Koneksitas Tindak Pidana Korupsi

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 6

ANALISIS YURIDIS PROSES PENUNTUTAN PERKARA KONEKSITAS

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

Oleh : Novalia Pertiwi


Fakultas Hukum Universitas Islam Malang
Jalan Mayjend.Haryono 193 Malang 65144 Indonesia Telepon: (0341) 581613

Abstract

Rapid technological developments in the current era of globalization have provided many
benefits in progress in various social aspects. The use of technology by humans to help complete
work is a necessity in life. Apart from the rapid technological advances in crime, both ordinary
crimes and extraordinary crimes are committed, one of which is corruption. Corruption is a form
of crime that is extraordinary crime or extraordinary crime which is quite worrying at this time.
with the existence of Law No. 31 of 1999 concerning the Eradication of Corruption Crimes
which was later amended as well as amended into Law No. 20 of 2001 concerning the
Eradication of Corruption Crime, the regulation is expected to be able to prevent the
development of crimes especially concerning corruption committed by civilians together with
members of the military (koneksitas). The problem in this thesis is juridical analysis related to
the process of Prosecution of the Case of Perspectives in perspective of Law No. 20 of 2001
concerning the Eradication of Criminal Acts of Corruption and Determination of Places to Judge
Case connectivity perspective of Law No. 20 of 2001 concerning the Eradication of Corruption.

Based on the results of the research and discussion, after the enactment of the Law on the
Eradication of Corruption in the process of prosecuting connection cases both at the first (first)
court level until the Final Court still adheres to the provisions referred to in Article No. 31 of
1997 concerning Military Courts ( Article 198- Article 203), Law No. 48 of 2009 concerning
Judicial Power (Article 16), Law No. 8 of 1981 concerning Criminal Procedure Code (article 89-
article 94) and in determining the place to adjudicate connectivity cases based on analysis of the
case is using Article 89 paragraph (1) in the Criminal Procedure Code.

Keyword : technology, crime and Constitution

Abstrak

Perkembangan teknologi yang pesat di era globalisasi saat ini telah memberikan banyak
manfaat dalam kemajuan di berbagai aspek sosial. Penggunaan teknologi oleh manusia untuk
membantu menyelesaikan pekerjaan adalah suatu keharusan dalam kehidupan. Terlepas dari
kemajuan teknologi yang cepat dalam kejahatan, kejahatan biasa dan kejahatan luar biasa
dilakukan, salah satunya adalah korupsi. Korupsi adalah bentuk kejahatan yang merupakan
kejahatan luar biasa atau kejahatan luar biasa yang cukup mengkhawatirkan saat ini. dengan
adanya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang kemudian diamandemen serta diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, peraturan tersebut diharapkan dapat mencegah
perkembangan kejahatan terutama menyangkut korupsi yang dilakukan oleh warga sipil bersama
dengan anggota militer (koneksitas). Masalah dalam tesis ini adalah analisis yuridis terkait
dengan proses Penuntutan Kasus Perspektif dalam perspektif UU No. 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Penentuan Tempat untuk Hakim Kasus konektivitas
perspektif perspektif UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi.

Berdasarkan hasil penelitian dan diskusi, setelah diberlakukannya UU


Pemberantasan Korupsi dalam proses penuntutan kasus-kasus koneksi baik di tingkat
pengadilan pertama (pertama) sampai Pengadilan Akhir masih mematuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal No. 31 tahun 1997 tentang Pengadilan Militer (Pasal
198 - Pasal 203), UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Pasal 16), UU
No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (pasal 89-pasal 94) dan dalam
menentukan tempat untuk mengadili kasus-kasus konektivitas berdasarkan analisis kasus
menggunakan Pasal 89 ayat (1) dalam KUHAP.

Kata kunci: teknologi, kejahatan dan Konstitusi

PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi di era globalisasi memberikan dampak yang posistif maupun


negatif dalam segala bidang, baik bidang ilmu pengetahuan pada umumnya maupun pada
pengetahuan dalam ilmu hukum.

