Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri S

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 21

PUTUSAN PRAPERADILAN PENGADILAN NEGERI SINTANG NOMOR :

01/PID.PRAP/2015/PN.STG MEMENANGKAN TERMOHON YANG MELAKUKAN


PENANGKAPAN DAN PENAHANAN YANG
TIDAK SESUAI DENGAN KETENTUAN KUHAP

Oleh :

DAMIANUSN DEDY SUSANTO, SH


A.2021131030

ABSTRACT

This thesis discusses pretrial about the arrests and detentions in relation to the rights of the accused
under the Criminal Code (Studies Pretrial Sintang District Court Decision No. 01 / Pid.Prap / 2015 /
PN.Stg). The method used in this research is normative juridical approach. From the results of this
thesis can be concluded that the function of pretrial within the scope of the jurisdiction of Sintang has
been running optimally. Pretrial case that was last recorded in the District Court pretrial Sintang is the
case with the Sintang District Court No. 01 / Pid.Prap / 2015 / PN.Stg. And after that there are no
more cases of pretrial incoming afterwards. This shows that the implementation of the pre-trial
functions has been running well in controlling horizontally between relevant law enforcement
authorities such as judges, public prosecutors and the police. In addition praeradilan maximal function
can also be on the performance of judges, or police as an investigator or prosecutor as a public
prosecutor under examination in accordance with the procedures set out in the Act - legislation. Every
action or forceful measures undertaken such as the arrest, detention, seizure, search, and others -
others have been carried out in accordance with the law. But in practice often encountered effort or
coercive measures that violate the provisions of the Act - legislation. This is due to the lack of
information and knowledge about the existence of this pretrial institution and its function and purpose.
This is exploited by elements investigators that "rogue" to take action "mischievous" as well for no
apparent reason which could potentially lead to violations of the human rights tesangka or defendant.
Therefore, the role of the community to assist in carrying out its functions pretrial order to run more
optimally and is not expected to happen again in the future human rights violations as a result of acts
or attempted forcible violation of law - Pretrial undang.Putusan Sintang District Court No. 01 /
Pid.Prap /2015/PN.Stg, basically in accordance with the provisions of applicable laws or rules in the
legislation. From the contents of the decision which contain the validity of detention as the rule of law
in the Article 79 of the Criminal Procedure Code, as well as from consideration consideration of the
judge in imposing sentence. But the trouble is the administrative process that tends pretrial
examination case is not in accordance with the laws and procedures. A course on the establishment
day of the trial. Under the draft, Article 82 paragraph (1) letter a, the determination of the trial which
is three days after the register but in the decision only a day after the register. Sebenanya it was
infringing. But with regard to the principle of justice quickly then this is understandable and is
considered normal. Considering that not to register this process is time consuming and hinder the
process of examination. In addition, by sulking on the rule of law stated in Article 82 paragraph (2)
letter c of the Criminal Procedure Code that the decision should have dropped seven days after the
case is registered, are not met. However, generally speaking appropriate as mentioned above mainly
about the mere consideration of the decision and the judge in the verdict, that the Sintang District
Court's Decision No. 01 / Pid.Prap / 2015 / PN.Stg, in accordance with the rule of law as set
preformance legislation - law that legislation - Law No. 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure.
Keywords: Pretrial, arrest and detention, the rights of suspects.

1
ABSTRAK

Tesis ini membahas praperadilan tentang penangkapan dan panahanan dalam kaitannya dengan hak-
hak tersangka menurut KUHP (Studi Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Sintang Nomor
01/Pid.Prap/2015/PN.Stg). Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis-normatif . Dari hasil penelitian tesis ini diperoleh kesimpulan bahwa Fungsi
praperadilan dalam ruang lingkup wilayah hukum Kabupaten Sintang telah berjalan secara maksimal.
Kasus praperadilan yang terakhir tercatat di Pengadilan Negeri Sintang adalah kasus praperadilan
dengan Pengadilan Negeri Sintang Nomor 01/Pid.Prap/2015/PN.Stg. Dan setelah itu tidak ada lagi
kasus praperadilan yang masuk setelahnya. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan fungsi
praperadilan tersebut telah berjalan dengan baik dalam melakukan pengawasan secara horisontal
antara aparat penegak hukum yang terkait seperti hakim, jaksa maupun kepolisian. Selain itu
maksimalnya fungsi praeradilan tersebut juga dapat dari kinerja hakim, atau kepolisian sebagai
penyidik maupun kejaksaan selaku penuntut umum dalam tahap pemeriksaan telah sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan dalam undang ± undang. Setiap tindakan atau upaya paksa yang dilakukan
seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, dan lain ± lain telah dilakukan sesuai
dengan undang±undang. Namun dalam prakteknya sering dijumpai upaya atau tindakan±tindakan
paksa yang melanggar ketentuan dalam undang ± undang. Hal ini dikarenakan masih kurangnya
informasi dan pengetahuan masyarakat tentang keberadaan lembaga praperadilan ini beserta fungsi
dan tujuannya. Hal ini dimanfaatkan oleh oknum±RNQXP SHQ\LGLN \DQJ ³ QDNDO ³ XQWXN PHODNXNDQ
WLQGDNDQ \DQJ³QDNDO³SXOD WDQSD DODVDQ MHODV \DQJ EHUSRWHQVL PHQ\HEDENan terjadinya pelanggaran
terhadap hak asasi tesangka atau terdakwa. Oleh sebab itu diperlukan peran serta masyarakat untuk
turut membantu praperadilan dalam menjalankan fungsinya agar berjalan lebih optimal dan
kedepannya diharapkan tidak terjadi lagi pelanggaran hak asasi manusia akibat tindakan atau upaya
paksa yang melanggar undang ± undang.Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Sintang Nomor
01/Pid.Prap/2015/PN.Stg, pada dasarnya telah sesuai dengan ketentuan atau kaidah hukum yang
berlaku dalam undang±undang. Dari isi putusannya yang memuat tentang sah atau tidaknya
penahanan sebagaimana kaidah hukum dalam dalam Pasal 79 KUHAP, maupun dari pertimbangan
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya. Namun yang menjadi masalah adalah proses
administrasi pemeriksaaan perkara praperadilan yang cendrung tidak sesuai dengan prosedur
perundang undangan. Sebut saja tentang penetapan hari sidang. Dalam KUHAP, Pasal 82 ayat (1)
huruf a, penetapan hari sidang yakni tiga hari setelah register namun dalam putusan tersebut hanya
sehari setelah register. Sebenanya hal ini telah melanggar ketentuan. Tetapi dengan memperhatikan asas
peradilan cepat maka hal ini dapat dimaklumi dan dianggap wajar. Dengan pertimbangan bahwa jangan
sampai proses register ini memakan banyak waktu dan menghambat proses pemeriksaan. Selain itu,
dengan merajuk pada kaidah hukum yang tercantum dalam Pasal 82 ayat (2) huruf c KUHAP bahwa
putusan seharusnya dijatuhkan tujuh hari setelah perkara tersebut dicatatkan, tidak terpenuhi. Namun
secara garis besar sesuai yang telah dikemukakan diatas terutama tentang isi putusan dan pertimbangan
perimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan, bahwa Putusan Pengadilan Negeri Sintang Nomor
01/Pid.Prap/2015/PN.Stg, telah sesuai dengan kaidah hukum sebagaimana yang diatur dalm undang ±
undang yakni undang ± undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Kata Kunci : Praperadilan, penangkapan dan panahanan, dengan hak-hak tersangka.

