Analisis Kepemimpinan Perempuan Muslim Dalam Konte
Analisis Kepemimpinan Perempuan Muslim Dalam Konte
Analisis Kepemimpinan Perempuan Muslim Dalam Konte
Abstract
Women's leadership has been a controversial issue in the contemporary history of some Muslim societies. While related to this,
some scholars have allowed it as a form of community needs in a modern context, most Muslim scholars have also refused
because of its debilitating effect. This issue can be debated because there is no clear direction regarding the leadership of the
state and the high position of the government which makes the problem divisive and full of conflict. Given the context, there is
a need to analyze Muslim leadership in the contemporary Muslim scholars thought. This paper discusses the concept, a brief
history, analyzes the views of contemporary Islamic scholars, and the importance of Muslim women's leadership within the
scope of contemporary Islamic thought with a comparative analysis of the thoughts of M. Quraish Shihab and KH. Husein
Muhammad's thoughts on women's leadership are based on arguments and interpretations of the Qur'an and As-Sunnah in a
contemporary context. This paper concludes that contemporary Muslim scholars under Islamic (Sharia) law do not provide a
clear and clear practical explanation of women's leadership. Technically, it is true that Islam does not provide practical
guidelines, but substantively Islam provides breadth for women to play a role in the public sector. This is because men and
women are created in equal positions and have equal opportunities in fields such as work and careers, including being a leader.
Abstrak
Kepemimpinan perempuan telah menjadi isu kontroversial dalam sejarah kontemporer beberapa masyarakat
Muslim. Sedangkan terkait hal tersebut sebagian ulama telah mengijinkan sebagai bentuk kebutuhan masyarakat
dalam konteks modern, sebagian besar cendekiawan muslim juga menolak karena efeknya yang dianggap
melemahkan. Persoalan tersebut bisa diperdebatkan karena tidak ada arahan yang jelas mengenai kepemimpinan
negara dan posisi tinggi pemerintahan yang membuat masalah itu memecah belah dan sarat konflik. Mengingat
konteksnya, ada kebutuhan untuk menganalisis kepemimpinan Muslim dalam pemikiran cendekiawan muslim
kontemporer. Tulisan ini membahas konsep, sejarah singkat, menganalisis pandangan ulama Islam kontemporer,
dan pentingnya kepemimpinan perempuan muslim dalam lingkup pemikiran Islam kontemporer dengan analisis
komparatif pemikiran M. Quraish Shihab dan KH. Pemikiran Husein Muhammad tentang kepemimpinan
perempuan yang didasarkan pada argumen serta tafsir Al-Qur‟an dan As-Sunnah dalam konteks kontemporer.
Makalah ini menyimpulkan bahwa cendekiwan muslim kontemporer secara hukum Islam (Syariah) tidak
memberikan penjelasan praktis yang tegas dan jelas tentang kepemimpinan perempuan. Secara teknis memang
benar bahwa Islam tidak memberikan pedoman praktis tetapi secara substantif Islam memberikan keluasan bagi
perempuan untuk berperan di sektor publik. Hal ini karena laki-laki dan perempuan diciptakan dalam kedudukan
yang sama dan memiliki kesempatan yang sama dalam bidang seperti pekerjaan dan karir, termasuk menjadi
pemimpin.
Pendahuluan
Konsep „kepemimpinan perempuan‟ bukanlah fenomena baru dalam sejarah umat manusia,
karena perempuan merupakan separuh organ masyarakat yang mampu berkontribusi dalam
pembangunan bangsa secara spiritual, fisik, intelektual, dan moral. Dalam masyarakat kontemporer,
kesalahpahaman yang meluas tentang peran dan hak perempuan serta konsekuensi perbedaannya
menciptakan hambatan bagi kemajuan sosial-budaya dan politik-ekonomi. Kepemimpinan
perempuan dalam rana politik dan perspektif hukum Islam sedang banyak diperdebatkan. Ini
menjadi sesuatu yang penting untuk dibahas antara orang-orang yang melarangnya dan yang
melegalkannya (Hanapi, 2018). Akar pertama masalah pertama, ialah tentang perbedaan penafsiran
surat Al-Quran An-Nisa ayat 34: " Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab
itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,
dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Yang kedua, hadis
"tidak akan ada kemakmuran bagi umat yang menyerahkan kepemimpinannya kepada perempuan"
(Bukhari, Ahmad, Tirmidhi dan an-Nasa'i dari Abu Bakrah ra) (Kosim, 2017).
