Dakwah Pemberdayaan Partisipasi Keluarga
Dakwah Pemberdayaan Partisipasi Keluarga
Dakwah Pemberdayaan Partisipasi Keluarga
ABSTRACT
This paper aims to describe the dynamics of family empowerment in supporting da'wah
programs in the countryside. Changes to the order of life, including in the rural areas, need
adaptation from the da'wah movement that can balance and fill the changes towards a more
qualified society. The family is the smallest group component, at most, and is most directly
related to da'wah activities in the countryside. Family participation as a subject and missionary
partner will determine the overall success. The research method used is a qualitative approach
with community empowerment interventions. The target community is religious leaders and the
community of the da'wah congregation, including: DKM chairmen, the reciters of recitation,
and the asatidz, worshipers of mothers and teenagers as well as children of pengajian
worshipers. Data obtained in the form of social and religious activities that have taken place in
the village of Mandalasari. First, Social and Religious Activities. Second, Da'wah activities
based on Empowering Family Participation. Third, the Role and Obligations as Family
Members in empowering da'wah. Writing can describe a case about empowering da'wah
through family participation in the countryside.
Keywords: Da'wah; Empowerment; Family Participation.
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan dinamika pemberdayaan keluarga
dalam mendukung program dakwah di pedesaan. Perubahan pada tatanan
kehidupan termasuk di pedesaan perlu adaftasi dari gerakan dakwah yang bisa
mengimbangi dan mengisi perubahan menuju masyarakat yang lebih berkualitas.
Keluarga merupakan komponen kelompok terkecil, paling banyak, dan paling
berhubungan langsung dengan kegiatan dakwah di pedesaan. Peran serta
keluarga sebagai subjek dan mitra dakwah menjadi sangat menentukan akan
keberhasilan secara keseluruhan. Metode penelitian yang digunakan adalah
pendekatan kualitatif dengan intervensi pemberdayaan masyarakat. Masyarakat
sasaran adalah tokoh-tokoh keagamaan dan masyarakat jamaah dakwah,
meliputi: Para ketua DKM, Ibu-ibu penggerak pengajian, dan para asatidz, para
jamaah Ibu-ibu dan remaja serta anak-anak jamaah pengajian. Data yang
diperoleh berupa keegiatan sosial dan keagamaan yang telah berlangsung di Desa
Mandalasari. Pertama, Kegiatan Sosial dan Keagamaan. Kedua, Kegiatan
Dakwah berbasis Pemberdayaan Partisipasi Keluarga. Ketiga, Peran dan
Kewajiban sebagai Anggota Keluarga dalam dakwah pemberdayaan. Tulisan
dapat menggambarkan suatu kasus tentang dakwah pemberdayaan melalui
partisipasi keluarga di pedesaan.
Kata kunci : Dakwah; Pemberdayaan; Partisipasi Keluarga.
PENDAHULUAN
Dalam konteks dakwah, pemberdayan keluarga memberikan sumbangsih yang
tidak sedikit. Dengan keluarga yang berdaya, proses dan hasil dakwah
diharapkan menjadi lebih produktif. Usaha dakwah berupa segala upaya dan
kegiatan yang berencana mengandung ajakan dan seruan baik langsung atau
tidak langsung, ditujukan kepada orang perorangan, masyarakat atau kelompok
masyarakat agar tergugah jiwanya, terketuk hatinya ketika mendengarkan
peringatan ajaran Islam. Seruan dakwah ini kemudian dapat dihayati, ditelaah
dan dipelajari untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Harapan hasil
dakwah yang madani, lebih optimis dicapai manakala para keluarga dapat
mendukung dan menjadi pengamal dakwah.
Berdasarkan kajian konsep dasar pemberdayaan keluarga untuk
mendukung dakwah ini, terdapat harapan-harapan lebih. Pertama, orientasi
pada kesejahteraan lahir dan batin masyarakat luas. Dakwah tidak dilaksanakan
sekedar merumuskan keinginan sebagian masyarakat saja, tetapi direncanakan
sebagai usaha membenahi kehidupan sosial bersama masyarakat agar penindasan,
ketidakadilan dan kesewenangan tidak lagi hidup ditengah-tengah masyarakat.