2
Latar Belakang
Sebagai konsekuensi dan negara hukum, masyarakat diharuskan taat pada hukum.
Dengan kata lain pemerintah harus bisa melindungi kepentingan masyarakat atau
memberikan jaminan pelayanan jangan sampai terjadi hal-hal yang bertentangan dengan
peraturan hukum itu sendiri. Kalau sampai terjadi hal-hal yang bersifat pemaksaan terhadap
pelaksanaan hukum, maka hal tersebut tidak dibenarkan oleh hukum. Misalnya dalam suatu
kehidupan sehari hari terjadi suatu kasus pembunuhan sudah pasti pemerintah akan berusaha
mencari siapa pelaku sebenarnya peristiwa.
Dalam merealisasikan hukum di masyarakat tersebut tentunya diperlukan suatu proses
yang tidak main-main. Membangun dan merealisaikan hukum dalam kehidupan masyarakat
sudah pasti akan dihadapkan pada berbagai tantangan, baik yang disebabkan oleh faktor
internal maupun eksternal masyarakat itu sendiri. Pembenahan lembaga peradilan dan
lembaga penegak hukum lainnya, seperti kepolisian, kejaksaan, Pegawai Negeri Penyidik
Negeri Sipil (PPNS) merupakan suatu proses yang membutuhkan perencanaan yang terarah
dan terpadu, realistis dan sekaligus mencerminkan prioritas dan aspirasi kebutuhan
masyarakat. Pembenahan kelembagaan peradilan ditujukan untuk mewujudkan lembaga
pengadilan yang mandiri dan bebas dan pengaruh penguasa dan pihak manapun, tidak
memihak (imparsial), transparan, kompeten, memiliki akuntabilitas, partisipatif, cepat, dan
mudah diakses.
Pada dasarnya dalam hukum negara Indonesia terutama dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, kewenangan pemerintah untuk mencari dan memeriksa pelaku tindak
pidana dibatasi oleh sikap untuk tidak sewenang-wenang menangkap memeriksa dan
menghukum seseorang tanpa pembuktian dan prosedur yang jelas. Seseorang yang diduga
keras telah melakukan suatu tindak pidana harus diperlakukan juga seperti layaknya sebagai
manusia. Perlindungan terhadap hak asasi setiap orang termasuk orang yang sudah diduga
melakukan tindak pidana merupakan hal yang mutlak untuk diperlukan.
Hal ini didasarkan pada asas yang berlaku dalam hukum kita yakni asas praduga tak
bersalah atau yang biasa dikenal dengan presumtion of innocence. Hukum Acara Pidana telah
mengatu tentang hak-hak dan kewajiban penegak hukum menangani dan memeriksa perkara
pidana, termasuk di dalamnya mengatur tentang bagaimana memperlakukan setiap orang
sama kedudukannya dalam hukum.
Seperti yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan
tindak pidana, undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik dan penuntut

3
umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan
dan sebagainya. Setiap upaya paksa yang dilakukan pejabat penyidik atau penuntut umum
terhadap tersangka, pada hakikatnya merupakan perlakuan yang bersifat :
ƒ Tindakan paksa yang dibenarkan undang-undang demi kepentingan pemeriksaan tindak
pidana yang disangkakan kepada tersangka ;
ƒ Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan undang-undang, setiap tindakan paksa
dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan
terhadap hak asasi manusia.
Karena tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum merupakan
pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan ini harus
dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang
berlaku (due process of law).
Sesuai dengan konteks ini maka tindakan-tindakan penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan haruslah dilakukan secara yuridis formil dengan bentuk
tertulis sesuai kewenangan yang diberikan undang-undang. Jika dijabarkan lebih intens
terhadap asas ini mengandung pula pengertian bahwa tindakan - tindakan pejabat yang diberi
wewenang oleh undang-undang tersebut menimbulkan adanya asas kepastian di dalamnya,
yaitu kepastian terhadap ruang lingkup penangkapan dan kewenangannya (Pasal 16, Pasal
17, Pasal 18 dan Pasal 19 KUHAP), kepastian terhadap pejabat, macam-macam jangka
waktu penahanan dan penangguhannya (Pasal 19 sampai dengan Pasal 31 KUHAP),
kepastian terhadap macam-macam pejabat dan kewenangannya untuk melakukan
penggeledahan (Pasal 32 sampai dengan Pasal 37 KUHAP) dan kepastian adanya pejabat
dan kewenangannya untuk melakukan penyitaan, serta jenis-jenis penyitaan dan kelanjutan
terhadap barang-barang sitaan (Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 KUHAP).
Menangkap dan menahan berkaitan dengan menghilangkan kemerdekaan.
Menggeledah berkaitan dengan hak pribadi (privacy), menyita berkaitan dengan perampasan
hak milik. Hak atas kemerdekaan, privacy dan milik merupakan hak asasi utama yang harus
dilindungi dan dihormati. Karena itu setiap tindakan termasuk tindakan hukum yang
menghilangkan hak-hak tersebut harus diatur secara rinci untuk mencegah kesewenang-
wenangan.
Disamping itu ada upaya yang dapat dilakukan untuk mengeliminir pelaksanaan
penahanan yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku dan yang sangat
merugikan pihak tersangka/terdakwa atau keluarganya. Upaya-upaya tersebut sebagian besar
terdapat dan diatur dalam KUHAP, memang kenyataan ini cukup menggembirakan dengan

4
demikian diharapkan akan dapat memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki
oleh suatu negara hukum. Salah satu upaya tersebut adalah Praperadilan.
Mencermati hal tersebut diatas apabila seseorang yang ditangkap ataupun ditahan
disidik, atau dituntut tidak sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku ada suatu lembaga di
bidang penegakan hukum pidana yang mempunyai fungsi mengkoreksi atas tindakan yang
dilakukan oleh pejabat baik di tingkat penyidikan maupun penuntutan yang sering kita sebut
dengan istilah lembaga Praperadilan.
Menurut Andi Hamzah fakta yang terjadi sekarang ini penahanan dapat dimintakan
upaya hukum yang lain yaitu banding atau kasasi1. Di dalam KUHAP memang tidak diatur
tentang upaya hukum banding atau kasasi terhadap sah atau tidaknya penangkapan atau
penahanan, apabila sudah mendapatpenetapan dari hakim praperadilan. Namun kenyataan di
lapangan di dalam yurisprudensi diperbolehkan.
Pada dasarnya proses hukum acara pidana telah kita kenal sebelumnya dalam HIR
dan RBG. Kemudian dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana lebih menyempurnakan segalanya antara lain
mengenai diaturnya suatu lembaga praperadilan. Maksud dan tujuan dan dibentuknya
lembaga praperadilan itu adalah hanya semata mata untuk melindungi hak-hak tersangka
dalam tingkat pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh penyidik. Hal ini ada diatur
dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP sebagai berikut :
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus
menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang: Pertama, Sah atau tidaknya
suatu penagkapan dan penahanan atas permintaan tersangka. Kedua, Sah atau tidaknya
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum
dan keadilan. Ketiga, Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka. 2
Menurut Mohamad Anwar, praperadilan dan sudut etimologi terdiri dan dua kata,
"pra" yang berarti sebelum. "Peradilan" sendiri dapat dimaknai sebagai proses pemeriksaan
tersangka, saksi, barang bukti, penuntut umum atau Penasehat hukum, yang kemudian oleh
majelis Pengadilan Negeri memutus perkara dengan menjatuhkan pidana atau membebaskan
terdakwa dan se-gala tuntutan hukum3.

