0% found this document useful (0 votes)
45 views10 pages

Bentuk Pemerintahan Islam Perspektif Nahdlatul Ulama' Dalam Konteks Keindonesiaan Mohammad Yazid Mubarok

This document discusses the perspective of Nahdlatul Ulama (NU), the largest Islamic organization in Indonesia, on the form of Islamic government that prevails in the country. It notes that NU does not reject the Khilafah (caliphate) system, as evidenced by NU giving the title of Waliyul Al-Amr Daruri Bi Al-Syaukah to President Soekarno. NU's rejection of the Khilafah was due to circumstances that made it impossible to establish at the time, as well as the absence of definitive provisions in Islam requiring a specific form of government. The document aims to analyze NU's views on whether the state of Indonesia can be considered an Islamic

Uploaded by

rizqi
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
45 views10 pages

Bentuk Pemerintahan Islam Perspektif Nahdlatul Ulama' Dalam Konteks Keindonesiaan Mohammad Yazid Mubarok

This document discusses the perspective of Nahdlatul Ulama (NU), the largest Islamic organization in Indonesia, on the form of Islamic government that prevails in the country. It notes that NU does not reject the Khilafah (caliphate) system, as evidenced by NU giving the title of Waliyul Al-Amr Daruri Bi Al-Syaukah to President Soekarno. NU's rejection of the Khilafah was due to circumstances that made it impossible to establish at the time, as well as the absence of definitive provisions in Islam requiring a specific form of government. The document aims to analyze NU's views on whether the state of Indonesia can be considered an Islamic

Uploaded by

rizqi
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 10

Bentuk Pemerintahan Islam

Mohammad Yazid Mubarok – STAI at-


Taqwa Bondwoso

BENTUK PEMERINTAHAN ISLAM


PERSPEKTIF NAHDLATUL ULAMA’ DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN

Mohammad Yazid Mubarok


STAI At-Taqwa Bondowoso
[email protected]

Abstract:The form of the Islamic government became a heated


debate again after the chairman of the Indonesian Solidarity Party,
Grace Natalie, said that she would not support the adoption of sharia
regulations, which were then reported to the police. Therefore, by
seeing this kind of phenomenon, it is necessary for the writer to see
the perspective of Nahdlatul Ulama, about his views on the form of
Islamic government that prevails in Indonesia today. In reality,
Nahdlatul Ulama 'actually does not reject the Khilafah system, because
that Nahdlatul Ulama' gave the title Waliyul Al-Amr Daruri Bi Al-
Syaukah to President Soekarno. NU's rejection of the Khilfah system
was caused by circumstances that made it impossible to establish a
Khilafah, where each state is currently under the auspices of the
nation-state (nation state), coupled with the absence of definite
provisions in Islam, which require a form of state and system a certain
government, for its adherents. Therefore, the State of Indonesia can
be called Darul Islam or an Islamic state, because it was once fully
controlled by Muslims, although it was later captured by the infidel
invaders (the Netherlands), but the Islamic state remained forever.

Keywords: Khilafah, Nahdlatul Ulama’, Indonesian

PENDAHULUAN
Bentuk pemerintahan islam kembali menjadi perdebatan sengit setelah ketua
umum Partai Solidaritas Indonesia, Grace Natalie, menyampaikan bahwa dia tidak akan
mendukung penerapan perda syariah, yang kemudian dilaporkan ke pihak kepolisian.
Pernyataan Grace tersebut, memancing kembali diskursus perihal kelahiran dan
perkembangan perda syariah di Indonesia. Salah satu akademisi yang sangat rajin dalam
meneliti tema perda syariah ini adalah Micahel Buehler1, dalam bukunya yang berjudul
The Politics of Shari’a Law. Buehler menjelaskan bahwa perda syariah telah menjelma
dalam banyak aturan di kehidupan sehari-hari kita, khususnya di Indonesia. Seperti
larangan mengkonsumsi minuman beralkohol, pelacuran, perjudian, hingga ketentuan
berpakaian bagi kaum hawa. Sejak tumbangnya masa orde baru, penerapan perda
syariah telah meluas keberbagai penjuru daerah di Indonesia, tercatat dari tahun 1988
sampai 2013, sekurang-kurangnya sudah ada 422 perda syariah di masing-masing 34

1
dosen senior di Departemen Politik dan Studi Internasional di University of London, Inggris, dan guru
besar ilmu politik di Northern Illinois University, Amerika Serikat.

