Tadwin Hadis Dan Kontribusinya Dalam Perkembangan Historiografi Islam Saifuddin
Tadwin Hadis Dan Kontribusinya Dalam Perkembangan Historiografi Islam Saifuddin
Tadwin Hadis Dan Kontribusinya Dalam Perkembangan Historiografi Islam Saifuddin
1
ISSN 1412-5188
Abstract
Historically, the process of tadwîn was through by the phases of a long and complex
historical and colored many controversies. The controversy intensified when considering
stream factor in it. Three traditional currents in Islam, Ahl al - Sunnah wa al -
Jama'ah, Shi'ites, and Kharijites, proved to have a history of their own tadwîn
traditions were different from each other. Concurrently with the tadwîn process of
hadith, the scholars also put its methodological tools. Methodological tools that in turn
give effect to other disciplines, including Islamic historiography. This study tried to
discover more about the dynamics that occured in the tadwîn tradition process and to
what extent it impacted to the Islamic historiography. Through the method of
historical - comparative historical or combined with Usul al - hadîts, this study
revealead that the hadith tadwîn basically been going on since the period of the Prophet
and continued in subsequent periods until finally composed " Six Major Hadith
Compilation " among the Ahl al - Sunnah wa al - Jama'ah and the " Four Major
Hadith Compilation " ( al -Kutub al - Arba'ah ) among Shi'ites. The study also
showed that tadwîn of hadith clearly had a contribution which was not only limited to
providing abundant material for writing the history of Islam in the form of biography
(sirah) and military raids or attacks (maghâziy), but more importantly also about
resource gathering methods, method of source criticism, and methods of preparation
work of Islamic history .
Kata kunci: tadwîn hadis, historiografi Islam, sirah, maghâziy.
Pendahuluan
Salah satu persoalan utama yang tetap ramai diperbincangkan
kendati telah lama memicu polemik dan kontroversi dalam kancah studi
hadis adalah problem kompilasi dan kodifikasi (tadwîn) hadis. Problem ini
boleh jadi akan terus menjadi agenda perdebatan yang cukup hangat dan
menyita banyak energi di kalangan para sarjana keislaman, khususnya
34 Ilmu Ushuluddin Vol. 12, No. 1
yang menaruh minat pada studi hadis. Pasalnya, sampai sejauh ini, dalam
proses kompilasi dan kodifikasi (tadwîn) hadis masih menyisakan
sejumlah persoalan hermeneutik yang cukup pelik ketika dihadapkan
pada kritik sejarah. Ditinjau dari kritik sejarah, masalah historisitas dan
otentisitas literatur hadis masih menjadi semacam “misteri” yang perlu
diungkap dan dikaji. Sehingga tidak heran jika persoalan itu kemudian
menjadi objek kajian ilmiah yang cukup menarik, di samping juga
kontroversial bagi banyak kalangan.
Problem historis kompilasi dan kodifikasi (tadwîn) hadis menjadi
semakin rumit ketika mempertimbangkan faktor aliran di dalamnya.
Meski sama-sama menyetujui hadis sebagai sumber otoritatif syariat
Islam, tiga arus tradisional dalam Islam—Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ„ah,
Syi„ah, dan Khawarij—memiliki sejarah tadwîn hadis sendiri-sendiri, dan
pada gilirannya tiap-tiap kelompok mengakui karya kompilasi hadis yang
berbeda satu sama lain. Perbedaan itu, menurut Arkoun, pada dasarnya
merujuk kepada akar kultural yang berbeda dari tiap-tiap aliran yang
bersaing untuk memonopoli hadis dan sekaligus mengontrolnya. Bentuk
persaingan itu terlihat dalam berbagai hal, termasuk judul-judul bab pada
masing-masing kompilasi hadis yang mencerminkan kemuliaan satu
aliran atas aliran lainnnya.1
Selain problem historis, hal yang tak kalah pentingnya dibicarakan
adalah kerangka metodologis kompilasi dan kodifikasi (tadwîn) hadis.
Kajian seputar hal ini akan mengungkap data penting tentang bagaimana
proses historis tadwîn hadis dibangun di atas landasan dan dasar-dasar
metodologis yang kokoh. Pembentukan dasar-dasar metodologis itu
sesungguhnya telah dilakukan oleh generasi awal Islam.2 Para sahabat,
sahabat. Nûr al-Dîn „Itr membagi tahap perkembangan ilmu hadis ke dalam tujuh fase.
