Politik Islam Indonesia Sebagai Sentrum Perdamaian Dunia (Kode G)
Politik Islam Indonesia Sebagai Sentrum Perdamaian Dunia (Kode G)
Politik Islam Indonesia Sebagai Sentrum Perdamaian Dunia (Kode G)
DUNIA
(Kode G)
Oleh :
ENDI PURWANTO
KOORDINATOR KOMISARIAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
CABANG MATARAM
2021
Abstract
This study was conducted to determine the political Islam of Indonesia position in
the world, it could become a center for world peace. Cause of the socio - political
situation of Islam has recently faced what is called a real and inevitable paradox,
accompanied by its status as the largest religion in Indonesia. In previous era,
Islam managed to come out as a winner with a very real labeling and Islamic
identity, other forces were unable to stem it, avoiding fear of defeat, let alone
groups. But in reality, none of them last. In the socio - political dynamics of
Indonesia, it turns out that Islamic politics is not necessarily easy to be a winner in
political contestation in the case area and legal dimensions of Indonesia. This
study is qualitative - descriptive based on field research, with historical
approaches and political sociology. In conclusion, the Islamic ummah in
Indonesia must be able to re-construct, re-solve and re-contextualize Indonesia's
socio - political transformation. The exclusive nature of Indonesian Islam will in
fact make it worse off because it is unable to withstand all changes. If the nature
of inclusion becomes the main identity of Indonesian Muslims as a whole,
political Islam in Indonesia will become the center of peace in the world. No
country is as complex as Indonesia, in which various ethnicities, races, cultures,
languages, religions and so on. But what other countries worry about Indonesia is
in fact disproved. Indonesia has been able to survive until now with various
differences, this is because of the Islamic figures in Indonesia. Although
sometimes or even often religious issues are played only to gain power.
Keywords: Islam, Politic, Indonesia and Peace
1
Asal (Korkom UIN Mataram).
Abstrak
Kajian ini dilakukan untuk mengetahui posisi politik Islam Indonesia di dunia
sehingga mampu menjadi sentrum perdamaian dunia. Hal itu dikarenakan sistuasi
sosial politik Islam akhir-akhir ini menghadapi apa yang disebut sebagai
paradoksial nyata dan tidak dapat dihindari disertai dengan statusnya sebagai
agama terbesar di Indonesia. Pada era-era sebelumnya, Islam berhasil keluar
sebagai pemenang dengan labeling dan identitas keislaman yang sangat nyata,
kekuatan lain tidak mampu membendungnya, terhindar dari rasa takut akan
kekalahan apalagi golongan. Namun kenyataannya, semua tidaklah bertahan.
Dalam dinamika sosial – politik Indonesia, ternyata politik Islam tidak serta merta
mudah untuk memenangkan kontestasi politik dalam dimensi ruang dan hukum di
Indonesia. Kajian ini bersifat kualitatif – deskriptif berdasarkan pada studi
lapangan (Field Research), dengan pendekatan sejarah dan sosiologi politik. Pada
kesimpulannya Umat Islam di Indonesia harus mampu melakukan re-konstruksi,
re-solusi dan re-kontekstualisasi terhadap transformasi sosial – politik Indonesia.
Sifat eksklusif Islam Indonesia justeru akan membuatnya semakin terpuruk karena
tidak mampu bertahan dengan segala perubahan. Apabila sifat inklusif yang
menjadi identitas utama umat Islam Indonesia secara keseluruhan, politik Islam di
Indonesia akan menjadi sentrum perdamaian di dunia. Tidak ada negara yang
sekompleks Indonesia, di dalamnya berbagai suku, ras, budaya, bahasa, agama
dan lain sebagainya. Tapi apa yang dikhawatirkan oleh negara lain tentang
Indonesia ternyata terbantahkan. Indonesia mampu bertahan sampai sekarang
dengan berbagai perbedaan yang ada, hal itu dikarenakan oleh tokoh – tokoh
Islam yang ada di Indonesia. Walaupun terkadang atau bahkan seringkali isu – isu
keagamaan dimainkan hanya untuk memperoleh kekuasaan.
