Kajian Ideologi Seni Rupa 1990-An: Studi Kasus Agus Suwage: Anggiat Tornado
Kajian Ideologi Seni Rupa 1990-An: Studi Kasus Agus Suwage: Anggiat Tornado
Kajian Ideologi Seni Rupa 1990-An: Studi Kasus Agus Suwage: Anggiat Tornado
lebih banyak menggambarkan kondisi sosial yang berkembang di masyarakat Indonesia, kita
dapat menemukan pada beberapa hasil karyanya. Prarencana Pembuatan Monumen
Pembangunan (conte, soil pigment photograph, photo copy on paper, 1994), Indonesia yang
banyak membangun tugu peringatan yang berupa monumen, yang sangat sulit diterima dengan
sejarah kebangsaaan.
Jalan Bagi Para Penentang Arus (70 x 150 cm, conte. Acrylic on paper), Kebenaran (55 x 75 cm
conte, ink soil pigment on paper, 1994), Kedatangan, Keberangkatan (150 x 300, conte, ink, leaf on
textile, 1995), Jalan Perdamaian (55 x 75 cm, conte, ink soil pigment on paper, 1994), karya lebih
menggambarkan kemuraman yang yang harus dilewati dengan jalan yang penuh dengan
kekuatan tersendiri. Maaf (70 x 150 cm, conte photograph on paper, 1994), Wonded Frida (70 x
150 cm, conte, soil pigment on paper, 1994), Feminis Jadi-jadian (70 x 150 cm, conte on paper,
1994), kritik pada aktivis yang setengah hati. Sehabis Mengubur Mitos (70 x 150 cm, conte ink on
paper), Budha Menangis (70 x 150 cm, conte soil pigment on paper, 1995), Where is my heart
(150 x 175 cm, wood, acrylic mirror, puppet, 1994). Namun pada karya-karya yang ditampilkan
seluruhnya dapat kita simpulkan bahwa Agus Suwage sebenarnya tidaklah sedang
mempersoalkan keadaan masyarakat yang timpang, misalnya ketidakadilan dalam kehidupan
sosial, tapi mencoba merepleksikan kejadian hingga semua orang terpaksa untuk memilih.
Aku mendengar, Aku mendengar, Aku merasa
Untuk menjadi seorang aktivis sosial bukanlah pilihan Suwage, tapi ia adalah orang yang berada
di belakang dari gerakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dilakukan oleh kawan-
kawan aktivisnya, banyak interaksinya dengan beberapa LSM untuk pembuatan materi
kampanye seperti poster yang dikeluarkan oleh LBHI (Lembaga Bantuan Hukum Indonesia),
Kontras (Komite Nasional untuk Orang Hilang dan Kekerasan), dan beberapa LSM lainnya. Hal
ini ia mengatakan bahwa kegiatan semacam itu dilandasi oleh sikap kemanusianya.
Saat terjadi demontrasi besar-besaran oleh mahasiswa dan rakyat tahun 1989 tempat bekerja
Suwage menjadi sekretariat aktivis berkumpul dan menyusun agenda kerja. Saat itu, ia pun
tidak dapat melakukan aktivitasnya sebagai seniman dalam bentuk membuat karya seni. Ia
benar-benar kehilangan ide dan semangat dengan gerakan yang berlangsung. Agus Suwage
hanya berdiam dan tak dapat melakukan kerja apa-apa terhadap karya seninya. Ia bukanlah type
seniman yang langsung merespon kondisi sosial yang terjadi, tapi orang yang lebih memikirkan
sebelum bekerja. Ia memilih dengan bentuk representasi terhadap diri, A. Sudjud Dartanto
(2003 : 13):
6 | Anggiat Tornado, Dadang Suganda, Setiawan Sabana, Reiza D. Dienaputra
“Saat citraan menggambarkan subyek
lain dan ditemukan menjadi obyek:
Suwage justru menyediakan tubuhnya
sebagai “halte akhir” pencitraan,
tubuhnya sendiri hadir sebagai subject
matter. Ada kontestasi di situ dan pada
hemat saya Suwage menjadi ‘image
maker’ atas tubuhnya sebagai tanda
yang terbelah, tercerai berai berubah-
ubah, bertransformasidari manusia ke
hewan, dengan tubuh berpadu dengan
tumbuhan, atau apa saja.”