Fase pertama, fase pertumbuhan, yang berlangsung dari awal masa sahabat hingga akhir
abad I H. Fase kedua, fase penyempurnaan bentuk tiap-tiap bidang hadis dan peletakan
kaidah-kaidah oleh ulama tanpa disertai kodifikasi, yang berlangsung sejak awal abad II
H hingga awal abad III H. Fase ketiga, fase kodifikasi cabang-cabang ilmu hadis secara
terpisah-terpisah, yang berlangsung dari abad III H sampai pertengahan abad IV H.
Fase keempat, fase penyusunan secara lebih menyeluruh dan munculnya disiplin ilmu-
ilmu hadis secara terkodifikasi, yang berlangsung sejak pertengahan abad IV H sampai
awal abad VII H. Fase kelima, fase kematangan dan kesempurnaan dalam kodifikasi
ilmu-ilmu hadis, yang dimulai sejak VII sampai X H. Fase keenam, fase kemandekan dan
SAIFUDDIN Tadwin Hadis 35
kebekuan, yang terjadi sejak abad X H sampai abad XIV H. Fase ketujuh, fase
kebangkitan di abad modern, yang berlangsung sejak awal abad XIV H sampai
sekarang. Lihat Nûr al-Dîn „Itr, al-Madkhal ilâ ‘Ulûm al-Hadîts, (Madinah: al-Maktabat al-
„Ilmiyah, 1972), h.18-19; Nûr al-Dîn „Itr, Manhaj al-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts, (Damaskus:
Dâr al-Fikr, 1418 H/1997 M), h. 36-70.
3Muhammad „Ajjâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts: ‘Ulûmuhu wa Mushthalahuhu,
Maktabat al-„Ulûm wa al-Hikam, 1415 H/1994 M), h. 273-276; Akram Dliyâ‟ al-
„Umariy, Madinan Society at the Time of the Prophet, terj. Huda Khaththab, (Virginia: The
International Institute of Islamic Thought, 1411 H/1991 M), vol. I, h. 15-17.
8Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam: Dari Klasik hingga Modern, terj.
Islam”, Al-Hikmah, no. 11, 1993, h. 36-56; Azyumardi Azra, Historiografi Islam
Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2002), h. 20-45.
36 Ilmu Ushuluddin Vol. 12, No. 1
10Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 13, 41,
Islâmiy, h. 240; Mohammed Arkoun, “Metode Kritik Akal Islam”, wawancara dengan
Hashem Shaleh, Ulumul Qur’an, no. 5 dan 6, 1994, h. 163.
14Istilah “pengaruh” (influence) dan “kontribusi” (contribution) sering dipakai oleh
para penulis dalam karya mereka. Sebagian sarjana, seperti W. Montgomery Watt,
Muhammad A. R. Khan, Ziauddin Ahmad, dan I. H. Qureshi, telah menggunakan
istilah “pengaruh” (influence) dan “kontribusi” (contribution) secara bergantian dengan
makna yang kurang lebih sama. Lihat W. Montgomery Watt, The Influence of Islam on
Medieval Europe, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1994), h. 1; Muhammad A. R.
Khan, A Brief Survey of Muslim Contribution to Science and Culture, (Delhi: Idarah-i
Adabiyat-i Delli, 1993), h. 63-64; Ziauddin Ahmad, Influence of Islam on World Civilization,
(Delhi: Adam Publishers & Distributors, 1996), h. 18-19; I. H. Qureshi,
“Historiography”, dalam M. M. Syarif (ed.), A History of Muslim Philosophy, (Pakistan:
Royal Book Company, 1983), vol. II, h. 1197.
38 Ilmu Ushuluddin Vol. 12, No. 1
matan hadis, periwayatan hadis, dan sifat-sifat periwayat. Lihat Ibrâhîm Dasûkiy al-
Syahâwiy, Mushthalah al-Hadîts, (t.t.; Syirkat al-Thibâ„at al-Fanniyat al-Muttahidah, t.th.),
h. 6; Mahmûd al-Thahhân, Taisir Mushthalah al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Qur‟ân al-Karîm,
1399 H/1979 M), h. 14; al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts, h. 7-8.
17Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World, (Kula Lumpur:
deskriptif. Lihat Robert Bogdan dan Steven J. Taylor, Introduction to Qualitative Research
Method, (New York: John Wiley & Sons, 1975), h. 4. Dalam penelitian kualitatif antara
lain tercakup ciri-ciri berikut: (1) realitas sosial bersifat subjektif dan plural; (2) konteks
penelitian bersifat holistik; (3) metode penelitian bercorak historis, etnografis, dan studi
kasus; (4) analisis data bersifat deskriptif; dan (5) pola penalaran bersifat induktif.
