Keywords: Perceived Risk, Fear of Crime, Coping, Vulnerable of Crime, Different Test

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

PERBEDAAN TINGKAT PERCEIVED RISK, FEAR OF CRIME, DAN

MEKANISME COPING PADA MASYARAKAT YANG BERAKTIVITAS


DI WILAYAH RAWAN TINDAK KEJAHATAN
(Studi Pada Dua Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung yang
Menduduki Peringkat Crime Rate Tertinggi)

Oleh

Teuku Fahmi*)
*)
Staf Pengajar Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung

ABSTRACT

Increasing the news about crimes committed in the province of Lampung,


consciously or not, affect the pattern of community life. Many aspects (activities) productive
hampered by fear are caused. The real implications of the rise of the news that is the limited
/ inhibition of community activities in public spaces or simply to mobilize someplace. This
study illustrates the differences in the level of perceived risk, fear of crime, and community
coping mechanisms that move in the two regions with the highest crime rate in the province
of Lampung. The approach used in this research is quantitative, while the research method
used is described and an explanatory. The number of samples in this study amounted to 80
people who are living and active communities in two districts / cities in Lampung province
that has the highest crime rate. The results of different test (two independent samples test -
Mann Whitney) were conducted on three variables show that that there are differences in
the level of perceived risk, fear of crime, and significant coping mechanism between
perceptional respondents who move in North Lampung and in Bandar Lampung (the
calculation in three variables Asymp Sig <0.05). Referring to the descriptive overview of
the response variable in all three assessments indicates that respondents who move in North
Lampung give a higher assessment category compared with respondents who move in
Bandar Lampung. In this case, the circumstances in Bandar Lampung tend to be more
favorable in terms of safety aspects when compared with North Lampung.

Keywords: Perceived risk, fear of crime, coping, vulnerable of crime, different test

PENDAHULUAN

Pemberitaaan mengenai maraknya tindak kejahatan yang terjadi di Provinsi


Lampung, secara sadar atau tidak, mempengaruhi pola kehidupan masyarakat. Banyak
aspek (kegiatan) produktif yang terhambat akibat rasa takut (fear) yang timbulkan. Secara
psikologis hal ini dapat dipahami sebagai bagian dari reaksi tiap individu terhadap rasa takut
menjadi korban kejahatan (fear of crime).

Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 2: 93-102 93


Terkait dengan itu, beberapa kajian telah memberikan gambaran tentang kecemasan
(anxiety) dan kekhawatiran (worries) yang berlebih akan menjauhkan seseorang dari hidup
yang sejahtera. Hasil laporan yang diterbitkan Ministry of Social Development New Zeland
(2010) menunjukkan bahwa penduduk usia 15 tahun ke atas mengalami rasa takut (fear)
akan tindak kejahatan yang menimpa mereka. Dampak yang ditimbulkan dari rasa takut
tersebut berada pada rentang kategori sedang atau tinggi (skor efek berada pada level 4 atau
lebih, dengan skala 0-10, dimana level 0 tidak memiliki pengaruh dan level 10 memiliki
efek total terhadap kualitas hidup) dan hal ini berefek negatif terhadap kualitas hidup
mereka.
Jauh sebelum itu, Grabosky (1995) juga telah memberikan gambaran serupa bahwa
rasa takut menjadi korban kejahatan (fear of crime) telah menjadi isu penting yang menjadi
perhatian publik: masalah yang menjauhkan dari kualitas hidup dan membawa dampak
negatif yang mempengaruhi kehidupan sosial dan kesejahteraan ekonomi. Lebih lanjut,
gambaran serupa juga diungkapkan oleh de Vaus & Bijaksana serta Hale di tahun 1996
yang mengungkapkan bahwa fear of crime telah dilihat sebagai masalah dalam diri
seseorang, oleh karenanya cara pandang tersebut dapat membatasi gaya hidup masyarakat,
dan membatasi penggunaan ruang publik dan fasilitas umum. Sedangkan dalam kasus anak-
anak, orang tua menjadi overprotectiveness, hal ini memiliki potensi untuk merusak
kemampuan mereka untuk menjadi orang dewasa yang kompeten (National Campaign
Against Violence and Crime, 1998).
Gambaran diatas telah menunjukkan bahwa banyak orang yang serta merta
mengubah perilaku mereka untuk menghindari menjadi korban kejahatan. Pada akhirnya,
hal tersebut membatasi pilihan masyarakat dan dapat mengurangi kebebasan mereka dalam
segala bentuk aktivitas. Penelitian ini dilakukan guna menelusuri tingkat risiko dan juga
rasa takut (fear) menjadi korban kejahatan, khususnya pada masyarakat yang beraktivitas
pada dua wilayah (kabupaten/kota) yang menduduki posisi crime rate tertinggi di Provinsi
Lampung.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, adapun metode penelitian yang