23 - 24 NOPEMBER 2019
Halaman 828 UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Bentuk Pemerintahan Islam
Mohammad Yazid Mubarok – STAI at-Taqwa Bondwoso

provinsi. Enam diantaranya paling banyak ada di jawa barat sebanyak 85 perda syariah,
sumatera barat 55 perda syariah, sulawesi selatan 26 perda syariah, kalimantan selatan
38 perda sariah, Jawa timur 32 perda syariah, dan Aceh 25 perda syariah.2
Kelahiran perda syariah tersebut, tidak seperti penilaian persepsi orang
kebanyakan, yang menyatakan bahwa inisiator sekaligus pejuangnya adalah para kader
partai islam yang bercokol di tingkat legislatif maupun eksekutif. Indonesia menurut
Buehler tidak sama dengan Pakistan, Mesir, Afganistan, Turki, Nigeria, dan Yaman.
Dinegara ini, mereka sukses menerapkan aturan-aturan berdasarkan hukum islam,
namun dengan cara berjibaku dengan lembaga politik formal. Akan tetapai kalau di
Indoneisa, menurut Buehler justru kondisinya sama dengan Bangladesh, Yordania,
Malaysia, dan Sudan. Di negara ini, para elite partai-partai politik sekuler juga ikut
bermain dalam penerapan hukum berbasis syariah islam.3 Partai-partai Islam di
Indonesia, sejak tahun 1999 sebenarnya telah mengalami beberapa penurunan
perolehan suara. Meskipun demikian, 80 persen wilayah di mana tempat partai islam itu
bercokol, yang mendapatkan suara di atas rata-rata, justru tidak menerapkan perda
syariah. Menurut catatan Buehler, partai-partai islam tidak memprioritaskan platform
syariah, dikarenakan demi bertahan hidup untuk melawan partai-partai yang berciri
sekuler-nasionalis. Dan pada akhirnya, mereka pun ikut-ikutan mengadopsi beberapa
agenda yang sifatnya moderat.
Temuan menarik lainnya, yang pernah Buehler tuangkan dalam tulisannya berjudul
“Partainya Sekuler, Aturannya Syariah”, bahwa fakta perda syariah seutuhnya bukanlah
hasil dari perjuangan kader partai islamis, melainkah hasil dari para politikus yang
berafilisiasi dengan partai sekuler, merekalah yang merancang, mengesahkan dan
menerapakan perda syariah di daerah-daerah. Menurut catatan Buehler, 7 dari 33
provinsi dan 51 dari sekitar 510 kabupaten mengadopsi sekurang-kurangnya 1 perda
syariah, dari tahun 1999 sampai dengan 2009. Misalnya di DPRD, di semua provinsi,
yang paling sering mengadopsi perda syariah adalah Golkar dan PDIP, kecuali di provinsi
Aceh. Sedangkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dinilai sebagai partai penegak
syariah, justru tidak punya suara mayoritas di satu DPRD, yang menerapkann perda
syariah. Beberapa akademisi mencoba membuat penjelasan alternatif, terhadap kondisi
yang tergolong anomali ini, dan kenapa bisa terjadi seperti ini. Ada yang menganalisis,
bahwa pembuatan perda syariah, bukan dijalankan atas nama partai, melainkan
perorangan. Disisi lain, ada juga yang menganalisis, bahwa hal ini terjadi karena adanya
islamisasi dalam politik indonesia, pada tahun 1950. Namun analisis ini tergolong lemah,
menurut Buehler anomali ini terjadi, karena adanya manuver dari kolompok islamis di
luar sistem partai politik, yang menekan penguasa melalui demonstrasi atau lobi-lobi
langsung untuk menerapkan aturan berdasarkan hukum islam.4

2
Michael Buehler, Democratization and the diffusion of shari’a law: Comparative insights from Indonesia
yang dipublikasikan dalam Jurnal South East Asia Research, Vol. 24, No. 2, 1 Juni 2016 hal. 267-268
3
Michael Buehler, Subnational Islamization through Secular Parties: Comparing “Shari’a” Politics in Two
Indonesian Provinces, yang dipublikasikan dalam Jurnal Comparative Politics, Vol 46, No. 1 Oktober
2013, hal. 63
4
Michael Buehler, Partainya Sekuler, Aturannya Syariah dalam https://michaelbuehler.asia/wp-
content/uploads/2012/06/BuehlerTempoBhs1.pdf /diakses 21-Oktober-2019, hal.1

23 - 24 NOPEMBER 2019
UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel Halaman 829
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Bentuk Pemerintahan Islam
Mohammad Yazid Mubarok – STAI at-
Taqwa Bondwoso

Maka dari itu, dengan melihat fenomena semacam ini, dan dengan memperhatikan
maraknya penerapan perda syariah yang diterapkan di masing-masing daerah di
indonesia, muncul sebuah pertanyaan, pemerintahan yang berlaku di Indonesia
sebetulnya berbentuk pemerintahan islam ataukah bukan. Karena itu, perlu kiranya
penulis melihat sudut pandang Nahdlatul Ulama, selaku ormas terbesar di Indonesia,
dan juga sekaligus satu-satunya ormas yang mempunyai ikut andil besar dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, tentang pandangannya mengenai bentuk
pemerintahan islam yang berlaku di Indonesia saat ini.

