0% found this document useful (0 votes)
103 views13 pages

Evaluasi Kualitas Keripik Buah Nangka Dengan Metode Six Sigma Sucipto Sucipto, Ismi Ardiyati, Dan Usman Effendi

This document evaluates the quality of jackfruit chips produced by an SJ company using the Six Sigma method. The company was producing broken jackfruit chips at 74.5% of total defects in 2014. Using the Six Sigma DMAI approach, the study aimed to determine the sigma value of production, main factors causing defects, priority improvements, and jackfruit alternatives. Data collection involved direct observation, interviews, and sampling chips. The results found a sigma value of 2.05, with machine, material, human, and method factors causing breaks. Priority improvements included resetting the spinner rotation speed, completing standard operating procedures, and selecting the right jackfruit variety. Jackfruit from Malang was identified as an alternative raw material producing
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
103 views13 pages

Evaluasi Kualitas Keripik Buah Nangka Dengan Metode Six Sigma Sucipto Sucipto, Ismi Ardiyati, Dan Usman Effendi

This document evaluates the quality of jackfruit chips produced by an SJ company using the Six Sigma method. The company was producing broken jackfruit chips at 74.5% of total defects in 2014. Using the Six Sigma DMAI approach, the study aimed to determine the sigma value of production, main factors causing defects, priority improvements, and jackfruit alternatives. Data collection involved direct observation, interviews, and sampling chips. The results found a sigma value of 2.05, with machine, material, human, and method factors causing breaks. Priority improvements included resetting the spinner rotation speed, completing standard operating procedures, and selecting the right jackfruit variety. Jackfruit from Malang was identified as an alternative raw material producing
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 13

EVALUASI KUALITAS KERIPIK BUAH NANGKA DENGAN METODE SIX SIGMA

Sucipto Sucipto 1,2, Ismi Ardiyati1, dan Usman Effendi1


1
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Universitas Brawijaya
2
Halal-Qualified Industry Development (Hal-Q ID) Universitas Brawijaya
Email: [email protected]

ABSTRACT

Jackfruit is one of tropical fruit that is widespread in the world. Jackfruit fruit had a seasonal
charachteristic and very perishable, so it needed to be further processed. One of the fruit chips producers
in Malang SJ produced defects in jackfruit chips that were broken 74.5% of all defects types in 2014.
Six Sigma method can be applied to evaluate the quality of jackfruit chips. This study aimed to evaluate
the quality of jackfruit chips with Six Sigma - Define, Measure, Analyze, Improve (DMAI) so that it
was known the Sigma of production, the main factors causing the defect, the priority proposed
improvement, and the alternative using of jackfruit. The result of quality evaluation obtained by Sigma
of production is 2.05. Factors that cause broken of jackfruit chips were machine, material, human, and
methods. Priority improvements were made by resetting rotation speed of spinner according to the
standard, completed the spinner’s standard operational procedure (SOP) and selecting the right
jackfruit. Jackfruit from Malang can be an alternative raw material because it produces more whole
jackfruit chips.
Keywords-evaluation; jackfruit chips; malang; quality

PENDAHULUAN

Nangka merupakan salah satu buah tropis dari India dan tumbuh hampir di seluruh nusantara.
Menurut Kementerian Pertanian Dirjen Hortikultura (2015) produksi buah nangka atau cempedak di
Indonesia tahun 2013 sebesar 586.356 ton dan naik menjadi 644.291 ton pada tahun 2014. Buah nangka
mengandung carotenoid, flavonoid, tannin, dan volatile acids sterol dengan kadar berbeda-beda sesuai
varietasnya (Arung, Shimizu, & Kondo, 2007; Chandrika, Jansz, & Warnasuriya, 2004; Ong et al.,
2006; Venkataraman, 2001). Bahkan, kandungan phitokimia, nutrisi, dan sifat pharmakologi nangka
dari berbagai bagian tumbuhan sudah didiskusikan dengan baik (Baliga, et al., 2011; Jagtab and Bapat,
2010). Buah nangka bersifat musiman dan sangat mudah rusak setelah matang. Salah satu produk
olahannya adalah keripik nangka.
Kualitas kripik nangka diukur dengan warna, tekstur, aspek organoleptik, dan stabilitas saat
disimpan (Saxena et al., 2015). Secara organoleptik yang mudah dilihat kualitas kripik nangka
ditunjukkan dengan warna kuning khas dan bentuk utuh atau tidak remuk. Hal ini memengaruhi grading
kualitas kripik nangka saat produksi, harga produk, dan minat beli konsumen. Karena itu, pengendalian
kualitas kripik nangka sangat penting.
Usaha SJ mengolah sekitar 2 ton buah segar per hari menjadi keripik buah. Produknya antara
lain keripik nangka, apel, mangga, salak, nanas, semangka, dan rambutan. Keripik nangka merupakan
produk unggulan karena banyak diminati konsumen. Masalahnya masih banyak cacat produk keripik
nangka tidak utuh atau remuk mencapai 74,5% dari seluruh jenis cacat tahun 2014. Masalah ini perlu
diidentifikasi penyebab dan dicarikan alternatif solusi. Pengendalian kualitas produk akhir terkait proses
produksi, sehingga perlu pengujian karakteristik produk dan dicari penyebabnya di proses produksi.
Karakteristik produk untuk menilai kemampuan proses produksi (Susetyo et al., 2011).
Six Sigma dianggap sebagai proses lanjutan pengendalian kualitas (Brue, 2006). Six sigma
adalah sebuah metodologi terstruktur untuk mengurangi variasi proses dan cacat produk menggunakan
statistik dan problem solving tools (Manggala, 2005). Aplikasi Six Sigma untuk meningkatkan kualitas
penting bagi perusahaan agar daya saing produk meningkat di era kompetitif dan dinamis (Dewi, 2012).
Tingkat kualitas Six Sigma setara variasi proses setengah dari yang ditoleransi pada tahap desain dan
dalam waktu bersamaan memberi kesempatan rata-rata produksi bergeser 1,5 deviasi standar dari target
(Evans dan Lindsay, 2007). Level Sigma diekspresikan dalam Defect per Million Opportunities
(DPMO). DPMO mengindikasikan jumlah kesalahan jika aktivitas diulang satu juta kali (Pande et al.,
2009). Tahap Six Sigma meliputi Define, Measure, Analyze, Improve, and Control (DMAIC) dan

