dalam studi ilmu-ilmu Alquran dengan yudisium
Summa Cumlaude, yang disertai dengan penghargaan tingkat 1 (Mumtaz Ma‟a Martabat al-syaraf
al-Ula). Dengan demikian ia tercatat sebagai orang pertama dari Asia Tenggara yang meraih gelar
tersebut. Dan kini, aktivitasnya adalah Guru Besar Pascasarjana UIN Syarif Hidatatullah Jakarta
dan Direktur Pusat Studi Alquran (PSQ) Jakarta (Marzaniatun, 2016).
Beberapa buku karya M. Quraish Shihab diantaranya adalah: Tafsir Al-Mishbah, Wawasan
Al-Qur‟an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, Membumikan Al-Qur‟an, Lentera Hati:
Kisah dan Hikmah Kehidupan, Lentera Al-Qur‟an, Filsafat Hukum Islam, Secercah Cahaya Ilahi:

61 Vol. 4 No. 1 Tahun 2021


Mufarikhin, Siti Malaiha Dewi

Hidup Bersama Al-Qur‟an, Pengantin Al-Qur‟an, Tafsir Al-Manar: Keistimewaan dan


Kelemahannya, Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam Islam.

Pemikiran M. Quraish Shihab tentang Kepemimpinan Perempuan Muslim


Kepemimpinan Islam menurut M. Quraish Shihab tidak hanya berdasar pada pada kemasan
semata, yang bahkan dalam prakteknya justru tidak nampak esensi ke-Islamanya maka hal tersebut
bukanlah gambaran kepemimpinan Islam sebenarnya. Bahkan jika pelaku dari kepemimpinan
bukan Muslim sekalipun, akan tetapi menggambarkan dan mengimplementasikan jiwa-jiwa Islam
maka dapat disimpulkan sebagai bentuk kepemimpinan Islam walaupun tidak terwadah dalam
pemerintahan Islam. Kepemimpinan dalam pandangan Islam. Kepemimpinan dalam pandangan
Islam sering di istilahkan dengan beberapa istilah, yaitu imamah, khilafah, ulul amri, amir, wali dan
ra‟in. Berdasarkan analisis dari kata kunci tentang istilah pemimpin dalam Islam, maka dapat
disimpulkan bahwa pemimpin Islam yang Ideal hendaknya memiliki karakter ideal dalam
memimpin sebuah kegiatan organisasional, baik dalam konstelasi politik, hukum, ekonomi dan
bisnis bahkan tata negara maupun pemerintahan. Karakter Ideal yang disarikan dalam Tafsir al-
Mishbah meliputi aspek adil, memegang hukum Allah SWT, toleransi, memiliki pengetahuan, sehat
jasmani dan rohani, mempunyai pandangan kedepan (visioner), mempunyai keberanian dan
kekuatan, mempunyai kemampuan dan wibawa. Prinsipnya, adalah setiap orang yang memiliki
kredibilitas untuk menengahi-nengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa
memandang jenis kelamin, entah laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan hukumnya legal
dan sah-sah saja(Wartini, 2013).

Latar Belakang Intelektual KH. Husein Muhammad


KH. Husein Muhammad adalah seorang kiayi-intelektual-aktivis gender, pluralisme, dan
HAM. Pemikirannya banyak dijadikan rujukan. Dia lahir di Cirebon (dan sampai saat masih
menetap di sana), pada tanggal 9 Mei 1953. Setelah menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren
Lirboyo Kediri, Jawa Timur (1973) dia melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur‟an
(PTIQ) di Jakarta. Dia menyelesaikan pendidikan tersebut pada tahun 1980. Selepas itu, dia
meneruskan pengembaraan keilmuannya ke Mesir, tepatnya di Al-Azhar, Kairo.
Salah satu hal yang menarik dari KH. Husein Muhammad adalah karena dia dijuluki sebagai
“kiayi gender”. Tidak dijelaskan secara rinci siapa yang menyematkan dan kapan julukan itu mulai
“disandangnya”. Hal ini tentu tidak lepas dari perhatian besarnya terhadap isu gender di republik ini
secara khusus, dan di dunia global secara lebih universal. Sejalan dengan ini, untuk menyebarkan
ide-idenya, dia aktif dalam pelbagai pelatihan, lokakarya, dan seminar, baik tingkat nasional
maupun internasional. Berkat kiprahnya yang luar biasa, KH. Husein Muhammad pernah menerima