SEJARAH SINGKAT NAHDLATUL ULAMA’


Nahdlatul ulama’ didirikan pada tahun 1926, kelahiran NU sebetulnya
merupakakn respon terhadap munculnya gagasan pembaharuan Islam yang dipengaruhi
oleh ajaran Muhammad bin Abdul Wahab (wahabi) di Timur Tengah, serta ide-ide
pembaharuan Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh. Di Indonesia sendiri,
khususnya di pulau Jawa, gagasan pembaharuan Islam dipelopori oleh KH. Ahmad
Dahlan, yang kemudian pada tahun 1912 membentuk organisasi bernama
Muhammadiyah, yang banyak melakukan kritik terhadap praktik-praktik keagamaan
seperti menolak tarikat, tahlilan, dan talqin, yang telah berkembang sebagai tradisi
kegamaan muslim tradisional. Puncaknya pertentangan antara muslim “modern” dan
muslim “tradisional”, terjadi ketika pemerintah saudi arabia mengadakan kongres
kekhalifahan di Mekah, dalam usahanya untuk membentuk kekhalifahan yang baru. Hal
ini kemudian mendapatkan respon dari ulama’ Indonesia, sehingga diadakanlah kongres
di Bandung, yang hasilnya adalah menunjuk Tjokroaminoto dari SI (Sarekat Islam) dan
KH. Mansyur dari Muhammadiyah (keduanya kelompok modernis), untuk mengikuti
kongres tentang kekhalifahan di Mekkah. Hasil dari keputusan tersebut, ternyata
menimbulkan kekecewaan dari kelompok muslim tradisional, karena tidak terwakili
mengikuti kongres tersebut.5
Karena itu, untuk memperjuangkan aspirasi ulama’-ulama’ tradisional, maka pada
tanggal 31 Januari tahun 1926, KH. Wahab Hasbullah mengundang ulama’-ulama’
tradisional seperti KH. Hasyim Asyari, KH. Asnawi dan beberapa tokoh lainnya, untuk
membicarakan langkah-langkah selanjutnya, agar dapat mengirimkan utusan tersendiri
untuk mengikuti kongres kekhalifahan yang dilaksanakan di Arab Saudi. Hasil dari
pertemuan tersebut, kemudian menghasilkan beberapa keputusan penting sebagai
berikut :
1. Membentuk komite hijaz, yang akan mengirimkan utusan sendiri untuk menemui
Raja Ibnu Su’ud, agar hukum-hukum menurut Madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali) mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaannya.
2. Membentuk organisasi yang diberi nama “Nahdlatul Ulama’” (kebangkitan ulama’)
yang bertujuan untuk menegakkan berlakunya syariat islam yang berhaluan salah
satu dari empat madzhab.6

5
H. Hartono Margono, KH. Hasyim Asy’ari dan Nahdlatul Ulama: Perkembangan Awal dan
Kontemporer, dalam jurnal Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011, hal. 339-340
6
Ismail, Pijar-pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur, (Jakarta: Departemen Agama Proyek
Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, 1992). hal. 77

23 - 24 NOPEMBER 2019
Halaman 830 UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Bentuk Pemerintahan Islam
Mohammad Yazid Mubarok – STAI at-Taqwa Bondwoso