Penjelasan yang saling melengkapi, lihat Madeleine Leininger, “Evaluation Criteria and
Critique of Qualitative Research Studies”, dalam Janice M. Morse (ed.), Critical Isuue in
Qualitative Research Methods, (California, London, New Delhi: SAGE Publications, Inc,
1994), h. 106; Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006), h. 31-37.
20Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, terj.
h. 66.
SAIFUDDIN Tadwin Hadis 41
24Abû Muhammad „Abd al-Malik ibn Hisyâm, al-Sîrat al-Nabawiyyah. Juz II.
Beirut: al-Maktabat al-„Ilmiyah, t.th., h. 501-504; Abû „Ubaid al-Qâsim ibn Salâm, Kitâb
al-Amwâl, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1408 H/ 1988 M.), h. 260-264; Muhammad
Hamidullah, Majmû‘at al-Watsâ’iq al-Siyâsiyyat li al-‘Ahd al-Nabawiy wa al-Khulafâ’ al-
Râsyidah, (Kairo: Mathba„at Lajnat al-Ta‟lîf wa al-Tarjamah, 1376 H/1956 M), h. 15-21;
al-Sayyid Ja„far Murtadlâ al-„Âmiliy, al-Shahîh min Sîrat al-Nabiy al-A‘zham, (Beirut: Dâr
al-Sîrah, t.th.), juz IV, h. 248-252; Hâsyim Ma„rûf al-Hasaniy, Sîrat al-Mushthafâ: Nazhrat
al-Jadîdah, (Qum: Mathba„ah Amîr, 1394 H), h. 277-280; Sayed Ali Asgher Razwy,
Muhammad Rasulullah Saw.: Sejarah Lengkap Kehidupan dan Perjuangan Nabi Islam Menurut
Sejarawan Timur dan Barat, terj. Dede Azwar Nurmansyah, (Jakarta: Pustaka Zahra,
2004), h. 161-162; Imtiyâz Ahmad, Dalâ’il al-Tautsîq al-Mubakkir li al-Sunnat wa al-Hadîts,
(Kairo: Dâr al-Wafâ‟ li al-Thibâ„at wa al-Nasyr wa al-Tauzî„, 1410 H/1990 M), h. 369-
409.
25Mushthafâ Qushair al-„Âmiliy, Kitâb ‘Aliy ‘Alaih al-Salâm wa al-Tadwîn al-
ibn Mâlik (93 H), dan termasuk pula nama-nama sahabat yang diakui
oleh kelompok ulama Syi„ah.26 Akan tetapi, tetaplah problematis untuk
mengidentifikasi nama-nama sahabat itu ke dalam aliran Ahl al-Sunnah
wa al-Jamâ„ah ataupun Syi„ah.
Proses historis tadwȋn hadis masih terus berlanjut hingga memasuki
periode tabiin. Sejumlah nama dari generasi tabiin dilaporkan memiliki
dokumen-dokumen hadis. Di antaranya adalah: Sulaimân ibn Qais al-
Yasykuriy (w. 75 H), Zaid ibn Wahb (w. setelah 83 H), Sulaimân ibn Qais
al-Hilâliy (w. 90 H), Sa„îd ibn Jubair (w. 95 H), „Ubaidullâh ibn Abî Râfi„
(w. 80 H), Muhammad ibn „Aliy ibn Abî Thâlib—ibn al-Hanafiyah (w. 81
H), „Aliy ibn Abî Râfi„ (w. sebelum 100 H), al-Ashbagh ibn Nabâtah (w.
setelah 101 H), „Athâ‟ ibn Yasâr al-Hilâliy (w. 103 H), Abû Qilâbah (w.