1
Andi Hamzah, 1987, Pengantar Hukum Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta
2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
3
Mohamad Anwar, 1989, Praperadilan di Indonesia, Ind. Hill. Co., Jakarta, hlm. 25.

5
Tujuan diadakan lembaga Praperadilan dalam dunia penegakan hukum di negara kita
adalah untuk memantapkan pengawasan (control) terhadap praktik pemeriksaan pidana
khususnya pada tingkat penyidikan dan penuntutan. Lebih jauh lagi yakni dalam rangka
menghargai hak asasi dan seseorang yang telah disangka melakukan suatu pelanggaran atau
kejahatan hukum.
Dengan adanya praperadilan ini diharapkan perkara pidana akan berjalan dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, penyidikan, penuntutan, penghentian penyidikan atau penuntutan
dan sebagainya tidak bisa dilakukan dengan semena-mena. Semua itu dilaksanakan untuk
mewujudkan perlindungan hukum terhadap hak-hak asasi manusia agar jangan sampai terjadi
perkosaan hak.
Adanya jaminan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dalam peraturan
hukum acara pidana mempunyai arti yang sangat penting sekali. Sebagian besar dalam
rangkaian proses dan hukum acara pidana menjurus kepada pembatasan-pembatasan hak-hak
asasi manusia seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan dan penghukuman
yang pada hakekatnya adalah pembatasan hak-hak asasi manusia.4
Dengan adanya lembaga praperadilan maka sangat diharapkan dapat membantu dan
memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak asasi tersangka sebagai upaya untuk
melindungi din dan upaya paksa oleh penyidik dan jaksa sebagai penuntut umum. Dengan
demikian secara otomatis hak-hak tersangka/terdakwa dapat dilindungi pula.
Titik berat perhatian pemeriksaan praperadilan dimulai untuk menentukan apakah
petugas telah melaksanakan secara sah atau tidak sah, tindakan penyidikan atau tindakan
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan. Selanjutnya permintaan
tentang ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya Pengaturan tentang
praperadilan yang begitu jelas dalam KUHAP kadang dalam praktiknya di lapangan tidak
sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini didasarkan pada kejadian-kejadian yang dapat kita
lihat, dengar dan saksikan secara langsung baik melalui media masa atau media elektronik 5.
Salah satu pemberitaan yang masih menjadi pembicaraan hangat pada saat ini adalah
Putusan Praperadilan yang ajukan oleh Komjen Pol Drs. Budi Gunawan,SH.,M.Si.
Pengaturan yang harus ada mengenai praperadilan atas keabsahan penetapan tersangka
setidaknya harus mencakup, kejelasan apakah keabsahan penetapan tersangka dapat menjadi

4
Pumomo, 1993, Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Pidana Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, Liberty, Yogyakarta,
hlm. 34
5
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.harus

6
salah satu objek praperadilan, sehingga kejelasan mengenai objek pemeriksaan dalam
praperadilan tersebut apabila diterima sebagai salah satu objek praperadilan, apakah hanya
sampai pemeriksaan bukti permulaan yang menjadi dasar penetapan tersangka, atau sampai
kepada keabsahan lembaga dan/atau aparat yang melakukan proses penyelidikan dan/atau
penyidikan. Dalam perkara pidana sebenarnya terlibat beberapa pihak. Diantara pihak-pihak
yang saling berhadapan itu terdapat hakim yang tidak memihak kedua pihak. Mekanisme
beracara dalam praperadilan itu sendiri, mulai dari tahapan pemeriksaan, teknis pemeriksaan,
sampai kepada siapa harus dibebankan beban pembuktian dalam perkara tersebut. Dalam hal
ini penulis tertarik dengan salah satu putusan hakim pengadilan negeri jakarta yaitu Hakim
Sarpin Rizaldi yang telah membacakan putusan dimana kasus posisinya adalah sebagai
berikut: Pemohon dalam Perkara No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel adalah Komisaris Jenderal
Polisi Drs. Budi Gunawan, S.H., M.si, sedangkan Termohon adalah Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPK) cq. Pimpinan KPK. Tentunnya putusan hakim tersebut
membuat sejarah baru dalam putusan praperadilan di Indonesia, yang mana hakim
menyatakan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK adalah tidak sah. 6

Permasalahan
Berdasarkan paparan pada latar belakang masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan
permasalahan adalah mengapa putusan praperadilan Pengadilan negeri sintang menolak
permohonan pemohon dalam kaitanya dengan penangkapan dan penahanan yang tidak sesuai
dengan ketentuan KUHAP ?

Pembahasan
KUHAP telah menciptakan lembaga baru yang dinamakan praperadilan yang
mempunyai tugas menjaga ketertiban pemeriksaan pendahuluan dan untuk melindungi
tersangka dan terdakwa terhadap tindakan-tindakan penyidik/kepolisian dan atau penuntut
umum/kejaksaan yang melanggar hukum dan merugikan tersangka.
Praperadilan sebagaimana ditentukan di dalam pasal 1 butir 10 KUHAP adalah :
³ZHZHQDQJ SUHSHUDGLODQ QHJHUL XQWXN PHPHULNVD GDQ PHPXWXV PHQXUXW FDUD \DQJ
diatur dalam undang-undang ialah diantaranya tentang :
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan penahan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan
c. Permintaan ganti rugi kerugian atas rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya
DWDV SLKDN ODLQ DWDV NXDVDQ\D \DQJ SHUNDUDQ\D WLGDN GLDMXDNDQ NHSHQJDGLODQ´
Dari itulah sehingga praperadilan merupakan bagian dari pengadilan negeri yang
diadakan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi tersangka atau terdakwa
6
Putusan Praperadilan Pengadilan Negari Jakarta Perkara No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