Adapun KH. Hasyim Asy’ari ditunjuk sebagai Rais Akbar, sementara jabatan ketua
Tanfiziyah dipegang oleh H. Hasan Gipo. Sejak saat itu warna dan corak NU dipengaruhi
oleh kepemimpinan KH. Hasyim Asyari. Hal itu terlihat dari muqaddimah NU, Qonun
Asasy, karangan beliau, yang dijadikan sebagai satu kesatuan yang utuh dari Anggaran
Dasar NU. Dalam perjalanannya, NU kemudian kerap kali terjebak pada situasi
temporer, terutama terkait dengan agenda politik praktis. NU tampaknya tidak ingin
ketinggalan berpartisipasi dalam kancah politik praktis, yang pada dasarnya bersifat
pragmatis. Apalagi, dikalangan tokoh NU telah muncul kesadaran tentang basis massa
politik yang secara kuantitatif memiliki nilai tawar yang tinggi. 7 Maka pada tahun 1945
sampai dengan 1952, NU tergabung dalam partai Masyumi. Lalu pada muktamar tahun
1952 di Palembang, NU mendirikan parpol sendiri bernama Partai NU, dan ikut pemilu
pada tahun 1955. Dan pada tahun 1971, yakni pada masa pemerintahan orde baru,
Partai NU dengan paksa digabung dengan PPP. Sehingga pada muktamar tahun 1984 di
Situbondo, NU menyatakan diri lepas dari politik praktis, dibawah kepemimpinan KH.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang menyatakan kembali ke khittah 1926, tanpa
politik praktis.8
Akan tetapi, para tokoh NU sudah terlanjur menikmati pragmatisnya dunia politik,
yang kemudian menyulitkan mereka untuk kembali ke khittah 1926. Setidaknya ada tiga
alasan, mengapa NU sulit terlepas dari dunia politik yaitu9 :
1. Kepemimpinan NU selama 32 tahun (1952-1984), dibawah kepemimpinan KH.
Idham Chalid, budaya NU saat itu sudah sangat kental dengan politik. Sehingga,
walaupun NU sudah menyatakan diri kembali ke khittah 1926, realitasnya tokoh-
tokoh internal NU tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak melampiaskan libido
politiknya tersebut.
2. Banyaknya stok massa NU yang tersedia untuk bisa dikendalikan dan dimanfaatkan,
oleh para elitenya. Tidak heran, jika dari waktu ke waktu, dan terutama di era
reformasi basis massa NU menjadi rebutan dan ladang emas yang bisa dieksploitasi
dan didulang suaranya oleh para politisi.
3. Munculnya generasi NU yang terpelajar dan sadar politik. Kecenderungan ini, baru
terasa dari tahun 1990 sampai detik ini. Mereka ini, sangat menyadari akan potensi
dirinya, serta dapat melihat kesempatan dan daya dukung massa yang
memungkinkan mereka untuk tampil dalam kancah perpolitikan.
Disisi lain, banyak kalangan yang kemudian prihatin, dengan semakin banyaknya
kyai-kyai NU yang terseret dalam pusaran arus politik praktis, seperti yang terjadi di
dewasa ini. Bahkan ada yang menyarankan agar kyai kembali ke pesantren saja, bukan
karena politik itu tidak penting, akan tetapi pengembangan pesantren justru akan lebih
menentukan wajah masyarakat dan bangsa di masa yang akan datang.10 Apalagi diantara
mereka, pada umumnya, tidak mempunyai karakter dalam berpolitik, sementara

7
Choirul Anam, Pertumbuhan dan perkembangan Nahdlatul Ulama, (Solo: Jatayu, 1985), hal. 34.
8
H. Hartono Margono, KH. Hasyim Asy’ari dan Nahdlatul Ulama: Perkembangan Awal dan
Kontemporer, dalam jurnal Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011, hal. 346
9
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta, LkiS,
1999), hal. 27
10
H. Hartono Margono, KH. Hasyim Asy’ari dan Nahdlatul Ulama: Perkembangan Awal dan
Kontemporer, dalam jurnal Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011, hal. 341

23 - 24 NOPEMBER 2019
UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel Halaman 831
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Bentuk Pemerintahan Islam
Mohammad Yazid Mubarok – STAI at-
Taqwa Bondwoso

perjuangan bangsa dan rakyat baru bisa terwujud apabila politisinya berkarakter, dan
berorientasi kerakyatan. Apabila NU tidak melakukan instrospeksi diri, bukan mustahhil
ormas ini ke depan hanya akan menjadi simbolis, berupa papan nama yang kehilangan
massa dan hakikatnya.11