104 H), Abû Salamah ibn „Abd al-Rahmân (104 H), Muhammad ibn „Aliy
al-Bâqir (w. 114 H), Zaid ibn „Aliy (w. 122 H), Muhammad ibn Muslim
ibn Syihâb al-Zuhriy (w. 124 H), dan Hammâm ibn Munabbih (w. 131
H).27 Selama periode ini pula, atau tepatnya pada era „Umar ibn „Abd al-
„Azîz (w. 101 H), berlangsung kegiatan tadwîn hadis secara resmi dan
publik. Khalifah „Umar ibn „Abd al-„Azîz pernah mengeluarkan surat
perintah resmi kepada seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah
untuk menghimpun hadis.28 Hal itu telah umum diakui oleh ulama Sunni.
Namun sebaliknya, karena alasan-alasan tertentu, sebagian ulama Syi„ah
masih meragukan adanya kegiatan tadwîn hadis tersebut.29
Memasuki periode atbâ‘ al-tâbi‘în proses historis tadwîn hadis
memasuki tahap perkembangan yang cukup penting. Hal itu ditandai
26Abû „Abdillâh Muhammad ibn Ismâ„îl ibn Ibrâhîm al-Ju„fiy al-Bukhâriy, al-
Târîkh al-Kabîr, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), jilid VII, h. 186; Muslim ibn Hajjâj al-
Naisâbûriy, Kitâb al-Tamyîz, (Saudi Arabia: Maktabat al-Kautsar, 1410 H/1990 M), h.
176; Muhammad „Ajjâj al-Khathîb, al-Sunnat qabl al-Tadwîn, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1401
H/1981 M), h. 352-353; Fuat Sezgin, Geschichte des Arabischen Schrifttums, (Leiden: E.J.
Brill, 1969), vol. I, h. 85; Muhammad Mustafa Azami, Studies in Early Hadith Literature,
(Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2000), h. 34-60; Ahmad, Dala’il Tautsiq, h. 416-
540.
27al-Khathîb, al-Sunnat qabl al-Tadwîn, h. 357; Ahmad, Dala’il Tautsiq, h. 454-455;
Bardizbah al-Bukhâriy, Shahîh al-Bukhâriy, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1420 H/2000 M), juz
I, h. 71; „Abdullâh ibn „Abd al-Rahmân al-Samarqandiy al-Dârimiy, Sunan al-Dârimiy,
(Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), jilid I, h. 126.
29Muhammad Shâdiq Najmiy, Ta’ammulât fî al-Shahîhain, (Beirut: Dâr al-„Ulûm,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, t.th.), h. 21; Hasan Muhammad Maqbûliy al-Ahdal,
Mushthalah al-Hadits wa Rijâluhu, (San„a: Maktabat al-Jîl al-Jadîd, t.th.), h. 60-61;
Muhammad Muhammad Abû Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn, (Mesir: Dâr al-Fikr al-
„Arabiy, t.th.), h. 244; Muhammad ibn Mathar al-Zahrâniy, Tadwîn al-Sunnat al-
Nabawiyyah, (Tha‟if: Maktabat al-Shâdiq, 1412 H), h. 88-89; al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts,
h.182-183; al-Shâlih, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 48.
31al-Jalâliy, Tadwîn al-Sunnat, h. 173-177.
32Muhammad ibn Muhammad Abû Syuhbah, Fî Rihâb al-Sunnat al-Kutub al-Sihâh
al-Sittah, (Kairo: Majmâ‟ al-Buhûts al-Islâmiyah, 1389 H/1969 M), h. 42-142; al-
Zahrâniy, Tadwîn al-Sunnat, h. 112-144.
33Ja„far al-Subhâniy, Mausû‘at Thabaqât al-Fuqahâ’: al-Muqaddimah, (Qum:
Mu‟assasat al-Imâm al-Shâdiq, 1418 H), jilid II, h. 358-359; Andrew J. Newman, The
Formative Period of Twelver Shi‘ism: Hadith as Discourse Between Qum and Baghdad,
(Richmond, Surrey: Curzon Press, 2000), h. xiii, 50-69.
44 Ilmu Ushuluddin Vol. 12, No. 1
Thûsiy (w. 460 H).34 Sepanjang dua abad itu di kalangan Sunni juga
masih muncul karya-karya kompilasi hadis, seperti Shahîh Ibn Khuzaimah
(w. 311 H), Shahîh Ibn Hibbân (w. 345 H), Shahîh Ibn al-Sakan (w. 353
H), Mu‘jam al-Thabraniy (w. 360 H), Sunan al-Dâruquthniy (w. 385 H), al-
Mustadrak al-Hâkim (w. 405 H), dan Sunan al-Baihaqiy (w. 458 H).35
Kegiatan kompilasi dan kodifikasi (tadwîn) hadis sebagai bagian dari
proses sejarah tentu tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor tertentu.