62 Politea : Jurnal Pemikiran Politik Islam


Analisis Kepemimpinan Perempuan Muslim dalam Konteks Kontemporer

penghargaan dari Bupati Kabupaten Cirebon sebagai Tokoh Penggerak, Pembina, dan Pelaku
Pembangunan Pemberdayaan Perempuan.
Basis pemikiran KH. Husein Muhammad, sebagaimana diakuinya sendiri, adalah
pemahamannya tentang kitab-kitab klasik (turāts). Sejurus dengan itu, dapat ditelisik dalam karya-
karyanya yang sebagian besar merujuk kepada turāts, bukan sekadar karya berbahasa Indonesia.
Disebabkan oleh basis pemahaman yang arabis tersebut, KH. Husein Muhammad di saat yang sama
tidak banyak menyertakan referensi berhahasa Inggris. Lepas dari itu, dalam pengamatan penulis,
fokus dan pemahamannya terhadap kitab-kitab klasik sangat luar biasa. Jadi, tidak mengherankan
kalau dia memutuskan untuk menjadi pengasuh pesantren, sebuah lembaga yang tentu saja dekat
kajian kitab kuning (ZARKASIH, 2019).
Sebagai intilektual muda yang memiliki kemampuan dalam bidang jurnalistik dan
mempunyai kemampuan dalam berbahasa Arab, maka ia telah membuat dan menerbitkan buku
serta menerjemahkan buku-buku ke dalam bahasa Indonesia. Dengan kemampuannya itu, ia cukup
produktif dalam menulis maupun menerjemahkan buku. Secara umum karya-karya Kiai Husen
Muhammad dibagi menjadi dua bagian yaitu: Karya tulis Ilmiah: Metodologi Kajian Kitab Kuning
„Pesantren Masa Depan‟, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai Atas wacana dan Gender, Taransformasi
Paradigma Bahtsul Masail, Kelemahan dan Fitnah Perempuan „dalam Moqsith Ghazali, et. all
Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan‟, Kebudayaan yang Timpang „dalam K.M.
Ikhsanuddin, dkk, Panduan pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren‟, Islam Agama Ramah
Perempuan: Pembebasan Kiai Pesantren (Yogyakarta. LKiS, 2004), Pemikir Fiqh yang Arif dalam
K.H. MA. Sahal Mahfudh, Wajah Baru Fiqh Pesantren, Potret Penindasan atas nama Hasrat dalam
Soffa Ihsan „In the Name of Sex: Santri, dunia kelamin, dan Kitab Kuning‟, Kembang Setaman
Perkawinan: Analisis Kritis Kitab Uqud al-Lujain, Spritualitas kemanusiaan, Islam Progresif:
Refleksi Kritis Kiai Pesantren terhadap wacana Kemanusiaan, Membongkar Konsepsi Fiqh
Perempuaan „dalam Syafiq Hasyim Hisyam: Kepemimpinan Perempuan dalam Islam‟ (Yanggo,
2016).

Pemikiran KH. Husein Muhammad tentang Kepemimpinan Perempuan Muslim


Dalam menganalisis tentang bagaimana konsep pemikiran KH. Husein Muhammad tentang
kepemimpinan perempuan, KH. Husein Muhammad menjadikan buku yang berjudul Fiqh
Perempuan: Refleksi Kiai terhadap Wacana Agama dan Gender sebagai rujukan utamanya. Buku
tersebut, oleh KH. Husein Muhammad memang diberi judul “fiqh” tetapi isinya tidak sama persis
dengan model kitab fiqh yang ditulis oleh ulama-ulama klasik. KH. Husein Muhammad lebih
mengedepankan fiqh yang berorientasi kepada masalah kekinian dan pada saat yang sama
memberikan catatan (kritis) terhadap (kemapanan) fiqh hasil kodifikasi masa lampau.

