Nafkah Bagi Istri Nusyûz Menurut Ibnu Hazm: Istinbath
Nafkah Bagi Istri Nusyûz Menurut Ibnu Hazm: Istinbath
Nafkah Bagi Istri Nusyûz Menurut Ibnu Hazm: Istinbath
ABSTRAK
Dalam ajaran Islam, perkawinan adalah suatu ikatan janji yang
menghalalkan masing-masing pasangan suami istri. Dengan adanya
perkawinan tersebut, maka menyebabkan suami harus menafkahi istrinya
baik berbentuk nafkah, kiswah maupun tempat tinggal. Namun kewajiban
pemberian nafkah tersebut menurut kebanyakan Ulama adakalanya bisa
menjadi hilang tatkala seorang istri nusyûz. Namun pendapat mayoritas
Ulama ini tidak sejalan dengan pendapat Ibnu Hazm yang menyatakan
suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istrinya walaupun istri
tersebut dalam keadaan nusyûz. Pendapat Ibnu Hazm tentang kewajiban
pemberian nafkah terhadap istri nusyûz dilihat dari sejak terjalinnya akad
nikah, baik suami tersebut mengajak hidup serumah atau tidak. Karena
selama adanya ikatan suami istri, maka selama itu pula ada hak nafkah
tanpa memberikan syarat-syarat yang lain, dan semua itu disesuaikan
dengan keadaan dan kesanggupan suami.
ABSTRACT
In Islam, marriage is a bond of promise that justifies each husband and wife.
With the marriage, it causes the husband to have to provide for his wife in
the form of a living, kiswah and a place to live. However, according to most
scholars, the obligation to provide a living can sometimes be lost when a
wife is nusyûz. However, the opinion of the majority of scholars is not in line
with the opinion of Ibn Hazm which states that the husband is obliged to
provide a living for his wife even though the wife is in a state of nusyûz. Ibn
Hazm's opinion about the obligation to provide a living for the wife of
Nusyûz is seen from the time the marriage contract was established, whether
the husband invited him to live at home or not. Because as long as there is a
husband and wife bond, during that time there is also the right to live
without providing other conditions, and all of that is adjusted to the
conditions and abilities of the husband.
https://riset-iaid.net/index.php/istinbath 209
Muchtar & Sutarso
Pendahuluan
Hidup dan kehidupan manusia merupakan takdir Allah dan
manusia tidak dapat melepaskan diri dari segala ketetapan-Nya. Takdir
telah menetapkan manusia dalam suatu proses, suatu rentetan
keberadaan, urutan kejadian, dan tahapan tahapan kesempatan yang
diberikan oleh Allah kepada manusia untuk berikhtiar mempertahankan
serta melestarikan hidup dan kehidupannya.
Manusia diberi hak hidup bukan hanya untuk hidup semata, tetapi
ia diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya. Dalam rangka pengabdian
tersebut, manusia diberi kemampuan dan sarana untuk berikhtiaar guna
mengabdi kepada-Nya (Mahfud, 1994 : 4).
Dalam proses pengabdian itu, manusia selalu dipengaruhi
berbagai faktor yang berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu, manusia
didalam berikhtiar melaksanakan taklif berkewajiban mengendalikan dan
mengarahkan faktor faktor yang mempengaruhi kehidupannya, untuk
mencapai makna dan tujuan hidupnya, yakni kebahagian dan
kesejahteraan di dunia dan akhirat kelak.
Hal tersebut merupakan tujuan dari hukum islam agar dipedomani
dalam berhubungan dengan Tuhannya, sesamanya dan lingkungannya
untuk menuju keselamatan bersama. Perwujudan tujuan itu sangat
ditentukan oleh harmonisasi hubungan antar manusia baik secara
individu maupun secara kolektif, serta hubungan manusia dengan alam
sekitarnya. Dan semua hal tersebut ditentukan oleh adanya harmonisasi
hubungan antara manusia sebagai makhluk dan Allah sebagai kholiq
(Mahfud, 1994 : 6).
Dalam rangka mewujudkan harmonisasi hubungan tersebut, Allah
memberikan tuntunan berupa hukum (Syari’at). Syari’at Islam mengatur
hubungan manusia dengan Allah yang dalam fiqih menjadi komponen
ibadah, baik sosial maupun individual. Fiqih juga mengatur hubungan
antar sesama manusia dalam bentuk mu’asyaroh (pergaulan) maupun
mu’amalah (hubungan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup).