Melalui penelitian ini bukan hanya diungkap fakta-fakta historis secara
vertikal dan kronologis-diakronis, tetapi juga dilihat secara horizontal
faktor-faktor ideologis politis yang mempengaruhi proses perjalanan
tadwîn hadis. Sejumlah sarjana berasumsi bahwa faktor aliran menjadi
penyebab utama munculnya perbedaan sejarah tadwîn hadis. Namun,
yang jelas hal itu tidak selalu menggiring kepada perbedaan dalam proses
penyusunan karya-karya kompilasi hadis di antara golongan-golongan
Islam. Pasalnya, ada aliran tertentu dalam Islam, seperti Murjiah,
Qadariyah, Jabariyah, dan Muktazilah, tidak mempunyai karya kompilasi
hadis tersendiri, meskipun golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ„ah, Syi„ah,
dan Khawarij, dilaporkan memiliki karya kompilasi hadis. Hasil
penelusuran di sini menjelaskan bahwa faktor ideologis dan politis justru
merupakan penyebab utama bagi munculnya perbedaan sejarah tadwîn
hadis. Lebih lanjut, karena faktor ideologis dan politis pula terjadi
pendiaman timbal balik oleh ulama Sunni dan Syi„ah menyangkut proses
tadwîn hadis. Sejauh ini, penulisan sejarah tadwîn hadis yang dilakukan
oleh ulama Sunni cenderung mendiamkan apa yang telah ditulis oleh
ulama Syi„ah. Sebaliknya, historiografi tentang tadwîn hadis di kalangan
Syi„ah juga melakukan hal serupa dengan mendiamkan apa yang telah
dihasilkan oleh ulama Sunni. Penelitian ini, berbeda dengan dua
kecenderungan tersebut, berusaha merekonstruksi secara menyeluruh
proses historis tadwîn hadis di kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ„ah dan
Syi„ah.
Kerangka Metodologis Tadwȋn Hadis
Selama proses historis kompilasi dan kodifikasi (tadwîn) hadis, para
ulama hadis juga berusaha merumuskan perangkat metodologis yang
(ed.), Hadîth and Sunnah: Ideals and Realities, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 1996),
h. 36; al-Sayyid Muhsin al-Amîn, A‘yân al-Syî‘ah, (Beirut: Dâr al-Ma„ârif li al-Mathbu„ât,
1406 H/1986 M), jilid I, h. 144; al-Subhâniy, Thabaqât al-Fuqahâ’, jilid II, h. 360-363.
35al-Zahrâniy, Tadwîn al-Sunnat, h. 145-181; al-Khûliy, Miftâh al-Sunnah, h. 35.
SAIFUDDIN Tadwin Hadis 45
Indianapolis: Islamic Teaching Center, 1977), h. 50; al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts, h. 129.
37Abû „Amr „Utsmân ibn „Abd al-Rahmân Ibn al-Shalâh, ‘Ulûm al-Hadîts,
(Madinah: al-Maktabat al-„Ilmiyah, 1972), h. 10; Muhy al-Dîn ibn Syaraf al-Nawâwiy, al-
Taqrîb wa al-Taisîr li Ma‘rifat al-Sunan al-Basyîr al-Nadzîr, (Beirut: Dar al-Kitab al-„Arabiy,
1405 H/1985 M), h. 25; Murtadlâ al-„Askariy, Ma‘âlim al-Madrasatain, (T.t. : t.p., 1414
H/1993 M), jilid III, h. 240; Nâshir ibn „Abdillâh ibn „Aliy al-Qiffâriy, Ushûl Madzhab
al-Syî‘at al-Imamiyyat al-Itsnâ ‘Asyariyyah, (Kairo: Dâr al-Haramain li al-Thibâ„ah, 1415
H/1994 M), jilid I, h. 383.