63 Vol. 4 No. 1 Tahun 2021


Mufarikhin, Siti Malaiha Dewi

Buku Fiqh Perempuan karya KH Husein Muhammad tersebut merupakan hasil dari
kumpulan tulisan lepas dari berbagai sumber dari yang disampaikan dalam banyak seminar. Apabila
buku tersebut dibaca secara teliti akan didapatkan “benang merah” yang membentuk pemikiran
yang utuh dan sistematis dalam kaitannya dengan fiqh perempuan dalam perspektif keadilan
gender. Lebih luas lagi, bingkai pemikiran KH. Husein Muhammad sebenarnya tidak berbeda jauh
dengan apa yang dituliskan dalam karya lain, misalnya, dalam buku Mengaji Pluralisme kepada
Mahaguru Pencerahan (ZARKASIH, 2019).
Dalam bukunya tersebut, KH. Husein Muhammad menulis kajian khusus tentang
kepemimpinan sosial politik perempuan. Pada tulisan tersebut, kunci atau “benang merah”
pikirannya tentang kepemimpinan perempuan sangat kentara dan mengemuka. Hal ini karena pada
hakikatnya, dari logika yang dia bangun dari mulai pengantar dan bagian awal buku sudah
mengindikasikan kepada apresiasi terhadap kepemimpinan perempuan. Dia mencoba untuk
memberikan cacatan yang membangun terhadap logika penafsiran yang lebih banyak memosisikan
perempuan dalam bingkai yang tidak menguntungkan.
Membaca rangkaian tulisan KH. Husein Muhammad dalam buku yang dimaksud akan
menguatkan dan mempertegas posisinya dalam hal kepemimpinan perempuan. Bagi KH. Husein
Muhammad, realitas yang terjadi saat ini secara tidak langsung sudah membantah “sakralitas”
penafsiran masa lalu. Pada kenyataannya yang ada masa sekarang, perempuan memiliki
kemampuan memimpin sebagaimana yang dimiliki oleh laki-laki. Dalam kacamata lain, perempuan
tidak selalu identik dengan sikap emosional tetapi juga sudah mampu berpikir rasional secara baik
dan ideal. Di samping itu, sejak dahulu banyak pemimpin perempuan yang sebenarnya telah
berhasil menjadi seorang pemimpin.
KH. Husein Muhammad menegaskan bahwa hal yang paling mendasar dalam suatu
kepemimpinan adalah kemampuan dan intelektualitas. Dua hal tersebut dapat dimiliki oleh siapapun
tanpa memandang jenis kelaim, baik laki-laki maupun perempuan. Ringkasnya, baik laki-laki
maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi seorang pemimpin berdasarkan
pertimbangan kapabilitas dan intelektualitas tersebut. Pandangan yang menyatakan bahwa
perbedaan jenis kelamin menjadi halangan untuk memimpin tidak selaiknya dipertahankan karena
kepemimpinan adalah demi kemaslahatan. Dalam rangka mencapai kemaslahatan tersebut maka
siapa yang paling mampu dialah yang lebih berhak (Basri, 2018).
Selanjutnya, KH. Husein Muhammad menegaskan secara mutlak bahwa kegagalan dan
keberhasilan kepemimpinan sebenarnya tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin. Kegagalan dan
keberhasilan kepemimpinan sebenarnya lebih disebabkan oleh kemampuan dalam memimpin (skill
kepemimpinan). Dalam suasana dimana perempuan sudah dapat berpikir maju sebagaimana laki-
laki dan tidak lagi kekhawatiran akan kelemahan perempuan maka perempuan pun memiliki