Disamping itu fiqih juga mengatur hubungan dan tatacara berkeluarga,
yang dirumuskan dalam komponen munakahat (Mahfud, 1994 : 4).
Perkawinan sebagai perbuatan hukum antara suami dan istri,
bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada-Nya, tetapi
sekaligus menimbulkan akibat hukum keperdataan diantara keduanya.
Namun demikian, karena tujuan perkawinan yang begitu mulia, yaitu
membina keluarga bahagia, kekal dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, maka perlu diatur hak dan kewajiban suami dan istri masing
masing (Rofiq, 2003 : 181).
Salah satu kewajiban tersebut adalah persoalan pemberian nafkah.
Menurut Wahbah al-Zuhaili nafkah adalah ongkos yang dikeluarkan
seseorang terhadap orang lain yang wajib dinafkahinya berupa roti, lauk
pauk, pakaian, tempat tinggal dan segala sesuatu yang berhubungan
210 https://riset-iaid.net/index.php/istinbath
ISTINBATH p-ISSN 1907-8064
Volume 16, Nomor 2, 2021 e-ISSN 2807-7520
DOI: https://doi.org/10.36667/istinbath.v16i2.284
dengan keperluan hidup sehari hari seperti harga air, minyak, lampu dan
sebagainya (Al-Zuhaili, t.t. : 7348).
Aturan tentang kewajiban yang berhubungan dengan masalah
pemberian nafkah diatur oleh Allah dalam firman-Nya:
.)٣٢٢ : (البقرة
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan
kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu
dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya,
dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika
kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
Maha melihat apa yang kamu kerjakan (QS: Al-Baqarah : 233).
Rizki yang dimaksud dalam ayat ini adalah makanan secukupnya,
pakaian adalah baju atau penutup badan yang ma’ruf yaitu yang baik
sesuai ketentuan agama, tidak berlebihan dan tidak juga berkekurangan.
Muhammad abduh dalam tafsir Al-Manar mendefinisikan ma’ruf sebagai
segala hal yang telah dikenal dalam masyarakat manusia yang
dipandang baik menurut akal pikiran maupun naluri yang sehat (Abduh,
t.t : 158).
Adapun kewajiban pemberian nafkan menurut sunnah
sebagaimana terdapat dalam hadits riwayat Imam Muslim:
قال رسول اهلل صل اهلل عليه وسلم يف حجة الوداع فاتقوا اهلل يف النساء فإنكم اخذمتوهن بأمان اهلل,عن جابر رضى اهلل عنه
واستحللتم فروجهن بكلمة اهلل ولكم عليهن ان ال يوطئن فرشكم أحدا تكرهونه فإن فعلن ذالك فاضربوهن ضربا غري مربح
.)وهلن عليكم رزقهن وكسوهتن باملعروف (رواه مسلم
Dari Jabir bin Abdillah ra, Bahwa Rasulullsh SAW sewaktu haji
wada’ bersabda: hendaklah kamu bertakwa kepada Allah dalam
urusan perempuan. Karena sesungguhnya kamu telah mengambil
https://riset-iaid.net/index.php/istinbath 211
Muchtar & Sutarso
212 https://riset-iaid.net/index.php/istinbath
ISTINBATH p-ISSN 1907-8064
Volume 16, Nomor 2, 2021 e-ISSN 2807-7520
DOI: https://doi.org/10.36667/istinbath.v16i2.284
https://riset-iaid.net/index.php/istinbath 213
Muchtar & Sutarso
Kajian Teoretik
Konsep Nafkah
Pengertian nafkah ) (نفقةditinjau dari segi bahasa diambil dari kata
anfaqo, yunfiqu, infaaqon yang artinya membelanjakan, seperti kata anfaqol
maala ) (أنفق المالyang artinya membelanjakan harta (Yunus, 1979 : 463).
Adapun menurut ishtilah ada beberapa pendapat tentang pengertian
nafkah. Menurut Sayyid Sabiq, nafkah adalah:
المقصود بالنفقة هنا توفير ما تحتاج إليه الزوجة من طعام ومسكن وخدمة ودواء وإن كنت
غنية
Yang dimaksud dengan nafkah disini adalah pemenuhan kebutuhan
istri berupa makanan, tempat tinggal, pelayanan, dan pengobatan meskipun
istri berkecukupan (Sabiq, 2008 : 427).