Kata Kunci: Islam, Politik, Indonesia dan Perdamaian
A. Pendahuluan
Perjalanan panjang politik di Indonesia bisa dilacak menggunakan
berbagai cara dan dapat digunakan untuk mendeskripsikan transformasi Islam
dalam perpolitikan di Indonesia. Hal ini dapat ditandai menggunakan
pendekatan metode dialektika untuk membuka tabir sejarah sebagai sesuatu
yang sudah purna hingga pada akhirnya menjadi sebuah sintesa baru di dalam
ilmu pengetahuan. Islam menjadi agama terbesar di Indonesia,
perbincangannya selalu hangat di setiap sudut kota atau bahkan di tengah
ibukota negara dalam peranannya terhadap perpolitikan di Indonesia. 2
Berbagai pembicaraan dari yang non formal, semi formal dan formal banyak
2
Deliar Noer. Islam dan Politik Mayoritas dalam Minoritas. Dalam Jurnal Prisma No. 05
ftn. XVII, 1988. hlm. 3.
membahas Islam dan perannya di dalam perpolitikan Indonesia. Hal itulah
kemudian menjadi indikasi bahwa politik Islam tidak boleh terpisahkan atau
dipisahkan dengan kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Akhir-akhir ini
sering didengar Undang – Undang No 16 Tahun 2017 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan. UU itu seringkali dinilai dijadikan sebagai senjata
pemerintah dalam menyentil, membius, menggebuk, atau bahkan
membubarkan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang dikhawatirkan
mengancam kekuasaan dengan bungkus kedaulatan negara, makar dan lain
sebagainya. Itu diniatkan untuk ormas yang bertentangan dengan Ideologi
Pancasila dan mengancam kedaulatan negara atau kekuasaan.
Pemerintah sebagai penajaga keutuhan pilar – pilar kesatuan dan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan ideologi negara memang
harus memiliki senjata ampuh seperti hal tersebut di atas. Pemerintah tidak
boleh kalah dan menyerah, dari kemungkinan adanya sebagian rakyat bangsa
ini yang “nakal” yang menyebarkan bibit - bibit perpecahan negara, karena
melakukan blunder terhadap ideologi negara.
Diterbitkannya UU No 16 tahun 2017 karena sepertinya pemerintah
melihat adanya indikasi dan kecenderungan itu. Indikasi dan kecenderungan
itu seperti misalnya tampak terlihat pada HTI (Hisbut Tahrir Indonesia) dan
selanjutnya FPI (Front Pembela Islam). Hizbut Tahrir Indonesia yang sering
disingkat HTI adalah salah satu kelompok gerakan Islam sebagaimana Salafy,
Ikhwanul Muslimin, Jamaah Tabligh, dan beberapa kelompok Islam lainnya,
yang pada dasarnya merupakan implementasi gagasan pembaharuan Islam.3
Gerakan semacam ini pada tahapan tertentu mengambil bentuk organisasinya
sendiri hingga terbentuk kelompok kelompok yang memisahkan diri dengan
didasari oleh kelompok yang memiliki visi dan misi serta ciri-ciri yang sama.
Hal seperti itu juga dinilai terjadi kepada Front Pembela Islam, hingga
3
Noorhaidi Hasan, et al. Litelatur Keislaman Generasi Millenial. UIN Sunan Kalijaga
Press, Yogyakarta. 2018. hlm. 4 – 9.
akhirnya pemerintah mengambil tindakan dan langkah tegas dengan cara
membubarkannya sebagai ormas yang terdaftar di Indonesia.
HTI memiliki nama asli Hizb at Tahrir al Islami (Partai Pembebasan Islam)
yang didirikan di Al Quds pada tahun 1952 oleh Taqiyudin an Nabhani
(Hafidzul Quran, Qadhi / hakim Palestina lulusan Al Azhar). HTI bermaksud
membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat parah,
membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang- undangan, dan hukum-
hukum kufur, serta membebaskan mereka dari cengkraman dominasi dan
pengaruh negara-negara kafir. Hizbut Tahrir bermaksud juga membangun
kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga hukum yang
diturunkan Allah SWT dapat diberlakukan kembali.4
Tujuan utama HTI ialah untuk membangun Daulah Khilafah Islamiyahadi
di muka bumi dengan sistem kekhalifahan (khilafah) yang tunggal. FPI juga
memiliki tujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah secara terang-
terangan dengan ribuan jamaah fanatiknya. Kedua ormas ini sepertinya
dikhawatirkan pemerintah dapat mengganggu keutuhan NKRI serta mereduksi
nilai – nilai pancasila sebagai ideologi bangsa. Padahal satu hal yang harus
difahami, siapapun umat dan khususnya pemikir Islam/ intelektual Islam dari
zaman dahulu, hingga di zaman modern sekarang ini bahwa dengan dibuat
serta diundangkannya Piagam Madinah (Madinah Constitution) oleh
Rasulullah Muhammad SAW pada tahun 622 M sebagai konstitusi masyarakat
atau Negara (Madinah) yang dibangunnya, sesungguhnya Rasulullah sendiri
tidak bermaksud apalagi menganjurkan untuk mendirikan Negara Agama
(Daulah Khilafah Islamiyah). Hal ini lebih sering disebut sebagai negara
dengan sistem Teokrasi.5
Teokrasi dalam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna
memerintah negara yang didasarkan kepercayaan bahwa Tuhan langsung
memerintah negara, hukun negara yang berlaku adalah hukum Tuhan,
4
Ibid., hlm. 6.
