Festival Bau Nyale Sebagai Pengenalan Dan Pelestarian Budaya

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 12

Jurnal Cakrawala E ISSN 2655-1969

FESTIVAL BAU NYALE SEBAGAI PENGENALAN


DAN PELESTARIAN BUDAYA

Oleh:

Nursaptini1

Arif Widodo2

Setiani Novitasari3

Azhar Pajarungi Anar4

ABSTRACT

This study aims to find out about the Bau Nyale festival as an introduction and
cultural preservation. Cultural preservation is the duty of every citizen, especially the
younger generation, because culture or a tradition becomes the identity of a nation. The
research method used is descriptive qualitative research. The research was conducted
during the implementation of the 2020 Bau Nyale charm festival held by the Central
Lombok Regency government. The informants in this study were people who participated
in the festival and people who acted as spectators. Retrieval of data through interviews,
observation and documentation. Data analysis used an interactive model from Miles &
Huberman, namely data collection, data reduction, data presentation, and drawing
conclusions. The results of this study explain that the Bau Nyale festival in 2020 will
become a forum for the introduction and preservation of the culture of the Sasak tribe.
Through this festival, participants and audiences were presented with a treatrikal on the
legend of the Mandalika princess as the beginning of the history of the birth of the Bau
Nyale tradition, then they got an understanding of the cultural values contained in the
Bau Nyale tradition until the date of the Bau Nyale tradition was implemented. In
addition, the Bau Nyale Festival is also inserted to get to know typical Sasak clothes such
as gastric clothes, for women and pegong clothes for men besides that it is enlivened by
the traditional art of Gendang Beleq which is a typical art of the Sasak tribe.

Keywords: Festival, Bau Nyale, Introduction, Preservation, Culture

1
Program Studi PGSD Universitas Mataram
2
Program Studi PGSD Universitas Mataram, Email korespondensi: [email protected]
3
Program Studi PGSD Universitas Mataram
4
Program Studi PGSD Universitas Mataram

85
Festival Bau Nyale Nursaptini, dkk

1. PENDAHULUAN

Negara Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau memiliki kekhasan


budaya yang unik disetiap daerahnya. Sebagai warga negara sudah seharusnya
menjaga kekhasan kekayaan tersebut ditengah globalisasi yang membuat
pembauran antar budaya begitu cepat (Titi & Nurharini, 2019). Pelestarian
budaya menjadi tugas seluruh elemen masyarakat demi terjaganya warisan
budaya (Priatna, 2017), serta membutuhkan strategi dan komitmen dari
berbagai pihak (Khairil & Ranti, 2018) ditengah melemahnya apresiasi
kalangan muda terhadap budaya lokal (Arifin, Ulfa, Praberdhiono, 2018).

Warisan Budaya menjadi identitas suatu bangsa oleh karena itu harus
dilestarikan. Di dalam suatu budaya terdapat pesan moral yang selalu
dijunjung tinggi oleh sebuah komunitas (Widodo, Akbar, & Sujito, 2017). Salah
satu tradisi yang harus dilestarikan dan diperkenalkan kepada generasi muda
adalah tradisi Bau Nyale, tradisi lokal masyarakat Lombok.

2. KAJIAN PUSTAKA

Bau Nyale berasal dari kata Bau yang artinya menangkap, sedangkan
Nyale merupakan nama sejenis cacing laut. Arti sedehananya adalah tradisi
menangkap Nyale yang ada di laut. Tradisi Bau Nyale memiliki makna tersediri
bagi masyarakat suku sasak terutama yang berada di daerah selatan. Bau Nyale
berawal dari legenda lokal yang melatarbelakangi yakni tentang kisah seorang
Putri Mandalike. Menurut kepercayaan masyarakat Lombok Nyale merupakan
jelmaan Putri Mandalike. Adapun nilai budaya yang terkandung dalam tradisi
Bau Nyale antara lain kisah kesabaran, pengorbanan seorang putri mandalike
untuk kesejahteraan masyarakat, menghindari pertikaian menjunjung
perdamaian (Fazalani, 2018).