7
dalam peradilan pidana sehingga diperluakan suatu pengawasan yang dilaksanakan oleh
hakim. Hal ini sejalan dengan tuntutan zaman yang menghendaki hakim mempunyai peran
aktif dalam peradilan pidana demi tegaknya hukum dan keadilan dan diharapkan hakim dapat
menjalankan tugas seadil-adilnya dan tidak memihak serta memberikan perlindungan terhadap
hak asasi manusia terutama mereka yang bersangkutan dalam peradilan pidana.
Pengertian umum tersebut memberikan penjabaran tentang maksud dan tujuan
dibentuknya KUHAP antara lain karena dipandang bahwa HIR sudah ketinggalan zaman,
dan tidak sesuai lagi dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat yang semakin maju
dan modern. Serta bertujuan demi tegaknya hukum, kepastian hukum dan perlindungan hak
asasi tersangka sebab menurut KUHAP, setiap tindakan upaya paksa haruslah sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHAP. Karena setiap tindakan upaya paksa seperti
penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penuntutan dan sebagainya yang
dilakukan bertentangan dengan hukum dan perundangundangan adalah suatu tindakan
perkosaan dan perampasan hak asasi manusia.
Oleh karena itu, prinsip yang terkandung yang terkandung dalam praperadilan
bermaksud dan bertujuan untuk melakukan tindakan pengawasan secara horisontal terhadap
tindakan-tindakan paksa yang bertentangan dengan undang-undang.Sifat dan fungsi
praperadilan yang khas, spesifik dan karakteristik tersebut menjadi pedoman dalam hal
pencegahan tindakan upaya paksa sebelum seorang diputus oleh pengadilan. Pencegahan
tindakan paksa yang merampas hak kemerdekaan setiap warga negara, pencegahan atas
tindakan yang melanggar hak-hak asasi tersangka atau terdakwa, agar segala sesuatunya
berjalan atau berlangsung sesuai dengan hukum dan perundang-undangan.
Fungsi kontrol itu akan lebih nampak dan efektif manakala setiap tindakan/peristiwa
yang menyimpang dari ketentuan undang-undang tersebut dapat segera dicegah atau dilakukan
tindakan hukum demi tegaknya hukum dan keadilan, serta kepastian hukum. Juga fungsi
kontrol praperadilan tersebut akan mengkaji ulang tindakan hukum yang telah dilakukan
pejabat penegak hukum itu telah sesuai atau proporsional, dalam kaitannya dengan tindakan
hukum yang ditempuh oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim,. Apakah telah sesuai
dengan prosedur ketentuan perundang-undangan ataukah tidak.
Lantas, bagaimanakah fungsi pelaksanaan lembaga praperadilan dalam ruang lingkup
wilayah hukum Kabupaten Sintang? Tentulah dibutuhkan pengkajian yang lebih lanjut.
Kabupaten Sintang merupakan salah satu wilayah di Kalimantan Barat yang memiliki letak
geografis yang strategis. Karena letaknya itulah, Kabupaten Sintang, memiliki unsur-unsur

8
masyarakat yang unik seperti beraneka bahasa, suku bangsa, agama, dan kebudayaan.
Keuntungan lain yang didapatkan dari letak yang strategis itu yakni berlimpahnya sumber
daya alam sehingga pertumbuhan ekonomi di kota ini cukup pesat.
Dalam hal wilayah hukum sebagai kota Kabupaten Sintang telah dilengkapi oleh
kehadiran lembaga ± lembaga penegak hukum yang independen seperti Polres, Rumah
tahanan, Lembaga Pemasyarakatan, Kejaksaan Negeri, Pengadilan Negeri, Pengadilan
Agama, hingga lembaga- lembaga bantuan hukum, advokat maupun notaris. Kehadiran
lembaga hukum ini tentunya diharapkan mampu berkolaborasi dengan lembaga pelayanan
masyarakat guna menunjang unsur ± unsur masyarakat yang terkandung di dalamnya untuk
menciptakan masyarakat Kabupaten Sintang yang sejahtera dan taat hukum.
Dalam hal penegakan hak asasi manusia, Kabupaten Sintang dengan segala
perkembangan dalam masyarakatnya, hak asasi manusia menjadi barang mahal yang patut
untuk dijaga dan dipertahankan. Sehingga perlu diadaknya sebuah pengawasan terhadap
pelanggaran terhadap hak ± hak asasi manusia tersebut. Inilah fungsi lembaga praperadilan
dalam melakukan pengawasan agar tidak terjadi tindakan upaya paksa yang tidak sesuai
dengan undang ± undang. Namun apakah fungsi ini telah terpenuhi secara maksimal?
Terutama pelaksanaannya dalam ruang lingkup wilayah hukum Kabupaten Sintang? Untuk
itu, penulis melakukan penelitian guna memastikan hal tersebut.
Mula±mula penulis mengkaji fungsi lembaga praperadilan terhadap kinerja
kepolisian di wilayah hukum Kabupaten Sintang selaku penyidik yang melakukan
penyidikan terhadap suatu perkara di tingkat pemeriksaan. Dalam hal ini, fungsi praperadilan
dalam melakukan pengawasan terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan pihak penyidik
atau kepolisian, dengan sendirinya memberikan batasan kepada penyidik atau kepolisian
untuk melakukan upaya paksa tersebut. Upaya paksa yang dilakukan harus sesuai dengan
koridor hukum yang telah dicantumkan dalam KUHAP. Hal ini menuntut pihak kepolisian
atau penyidik untuk berhati ± hati dalam melakukan tindakan paksa seperti penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan dan lain ± lain karena sarat akan terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia terhadap tersangka ataupun terdakwa.
Saat melakukan penangkapan misalnya, salah satu prosedur penting yang harus
dipenuhi saat melakukan penangkapan adalah dengan adanya surat perintah penangkapan
(diluar dari penangkapan karena tetangkap tangan. Penangkapan karena tertangkap tangan
tidak membutuhkan surat penangkapan). Jika hal ini tidak terpenuhi maka, tindakan atau upaya
paksa penangkapan yang dilakukan tersebut telah melanggar kaidah hukum sebagaimana yang

9
dicantumkan dalam KUHAP. Hal inilah yang perlu diawasi agar tindakan atau upaya paksa
yang seperti itu tidak menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dalam hal ini
tersangka atau terdakwa.Berikutnya dalam tahap pemeriksaan, penyidik tidak boleh semena ±
mena dalam melakukan pemeriksaan misalnya dalam hal meminta keterangan tersangka
(accusatoir). Sehingga tersangka atau terdakwa dalam memberikan keterangan tidak tertekan
dan terbebani. Karena pada dasarnya membuat orang lain tertekan sudah merupakan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia
Selanjutnya fungsi praperadilan bagi jajaran kejaksaan. Telah disebutkan diawal
bahwa salah satu wewenang praperadilan yaitu memeriksa sah atau tidaknya penhentian
penunututan yang dilakukan oleh penuntut umum dalam hal ini jaksa. Dari pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa jaksa dalam hal ini penuntut umum memiliki wewenang
untuk melakukan penghentian penuntutan. Namun penuntutan yang dilakukan bukan tanpa
alasan melainkan harus sesuai dengan kaidah yang diatur dalam undang±undang. Sama
halnya dengan penangkapan yang dilakukan penyidik (Polri) dibutuhkan alasan ± alasan yang
tepat bagi Jaksa penuntut umum untuk melakukan penghentian penuntutan misalnya tidak
cukup bukti untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan. Atau apa yang disangkakan
kepada tersangka bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran tindak pidana.
Bagi tersangka atau terdakwa, fungsi praperadilan ini tentunya memberikan dampak
yang sangat besar bagi tersangka atau terdakwa. Dalam hal pemeriksaan misalnya, baik dalam
tingkat penyidikan maupun dalam tingkat penuntutan tersangka atau terdakwa memiliki hak
untuk meberikan keterangan sebebas±bebasnya. Sehingga tidak ada tekanan dan tidak
membebani tersangka. Seperti inilah prosedur yang ditetapkan undang ± undang. Dan jika
prosedur itu ternyata tidak diindahkan maka tersangka atau terdakwa atau pihak yang
berkepentingan berkesempatan untuk mengajukan permohonan kepada praperadilan
mengenai tindakan upaya paksa tersebut untuk kemudian di periksa dan diputuskan bahwa
tindakan atau upaya paksa tersebut tidak sesuai dengan ketentuan undang ± undang.
Namun fungsi pengawasan praperadilan terhadap tindakan atau upaya paksa, dalam
pelaksanaannya di wilayah hukum Kabupaten Sintang bukanlah tanpa hambatan. Misalnya
saja pengetahuan masyarakat tentang adanya lembaga praperadilan ini masih sangat minim.
Kalaupun ada yang mengetahui, hanyalah orang ± orang yang berlatar belakang disiplin ilmu
hukum saja yang mengetahuinya. Penulis telah mengadakan penelitian berupa wawancara
langsung dengan beberapa orang warga masyarakat di beberapa tempat di Kabupaten
Sintang. Dan hanya sebagian kecil diantara mereka yang mengetahui tentang praperadilan