64 Politea : Jurnal Pemikiran Politik Islam


Analisis Kepemimpinan Perempuan Muslim dalam Konteks Kontemporer

kesempatan dan peluang untuk menjadi pemimpin. Sebab, lebih tegas lagi, kepabilitas
kepemimpinan yang menentukan berhasil-gagalnya sebuah tatanan kepemimpinan.
Di bagian akhir tulisannya tentang kepemimpian sosial perempuan, KH. Husein Muhammad
menulis sub tentang “Dekonstruksi Fiqh Presiden Perempuan”. Setelah berargumentasi secara
panjang lebar, dia berkesimpulan bahwa: “Dengan kata lain, keputusan ijma‟ (konsensus) dapat
diubah apabila nilai kemaslahatan di mana hukum yang harus ditegakkan di atasnya telah berubah.
Jadi, sekali lagi, tidak ada persoalan apakah seseorang presiden harus laki-laki atau perempuan.
Perempuan dapat menjadi presiden jika kemaslahatan bangsa menghendakinya. Sebaliknya, laki-
laki tidak layak menjadi presiden apabila ia dapat membawa kesengsaraan dan penderitaan
rakyatnya”.
Terakhir, KH. Husein Muhammad banyak memberikan catatan (kritis) terhadap turāts.
Sebagai contoh, dia memberikan komentar terhadap kitab „Uqūdu al-Lijjain fi Bayāni Huqūqi az-
Zaujain. Kitab karangan Imam Nawawi al-Bantani tersebut banyak menjadi rujukan di kalangan
pesantren, dari dahulu sampai saat ini. Kitab tersebut dalam pandangan KH. Husein Muhammad
sudah barang tentu memengaruhi sikap dan pandangan-pandangan masyarakat pembacanya. Dalam
rangka memeroleh pandangan yang lebih ideal maka disarankan untuk merujuk kepada sumber-
sumber lain, khususnya yang kontemporer (Hanapi, 2018).

Membandingkan Pemikiran M. Quraish Shihab dan KH. Husein Muhammad


Seperti yang ditulis dalam pengantar, M. Quraish Shihab dan KH. Husein Muhammad
adalah sosok cendekiawan muslim kontemporer. Oleh karena itu, beberapa kisi pemikiran terkait
Syariat Islam dikategorikan sebagai sesuatu yang berbeda dari hukum ulama klasik. Penulis hanya
memberikan gambaran gagasan M. Quraish Shihab dan KH. Husein Muhammad tentang
kepemimpinan perempuan muslim dalam konteks kontemporer dan juga memetakan pemikiran
keduanya dari berbagai aspek yang pada akhirnya menghasilkan kesimpulan pemikiran tentang
kepemimpinan perempuan muslim.
Menurut M. Quraish Shihab, salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran
Islam adalah persamaan antara manusia, baik laki-laki dan perempuan maupun antar bangsa, suku,
dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan kemudian meninggikan atau sebaliknya
merendahkan derajat seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Selain dari pengabdian dan ketakwaan hakikatnya manusia sama di hadapan Allah.
Perbedaan geografis, kultural, warna kulit, dan seterusnya tidak dapat dijadikan ukuran substantif
untuk membeda-bedakan manusia satu sama lainnya (Marzaniatun, 2016).
Pemahaman awal bahwa pada hakikatnya manusia itu sama disitir juga oleh KH. Husein
Muhammad. Dia, misalnya, (juga) mengutip QS. al-Hujurāt [49] ayat 13 tersebut sebagai landasan

65 Vol. 4 No. 1 Tahun 2021


Mufarikhin, Siti Malaiha Dewi

bahwa semua insan memiliki kesempatan yang sama dalam hidupnya. Lebih lanjut dia mengatakan
bahwa cita-cita Al-Qur‟an adalah demi terciptanya sebuah kehidupan manusia yang bermoral, yang
menghargai nilai-nilai kemanusia universal. Nilai-nilai universal tersebut tiada lain adalah keadilan,
persamaan, kemaslahatan, dan seterusnya. Sebagai akibat positifnya, diskriminasi dan penyudutan
dalam kehidupan adalah hal lain yang harus ditolak (Soal Kepemimpinan Kontemporer Dan Ulama
Yang Bermasyarakat, n.d.).
Ulasan dalam bab sebelumnya sudah sangat jelas bahwa antara M. Quraish Shihab dan KH.
Husein Muhammad memiliki konsep umum yang sama tentang kepemimpinan perempuan.
Keduanya mengapresiasi peran aktif perempuan dalam kepemimpinan karena akan membawa
kemaslahatan dan dampak yang positif. Dalam bab ini akan penulis paparkan ide pokok dalam
rancang-bangun pemikiran keduanya tentang kepemimpinan perempuan.