Pada karya yang ditampilkan Agus Suwage memperlihatkan keberpihakkannya pada persoalan
yang terjadi dalam masa itu dengan menampilkan suasana apa adanya, pada karya Ars Langa (5
panel tiap 60 x 100 cm, conte, acrylic, lantem, tea pigment ontextile, 1994), karya yang
menggunakan media campuran ini terdiri dari lampu teplok yang digantung di atas tiap panel
karya bergambar dengan urutan JF. Kennedy, Marsinah, Gandhi, Jejak Kaki dengan tulisan Ars
Longa dan Yesus Kritus. Seluruh tokoh yang digambarkan mati ditangan orang yang
KAJIAN IDEOLOGI SENI RUPA 1990-AN: STUDI KASUS AGUS SUWAGE | 7
menginginkan kematian dengan kebencian, seluruhnya adalah orang yang berkorban untuk
kehidupan orang banyak. Marsinah, seorang buruh yang mati dikarenakan menutut haknya
sebagai buruh diperhatikan, JFK Kennedy mati oleh penembak gelap yang tidak menyetujui
kebijakannya, Yesus Kristus mati untuk menebus dosa-dosa umatnya. Mahatma Gandhi mati
oleh sikap yang diperjuangkan lewat ketidak inginan berkompromi dengan poltik anti
kekerasan.
Jalan Perdamaian (55 x 75 cm, conte, ink soil pigment on paper, 1994)
Circus Demokrasi
Perkembangan yang merubah cara kerja estetik Agus Suwage yang akhirnya ia merefleksikan
diri sebagai cara padang dari kritik Suwage mencari jalan kemungkinan. Dalam karya tersebut
Suwage banyak merefleksikan kondisi yang kita dapat lihat, Rizki A. Zaelani (2003 : 9):
8 | Anggiat Tornado, Dadang Suganda, Setiawan Sabana, Reiza D. Dienaputra
“Karena sering dalam karya potret-diri Suwage kita toh melihat gambaran manusia (dia)
dalam keadaan kesakitan dan penderitaan, tak jarang juga kita lihat image manusia (dia)
sebagai orang lain, yang nampak bagai pahlawan padahal penjahat, berjasa tapi khianat,
intelek sambil juga hipokrit, bersahabat padahal dengki, pemurah padahal licik, atau
nampak orang suci meski munafik. Beberapa karya potret-diri Suwage kadang juga nampak
berusaha jujur menyatakan rasa cinta yang terkatakan, rasa bersalah yang terus bisu, atau
kebahagiaan.”
Karya-karya Agus Suwage yang kemunculan bentuk-bentuk realisme sangat mudah atau umum
dicari padanannya pada kehidupan sehari-hari; dalam koran, iklan, film, televisi, majalah dan
ssebagainya, Agus Suwage mengingatkan kita (kembali) pada batas representasi. Representasi
yang tidak akan pernah kuasa menolak interst dan kepentingan. Suwage menggunakan tubuh
(nya) sebagai tanda dan lokasi dimana nilai kepercayaan masyarakat bekerja atasnya pada saat
yang bersamaan, Rizki A. Zaelani (1998:13):
“Menghadapi kecenderungan realisme Agus Suwage, dua hal segera dipertemukan, konteks
gagasan ikatan komunikasi, serta ihwal batas representasi. Maka ikatan komunalitas
merupakan persoalan yang menarik dalam perkembangannya, mengingat kondisi dan
realitas masyarakat itu sendiri yang terus berubah. Dalam arus perubahan-perubahan
itulah makna perubahan representasi juga dapat dikenali – hingga pada batasnya. Seperti
apa ikatan komunalitas berpengaruh pada subyek, seniman dan juga masyarakat, yang
tengah terus berubah hingga kini serta bagaimana konstruksi representasi dapat dikenali
merupakan pertanyaan menarik untuk dicermati.”