Menurut Amir Syarifuddin, nafkah merupakan kewajiban suami
terhadap istrinyadalam bentuk materi, karena kata nafkah itu sendiri
berkonotasi materi. Sedangkan kewajiban dalam bentuk nonmateri, seperti
memuaskan hajat seksual istri tidak termasuk dalam artian nafkah, meskipun
dilakukan oleh suami terhadap istrinya (Syarifuddin, 2009 : 165).
Menurut Husein Muhammad, nafkah adalah pengeluaran atau
sesuatu yang dikeluarkan oleh seseorang untuk orang-orang yang menjadi
tanggung jawabnya. Pengeluaran ini harus diberikan untuk keperluan-
keperluan yang baik (Muhammad, 2012 : 150). Sementara itu, menurut
Kamal Mukhtar, nafkah berarti belanja, kebutuhan pokok. Maksudnya ialah
kebutuhan Pokok yang diperlukan oleh orang yang membutuhkannya
(Mukhtar, 1974 : 127).
Dari pengertian tersebut diatas, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa nafkah merupakan kewajiban bagi orang yang memiliki harta benda
dan harus ditunaikan kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya
seperti, istri, anak, sodara dan kerabat.
Dalil wajibnya memberikan nafkah menurut al-Qur’an Surat al-
Baqarah ayat 233.
)٣٢٢: (البقرة
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban
214 https://riset-iaid.net/index.php/istinbath
ISTINBATH p-ISSN 1907-8064
Volume 16, Nomor 2, 2021 e-ISSN 2807-7520
DOI: https://doi.org/10.36667/istinbath.v16i2.284
ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf.
seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang
ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya
dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang
kamu kerjakan (QS. al-Baqoroh : 233).
Dalil wajibnya memberikan nafkah menurut Hadits riwayat Muslim
قال رسول اهلل صل اهلل عليه وسلم في حجة الوداع فاتقوا اهلل في,عن جابر رضى اهلل عنه
النساء فإنكم اخذتموهن بأمان اهلل واستحللتم فروجهن بكلمة اهلل ولكم عليهن ان ال يوطئن
فرشكم أحدا تكرهونه فإن فعلن ذالك فاضربوهن ضربا غير مبرح ولهن عليكم رزقهن
.)وكسوتهن بالمعروف (رواه مسلم
Dari Jabir bin Abdillah ra, Bahwa Rasulullsh SAW sewaktu haji wada’
bersabda: hendaklah kamu bertakwa kepada Allah dalam urusan
perempuan. Karena sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan
kalimat Allah Kamu telah menghalalkan kehormatan mereka dengan
kalimat Allah Wajib bagi mereka (istri-istri) untuk tidak memasukan
kedalam rumahmu orang yang tidak kamu sukai. Jika mereka melanggar
hal tersebut pukullah mereka, tetapi jangan sampai melukai. Mereka berhak
mendapatkan uang belanja dari kamu dan pakaian dengan cara yang
ma’ruf” (Ibnu Majah, 2005 : 84).
Syarat-syarat Istri mendapatkan Nafkah menurut Ibnu Rusyd al-Hafid
dalam kitabnya, Bidayat al-Mujatahid wa Nihayat al-Muqtashid (t.t :40) adalah
bahwa ulama telah sepakat bahwa hak istri terhadap suaminya adalah
mendapatkan nafaqah (nafkah) dan kiswah (pakaian). Nafkah tersebut akan
diperoleh oleh sang istri jika telah terpenuhi persyaratan berikut ini: (1)
Antara istri dan suami yang memberikan nafkah telah terjadi akad nikah
yang sah, atau dengan kata lain pernikahan itu memenuhi rukun dan syarat.
Apabila perkawinan mereka termasuk nikah fasid (rusak/batal) maka
menurut jumhur ulama tidak wajib nafkah karena nikah fasid harus
dibatalkan. (2) Istri bersedia menyerahkan dirinya kepada suaminya,
sekalipun belum melakukan hubungan senggama. Ketika istri sudah
berikrar menyerahkan dirinya kepada sang sami maka pada saat itu juga
sang istri sudah berhak mendapatkan nafkah dari suami walaupun saat itu
belum melakukan hubungan suami istri (jima’). (3) Istri bersedia diajak
pindah tempat oleh suami jika dikehendakinya. Seorang suami berhak
menawarkan kepada istrinya untuk pindah pada tempat yang ditentukan
olehnya. Apabila istri menaati ajakan itu maka istri berhak secara mutlak
https://riset-iaid.net/index.php/istinbath 215
Muchtar & Sutarso
Konsep Nusyûz
Nusyûz menurut bahasa adalah mashdar dari kata نشوزا- ينشز-نشز
yang berarti perempuan mendurhakai suaminya (Yunus, 1979 : 452).