Tabel Pemikiran M. Quraish Shihab dan KH. Husein Muhammad tentang Kepemimpinan
Perempuan Muslim

Subyek dari M. Quraish Shihab KH. Husein Muhammad


pemikiran
Al-Qur’an Kepemimpinan untuk setiap unit Argumen untuk seluruh persoalan
Surat an-Nisā’ merupakan suatu yang mutlak, lebih- peran perempuan, pertama-tama
[4] ayat 34 lebih bagi setiap keluarga, karena mereka mengacu pada QS. an-Nisā‟ [4]: 34,
selalu bersama dan merasa memiliki yang menyatakan: “Laki-laki adalah
pasangan dan keluarganya didalam Surat qawwām atas perempuan...” tersebut
an-Nisa ayat 34, dijelaskan bahwa lelaki (Muhammad, 2012). Beragam
sebagai pemimpin dalam keluarga, pendapat ulama yang diutarakannya
dengan dua pertimbangan. Pertama: memang memberikan pengertian
“karena Allah melebihkan sebahagian akan betapa berkuasanya laki-laki
mereka atas sebahagian yang lain” yakni terhadap perempuan. Dewasa ini,
masing-masing memiliki keistimewaan menurutnya, hal tersebut sudah
keistimewaan. Tetapi keistimewaan yang terbantahkan oleh kenyataan dimana
dimiliki lelaki lebih menunjang tugas telah banyak perempuan yang
kepemimpinan dari pada keistimewaan berhasil melakukan tugas-tugas yang
yang dimiliki perempuan. Kedua: “karena selama ini dianggap hanya mampu
mereka (laki-laki) telah menafkahkan dilakukan dan dimonopoli kaum
sebagian dari harta mereka”. Kalimat ini laki-laki (Ibid).
menunjukkan bahwa memberi nafkah

66 Politea : Jurnal Pemikiran Politik Islam


Analisis Kepemimpinan Perempuan Muslim dalam Konteks Kontemporer

kepada perempuan telah menjadi suatu


kelaziman bagi lelaki.
Hadits Quraish Shihab berpandangan lain bahwa Menurut KH. Husein Muhammad,
Riwayat Abu hadith tersebut tidak bersifat umum, yang makna Hadits Riwayat Abu Bakrah
Bakrah dapat dibuktikan dari redaksi hadith kalau dikaitkan dengan fakta-fakta
tersebut secara utuh, yang membicarakan sejarah yang ada tidak dapat
masalah penduduk Persia ketika itu, dipertahankan. Pasalnya, sejumlah
bukan terhadap semua masyarakat dan pemimpin perempuan telah terbukti
dalam semua urusan. Hadith ini berhasil memimpin secara gemilang.
dikategorikan hadith sahih tetapi Hal itu bahkan terjadi sejak Islam
mempunyai latar belakang sejarah yang dibawa oleh Nabi Muhammad
tersendiri (sabab wurud) sehingga tidak SAW belum lahir. Hadith ini
bisa serta merta langsung digunakan diucapkan dalam kerangka
sebagai dalil umum. Hadith ini pemberitahuan, sebuah informasi
dipopulerkan oleh Abu Bakrah, yang yang disampaikan Nabi SAW
diperhadapkan oleh suatu kondisi sulit, di semata, dan bukan dalam kerangka
mana harus memilih antara mendukung legitimasi hukum. Dia menegaskan
Ali, suami Fatimah atau mendukung bahwa hadith ini tidak memiliki
„Aisyah, istri Nabi saw. Dalam poisisi relevansi hukum.
seperti ini, Abu Bakrah mempopulerkan
hadith di atas karena ia berdiri di pihak
„Ali.
Konsep Laki-laki dan perempuan juga sama dan Bagi KH. Husein Muhammad,
Kepemimpinan setara di hadapan Allah swt swt swt. perempuan sebenarnya dapat
Laki-laki dan Memang dalam al-Quran terdapat ayat bersikap sebagaimana adanya laki-
Perempuan yang berbicara tentang laki-laki sebagai laki. Dalam konteks logika
pemimpin para perempuan (Q.S. An-Nisa kepemimpinan perempuan yang
(4) 34,) akan tetapi, kepemimpinan dibangun oleh KH. Husein
tersebut tidak boleh mengantarkan Muhammad dapat dilihat bahwa
kepada kesewewang-wenangan. Karena antara laki-laki dan perempuan
al-Quran di satu sisi memerintahkan memiliki basis tabiat yang sama.
untuk tolong-menolong antara laki-laki
dan perempuan pada sisi yang lain al-
Quran juga memerintahkan untuk
berdiskusi dan musyawarah dalam