PEMBERIAN GELAR WALIYUL AL-AMR DARURI BI AL-SYAUKAH OLEH NU


KEPADA PRESIDEN PERTAMA REPUBLIK INDONESIA
Periode revolusi kemerdekaan merupakan masa-masa yang penuh patriotik bagi
segenap gerakan kebangsaan, tidak terkecuali bagi Nahdlatul Ulama. Akibat kekecewaan
NU terhadap kubu modernis dalam Masyumi, antara lain hilangnya kursi menteri agama
dalam kabinet Wilopo, maka dalam rapatnya di Surabaya 3 April 1952, NU akhirnya
memutuskan untuk keluar dari Masyumi yang dikukuhkan dalam Muktamar ke-19 di
Palembang. Sejak keputusan ini, NU memasuki aktivitas politik secara lebih formal
dengan membentuk partai politik sendiri.12 Semenjak itu, NU mendapat jatah kursi
Menteri Agama dalam kabinet Ali Sastromijoyo yang dijabat oleh KH. Masykur, dan
dimasa inilah gelar waliyul al-amr daruri bi al-syaukah diberikan kepada Soekarno selaku
kepala Negara.13
Presiden Soekarno adalah presiden pertama Indonesia yang diangkat sebagai
presiden pada tahun 1945, yang notabene merupakan salah satu pejuang yang
mempunyai peran besar dalam memerdekaan Indonesia dari tangan penjajah. Disisi lain,
banyak kalangan yang mempermasalahkan tentang status pemerintahan Soekarno dari
sudut pandang fiqh, apakah layak disebut sebagai kepala pemerintahan negara Islam
ataukah tidak. Mengingat begitu banyaknya kelompok Islam yang kecewa, yang tidak
bisa diungkapkan melalui kata-kata, akan tetapi mereka meluapkannya dalam bentuk
aksi-aksi pemberontahakan, seperti pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
di bandung 23 januari 1950, pemberontakan Andi Aziz di Makassar 5 April 1950,
Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon 25 April 1950, dan yang paling besar
adalah pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok DI/TII dibawah pimpinan
Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo di Jawa Barat, 7 Agustus 1949.14
Menanggapi hal di atas, NU tidak serta merta langsung merespon persoalan
tersebut, terkait dengan pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, apakah
memang berbentuk pemerintahan Islam ataukah bukan. NU membutuhkan waktu
setidaknya tiga tahun untuk menjawab hal itu, yaitu melalui konfrensi Alim Ulama’ di
Tugu Jawa Barat pada tanggal 12-13 Mei 1952, lalu Konfrensi Alim Ulama’ yang diinisiasi
oleh Menteri Agama di Bogor pada 4-5 Mei 1953 dan yang terakhir adalah Konfrensi
Alim Ulama’ di Cipanas Bogor pada 2-7 Maret 1954. NU tidak berani secara langsung
menyebut Soekarno sebagai khalifah, imam, ataupun waliyul amri. Karena itu, pada
kongres yang ketiga di Cipanas, para ulama’ NU menciptakan gelar baru yang belum

11
Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara, (Yogyakarta: LkiS, 1999), hal. 21.
12
Syamsudin Haris, NU dan Politik, Perjalanan Mencari Identitas, dalam Jurnal Ilmu Politik, nomor 7 ,
(Jakarta: Gramedia , 1990), 34.
13
Syamsudin Haris, NU dan Politik, Perjalanan Mencari Identitas, dalam Jurnal Ilmu Politik, nomor 7,
(Jakarta : Gramedia , 1990), 35.
14
Ahmad Muzammil, waliyul al-amr daruri bi al-syaukah, https://www.caknun.com/2016/waliyy-al-amr-al-
dlaruri-bi-al-syaukah/ /diakses 21-oktober-2019

23 - 24 NOPEMBER 2019
Halaman 832 UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Bentuk Pemerintahan Islam
Mohammad Yazid Mubarok – STAI at-Taqwa Bondwoso

pernah ditemukan dalam refrensi kitab fiqh klasik, yaitu waliyul al-amr daruri bi al-
syaukah (pemegang otoritas sementara sebab kekuasaan yang dimilikinya).15 Dikatakan
sementara (al-dharuri) karena pengangkatan presiden tidak melalui proses pemilihan
umum. Keputusan ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari keputusan Muktamar NU
sebelum proklamasi kemerdekaan.16 Yaitu, pada muktamar NU di Banjarmasin 9 Juni
1936 yang membahas tentang apakah negara kita Indonesia (Hindia Belanda) bisa
disebut sebagai Darul Islam atau Negara Islam?. Jawaban keputusan muktamar ketika itu
bahwa Indonesia disebut Darul Islam karena pernah dikuasai sepenuhnya oleh umat
islam, meskipun kemudian direbut oleh kaum penjajah kafir (Belanda), tetapi negara
islam tetap selamanya .17
Pengangkatan Soekarno sebagai waliyul al-amr daruri bi al-syaukah sangat
dibutuhkan mengingat kondisi pemerintahan saat itu, sangat genting dan cukup
mendesak, tidak hanya bagi NU akan tetapi juga bagi rakyat Indonesia. Pengukuhan
Soekarno sebagai waliyul al-amr daruri bi al-syaukah dimaksudkan agar Soekarno
memiliki keabsahan dimata hukum fiqh, sehingga presiden dapat berkuasa penuh dan
dapat menyelenggarakan roda pemerintahan secara efektif. Kerugian yang dialami
bangsa Indonesia akan sangat besar, apabila terjadi perang saudara. Apalagi umur
indonesia saat itu masih tergolong muda, oleh karena itu NU ingin memberikan
legitimasi hukum dalam islam untuk Presiden Soekarno.18 Dengan demikian, implikasi
dari adanya pengangkatan Soekarno sebagai waliyul al-amr daruri bi al-syaukah adalah
hilangnya atau paling tidak dapat meminimalisir gejolak yang ada dalam pemerintahan
untuk menghadapi pemberontakan yang dilakukan oleh DI/TII, dimana para ulama dalam
Konfrensi Alim Ulama memberikan keputusan, bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh
Soekarno adalah pemerintahan yang sah dan wajib ditaati oleh seluruh umat islam.19