Kepemimpinan perempuan pada umumnya diperbolehkan di semua agama, dan beberapa
cendekiawan Muslim membenarkannya sementara beberapa melarangnya dari sudut pandang
agama. Islam dengan keras melarang perempuan untuk menampilkan kecantikannya dalam konteks
ini disebut aurat tetapi Islam mengijinkan mereka untuk berjuang untuk menjaga hak asasi manusia,
membangun masyarakat, bangsa, dan membela agama dengan kapasitasnya. Dalam sejarah
kenabian Muhammad SAW, belum pernah teriwayat secara jelas peran perempuan dalam
pemerintahan, baik sebagai gubernur atau pejabat tinggi pemerintah. Konsekuensinya, narasi terkait
kepemimpinan perempuan sama sekali terdengar asing dalam sejarah dan teologi Islam. Beberapa
cendekiawan, yang sebagian besar dari intelektual barat, menyebarkan Islam sebagai pandangan
yang konservatif dan kaku. Namun, dengan masuknya dan perkembangan Islam moderat, posisi dan
martabat perempuan telah dipulihkan sehingga memungkinkan mereka untuk menjalankan perintah
Allah yakni tugas mereka untuk kemajuan umat manusia.
Kontroversial debat table terjadi sejak dahulu hingga sekarang. Hal ini terjadi secara
metodologis berpikir sistematis (ushul al-fiqh) terlihat disebabkan berbeda pendekatan dalam
pemahaman dan interpretasi terhadap teks-teks al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah, dan penilaian
terhadap eksistensi ijma‟ ulama sebagai sumber dan dalil hukum atau sebagai metode istinbat
hukum, sehingga implikasi dari padanya menghasilkan konklusi hukum yang berbeda pula. Karena
itu dapat dikatakan bahwa permasalahan perempuan menjadi pemimpin termasuk dalam rana
ijtihadiyah yang dinamis sepanjang masa. Maka wajar kiranya kalau para ulama‟ berbeda pendapat
dalam mensikapi permasalahan kepemimpinan perempuan (Basri, 2018).
Mengingat konteks ini, ada kebutuhan untuk menentukan posisi perempuan dan mengkaji
dari perspektif Islam. Makalah ini akan menganalisis sejarah kepemimpinan perempuan,
menganalisis kebutuhannya dalam konteks kontemporer, dan menyajikan perspektif Islam tentang
masalah tersebut. Makalah ini juga mengevaluasi secara singkat tanggapan para ulama dengan
analisis tekstual dan pendekatan induktif untuk menganalisis serta merumuskan sikap Islam
terhadap kepemimpinan perempuan dalam konteks saat ini. Diharapkan ide-ide yang dimunculkan
pada akhirnya akan berkontribusi untuk memahami dan memperjelas sikap Islam tentang
kepemimpinan perempuan baik bagi Muslim maupun masyarakat non-Muslim dalam masyarakat
yang kontemporer.
Pembahasan
Konsep Kepemimpinan Perempuan
Kepemimpinan, dalam Kamus Arab al-Mu'jam al-Wasit, adalah memimpin sebagai kepala
kelompok dengan berada di depan. Secara istilah, kata Arab „wilayah‟, „Imamah‟, dan „khilafah‟
berarti „kepemimpinan‟. Wilayah, menurut Ibn Taymiah, adalah “sesuatu untuk mempertahankan
kehidupan yang membantu orang untuk memahami agamanya”, sementara Imamah, menurut
Mawardi, adalah “untuk menjaga agama dan kehidupan dari gelap menuju terang” seperti ayat yang
terkandung dalam Al-Qur‟an: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu seorang Imam bagi seluruh
manusia” (Al-Qur'an, 2: 124). Dalam Islam, „Uli al-„Amr‟ ialah (orang yang memiliki kemampuan
dalam memerintah sesuai dengan pengetahuan Ilahi), yang telah didelegasikan wewenang membuat
keputusan untuk menentukan kebijakan, aturan dan hukum (Beekun & Badawi, 1999).