5
Ibid., hlm. 17.
pemerintahan yang dipegang oleh ulama atau organisasi keagamaan.6 Tetapi
Rasulullah sebaliknya justru membangun negara yang bersifat demokratis
yang menganut sistem nomokrasi Islam.7 Atau suatu masyarakat (negara) yang
dijiwai oleh prinsif dan dasar-dasar nilai serta hukum Islam.
Dalam bahasa Indonesia, sistem nomokrasi belum terdaftar sebagai kata
serapan. Sistem nomokrasi Islam, terdapat dalam buku “Teori Hukum
Konstitusi” karya King Faisal Sulaiman8 yang menjelaskan nomokrasi Islam
atau suatu masyarakat (negara) yang dijiwai oleh prinsip dan dasar-dasar nilai
serta hukum Islam bahwa “Hukum Islam (nomokrasi Islam) merupakan
perintah-perintah suci dari Allah SWT yang mengatur seluruh aspek
kehidupan setiap muslim9 dan meliputi materi-materi hukum secara murni
serta materi-materi spiritual keagamaan dengan tetap mengacu kepada Al-
Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Realitas sosial keagamaan yang terjadi akhir – akhir ini menyebabkan
negara tidak kondusif disebabkan oleh beberapa kelompok dan golongan.
Perbedaan suku, ras, budaya dan agama sudah dipikirkan solusinya jauh –
jauh hari oleh para bapak bangsa. Sudah tidak menarik bila beberapa golongan
yang kemudian memunculkan diri dengan sifat eksklusifnya, Indonesia
dibangun atas dasar perbedaan. Hal itu yang kemudian membuat penulis
mencoba mengungkap sejarah perjalan politik Islam di Indonesia dengan
sifatnya yang inklusif hingga mampu mewujudkan perdamaian di tengah
perbedaan dan berjalan berdampingan. Jika semangat itu mampu kita
internalisasi untuk kedepan, bukan tidak mungkin politik Islam Indonesia akan
menjadi sentrum perdamaian dunia.
6
Tim Penyusun Kamus. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa “Kamus Besar
Bahasa Indonesia” (Depdikbud & Balai Pustaka, Cet Keempat., 1993) hlm. 932.
7
King Faisal Sulaiman. Teori Hukum Konstitusi Nusamedia, Yogyakarta. 2016. hlm. 76.
8
Ibid., hlm. 78-79.
9
Joseph Schacht sebagaimana dikutip oleh Surhani Hermawan, Hukum Islam dan
Transformasi Sosial Masyarakat Jahiliyyah; Studi Historis Tentang Karakter Egaliter Hukum Islam,
makalah sayembara pada Annual Conference Kajian Islam 2006, Penyelenggaraan Kementrian
Agama RI. Jakarta. Hal 1. Diakses penulis pada http://forum.swaramuslim.net/members/profile_vi
w_ind.php, tertanggal 25 Januari 2021.
Berdasarkan permasalahan di atas maka diperlukan sebuah kajian ilmiah
yang bertujuan untuk mengetahui posisi politik Islam Indonesia sehingga
mampu menjadi sentrum perdamaian dunia.