Skala makro yang menjadi sasaran dakwah bukan berarti meninggalkan skala
mikro kepentingan individu anggota masyarakat. Kedua, dakwah pada dasarnya
adalah ikhtiar melakukan social engineering (rekayasa sosial) untuk mendapatkan
suatu perubahan tatanan kehidupan sosial yang terbaik.
Mengacu pada Moh. Ali Aziz (2004: 15-88), terdapat beberapa prinsip
yang harus terpenuhi dalam dakwah yang didukung pemberdayaan keluarga,
yaitu: pertama, prinsip Kebutuhan: program dakwah didasarkan atas dan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat, baik materil dan non materil; kedua, prinsip
partisipasi, menekankan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses
dakwah, mulai perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, penilaian, dan
pengembangannya; ketiga, prinsip keterpaduan, memadukan seluruh potensi dan
sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat, bukan monopoli sekelompok
orang dan ahli, atau organisasi; keempat, prinsip berkelanjutanbahwa dakwah itu
harus sustainable tidak dibatasi oleh waktu; keempatprinsip keserasian, antara
kebutuhan jasmaniah dan ruhaniah masyarakat; kelima, prinsip kemampuan
sendiri yang menegaskan bahwa kegiatan dakwah pengembangan masyarakat
disusun dan dilaksanakan berdasarkan kemampuan dan sumbersumber (potensi)
yang dimiliki masyarakat. Adapun keterlibatan pihak lain hanyalah bersifat
sementara yang berfungsi sebagai fasilitator dan transformasi nilai keagamaan;
keenam, dakwah tidak hanya dibatasi ceramah atau khutbah (dakwah bil-lisan),
namun juga terdapat kegiatan nyata yang dapat mengangkat, meningkatkan
harkat dan martabat kehidupan masyarakat (dakwah bil-hal). Karena dakwah
dengan menggunakan metode ceramah saja kurang mengena dan kurang
mendapat perhatian bila tidak dibarengi dengan aksi nyata yang membuahkan
hasil berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dengan uraian ini, upaya pemberdayaan keluarga pada dakwah adalah
bagaimana sebenarnya keluarga mampu menjadi subjek aktif dari sukses
dakwah, sehingga harapan perbaikan terjadi di semua sektor religi, sosial, budaya,
maupun ekonomi. Hal ini sebagaimana disinyalir dalam al -qur’an surat Ar-
Ra'du:13, yang artinya: "Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.dan apabila Allah menghendaki keburukan
terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia (al Qur’an dan Terjemahnya, 2013).
Dari sisi budaya keagamaan di pedesaan terdapat beberapa amalan-amalan
yang rutin dilakukan aik tiap hari, minggu maupun tiap bulan, dan tahun.
Kebudayaan masyarakat yang ada sejak zaman dulu di antaranya: tradisi ngaruat
lembur, tradisi ziarah, tradisi hajat tujuh bulan, dan tradisi numbal bumi dan
lain-lain. Tradisi ini secara spiritual menguatkan semangat beragama. Namun
demikian tradisi ini seiring dengan waktu harus diluruskan agar sesuai dengan
aqidah dan syariat Islam.
Dengan program dakwah keluarga, diharapkan terbentuknya suatu agen
yang lebih aktif menawarkan peningkatan gerakan dakwah, yang berbasis pada
koordinasi antara tokoh dan stekeholder masyakakat desa setempat. Pada
gilirannya terlayanihasil dakwah sebagai pengubah tatanan masyarakat desa yang
lebih religius, yang lebih mensejahterakan berbagai sektor kehidupan masyarakat
desa.