PANDANGAN NU TERHADAP BENTUK PEMERINTAHAN ISLAM YANG


ADA DI INDONESIA
Dalam kaitannya dengan perumusan Pancasila sebagai dasar negara, NU
memandang bahwa pancasila adalah konsep bersama yang disepakati oleh seluruh
lapisan bangsa sebagai pedoman dalam hidup bernegara. NU menegaskan pandangannya
yang jelas dan jernih, yang tercantum dalam “Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam”,
hasil keputusan Alim Munas Ulama NU tahun 1983 sebagai berikut :
a. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia adalah prinsip
fundamental namun bukan agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak
dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.

15
Ahmad Muzammil, waliyul al-amr daruri bi al-syaukah, https://www.caknun.com/2016/waliyy-al-amr-al-
dlaruri-bi-al-syaukah/ /diakses 21-oktober-2019
16
https://www.nu.or.id/post/read/78259/waliyul-amri-1954-penyerahan-kedaulatan-itsbat-ramadhan-
kepada-pemerintah /diakses 21-oktober-2019
17
Tim Lajnah Ta’llif Wan Nasyr (LTN) PBNU. Ahkamul Fuqaha, olusi Problematika Aktual Hukum Islam
Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010). (Surabaya: Khalista, 2011 ) Cet.
I. hal. 187
18
Desri Juliandri, Tinjuan Historis Pengangkatan Soekarno sebagai Waliyyul amri ad-dharuri bi al- syaukah
oleh NU, (Lampung, UNILA Press, 2012), hal. 12
19
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai, Konstruksi Sosial Berbasis Agama, (Yogyakarta: LkiS, 2007) Cet.
I. Hal. 267

23 - 24 NOPEMBER 2019
UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel Halaman 833
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Bentuk Pemerintahan Islam
Mohammad Yazid Mubarok – STAI at-
Taqwa Bondwoso

b. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara menurut pasal 29 ayat (1) UUD
1945 yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid menurut pengertian
keimanan dalam islam.
c. Bagi NU, Islam adalah aqidah dan syariah meliputi aspek hubungan manusia dengan
Allah dan hubungan antar manusia.
d. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat
Islam Indonesia untuk menjalankan kewajiban agamanya.
e. Sebagai konsekuensi dari sikap tersebut diatas, NU berkewajiban mengamankan
pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan
konsekuen oleh semua pihak.20
Bagi NU, kehidupan berbangsa dan bernegara seyogyanya merupakan langkah
menuju pengembangan tanggung jawab kekhilafahan yang lebih besar, yang menyangkut
“kehidupan bersama” seluruh manusia dalam rangka melaksanakan amanat Allah,
mengupayakan keadilan dan kesejahteraan manusia, lahir dan batin, di dunia dan akhirat.
Kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah dibangun atas dasar prinsip ketuhanan,
kedaulatan, keadilan, persamaan dan musyawarah. Dengan demikian, maka pemerintah
(umara) dan ulama sebagai pengemban amanat kekhilafahan serta rakyat merupakan
satu kesatuan yang secara bersama-sama bertanggung jawab dalam mewujudkan tata
kehidupan bersama atas dasar prinsip-prinsip tersebut. Umara dan ulama dalam konteks
ini, merupakan pengemban tugas khilafah dalam arti menjadi pengemban amanat Allah
dalam memelihara dan melaksanakan amanat-Nya dan dalam membimbing masyarakat
sebagai upaya memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup yang hakiki. Dalam
kedudukan seperti itu, pemerintah dan ulama merupakan ulil amri yang harus ditaati dan
diikuti oleh segenap warga masyarakat.21
Berdasarkan hal itu, maka NU dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama yang
diadakan di Jakarta pada tanggal 1-2 November 2104 memutuskan beberapa poin
penting sehubungan dengan khilafah, yaitu:
a. Islam sebagai agama yang komprehensif (din syamil kamil) tidak mungkin
melewatkan masalah negara dan pemerintahan dari agenda pembahasannya.
Kendati tidak dalam konsep utuh, namun dalam bentuk nilai-nilai dan prinsip-prinsip
dasar (mabadi` asasiyyah).
b. Mengangkat pemimpin (nashb al-imam) wajib hukumnya, karena kehidupan
manusia akan kacau tanpa adanya pemimpin.
c. Islam tidak menentukan apalagi mewajibkan suatu bentuk negara dan sistem
pemerintahan tertentu bagi para pemeluknya
d. Khilafah sebagai salah satu sistem pemerintahan adalah fakta sejarah yang pernah
dipraktikkan oleh al-Khulafa` al-Rasyidun. Al-Khilafah al-rasyidah adalah model yang
sangat sesuai dengan eranya; yakni ketika kehidupan manusia belum berada di
bawah naungan negara-negara bangsa (nation states). Masa itu, umat Islam sangat