67 Vol. 4 No. 1 Tahun 2021


Mufarikhin, Siti Malaiha Dewi

persoalan mereka.
Logika Kata ‫ ال رجال‬ar- rijâl adalah bentuk jamak KH. Husein Muhammad sebenarnya
Kebahasaan dari kata ‫رجل‬ rajul yang biasa memiliki kompetensi yang tidak
(Linguistik) diterjemahkan lelaki, walaupun al-Quran diragukan lagi dalam masalah
tidak selalu menggunakanya dalam arti kebahasaan, dalam hal ini bahasa
tersebut banyak ulama yang memahami Arab. Sayangnya, dalam paparannya
kata ar-rijal dalam ayat ini arti para tentang kepemimpinan perempuan
suami. Kata ar-rijalu Qouwamuna yang merujuk Surat an-Nisā‟ [4]: 34,
„alannisa, bukan berarti lelaki secara dia tidak menyertakan telaah
umum karena konsideran pernyataan linguistik tentang “ar-rijāl” dan “an-
diatas, seperti ditegaskan pada lanjutan nisā‟”.
ayat, adalah “karena mereka (para suami)
menafkahkan sebagian harta mereka”,
yakni untuk istri-istri mereka. Seandainya
yang dimaksud dengan kata “lelaki”
adalah kaum pria secara umum, maka
tentu konsiderannya tidak demikian.
Lebih-lebih lagi lanjutan ayat tersebut
dan ayat berikutnya secara amat jelas
berbicaara tentang para istri dan
kehidupan rumah tangga.

Pentingnya Kepemimpinan Perempuan dalam Konteks Kontemporer


Berdasarkan pembahasan di atas, jelas terlihat bahwa kepemimpinan perempuan
dipersepsikan sebagai pedoman yang tidak konkrit dari sudut pandang agama. Perempuan sebagai
setengah organ masyarakat tidak boleh diabaikan dan oleh karena itu diijinkan untuk
mengangkatnya sebagai pemimpin dalam paradigma syari'at. Kualitas dan kemampuannya adalah
anugerah Tuhan dan oleh karena itu memungkinkan untuk memimpin orang, masyarakat dan
bangsa demi kesejahteraan umat manusia. Namun di sisi lain, menutupi aurat bagi perempuan
dalam Islam merupakan kewajiban Islam demi Allah untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai
hamba dan khalifah Allah di muka bumi karena di mata Allah, baik laki-laki maupun perempuan
sama dalam hal ganjaran dan hukuman, ukuran afirmatif dan ukuran perlindungan, fisik dan
spiritual, dan biologis.
Saat ini, penting bagi cendekiawan Muslim untuk membuat pendirian terkait hal tersebut
dari perspektif Islam yang jelas kepada semua masyarakat tentang masalah kepemimpinan