B. Metodologi
Kajian ini bersifat kualitatif – deskriptif berdasarkan pada studi lapangan
(Field Research). Penelitian kualitatif dilakukan untuk mendeskripsikan
sebuah fenomena tertentu dengan kata - kata.10 Realitas politik yang ingin
diungkap pada penelitian ini merupakan persitiwa masa lalu, maka penelitian
ini menggunakan pendekatan sejarah yang meliputi empat langkah pokok,
yaitu; (1) heusristik ialah pengumpulan sumber, (2) verifikasi yaitu kritik
sejarah untuk menguji keabsahan sumber, (3) interpretasi ialah analisis dan
sintesis, dan (4) historiografi yakni penyusunan cerita atau pembuatan
rekonstruksi sejarah.11 Selain menggunakan pendekatan sejarah, pendekatan
sosiologi politik juga digunakan untuk membantu peneliti dapat
mengeksplorasi realitas sosial politik.12 Sosiologi politik juga memberikan
gambaran tentang masyarakat yang di dalamnya terjadi proses dan interaksi
sosial dalam hubungannya dengan politik. Nantinya bisa dilihat bagaimana
masyarakat mempengaruhi politik dan sebaliknya politik mempengaruhi
masyarakat.13
Di dalam sebuah kajian yang menggunakan pendekatan kesejarahan,
diperlukan kritik ekstern dan intern. Kritik Ekstern dilakukan utnuk menilai
keaslian atau otentisitas bahan yang digunakan dalam pembuatan sumber-
sumber sejarah. Sebuah dokumen yang berfungsi sebagai sumber sejarah
dianggap otentik atau asli jika benar-benar hasil karya atau benda peninggalan
dari pemiliknya atau pembuatannya. Setelah dilakukan suatu dokumen diuji
10
Djama’an Satori dan Aan Komariah. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Penerbit Alfabeta, 2014. hlm. 25.
11
Louis Gottschalk. Understanding History ; A Primer of Historical Method (2nd
Edition), New York: Alfred A. Knoft, 1969. hlm. 8
12
Ambo Upe. Sosiologi Politik Kontemporer: Kajian Tentang Rasionalisasi Perilaku
Politik Pemilih di Era Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung. Jakarta: Prestasi Pustakakarya,
2012. hlm. 3.
13
Damsar. Pengantar Sosiologi Politik Jakarta: Kencara, 2010. hlm. 12.
melalui kritik eksternal, berikutnya dilakukan kritik internal. Kritik intern
adalah usaha untuk menentukan atau menyeleksi kredibilitas sumber-sumber
sejarah yang telah terkumpul. Kritik intern mengacu pada kebenaran isi dari
sumber-sumber sejarah. Kritik ekstern dan kritik intern dilakukan untuk
menyeleksi data yang berasal dari sumber sejarah menjadi fakta sejarah.
Kritik intern dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu menilai secara intrinsik
sumber-sumber sejarah dan membandingkan berbagai sumber sejarah.14
C. Pembahasan
1. Perjalanan dan Perjuangan Islam di Politik Indonesia
Merujuk kepada sumber utama ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan
Sunnah, setiap orang beragama Islam secara sadar mempercayai dan
meyakini tersebut sebagai jalan dan petunjuk hidup ( Way and scheme of
life ) yang bersifat final dan mengikat. Itu memiliki makna bahwa
kehidupan sosial (masyarakat) setiap ummat Islam adalah yang tunduk
kepada ketentuan tuhan yang maha esa, sehingga klasifikasinya nilai baik
dan buruk harus dijadikan kriteria atau landasan etis serta moral bagi
pengembangan seluruh dimensi kehidupan.15 Karenanya pembumian nilai-
nilai Islami merupakan tuntutan umat Islam.
H.A.R. Gibb dalam Wither Islam, menyatakan bahwa Islam bukan
hanya a system of theology, lebih dari itu Islam merupakan a complete
civilization. Dengan nada yang konfirmatif Nasir mengatakan bahwa Islam
tidak dapat dipisahkan dari seluruh dimensi kehidupan.16 Islam tidak
mendikotomi antara dunia dan akhirat, keduanya harus berjalan beriringan
serta mampu menopang satu sama lain. Hukum Islam (syariat) mengatur
keduanya, hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan
sesamanya. Kita kita menyadari hal itu sebagai sebuah kebutuhan, maka
14
Gottschalk. Understanding History. hlm. 25
15
Azhari, M. Tahir M. Daud Ali, dan Habibah Daud. Islam Untuk Disipli Ilmu Hukum
Sosial dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1988. Hlm. 24
16
Nasir Tamara. Sejarah Politik Islam Orde Baru. dalam Prisma, No. 5 ftn. XVII, 1988
umat Muslim harus mampu mendapatkan kekuasaan politik sebagai media
untuk menebarkan serta mengimplementasikan nilai-nilai keislaman luas.