20
Tim Lajnah Ta’llif Wan Nasyr (LTN) PBNU. Ahkamul Fuqaha, olusi Problematika Aktual Hukum Islam
Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010). (Surabaya: Khalista, 2011 ) Cet.
I. hal. 757
21
Tim Lajnah Ta’llif Wan Nasyr (LTN) PBNU. Ahkamul Fuqaha, olusi Problematika Aktual Hukum Islam
Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010). (Surabaya: Khalista, 2011 ) Cet.
I. hal. 753

23 - 24 NOPEMBER 2019
Halaman 834 UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Bentuk Pemerintahan Islam
Mohammad Yazid Mubarok – STAI at-Taqwa Bondwoso

dimungkinkan untuk hidup dalam satu sistem khilafah. Pada saat umat manusia
bernaung di bawah negara-negara bangsa (nation states) maka sistem khilafah bagi
umat Islam sedunia kehilangan relevansinya. Bahkan membangkitkan kembali ide
khilafah pada masa kita sekarang ini adalah sebuah utopia.
e. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah hasil perjanjian luhur
kebangsaan di antara anak bangsa pendiri negara ini.
f. Umat Islam tidak boleh terjebak dalam simbol-simbol dan formalitas nama yang
tampaknya islami, tetapi wajib berkomitmen pada substansi segala sesuatu.
Dengan demikian, maka menurut pandangan NU memperjuangkan tegaknya nilai-
nilai substantif ajaran Islam dalam sebuah negara, apa pun nama negara itu, Islam ataukah
bukan, jauh lebih penting daripada hanya memperjuangkan tegaknya simbol-simbol
negara Islam.22 NU menilai mendirikan khilfah dalam konteks kekinian yang terjadi saat
ini, dimana setiap negara berada dibawah naungan negara bangsa-bangsa (nation state),
tidak memungkinkan untuk menegakkan khilafah. Bahkan membangkitkan khilafah di era
ini, merupakan sebuah utopia. Karena itu, dalam konteks keindonesiaan, NU
mendorong pemerintah dan mewajibkan umat Islam untuk menangkal setiap jalan dan
upaya munculnya gerakan yang mengancam NKRI.23 Sebagaimana yang tercermin dalam
keikutsertaan NU ketika melawan dan menolak penjajahan, dengan menetapkan
“Resolusi Jihad”, yang kemudian melahirkan perlawanan rakyat secara frontal, dalam
pertempuran antara hidup dan mati, pada 10 November 1945.24

KESIMPULAN
Pemberian gelar waliyul al-amr daruri bi al-syaukah kepada Presiden Soekarno
merupakan bentuk dari respon NU terhadap banyaknya kalangan umat islam yang
mempermasalahkan tentang status pemerintahan Soekarno dari sudut pandang fiqh,
apakah layak disebut sebagai kepala pemerintahan negara Islam ataukah tidak. Implikasi
dari pengangkatan Soekarno sebagai waliyul al-amr daruri bi al-syaukah oleh NU
setidaknya dapat menghilangkan atau meminimalisir gejolak yang ada dalam
pemerintahan untuk menghadapi pemberontakan yang dilakukan oleh DI/TII, dimana
para ulama dalam Konfrensi Alim Ulama memberikan keputusan, bahwa pemerintahan
yang dipimpin oleh Soekarno adalah pemerintahan yang sah dan wajib ditaati oleh
seluruh umat islam. Dengan demikian, maka menurut pandangan NU memperjuangkan
tegaknya nilai-nilai substantif ajaran Islam dalam sebuah negara, apa pun nama negara
itu, Islam ataukah bukan, jauh lebih penting daripada hanya memperjuangkan tegaknya
simbol-simbol negara Islam
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa NU sebetulnya tidak
menolak sistem khilafah. Penolakan NU terhadap sistem khilfah, disebabkan oleh
keadaaan yang tidak memungkinkan untuk mendirikan khilafah, dimana setiap negara