68 Politea : Jurnal Pemikiran Politik Islam


Analisis Kepemimpinan Perempuan Muslim dalam Konteks Kontemporer

perempuan dalam Islam untuk memberi manfaat bagi umat manusia dari kontribusi mereka.
Masyarakat Muslim harus mengklarifikasi kesalahpahaman tentang kepemimpinan perempuan
mereka sendiri. Mereka percaya bahwa konsepsi yang salah yang terjadi saat ini di masyarakat
karena kesalahpahaman terhadap ajaran agama, faktor diskriminasi, dan dakwah barat yang
semuanya bersumber dari kepentingan diri sendiri.
Dalam konteks modern, Sultana Razia naik tahta dinasti Mameluk pada 1236 M. yang
paling memenuhi syarat di antara tiga anak Mamluke karena dia mengakui jasa perempuan dan
berkata: “Anak laki-laki saya tidak mampu memerintah, dan itulah mengapa saya memutuskan
bahwa anak perempuan saya harus memerintah setelah saya”. Pahala dan keadilan, bagi dia dapat
berjalan seiring. Di Iran, perempuan memainkan peran aktif yang tidak dapat disangkal dalam
kehidupan publik, tetapi pemerintah memang mengharuskan mereka untuk mengenakan cadar
(pakaian luar yang menutupi semua) untuk memastikan kepatuhan pada peraturan yang ada (Husain
Hamka, 2013).
Oleh karena itu, jika seorang perempuan muslimah dianjurkan untuk menunjukkan efisiensi
dan kemampuannya dalam memimpin masyarakat dan bangsa, hal tersebut harus diizinkan dan
akan menjadi cerminan umat. Percaya pada kemampuannya untuk mengatasi permasalahan terkait
kepemimpinan perempuan dan menjadi pemimpin yang adil. Berdasarkan pada asumsi keahlian
dalam memimpin suatu urusan itu, maka perempuan boleh menjadi pemimpin. Bukan saja dalam
tingkatan yang rendah, tetapi boleh menduduki jabatan publik di posisi puncak. Bukan saja sebagai
hakim seperti pendapat Abu Hanifah, tetapi bisa menjadi kepala negara sekalipun. Tegasnya, bahwa
perempuan boleh menjadi kepala negara, asalkan dia profesional atau cakap dalam memimpin
negara.
Dan dalam konteks kontemporer, kini orang sudah mulai melihat perlunya manusia bermulti
fungsi: seorang perempuan berpeluang untuk jadi ilmuan yang sukses, isteri yang penyayang,
sebagai ibu dan pendidik yang bijaksana, penulis yang berhasil serta pekerja sosial yang berbudi
luhur. Tekhnolog dan profesionalisasi telah memungkinkan perempuan untuk mendapatkan
keinginan dalam tugas rutin yang selama ini melilitnya. Dengan demikian terbuka peluang baginya
untuk lebih berpartisipasi dalam tugas-tugas kemasyarakatannya dan berpartisipasi dalam bidang
politik.
Untuk berperan dalam bidang politik maka tahap awal perlu diberikan kelonggaran posisi,
sehingga kaum perempuan dapat berperan dalam pembuatan kebijakan di setiap strata
pemerintahan. Di tingkat pusat, keputusan politik itu ada di tangan lembaga tertinggi dan lembaga
tinggi negara dan oleh karena itu perlu ada kelonggaran keberadaan perwakilan perempuan di
lembaga-lembaga terutama mengenai jumlahnya. Oleh karena itu, Lembaga Tertnggi dan Lembaga
Tinggi Negara merupakan suatu produk dan proses demokrasi melalui pemilihan umum, maka di

69 Vol. 4 No. 1 Tahun 2021


Mufarikhin, Siti Malaiha Dewi

dalam Undangundang tentang Pemilihan Umumpun perlu adanya ketentuan yang memberikan
kelonggaran terhadap peranan perempuan di dalam setiap Lembaga Pemerintah.

Simpulan
Kepemimpinan perempuan menjadi isu yang diperdebatkan karena fisik perempuan yang
dianggap identik dengan kelemahan, ketidakmampuan intelektual, sensasi emosional, kelembutan
dan keibuan. Dalam dunia kontemporer, kepemimpinan perempuan berkembang menjadi hal yang
positif. Kesan sebagai pemimpin yang cakap dan kualitatif yang memerintah negara sebagai
perdana menteri atau presiden dalam kepemimpinan perempuan. Kepemimpinan perempuan
diperbolehkan dalam Islam tetapi juga ada yang berpendapat dilarang sebagai kepala negara
meskipun tidak ada perintah konkret untuk mengizinkan atau menolaknya. Kepemimpinan
perempuan dapat memberikan kontribusi yang lebih banyak dan lebih baik kepada masyarakat jika
mereka diberi kesempatan, diberikan pelatihan yang tepat, lebih banyak ruang lingkup dan peluang
dengan rekan-rekan mereka untuk memperkuat posisi mereka dalam berpartisipasi dalam
pembangunan bangsa. Mereka juga bisa menjadi bagian dari kepemimpinan yang terampil dan
berkualitas. Bangsa Muslim harus memahami perlunya kontribusi mereka dalam konteks
kontemporer dan mengizinkan mereka sebagai separuh organ masyarakat dalam memimpin bangsa
dengan kerja sama yang tulus, saling pengertian, sesuai harkat dan martabat. Kepemimpinan
perempuan adalah hak sah mereka yang tidak terhalang dalam menyelesaikan masalah sosial-
budaya dan ekonomi-politik sesuai dengan kapasitas mereka. Konsekuensi kepemimpinan
perempuan menunjukkan bahwa fenomena ini tidak boleh dianggap sebagai larangan
kepemimpinan perempuan, tetapi diperbolehkan kepemimpinannya sesuai dengan kebutuhan
masyarakat kontemporer dalam paradigma syari'ah. Keadaan saat ini juga menuntut bahwa setiap
perempuan harus menjadi perempuan yang mandiri setidaknya dalam bagian hidupnya sendiri.