Sebuah kitab klasik al-Siyasah al-Syar’iyyah, karya Ibnu Taimiyah
mengungkapkan bahwa nilai (organisasi politik) bagi kehidupan kolektif
manusia merupakan keperluan agama yang terpenting. Tanpa
tumpangannya, agama tidak akan tegak dengan kokoh.17 Syafi’I Ma’arif
berpendapat bahwa suatu negara dapat menjadi benar-benar Islami
hanyalah dengan keharusan pelaksanaan yang sadar dari ajaran Islam
terhadap kehidupan bangsa, dan dengan jalan menyatukan ajaran itu ke
dalam undang-undang negara. Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara
Islam apabila ajaran Islam tentang sosio - politik dilaksanakan dalam
kehidupan rakyat berdasarkan konstitusi.18
Dalam rangka menjadikan hal tersebut nyata, tentu memerlukan
perjuangan dan perjalanan yang panjang. Ini telah dilakukan oleh umat
Islam Indonesia. Sebab disadari perjuangan melawan segala bentuk
kezaliman merupakan suatu hal yang harus dilaksanakan umat Islam.
Prinsip ini diyakini benar umat Islam Indonesia sehingga jika tidak
dilaksanakan atau tidak tercapai maka mustahil pelaksanaan ajaran Islam
secara benar dan baik akan dapat diterapkan dengan baik di Indonesia. Oleh
karena itu sangat wajar sekali bila dikatakan umat Islam Indonesia dikenal
sebagai penantang-penantang gigih terhadap segala bentuk imperialisme.
Pimpinan - pimpinan umat Islam yang tergabung dalam berbagai partai
politik membangun semangat kebangsaan didasari oleh semangat dan
prinsip - prinsip Islam. Warna perjuangan dalam membentuk suatu bangsa
yang merdeka dan berdaulat, tentu tidak harus terhenti setelah bebasnya
bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Sebagai suatu bangsa yang
majemuk bukan hanya dalam bentuk perbedaan suku dan adat namun yang
lebih serius adalah pada tataran perbedaan keyakinan dan agama tentu
menimbulkan berbagai perbedaan kehendak dalam mewarnai bangsa dan
17
Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa Syaykh al-Islam Ahmad Ibnu Taimiyah, Jilid XXVIII,
disunting oleh Muhammad Abdurrahman Ibnu Qasim, Riyadh: Matabi’ al-Riyadh, 1963.
18
Ahmad Syafi’i Ma’arif. Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985. hlm. 76
negara ini. Akibatnya yang tidak dapat dihindarkan tentu munculnya
berbagai pergumulan antara sesama anak bangsa yang dilatarbelakangi
perbedaan agama.
Masyarakat Indonesia yang beragama Islam, negara yang ingin
dibentuk tentu berdasarkan ajaran Islam, dengan jalan menyatukan ajaran
itu ke dalam konstitusi negara. Inilah tema sentral yang diperjuangkan oleh
para pimpinan Islam di Indonesia yang pertama ketika menjelang
proklamasi dan yang kedua pada masa kemerdekaan.
Terhentinya masa penjajahan dengan diproklamirkannya kemerdekaan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, menuntut para
pemimpin bangsa bekerja keras untuk menata dan memberikan wajah baru
bagi Republik ini. Persoalan fundamental ialah menetapkan Dasar Negara.
Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia melalui para
pemimpin berupaya konsisten terhadap identitas mereka dengan
memperjuangkan agar nilai-nilai Islam termaktub dalam konstitusi negara.
Diawali oleh perjuangan gigih dalam panitia sembilan yang diketuai
oleh Soekarno dengan melahirkan “Piagam Jakarta” yang ditandatangani
pada tanggal 22 Juni 1945. Persoalan ini mencapai klimaksnya dalam
perdebatan di Majelis Konstituante hasil pemilu I tahun 1955. Inilah yang
tentunya dapat dianggap sebagai deskripsi fakta sejarah bangsa Indonesia
khusunya umat Islam, yang membentuk trend politik Islam yang terus
berkembang dalam perjalanan sejarah perpolitikan bangsa Indonesia
sampai dewasa ini.
Persoalan sekaligus pertanyaan fundamental adalah apakah perjuangan
politik Islam Indonesia, untuk menegakkan agama Islam di satu sisi dan
menginternalisasikan nilai-nilai ajaran Islam di dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara sehingga politik serta kehidupan berbangsa dan bernegara
Indonesia secara etis dan moral berlandaskan nilai-nilai ajaran Islam harus
disertai dengan membentuk negara Islam (Daulah Islamiyah) atau Indonesia
harus menjadi negara teokrasi Islam?