Adapun pengertian nusyûz dalam ensiklopedi hukum Islam (1996 : 1353)
adalah sikap tidak patuh dari salah seorang diantara suami istri. Arti kata
nusyûz dalam pemakaiannya berkembang menjadi durhaka atau tidak
patuh. Nusyûz dapat terjadi baik dari pihak istri maupun dari pihak suami.
Sikap dan tingkah laku seseorang kadang-kadang tidak tetap,
senantiasa berubah-ubah sesuai dengan keadaan yang mempengaruhinya.
Perubahan sikap itu bisa dikarenakan pengaruh faktor dari dalam ataupun
faktor dari luar. Faktor dari dalam yaitu kondisi biologis dan fsikologis
sedangkan faktor dari luar berupa pengaruh lingkungan disekitarnya
(Yajlan, 1995 : 146). Pasangan suami istri hanyalah manusia biasa yang tidak
terlepas dari kesalahan dan kehilafan, maka tidaklah heran ketika dalam
suatu keluarga terjadi permasalahan-permasalahan yang terjadi akibat
faktor dari luar atau dari dalam.
Metode
Sesuai dengan karakteristik masalah, tujuan dan kerangka
pemikiran penelitian, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian deskriptif analisis. Penelitian deskriptif bertujuan untuk
mendeskripsikan apa apa yang saat ini berlaku. Didalamnya terdapat
upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan menginterpretasikan
kondisi kondisi yang sekarang terjadi atau ada. Penelitian ini hanya
mendeskripsikan informasi apa adanya sesuai variable variabel yang
diteliti (Mardalis, 1993:26).
Adapun analisis adalah upaya menguraikan atau memisah
misahkan data oleh peneliti sehingga berdasarkan data dapat ditaraik
216 https://riset-iaid.net/index.php/istinbath
ISTINBATH p-ISSN 1907-8064
Volume 16, Nomor 2, 2021 e-ISSN 2807-7520
DOI: https://doi.org/10.36667/istinbath.v16i2.284
https://riset-iaid.net/index.php/istinbath 217
Muchtar & Sutarso
218 https://riset-iaid.net/index.php/istinbath
ISTINBATH p-ISSN 1907-8064
Volume 16, Nomor 2, 2021 e-ISSN 2807-7520
DOI: https://doi.org/10.36667/istinbath.v16i2.284
https://riset-iaid.net/index.php/istinbath 219
Muchtar & Sutarso
oleh Abu al- Hasan Ibnu Ali al-Fasyi, seorang yang terkenal saleh, tekun
beribadah, zuhud dan sering berijtihad mengenai ilmu-ilmu agama. Al-
Fasyi inilah yang selalu mengajak Ibnu Hazm untuk menghadiri halaqah-
halaqah yang diselengggarakan oleh para ulama tafsir, ahli hadits, dan ahli
bahasa Arab (Dahlan, et. al, 1996:612).
Sedangkan di bidang logika guru Ibnu Hazm adalah Muhammad bin
al- Hasan al-Madzhaji yang dikenal dengan sebutan “Ibnu al-Kat.tani”
yang dikenal sebagai penyair, ahli sastra dan dokter dengan beberapa
karangannnya dan meninggal setelah tahun 400 H. Ia juga belajar ilmu fiqh
dan hadits dari Ali Abdullah al-Azdi yang dikenal dengan sebutan “ Ibnu
al-Fardhi”, yang tidak tertandingi di bidang keluasan periwayatan dan
hafalan hadits, pengetahuan tokoh-tokoh hadits, kecendrungan pada ilmu
pengetahuan dan sastra, dan kefashihan (As-Syarqawi, 2000:580).
Guru-guru Ibnu Hazm lainnya adalah Abu Muhammad Ar-Rahuni
dan Abdullah bin Yusuf bin Nami yang dikenal sebagai tokoh yang santun
dan utama. Guru yang lainnya adalah Mas’ud bin Sulaiman bin Maflat abu
al- Khayyar, dari guru inilah Ibnu Hazm menerima pendapatnya tentang
madzhab Adh-Dzahiri (Mahmud Ali,2001:59).