Fondasi budaya keagamaan dapat melanjutkan pemberdayaan. Pertama,
potret tatanan sosial dan hubungan relasional antara tokoh warga setempat
terjalin dengan optimal baik. Kedua, dilihat dari sarana fasilitas fisik dan sarana
fasilitas sosial keagamaan di pedesaan sangat memungkinkan untuk terus
dakwah yang masih terpusat dan kegiatan kaum ibu dan anak, perlu suatu sistem
yang saling menyatukan. Masih banyak, kaum ibu mengantar anaknya ke
sekolah/madarasah, namun para ibu tidak bersama-sama belajar agama. Fasilitas
fisik, berupa bangunan mesjid, madrasah, pesantren dan panti sosial belum
optimal daya gunannya dibanding nilai dari faislitas yang sudah tersedia.
Peningkatan yang cepat dan teknologi informasi yang dimiliki para kelaurga
terutama jejaring sosial, internet pada smartphone, seharusnya menjadi alat
efektif untuk meningkatkan fungsi dakwah. Kegiatan mesjid dan fasilitas
keagamaan yang ada seyogyanya terus ditingkatkan kegunaannya, bukan saja
untuk ritualitas shalat dan pendidikan semata, namun harus meningkat ke arah
realisasi ajaran Islam secara keseluruhan sehingga tercapai amalan Islam yang
kaffah.
Manfaat ilmiah dari tulisan ini adalah terumuskan suatu gambaran objektif
atas realitas dakwah, baik berupa mad’u, strategi, sarana dan momentum sehingga
dapat menjadi inspirasi untuk perbandingan dan arah pemberdayaan. Mad’u
sebagai mitra dakwahnya lebih unik pada masyarakat kaum pedesaan, bukan
kaum kampus, bukan kaum profesi dan bukan kaum spesifik perkotaan.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan
intervensi pemberdayaan masyarakat. Masyarakat sasaran adalah tokoh-tokoh
keagamaan dan masyarakat jamaah dakwah, meliputi: Para ketua DKM, Ibu-ibu
penggerak pengajian, dan para asatidz, para jamaah Ibu-ibu dan remaja serta
anak-anak jamaah pengajian. Metode kegiatan dalam rangka mencapai tujuan
pemberdayaan ditempuh langkah sebagai berikut: Koordinasi dengan kepala
desa, ketua ormas keagamaan, ketua DKM, serta penggerak majlis ta’lim dan
penggerak pengajian anak-anak dan remaja. Berikutnya membangun sinergi
dengan sektor-sektor masyarakat grassroot, untuk mendengar bentuk
keterlibatan yang memungkinkan mereka harapkan dan mampu ikut serta.
Fokus dakwah yang didukung dengan pemberdayaan keluarga, merupakan
bagian dari dakwah yang mengubah padaperbaikan dan kebaikan.
Pengembangan masyarakat adalah salah satu metode untuk memperbaiki
kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada
pada mereka pada prinsip partisipatif (Edi Suharto, 2006: 37). Pengembangan
masyarakat ditujukan untuk mencapai perubahan yang lebih baik dengan objek
utama masyarakat secara keseluruhan bukan hanya individu tertentu. Selain itu
mengembangkan masyarakat dimaknai membuat masyarakat menjadi lebih
berdaya dari kondisi kenyataan sebelumnya.
Pengembangan masyarakat Islam merupakan suatu wujud dakwah bil hal.
Dakwah bil haltergolong istilah ilmu dakwah dalam mengimplikasikan hakikat
dakwah melalui aksi nyata,bukan hanya melalui kata-kata atau berceramah saja.
Aksi nyata tersebut ditujukan agar terwujudperubahan dari situasi problematika
Bila kita percaya pada mimpi, kita akan merengkuh keajaiban. Motto kita dalah
“mencari akar penyebab sukses” bukan akar penyebab masalah” (Christopher
Dureau, 2013:11).
Aset sendiri merupakan hal yang dapat digunakan atau
dimanfaatkan sebagai kekayaan dalam memenuhi kebutuhan. Pendekatan
berbasis aset membantu masyarakatyang dapat bekerja sama dengan
fasilitator untuk melihat kenyataan mereka dan kemungkinan perubahan secara
berbeda.