Kepemimpinan perempuan didefinisikan sebagai tingkat kontrol perempuan dalam posisi
pengambilan keputusan, kontrol atas alokasi sumber daya, penentuan kebijakan, peraturan dan
hukum. Ini mengacu pada otoritatif perempuan yang memegang posisi teratas untuk membuat
keputusan akhir dengan metode sederhana, sistematis dan terstandar untuk mengukur kemajuan
nasional dan untuk membandingkan situasi di berbagai negara (Wadud, 1999).
„Kepemimpinan‟, menurut definisi Don Clark, “adalah proses kompleks di mana seseorang
memengaruhi orang lain untuk menyelesaikan misi, tugas, tujuan dan mengarahkan organisasi
dengan cara membuatnya lebih kohesif dan koheren”. Ini adalah kemampuan untuk membuat orang
mengikuti secara sukarela dan mempengaruhi perilaku manusia untuk menyelesaikan apa yang
diinginkan dan ditentukan oleh pemimpin. Kepemimpinan kemudian diklasifikasikan menjadi tiga
jenis: kepemimpinan otoriter, partisipatif atau demokratis dan delegatif (Olifiansyah et al., 2020).
Namun kepemimpinan perempuan juga dapat dilihat dari berbagai sudut pandang;
perempuan akan memiliki akses penuh ke partisipasi agama, ekonomi, sosial, politik dan intelektual
yang memungkinkan pertumbuhan dan perluasan individu dan berdampak bagi masyarakat luas.
Dari perspektif agama, perempuan dapat berperan serta dalam mengembangkan pertumbuhan
ekonomi untuk pengentasan kemiskinan, menegakkan keadilan sosial, dan menstabilkan sistem
politik untuk pemerintahan yang baik. Dari perspektif umat Muslim misalnya, memperbolehkan
perempuan menjadi hakim di pengadilan, memproduksi produk pertanian, dan membantu tentara
yang terluka selama perang. Seorang perempuan yang memenuhi syarat dapat mengambil jalan
untuk memimpin sebuah negara, hal ini terlihat dalam kasus perdana menteri atau presiden dari
berbagai masyarakat negara Muslim sebagai cara untuk menunjukkan efisiensi dan menunjukkan
kesetiaan kepada bangsa. Dalam sejarah kepemimpinan perempuan, pemisahan total terkait jenis
kelamin bukanlah sistem Islam yang asli dan asal mula praktik ini justru berakar pada kebiasaan
orang non-Muslim (Siddique, 2000).
Hal yang ditekankan di sini adalah bahwa sebagian ulama melarang kepemimpinan
perempuan karena dianggap bertentangan dengan sifat asli dan kualitas bawaan yang dianugerahkan
oleh Allah SWT, yang dapat berakibat kehancuran sosial dalam masyarakat Islam. Perempuan
dalam masyarakat kontemporer yang berkontribusi bagi kemanusiaan untuk mencapai tujuan yang
bersifat politik, agama, dan ideologis juga diyakini tidak sah dan terlarang yang mengarah pada
kehancuran sosial dan jalan menyimpang dari jalan yang benar. Islam melarang segala macam
pembauran antar jenis kelamin dan mereka wajib menjaga urusan rumah tangga, keluarga, dan anak
(Fata, 2015).
Namun dalam konteks saat ini, kepemimpinan perempuan membuktikan kemampuan dan
efisiensi dalam memimpin bangsa. Memang, fakta terkait pertanyaan tersebut harus lebih jauh
disorot, misalnya dengan keberhasilan Benazir Bhutto pada tahun 1989 di Pakistan dan Khaleda Zia
pada tahun 1991 & 2001, Sheikh Hasina pada tahun 1996 dan 2009 di Bangladesh sebagai kepala
pemerintahan masing-masing. Terlebih lagi, baru-baru ini beberapa perempuan di Afrika Selatan
dan belahan dunia Muslim lainnya juga melakukan hal serupa berupa kampanye yang menuntut hak
kepemimpinan. Penegasan terhadap kepemimpinan perempuan yang dimana perempuan harus
bekerja dan berkontribusi untuk kepentingan umum serta seluruh umat manusia.
Yasmine atas nama Justice and Charity Party di Maroko adalah seorang juru kampanye untuk
oposisi (Kausar, 2002).