Tradisi Bau Nyale diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat


Sasak. Saat kemunculan Nyale diketahui berdasarkan penanggalan sasak yang

86
Nursaptini, dkk Festival Bau Nyale

jatuh pada tanggal 20 bulan ke 10. Ketika sudah ditentukan tanggalnya


masyarakat sasak datang ke pantai selatan Lombok seperti Pantai Seger Kuta
Lombok, Tanjung Aan, Kaliantan dan daerah selatan lainnya untuk menunggu
munculnya Nyale yang biasanya keluar antara pukul 04.00 pagi sampai pukul
06.00 (Wahidah, 2019)

Salah satu cara untuk memperkenalkan tradisi Bau Nyale pemerintah


Kabupaten Lombok Tengah pada tahun 2020 mengadakan festival pesona Bau
Nyale. Melalui festival ini diharapkan generasi muda mengenal makna tradisi
Bau Nyale yang pada output akhirnya dapat melestarikan dan menjadikan
nilai-nilai baik yang ada dalam tradisi Bau Nyale sebagai dasar dalam
berperilaku (pidato Wakil bupati Lombok Tengah, 14 Februari 2020). Adapun
Kajian ini bertujuan menggambarkan festival Bau Nyale sebagai pengenalan
dan pelestarian budaya sasak khususnya yang diadakan pemerintah kabupaten
Lombok tengah.

3. METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif.


Penelitian dilakukan pada saat pelaksanaan festival pesona Bau Nyale 2020
yang diadakan pemerintah Kabupaten Lombok Tengah. Informan dalam
penelitian ini adalah masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam festival dan
masyarakat yang berperan sebagai penonton. Pengambilan data melalui
wawancara, observasi dan dokumentasi. Analisis data menggunakan model
interaktif dari Miles & Huberman, yakni pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data, mengambil kesimpulan.

87
Festival Bau Nyale Nursaptini, dkk

4. PEMBAHASAN

Masyarakat Sasak, terutama yang tinggal di pesisir selatan, selalu


menyelenggarakan tradisi Bau Nyale. Namun bagi masyarakat sasak yang
berada di daerah utara tradisi Bau Nyale jarang diikuti dan hanya
mendapatkan cerita, melalui diadakannya festival Bau Nyale 2020 sebagai
salah satu wadah memperkenalkan Budaya lokal kepada masyarakat luas. Hal
ini dilakukan terutama kepada generasi muda yang mana semua kecamatan
yang ada di Lombok Tengah harus memiliki perwakilan dari beberapa sekolah
untuk memperkenalkan tentang Tradisi Bau Nyale. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh salah seorang informan bahwa:

Festival Bau Nyale ini diikuti oleh perwakilan dari setiap kecamatan yang
terdiri dari siswa SMP dan masyarakat luas yang ingin ikut berpartisipasi
mengenang awal terjadinya tradisi Bau Nyale.

Tradisi Bau Nyale sebagai salah satu tradisi budaya yang hanya ada pada
masyarakat suku sasak sudah seharusnya dilestarikan, dan diperkenalkan
terutama kepada generasi muda usia sekolah agar tidak hanya mengenal
tradisi luar. Hal ini tidaklah berlebihan mengingat pendidikan memiliki peran
yang sangat penting dalam pelestarian budaya dan pembentukan karakter
peserta didik (Nursaptini, Sobri, Sutisna, Syazali, & Widodo, 2019). Pada
festival Bau Nyale ini peserta menggunakan pakain adat sasak oleh karena itu
tidak hanya memperkenalkan tentang tradisi Bau Nyale namun anak muda
melestarikan pakaian adat sasak seperti laki-laki memakai sebagaimana
ditunjukkan pada gambar 1 dan 2.