46 Ilmu Ushuluddin Vol. 12, No. 1
beragama Islam, bertakwa, balig, berakal, tidak berbuat dosa besar, tidak
berbuat fasik, tidak berbuat bidah, dan memelihara muruah. Jumhur
ulama Sunni juga telah menetapkan bahwa seluruh sahabat berpredikat
adil. Kriteria bagi periwayat yang dabit adalah kuat hafalan mengenai apa
yang didengarnya dan mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dia
menghendaki. Sementara bagi ulama Syi„ah, kriteria sanad bersambung
adalah rangkaian periwayatnya bersambung dari awal hingga akhir
(muttashil) dan marfû‘. Hanya yang membedakan dengan ulama Sunni,
pengertian marfû‘ di sini adalah sampai kepada Nabi saw. dan dua belas
imam maksum. Kriteria periwayat yang adil adalah beragama Islam,
bertakwa, tidak berbuat dosa besar, tidak berbuat fasik, dan memelihara
muruah. Mereka pun berpendirian bahwa tidak seluruh sahabat
berpredikat adil. Kriteria periwayat yang dabit adalah kuat hafalan, tidak
pelupa dalam meriwayatkan hadis. Di luar ketiga unsur kaidah di atas,
ulama hadis Sunni mengajukan dua unsur lagi: (1) terhindar dari syâdz;
dan (2) terhindar dari ‘illah.38 Sementara di sisi lain, sebagian ulama hadis
Syi„ah hanya mengajukan unsur terhindar dari syâdz dan tidak
menyebutkan unsur terhindar dari ‘illah,39 bahkan sebagian ulama Syi„ah
lainnya tidak menyebutkan kedua unsur itu secara eksplisit.
Begitupun menyangkut langkah penyusunan kitab hadis, baik
ulama Sunni ataupun Syi„ah telah menawarkan metode yang beragam.
Secara umum metode penyusunan yang diajukan oleh ulama hadis Sunni
telah tercermin dalam judul-judul kitab mereka, seperti juz’, athraf,
mushannaf, muwaththa’, musnad, sunan, jâmi‘, mustakhraj, mustadrak, mu‘jam,
majma‘, dan lainnya.40 Sedangkan metode penyusunan yang diajukan oleh
ulama hadis Syi„ah sebagiannya juga telah tercermin dalam judul-judul
karya mereka, seperti musnad, jâmi‘, ataupun mustadrak, dan sebagian lagi
tidak mudah diklasifikasikan berdasarkan judul-judul kitab yang ada.
Namun, secara substansial metode penyusunan kitab hadis yang diajukan
oleh kedua kelompok itu pada dasarnya tidak jauh berbeda. Ada sebagian
kitab hadis Sunni ataupun Syi„ah yang disusun berdasarkan satu topik
tertentu, ada sebagian lagi yang disusun menurut sistematika fikih, dan
ada pula kitab hadis yang sistematika pembahasannya mencakup seluruh
topik agama.
38Ibn al-Shalâh, ‘Ulûm al-Hadîts,h. 10; al-Nawâwiy, al-Taqrîb wa al-Taisîr, h. 25.
39Ja„far al-Subhâniy, Ushûl al-Hadîts wa Ahkâmuhu fî ‘Ilm al-Dirâyah, (Qum: Lajnat
Idarat al-Hauzat al-„Ilmiyah, 1412 H), h. 44.
40al-Dîn „Itr, Manâhij al-Muhadditsîn al-‘Âmmah, (Damaskus: t.p., 1420 H/1999
M), h. 57-77; „Itr, Manhaj al-Naqd, h. 197-210; al-Shâlih, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 117-125.
SAIFUDDIN Tadwin Hadis 47
Muhammad Rasulullah Saw.: Sejarah Lengkap Kehidupan dan Perjuangan Nabi Islam Menurut
Sejarawan Timur dan Barat, terj. Dede Azwar Nurmansyah, (Jakarta: Pustaka Zahra,
2004), h. vi; Azra, “Peranan Hadis”, h. 36-43; Azra, Historiografi Islam, h. 20-29.
43al-„Umariy, Madinan Society, h. 17.
48 Ilmu Ushuluddin Vol. 12, No. 1
al-Manâr al-Islâmiyah, 1415 H/1994 M), h. 62; Muhammad ibn Muhammad Abû
Syuhbah, al-Sîrat al-Nabawiyyat fî al-Qur’ân wa al-Sunnah, (Kairo: Dâr al-Thibâ„at al-
Muhammadiyah, 1390 H/1970 M), h. 23.