Dalam masyarakat kontemporer, kepemimpinan perempuan diterima oleh banyak kelompok
agama di banyak negara mayoritas Muslim, seperti Indonesia, Malaysia, Bangladesh, Pakistan, Iran,
Mesir, Maroko, Turki, dan Arab Saudi. Pembenaran kepemimpinan perempuan dalam Berbagai
sektor tidak didasarkan pada pandangan para ulama klasik tetapi terdiri dari pemberdayaan
perempuan untuk menjaga hak-hak dasar mereka dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan
bangsa. Kepemimpinan perempuan sangat potensial dalam konteks kekinian yang membawa
perubahan dan kemakmuran dalam kehidupan manusia, harta benda, dan martabat. Dalam hal ini,
semua ulama harus menunjukkan pendirian Islam yang konkret dengan pedoman agar perempuan
yang memenuhi syarat dapat berpartisipasi dalam pembangunan bangsa. Situasi saat ini menuntut
upaya yang serius untuk menghasilkan pedoman berbasis nilai-nilai Islam oleh otoritas masing-
masing. Yang bertujuan untuk menghadirkan persamaan hak perempuan dan untuk membangun
perdamaian dan keadilan dalam masyarakat untuk seluruh umat manusia sebagai hamba dan
khalifah yang diutus Allah SWT di bumi (Bennett, 2005).
penting kiranya melihat pandangan cendekiawan muslim kontemporer dalam isu kepemimpinan
perempuan. Penelitian ini akan mengangkat bacaan dan wacana baru tentang partisipasi perempuan,
menurut pandangan Muhammad Quraish Shihab dan Kiai Husen Muhammad. Karena selama ini,
wacana yang berkembang khususnya di Indonesia perempuan selalu dinafikan di bawah kaum laki-
laki. Isu dan tindakan yang seperti inilah, yang seharusnya dilakukan oleh kaum perempuan sendiri
demi mengubah realitas politik yang mendiskriditkan terhadap peran politik perempuan saat
sekarang ini. Karena tidak menutup kemungkinan, banyak kaum perempuan yang lebih mampu di
atas kaum laki-laki. Persoalan ini juga harus menjadi pelajaran bagi seluruh warga negara, tanpa
membedakan ia laki-laki atau perempuan. Demi terciptanya realitas politik yang ramah dan
mencerminkan rasa keadilan dan persamaan kedudukan atas sesama manusia, laki-laki ataupun
perempuan (Keddie, 1990).
penghargaan dari Bupati Kabupaten Cirebon sebagai Tokoh Penggerak, Pembina, dan Pelaku
Pembangunan Pemberdayaan Perempuan.
Basis pemikiran KH. Husein Muhammad, sebagaimana diakuinya sendiri, adalah
pemahamannya tentang kitab-kitab klasik (turāts). Sejurus dengan itu, dapat ditelisik dalam karya-
karyanya yang sebagian besar merujuk kepada turāts, bukan sekadar karya berbahasa Indonesia.
Disebabkan oleh basis pemahaman yang arabis tersebut, KH. Husein Muhammad di saat yang sama
tidak banyak menyertakan referensi berhahasa Inggris. Lepas dari itu, dalam pengamatan penulis,
fokus dan pemahamannya terhadap kitab-kitab klasik sangat luar biasa. Jadi, tidak mengherankan
kalau dia memutuskan untuk menjadi pengasuh pesantren, sebuah lembaga yang tentu saja dekat
kajian kitab kuning (ZARKASIH, 2019).
Sebagai intilektual muda yang memiliki kemampuan dalam bidang jurnalistik dan
mempunyai kemampuan dalam berbahasa Arab, maka ia telah membuat dan menerbitkan buku
serta menerjemahkan buku-buku ke dalam bahasa Indonesia. Dengan kemampuannya itu, ia cukup
produktif dalam menulis maupun menerjemahkan buku. Secara umum karya-karya Kiai Husen
Muhammad dibagi menjadi dua bagian yaitu: Karya tulis Ilmiah: Metodologi Kajian Kitab Kuning
„Pesantren Masa Depan‟, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai Atas wacana dan Gender, Taransformasi
Paradigma Bahtsul Masail, Kelemahan dan Fitnah Perempuan „dalam Moqsith Ghazali, et. all
Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan‟, Kebudayaan yang Timpang „dalam K.M.