10
ini. Itupun hanya sekedar tahu namun tidak mengerti fungsi dan tujuannya. Hal ini juga
terlihat dari jarangnya perkara tentang praperadilan di Pengadilan Negeri Sintang. Putusan
perkara peradilan yang terakhir ditemukan di Pengadilan Negeri Sintang Nomor
01/Pid.Prap/2015/PN.Stg yang lalu dan hingga saat ini belum ada perkara praperadilan yang
masuk setelahnya.
Selain itu keberadaan sarjana hukum di wilayah hukum Kabupaten Sintang ini masih
sangat minim. Hal ini terlihat dengan masih minimnya ditemukan lembaga±lembaga bantuan
hukum diwilayah ini. Meskipun ditemukan namun jumlahnya tidak seberapa. Berbeda
dengan wilayah hukum Kota Pontianak yang hampir setiap ruas jalan dapat dengan mudah
dijumpai lembaga±lembaga bantuan hukum baik itu berupa advokat maupun notaris. Hal ini
tentu sangat ironis, mengingat Kabupaten Sintang sebagai kota yang memiliki perkembangan
ekonomi yang pesat tidak diiringi dengan perkembangan hukum yang pesat pula. Padahal
keberadaan sarjana hukum sangat membantu dalam pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap
upaya±upaya paksa yang memungkinkan terjadinya pelanggaran terhadap ha ±hak asasi
manusia.
Selanjutnya, penulis melakukan penelitian terhadap beberapa orang yang pernah
dilakukan penangkapan atau penahanan terhadap dirinya. Dari beberapa orang tersebut
mengungkapkan bahwa dalam tahap pemeriksaan, pihak penyidik memaksa tersangka untuk
mengakui perbuatanya (inkuisatoir). Dan tak jarang mereka mendapatkan penganiayaan
dalam pemeriksaan tersebut meskipun pada akhirnya mereka di bebaskan dengan berbagai
alasan yang tak jelas.
Belum lagi penahanan yang juga sempat dialami oleh salah seorang yang telah
dilakukan penelitian tersebut. Sebut saja salah seorang tersebut mendapatkan surat panggilan
dari penyidik kepolisian untuk memberikan kesaksian terhadap suatu kasus, namun ternyata
tanpa alasan yang jelas orang tesebut kemudian ditahan selama satu malam dan dilakukan
penganiaan terhadap dirinya. Dan terhadap penahanan tersebut tidak ada surat pemberitahuan
terhadap keluarganya, padahal dalam KUHAP telah dijelaskan bahwa setiap penahanan atau
perpanjangan penahahan harus disertai dengan surat perintah penahanan atau surat perintah
perpanjangan penahanan dengan menguraikan alasannya dan ditembuskan kepada
keluarganya. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan apakah penahanan ini murni dilakukan
untuk kepentingan pemeriksaan atau hanya sekedar manifestasi kekuasaan dari oknum
pejabat tertentu yang tidak bertanggung jawab. Ini merupakan pelanggaran besar terhadap
hak asasi manusia.

11
Dari hasil penelitian tersebut dapat dimpulkan bahwa ternyata masih banyak praktek
± praktek dalam pemeriksaan yang tidak sesuai dengan ketentuan undang ± undang dalam
hal ini KUHAP. Dan lebih buruk lagi, bagi tersangka atau terdakwa tidak ada upaya untuk
melakukan pemeriksaan terhadap tindakan atau upaya paksa yang melanggar undang ±
undang tersebut. Entah karena tidak tahu atau takut tehadap polisi. Karena di Kabupaten
Sintang ini masih banyak dijumpai masyarakat yang memiliki kecendrungan takut terhadap
polisi terutama mereka yang bertempat tinggal dalam wilayah yang jauh dari pusat kota atau
terisolisir, ditambah kurangnya pengetahuan mereka terhadap hukum. Itulah sebabnya
keberadaan praperadilan ini selain untuk menjaga dan mengawasi upaya paksa yang
dilakukan penyidik maupun penuntut umum, juga memberikan motivasi kepada masyarakat
untuk tidak takut terhadap kepolisian atau penyidik, sehingga terjadi kesetaraan antara
masyarakat dan kepolisian.
Dari penjabaran diatas, dapat dikatakan bahwa fungsi praperadilan dalam ruang
lingkup wilayah hukum Kabupaten Sintang telah berjalan secara maksimal. Kasus
praperadilan yang terakhir tercatat di Pengadilan Negeri Sintang adalah kasus praperadilan
dengan nomor putusan Nomor 01/Pid.Prap/2015/PN.Stg . Dan setelah itu belum ada lagi
kasus praperadilan yang masuk setelahnya. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan fungsi
praperadilan tersebut telah berjalan dengan baik dalam melakukan pengawasan secara
horisontal antara aparat penegak hukum yang terkait seperti hakim, jaksa maupun kepolisian.
Selain itu maksimalnya fungsi praeradilan tersebut juga dapat dari kinerja hakim, atau
kepolisian sebagai penyidik maupun kejaksaan selaku penuntut umum dalam tahap
pemeriksaan telah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam undang±undang. Setiap
tindakan atau upaya paksa yang dilakukan seperti penangkapan, penahanan, penyitaan,
penggeledahan, dan lain±lain telah dilakukan sesuai dengan undang±undang.
Namun dalam prakteknya sering dijumpai upaya atau tindakan ± tindakan paksa yang
melanggar ketentuan dalam undang ± undang. Hal ini dikarenakan masih kurangnya
informasi dan pengetahuan masyarakat tentang keberaadaan lembaga praperadilan ini beserta
fungsi dan tujuannya. Hal ini dimanfaatkan oleh oknum ± RNQXP SHQ\LGLN \DQJ ³ QDNDO ³
unWXN PHODNXNDQ WLQGDNDQ \DQJ ³ QDNDO ³ SXOD WDQSD DODVDQ MHODV \DQJ EHUSRWHQVL
menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi tesangka atau terdakwa. Oleh sebab
itu diperlukan peran serta masyarakat untuk turut membantu praperadilan dalam
menjalankan fungsinya agar berjalan lebih optimal dan kedepannya diharapkan tidak terjadi
lagi pelanggaran hak asasi manusia akibat tindakan atau upaya paksa yang melanggar