126
Jurnal Teknologi Pertanian Andalas Vol. 22, No.2, September 2018, ISSN 1410-1920, EISSN 2579-4019
Sucipto Sucipto, Ismi Ardiyati, dan Usman Effendi
================================================================================
merupakan pengembangan siklus Plan-Do-Check-Act (PDCA) (Srinivasan et al., 2014a; Srinivasan et
al., 2014b).
Beberapa penerapan Six Sigma untuk perbaikan kualitas proses. Six Sigma untuk peningkatan
presisi mesin penggilingan (Nithyanandam and Pezhinkattil, 2014), dan peningkatan kualitas jamur
kemasan (Sucipto, dkk., 2017), pengemasan vakum ikan beku (Sucipto, dkk., 2018). Penerapan Six
Sigma untuk evaluasi produksi kripik nangka dengan penggorengan vakum belum dilakukan.
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kualitas kripik nangka dengan Six Sigma – Define, Measure,
Analyze, Improve (DMAI) sehingga diketahui nilai Sigma proses produksi, faktor utama penyebab
cacat, prioritas usulan perbaikan, dan alternatif penggunaan buah nangka.

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian bulan Juni 2015- Maret 2016 di usaha SJ Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Jawa
Timur. Pengolahan dan analisis data di Laboraturium Manajemen Agroindustri, Departemen Teknologi
Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya.

B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Six Sigma dibatasi tahap Define, Measure, Analyze, dan
Improve. Secara teknis menggunakan metode deskriptif kuantitatif terdiri penyajian data, analisis, dan
interpretasi data.

C. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dengan observasi langsung dan wawancara ke pemilik usaha dan ke bagian
produksi untuk mengetahui masalah produksi keripik nangka. Hasilnya diketahui masih ada cacat
produk tidak utuh. Sampel remukan keripik buah nangka per 100 gram setelah proses spinning dan
diambil simple random sampling dan ditimbang. Berdasar survei pendahuluan, diketahui usaha ini
menghasilkan keripik buah nangka ± 150 kg per hari atau ± 1500 kemasan per hari (ukuran 100 gram).
Berdasar inspeksi normal ANSI/ASQC Z1.9-1993, jika jumlah produk 1201-3200 maka diperlukan
jumlah sampel 50.

D. Pengolahan Data
Tahap pengolahan data measure yaitu uji kenormalan data untuk mengetahui data yang diambil
memenuhi distribusi normal. Pembuatan peta kendali p untuk mengetahui apa cacat produk masih
dalam batas yang disyaratkan. Perhitungan kapabilitas proses untuk mengukur kinerja proses produksi,
kemudian perhitungan nilai DPMO serta nilai Sigma.

E. Analisis Data
Analisis berdasar hasil perhitungan kapabilitas proses, nilai DPMO, dan nilai Sigma. Faktor-
faktor yang mempengaruhi cacat produk tidak utuh atau remuk dan gosong dianalisis menggunakan
fishbone. Prioritas proses yang perlu diperbaiki dianalisis dengan Failure Modes Effect Analysis
(FMEA). Pada tahap improve dilakukan percobaan sederhana untuk memperkuat solusi potensial
sebagai pertimbangan perbaikan proses produksi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Usaha


Usaha SJ yang mengolah buah menjadi keripik buah didirikan November 2008. Lokasi
produksi di Jalan Raya Bunut Wetan dan outletnya di Jalan Raya Wendit depan Wisata Pemandian
Wendit Kabupaten Malang.
Awalnya usaha ini hanya memproduksi keripik salak dibantu ± 10 orang karyawan. Saat itu,
daerah distribusi terbatas dan belum memiliki merk sendiri, serta dijual grosir (kiloan). Sekarang usaha
ini tidak menjual grosir, mengemas dan memiliki merk sendiri. Usaha berkembang pesat baik dari
teknologi dan karyawan. Saat penelitian karyawan 35 orang, terdiri 22 orang di bagian produksi, 8 orang
di packaging, 2 orang di toko, dan 3 orang bagian pemasaran.

127
Jurnal Teknologi Pertanian Andalas Vol. 22, No.2, September 2018, ISSN 1410-1920, EISSN 2579-4019
Sucipto Sucipto, Ismi Ardiyati, dan Usman Effendi
================================================================================
Usaha ini memproduksi keripik salak, apel, nangka, nanas, rambutan, semangka, dan mangga.
Keripik nangka merupakan produk utama, yang dikelompokan menjadi kualits super dan kualitas ke
dua (KW). Proses produksi keripik nangka menggunakan penggorengan vakum (vacuum frying) dengan
diagram alir pada Gambar 1. Pada teknik penggoregan ini perlu dikontrol kondisi vakum dan bahan
baku yang digoreng karena sangat menentukan hasil kripik nangka. Selain itu, kondisi dan proses
penirisan minyak (spinning) mempengaruhi kualitas produk akhir.

Buah Nangka

Sortasi Buah Nangka Cacat

Pengupasan dan pemotongan Biji,Dami dan Kulit

Larutan Natrium
Perendaman
Metabisulfit
± 1 jam
0,29%

Penirisan Air Air Sisa Perendaman


±15 menit

Pembekuan
±12 jam dengan suhu -10oC

Minyak Goreng Penggorengan (Frying)


± 1,5 jam dengan suhu 90°C
± 144 liter
dan tekanan 80 cmgh

Penirisan Minyak (Spinning) Minyak Sisa


Penggorengan

Grading

Pengemasan

Keripik Buah Nangka

Gambar 1. Diagram alir proses produksi keripik nangka di usaha SJ

B. Evaluasi Kualitas dengan Six Sigma


Evaluasi kualitas keripik nangka menggunakan Six Sigma dengan tahap standar Define, Measure,
Analyze, Improve, dan Control (DMAIC). Pada penelitian ini tahap kontrol tidak dilakukan dan dibatasi
sampai tahap Improve.