Ikhsanuddin, dkk, Panduan pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren‟, Islam Agama Ramah
Perempuan: Pembebasan Kiai Pesantren (Yogyakarta. LKiS, 2004), Pemikir Fiqh yang Arif dalam
K.H. MA. Sahal Mahfudh, Wajah Baru Fiqh Pesantren, Potret Penindasan atas nama Hasrat dalam
Soffa Ihsan „In the Name of Sex: Santri, dunia kelamin, dan Kitab Kuning‟, Kembang Setaman
Perkawinan: Analisis Kritis Kitab Uqud al-Lujain, Spritualitas kemanusiaan, Islam Progresif:
Refleksi Kritis Kiai Pesantren terhadap wacana Kemanusiaan, Membongkar Konsepsi Fiqh
Perempuaan „dalam Syafiq Hasyim Hisyam: Kepemimpinan Perempuan dalam Islam‟ (Yanggo,
2016).
Buku Fiqh Perempuan karya KH Husein Muhammad tersebut merupakan hasil dari
kumpulan tulisan lepas dari berbagai sumber dari yang disampaikan dalam banyak seminar. Apabila
buku tersebut dibaca secara teliti akan didapatkan “benang merah” yang membentuk pemikiran
yang utuh dan sistematis dalam kaitannya dengan fiqh perempuan dalam perspektif keadilan
gender. Lebih luas lagi, bingkai pemikiran KH. Husein Muhammad sebenarnya tidak berbeda jauh
dengan apa yang dituliskan dalam karya lain, misalnya, dalam buku Mengaji Pluralisme kepada
Mahaguru Pencerahan (ZARKASIH, 2019).
Dalam bukunya tersebut, KH. Husein Muhammad menulis kajian khusus tentang
kepemimpinan sosial politik perempuan. Pada tulisan tersebut, kunci atau “benang merah”
pikirannya tentang kepemimpinan perempuan sangat kentara dan mengemuka. Hal ini karena pada
hakikatnya, dari logika yang dia bangun dari mulai pengantar dan bagian awal buku sudah
mengindikasikan kepada apresiasi terhadap kepemimpinan perempuan. Dia mencoba untuk
memberikan cacatan yang membangun terhadap logika penafsiran yang lebih banyak memosisikan
perempuan dalam bingkai yang tidak menguntungkan.
Membaca rangkaian tulisan KH. Husein Muhammad dalam buku yang dimaksud akan
menguatkan dan mempertegas posisinya dalam hal kepemimpinan perempuan. Bagi KH. Husein
Muhammad, realitas yang terjadi saat ini secara tidak langsung sudah membantah “sakralitas”
penafsiran masa lalu. Pada kenyataannya yang ada masa sekarang, perempuan memiliki
kemampuan memimpin sebagaimana yang dimiliki oleh laki-laki. Dalam kacamata lain, perempuan
tidak selalu identik dengan sikap emosional tetapi juga sudah mampu berpikir rasional secara baik
dan ideal. Di samping itu, sejak dahulu banyak pemimpin perempuan yang sebenarnya telah
berhasil menjadi seorang pemimpin.
KH. Husein Muhammad menegaskan bahwa hal yang paling mendasar dalam suatu
kepemimpinan adalah kemampuan dan intelektualitas. Dua hal tersebut dapat dimiliki oleh siapapun
tanpa memandang jenis kelaim, baik laki-laki maupun perempuan. Ringkasnya, baik laki-laki
maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi seorang pemimpin berdasarkan
pertimbangan kapabilitas dan intelektualitas tersebut. Pandangan yang menyatakan bahwa
perbedaan jenis kelamin menjadi halangan untuk memimpin tidak selaiknya dipertahankan karena
kepemimpinan adalah demi kemaslahatan. Dalam rangka mencapai kemaslahatan tersebut maka
siapa yang paling mampu dialah yang lebih berhak (Basri, 2018).
Selanjutnya, KH. Husein Muhammad menegaskan secara mutlak bahwa kegagalan dan
keberhasilan kepemimpinan sebenarnya tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin. Kegagalan dan
keberhasilan kepemimpinan sebenarnya lebih disebabkan oleh kemampuan dalam memimpin (skill
kepemimpinan). Dalam suasana dimana perempuan sudah dapat berpikir maju sebagaimana laki-
laki dan tidak lagi kekhawatiran akan kelemahan perempuan maka perempuan pun memiliki
kesempatan dan peluang untuk menjadi pemimpin. Sebab, lebih tegas lagi, kepabilitas
kepemimpinan yang menentukan berhasil-gagalnya sebuah tatanan kepemimpinan.