12
undang ±undang.
Diatas adalah contoh putusan praperadilan yang diperoleh di Pengadilan Negeri
Sintang. Dan putusan itu akan kita kaji apakah putusan tersebut telah sesuai dengan prosedur
undang ± undang atau tidak. Sebelumnya telah jelaskan tentang proses ± proses praperadilan
seperti proses pemeriksaan perkara, bentuk putusan, dan isi putusan. Dan kita akan mencari
tahu apakah putusan diatas telah memenuhi unsur ± unsur tersebut.
Pertama, proses pemeriksaan praperadilan. Dalam putusan tersebut yang menjadi
pemohon adalah HALIMAH Binti ANDUT, seorang Ibu rumah tangga. Dalam perkara
tersebut, pemohon diwakili oleh kuasa hukumnya yakni M. TAMSIL SJOEKOER, SH.,MH.,
SIL, SH., MEISKE T. KORENGKENG, SH. dan BANJEIR LH, SH., Sedangkan yang
menjadi termohon adalah Kepolisian Resort Sintang yang di dampingi oleh kuasa hukumnya:
AKBP DR. W. MARBUN, SH., MH., KOMPOL M. WAHYUDI., SH., MH., AKP LELY
SUHERI, SH., AKP DODDY SANTOSO, P.,SH., M. PASARIBU, SH., BRIGADIR DIDIK
PRAMONO, SH. dan BRIGADIR N. LING, SH berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 8
Januari 2015 dan Surat Perintah Nomor Sprin/20/I/2015 tanggal 7 Januari 2015.
Sebagaimana kaidah hukum yang dicantumkan dalam KUHAP yakni Pasal 79 KUHAP,
bahwa yang berhak mengajukan permohonan praperadilan adalah tersangka, keluarganya atau
kuasanya, Dan dalam putusan ini kaidah hukum tersebut telah terpenuhi.
Tata cara pengajuan perkara praperadilan dalam putusan tersebut pun telah sesuai
dengan ketentuan undang±undang. Permohonan perkara dalam putusan tersebut duajukan ke
Ketua Pengadilan Negeri, dan diregister dalam perkara praperadilan, lalu kemudian Ketua
Pengadilan Negeri menunjuk Hakim dan Panitera. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 82
ayat (1) huruf a, yang menegaskan bahwa dalam waktu 3 hari setelah diterima permintaan,
hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang. Agar yang dituntut dalam pasal tersebut dapat
dilaksanankan dengan cepat setelah pencatatan dalam register, panitera memintakan kepada
Ketua Pengadilan Negeri untuk segera menunjuk dan menetapkan hakim dan panitera yang
akan bertindak memeriksa permohonan tersebut. Selanjutnya, kaidah hukum tentang
pemeriksaan dilakukan oleh hakim tunggal merujuk pada ketentuan dalam Pasal 78 ayat (2)
KUHAP telah terpenuhi. Dalam putusan tersebut, yang bertindak sebgai hakim tunggal
yakni Edy Alex Serayox, SH.,MH.,dan dibantu oleh panitera Rostina, SH.
Pertama mengenai surat perintah penangkapan Nomor:
SP.Kap/138/XII/2014/Reskrim, tanggal 26 Desember 2014 dan Surat Perintah Penahanan
Nomor : SP.Kap/131/XII/2014/Reskrim, tertanggal 27 Desember 2014 tidak sah atau cacat

13
hukum, karena tidak menguraikan secara singkat dan jelas tentang berbuatan/tindak pidana
yang dipersangkakan (Vide Pasal 18 ayat 1 KUHAP). Dalam Pasal 1 angka 20 Undang-
Undang RI Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP adalah suatu tindakan Penyidik berupa
Pengekangan sementara waktu kebebasan Tersangka atau Terdakwa apabila terdapat cukup
bukti guna kepentingan Penyidikan atau Penuntutan dan atau Peradilan dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini yang selanjutnya ditegaskan dalam
pasal 17 UU RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menerangkan "Perintah
Penangkapan dilakukan terhadap seorang yang di duga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti permulaan yang cukup dan diperkuat dengan Keputusan Bersama
Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung dan Kapolri No : 08/KMA/1984,
No : M.02-KP.10.06 tahun 1984, No : KEP-076/J.A/3/1984, No : Pol KEP/04/III/1984
tentang Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana (Mahkejapol) dan pada
Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan
Tindak Pidana yaitu Laporan Pollsi serta ditambah dengan satu alat bukti yang sah
sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, bahwa sudah jelas bahwa dengan
adanya bukti surat P-1 dan P-2 yang diajukan dipersidangan oleh Pemohon maka dapat
disimpulkan bahwa keluarga Pemohon telah mengetahui siapa / instansi mana yang telah
melakukan Penangkapan dan Penahanan serta keluarga Pemohon juga mengetahui tindak
pidana apa yang disangkakan kepadanya maupun mengetahui dimana Pemohon diperiksa,
maka berdasarkan uraian tersebut, Hakim berpendapat hakikat dari fungsi tembusan surat
Perintah Penangkapan telah terpenuhi sehingga terhadap Penangkapan Pemohon tersebut
dilakukan dengan prosedural hukum.
Kedua, penerapan pasal 335 KUHP Jo Pasal 55 KUHP dalam Surat Perintah
Penangkapan Nomor SP.Kap/1381XII/2014/Reskrim, tanggal 26 Desember 2014 dan Surat
Perintah Penahanan setelah Putusan MK No. 1/PPU-XI/2013; bahwa bahwa terhadap pasal
335 KUHP dalam Putusan MK No. 1/PPU-XI/2013 tanggal 16 Januari 2013 terkait dengan
frasa pada Pasal 335 ayat (1) KUHP adalah selaras dengan frasa Pasal 335 ayat (1)
sebagaimana Putusan MK dimaksud karena frasa tersebut berbunny "barang siapa secara
melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan
sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik
terhadap (yang itu sendiri maupun orang lain". Dalam perkara a quo mengenai penerapan
Pasal tersebut di atas Hakim berpendapat terhadap penerapan Pasal yang dipermasalakan
Pemohon adalah kewenangan penyidik dalam menentukan Pasal yang harus diterapkannya