Air, Api, Awan
Bermain musik adalah bentuk kesibukan lain dari aktivitas selain berkarya dalam media seni
rupa. Lihat karya Blues for Allah, lukisan ini terinspirasi dari judul lagu kelompok musik Grateful
Dead, pada karyanya Suwage kerap menggunakan judul pada karyanya dari judul lagu, misalnya
dari kelompok The Beatles, dengan karya Happiness is a Warm Gun, Bang-bang .. Shoot –Shoot!,
warna biru yang dominan pada kanvas yang dipenuhi oleh not-not balok yang bergambar batu-
batu yang disusun berdasarkan not-not yang relatif sama dengan letak not balok sebenarnya.
Gambar Agus Suwage yang menengadahkan tangan pada not balok.
KAJIAN IDEOLOGI SENI RUPA 1990-AN: STUDI KASUS AGUS SUWAGE | 9
Blues Untuk Allah
Kecenderungan refrensentasi yang selalu mewarnai karya Agus Suwage sejalan seperti yang
diungkapakan oleh Jakob Sumardjo (2000 : 76):
“Representasi seni adalah upaya mengungkapkan kebenaran atau kenyataan semesta
sebagaimana ditemukan oleh senimannya. Tugas demikian juga dijalankan oleh lembaga
keilmuan, filsafat, dan agama. Hanya, dalam lembaga kesenian, kenyatan semesta tadi
diungkapkan dengan ‘bahasa’ atau ‘kode’ kesenian, yakni melalui bentuk tertentu dengan
struktur dan sistem tertentu pula. Mengenai kode seni ini tiap masa dan tempat memiliki
norma-normanya sendiri. Tetapi, apa yang disebut ‘kebenaran’ atau ‘kenyataan’ yang
ditemukan oleh seniman dan diungkapkan dalam karyanya belum tentu sapat diterima oleh
semua penikmat seninya.”
What is Art and What is it Not?
(2002), Oil, Acrylic, Charcoal, Cofee on Canvas, 200 x 80 cm (4 panels) & 60 x80 cm
10 | Anggiat Tornado, Dadang Suganda, Setiawan Sabana, Reiza D. Dienaputra
Kemanusiaan adalah dasar dari penciptaan keseniannya, temanya baginya cukup penting. Ia
selalu berangkat dari tema kemudian diendapkan lalu dituangkan ke dalam karyanya. Tema
social politik adalah sumber inspirasi bagi Agus Suwage dan ia bias didapati diman saja tidak
hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia dengan melihat TV (terutama inspirasi visual
dari perdamaian), membaca dan sebagainya. Tema sosial bagi Agus Suwage sebagai terapi bagi
dirinnya, baru kemudian untuk masyrakat. Maka ia menganggap keseniannya bukan sebagai
media advokasi. Maka, ia tidak begitu yakin kesenian sebagai media penyadaran. Tetapi
keyakinan Agus Suwage bahwa seni adalah elemen yang mampu menciptakan perubahan
kebudayaan. Ia mengatakan, “Peran Seni di dalam ikut menciptakan kebudayaan itu cukup besar,
hal itu aku sadari betul”. Namun ia tidak mempunyai strategi khusus dalam memposisikan