Menyimak pendapat Christopher Dureau (2013: 14), dan Tim KKN
ABCD UIN Sunan Ampel (2015: 26), beberapa paradigma dalam pendekatan
ABCD yang dapat dijadikan sebagai prinsip dalam pemberdayaan: 1) setengah
terisi lebih berarti (half full half empty); 2) semua punya potensi untuk
berkembang (nobody has nothing); 3) Semua bisa berpartisipasi (participation);
4) Semua bisa bermitra (partnership); 5) penyimpangan positif (positive
deviance); 6) berawal dari masyarakat (endogenous); serta 7) menuju sumber
energi (heliotropic).
Setengah terisi lebih berarti (half full half empty), ini dengan cara merubah
pandangan komunitas terhadap dirinya. Tidak hanya terpaku pada kekurangan
dan masalah yang dimilikinya. Tetapi masyarakat memberikan perhatian kepada
apa yang dipunyai dan apa yang dapat dilakukan.
Semua punya potensi (nobody has nothing), setiap manusia terlahir
dengan kelebihannya tersendiri. Semua memiliki potensi, walau hanya sekedar
kemampuan untuk tersenyum dan memenuhi kebutuhan makan saja. Semua
berpotensi dan semua bisa berkontribusi. Tidak ada alasan bagi setiap masyarakat
untuk tidak berkontribusi nyata terhadap perubahan lebih baik. Bahkan,
keterbatasan fisikpun dapat memberi kontribusi. Ada banyak kisah dan inspirasi
orang-orang sukses yang justru berhasil membalikkan keterbatasan dirinya
menjadi sebuah berkah, dan bahkan sebuah kekuatan.
Partisipasi (participation), merupakan suatu keterlibatan mental dan emosi
seseorang pada pencapaian tujuan serta ikut tanggung jawab di dalamnya.
Partisipasi menegaskan kelompok mengenal masalah mereka sendiri, mengkaji
pilihan mereka, membuat keputusan, dan memecahkan masalahnya.
Kemitraan (Partnership), merupakan salah satu prinsip utama dalam
pendekatanpengembanganmasyarakat berbasis aset. Partnership modal utama
yang sangat dibutuhkan dalam memaksimalkan posisi dan peran masyarakat
dalam pembangunan yang sedang berlangsung. Hal itu dimaksudkan sebagai
bentuk pembangunan dimana yang menjadi motor dan penggerak utamanya
adalah masyarakat itu sendiri (community driven development). Pembangunan
yang dilakukan dalam berbagai variannya seharusnya masyarakatlah yang
menjadi penggerak dan pelaku utamanya. Hal itu terjadi karena dalam diri
Dalam pandangan Mufidah (2008: 41), ada tiga jenis hubungan dalam
keluarga: pertama, kerabat dekat (conventional kin)terdiri dari individu yang
terkait dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi, dan atau pernikahan,
seperti suami-istri, orang tua, anak, dan antar saudara (siblings); kedua, kerabat
jauh (discretionari kin), yaitu terdiri dari individu yang terikat dalam keluarga
melalui hubungan darah, adopsi atau pernikahan, tetapi ikatan keluarganya
lebih lemah dari pada kerabat dekat; ketiga, orang yang dianggap keluarga
(fictive kin), karena adanya hubungan yang khusus, misalnya hubungan
antar seseorang yang akrab.
Islam menganggap keluarga merupakan milleniu pertama dan utama bagi
setiap individu dimanapun berinteraksi. Individu memerlukan keluarga bukan
hanya pada tingkat awal dalam kehidupannya semata, tetapi dalam sepanjang
hidupnya, dari kanak-kanak sampai tuanya untuk mendapatkan
ketenangan dan kebahagiaan.
Dalam suatu keluarga dituntut untuk melakukan segala sesuatu yang
menjadi kewajibannya, terutama dengan anggota keluarga dan lingkungan
sosialnya. Tatkala menjalankannya, maka keluarga itu telah menjalankan
fungsinya. Mufidah (2008: 42), diantara fungsi-fungsi dari intitusi keluarga
dalam konteks kehidupan sosial adalah: fungsi biologis, fungsi edukatif, fungsi
religius, fungsi protektif, fungsi sosial budaya, fungsi ekonomi, fungsi
reproduksi, dan fungsi rekreatif.