14
dangan atas dasar perbuatan Pemohon yang didasarkan dengan bukti permulaan yang cukup
sehingga untuk membuktikan apakah Pemohon bersalah atau tidak menurut Pasal yang
dipersangkakan Termohon akan dibuktikan dalam perkara pokok oleh Hakim di Pengadilan,
begitu juga dengan penerapan Pasal 55 KUHP pada Surat Perintah Penangkapan dan
Penahanan oleh Termohon, dalam jawaban Termohon dikarenakan selain Tersangka
HALIMAH Binti ANDUT (Pemohon) dan juga ada tersangka lain yaitu Tersangka
HERMANUS EDI Als. EDI Anak dari Tangkir yang diduga melakukan penyegelan dengan
cara memalang pintu menggunakan kayu pada pintu kantor utama perusahaan sawit PT.
BUMI SENTOSA LESTARI (BSL) di Dusun Rasuk Desa Penyak Lalang, Kecamatan
Dedai, Kabupaten Sintang, pada hari Selasa tanggal 23 Desember 2014 sekitar pukul 12.15
Wib pada saat pelaksanaan demo yang melibatkan puluhan masyarakat, sehingga terhadap
dalil Pemohon di atas bukan merupakan wewenang praperadilan, maka Hakim berpendapat
dalil Pemohon tersebut tidak beralasan.
Ketiga, adanya perbedaan dalam Surat Perintah Penahanan Nomor :
SP.Kap/131/XII/2014/Reskrim, tertanggal 27 Desember 2014 yang diterima oleh suami
Pemohon langsung dengan Surat Perintah Penahanan Nomor :
SP.Kap/131/XII/2014/Reskrim, tertanggal 27 Desember 2014 an dipegang Termohon,
bahwaemohon juga dalam perkara a quo mempermasalahkan jangka waktu penahanan yang
terhitung selama 20 (dua puluh) hari, yang dimulai tanggal 27 Desember 2014 sampai
dengan tanggal 15 Desember 2014 di rumah tahanan Negara di Polres Sintang berdasarkan
Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Kap/131/XII/2014/Reskrim tertanggal 27 Desember
2014 menjadi tidak jelas yang terhitung mundur, oleh Termohon dalam dalilnya Surat
Perintah Penangkapan sudah sesuai prosedur menurut KUHAP, sedangkan Surat Perintah
Penahanan yang diklaim tersebut dalam dalil Termohon dibenarkannya, namun hal tersebut
diakui Termohon salah pengetikan sehingga oleh Termohon diperbaiki seketika hari itu juga
dengan nomor yang sama sesuai dengan bukti surat T.50 dan dikirim melalui Via Pos pada
tanggal 27 Desember 2014 sesuai dengan bukti surat T.48 dan diperkuat dengan keterangan
saksi BUDI WIJAYA yang menerangkan ada kekeliruan mengenai pengetikan Surat
Penangkapan dan Penahanan yang diserahkan kepada keluarga Pemohon yaitu saksi
TAMBEREN yang tidak lain adalah suami Pemohon, namun Surat tersebut di perbaiki pada
hari itu juga pada tanggal 27 Desember 2014, yang mana tindakan penyidik tersebut sudah
dilengkapi dengan Berita Acara Penangkapan sesuai dengan bukti surat T.26 dan Berita
Acara Penahanan sesuai dengan bukti surat T.30 yang telah ditandatangani oleh Pemohon,

15
sehingga Tindakan Termohon adalah selaras dan sesuai dengan Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18
ayat (1), ayat (3), Pasal 19 KUHAP, dalam perkara a quo juga diperkuat dengan keterangan
saksi TAMBEREN (Suami Pemohon) yang menerangkan bahwa saksi ada menandatangani
serah terima surat yang diberikan oleh anggota Polres sebanyak 2 (dua) amplop, yaitu Surat
Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan atas nama HALIMAH Binti ANDUT
(Pemohon) serta keterangan saksi DJONI ANWAR SEKNUN yang menerangkan
penangkapan terhadap Pemohon ada dilengkapi Surat Perintah Penangkapan dan Surat
Perintah Penahanan dan diserahkan pada tanggal 27 Desember 2014 kepada keluarga Sdri.
HALIMAH Binti ANDUT (Pemohon) yang bernama TAMBERIN dan Surat Perintah
Penahanan Nomor: SP.Kap/131/XII/2014/Reskrim, tertanggal 27 Desember 2014 jangka
waktu penahanan yang terhitung selama 20 (dua puluh) hari, dimulai dari tanggal 27
Desember 2014 sampai dengan tanggal 15 Desember 2014 di rumah tahanan Negara di
Polres Sintang oleh Termohon diakui terjadi kekeliruan penulisan tanggal 15 Desember
2014, akan tetapi yang sesungguhnya tanggal 15 Januari.
Pada dasarnya undang-undang tidak mernberikan defenisi atau pengertian apa itu
bukti yang cukup ataupun bukti permulaan dalam hal penyidik akan melakukan
penangkapan dan atau penahanan terhadap diri tersangka atau terdakwa namun dalam hal ini
sesuai dengan praktek penegakan hukum pengetian bukti yang cukup harus di proporsikan
sesuai dengan taraf-taraf pemeriksaan yang berarti bahwa pada taraf penyidikan tentu sudah
dapat dianggap cukup terbukti apabila telah di ketemukan oleh penyidik batas minimum
pembuktian yang dapat diajukan nanti ke persidangan sesuai dengan alat-alat bukti yang
ditentukan dalam pasal 184 KUHAP seperti :
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4 . P et unjuk
5. Keterangan terdakwa
Hal tersebut untuk memberikan kelonggaran kepada penyidik untuk menilai
berdasarkan kewajaran, apakah perkara yang sedang ditangani / dilakukan penyidikan
sudah cukup bukti atau tidak tergantung daripenilaian yang wajar dari penyidik.
Selain itu, meskipun Pemohon Pra Peradilan telah menyampaikan surat-surat
bukti yang diberi tanda P.l sampai dengan P.9 dimana terhadap surat-surat bukti tersebut
khususnya sural bukti P.2 sampai dengan P.8 menurut Pengadilan tidaklah tepat untuk

16
diajukan dalam pemeriksaan sidang Pra Peradilan ini, mengingat pertimbangan-
pertimbangan tersebut diatas dan juga akan lebih tepat seyogyanya untuk pembuktian
dalam hal pokok perkaranya.
Inilah yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam
perkara praperadilan Nomor 01/Pid.Prap/2015/PN.Stg. Dan berdasarkan pertimbangan
tesebut hakim menjatuhkan putusan menolak seluruhnya permohonan pemohon dan
membebankan biaya perkara kepada pemohon. Dengan demikian penahanan yang
dilakukan oleh Kepolisian Resort Sintang kepada HALIMAH Binti ANDUT adalah sah.
Dan menurut hemat penulis, isi putusan tersebut telah tepat dan sesuai dengan ketentuan
undang ± undang baik dari segi isi putusannya maupun pertimbangan ± pertimbangan
yang menjadi dasar bagi hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara
praperadilan tersebut.
Berikunya, hal ± hal lain mengenai kaidah ± kaidah hukum yang dapat diterapkan
dalam putusan ini diantaranya tentang kaidah hukum dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d
KUHAP, yakni tentang gugurnya permintaan Praperadilan. Memperhatikan ketentuan
tersebut, gugurnya pemeriksaan praperadilan terjadi :
- Apabila perkaranya telah diperiksa oleh pengadilan negeri
- Pada saat perkaranya diperiksa Pengadilan Negeri, pemeriksaan Praperadilan belum
selesai.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa putusan praperadilan Pengadilan Negeri
Sintang Nomor 01/Pid.Prap/2015/PN.Stg dinyatakan tidak gugur karena diputus sebelum
Pokok perkaranya diperiksan di Pengadian Negeri yang bersangkutan. Kaidah hukum lain
yang dapat diterapkan dalam putusan tersebut yakni kaidah hukum tentang upaya hukum
dalam praperadilan. Dan terhadap putusan tersebut tidak dapat dilakukan upaya hukum
banding. Sebagaimana kaidah hukum yang tercantum dalam Pasal 83 KUHAP bahwa
Penetapan sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan dan Putusan Ganti Kerugian
dan Rehabilitasi tidak dapat dilakukan upaya hukum banding. Sehingga jelas bahwa
putusan praperadilan Pengadilan Negeri Sintang Nomor 01/Pid.Prap/2015/PN.Stg
berdasarkan Pasal 83 KUHAP tidak dapat dilakukan upaya hukum banding.