C. Define
Pada tahap define dikumpulkan data terkait masalah. Dari pengamatan visual kripik nangka hasil
grading sebelum dikemas diketahui ada beberapa jenis cacat yaitu produk tidak utuh atau remuk,
gosong, dan kotor (Gambar 2). Perhitungan dengan diagram Pareto terkait penyebab produk cacat
seperti pada Gambar 3.

128
Jurnal Teknologi Pertanian Andalas Vol. 22, No.2, September 2018, ISSN 1410-1920, EISSN 2579-4019
Sucipto Sucipto, Ismi Ardiyati, dan Usman Effendi
================================================================================

(a) (b) (c)


Gambar 2. Bentuk cacat (a) tidak utuh atau remuk, (b) gosong, dan (c) kotor

Gambar 3. Diagram Pareto cacat produk keripik buah nangka tahun 2015

Berdasar Gambar 3, prioritas utama perbaikan adalah cacat produk tidak utuh atau remuk dan
gosong. Kedua faktor tersebut menjadi penyebab 96,6% cacat produk. Menurut Lind, dkk (2008)
konsep diagram Pareto memenuhi aturan 80-20 atau 80% aktivitas disebabkan oleh 20% faktor. Bila
faktor pertama dan kedua mencapai 85% dari seluruh jenis cacat maka kedua faktor tersebut perlu
ditangani dahulu. Penirisan minyak (spinning) diduga menjadi penyebab utama produk tidak utuh.
Mesin spinner yang digunakan tidak sesuai standar karena telah dimofikasi kecepatan putarnya. Selain
itu, produk gosong mungkin karena penggorengan belum optimal.

D. Measure
Tahap ini merupakan tindak lanjut proses define ditunjang data pengukuran. Hasil pengukuran
ini diuji kenormalan data, dibuat peta kendali p, dihitung kapabilitas proses dan nilai DPMO, serta nilai
Sigma. Data yang digunakan pada tahap measure adalah remukan keripik nangka setelah spinning
selama 10 hari kerja bulan Maret 2016.

E. Pengukuran Cacat pada Proses Spinning


Pengukuran cacat produk setelah penirisan minyak (spinning) diambil sampel berdasar inspeksi
normal ANSI/ASQC Z1.9-1993 yaitu sebanyak 50 sampel per hari secara acak, sehingga diperoleh 500
sampel. Sampel diamati 3 shift per hari yaitu pukul 04.00-09.00 WIB, 09.00-14.00 WIB, dan 14.00-
19.00 WIB. Setiap shift ada 3 kali proses, sehingga 1 hari ada 9 kali proses. Untuk mendapat 50 sampel
dalam 1 hari, diambil sampel ± 6 kali setiap proses.
Uji kenormalan data sebelum dibuat peta kendali p menggunakan uji normalitas Kolmogorov-
Smirnov dengan bantuan Software SPSS 17. Hasil uji kenormalan pertama kali menunjukkan nilai
Kolmogorov-Smirnov yaitu 0,462>0,05. Setelah itu, dibuat peta kendali p dengan batas kendali atas
(UCL)=0,32354 dan batas kendali bawah (LCL)= 0,25928. Terdapat 2 titik keluar batas kendali yaitu
data ke-6 (shift 3 di hari ke-2) dan data ke-24 (shift 3 dihari ke-8) (Gambar 4a).

129
Jurnal Teknologi Pertanian Andalas Vol. 22, No.2, September 2018, ISSN 1410-1920, EISSN 2579-4019
Sucipto Sucipto, Ismi Ardiyati, dan Usman Effendi
================================================================================

(a)

3
(b)
Gambar 4. Peta kendali p (a) sebelum revisi dan (b) setelah revisi (proses stabil)

Titik yang keluar batas kendali direvisi dengan membuang outlier satu per satu hingga didapat
proses yang stabil dan diuji ulang normalitasnya. Hasil setelah revisi pertama 0,503 > 0,05 dan setelah
revisi kedua 0,546>0,05, sehingga variabel dinyatakan berdistribusi normal. Peta kendali p setelah
direvisi hingga stabil pada Gambar 4b. Nilai batas kendali peta kenali p yang sudah stabil adalah
UCL=0,32372 dan LCL= 0,25945. Peta kendali p dibuat untuk mengetahui pengendalian proses
spinning.

F. Kapabilitas Proses Spinning


Pengukuran kapabilitas proses untuk mengetahui kelayakan proses menghasilkan produk.
Penentuan nilai kapabilitas proses untuk sampel dengan data atribut dilihat dari % final yield proses
tersebut. Hasil perhitungan final yield proses spinning sebagai berikut:
14696
Final yield = 100% - (50400 𝑥 100%)
= 100% - 29,16%
= 70,84 %
Final yield dikatakan baik untuk standar industri di Indonesia, karena bernilai 70,84% ≥ 69,2%.
Menurut Pande (2009) suatu proses dikatakan baik bila nilai % final yield ≥ 99,99% untuk standar
internasional dan ≥69,2% untuk standar Indonesia.

G. Pengukuran DPMO dan Nilai Sigma


Pengukuran Defect per Million Opportunities (DPMO) untuk mengetahui penyimpangan
remukan pada spinning. Hasil pengukuran DPMO spinning pada Tabel 1.