22
NU Online, Khilafah dalam Pandangan NU, https://islam.nu.or.id/post/read/55557/khilafah-dalam-
pandangan-nu /20 -Juni-2019/diakses 21-oktober-2019
23
NU Online, Sikap Final NU Atas Sistem Khilfah, https://www.nu.or.id/post/read/55481/sikap-final-nu-
atas-sistem-khilafah /2 -November-2014/diakses 21-oktober-2019
24
Tim Lajnah Ta’llif Wan Nasyr (LTN) PBNU. Ahkamul Fuqaha, olusi Problematika Aktual Hukum Islam
Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010). (Surabaya: Khalista, 2011 ) Cet.
I. hal. 752

23 - 24 NOPEMBER 2019
UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel Halaman 835
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Bentuk Pemerintahan Islam
Mohammad Yazid Mubarok – STAI at-
Taqwa Bondwoso

saat ini berada dibawah naungan negara bangsa-bangsa (nation state), ditambah lagi
dengan tidak adanya ketentuan pasti dalam Islam, yang mewajibkan suatu bentuk negara
dan sistem pemerintahan tertentu, bagi para pemeluknya. Karena itu, Negara Indonesia
dapat disebut sebagai Darul Islam atau negara Islam, karena pernah dikuasai sepenuhnya
oleh umat Islam, meskipun kemudian direbut oleh kaum penjajah kafir (Belanda), tetapi
negara islam tetap selamanya.

DAFTAR PUSTAKA

Anam, Choirul. 1985. Pertumbuhan dan perkembangan Nahdlatul Ulama. Solo: Jatayu

Buehler, Michael. 2016. Democratization and the diffusion of shari’a law: Comparative
insights from Indonesia yang dipublikasikan dalam Jurnal South East Asia Research,
Vol. 24, No. 2, 1 Juni 2016

Buehler, Michael. 2013. Subnational Islamization through Secular Parties: Comparing


“Shari’a” Politics in Two Indonesian Provinces, yang dipublikasikan dalam Jurnal
Comparative Politics, Vol 46, No. 1 Oktober 2013

Buehler, Michael. Partainya Sekuler, Aturannya Syariah dalam artikel


https://michaelbuehler.asia/wp-content/uploads/2012/06/BuehlerTempoBhs1.pdf
/diakses 21-Oktober-2019

Bruinessen, Martin Van. 1999. NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru.
Yogyakarta : LkiS

Feillard, Andree. 1999. NU Vis a Vis Negara. Yogyakarta: LkiS

Haris, Syamsudin. 1990. NU dan Politik, Perjalanan Mencari Identitas, dalam Jurnal Ilmu
Politik, nomor 7. Jakarta : Gramedia

Ismail. 1992. Pijar-pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur. Jakarta: Departemen
Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama.

Juliandri, Desri. 2012. Tinjuan Historis Pengangkatan Soekarno sebagai Waliyyul amri
ad-dharuri bi al- syaukah oleh NU. Lampung : UNILA Press

Margono, H. Hartono. 2011. KH. Hasyim Asy’ari dan Nahdlatul Ulama: Perkembangan
Awal dan Kontemporer, dalam jurnal Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011.

Moesa, Ali Maschan. 2007. Nasionalisme Kiai, Konstruksi Sosial Berbasis Agama.
Yogyakarta: LkiS

23 - 24 NOPEMBER 2019
Halaman 836 UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya
Bentuk Pemerintahan Islam
Mohammad Yazid Mubarok – STAI at-Taqwa Bondwoso

Muzammil, Ahmad. waliyul al-amr daruri bi al-syaukah, dalam artikel


https://www.caknun.com/2016/waliyy-al-amr-al-dlaruri-bi-al-syaukah/ /diakses 21-
oktober-2019

NU Online, Khilafah dalam Pandangan NU, dalam artikel


https://islam.nu.or.id/post/read/55557/khilafah-dalam-pandangan-nu /20 -Juni-
2019/diakses 21-oktober-2019

NU Online, Waliyul Amri 1954: Penyerahan Kedaulatan Itsbat Ramadhan kepada


Pemerintah dalam artikel https://www.nu.or.id/post/read/78259/waliyul-amri-
1954-penyerahan-kedaulatan-itsbat-ramadhan-kepada-pemerintah /diakses 21-
oktober-2019

NU Online, Sikap Final NU Atas Sistem Khilfah, dalam artikel


https://www.nu.or.id/post/read/55481/sikap-final-nu-atas-sistem-khilafah /2 -
November-2014/diakses 21-oktober-2019

23 - 24 NOPEMBER 2019
UIN Sunan Ampel Surabaya Surabaya Suites Hotel Halaman 837
Jl. A. Yani 117 Surabaya Jl. Pemuda 33 – 37 Surabaya

You might also like