45Abû „Abdillâh Mâlik ibn Anas al-Ashbahiy, Muwaththa’ al-Imâm Mâlik, riwayat
Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibâniy, (t.t.: Maktabat al-„Ilmiyah, t.th.), h. 308, 334; Abû
Bakr „Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-Shan„âniy, Mushannaf, (Beirut: al-Maktab al-
Islâmiy, 1403 H/1983 M), juz V, h. 181-312; Abû Bakr „Abdullâh ibn al-Zubair al-
Humaidiy, al-Musnad, (Madinah: al-Maktabat al-Salafiyah, t.th.), juz I, h. 47, 175, 218,
219; juz II, h. 371, 507, 516, 531, 522, 533; al-Bukhâriy, Shahîh al-Bukhâriy, juz 423-537;
juz III, h. 122-279; Abû al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Naisâbûriy, Shahîh Muslim,
(Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam, 1422 H /2001 M), h. 451-478; Abû „Îsâ Muhammad ibn
„Îsâ ibn Saurah al-Tirmidziy, al-Jâmi‘ al-Shahîh wa Huwa Sunan al-Tirmidziy, (Beirut: Dâr
al-Fikr, 1408 H/1988 M), jilid IV, h. 101-188; Abû „Abd al-Rahmân Ahmad ibn Syu„aib
al-Nasâ‟iy, Sunan al-Nasâ’iy, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1415 H/1995 M), jilid III, juz II, h. 3-
52; Abû Dâwud Sulaimân ibn al-„Asy„ats al-Sijistâniy al-Azdiy, Sunan Abî Dâwud, (Kairo:
Dâr al-Hadîts, 1408 H/1988 M), juz III, h. 3-94; Abû „Abdillâh Muhammad ibn Yazîd
ibn Mâjah al-Qazwîniy, Sunan Ibn Mâjah, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1415 H/1995 M), juz II,
h. 119-158; Abû Ja„far Muhammad ibn Ya„qûb ibn Ishâq al-Kulainiy, al-Kâfiy, (Qum:
Dâr al-Kutub al-Islâmiyah, 1375 H), juz I, h. 459-548.Ahmad „Abd al-Rahmân al-
Bannâ, al-Fath al-Rabbâniy Tartîb Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal al-Syaibâniy, (Kairo:
Dâr al-Syahâb, t.th.), juz XII, h. 2-285; juz XX, h. 175-302.
SAIFUDDIN Tadwin Hadis 49
Musnad Abû Ya„lâ al-Mûshiliy, al-Fawâ’id, dan Mu‘jam Ibn Jumai„.46 Begitu
pula, kitab Târîkh al-Islâm wa Thabaqât al-Masyâhîr wa al-A‘lâm karya al-
Dzahabiy (w. 748 H) banyak merujuk kepada kitab-kitab kompilasi hadis
ternama, seperti Shahîh al-Bukhâriy, Shahîh Muslim, Sunan Abî Dâwud,
Jâmi‘ al-Tirmidziy, Sunan al-Nasâ„iy, Sunan Ibn Mâjah, Musnad Ahmad ibn
Hanbal, Mustadrak al-Hâkim, atau lainnya.47 Karya al-Dzahabiy lainnya,
al-Sîrat al-Nabawiyyah, juga banyak mengutip dari kitab-kitab hadis, seperti
Shahîh al-Bukhâriy, Shahîh Muslim, Sunan Abî Dâwud, Jâmi‘ al-Tirmidziy,
Sunan al-Nasâ„iy, Sunan al-Dârimiy, Musnad Ibn Hanbal, Musnad Abû
Dâwud al-Thayâlîsiy, dan lainnya.48
Lebih lanjut, metode yang diterapkan oleh para sarjana hadis
(muhadditsûn) dalam proses pengumpulan hadis juga mempunyai
kontribusi metodologis yang tidak kecil terhadap pengumpulan sumber
dalam historiografi Islam. Menurut Ahmad Amîn, metode pengumpulan
hadis mempunyai pengaruh yang besar dalam arus perkembangan
historiografi Islam. Studi sejarah Islam sendiri pada permulaannya masih
mengambil pola hadis yang kemudian berkembang menjadi disiplin yang
berdiri sendiri.49 Adanya pengaruh ini tentu tidak mengherankan karena
pada kenyataannya hampir seluruh penulis sejarah Islam awal terdiri atas
para sarjana hadis. Bahkan, para sarjana hadis generasi-generasi awal
dipandang sebagai sejarawan pertama dalam Islam, karena mereka itulah
yang paling besar perhatiannya dalam mengkaji berbagai peperangan dan
berita tentang Rasûlullâh saw.50
Kontribusi metode pengumpulan hadis terhadap perkembangan
historiografi Islam lebih nyata lagi dapat ditemukan dalam metode “al-
rihlat fî thalab al-hadîts” (perjalanan ilmiah mencari hadis). Ahmad Amîn
mengakui adanya pengaruh metode rihlah ini terhadap perkembangan
46Abû al-Fath Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Sayyid al-Nâs
al-Ya„muriy, ‘Uyûn al-Atsar fî Funûn al-Maghâziy wa al-Syamâ’il wa al-Siyar, (Madinah:
Maktabat Dâr al-Turats, 1413 H/1992 M), juz I, h. 15.