Di bagian akhir tulisannya tentang kepemimpian sosial perempuan, KH. Husein Muhammad
menulis sub tentang “Dekonstruksi Fiqh Presiden Perempuan”. Setelah berargumentasi secara
panjang lebar, dia berkesimpulan bahwa: “Dengan kata lain, keputusan ijma‟ (konsensus) dapat
diubah apabila nilai kemaslahatan di mana hukum yang harus ditegakkan di atasnya telah berubah.
Jadi, sekali lagi, tidak ada persoalan apakah seseorang presiden harus laki-laki atau perempuan.
Perempuan dapat menjadi presiden jika kemaslahatan bangsa menghendakinya. Sebaliknya, laki-
laki tidak layak menjadi presiden apabila ia dapat membawa kesengsaraan dan penderitaan
rakyatnya”.
Terakhir, KH. Husein Muhammad banyak memberikan catatan (kritis) terhadap turāts.
Sebagai contoh, dia memberikan komentar terhadap kitab „Uqūdu al-Lijjain fi Bayāni Huqūqi az-
Zaujain. Kitab karangan Imam Nawawi al-Bantani tersebut banyak menjadi rujukan di kalangan
pesantren, dari dahulu sampai saat ini. Kitab tersebut dalam pandangan KH. Husein Muhammad
sudah barang tentu memengaruhi sikap dan pandangan-pandangan masyarakat pembacanya. Dalam
rangka memeroleh pandangan yang lebih ideal maka disarankan untuk merujuk kepada sumber-
sumber lain, khususnya yang kontemporer (Hanapi, 2018).
bahwa semua insan memiliki kesempatan yang sama dalam hidupnya. Lebih lanjut dia mengatakan
bahwa cita-cita Al-Qur‟an adalah demi terciptanya sebuah kehidupan manusia yang bermoral, yang
menghargai nilai-nilai kemanusia universal. Nilai-nilai universal tersebut tiada lain adalah keadilan,
persamaan, kemaslahatan, dan seterusnya. Sebagai akibat positifnya, diskriminasi dan penyudutan
dalam kehidupan adalah hal lain yang harus ditolak (Soal Kepemimpinan Kontemporer Dan Ulama
Yang Bermasyarakat, n.d.).
Ulasan dalam bab sebelumnya sudah sangat jelas bahwa antara M. Quraish Shihab dan KH.
Husein Muhammad memiliki konsep umum yang sama tentang kepemimpinan perempuan.
Keduanya mengapresiasi peran aktif perempuan dalam kepemimpinan karena akan membawa
kemaslahatan dan dampak yang positif. Dalam bab ini akan penulis paparkan ide pokok dalam
rancang-bangun pemikiran keduanya tentang kepemimpinan perempuan.
Tabel Pemikiran M. Quraish Shihab dan KH. Husein Muhammad tentang Kepemimpinan
Perempuan Muslim
persoalan mereka.
Logika Kata ال رجالar- rijâl adalah bentuk jamak KH. Husein Muhammad sebenarnya
Kebahasaan dari kata رجل rajul yang biasa memiliki kompetensi yang tidak
(Linguistik) diterjemahkan lelaki, walaupun al-Quran diragukan lagi dalam masalah
tidak selalu menggunakanya dalam arti kebahasaan, dalam hal ini bahasa
tersebut banyak ulama yang memahami Arab. Sayangnya, dalam paparannya
kata ar-rijal dalam ayat ini arti para tentang kepemimpinan perempuan
suami. Kata ar-rijalu Qouwamuna yang merujuk Surat an-Nisā‟ [4]: 34,
„alannisa, bukan berarti lelaki secara dia tidak menyertakan telaah
umum karena konsideran pernyataan linguistik tentang “ar-rijāl” dan “an-
diatas, seperti ditegaskan pada lanjutan nisā‟”.
ayat, adalah “karena mereka (para suami)
menafkahkan sebagian harta mereka”,
yakni untuk istri-istri mereka. Seandainya
yang dimaksud dengan kata “lelaki”
adalah kaum pria secara umum, maka
tentu konsiderannya tidak demikian.
Lebih-lebih lagi lanjutan ayat tersebut
dan ayat berikutnya secara amat jelas
berbicaara tentang para istri dan
kehidupan rumah tangga.
perempuan dalam Islam untuk memberi manfaat bagi umat manusia dari kontribusi mereka.