digunakan adalah deskriptif dan eksplanatif. Penggunaan metode deskriptif bertujuan untuk
mengetahui dan menjelaskan gambaran dan reaksi terhadap fear of crime yang dialami oleh
masyarakat ketika beraktivitas diruang publik. Sedangkan metode eksplanatif digunakan
untuk melihat perbedaan yang terjadi diantara variabel yang diteliti. Secara keseluruhan,
jumlah sampel yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 80 responden.Lebih lanjut,
penelitian ini dirancang dengan dua pentahapan analisis data yang berbeda. Analisis tahap
awal dilakukan berdasarkan data sekunder yang memuat statistik kriminal di 10
kabupaten/kota di Provinsi Lampung Tahun 2013. Data sekunder tersebut diperoleh dari
BPS Provinsi Lampung, selanjutnya dari data tersebut akan dilakukan analisis guna
mendapatkan peringkat crime rate pada 10 kabupaten/kota di Provinsi Lampung. Peringkat
crime rate inilah yang dijadikan acuan dalam penentuan dua lokasi wilayah kabupaten/kota
untuk dilakukan pengumpulan data primer. Instrument pegumpulan data primer dengan
menggunakan kuesioner yang sebelumnya telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas.

94 Perbedaan Tingkat Perceived Risk, Fear of Crime, dan Mekanisme Coping pada …
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengukuran Kriminalitas berdasarkan Statistik Kriminal Resmi


Pengukuran trend kejahatan dilakukan guna mengetahui kecenderungan sebaran
angka kejahatan pada tiap wilayah hukum kepolisian resort yang didasari pada data statistik
kriminal resmi Polri Daerah Lampung Tahun 2013. Untuk mengukur trend kejahatan
digunakan rumusan yang dikemukakan oleh Larry Siegel, yaitu dengan mengetahui angka
perimbangan kejahatan atau Crime rate, yakni jumlah kejahatan dibandingkan dengan
jumlah penduduk, atau nilai rata-rata kejahatan per 10.000 penduduk (Siegel, 2008).

𝐴𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑘𝑒𝑗𝑎ℎ𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑙𝑎𝑝𝑜𝑟𝑘𝑎𝑛


𝐶𝑟𝑖𝑚𝑒 𝑅𝑎𝑡𝑒 = × 10.000
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘

Secara keseluruhan, untuk mengetahui Total Crime Rate dilakukan perhitungan


sebagai berikut, yakni Crime Total dalam satu tahun dibagi dengan jumlah penduduk pada
tahun yang sama dan dikalikan per 10.000 penduduk. pada Tabel 1 disajikan sebaran jenis
kasus laporan kejahatan di tahun 2013 pada 10 wilayah hukum kepolisian resort di Provinsi
Lampung.

Tabel 1. Jenis Kasus Laporan Kejahatan Tahun 2013 pada 10 Wilayah Hukum
Kepolisian Resort di Provinsi Lampung
Jenis Kasus Laporan Kejahatan
Wilayah
Hukum Pem- Cu- Per- Pe-
No Ani- Cu- Cu- Jumlah
Kepolisian bunu- ran- ko- me-
Resort rat ras rat
han mor saan rasan
1 Lampung Barat 1 7 7 53 19 4 3 94
2 Tanggamus 1 8 32 73 55 6 7 182
3 Lampung Selatan 3 11 39 181 33 17 3 287
4 Lampung Timur 1 4 63 134 35 8 3 248
5 Lampung Tengah 1 30 70 104 261 7 12 485
6 Lampung Utara 9 4 53 163 398 20 12 659
7 Way Kanan 1 9 66 88 38 14 1 217
8 Tulang Bawang 1 2 68 87 69 1 2 230
9 Bandar Lampung 4 110 102 462 333 10 10 1031
10 Metro 0 0 7 72 81 1 3 164
Jumlah 22 185 507 1417 1322 88 56
Sumber: Lampung dalam Angka 2013