88
Nursaptini, dkk Festival Bau Nyale

Gambar 1. Peserta Festival Bau Nyale menggunakan pakaian adat suku sasak

Gambar 2. pakaian adat suku sasak

Melalui festival Bau Nyale mengingatkan kepada peserta dan penonton


akan kisah lahirnya tradisi Bau Nyale setiap peserta memberikan treatrikal
bagaimana kisah lahirnya tradisi Bau Nyale dan membacakan prolog legenda
putri mandalike dari berbagai versi, hal ini akan memberikan pemahaman
kepada peserta festival atau klayak yang menonton bahwa cerita putri
mandalike yang menjelma menjadi Nyale tidak hanya satu versi. Salah satu
contoh yang dibacakan adalah:

Pada zaman dahulu di Pulau Lombok terdapat sebuah kerajaan yang


sangat makmur. yang bernama Tojang Beru dengan permaisurinya Dewi

89
Festival Bau Nyale Nursaptini, dkk

Seranting. Baginda adalah raja yang bijaksana dalam memimpin negerinya,


sehingga semua rakyat merasa tentram, damai dan sejahtera.

Raja dan Permaisuri kerajaan Tojang beru memiliki seorang putri yang
diberi nama Putri Mandalika. Putri Mandalika tumbuh menjadi gadis remaja,
memiliki kepandaian, keelokan paras dan budi pekertinya. Putri Mandalika
sangat terkenal dengan segala pesonanya sehingga menyebar ke seluruh
penjuru Lombok dan daerah sekitarnya. Para pangeran berasal dari kerajaan
yang berbeda yaitu dari kerajaan Johor, Lipur, Pane, Kuripan, Daha dan
kerajaan Beru. Para pangeran jatuh cinta dan terpesona melihat kecantikan
sang putri. Mereka saling berlomba dan mengadu peruntungan untuk dapat
mempersunting Putri Mandalika. Raja Tojang Beru dan Permaisuri Dewi
Seranting tidak bisa memutuskan masa depan anaknya. Sang Raja tak bisa
menentukan siapakah yang akan diterima lamarannya.

Sang putri menolak semua lamaran karena ia merasa memikul tanggung


jawab yang besar. Apabila Putri Mandalika menjatuhkan pilihannya pada salah
seorang pangeran akan timbul bencana yang besar. Putri Mandalika dengan
segala kebijaksanaannya meminta waktu untuk bersemedi. Ia meminta para
pangeran untuk bersabar. Putri Mandalika tidak ingin perang besar terjadi
diantara semua kerajaan. Putri Mandalika paham, jika perang besar terjadi,
maka yang menjadi korban sebenarnya adalah rakyat.

Putri Mandalika mengatakan bahwa ia mengundang seluruh rombongan


pelamar dan rakyatnya untuk datang ke Pantai Seger Kuta pada tanggal 20
bulan 10 penanggalan Sasak menjelang pagi-pagi buta sebelum adzan subuh
berkumandang. Ia berjanji akan menunjukkan apa keputusan yang telah
dipilihnya dan tak akan mengecewakan semua pihak. Ada yang datang dua hari
sebelum hari ditentukan oleh Sang Putri. Rakyat banyak yang datang
memenuhi undangan sang putri ditempat itu. Rupanya mereka ingin
menyaksikan bagaimana sang putri akan menentukan pilihannya. Seperti
janjinya, Sang Putri muncul sebelum adzan berkumandang. Persis ketika langit
memerah di ufuk timur, Sang Putri yang cantik dan anggun hadir dengan

90
Nursaptini, dkk Festival Bau Nyale

diusung menggunakan usungan yang berlapis emas. Prajurit kerajaan berjalan


di kiri, di kanan dan di belakang Sang Putri. Semua undangan hanya bisa
terdiam melihat kecantikan dan keanggunan Putri Mandalika.

Putri Mandalika berdiri kemudian ia menoleh kepada seluruh


undangannya. Sang Putri berbicara singkat, tetapi isinya padat dan jelas. Ia
mengumumkan keputusannya dengan suara lantang dengan berseru “Wahai
ayahanda dan ibunda serta semua pangeran dan rakyat negeri Tojang Beru
yang aku cintai. Hari ini aku telah menetapkan bahwa diriku untuk kalian
semua. Aku ingin semua kedamaian dan kesejahteraan tetap lestari di Lombok.
Aku adalah kebahagiaan semua orang bukan penyulut kebencian dan amarah.
Aku tidak dapat memilih satu diantara pangeran, Tanpa diduga-duga Sang
Putri menceburkan diri ke dalam laut yang langsung dietelan gelombang
disertai dengan angin kencang, kilat dan petir yang menggelegar. Tidak ada
tanda-tanda Sang Putri ada di tempat itu. Pada saat mereka mencari putri
mandalikamuncullah binatang kecil yang jumlahnya sangat banyak yang kini
disebut sebagai Nyale. Binatang itu berbentuk cacing laut. Dugaan mereka
binatang itulah jelmaan dari Sang Putri Mandalika (Desnayanti & Kailani,
2019).