karyanya dalam perubahan kebudayaan
KAJIAN IDEOLOGI SENI RUPA 1990-AN: STUDI KASUS AGUS SUWAGE | 11
DAFTAR PUSTAKA
1. B. Thompson, John, Analisis Ideologi Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, Yogyakarta,
IRCiSoD, 2003
2. Brewer, Anthony, Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx, Teplok Press, 1999
3. Dwi Marianto, M, Surealisme Yogyakarta, Rumah Penerbit Merapi, Yogyakarta, 2001
4. Esmeralda & Marce Bollansee, MASTERPIECES of Contemporary Indonesian Painters,Times
Editions, Singapore, 1997
5. Hadad, Ismid [Ed], Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial, LP3ES, Jakarta, 1979.
6. Holt, Claire, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, MSPI, 2000
7. Ichsan, Nurdian, Thesis: Seni Rupa Masa 1990-an, Kajian Seni Rupa dari Sudut Medan Sosial
Seni yang Mengalami Perubahan Ruang Mediasi, ITB, 2002.
8. Indonesia Heritage, Visual Art, Archipelago Press, Singapore, 1999
9. Karyanto, Ibe, Realisme Sosialis Georg Lukacs, Gramedia Pustaka Utama berkerjasama
dengan Jaringan Budaya, Jakarta, 1997.
10. Larrain, Jorge. Konsep Ideologi, LKPSM, Yogyakarta, 1996
11. Russell, Bertrand, Kekuasaan, Sebuah Analisis Sosial Baru, YOI, Jakarta,
12. Sabana, Setiawan, Desertasi: Spiritual Dalam Seni Rupa Kontemporer di Asia Tenggara:
Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina sebagai wilayah Kajian, ITB. 2002
13. Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1996
14. Sumardjo, Jakob , Filsafat Seni, ITB, Bandung, 2000
15. Takwin, Bagus, Akar-akar Ideologi, Jalasutra, Yogyakarta, 2003
16. Yayasan Cimeti, OUTLET: Yogya dalam peta seni rupa kontemporer Indonesia, Yogyakarta,
2000
17. _____________, Politik dan Gender: Aspek-aspek SeniVisual Indonesia , Yogyakarta, 2003.
18. _____________, Identitas dan Budaya Massa: Aspek-aspek Seni Visual Indonesia, Yogyakarta,
2003
19. _____________, Paradigma dan Pasar: Aspek-aspek Seni Visual Indoensia,Yogyakarta, 2003
20. Yuliman, Sanento, Dua Seni Rupa, Sepilihan Tulisan, Yayasan Kalam, Jakarta, 2001.
21. _______________, Seni Lukis Indonesia Baru Sebuah Pengantar, Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta,
1976
Katalog
1. Pameran Agus Suwage
• Pameran Tunggal Agus Suwage, Cemeti Contemporary Art Gallery, Yogyakarta, 1995
• Agus Suwage [Dalam Realisme], Galeri Padi Bandung 1998
• Eksotika dorkom, Galeri Soemardja ITB, Bandung 2000
• Channel of Desires, Nadi Gallery, Jakarta, 2002
• “Ough … Nguik!!”, Galeri Nasional Jakarta 2003
2. Katalog Umum
• “Man + Space”, Kwangju Biennale 2000, Kwangju, Korea Selatan
• “AWAS! Recent Art from Indonesia”, Tour Exhibition
• 15 Years Cemeti Art House Exploring Vacuum, Yogyakarta, 2003
• Moderisme Asia Perkembangan yang Beragam di Indonesia, Philipina dan Thailand, 1995-
1996
• Melacak Garis Waktu dan Peristiwa, Depdikbud, 1997/1998
• Pameran Perdana Galeripadi Bandung, 1997
3. Makalah, Artikel
• Seni Rupa yang Berpihak, FX. Harsono, 2004
12 | Anggiat Tornado, Dadang Suganda, Setiawan Sabana, Reiza D. Dienaputra
• Serba-serbi Formalisme di Zaman Filsafat Subyek, Pembacaan Ulang Peta Wilayah Kreatif,
Mamannoor, 2002
• Membaca Modernitas Indonesia dalam Representasi Budaya Pada Seni Rupa, Jim Supangkat