130
Jurnal Teknologi Pertanian Andalas Vol. 22, No.2, September 2018, ISSN 1410-1920, EISSN 2579-4019
Sucipto Sucipto, Ismi Ardiyati, dan Usman Effendi
================================================================================
Tabel 1. Perhitungan nilai DPMO dan nilai Sigma
Kode Tindakan Persamaan Hasil Perhitungan
1 Proses yang ingin diketahui - Spinning
2 Jumlah unit yang diperiksa - 50400 gr
3 Jumlah unit cacat - 14696 gr
4 Hitung DPO Kode 3/Kode 2 0,2916
5 Hitung DPMO Kode 4 x 1000000 291.600
6 Konversi DPMO ke nilai Sigma - 2,05
Sumber: Data Primer (2016)

Tabel 1 menunjukkan nilai DPMO 291.600. Artinya jika diproduksi keripik nangka 1.000.000
maka ada 291.600 keripik nangka tidak sesuai standar. Nilai DPMO dikonversi ke nilai Sigma menjadi
2,05. Menurut Gaspersz (2005) rata-rata industri di Indonesia mempunyai Sigma 2,00. Nilai tersebut
mengindikasikan perlu perbaikan proses untuk meningkatkan kualitas produk dan kapabilitas proses.

H. Analyze Variasi Produk dengan Fishbone


Diagram fishbone dan metode FMEA untuk identifikasi penyebab cacat dan memberi solusi
alternatif. Diagram fishbone keripik nangka gosong pada Gambar 5 dan keripik nangka tidak utuh
Gambar 6. Pengelola usaha dapat mengendalikan proses produksi dengan menghilangkan penyebab
khusus produk rusak. Dari diagram fishbone diketahui cacat kripik nangka gosong dan tidak utuh atau
remuk disebabkan beberapa faktor.

a. Faktor Mesin
Pada cacat keripik nangka gosong mungkin karena penggorengan vakum belum optimal.
Penggorengan dipengaruhi bahan yang digoreng, kondisi, dan waktu penggorengan. Penggorengan
vakum menurunkan titik didih air dan suhu penggorengan minyak (Pankaj and Keener, 2017). Maity et
al. (2014) menyatakan penggorengan vakum dapat maksimum mempertahankan komponen aktif seperti
total fenol, flavonoid, karetonoid pada kripik nangka. Penggorengan vakum sudah banyak dipakai
dalam industri pangan. Pada tulisan ini cacat kripik nangka gosong tidak dibahas lebih jauh karena
kontribusinya 29,4% lebih kecil dari cacat kripik nangka remuk 67,3% (ditunjukkan Gambar 3). Hal ini
agar pembahasan lebih fokus pada cacat produk terbesar yaitu produk remuk.
Cacat produk remuk banyak dipengaruhi kondisi spinner. Berdasar kondisi di lokasi produksi
dan informasi kepala bagian produksi, spinner hanya ada 2 buah. Spinner kedua sering digunakan
karena spinner pertama sering macet dan dianggap terlalu lambat. Spinner kedua tidak sesuai standar
karena kecepatan putarnya dimodifikasi untuk mempercepat waktu spinning. Kecepatan putar spinner
yang tidak standar dan tidak ada ketentuan waktu operasi menyebabkan cacat produk remuk terus
terjadi. Menurut Haming dan Nurnajamuddin (2007) perawatan maksimal akan memperbaiki kinerja
mesin atau alat.

b. Faktor Bahan Baku


Bahan baku yang berkontibusi pada cacat produk gosong adalah tingkat kematangan buah tidak
sama dan atau kerusakan minyak goreng. Kepala produksi atau pemilik tidak mengontrol dengan baik
kualitas buah nangka dari Semarang. Klasifikasi buah nangka belum dilakukan. Berdasar informasi dari
supplier, buah nangka dari Semarang dari beberapa kebun sehingga tidak diketahui tingkat kematangan
saat panen. Kandungan kimia buah nangka dipengaruhi varietas dan tingkat kemasakan saat dipanen.
Arung, Shimizu, & Kondo (2007) menyatakan komposisi kimia ditentukan varietas. Gierson and Kader
(1986) menyatakan buah dari masak ke masak sempurna berubah warna, aroma, dan rasanya.
Keripik nangka ini menggunakan buah nangka dari Semarang, yang merupakan jenis nangka
bubur. Berdasar keterangan pemilik, buah nangka dari Semarang dipilih sejak awal usaha karena
pengalaman di tempat kerja pemilik. Belum dicoba produksi bahan buah nangka dari kota lain. Menurut
Hambali, dkk (2005) keahlian dalam menentukan kualitas bahan baku atau bahan tambahan, kondisi
proses produksi, dan kualitas produk mutlak diperlukan. Hal ini berkaitan erat dengan kualitas produk.
Kerusakan minyak dapat terjadi karena beberapa sebab, antara lain kualiatas minyak yang
digunakan, cara penggunaan (suhu tinggi atau rendah), dan karakteristik bahan. Penggantian minyak
goreng untuk produksi keripik nangka di usaha ini kurang tepat. Penambahan minyak dilakukan pada

131
Jurnal Teknologi Pertanian Andalas Vol. 22, No.2, September 2018, ISSN 1410-1920, EISSN 2579-4019
Sucipto Sucipto, Ismi Ardiyati, dan Usman Effendi
================================================================================
minyak yang memerah degan alasan menghemat biaya. Menurut Kentaren (1986) untuk penggorengan
sayur dan buah, kualitas awal warna minyak menentukan mutu produk akhir. Penggorengan seharusnya
dihentikan bila warna minyak berubah permanen dari warna asli. Indeks warna kemerahan minyak
kelapa sawit bila mencapai angka 10 harus segera dibuang.