Perlu diketahui bahwa data statistik kriminal menurut kepolisian tidak dapat
mewakili jumlah kejahatan yang ada secara keseluruhan. Tidak semua peristiwa kejahatan
dicatat oleh polisi. Peristiwa kejahatan yang tidak diketahui oleh polisi yang diperkirakan
jumlahnya sangat banyak tidak pernah tercatat dalam statistik kriminal polisi. Data
kriminalitas yang tidak diketahui oleh polisi ini disebut sebagai angka gelap (dark number)
kejahatan (Mustofa, 2007).
Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 2: 93-102 95
Dalam hal ini, ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam penggunaan
statistik kriminal agar tidak menyesatkan, diantaranya: (1) menghindari pernyataan total
kejahatan sebagai tolok ukur tingkat kriminalitas; (2) dalam mengukur kriminalitas akan
lebih baik dikelompokkan menurut klasifikasi kejahatan yang masing-masing klasifikasi
mempunyai kesamaan ciri; (3) fluktuasi kejahatan harus diperhitungkan dengan fluktuasi
populasi penduduk (crime rate), dan; (4) dalam mengukur fluktuasi kejahatan “polisi”
sering mempergunakan “angka indeks kejahatan” dan angka indeks kejahatan inilah yang
digunakan sebagai tolok ukur fluktuasi kejahatan (Mustofa, 2007).
Berangkat dari beberapa kriteria penggunaan statistik kriminal tersebut, maka
analisis crime rate pada 10 wilayah hukum kepolisian resort di Provinsi Lampung akan
dilakukan pada tujuh jenis kasus dengan mempertimbangkan seriusitas kejahatan yang
dilaporkan. Secara rinci Crime Rate tahun 2013 pada 10 wilayah hukum kepolisian resort di
Provinsi Lampung dapat diamati pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Crime Rate (per 10.000 penduduk) Tahun 2013 pada 10 Wilayah Hukum
Kepolisian Resort di Provinsi Lampung
Jumlah
Jumlah
No. Kota/Kab. Laporan Kasus Crime Rate
Penduduk
Kejahatan*)
1 Lampung Barat 427.773 94 2,20
2 Tanggamus 548.728 182 3,32
3 Lampung Selatan 932.552 287 3,08
4 Lampung Timur 968.004 248 2,56
5 Lampung Tengah 1.192.958 485 4,07
6 Lampung Utara 594.562 659 11,08
7 Way Kanan 415.078 217 5,23
8 Tulang Bawang 410.725 230 5,60
9 Bandar Lampung 902.885 1.031 11,42
10 Metro 149.361 164 10,98
*)
Keterangan: Mencakup tujuh jenis kejahatan yang dilaporkan yakni: pembunuhan, penganiayaan
berat, pencurian dengan kekerasan, pencurian dengan pemberatan, pencurian
kendaraan bermotor, perkosaan, dan pemerasan.
Sumber: Olahan data sekunder, 2014

Tampilan tabel di atas menunjukkan bahwa secara umum crime rate tahun 2013 pada
10 wilayah hukum kepolisian resort di Provinsi Lampung menunjukkan variasi nilai yang
cukup berbeda. Bila ditelusuri berdasarkan besaran angka crime rate, terdapat tiga wilayah
dengan nilai tertinggi yakni Bandar Lampung (11,42), Lampung Utara (11,08), dan Metro
(10,98). Dapat dinyatakan bahwa tiga wilayah tersebut merupakan daerah dengan angka
kriminalitas tertinggi di Provinsi Lampung. Pada akhirnya, wilayah Bandar Lampung dan
Lampung Utara menempati posisi tertinggi dalam nilai crime rate di Provinsi Lampung. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa kedua wilayah ini (untuk konteks Provinsi Lampung)
angka kriminalitas yang terjadi tergolong tinggi. Pada tahap selanjutnya, dua wilayah ini
ditetapkan menjadi lokasi pengumpulan data kuesioner guna memperoleh gambaran fear of
crime pada wilayah tersebut.