70 Politea : Jurnal Pemikiran Politik Islam


Analisis Kepemimpinan Perempuan Muslim dalam Konteks Kontemporer

DAFTAR PUSTAKA
Basri, H. (2018). Kepemimpinan Politik Perempuan Dalam Pemikiran Mufassir. Al Daulah : Jurnal
Hukum Pidana Dan Ketatanegaraan, 7(1), 51–66. https://doi.org/10.24252/ad.v7i1.5313
Beekun, R., & Badawi, J. (1999). The leadership process in Islam. Proteus-Shippensburg-, 16, 33–
38.
Bennett, L. R. (2005). Women, Islam and Modernity (Issue July).
https://doi.org/10.4324/9780203391389
EI-gousi, H. S. E. A. (2010). Women‟s Rights in Islam and Contemporary Ulama: Limitations and
Constraints. (Egypt as Case Study) (Issue November).
Fata, A. K. (2015). Kepemimpinan Dalam Perspektif Pemikiran Politik Islam. Jurnal Review
Politik, 2(1), 1–15.
Hanapi, A. (2018). Gender : Studi Pemikiran Tafsir Kontemporer. Jurnal Syahadah, Vol. VI.
Husain Hamka. (2013). Kepemimpinan Perempuan Dalam Era Modern. Jurnal “Al-Qalam,” 19(1),
107–116.
Kausar, Z. (2002). Woman as the Head of the State in Islam. Ilmiyyah Publication, KL.
Keddie, N. R. (1990). The past and present of women in the Muslim world. Journal of World
History, 1(1), 77–108.
Kosim. (2017). Women‟s Leadership in Fiqh Siyasah Perspective.
Marzaniatun. (2016). KONSEP PEMIMPIN PEREMPUAN DALAM TAFSIR AL-MISBAH.
Tesis.
Moghadam, V. M., & Haghighatjoo, F. (2016). Women and Political Leadership in an Authoritarian
Context: A Case Study of the Sixth Parliament in the Islamic Republic of Iran. Politics and
Gender, 12(1), 168–197. https://doi.org/10.1017/S1743923X15000598
Olifiansyah, M., Hidayat, W., Dianying, B. P., & Dzulfiqar, M. (2020). Kepemimpinan dalam
Perspektif Islam. EL-HIKMAH: Jurnal Kajian Dan Penelitian Pendidikan Islam, 14(1), 98–
111. https://doi.org/10.20414/elhikmah.v14i1.2123
Siddique, K. (2000). The Struggle of Muslim Women, American Society for Education and
Religion. INC. 1983. Bengali Tr. Muslim Nareer Sangram, Osder Publications, Dhaka.
Soal kepemimpinan Kontemporer dan Ulama yang Bermasyarakat. (n.d.). Retrieved June 20, 2021,
from https://magdalene.co/story/belajar-dari-kiai-dan-nyai-soal-kepemimpinan-dan-ulama-
yang-bermasyarakat
Wadud, A. (1999). Qur‟an and Woman : Reading the Sacred Text from a Woman‟s Perspective.
New York : Oxford University Press.
Wartini, A. (2013). Tafsir Feminis M. Quraish Shihab: Telaah Ayat-ayat Gender dalam Tafsir al-
Misbah. Palastren, 6(2), 473–494.

71 Vol. 4 No. 1 Tahun 2021


Mufarikhin, Siti Malaiha Dewi

Yanggo, H. T. (2016). Kepemimpinan Perempuan Dalam Perspektif Hukum Islam. MISYKAT:


Jurnal Ilmu-Ilmu Al-Quran, Hadist, Syari‟ah Dan Tarbiyah, 1(1), 1.
https://doi.org/10.33511/misykat.v1n1.1
ZARKASIH, A. (2019). KEPEMIMPINAN WANITA DALAM RANAH SOSIAL DAN POLITIK
MENURUT HUSEIN MUHAMMAD. In UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA (Vol. 8, Issue 5). UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA.

72 Politea : Jurnal Pemikiran Politik Islam

You might also like