BAHAN BAKU

Kerusakan Minyak
Goreng

Tingkat Kematangan
Buah yang Tidak Sama

KERIPIK NANGKA
GOSONG

Kurangnya
Pengetahuan
Tentang Bahan dan
Mesin

Tidak Ada
Human Error
Pengawasan
Tidak Ada Pelatihan
Khusus

METODE MANUSIA

Gambar 5. Diagram sebab akibat (fishbone) penyebab produk gosong

METODE BAHAN BAKU

Kualitas Bahan Utama


Tidak Ada Kurang Baik
Pengukuran
Kualitas Tidak Ada
Pengawasan

KERIPIK NANGKA
TIDAK UTUH/REMUK

Tidak Ada Pelatihan


Khusus

Mesin Tidak Sesuai


Human Error Standar
Tidak Ada Standar
Waktu Pengoperasian
dan Kecepatan Spinner

MANUSIA MESIN

Gambar 6. Diagram sebab akibat (fishbone) penyebab cacat produk remuk saat spinning

c. Faktor Manusia
Penyebab cacat kripik nangka gosong dapat berasal dari faktor manusia yaitu kelalaian.
Pengetahuan pekerja terhadap bahan dan mesin terbatas, serta tidak ada pelatihan khusus bagi pekerja.
Pekerja tidak mengetahui karakterisik bahan yang akan diproses dan cara operasi spinner tepat untuk
mengurangi produk cacat.

132
Jurnal Teknologi Pertanian Andalas Vol. 22, No.2, September 2018, ISSN 1410-1920, EISSN 2579-4019
Sucipto Sucipto, Ismi Ardiyati, dan Usman Effendi
================================================================================
Setiap jenis buah memiliki karakteristik berbeda. Pekerja melakukan frying sesuai aturan
pemilik usaha yaitu 1,5 jam, suhu 90oC, dan tekanan 80 cmHg. Pada proses frying pekerja kadang lupa
memutar tuas pada vacuum frying setiap 5 menit untuk meratakan pemanasan. Karena itu cacat gosong
bisa terjadi. Menurut Argo (2011) untuk menghasilkan produk keripik buah kualitas bagus dalam arti
warna, aroma, rasa tidak berubah, dan renyah, suhu tidak boleh lebih dari 85oC dan tekanan vakum 65-
75 cmHg.
Faktor manusia penyebab cacat tidak utuh yaitu tidak ada pelatihan khusus bagi karyawan.
Pekerjaan di bagian produksi dilakukan otodidak. Pada proses spinning, waktu operasi masih berdasar
perkiraan setiap pekerja. Kelalaian yang sering terjadi yaitu karyawan tidak fokus pada pekerjaan
vacuum frying dan spining. Karyawan mengobrol dan mengerjakan hal lain di luar kegiatan produksi
seperti menggunakan handphone saat bekerja.

d. Faktor Metode
Faktor metode yang berkontribusi pada cacat gosong dan remuk adalah tidak ada pengawasan
dan pengukuran kualitas berkala setiap tahap oleh kepala bagian produksi dan pemilik usaha.
Pengawasan dilakukan bila ada masalah, sehingga pekerja sering mengobrol sambil bekerja. Pemilik
datang ke tempat produksi hanya mengecek catatan hasil produksi tanpa memeriksa kualitas produk
setelah spinning. Menurut Lubis (1985) pengawasan penting bagi setiap usaha agar pekerjaan efisien
dan efektif sesuai rencana dan target. Demikian juga pengawasan pekerja.

I. Analisis Variasi Produk dengan FMEA


FMEA adalah metode yang tepat untuk mendeteksi masalah dan memprioritaskan berdasar
urutan resiko (Judi et al, 2009). Aspek terpenting FMEA adalah evaluasi tingkat resiko kegagalan
potensial pada setiap sub-sistem atau komponen. Secara umum nilai kerugian yang disebabkan pada
fungsi atau ruang lingkup setiap kegagalan dapat dilihat dari nilai prioritas resiko (Namdari, 2011).
Untuk menentukan prioritas kegagalan, tim FMEA perlu mendefinisikan dahulu mengenai Severity,
Occurance, Detection (SOD) dan hasil akhir berupa nilai Risk Priority Number (RPN) (Gaspersz,
2002). Setelah menentukan nilai SOD, nilai RPN dihitung dengan mengalikan 3 nilai tersebut (Chauhan
et al., 2012). Hasil perhitungan FMEA pada Tabel 2.

Tabel 2. Perhitungan FMEA proses spinning keripik nangka di tempat usaha


Jenis
Faktor Penyebab Akibat O S D RPN Rank
Cacat
Mesin Mesin tidak Keripik mudah 9 8 8 576 1
sesuai standar remuk
Tidak ada Pengoperasian 8 8 7 448 2
standar operasi spinner tidak
dan kecepatan tepat
putar spinner
Bahan Kualitas buah Kualitas produk 8 7 7 392 3
Baku nangka kurang akhir tidak
Cacat
baik bagus
tidak
Manusia Human Error Hasil produksi 4 6 7 168 6
utuh
tidak optimal
(remuk)
Tidak ada Penggunaan 7 7 7 343 4
pelatihan spinner dan alat
khusus tidak standar
Metode Tidak ada Kinerja pekerja 6 5 7 210 5
pengawasan tidak maksimal
Tidak ada Cacat produk 8 7 8 448 2
pengukuran terus terjadi
kualitas
Keterangan: Severity (S), Occurance (O), Detection (D), dan Risk Priority Number (RPN)
Sumber: Data Primer (2016)