96 Perbedaan Tingkat Perceived Risk, Fear of Crime, dan Mekanisme Coping pada …
Persepsi Responden perihal Tingkat Risiko, Tingkat Kekhawatiran, dan Tingkat
Kesesuaian ketika Melakukan Aktivitas di Ruang Publik pada Wilayah Rawan
Tindak Kejahatan
Pengukuran persepsional responden pada tiap variabel yang diteliti disesuaikan
dengan konsepsi dan indikator yang dijabarkan kedalam beberapa pertanyaan. Dalam
mengukur perceived risk, indikator yang digunakan untuk mengukur variabel tersebut
adalah persepsi responden mengenai risiko potensi bahaya (potential danger) sebagaimana
yang diungkapkan oleh Ferraro (1995). Dalam hal ini, responden diminta pendapatnya
perihal risiko ketika melakukan aktivitas di ruang publik; baik ketika dalam keadaan malam
hari, siang hari, dan pada situasi yang sepi. Dari penilaian risiko yang telah responden
berikan, untuk selanjutnya dilakukan interpretasi deskriptif pada tiap item pertanyaan
sebagai indikator dari variabel perceived risk.
Adapun pada variabel fear of crime, responden diminta pendapatnya tentang
kekhawatiran mereka atas beberapa situasi yang ditanyakan ketika beraktivitas di ruang
publik diantaranya; (1) menjadi korban penyerangan; (2) seseorang yang menggunakan
senjata mengancam dan mengambil barang pribadi Anda; (3) bahwa pencuri (begal) akan
menghadang kendaraan Anda pada saat melakukan perjalanan, dan; (4) Seseorang akan
merampok Anda atau melakukan penyerangan di jalan. Sedang pada variabel mekanisme
coping merujuk pada strategi yang digunakan untuk mengurangi kemungkinan mereka
menjadi korban (mencegah/ menimimalisir kemungkinan terjadinya tindak kejahatan) ketika
beraktivitas di ruang publik.
Merujuk pada hasil olahan data lapangan, untuk variabel perceived risk, bila dilihat
berdasarkan kategori wilayah, terdapat perbedaan yang mencolok diantara kedua wilayah
yang menjadi lokasi penelitian. Pada umumnya, responden untuk wilayah Bandar Lampung
menilai tidak terlalu berisiko ketika beraktivitas pada siang hari. Namun berbeda dengan
Lampung Utara, responden menilai bahwa ketika beraktivitas pada siang hari pun cukup
berisiko atau bahkan berada pada kategori yang tinggi. Berbeda dengan analisis
sebelumnya, untuk aktivitas pada malam hari, terdapat kecenderungan yang sama diantara
kedua wilayah tersebut. Hampir secara keseluruhan responden dalam penelitian ini menilai
bahwa tingkat risiko ketika beraktivitas pada malam hari itu cenderung tinggi atau sangat
tinggi. Lebih lanjut, responden yang beraktivitas di Lampung Utara cenderung lebih
khawatir dibandingkan dengan responden yang beraktivitas di Bandar Lampung ketika
harus beraktivitas pada malam hari.
Pada variabel fear of crime, terlihat bahwa mayoritas responden dikedua wilayah
memberikan penilaian tingkat khawatir pada rentang yang tinggi. Terlebih untuk responden
yang beraktivitas di Lampung Utara, mereka cenderung memiliki penilaian kekhawatir yang
lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang beraktivitas di Bandar Lampung. Hal ini
dapat dipahami, bila melihat beragam pemberitaan tindak pencurian kendaraan bermotor di
wilayah Lampung Utara, baik dari segi intensitas dan seriusitas kejahatan yang terjadi,
cenderung lebih tinggi. Pada akhirnya, kekhawatiran yang dialami sebagian besar responden
pada wilayah tersebut menjadi sesuatu yang lumrah.
Dalam hal tingkat kesesuaian pada variabel strategi coping, terdapat perbedaan
persepsional penilaian antara responden di wilayah Lampung Utara dan Bandar Lampung.
Dalam hal ini, responden yang beraktivitas di Lampung Utara memberikan penialaian
tingkat kesesuaian yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang beraktivitas di Bandar
Lampung. Hal ini menunjukkan bahwa penyesuaian yang dilakukan akan sangat ditentukan
dengan penilaian pada dua variabel yang sebelumnya, yaitu perceived risk dan fear of crime.

Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 2: 93-102 97


Gambaran Tingkat Kategori pada Variabel yang Diteliti
Pada analisis selanjutnya, ketiga variabel yang diteliti, yakni perceived risk, fear of
crime, dan strategi coping, dilakukan pengkategorian menjadi tiga kelas atau tingkatan
yakni rendah, sedang dan tinggi guna melihat kecenderungan tingkatan pada masing-masing
responden. Sebagaimana yang dikonsepsikan dalam ditribusi frekuensi data kuantitatif, ada
tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan kelas bagi distribusi frekuensi, yaitu
jumlah kelas, lebar kelas dan batas kelas (Supranto, 2000). Pengambaran tingkat
kategorisasi pada variabel perceived risk, fear of crime dan strategi coping akan
memberikan informasi lebih lanjut tentang perbedaan tingkat diantara kategori responden.
Tabel 3 menyajikan informasi perihal tingkat kategori pada variabel yang diteliti dalam
penelitian ini, secara rinci sebaran tingkat kategorisasi dapat diamati pada tabel dibawah ini.

Tabel 3. Tingkat Kategori pada Variabel yang diteliti


(Perceived Risk, Fear of Crime dan Strategi Coping)
Tingkat Kategori
Kategori Responden Total
Rendah Sedang Tinggi
Perceived Risk
8 26 6 40
Bandar Lampung
(20%) (65%) (15%) (100%)
1 11 28 40
Lampung Utara
(2,5%) (27,5%) (70%) (100%)
9 37 34 80
Jumlah
(11,3%) (46,3%%) (42,5%) (100%)

Fear of Crime
4 21 17 40
Bandar Lampung
(10%) (52,5%) (37,5%) (100%)
0 0 40 40
Lampung Utara
(0%) (0%) (100%) (100%)
4 21 55 80
Jumlah
(5%) (26,3%) (68,8%) (100%)

Strategi Coping
7 28 5 40
Bandar Lampung
(17,5%) (70%) (12,5%) (100%)
5 14 21 40
Lampung Utara
(12,5%) (35%) (52,5%) (100%)
12 42 26 80
Jumlah
(15%) (52,5%) (32,5%) (100%)
Sumber: Olahan data primer, 2014

Berdasarkan tingkat kategori pada tiap variabel, secara keseluruhan ada perbedaan
tingkat kategori antara variabel perceived risk dan fear of crime serta strategi coping.
Sebagai gambaran, untuk variabel perceived risk sebaran yang hampir merata ada pada
tingkatan rendah dan tinggi (masing-masing sebesar 46,3 persen dan 42,5 persen),

98 Perbedaan Tingkat Perceived Risk, Fear of Crime, dan Mekanisme Coping pada …
sedangkan untuk variabel fear of crime dan variabel strategi coping didominasi dengan
tingkat tinggi dan sedang (masing-masing 68,8 persen dan 52,5 persen).
Bila dilakukan pemilahan berdasarkan kategori wilayah tempat responden
beraktivitas, terdapat perbedaan diantara kedua wilayah tersebut. Kategori ditiga variabel
pada Kabupaten Lampung Utara cenderung berada pada tingkatan yang tinggi, sedangkan
untuk Bandar Lampung berada pada tingkatan yang sedang. Hasil tingkatan ini selaras
dengan hasil persepsional responden ditiap variabel pada bahasan sebelumnya.

Uji Beda Tingkat Kategori pada Variabel yang diteliti (Perceived Risk, Fear of Crime,
dan Strategi Coping)
Uji beda dilakukan dengan two independent samples test guna mengetahui ada
tidaknya perbedaaan tingkat kategori pada variabel yang diteliti. Adapun pengujian Mann-
Whitney dipilih karena dua kelompok data yang akan dilakukan uji beda diambil dari dua
sampel yang tidak saling terkait. Uji beda yang dilakukan berdasar pada tingkat kategorisasi
tiga variabel sebelumnya, yakni rendah, sedang, dan tinggi.