Masyarakat Muslim harus mengklarifikasi kesalahpahaman tentang kepemimpinan perempuan
mereka sendiri. Mereka percaya bahwa konsepsi yang salah yang terjadi saat ini di masyarakat
karena kesalahpahaman terhadap ajaran agama, faktor diskriminasi, dan dakwah barat yang
semuanya bersumber dari kepentingan diri sendiri.
Dalam konteks modern, Sultana Razia naik tahta dinasti Mameluk pada 1236 M. yang
paling memenuhi syarat di antara tiga anak Mamluke karena dia mengakui jasa perempuan dan
berkata: “Anak laki-laki saya tidak mampu memerintah, dan itulah mengapa saya memutuskan
bahwa anak perempuan saya harus memerintah setelah saya”. Pahala dan keadilan, bagi dia dapat
berjalan seiring. Di Iran, perempuan memainkan peran aktif yang tidak dapat disangkal dalam
kehidupan publik, tetapi pemerintah memang mengharuskan mereka untuk mengenakan cadar
(pakaian luar yang menutupi semua) untuk memastikan kepatuhan pada peraturan yang ada (Husain
Hamka, 2013).
Oleh karena itu, jika seorang perempuan muslimah dianjurkan untuk menunjukkan efisiensi
dan kemampuannya dalam memimpin masyarakat dan bangsa, hal tersebut harus diizinkan dan
akan menjadi cerminan umat. Percaya pada kemampuannya untuk mengatasi permasalahan terkait
kepemimpinan perempuan dan menjadi pemimpin yang adil. Berdasarkan pada asumsi keahlian
dalam memimpin suatu urusan itu, maka perempuan boleh menjadi pemimpin. Bukan saja dalam
tingkatan yang rendah, tetapi boleh menduduki jabatan publik di posisi puncak. Bukan saja sebagai
hakim seperti pendapat Abu Hanifah, tetapi bisa menjadi kepala negara sekalipun. Tegasnya, bahwa
perempuan boleh menjadi kepala negara, asalkan dia profesional atau cakap dalam memimpin
negara.
Dan dalam konteks kontemporer, kini orang sudah mulai melihat perlunya manusia bermulti
fungsi: seorang perempuan berpeluang untuk jadi ilmuan yang sukses, isteri yang penyayang,
sebagai ibu dan pendidik yang bijaksana, penulis yang berhasil serta pekerja sosial yang berbudi
luhur. Tekhnolog dan profesionalisasi telah memungkinkan perempuan untuk mendapatkan
keinginan dalam tugas rutin yang selama ini melilitnya. Dengan demikian terbuka peluang baginya
untuk lebih berpartisipasi dalam tugas-tugas kemasyarakatannya dan berpartisipasi dalam bidang
politik.
Untuk berperan dalam bidang politik maka tahap awal perlu diberikan kelonggaran posisi,
sehingga kaum perempuan dapat berperan dalam pembuatan kebijakan di setiap strata
pemerintahan. Di tingkat pusat, keputusan politik itu ada di tangan lembaga tertinggi dan lembaga
tinggi negara dan oleh karena itu perlu ada kelonggaran keberadaan perwakilan perempuan di
lembaga-lembaga terutama mengenai jumlahnya. Oleh karena itu, Lembaga Tertnggi dan Lembaga
Tinggi Negara merupakan suatu produk dan proses demokrasi melalui pemilihan umum, maka di
dalam Undangundang tentang Pemilihan Umumpun perlu adanya ketentuan yang memberikan
kelonggaran terhadap peranan perempuan di dalam setiap Lembaga Pemerintah.