133
Jurnal Teknologi Pertanian Andalas Vol. 22, No.2, September 2018, ISSN 1410-1920, EISSN 2579-4019
Sucipto Sucipto, Ismi Ardiyati, dan Usman Effendi
================================================================================
Berdasar nilai RPN tertinggi, perbaikan dilakukan pada setiap faktor penyebab masalah.
Pertama, spinner tidak sesuai standar karena kecepatan putar telah dimodifikasi untuk mempercepat
spinning. Hal tersebut mengakibatkan keripik mudah remuk saat penirisan minyak. Nilai Risk of
Priority Number (RPN) sebesar 576. Nilai tersebut tertinggi dibanding nilai RPN akibat kegagalan lain.
Usul solusi yaitu mengatur ulang kecepatan putar spinner sesuai standar sehingga cacat remuk
berkurang. Menurut Hamimi, Tamrin, dan Setyani (2011) spinner dengan kecepatan putaran 500 rpm
dan lama penirisan 80 detik efektif untuk meniriskan minyak kripik ubi jalar.
Kedua, tidak ada standar operasi spinner dan tidak ada pengukuran kualitas menjadi penyebab
kegagalan di peringkat kedua dengan nilai RPN sebesar 448. Tidak ada standard operational procedure
(SOP) pengoperasian spinner dan tidak ada pengukuran kualias produk setelah tahap spinning
mengakibatkan cacat produk remuk terus terjadi. Penyusunan SOP sangat perlu dilakukan pemilik
usaha. Menurut Sayuti (2012) salah satu cara meningkatkan layanan dan kinerja suatu usaha adalah
menentapkan SOP pada setiap unit kerja untuk mencapai efisiensi dan efektifitas penunaian tugas, lebih
khusus melayani pelanggan.
Ketiga, kualitas bahan baku utama sangat memengaruhi kualitas produk akhir kripik nangka.
Standar dan pilihan buah nangka yang kurang tepat menghasilkan keripik nangka tidak bagus.
Komposisi kimia dan fisik buah nangka sangat dipengaruhi varietas dan tingkat kemasakan buah
nangka (Baliga, et al., 2011). Nilai RPN penyebab kualitas bahan baku kurang baik 392 (Tabel 2).
Pemilik usaha kurang mengetahui karakteristik buah nangka dari Semarang dengan jenis nangka bubur
mudah remuk setelah spinning. Salah satu pekerja telah memberi saran ke pemilik usaha untuk
menggunakan buah nangka dari Malang, namun pemilik usaha belum berani mengambil resiko bila
hasilnya tidak sesuai harapan. Pemilihan buah nangka perlu dipertimbangkan diteliti lebih jauh
pengaruhnya terhadap kualitas keripik nangka baik dari segi bentuk, warna, dan rasa. Pada penelitian
ini dilakukan penelitian sederhana pengaruh bahan terhadap kualitas kripik nangka dan dibahas pada
tahap improve.

J. Improve
Tahap improve untuk merancang tindakan perbaikan kualitas produk. Percobaan sederhana ini
untuk memberi gambaran ke pemilik usaha terkait aternatif bahan baku buah nangka agar diperoleh
keripik nangka lebih utuh. Buah nangka dari Semarang dan dari Malang dicoba dalam proses produksi
dengan langkah berikut.
1. Mengamati ciri-ciri buah nangka, ukuran tebal dan bentuknya seperti pada Tabel 3 dan Gambar 7.
Ketebalan diukur 3 kali. Buah nangka dari Semarang berbentuk besar memanjang dengan tebal ±
0,4-0,5 mm, sedang buah nangka dari Malang berbentuk besar bulat dengan tebal ± 0,7-0,9 mm.
Berdasar informasi dari supplier buah nangka dari Semarang merupakan jenis nangka bubur. Buah
nangka dari Malang menurut pemilik kebun adalah jenis nangka kunir.

Tabel 3. Tebal buah nangka dari Semarang dan dari Malang (dalam mm)
Asal P1 P2 P 3 Rerata
Buah (mm) (mm) (mm) (mm)
Semarang 0,45 0,50 0,40 0,45
Malang 0,90 0,70 0,80 0,80
Sumber: Data Primer (2016)

2. Memproses bahan menjadi keripik buah. Nangka segar 1 buah dari Semarang dan 1 buah dari
Malang menghasilkan 5,6 kg dan 5,2 kg buah segar. Bahan yang akan diproses ditimbang masing-
masing 5 kg. Spinning menggunakan spinner standar, bukan yang sudah dimodifikasi. Waktu
operasi spinner dicoba ± 5 menit.
3. Mengamati perbandingan kualitas keripik dan menghitung jumlah produk remuk. Perbedaan
keripik buah nangka secara visual pada Gambar 8. Perbandingan hasil remukan setiap keripik buah
pada Tabel 4.

134
Jurnal Teknologi Pertanian Andalas Vol. 22, No.2, September 2018, ISSN 1410-1920, EISSN 2579-4019
Sucipto Sucipto, Ismi Ardiyati, dan Usman Effendi
================================================================================
Tabel 4. Perbandingan remukan keripik nangka hasil percobaan
Buah nangka dari Semarang Buah nangka dari Malang
Bahan nangka 5,00 kg 5,00 kg
Keripik utuh 1,15 kg 1,32 kg
Keripik remukan 0,392 kg 0,251 kg
Persen remukan 25,42% 15,98%
Sumber: Data Primer (2016)

(a) (b)
Gambar 7. Bentuk dan ketebalan buah nangka (a) dari Semarang dan dari Malang

(a) (b)
Gambar 8. Perbedaan visual keripik nangka (a) dari Semarang dan (b) dari Malang