Tabel 4. Hasil Uji Beda Tingkat Kategori pada Variabel yang diteliti antara
Responden yang Beraktivitas di Bandar Lampung dengan Lampung Utara
Asymp. Sig.
Variabel Kategori Responden Mean Rank
(2-tailed)
Perceived risk Bandar Lampung 28.73 .000
Lampung Utara 52.28
Fear of crime Bandar Lampung 28.00 .000
Lampung Utara 53.00
Strategi coping Bandar Lampung 33.03 .001
Lampung Utara 47.98
Sumber: Hasil olahan data Statistik, 2014

Hasil dengan menggunakan program olah data statistik menunjukkan bahwa


signifikansi (Asymp Sig) < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tingkat
yang signifikan pada seluruh variabel yang diteliti, yakni antara persepsional responden
yang beraktivitas di Bandar Lampung dengan Lampung Utara. Adapun tampilan pada angka
Mean Ranks, memberikan informasi bahwa responden yang beraktivitas di wilayah
Lampung Utara memiliki peringkat rata-rata yang lebih tinggi (untuk ketiga variabel) bila
dibandingkan dengan responden yang beraktivitas di Bandar Lampung.

Diskusi Hasil Pembahasan


Merujuk pada hasil analisis penelitian di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa
secara keseluruhan hasil analisis ini menggambarkan tingkat perceived risk, fear of crime,
dan strategi coping yang dialami oleh responden dikedua wilayah, yakni Bandar Lampung
dan Lampung Utara. Terdapat perbedaan signifikan antara wilayah Bandar Lampung dan
Lampung Utara pada tiap variabel yang diujikan. Lebih lanjut, tampilan statistik deskriptif
pada pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa responden yang berada di Lampung

Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 2: 93-102 99


Utara memiliki penilaian lebih tinggi dibandingkan responden yang berada di Bandar
Lampung.
Penilaian akan tingginya risiko (perceived risk), takut mencjadi korban kejahatan
(fear of crime), dan mekanisme penyesuaian (coping) yang diberikan oleh responden dapat
dinyatakan sebagai realitas sosial akan situasi dan kondisi pada masing-masing wilayah.
Oleh karenanya, diperlukan beragam upaya untuk mereduksi penilaian negatif atau
persepsional pada masyarakat yang beraktivitas didua wilayah tersebut.
Gambaran realitas pada dua wilayah tersebut menyebabkan perilaku masyarakat yang
beraktivitas tersebut menjadi terbatasi. Penelitian terdahulu telah menunjukkan pola yang
sama tentang fear yang dialami oleh sebagian kalangan masyarakat. Dalam kajiannya di
wilayah Houstin dan Newark, Pate et.all (1986) menyebutkan istilah “fortress mentality”
guna merepsentasikan situasi yang dialami oleh masyarakat.
Lebih lanjut, Pate et.all (1986) menggambarkan beberapa usaha yang dilakukan
kepolisian setempat dalam merancang program dalam menangani atau mereduksi potensi
terjadinya kejahatan, diantaranya yakni:
 Optimalisasi peran polisi komunitas dengan membuat buletin yang berisikan upaya
pencegahan kejahatan meliputi saran pencegahan, informasi tentang upaya yang
berhasil untuk menggagalkan kejahatan, berita lingkungan, dan publikasi data
kejahatan yang tercatat pada area lokal,
 Memberikan pusat multi-layanan, di mana warga bisa melaporkan kejahatan,
mengadakan pertemuan, dan memperoleh informasi seluas-luasnya, dan
 Melakukan kontak langsung yang dilakukan oleh polisi dengan warga lingkungan
untuk menentukan dan mengatasi apa yang masyarakat anggap sebagai masalah
lokal.
Untuk konteks wilayah Lampung Utara dan Bandar Lampung, upaya pencegahan
kejahatan terlihat mengadopsi pola yang hampir serupa. Namun demikian, peran yang
dimiliki oleh polisi komunitas tiap wilayah perlu ditingkatkan, baik secara kualitas maupun
kuantitas. Bagi kalangan masyarakat yang aktivitas pada dua wilayah tersebut, harus mampu
mengelola kegiatan yang dilakukan seoptimal mungkin dengan mengacak pola tersebut,
tidak menjadi sebuah rutinitas aktivitas belaka.