Disamping membacakan prolog legenda putri Mandalika peserta


memperagakan dalam bentuk treatrikal seperti yang ditunjukkan dalam
gambar 3 dan 4.

91
Festival Bau Nyale Nursaptini, dkk

Gambar 3. Teatrikal dalam Bau Nyale

Gambar 4. Treatrikal perebutan putri mandalika

Pada treatrikal ini peserta memperagakan bagaimana pertikaian yang


dilakukan oleh pangeran yang ingin memperebutkan putri mandalika dan pada
akhir cerita sang putri menceburkan diri ke laut, para pangeran tidak bisa
menyelamatkan putri mandalika.

Moment festival Bau Nyale ini mengingatkan generasi muda makna akan
tradisi bau nyale sebagaimana hasil wawancara dengan salah seorang
informan bahwa:

92
Nursaptini, dkk Festival Bau Nyale

Nilai budaya yang terkandung dalam tradisi Bau Nyale seperti


kesabaran, pengorbanan karena Putri Mandalike yang rela mengorbankan
dirinya untuk kesejahteraan masyarakat.

Nilai dalam tradisi Bau Nyale harus diketahui oleh generasi muda
sebagai dasar dalam bertingkah laku. Dimana saat ini nilai-nilai kesabaran,
berani berkorban untuk orang lain sudah jarang ditemukan cara berpikir
rasionalistik-materialistik lebih diutamakan (Fazalani, 2018). hal ini sungguh
ironis mengingat dalam nilai budaya lokal terdapat nilai-nilai karakter sebagai
pegangan hidup suatu masyrakat (Widodo, 2020).

Melalui festival Bau Nyale mengingatkan generasi muda sasak akan


sosok Putri Mandalika yang rela berkorban agar kedamaian tetap ada,
pertikaian dapat dihindari. Pengenalan akan tradisi Bau Nyale tidak berakhir
pada pengenalan akan cerita, melalui treatrikal namun juga harus ikut gembira
terhadap datangnya tradisi Bau Nyale sebagaimana yang dijelaskan salah
seorang informan bahwa:

Bagi kami masyarakat sasak di daerah selatan datangnya waktu Bau


Nyale merupakan saat yang ditunggu-ditunggu di mana Nyale ini ke luar ke
permukaan dua kali dalam setahun yaitu pada tanggal 19 dan 20 bulan
kesepuluh kalender sasak.

Munculnya Nyale bagi masyarakat sasak menjadi sebuah kebarokahan


yang dimana setiap Nyale keluar diiringi hujan rintik-rintik. Sedangkan
sebelumnya didahului hujan lebat yang turun hampir setiap hari. Keadaan
seperti ini dijadikan oleh petani sasak sebagai tanda baik buruknya musim
pada tahun yang bersangkutan. Pesan perdamaian yang terdapat festival Nyale
merupakan bukti bahwa kearifan lokal mengandung nilai-nilai luhur. Hal ini
sesuai dengan sebuah penelitian yang menyatakan bahwa di dalam kearifan
lokal terdapat nilai-nilai toleransi yang sangat berguna dalam menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa (Widodo et al., 2020).

93
Festival Bau Nyale Nursaptini, dkk

5. KESIMPULAN

Festival Bau Nyale sebagai wadah pengenalan dan pelestarian budaya


suku sasak. Generasi muda terutama usia sekolah mengikuti festival ini oleh
karena itu mereka mendapatkan pemahaman sejarah munculnya tradisi Bau
Nyale dari legenda putri mandalika sampai penentuan hari akan munculnya
Nyale. Selain itu, mendapatkan pemahaman nilai yang terkandung dalam
tradisi Bau Nyale seperti sikap kesabaran, rela berkorban untuk orang banyak.