Kesimpulan
Fungsi praperadilan dalam ruang lingkup wilayah hukum Kabupaten Sintang telah
berjalan secara maksimal. Kasus praperadilan yang terakhir tercatat di Pengadilan Negeri
Sintang adalah kasus praperadilan dengan Pengadilan Negeri Sintang Nomor

17
01/Pid.Prap/2015/PN.Stg. Dan setelah itu tidak ada lagi kasus praperadilan yang masuk
setelahnya. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan fungsi praperadilan tersebut telah
berjalan dengan baik dalam melakukan pengawasan secara horisontal antara aparat penegak
hukum yang terkait seperti hakim, jaksa maupun kepolisian. Selain itu maksimalnya fungsi
praeradilan tersebut juga dapat dari kinerja hakim, atau kepolisian sebagai penyidik maupun
kejaksaan selaku penuntut umum dalam tahap pemeriksaan telah sesuai dengan prosedur
yang ditetapkan dalam undang ± undang. Setiap tindakan atau upaya paksa yang dilakukan
seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, dan lain ± lain telah dilakukan
sesuai dengan undang±undang. Namun dalam prakteknya sering dijumpai upaya atau
tindakan±tindakan paksa yang melanggar ketentuan dalam undang ± undang. Hal ini
dikarenakan masih kurangnya informasi dan pengetahuan masyarakat tentang keberadaan
lembaga praperadilan ini beserta fungsi dan tujuannya. Hal ini dimanfaatkan oleh oknum±
RNQXP SHQ\LGLN \DQJ ³ QDNDO ³ XQWXN PHODNXNDQ WLQGDNDQ \DQJ³QDNDO³SXOD WDQSD DODVDQ
jelas yang berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi tesangka atau
terdakwa. Oleh sebab itu diperlukan peran serta masyarakat untuk turut membantu
praperadilan dalam menjalankan fungsinya agar berjalan lebih optimal dan kedepannya
diharapkan tidak terjadi lagi pelanggaran hak asasi manusia akibat tindakan atau upaya
paksa yang melanggar undang ± undang.
Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Sintang Nomor 01/Pid.Prap/2015/PN.Stg,
pada dasarnya telah sesuai dengan ketentuan atau kaidah hukum yang berlaku dalam
undang±undang. Dari isi putusannya yang memuat tentang sah atau tidaknya penahanan
sebagaimana kaidah hukum dalam dalam Pasal 79 KUHAP, maupun dari pertimbangan
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya. Namun yang menjadi masalah adalah
proses administrasi pemeriksaaan perkara praperadilan yang cendrung tidak sesuai dengan
prosedur perundang undangan. Sebut saja tentang penetapan hari sidang. Dalam KUHAP,
Pasal 82 ayat (1) huruf a, penetapan hari sidang yakni tiga hari setelah register namun dalam
putusan tersebut hanya sehari setelah register. Sebenanya hal ini telah melanggar ketentuan.
Tetapi dengan memperhatikan asas peradilan cepat maka hal ini dapat dimaklumi dan dianggap
wajar. Dengan pertimbangan bahwa jangan sampai proses register ini memakan banyak waktu
dan menghambat proses pemeriksaan. Selain itu, dengan merajuk pada kaidah hukum yang
tercantum dalam Pasal 82 ayat (2) huruf c KUHAP bahwa putusan seharusnya dijatuhkan tujuh
hari setelah perkara tersebut dicatatkan, tidak terpenuhi. Namun secara garis besar sesuai yang
telah dikemukakan diatas terutama tentang isi putusan dan pertimbangan perimbangan hakim
dalam menjatuhkan putusan, bahwa Putusan Pengadilan Negeri Sintang Nomor
18
01/Pid.Prap/2015/PN.Stg, telah sesuai dengan kaidah hukum sebagaimana yang diatur dalm
undang ± undang yakni undang ± undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

19
Daftar Pustaka
Adami Chazawi, 2002.Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.

Andi Hamzah, 1991. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.

__________,2006.Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, jakarta : Sinar Grafika.

Bambang Poernomo, 1985. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Barda Nawawi Arief, 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : PT. Citra
Aditya Bhakti.

__________,1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum


Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-1.

__________, 2006. Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu,
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

__________, 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan


Konsep KUHP Baru), Jakarta : Kencana.

__________,2008. Perkembangan Asas hukum Pidana Indonesia, Pustaka Magister Semarang.

__________, 2008. RUU KUHP Baru, Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum


Pidana Indonesia, Semarang : Penerbit Pustaka Magister.

__________, 2009. Tujuan Dan Pedoman Pemidanaan : Perspektif Pembaharuan Hukum


Pidana dan Perbandingan Beberapa Negara, Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.

Bawengan, Gerson. W, 1983. Hukum Pidana di dalam Teori dan Praktek, Jakarta : Pradnya
Paramita.

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 1982.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya,Jakarta: Alumni AHM- PTHM.
Hartono Hadisoeprapto, 1982. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Yogyakarta : Bina
Aksara.

H.R Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007. Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Restu Agung.

Jan Remmelink, 2003. Hukum Pidana, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

J.M. van Bemmelen, 1979. Hukum Pidana 1, Bandung: Binacipta.

Lamintang,P.A.F. 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru.

Moeljatno, 1985. Hukum Pidana Delik-delik Percobaan delik-delik Penyertaan, Jakarta : Bina
Aksara.

20
__________,1987. Azas-azas Hukum Pidana,Jakarta : Bina Aksara.

Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005. Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang.

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme


Bina Cipta, Bandung, 1996.

Ronny Hanitijo Soemitro, 1994. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan
Kelima, Jakarta : Ghalia Indonesia.

R Tresna, tt. Komentar HIR, Jakarta :Pradnya Paramita.

S. Schaffmeister, dkk, 1995. Hukum Pidana, Yogyakarta : Liberty.

R.Soesilo, 1984. Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik


Khusus, Bogor : Politia.

Satochid Kartanegara,tt. Hukum Pidana I & II (Kumpulan Kuliah), Jakarta : Balai Lektur
Mahasiswa.

Satjipto Rahardjo, tt. Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, BPHN,
Departemen Kehakiman, tt, Jakarta: Sinar Baru.

---------------1980. Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan, Alumni, Bandung.

Satjipto Rahardjo, 1993. Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru,
Bandung.

Soerjono Soekanto, 2002, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:


Raja Grafindo Persada.

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2001. Penelitian Hukum Normatif , Suatu Tinjauan
Singkat,, Jakarta : Rajawali Pers.

21

You might also like