47Syams al-Dîn Muhammad ibn Ahmad ibn „Utsmân al-Dzahabiy, Târîkh al-Islâm
wa Thabaqât al-Masyâhîr wa al-A’lâm, (Kairo: Dâr al-Kitâb al-Mishriy, 1411 H/1991 M),
jilid I, h. 1-328; jilid II, h. 415-525.
48Syams al-Dîn Muhammad ibn Ahmad ibn „Utsmân al-Dzahabiy, al-Sîrat al-
M), h. 215.
50„Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, terj. Ahmad Rofi‟ Usmani,
menyeleksi hadis yang benar dari yang salah telah muncul ilmu kritik
hadis dan ilmu itulah yang dijadikan sebagai metode kritik dalam proses
penulisan sejarah Islam paling awal.54 Adanya pengaruh ini juga tidak
mengejutkan karena para penulis sejarah Islam paling awal hampir
keseluruhannya adalah para ahli hadis. Munculnya studi sîrah dan maghâziy
sendiri bermula di Madinah, sebagai pusat hadis. Bagi sebagian sarjana
muslim, materi sîrah atau maghâziy menempati posisi yang tak kalah
pentingnya dengan materi hadis. Hanya saja, dalam prosedur kritiknya
mereka menerapkan standar kritik yang lebih longgar ketika menghadapi
hadis-hadis historis dibanding dengan hadis-hadis hukum.
Sementara itu, kontribusi metode penyusunan kitab hadis dalam
perkembangan historiografi Islam juga tidak bisa diabaikan. Menurut
Azra, penekanan kuat para ahli hadis atas metode kronologis sangat
mempengaruhi metode historiografi awal Islam. Hal itu tercermin dalam
penulisan sejarah berdasarkan serangkaian thabaqât, urutan peristiwa,
kesinambungan para khalifah dan dinasti-dinasti. Metode ini berpuncak
pada sejarah annalistic (berdasarkan urutan tahun) seperti yang dijumpai
dalam kitab Târîkh al-Thabariy.55
Penulisan karya-karya kompilasi hadis sendiri pada dasarnya
tidaklah mengikuti urutan waktu (kronologis). Sehingga metode
penulisan karya-karya kompilasi hadis itu tidak banyak memberikan
pengaruh terhadap penulisan sejarah Islam secara kronologis (hauliyyât).
Tonggak bagi munculnya metode kronologis di kalangan ahli hadis justru
dijumpai dalam karya-karya biografis (asma’ al-rijâl), utamanya yang
disusun berdasarkan thabaqât. Penyusunan karya-karya ini telah dimulai
sejak abad II H dan terus meningkat pada abad-abad berikutnya. Bahkan
pada abad III H, bukan hanya para spesialis di bidang ini, tetapi juga
hampir seluruh ahli hadis, menyusun beberapa biografi para periwayat
hadis. Para penyusun al-Kutub al-Sittah juga memiliki satu atau lebih karya
penting tentang biografi para periwayat hadis. Sepanjang abad IV H dan
seterusnya, penyusunan biografi periwayat hadis telah menjadi
kecenderungan umum di wilayah-wilayah kekuasaan Islam yang lebih
luas. Arabia, Syria, Mesopotamia, Persia, Mesir, Afrika, Spanyol, dan
India, semua melahirkan penulis-penulis biografi para periwayat hadis.56
DAFTAR PUSTAKA