Saran untuk kedepannya adalah: pengenalan akan suatu tradisi melalui


festival perlu dilaksanakan secara kontinu sebagai wadah pelestarian budaya
bangsa, Generasi muda suku sasak perlu mengetahui sejarah tradisi Bau Nyale
dan makna atau nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut. Pemerintah dan
masyarakat harus peduli terhadap tradisi Bau Nyale yang ada, karena jika hal
ini diabaikan lama kelamaan akan punah.

*****

94
Nursaptini, dkk Festival Bau Nyale

DAFTAR PUSTAKA

Arifin Moch. Zainul, Ulfa Saida, Praberdhiono Henry. (2018). Pengembangan


Kurikulum Muatan Lokal Karawitan sebagai Upaya Mengkonstruksi
Pengetahuan dan Pelestarian Budaya Jawa di Jenjang SMA. JKIP. 1 (2)
123-132.

Desnayanti Rosita & Kailani Ashwan. 2019. Fungsi Seni Teater sebagai Media
Kritik Sosial dalam Cerita Rakyat Putri Mandalika. Tamumatra Jurnal
Seni Pertunjukan. 2 (1): 11-19

Fazalani Runi. 2018. Tradisi Bau Nyale terhadap Nilai Multikultural Pada Suku
Sasak. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra. 13 (2): 162-171

Khairil Muhammad, Ranti Rizki Amelia. 2018. Festival Pesona Palu Nomoni
Dalam Pelestarian Budaya Kaili di Kota Palu. Kinesik. 5 (2): 79-87

Nursaptini, N., Sobri, M., Sutisna, D., Syazali, M., & Widodo, A. (2019). Budaya
Patriarki dan Akses Perempuan dalam Pendidikan. AL-MAIYYAH, 12(2),
16–26.

Priatna Yolan. 2017. Melek Informasi sebagai Kunci Keberhasilan Pelestarian


Budaya Lokal. Jurnal Publis. 1 (2):37-43

Wahidah Baiq Yulia Kurnia. 2019. Mitologi Putri Mandalika Pada masyarakat
Sasak Terkait dengan Bau Nyale Pada Pesta Rakyat sebagai Kearifan
Lokal Tinjauan Etnolinguistik Tahun 2018. JUPE: Jurnal Pendidikan
Mandala. 4 (5):2019

Widodo, A. (2020). Nilai Budaya Ritual Perang Topat Sebagai Sumber


Pembelajaran IPS Berbasis Kearifan Lokal di Sekolah Dasar.
Gulawentah:Jurnal Studi Sosial, 5(1), 1–16.
https://doi.org/10.25273/gulawentah.v5i1.6359

95
Festival Bau Nyale Nursaptini, dkk

Widodo, A., Akbar, S., & Sujito, S. (2017). Analisis nilai-nilai falsafah Jawa dalam
buku pitutur luhur budaya Jawa karya Gunawan Sumodiningrat sebagai
sumber belajar pada pembelajaran IPS. Jurnal Penelitian Dan Pendidikan
IPS (JPPI), 11(2), 152–179. Retrieved from
http://ejournal.unikama.ac.id/index.php/JPPI/article/download/1887/
1489/

Widodo, A., Maulyda, M. A., Fauzi, A., Sutisna, D., Nursaptini, N., & Umar, U.
(2020). Tolerance Education Among Religious Community Based on the
Local Wisdom Values in Primary Schools. Proceedings of the 1st Annual
Conference on Education and Social Sciences (ACCESS 2019), 465(Access
2019), 327–330. https://doi.org/10.2991/assehr.k.200827.082

Yanuarita Putri, Sumilah, Titi Eka, Nurharini Atip. 2019. Pembelajaran Lagu
Dolanan Anak Melalui Pendekatan Apresiasi sebagai Upaya Pengenalan
dan Pelestarian Asset Budaya di Sekolah Dasar. Jurnal Kreatif . 9 (2)
2019: 141-152

96

You might also like