2. Fakta Kebhinekaan Indonesia
Prinsip nasionalisme Indonesia berhasil membentuk dan meneguhkan
NKRI dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila sebagai ideologi
dijadikan sebagai fondasi sekaligus pengikat untuk mewujudkan cita dan
harap bersama di dalam perbedaan. Di Indonesia, kesadadaran semacam itu
sangat jelas terlihat. Bhineka Tunggal Ika (berbeda - beda namun tetap satu
jua) adalah prinsip yang mencoba menekankan cita-cita yang sama dan
kemajemukan sebagai perekat kebangsaan. Dalam prinsipnya, etika ini
meneguhkan pentingnya komitmen negara untuk memberi ruang bagi
kemajemukan pada satu pihak dan pada pihak lain pada tercapainya cita -
cita akan kemakmuran dan keadilan sebagai wujud dari tujuan
nasionalisme Indonesia.
Dalam keadaan seperti itu, interpretasi nasionalisme Indonesia
semestinya memperhatikan dua elemen dasar itu secara sekaligus. Ikatan
kebangsaan yang semata - mata didasarkan pada nilai - nilai kemakmuran
(yang bersifat material itu) dan keadilan (yang bersifat spiritual itu) tidak
akan mampu menjawab persoalan tentang bagaimana kemajemukan itu
hendak dikelola dalam proses pencapaian tujuan bersama yang mulia itu.
Pencapaian tujuan bersama jelas merupakan sebuah proses yang tidak saja
kompleks secara ekonomi dan politik tetapi juga sebuah proses yang
panjang dan berkelanjutan secara sosial dan budaya.
Bangsa semajemuk Indonesia jelas memerlukan lebih dari itu.
Nasionalisme Indonesia yang hanya mendasarkan pada elemen pertama.
Yakni pengikatan diri pada cita - cita bersama akan kemakmuran dan
keadilan, senantiasa akan terancam karena mudah dirongrong oleh persepsi
tentang kegagalan kolektif kita dalam pencapaian tujuan bersama itu.
Di samping itu, nasionalisme yang melulu dibangun pada janji sebuah
kehidupan bersama yang lebih baik itu, mudah lapuk karena kemajemukan
itu sendiri menawarkan ketegangan yang inheren. Terlebih di dalam
marakanya politik aliran dan politik sektarian, termasuk maraknya trend
politik kelompok Islam. Maka dalam gagasan pokok semacam inilah,
politik Islam di Indonesia harus mampu menginterpretasikan akar
nasionalisme Indonesia itu sehingga memberi dasar bagi sebuah kesadaran
kolektif untuk mengembangkan dan membangun sebuah pendekatan yang
memungkinkan keragaman etnik dan kultural itu justru menjadi kekuatan
bangsa ini untuk melanjutkan pencapaian cita - citanya. Pada akhirnya
nanti perpolitikan Islam di Indonesia dijadikan sebagai sentrum perdamaian
dunia di tengah perbedaan.
Dengan kesadaran akan multikulturalisme berikut penjelasan yang
melatarbelakanginya sebagai ajaran tentang budaya yang sama jelas akan
memberi ruang bagi pencapaian dua kebutuhan sekaligus. Yakni,
terpeliharanya kemajemukan dan integrasi sosial di tingkat masyarakat dan
persatuan yang berkelanjutan di tingkat bangsa guna pencapaian cita -
cita bersama sebagai sebuah nation, hal itu menjadi modal untuk menjadi
sentrum perdamaian dunia. Tujuan utama kesadaran pentingkan
multikulturalisme adalah menyemaikan nilai - nilai dan prinsip - prinsip
dasar yang diperlukan masyarakat dan bangsa Indonesia yang mejemuk ini
dalam habitat sosial yang sedang berubah di tengah - tengah pergumulan
kehidupan kolektif di tingkat lokal, regional, nasional dan global.
Harus diakui bahwa pemahaman masyarakat tentang multikulturalisme
ternyata masih sebatas di permukaan. Padahal kekayaan multikulturalitas
kebangsaan harus dihayati dan direnungkan secara lebih ke dalam,
sehingga, “roh” perbedaan itu dapat ditangkap dan kemudian dikelola untuk
menghasilkan perekat - perekat yang dapat menyatu saudarakan antara
yang satu dengan yang lain. Jika tidak, perbedaan, keanekaragaman dalam
kebersamaan tetap dirasakan asing bagi diri sendiri dan kelompok. Itulah
modal besar yang dimiliki oleh negara Indonesia khususnya umat Islam
untuk mampu menjadi sentrum perdamaian dunia.