Berdasar Gambar 8 terlihat perbedaan visual kedua keripik nangka. Buah nangka dari Semarang
menghasilkan keripik dengan warna kuning terang dan bentuk lebar-lebar, sedang buah dari Malang
warna keripik lebih kuning kecoklatan dengan bentuk lonjong tidak lebar. Perbedaan tersebut karena
karakteristik buah nangka berbeda dari bentuk, ketebalan, dan kadar gula menyebabkan keutuhan warna
dan aroma keripik nangka berbeda. Tebal rata-rata buah nangka dari Malang 0,80 mm (Tabel 1)
sehingga saat spinning menghasilkan cacat kripik nangka remuk lebih sedikit yaitu 15,98% dibanding
buah nangka dari Semarang.
Tingkat kematangan buah nangka juga memengaruhi kualitas kripik nangka. Rolland et al.
(2006) dan Koch (2004) menyatakan metabolism gula selama tahap kematangan berkontribusi terhadap
kualitas dan aroma buah. Hu et al. (2016) telah mempelajari metabolisme gula pada buah nangka selama
kematangan dikaitkan aktivitas metabolit. Gierson and Kader (1986) menyatakan perubahan buah dari
masak ke masak sempurna terkait perubahan warna, aroma, dan rasa. Warna produk akhir dapat
dikendalikan dengan mengatur suhu, tekanan, dan waktu frying serta tingkat kematangan buah.
Berdasar Tabel 4 dan Gambar 8, diketahui buah nangka dari Malang dapat dijadikan alternatif
bahan baku usaha ini. Kualitas keripik buah nangka dari Semarang secara visual baik, namun buah
nangka dari Malang lebih utuh bentuknya. Buah nangka lebih tebal, spinner dengan kecepatan putar
standar, dan pengaturan waktu operasi yang tepat dapat mengurangi keripik nangka remuk. Simulasi
perbandingan kualitas dan keuntungan parsial penggunaan spinner modifikasi dan spinner standar pada
Tabel 5.

135
Jurnal Teknologi Pertanian Andalas Vol. 22, No.2, September 2018, ISSN 1410-1920, EISSN 2579-4019
Sucipto Sucipto, Ismi Ardiyati, dan Usman Effendi
================================================================================
Tabel 5. Perkiraan keuntungan penggunaan spinner modifikasi dan spinner standar
Spinner modifikasi Spinner standar
Hasil produksi per hari 1500 kemasan 1460 kemasan
Hasil kualitas super 25% = 375 kemasan 50% = 730 kemasan
Hasil kualitas KW 75% = 1125 kemasan 50% = 730 kemasan
Keuntungan Kualitas super Rp. 15.000 x 375 = Rp. 15.000 x 730 =
Rp. 15.000/kemasan Rp. 5.625.000,- Rp.10.950.000,-
Keuntungan KW Rp. 10.000 x 1125 = Rp. 10.000 x 730 =
Rp. 10.000/kemasan Rp. 11.250.000,- Rp. 7.300.000,-
Total Rp. 16.875.000,- Rp. 18.250.000,-
Sumber: Data Primer (2016)

Saat penelitian produksi keripik nangka kualitas super 25% dan untuk kualitas ke dua (KW)
75%. Berdasar wawancara, bila spinning menggunakan mesin dengan kecepatan putar standar
diperkirakan menghasilkan keripik kualitas super 50% dan KW 50%. Kenaikan kualitas tersebut
menguntungkan secara finansial. Perbandingan perkiraan keuntungan ini dapat dipertimbangkan
pemilik usaha dalam mengambil keputusan perbaikan produksi agar kualitas produk meningkat.

KESIMPULAN

1. Proses produksi keripik nangka SJ memiliki nilai Sigma 2,05, dianggap sudah baik bagi usaha di
Indonesia dengan standar nilai Sigma 2.
2. Penyebab utama cacat keripik nangka tidak utuh yaitu: Spinner tidak standar kecepatan putarnya dan
tidak ada standar waktu operasi. Kualitas buah nangka kurang baik. Sumberdaya manusia belum ada
pelatihan khusus dan human error. Pengawasan dan pengukuran kualitas belum baik.
3. Prioritas usulan perbaikan yaitu mengatur ulang kecepatan putar spinner sesuai standar dan
menjalankan standar operasi spinner sehingga dapat menghasilkan kripik nangka lebih utuh.
4. Buah nangka dari Malang dapat menjadi alternatif bahan baku untuk menghasilkan kripik nangka
yang lebih utuh.