Simpulan
Kepemimpinan perempuan menjadi isu yang diperdebatkan karena fisik perempuan yang
dianggap identik dengan kelemahan, ketidakmampuan intelektual, sensasi emosional, kelembutan
dan keibuan. Dalam dunia kontemporer, kepemimpinan perempuan berkembang menjadi hal yang
positif. Kesan sebagai pemimpin yang cakap dan kualitatif yang memerintah negara sebagai
perdana menteri atau presiden dalam kepemimpinan perempuan. Kepemimpinan perempuan
diperbolehkan dalam Islam tetapi juga ada yang berpendapat dilarang sebagai kepala negara
meskipun tidak ada perintah konkret untuk mengizinkan atau menolaknya. Kepemimpinan
perempuan dapat memberikan kontribusi yang lebih banyak dan lebih baik kepada masyarakat jika
mereka diberi kesempatan, diberikan pelatihan yang tepat, lebih banyak ruang lingkup dan peluang
dengan rekan-rekan mereka untuk memperkuat posisi mereka dalam berpartisipasi dalam
pembangunan bangsa. Mereka juga bisa menjadi bagian dari kepemimpinan yang terampil dan
berkualitas. Bangsa Muslim harus memahami perlunya kontribusi mereka dalam konteks
kontemporer dan mengizinkan mereka sebagai separuh organ masyarakat dalam memimpin bangsa
dengan kerja sama yang tulus, saling pengertian, sesuai harkat dan martabat. Kepemimpinan
perempuan adalah hak sah mereka yang tidak terhalang dalam menyelesaikan masalah sosial-
budaya dan ekonomi-politik sesuai dengan kapasitas mereka. Konsekuensi kepemimpinan
perempuan menunjukkan bahwa fenomena ini tidak boleh dianggap sebagai larangan
kepemimpinan perempuan, tetapi diperbolehkan kepemimpinannya sesuai dengan kebutuhan
masyarakat kontemporer dalam paradigma syari'ah. Keadaan saat ini juga menuntut bahwa setiap
perempuan harus menjadi perempuan yang mandiri setidaknya dalam bagian hidupnya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Basri, H. (2018). Kepemimpinan Politik Perempuan Dalam Pemikiran Mufassir. Al Daulah : Jurnal
Hukum Pidana Dan Ketatanegaraan, 7(1), 51–66. https://doi.org/10.24252/ad.v7i1.5313
Beekun, R., & Badawi, J. (1999). The leadership process in Islam. Proteus-Shippensburg-, 16, 33–
38.
Bennett, L. R. (2005). Women, Islam and Modernity (Issue July).
https://doi.org/10.4324/9780203391389
EI-gousi, H. S. E. A. (2010). Women‟s Rights in Islam and Contemporary Ulama: Limitations and
Constraints. (Egypt as Case Study) (Issue November).
Fata, A. K. (2015). Kepemimpinan Dalam Perspektif Pemikiran Politik Islam. Jurnal Review
Politik, 2(1), 1–15.
Hanapi, A. (2018). Gender : Studi Pemikiran Tafsir Kontemporer. Jurnal Syahadah, Vol. VI.
Husain Hamka. (2013). Kepemimpinan Perempuan Dalam Era Modern. Jurnal “Al-Qalam,” 19(1),
107–116.
Kausar, Z. (2002). Woman as the Head of the State in Islam. Ilmiyyah Publication, KL.
Keddie, N. R. (1990). The past and present of women in the Muslim world. Journal of World
History, 1(1), 77–108.
Kosim. (2017). Women‟s Leadership in Fiqh Siyasah Perspective.
Marzaniatun. (2016). KONSEP PEMIMPIN PEREMPUAN DALAM TAFSIR AL-MISBAH.
Tesis.
Moghadam, V. M., & Haghighatjoo, F. (2016). Women and Political Leadership in an Authoritarian
Context: A Case Study of the Sixth Parliament in the Islamic Republic of Iran. Politics and
Gender, 12(1), 168–197. https://doi.org/10.1017/S1743923X15000598
Olifiansyah, M., Hidayat, W., Dianying, B. P., & Dzulfiqar, M. (2020). Kepemimpinan dalam
Perspektif Islam. EL-HIKMAH: Jurnal Kajian Dan Penelitian Pendidikan Islam, 14(1), 98–
111. https://doi.org/10.20414/elhikmah.v14i1.2123
Siddique, K. (2000). The Struggle of Muslim Women, American Society for Education and
Religion. INC. 1983. Bengali Tr. Muslim Nareer Sangram, Osder Publications, Dhaka.
Soal kepemimpinan Kontemporer dan Ulama yang Bermasyarakat. (n.d.). Retrieved June 20, 2021,
from https://magdalene.co/story/belajar-dari-kiai-dan-nyai-soal-kepemimpinan-dan-ulama-
yang-bermasyarakat
Wadud, A. (1999). Qur‟an and Woman : Reading the Sacred Text from a Woman‟s Perspective.
New York : Oxford University Press.
Wartini, A. (2013). Tafsir Feminis M. Quraish Shihab: Telaah Ayat-ayat Gender dalam Tafsir al-
Misbah. Palastren, 6(2), 473–494.