Di situ, paradigma multikulturalisme pun tidak sanggup dibuka ruang
dialog di dalamnya. Suatu tuntutan mutlak dari paradigma
multukulturalisme adalah terbangunnya dialog antara unsur yang berbeda.
Artinya, paradigma multikulturalisme hakikatnya meniscayakan bahwa
segala unsur dalam keanekaragaman harus bersifat inklusif - membuka diri
dan berdialog. Menurut penulis, masyarakat harus membiarkan elemen -
elemen sosial budaya saling berdialog, bahkan “bertikai” di tingkat
epistemologis dalam diskursus yang membangun, dan tidak represif.
Masyarakat harus selalu meningkatkan kecerdasan emosional agar mereka
memiliki sensivitas, sensibilitas, apresiasi, simpati dan empati terhadap
kelompok lain. Jika hal itu tidak diperhatikan secara serius, bukan tidak
mungkin akan muncul suatu sikap baru dari kekuasaan baru yang mencoba
menyekap pluralisme - multikulturisme sesuai dengan keinginan subyektif
kekuasaan seperti represif Orde Baru.
Seperti pernyataan di atas, bahwa dengan dibentuknya Piagam Madinah
(Madinah Constitution) oleh Rasulullah Muhammad SAW pada tahun 622
M sebagai konstitusi masyarakat atau Negara (Madinah), sesungguhnya
Rasulullah sendiri tidak bermaksud apalagi menganjurkan untuk
mendirikan Negara Agama atau negara yang berfaham teokrasi. Tetapi
Rasulullah sebaliknya justru membangun negara yang menganut sistem
nomokrasi Islam. Atau suatu masyarakat (negara) yang demokratis yang
dijiwai oleh prinsip dan dasar - dasar nilai serta hukum Islam. Dengan
diundangkannya Piagam Madinah (Madinah Constitution) itu Rasulullah
Muhammad SAW, jelas sangat menyadari dan mehahami adanya watak
pluralisme - multikulturisme dalam realitas Negara Madinah yang
dibangunnya.
Piagam yang dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad
SAW dengan wakil - wakil penduduk kota Madinah tak lama setelah beliau
hijrah dari Mekkah ke Yastrib. Nama kota Madinah sebelumnya, pada
tahun 622 M. Para ahli menyebut Piagam Madinah tersebut dengan berbagai
macam istilah yang berlainan satu sama lain.19 Para pihak yang
mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madinah yang berisi
19
Banyak sarjana yang menggambarkan Piagam Madinah itu sebagai Konstitusi seperti
dipahami dewasa ini. Beberapa di antaranya lihat Ahmad Sukardja. Piagam Madinah dan Undang-
Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat
Majemuk. Jakarta: UI-Press, 1995. Dahlan ftaib dkk. Teori Konstitusi dan Hukum Konstitusi, cet.
kelima, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005. Lihat juga Tahir Azhary. Negara Hukum: Suatu
Studi tentang Prinsp - prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini, cet. kedua, Jakarta: Kencana, 2004.
perjanjian masyarakat Madinah (social contract) tahun 622 M ini ada tiga
belas kelompok komunitas yang secara eksplisit disebut dalam teks
Piagam.
Ketiga belas komunitas itu adalah (i) kaum Mukminin dan Muslimin
Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, (ii) Kaum Mukminin dan Muslimin
dari Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf, (iv) Kaum Yahudi dari
Banu Sa’idah, (v) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars, (vi) Banu Jusyam, (vii)
Kaum Yahudi dari Banu Al- Najjar, (viii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr ibn
‘Awf, (ix) Banu al- Nabit, (x) Banu al-‘Aws, (xi) Kaum Yahudi dari Banu
Sa’labah, (xii) Suku Jafnah dari Banu Sa’labah dan (xiii) Banu
Syuthaybah.20
3. Nomokrasi Islam dan Pancasila
Sesuatu hal yang menarik ketika kita bicara tentang negara hukum
Islam atau yang lebih dikenal dengan (Nomokrasi Islam) dan Pancasila.
Dua terminologi tersebut memiliki kemiripan di antaranya ialah pada
tingkatan dimana keduanya sama – sama memposisikan nilai-nilai yang
sudah terumuskan sebagai nilai standar atau ukuran nilai.