DAFTAR PUSTAKA

Argo, B. D. 2011. Mesin penggorengan hampa sistem swing dan penerapannya pada industri keripik
buah. Diakses pada 30 Oktober 2015. http://www.Dikti.org/p3m/abstrak/ristek/.
Arung E.T., Shimizu K., & Kondo R. 2007. Structure – activity relationship of prenyl-substituted
polyphenols from Artocarpus heterophyllus as inhibitors of melanin biosynthesis in cultured
melanoma cells. Chemistry & Biodiversity, 4: 2166−2171.
Baliga M.S., Shivashankara A.M., Haniadka R., Dsouza J., Bhat H.P. 2011. Phytochemistry, nutritional
and pharmacological properties of Artocarpus heterophyllus Lam (jackfruit): A review. Food
Research International. 44: 1800-1811.
Brue G. 2006. Six Sigma for Small Business. Entrepreneur Media. Madison. Hal. 21.
Chandrika U.G., Jansz E.R., & Warnasuriya N.D. (2004). Analysis of carotenoids in ripe jackfruit
(Artocarpus heterophyllus) kernel and study of their bioconversion in rats. Journal of the Science
of Food and Agriculture. 85: 186−190.
Chauhan A., Malik R.K., Sharma G. and Verma M. 2011. Performance evaluation of casting industry
by FMEA case study. International Journal of Mechanical Engineering Applications Research.
2(2): 115-117.
Dewi S.K. 2012. Minimasi defect product dengan konsep Six Sigma. Jurnal Teknik Industri. 13(1): 43-
50.
Evans J.R. dan Lindsay W.M. 2007. Pengantar Six Sigma. Salemba Empat. Jakarta.
Gaspersz V. 2002. Pedoman implementasi program Six Sigma terintegrasi dengan ISO 9001:2000,
MBNQA dan HACCP. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. hal.256.
136
Jurnal Teknologi Pertanian Andalas Vol. 22, No.2, September 2018, ISSN 1410-1920, EISSN 2579-4019
Sucipto Sucipto, Ismi Ardiyati, dan Usman Effendi
================================================================================
Gaspersz V. 2005. Pedoman implementasi program Six Sigma terintegrasi dengan ISO 9001:2000,
MBNQA dan HACCP. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal.77-90.
Gierson D. and Kader A. 1986. Fruit ripening and quality in: Atherton J, Rudich J. (Eds.) The Tomato
Crop. Springer, Netherlands, Dordrecht, pp.241-280.
Hambali E., Suryani A. dan Rivai M. 2005. Membuat aneka bumbu instan pasta. Penebar Swadaya.
Jakarta. Hal.8-9.
Hamimi, Tamrin, dan Setyani S. 2011. Uji kinerja mesin peniris minyak goreng pada pengolahan
kripik. Jurnal Teknologi dan Industri Hasil Pertanian. 16(1): 91-100.
Haming M. dan Nurnajamudin M. 2007. Manajemen produksi modern: Buku 2. Bumi Aksara. Jakarta.
Hal.11-19 dan 185-193.
Hu L., Wu G., Hao C., Yu H., Tan L. 2016. Transcriptome and selected metabolite analyses reveal
points of sugar metabolism in jackfruit (Artacarpus heterophyllus Lam.). Plant Science. 248: 45-
56.
Jagtab U.B. and Bapat V.A. 2010. Artocarpus: A review of its traditional uses, phytochemistry and
pharmacology. Journal of Ethnopharmacology. 129: 142-166.
Judi H.M., Jenal R., and Genasan D. 2009. Some experience of quality control implementation in
Malaysian companies. European Journal of Scientific Research. 27(1), 32-38.
Kementerin Pertanian Dirjen Hortikultura. 2015. Statistik produksi hortikultura tahun 2014.
Kementerian Pertanian Dirjen Hortikultura. Diakases pada 22 Juli 2018.
http://hortikultura.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2016/02/Statistik-Produksi-2014.pdf.
Koch K. 2004. Sucrose metabolism: Regulatory mecanisms and pivotal roles in sugar sensing and plant
development. Curr. Opin. Plant Biol. 7: 235-246.
Lind D.A., William G.M., dan Samuel A.W. 2008. Teknik-teknik statistika dalam bisnis dan ekonomi
menggunakan kelompok data global Edisi 13. Salemba Empat. Jakarta. hal.353
Lubis I. 1985. Pengendalian dan pengawasan proyek dalam manajemen. Jakarta. Ghalia Indonesia.
hal.154.
Maity T., Bawa A.S., and Raju P.S. 2014. Effect of vacuum frying on changes in quality attributes of
Jackfruit (Artocarpus heterophyllus) bulb slices. International Journal of Food Science. 1-8.
http://dx.doi.org/10.1155/2014/752047
Manggala D. 2005. Mengenal Six Sigma secara sederhana. Teknik Mesin ITB. Bandung. hal.6
Namdari, M., Rafiee, S., and Jafari, A. 2011. Using FMEA method to optimize fuel consumption in
tillage by moldboard flow. International Journal of Applied Engineering Research. 1(4): 734-
742.
Nithyanandam G.K. and Pezhinkattil R. 2014. A Six Sigma approach for precission machining in
milling. Procedia Engineering. 97: 1755-1764.
Ong B.T., Nazimah S.A.H., Osman A., Quek S.Y., Voon Y.Y., Hashim D.M. 2006. Chemical and
flavour changes in jackfruit (Artocarpus heterophyllus Lam.) cultivar J3 during ripening.
Postharvest Biology and Technology. 40: 279−286.
Pande P.S., Neuman R.P., dan Cavanagh R.R. 2009. The Six Sigma Way. Penerbit ANDI. Yogyakarta.
Pankaj S.K. and Keener K.M. 2017. A review and research trends in alternative frying technologies.
Current Opinion in Food Science. 16: 74–79.
Rolland F., Baena-Gonzalez J., Sheen. 2006. Sugar sensing and signaling in plants: conserved and novel
mechanisms. Annu. Rev. Plant Biol. 57: 675-709.
Saxena A., Maity T., Rajub P.S., Bawa A.S. 2009. Optimization of pretreatment and evaluation of
quality of jackfruit (Artocarpus heterophyllus) bulb crisps developed using combination
drying. Food and Bioproducts Processing. 95: 106–117.
Sayuti J. 2012. Pentingnya standar operasional prosedur kerja untuk meningkatkan kinerja karyawan
dalam perusahaan. Jurnal Ilmiah. 4(3): 1-5.
Srinivasan K., Muthu S., Devadasan S.R., and Sugumaran C. 2014a. Enhancing effectiveness of shell
and tube heat exchanger through Six Sigma DMAIC phases. Procedia Engineering. 97: 2064-
2071.
Srinivasan K., Muthu S., Prasad N.K., Satheesh G. 2014b. Reduction of paint line defects in shock
absorber through Six Sigma DMAIC phases. Procedia Engineering. 97: 1755-1764.

137
Jurnal Teknologi Pertanian Andalas Vol. 22, No.2, September 2018, ISSN 1410-1920, EISSN 2579-4019
Sucipto Sucipto, Ismi Ardiyati, dan Usman Effendi
================================================================================
Sucipto S., Sulistyowati D.P., Aggrarini S. 2017. Pengendalian kualitas pengalengan jamur dengan
metode Six Sigma di PT Y, Pasuruan, Jawa Timur. Industria: Jurnal Teknologi dan Manajemen
Agroindustri. 6(1): 1-7.
Sucipto S., Astuti R., Megawati A. 2018. Analisis kualitas pengemasan vakum ikan beku dengan
metode Six Sigma (Sudi kasus di PT X, Pasuruan Jawa Timur). Agrointek. 12(2): 99-106.
Susetyo J., Winami dan Hartanto C. 2011. Apliksai Six Sigma DMAIC dan Kaizen sebagai metode
pengendalian dan perbaikan kualitas produk. Jurnal Teknologi. 4(1): 78-87.
Venkataraman K. 2001. Wood of phenolics in the chemotaxonomy of the Moraceae. Phytochemistry.
11: 1571−1586.

138

You might also like