Gambar 1. The Crime Triangle

Sumber: Wortley and Mazerolle, 2008

100 Perbedaan Tingkat Perceived Risk, Fear of Crime, dan Mekanisme Coping pada …
Merujuk pada teori aktivitas rutin yang dikembangkan oleh Marcus Nelson terlihat
bahwa terjadinya tindak kejahatan merupakan akumulasi dari tiga proses yang saling
bertautan (Wortley and Mazerolle, 2008). Nelson mengungkapkan bahwa peningkatan
kesejahteraan masyarakat kontemporer menawarkan lebih banyak kesempatan untuk
kejahatan terjadi; ada banyak kesempatan untuk melakukan pencurian. Tiga komponen yang
dimaksudkan Nelson, yakni ada kesempatan, adanya niat si-pelaku, dan tidak adanya
pengawasan.
Pada akhirnya, integrasi upaya pencegahan kejahatan pada dua wilayah tersebut
diperlukan sinergitas yang lebih masif dengan melibatkan pihak terkait. Hal ini diperlukan
guna mewujudkan situasi dan kondisi rasa aman ditengah masyarakat. Implikasi positif dari
penciptaan rasa aman ini akan langsung berkenaan dengan aktivitas masyarakat yang lebih
produktif.

KESIMPULAN

Hasil uji beda (two independent samples test – Mann Whitney) yang dilakukan
terhadap tiga variabel menunjukkan bahwa bahwa terdapat perbedaan tingkat perceived risk,
fear of crime, dan mekanisme coping yang signifikan antara persepsional responden yang
beraktivitas di Bandar Lampung dengan Lampung Utara (hasil perhitungan pada tiga varibel
Asymp Sig < 0,05). Merujuk pada gambaran deskriptif tentang respons penilaian diketiga
variabel menunjukkan bahwa responden yang beraktivitas di Lampung Utara memberikan
penilaian kategori yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang beraktivitas di
Bandar Lampung. Dalam hal ini, situasi dan kondisi di Bandar Lampung cenderung lebih
kondusif dari segi aspek keamanannya bila dibandingkan dengan Lampung Utara.

DAFTAR PUSTAKA

Ferraro, Kenneth F. 1995. Fear of crime interpreting victimization risk. New York: State
University of New York Press.

Grabosky, P. N. 1995. Fear of crime and fear reduction strategies. Australian Institute of
Criminology. Tanggal Akses: 05 Maret 2014. http://www.aic.gov.au/
documents/7/1/F/%7B71F8B743-15AF-459F-B4F8-58BC330796DB%7Dti 44.pdf

Ministry of Social Development New Zeland. 2010. The social report 2010. 08 Maret 2014.
http://socialreport.msd.govt.nz/documents/the-social-report-2010.pdf

Mustofa, Muhammad. 2007. Kriminologi kajian sosiologi terhadap kriminalitas perilaku


menyimpang dan pelanggaran hukum. Depok: FISIP UI Press.

National Campaign Against Violence and Crime. 1998. Fear of Crime - audit of the
literature and community programs. Criminal Research Council. 05 Maret
2014.www.criminologyresearchcouncil. gov.au/reports/1998-foc1.pdf

Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 2: 93-102 101


Pate, A. M., Wycoff, M. A., Skogan, W. G., & Sherman L. W. 1986. Reducing fear of crime
in Houston and Newark, a summary report. Washington DC: Police Foundation

Siegel, Larry J. 2005. Criminology (9th edition). California: Wadsworth Publishing.

Supranto, J. 2000. Statistik: teori dan aplikasi (edisi keenam) jilid 1. Jakarta: Penerbit
Erlangga.

Wortley, Richard and Mazerolle, Lorraine. 2008. Environmental criminology and crime
analysis. Devon UK: Willan Publishing.

102 Perbedaan Tingkat Perceived Risk, Fear of Crime, dan Mekanisme Coping pada …

You might also like