Nomokrasi Islam menyandarkan diri kepada nilai - nilai yang
terkandung pada Al - Qur’an dan Sunnah. Sementara itu, Pancasila
menjadikan nilai - nilai yang ada di dalamnya sebagai standar atau ukuran
nilai sehingga kedua konsep ini memiliki unsur similaritas yang berpadu
pada pengakuan adanya nilai standar yang sudah terumuskan dalam naskah
tertulis. Di samping itu, kedua konsep ini, menempatkan manusia, Tuhan,
Agama dan negara dalam hubungan yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lain.21
Konsep nomokrasi Islam mendasarkan pada nilai-nilai yan terkandung
pada Al Qur’an dan Ass Sunnah. Nomokrasi Islam memberikan kekebasan
kepada individu dengan didasarkan pada sya’riah yang belaku yakni
dengam memandang aspek “hablum minallah” dan aspek “hablum
22
Muhammad Tahrir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip- Prinsipnya
Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Pada Masa
Kini. Jakarta: Kencana, 2010. hlm. 83.
23
Ibid.,hlm. 10.
perlu merongrong keutuhan dan kewibawaan NKRI, yang telah menjadi
harga mati.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas kesimpulan dalam tulisan ini bahwa umat Islam
sepanjang ajaran agamanya, tidaklah menghendaki sesuatu kecuali kebaikan
bersama, sebagaimana dicontohkah oleh Rasulullah s.a.w dan sahabat-sahabat
beliau. Besarnya kebaikan itu tidak harus disesuaikan dengan kepentingan
golongan sendiri saja, sebab akhirnya agama Islam disebut sebagai rahmat
Allah bagi seluruh alam, umat manusia. Takaran kebaikan itu ialah kebaikan
umum sejagad, dan meliputi pula sesama makhluk hidup lain dalam
lingkungan yang lebih luas. Ajaran-ajaran universal Islam menyediakan bagi
kaum Muslimin pandangan etika asasi untuk melandasi pilihan dan keputusan
dalam tindakan hidup, termasuk dalam bidang sosial politik.
Islam adalah salah satu agama terbesar di dunia dan menjadi agama
dengan ummat terbanyak di Indonesia. Islam memiliki sejarah dan budaya
politik yang kuat. Perjalanan politik Islam berawal dari bapak-bapak bangsa
dengan semangat persatuan tanpa perbedaan. Identitas politik Islam di
Indonesia tidaklah tetap, namun berubah – ubah mengikuti perkembangan
zaman. Politik Islam di Indonesia bersifat fleksibel, terbuka dan dapat
mengikuti perubahan dan perkembangan sehingga identitas politiknya tidak
jelas.
Islam di Indonesia sudah, sedang dan akan mencapai kejayaan tertinggi di
Indonesia dan bahkan dunia untuk dijadikan sentrum perdamaian dunia.
Kejayaan Islam menjadi indikasi bahwa mereka memiliki semangat dan
perjuangan yang sama dengan sifat inklusif dan toleransinya, hingga menjadi
sentrum perdamaian dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syafi’i Ma’arif. (1985). Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES.
Azhari, M. Tahir M. Daud Ali, dan Habibah Daud. (1988) Islam Untuk Disiplin
Ilmu Hukum Sosial dan Politik. Jakarta: Bulan Bintang
Dahlan ftaib dkk. (2005). Teori Konstitusi dan Hukum Konstitusi, cet. kelima,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Deliar Noer. (1988). Islam dan Politik: Mayoritas dalam Minoritas. Dalam Jurnal
Prisma, No. 5 ftn XVII.
Ibnu Taimiyah. (1963). Majmu’ Fatawa Syaykh al-Islam Ahmad Ibnu Taimiyah, Jilid
XXVIII, disunting oleh Muhammad Abdurrahman Ibnu Qasim, Riyadh:
Matabi’ al-Riyadh.
Jimly Asshiddiqie. (2006). Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia. Jakarta:
Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi RI.
Muhammad Tahrir Azhary. (2010). Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-
Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode
Negara Madinah dan Pada Masa Kini. Jakarta: Kencana.
Nasir Tamara. (1988). Sejarah Politik Islam Orde Baru. Dalam Prisma, No. 5 ftn
XVII.
Tahir Azhary. (2004). Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsp - prinsipnya Dilihat
dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan
Masa Kini, cet. kedua, Jakarta: Kencana
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Curriculum Vitae
I. Data Pribadi
4. Agama : Islam
Lombok Timur.
- SDN 11 Sepit -
- SMP 1 Keruak -
- SMA 1 Jerowaru -
- UIN Mataram
(Endi Purwanto)