Perkembangan tersebut dalam ilmu hukum hal ini berakibat juga atau berdampak pada
pembuatan produk hukum atau regulasi serta pada penerapan produk hukum atau regulasi
tersebut di kehidupan masyarakat.

Perkembangan dalam ilmu hukum ini mampu mempengaruhi dinamika dalam hukum
pidana, perdata maupum hukum-hukum lainnya. Dalam hal hukum pidana sudah pasti akan
berakibat pada aturan pada pasalnya atau pada segi penerapannya. Perkembangan ini
diakibatkan selain pada perubahan teknologi yang berdampak pada ilmu pengetahuan juga
berdampak pada kultur suatu masyarakat tersebut. Sehingga dalam penerapan pada pasal-
pasal tersebut tentu bisa mengalami perubahan yang diakibatkan oleh perubahan kultur dalam
masyarakat.

Sebagai Negara yang memiliki prinsip Negara Hukum tentu memiliki aparatur negara
yang bertugas untuk mempertahankan tegaknya hukum atau menengakkan aturan hukum dan
khususnya adalah tentang penuntutan. Dalam KUHAP Pasal 1 Angka 7 dijelaskan bahwa
“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan”.
Aparatur Negara yang bertugas untuk menjalankan penegakan hukum dalam hal penuntutan
dalam suatu perkara adalah para jaksa. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
Pasal 2 Ayat (1) tentang Kejaksaan, disebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia adalah
lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta
kewenangan lain berdasarkan undang-undang.1

Kejahatan telah menjadi fenomena yang universal, artinya tidak ada masyarakat
tanpa adanya kejahatan. Pada mulanya kejahatan disebabkan faktor kemiskinan. Dengan
demikian, dalam masyarakat yang mengalami kekurangan sumber daya alam, kejahatan
akan marak di masyarakat itu.

Selain itu timbulnya kejahatan salah satunya juga disebabkan karena kebutuhan akan
benda-benda materil terbatas, sementara cara untuk memperoleh benda itu juga terbatas.
Kita juga mengetahui bahwa keinginan manusia terhadap materi tidak terbatas. Sudah
menjadi kodrat alamiah, apabila kebutuhan satu telah terpenuhi, maka kebutuhan
selanjutnya akan timbul, begitu seterusnya tanpa henti. Dengan demikian manusia berusaha
untuk memenuhinya dengan berbagai cara, tidak mustahil dalam memenuhi kebutuhan itu
dilakukan dengan cara-cara melanggar hukum tersebut .

Korupsi merupakan suatu perbuatan yang sangat tidak terpuji dan dapat merugikan suatu
bangsa. Indonesia salah satu Negara dengan jumlah kasus korupsi yang terbilang cukup
banyak, korupsi sebuah penyakit yang sudah lama menggerogoti bangsa ini, pelaku dari

1
Marwan Effendy, Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,
Ghalia Indonesia, 2007, hlm. 127.
kejahatan ini hampir semua adalah mereka yang memiliki jabatan atau kewenangan baik di
legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta beberapa pranata lain seperti penegak hukum yang
seharusnya mengabdi untuk kemajuan bangsa ini.

Dari pendapat para ahli yaitu Nurdjana yang berpendapat bahwa Korupsi berasal dari
bahasa Yunani yaitu “corruption” yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang,
dapat disuap, tidak bermoral menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama
materil, mental dan hukum.2
korupsi tersebut para pihak yang terlibat pun bisa dari kalangan masyarakat dan kalangan
pemerintah atau bisa dari masyarakat bersama-sama dengan pemerintah atau tidak menutup
kemungkinan dilakukan oleh oknum militer (TNI) bersama-sama dengan sipil (bukan TNI).

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian tersebut diatas, perumusan masalah yang diajukan dalam penelitian
ini : Bagaimana Analisis Yurisdis Proses Penuntutan Perkara Koneksitas Dalam Tindak
Pidana Korupsi Perspektif Hukum Positif ? Dan Bagaimana Yurisdiksi Dalam Mengadili
Perkara koneksitas Dalam Tindak Pidana Korupsi Perspektif Hukum Positif ?

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif. Menurut pendapat Soerjono Soekanto, penelitian


deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin
tentang manusia, keadaan atau gejala - gejala lainnya3 dan penelitian kajian pustaka atau
disebut juga dengan penelitian yuridis normative.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem peradilan pidana yang diharapkan dapat berperan dalam penataan keadilan
sebagai sarana pengendalian sosial dan mewujudkan keinginan masyarakat untuk
memperoleh keadilan dirasakan kurang maksimal dan tidak memberikan porporsi yang

2
IGM. Nurdjana, Drs, SH,M.Hum, dkk, Korupsi & Illegal Logging Dalam Sistem Disentralisasi, Penerbit
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
3
Soerjono Soekanto, metedologi penelitian hukum, Universitas Indonesia, Jakarta 1994, hlm 9
seimbang dalam memproses perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh warga sipil
bersama-sama dengan anggota militer (Koneksitas) Karena karena bagaimanapun baik baik
korban ataupun pelaku memiliki hak yang sama didepan hokum. Pelaku memiliki kontrol
yang sangat terbatas terhadap apa yang terjadi dan tidak bertanggung jawab terhadap apa
yang terjadi dan tidak bertangggung jawab terhadap tahapan dari proses peradilan. Posisi
pelaku hanya sebagai terlapor dan saksi yang bersifat aktif.
Pada umumnya Proses pemeriksaan pada perkara korupsi yang dilakukan oleh warga
sipil bersama-sama dengan anggota militer (korupsi) di indonesia yaitu berdasarkan Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Acara pemeriksaan Koneksitas
diatur dalam Bagian Kelima mulai Pasal 198 sampai dengan Pasal 203, Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 16, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia
dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a, dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Tindak pidana yang dilakukan oleh masyarakat sipil harus diadili oleh pengadilan negeri,
sebagai pengadilan dalam lingkup peradilan umum. Sedangkan tindak pidana yang dilakukan
oleh militer maka pelaku tindak pidana tersebut harus diadili oleh Mahkamah Militer sebagai
pengadilan dalan lingkup peradilan militer.4

Meskipun telah ada pengaturannya, antara das sollen dan das sein belum terdapat
kesesuaian, maksudnya antara apa yang seharusnya(das sollen)secara normatif tidak sesuai
dengan kenyataan.

Normatif tidak sesuai dengan kenyataan atau fakta yang terjadi (das sein), karena
berdasarkan pasal 89 KUHAP bahwa apabila terjadi tindak pidana yang sama-sama
dilakukan oleh oknum militer dan sipil maka mereka diadili dalam lingkup peradilan umum,
kecuali ada persetujuan Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman harus
diadili dalam lingkungan peradilan militer.

4
P.A.F. Lamintang, Kitab Undang –Undang Hukum Acara Pidana Dengan Pembahasan Secara Yuridis
Menurut Yurisprudensi Dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, (Bandung :SinarBaru, 1984), hlm. 249
PENUTUP

Masalah Pemeriksaan peraka koneksitas terhadap perkara tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh warga sipil bersama-sama dengan anggota militer (konesitas) adalah
merupakan kewajiban pemerintah pada masyarakatnya sebagai bentuk tindak lanjut dari pada
undang-undang Dasar kita Pasal 23A dan Alinea Ke 4 pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 kita.

DAFTAR PUSTAKA

IGM. Nurdjana, Drs, SH,M.Hum, dkk, Korupsi & Illegal Logging Dalam Sistem Disentralisasi,
Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005

Marwan Effendy, Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif
Hukum, Ghalia Indonesia, 2007

Soerjono Soekanto, metedologi penelitian hukum, Universitas Indonesia, Jakarta 1994,

You might also like