Pembangun madzhab ini adalah Abu Sulaiman Daud Ibnu Ali al-
Asfahani yang kemudian dikenal dengan Daud Adh-Dzahiri. Beliau
dilahirkan di Kuffah pada tahun 202 H, dibesarkan di Bagdad dan wafat
pada tahun 270 H. Madzhab ini dikenal dengan nama Dzahiri karena
beliau berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah (Mahmud Ali,2001:60).
Madzhab ini berkembang di Andalusia pada abad ke-5 H, kemudian
berangsur- angsur mundur, hingga lenyap sama sekali di abad ke-8.
Diantara ulama yang membela dan mempertahankan prinsip-prinsip
madzhab ini adalah Ibnu Hazm. Beliau inilah yang membukukan
madzhab dzahiri dan telah menulis beberapa buku besar baik dalam
bidang ushul maupun dalam bidang furu’ (Ash-Shiddieqy,1997:130).
Adapun murid Ibnu Hazm yang terkenal adalah Muhammad bin
Abu Nashr Futuh al-Azdi al-Humaidi al-Andalusi al- Miwarki (wafat 488
H), pengarang kitab jadzwah al-Muqtabis Fi Dzikri Wulah al-Andalus.
Sedangkan murid khusus Ibnu Hazm adalah al- Qadhi Abu al- Qasim
Sa’id bin Ahmad al-Andalusi (wafat 463 H), ia mengakui bahwa
karyanya,Thabaqat al-Umam, dari sisi metode dan isi banyak dipengaruhi
oleh pemikiran Ibnu Hazm, murid Ibnu Hazm lainnnya adalah Abu
Muhammad Abdullah bin Muhammad bin al-Arabi, dimana ia berteman
dan belajar bersama dengan Ibnu Hazm selama 7 tahun (Ash-
Shiddieqy,1997:130).
Pendapat Ibnu Hazm tentang Kewajiban Pemberian Nafkah bagi Istri yang
Nusyûz
Pada dasarnya Ibnu Hazm adalah sososk ulama yang mengalami
konversi madzhab berkali-kali, pertama dia sebagai madzhab Maliki,
kemudian madzhab Syafi’i dan yang terakhir adalah madzhab adz-
220 https://riset-iaid.net/index.php/istinbath
ISTINBATH p-ISSN 1907-8064
Volume 16, Nomor 2, 2021 e-ISSN 2807-7520
DOI: https://doi.org/10.36667/istinbath.v16i2.284
https://riset-iaid.net/index.php/istinbath 221
Muchtar & Sutarso
222 https://riset-iaid.net/index.php/istinbath
ISTINBATH p-ISSN 1907-8064
Volume 16, Nomor 2, 2021 e-ISSN 2807-7520
DOI: https://doi.org/10.36667/istinbath.v16i2.284
nafkah kepada istri yang berbuat nusyûz sejak terjadinya akad nikah dan
selama masih adanya ikatan suami istri diantara keduanya tanpa
memberikan syarat-syarat yang lain.
b. Dasar Hukum Ibnu Hazm tentang Nafkah
Ibnu Hazm sebagai ulama yang mengusai dan memahami berbagai
ilmu, maka beliau tidak serta merta menentukan suatu hukum tanpa
didasari dalil Syar’i, maka dalam masalah penetapan hukum pemberian
nafkah bagi istri yang nusyûz beliau menggunakan beberapa dalil, di
antaranya:
https://riset-iaid.net/index.php/istinbath 223
Muchtar & Sutarso
Kesimpulan
Pendapat Ibnu Hazm tentang kewajiban pemberian nafkah terhadap
istri nusyûz dilihat dari sejak terjalinnya akad nikah, baik suami tersebut
mengajak hidup serumah atau tidak. Karena selama adanya ikatan suami
istri, maka selama itu pula ada hak nafkah tanpa memberikan syarat-syarat
yang lain, dan semua itu disesuaikan dengan keadaan dan kesanggupan
suami. Dasar hukum yang digunakan ibnu Hazm tentang kewajiban
pemberian nafkah terhadap istri nusyûz adalah Q.S. An-Nisa ayat 34 dan
H.R Ibnu Majah.
DAFTAR PUSTAKA
https://riset-iaid.net/index.php/istinbath 225
Muchtar & Sutarso
226 https://riset-iaid.net/index.php/istinbath