Keluarga merupakan kelompok kecil yang tinggal bersama dalam sebuah
lingkungan dalam keadaan sosial masyarakat yang dibangun atas bersatunya
kedua individu dalam ikatan syariat Islam. Kehidupan yang dijalani keluarga
dinaungi oleh aturan syariat serta tuntunan agama agar senantiasa berada pada
koridorIslam sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah SAW.
Dilihat dari fungsinya, keluarga merupakan kelompok sosial terkecil yang
menjalani kehidupan bersama-sama dan terlibat dalam suatu kerjasama. Terdapat
beberapa fungsi lainnya dalam keluarga antara lain: fungsi keagamaan, fungsi
sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi melindungi, fungsi reproduksi, fungsi
sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi,dan fungsi pembinaan lingkungan
(Bambang Ismaya, 2015: 150-152).
Menyoroti fungsi keagamaan, keluarga sebagai satu kesatuan masyarakat
terkecil yang memiliki tanggung jawab akhlak untuk membimbing anggotanya
menjadi manusia yang berakhlak mulia, beriman dan bertakwa. Dalam fungsi
sosial budaya, keluarga merupakan awal dari terciptanya masyarakat yang
berbudaya, saling menghormati dan rukun antar tetangga. Dalam fungsi cinta
kasih, anak-anak pertama kali belajar untuk memiliki rasa cinta kasih terhadap
lingkungannya melalui keluarganya. Anak yang dibesarkan dalam suasana
cinta dan kasih sayang yang berlimpah maka akan tercermin pula sikap
12 Anida (Aktualisasi Nuansa Ilmu Dakwah) 18(1)(2018) 1-20
Dakwah Pemberdayaan Partisipasi Keluarga
objek. Hasil akhir dari pemberdayaan ini adalah beralihnya fungsi individu
yang semula menjadi objek menjadi subjek baru,sehingga relasi sosial nantinya
akan dicirikan dengan relasi sosial antar subjek dengan subjek lain(Aziz, 2004:
169).
Proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan (Adi Fahrudin:
2014:48). Pertama, proses pemberdayaan dengan kecenderungan primer yang
menekankan pada proses pemberian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan
kepada masyarakat agar individu yang bersangkutan menjadi lebih berdaya.
Proses ini dapat dilengkapi dengan upaya membangun aset material guna
mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi. Kedua,
proses pemberdayaan dengan kecenderungan sekunder menekankan pada proses
menstimulasi, mendorong atau memotivasi agar individu mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan
hidupnya melalui proses dialog.
PENUTUP
Demikian kajian mengenai dakwah dalam konteks pemberdayaan partsipasi
keluarga di pedesaan yang dapat diemban keluarga. Model pelatihan ini dapat
dilaksanakan secara dinamis dan kondisional. Terdapat penelitian lebih lanjut
yang dapat dikembangkan antara lain penelitian partisipasi dakwah pedesaan
pada masyarakat yang lebih spesifik seperti masyarakat petani, home industry,
lansia, dan masyakat berkebutuhan khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahmman, K.B..( 2006). Cara Islam Mendidik Anak. Yogyakarta: Ad-Dawa’
Ghafur, W.A. (2006). Hidup Bersama al-Qur'an Jawaban al-Qur'an Terhadap
Problematika Sosial. Yogyakarta: Pustaka Rihlah.
Fahrudin, A. (2014). Modul Participatory Action Research (PAR). Surabaya: LPPM
UINSA.
Ahmad, A. (2006). Dakwah Islam dan Perubahan Sosial. PLP2M, Jakarta
Ahmadi, A. (2001). Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta
Arifani, M.A. (2014). Model Pengembangan Dakwah Berbasis Budaya Lokal.
Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies, 5(15), 849-978.
An-Nabiry, F. B. (2008). Meniti Manhaj Dakwah Bekal Perjuangan Para Da'i.
Jakarta: Amzah
Aziz, M. A. (2004). Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana