Sintesis, Struktur Kristal Dan Sifat Magnetik Superkonduktor Reba Cu O (RE ND, Eu, GD)
Sintesis, Struktur Kristal Dan Sifat Magnetik Superkonduktor Reba Cu O (RE ND, Eu, GD)
PROMOTOR :
Prof. Dr. SUASMORO
CO-PROMOTOR :
Prof. Dr. DARMINTO
SUMINAR PRATAPA, Ph.D.
PROGRAM DOKTOR
BIDANG KEAHLIAN FISIKA MATERIAL
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2013
SYNTHESIS, CRYSTAL STRUCTURE AND MAGNETIC
PROPERTIES OF REBa2Cu3O7-δ (RE = Nd, Eu, Gd)
SUPERCONDUCTORS
Name : Wayan Gede Suharta
Registration Number : 1107301202
Promotor : Prof. Dr. Suasmoro
Co-Promotor : Prof. Dr. Darminto
: Suminar Pratapa, Ph.D.
ABSTRACT
NdBa2Cu3O7-δ (Nd-123), NdxY1-xBa2Cu3O7-δ (NdxY1-x-123) and REBa2Cu3O7-δ
(RE-123) superconductors have been successfully synthesized by means of wet-mixing
method and HNO3 as digest agent. Nd-123 samples were calcined at 600oC for 3 hours,
cooled and re-grounded. Characterization results of X-ray diffraction (XRD) for Nd-
123 samples (600oC) show impurity phase of Ba(NO3)2, BaCO3, Nd2O3, CuO,
Nd2CuO4, Nd2BaO4, (Nd0,925Ba0,075)2CuO4-x, and Nd1,5Ba1,5Cu3O7,03, while the Nd-123
phase itself has not been detected at all. The addition of re-calcination temperatures
(650-970oC) was applied to eliminate impurities and to grow the Nd-123 phase, in
order to obtain an increase in the weight fraction of Nd-123 (84.3 to 95.9 %) phase.
Based on these results, NdxY1-x-123 and RE-123 samples were calcined at 600oC for 3
hours, cooled and re-grounded, then followed by re-calcination temperature at 970oC
for ten hours. Weight fractions obtained in NdxY1-x-123 samples were 96.6 to 97.0 %,
while they were approximately 96.9 to 98.8 % in the RE-123 samples. Characterization
of high-resolution neutron powder diffraction (HRPD) and synchrotron-ray diffraction
(SRD) were conducted for the Rietveld analysis with Rietica and FullProf programs.
Rietveld analysis results for NdxY1-x-123 samples showed that the addition of Nd
element (x = 0-1) resulting in increased values of lattice parameters, unit cell volume
and orthorhombisity, with the order from the smallest to the largest, namely Y-123,
Nd0,25Y0,75-123, Nd0,5Y0,5-123, Nd0,75Y0,25-123 and Nd-123. The addition of Nd
element on NdxY1-x-123 superconductors also resulted in the migration of oxygen as
shown by reduced oxygen occupancy factor at the position of O(4). Rietveld analysis
results of REBa2Cu3O7-δ, showed that the combination of RE resulted in changing the
values of the lattice parameters and the unit cell volume, with the order from the
smallest to the largest, ie Gd-123, Eu0,5Gd0,5-123, Eu-123,
Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ, Nd0,5Gd0,5-123, Nd0,5Eu0,5-123 and Nd-123.
Characterization using scanning electron microscopy (SEM) and transmission electron
microscopy (TEM) showed that the addition of re-calcination temperatures resulted in
larger particle sizes . Characterization results from superconducting quantum
interference device (SQUID) measurements showed that resistance of superconducting
property in a magnetic field of Nd0,5Y0,5Ba2Cu3O7-δ samples is greater than that of
Nd0,25Y0,75Ba2Cu3O7-δ samples. Characterization results from vibrating sample
magnetometer (VSM) for REBa2Cu3O7-δ samples with particle sizes smaller than 50 nm
exhibit ferromagnetic properties at room temperature, while the sample with particle
sizes larger than 100 nm shows paramagnetic properties. The addition of Nd element
vi
from x = 0,25 to become x = 0,5 in NdxY1-x-123 samples has increased the critical
temperature Tc (from 90,5 to 91,5 K) and the critical current density Jc (from 4 × 104
Acm-2 to 1 × 105 Acm-2). The critical temperature of REBa2Cu3O7-δ samples are in the
range of 88,5 and 93,6 K.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas segala limpahan rahmat dan karunia Tuhan
Yang Maha Esa, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul
“Sintesis, Struktur Kristal dan Sifat Magnetik Superkonduktor REBa2Cu3O7-δ
(RE=Nd,Eu,Gd)”. Disertasi ini merupakan salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan program doktor pada Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
Penyelesaian program doktor ini tidak terlepas dari bantuan baik materiil maupun
non materiil. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan
dan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Suasmoro, sebagai Promotor yang telah membimbing dan
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Darminto, sebagai co-Promotor yang telah membimbing dan
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.
3. Bapak Suminar Pratapa, Ph.D., sebagai co-Promotor yang telah membimbing dan
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.
4. Ibu Prof. Dr. rer. nat. Irmina Kris Murwani, M.Si., sebagai penguji yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.
5. Bapak Dr. Z.A. Imam Supardi, sebagai penguji yang telah memberikan kritik dan
saran sehingga disertasi ini menjadi lebih sempurna.
6. Bapak Drs. Abarrul Ikram, M.Sc., Ph.D., sebagai penguji yang telah memberikan
kritik dan saran sehingga disertasi ini menjadi lebih sempurna.
7. Kementerian Pendidikan Nasional RI, yang sudah memberikan beasiswa BPPS.
8. Bapak Rektor ITS yang berkenan menerima penulis sebagai mahasiswa pada
program doktor dengan segala fasilitas yang diberikan.
9. Bapak Rektor Universitas Udayana yang memberikan tugas belajar kepada
penulis untuk melanjutkan program doctor di ITS.
10. Bapak Dr. Mashuri, yang telah membantu, memberikan semangat dan dorongan
kepada penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.
viii
11. Bapak Ketua Jurusan Fisika ITS beserta Staf, yang telah memberikan pelayanan
administrasi dengan baik.
12. Bapak Ka. Prodi Fisika Pasca ITS beserta Staf, yang telah memberikan
pelayanan administrasi dengan baik.
13. Teman-teman mahasiswa S3, S2 dan S1, yang telah membantu dan memberikan
semangat kepada penulis.
14. Teristimewa buat ayahanda, ibunda, istri, anak-anak tercinta yang telah
memberikan semangat, dorongan dan doa.
15. Serta semua pihak yang telah membantu, yang tidak bisa penulis sebutkan satu-
persatu.
Terima kasih penulis haturkan, semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa
memberikan rakhmat dan karunianya kepada kita semua.
Semoga disertasi ini bisa memberikan manfaat kepada kita semua, dan
pengembangan Sains dan Teknologi.
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. K urva hubungan resistivitas terhadap suhu dari bahan konduktor
(Cu) dan superkonduktor (Hg) (A.K. Saxena 2010) ....................... 6
Gambar 2.2. a. Interaksi elektron-elektron .......................................................... 8
b. Pasangan yang dimediasi oleh fonon (A.K. Saxena 2010) ........ 8
Gambar 2.3. a. Fluks magnetik menembus bahan superkonduktor berbentuk
bola pada T > Tc ......................................................................... 9
b. Fluks magnetik ditolak bahan superkonduktor berbentuk bola
pada T < Tc .................................................................................. 9
Gambar 2.4. Panjang koherensi ξ pada pasangan cooper (A.K. Saxena) ........... 10
Gambar 2.5. a. Kurva medan magnetik terhadap magnetisasi superkonduktor
tipe I ........................................................................................... 12
b. Kurva medan magnetik terhadap magnetisasi superkonduktor
tipe II (A.K. Saxena 2010) ......................................................... 12
Gambar 2.6. a. Kurva medan magnetik kritis terhadap suhu kritis pada
superkonduktor tipe I ................................................................. 12
b. Kurva hubungan magnetik kritis terhadap suhu kritis pada
superkonduktor tipe II (A.K. Saxena 2010) ............................... 12
Gambar 2.7. Struktur Perovskite ABX3 (T. Chatterji 2006) …………………… 14
Gambar 2.8. Struktur kristal senyawa YBa2Cu3O7-δ atau REBa2Cu3O7-δ ……… 15
Gambar 2.9. Skema struktur antiferomagnetik YBa2Cu3O6 (T. Chatterji 2006) .. 16
Gambar 2.10. Variasi suhu puncak magnetik (½, ½, ½) atau (111) dalam indeks
sel (T. Chatterji 2006) ...................................................................... 18
Gambar 2.11. Skema percobaan hamburan neutron (K. Skold 1986) ................. 21
Gambar 3.1. Diagram alir proses sintesis superkonduktor REBa2Cu3O7-δ (RE =
Nd, Eu, Gd) ...................................................................................... 29
Gambar 3.2. Termogram sampel NdBa2Cu3O7-δ .................................................. 32
Gambar 3.3. Termogram sampel GdBa2Cu3O7-δ .................................................. 32
Gambar 3.4. P ola difraksi sinar-X (CuKα radiation) sampel Nd-123 dengan
proses mixing selama 30 menit dan suhu kalsinasi 600oC selama 3
xiii
jam. Ket : (a.u.) = arbitrary unit. Simbol : ▲ ( Ba(NO3)2), ■
(CuO), ● (Nd2CuO4), ♥ (BaCO3), □ (BaNd2O4), ∆ (BaCuO2), ☺
(Nd2O3), * ((Nd0,925Ba0,075)2CuO4-x) ……………………………… 36
Gambar 3.5. Pola difraksi sinar-X (CuKα radiation) sampel Nd-123 yang
disintesis melalui proses mixing selama 30 menit dan variasi suhu
re-kalsinasi selama 1 jam. Ket: (a.u.) = arbitrary unit. Simbol : ο
(Nd-123) …………………………………………………………... 38
Gambar 3.6. Fasa impuritas pada sampel Nd-123 yang disintesis melalui proses
mixing selama 30 menit dan variasi suhu re-kalsinasi selama 1 jam
pada sudut 2θ dari 22 sampai 31o. Ket: (a.u.) = arbitrary unit.
Simbol : ο (Nd-123), ♥ (BaCO3), ∆ (BaCuO2), □ (BaNd2O4), ◊
(Nd2BaCuO5), ● (Nd2CuO4) ……………………………………… 39
Gambar 3.7. Fasa impuritas pada sampel Nd-123 yang disintesis melalui proses
mixing selama 30 menit dan variasi suhu re-kalsinasi selama 1 jam
pada sudut 2θ dari 32 sampai 60o. Ket: (a.u.) = arbitrary unit.
Simbol : ο (Nd-123), ♥ (BaCO3), ■ (CuO), ● (Nd2CuO4) ……… 39
Gambar 3.8. Diagram fasa pembentukan fasa Y-123…………………………… 43
Gambar 3.9. Pola difraksi sinar-X (CuKα radiation) sampel NdBa2Cu3O7-δ
dengan variasi suhu re-kalsinasi. Ket: (a.u.) = arbitrary unit.
Simbol : ο (NdBa2Cu3O7-δ) .............................................................. 44
Gambar 3.10. Pola difraksi sinar-X (CuKα radiation) sampel Nd0,5Gd0,5-123
dengan variasi suhu re-kalsinasi. Ket: (a.u.) = arbitrary unit.
Simbol : ο (Nd0,5Gd0,5-123) ………………………………………. 45
Gambar 3.11. Pola difraksi XRD (CuKα radiation) sampel
Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ dengan variasi suhu re-kalsinasi.
Ket: (a.u.) = arbitrary unit. Simbol : ο
Nd0.33Eu0.33Gd0.33Ba2Cu3O7-δ ........................................................... 46
Gambar 3.12. F asa impuritas pada sampel Nd-123 pada sudut 2θ dari 20
sampai 32o. Ket: (a.u.) = arbitrary unit. Simbol : ο (Nd-123), ∆
(BaCuO2), □ (BaNd2O4) …………………………………………... 47
xiv
Gambar 3.13. Fasa impuritas pada sampel Nd0,5Gd0,5-123 pada sudut 2θ dari
20 sampai 32o. Ket: (a.u.) = arbitrary unit. Simbol : ο (Nd0,5Gd0,5-
123), ∆ (BaCuO2), □ (BaNd2O4) …………………………………. 47
Gambar 3.14. F asa impuritas pada sampel Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ pada
sudut 2θ dari 20 sampai 32o. Ket: (a.u.) = arbitrary unit. Simbol :
ο (Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ), ∆ (BaCuO2), □ (BaNd2O4) …… 48
Gambar 3.15. Pola difraksi sinar-X (CuKα radiation) sampel NdxY1-x-123
(x= 0, 0,25, 0,5, 0,75, 1). Ket: (a.u.) = arbitrary unit. Simbol : ο
(NdxY1-x-123) ………………………………………………........... 50
Gambar 3.16. Fasa impuritas pada sampel NdxY1-x-123 pada sudut 2θ dari 22
sampai 31o. Ket: (a.u.) = arbitrary unit. Simbol : ο (NdxY1-x-123),
∆ (BaCuO2), □ (BaNd2O4) ………………………………………... 52
Gambar 3.17. Pola difraksi sinar-X (CuKα radiation) sampel RE-123 dengan
satu, dua dan tiga kombinasi RE. Ket: (a.u.) = arbitrary unit.
Simbol : ο (RE-123) ………………………………………………. 54
Gambar 3.18. Fasa impuritas pada sampel RE-123 di daerah sudut antara 22
dan 31o. Ket: (a.u.) = arbitrary unit. Simbol : ο (RE-123), ∆
(BaCuO2), □ (BaNd2O4) …………………………………………... 55
xv
Gambar 3.22. Gambar SEM sampel NdBa2Cu3O7-δ dengan suhu re-kalsinasi
pada : (a) 920oC, (b) 940oC, (c) 970oC …………………………… 61
Gambar 3.23. Morfologi SEM sampel NdxY1-x-123, x = a) 0, b) 0,25, c) 0,5, d)
0,75, e) 1 ………………………………………………………...... 63
Gambar 3.24. M orfologi TEM s ampel Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ dengan
suhu re-kalsinasi : (a) 750oC, (b) 800oC dan (c) 900oC ………….. 65
Gambar 4.1. Pola difraksi sinar-X (CuKα radiation) superkonduktor NdxY1-x-
123 (x= 0, 0,25, 0,5, 0,75, 1) dengan Trc 970oC selama 10 jam.
Simbol : (ο) NdxY1-x-123. Ket: (a.u.) = arbitrary unit …………… 68
Gambar 4.2. Pola difraksi neutron (HRPD) dengan panjang gelombang λ =
1,819479 untuk sampel superkonduktor N dxY1-xBa2Cu3O7-δ
(x= 0, 0,25, 0,5, 0,75, 1) dengan Trc 970oC selama 10 jam. Ket:
(a.u.) = arbitrary unit ……………………………………………... 69
Gambar 4.3. Pergeseran sudut puncak difraksi sinar-X dengan indeks Miller
(013) dan (103) hasil karakterisasi XRD (Gambar 4.1). Ket: (a.u.)
= arbitrary unit …………………………………………………... 71
Gambar 4.4. Pergeseran sudut puncak difraksi dengan indeks Miller (013) dan
(103) hasil karakterisasi HRPD (Gambar 4.2). Ket: (a.u.) =
arbitrary unit ……………………………………………………… 71
Gambar 4.5. Pola XRD (CuKα radiation) sampel R E-123 dengan satu, dua
dan tiga kombinasi RE. Ket: (a.u.) = arbitrary unit ……………… 73
Gambar 4.6. Pola difraktogram synchrotron-ray diffraction (SRD) sampel RE-
123 dengan satu, dua dan tiga kombinasi RE. Ket: (a.u.) =
arbitrary unit ……………………………………………………… 74
Gambar 4.7. Pergeseran puncak dengan indeks Miller (116), (123) dan (213)
hasil karakterisasi XRD untuk sampel R E-123 dengan satu, dua
dan tiga kombinasi RE. Ket: (a.u.) = arbitrary unit ……………… 75
Gambar 4.8. Pergeseran puncak dengan indeks Miller (116), (123) dan (213)
hasil karakterisasi SRD untuk sampel R E-123 dengan satu, dua
dan tiga kombinasi RE. Ket: (a.u.) = arbitrary unit ……………… 75
xvi
Gambar 4.9. Pola difraksi hasil refinement sampel Nd-123 dari hasil
karakterisasi XRD, SRD dan HRPD. Hasil pengamatan, hasil
perhitungan, selisih harga intensitas hasil pengamatan dan hasil
perhitungan, posisi sudut puncak Bragg, masing-masing
ditunjukkan warna hitam, warna merah, warna hijau, warna biru ... 79
Gambar 4.10. Pola perubahan parameter kisi terhadap penambahan suhu re-
kalsinasi dari 650-970oC untuk sampel Nd-123 ………………….. 85
Gambar 4.11. Pola perubahan parameter kisi terhadap variasi jumlah substitusi
Nd pada superkonduktor NdxY1-xBa2Cu3O7-δ ……………………. 86
Gambar 4.12. Pola perubahan parameter kisi a, b, dan c terhadap sampel RE-
123 dengan satu, dua dan tiga kombinasi RE …………………… 88
Gambar 4.13. Ortorombisitas terhadap penambahan suhu re-kalsinasi dari 650
sampai 970oC untuk sampel Nd-123 …………………………….. 90
Gambar 4.14. Ortorombisitas sampel Nd0,5Gd0,5-123 dan
Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ dengan suhu re-kalsinasi dari 920-
970oC ……………………………………………………………… 91
Gambar 4.15. Ortorombisitas sampel superkonduktor NdxY1-xBa2Cu3O7-δ
(x=0-1) ............................................................................................. 92
Gambar 4.16. Faktor hunian (Occupancy) oksigen pada posisi O (4) dengan
penambahan x dalam sampel NdxY1-xBa2Cu3O7-δ setelah
penghalusan pola difraksi menggunakan analisis Rietveld untuk
data HRPD ……………………………………………………….. 95
Gambar 4.17. Kurva kandungan oksigen terhadap penambahan x dalam sampel
NdxY1-xBa2Cu3O7-δ ………………………………………………... 96
Gambar 4.18. Struktur kristal sampel YBa2Cu3O7-∂ dan Nd0,5Y0,5Ba2Cu3O7-∂ …. 98
Gambar 4.19. Pergeseran atom-atom dari sampel YBa2Cu3O7-∂ menjadi sampel
Nd0,5Y0,5Ba2Cu3O7-∂ ……………………………………………… 100
Gambar 5.1. K urva suseptibilitas terhadap suhu sampel superkonduktor
Nd0,5Gd0,5Ba2Cu3O7-δ …………………………………………….. 102
Gambar 5.2. K urva suseptibilitas terhadap suhu antara 85-95 K untuk sampel
Nd0,5Gd0,5Ba2Cu3O7-δ …………………………………………….. 102
xvii
Gambar 5.3. K urva suseptibilitas terhadap suhu sampel superkonduktor
Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ …………………………………….. 103
Gambar 5.4. K urva suseptibilitas terhadap suhu antara 85-95 K untuk sampel
Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ …………………………………….. 103
Gambar 5.5. K urva suseptibilitas terhadap suhu sampel superkonduktor
NdxY1-xBa2Cu3O7-δ (x = 0,25, 0,5) ……………………………… 105
Gambar 5.6. Kurva M-H sampel superkonduktor NdxY1-xBa2Cu3O7-δ (x = 0,25,
0,5) ……………………………………………………………….. 107
Gambar 5.7. Kurva rapat arus kritis (Jc) terhadap kuat medan magnetik (H)
untuk sampel superkonduktor NdxY1-xBa2Cu3O7-δ (x = 0,25, 0,5)
pada medan positif ……………………………………………….. 108
Gambar 5.8. Kurva rapat arus kritis (Jc) terhadap kuat medan magnetik (H)
untuk sampel superkonduktor NdxY1-xBa2Cu3O7-δ (x = 0,25, 0,5) :
pada medan negatif ……………………………………………….. 109
Gambar 5.9. Kurva M-T sampel RE-123 dengan satu kombinasi RE ………… 111
Gambar 5.10. Kurva M-T sampel RE-123 dengan dua dan tiga kombinasi RE . 111
Gambar 5.11. H asil karakterisasi VSM dari sampel Nd-123 pada suhu re-
kalsinasi 750, 800 dan 900oC ................................................... 114
Gambar 5.12. H asil karakterisasi VSM sampel Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ
dengan mixing selama 24 jam dan suhu re-kalsinasi pada 800, 850
dan 900oC selama 30 menit ………………………………………. 114
Gambar 5.13. Hasil karakterisasi VSM sampel Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ
dengan mixing selama 24 jam dan suhu re-kalsinasi pada 750oC .. 115
xviii
DAFTAR NOTASI DAN DAFTAR SINGKATAN
Nd-123 : NdBa2Cu3O7-∂
Eu-123 : EuBa2Cu3O7-∂
Gd-123 : GdBa2Cu3O7-∂
Nd0.5Eu0.5-123 : Nd0.5Eu0.5Ba2Cu3O7-∂
Nd0.5Gd0.5-123 : Nd0.5Gd0.5Ba2Cu3O7-∂
Eu0.5Gd0.5-123 : Eu0.5Gd0.5Ba2Cu3O7-∂
Nd0.33Eu0.33Gd0.33-123 : Nd0.33Eu0.33Gd0.33Ba2Cu3O7-∂
RE-123 : REBa2Cu3O7-∂
NdxY1-x-123 : NdxY1-xBa2Cu3O7-∂
Nd0.25Y0.75-123 : Nd0.25Y0.75Ba2Cu3O7-∂
Nd0.5Y0.75-123 : Nd0.5Y0.5Ba2Cu3O7-∂
Nd0.75Y0.25-123 : Nd0.75Y0.25Ba2Cu3O7-∂
Y-123 : YBa2Cu3O7-∂
YBCO : YBa2Cu3O7-∂
RE : Rare earth
Tc : Suhu kritis
Jc : Rapat arus kritis
Hc : Medan magnetik kritis
Trc : Suhu re-kalsinasi
trc : Periode re-kalsinasi
a.u. : Arbitrary unit
XRD : X-ray Diffraction
HRPD : High-Resolution Neutron Powder Diffraction
SRD : Synchrotron-ray Diffraction
SEM : Scanning Electron Microscopy
TEM : Transmission Electron Microscopy
VSM : Vibrating Sample Magnetometer
SQUID : Superconducting Quantum Interference Device
M : Magnetisasi
H : Medan magnetik luar
xxi
θD : Suhu Debye
2∆ : Energi gap
kB : Konstanta Boltzmann
χ : Suseptibilitas
κ : Koefisien Ginzburg-Landau
λo : Panjang penetrasi magnetik
ξ : Panjang koherensi
Φ : Fluks magnetik
Φo : Kuanta fluks magnetic
TN : Suhu Neel
d(hkl) : Jarak antar bidang Miller
θ : Sudut antara sinar datang dan bidang hamburan
λ : panjang gelombang sinar
Ie : Intensitas sinar-X yang dihamburkan
Io : Intensitas sinar-X datang
F(k) : Faktor struktur geometri
e : muatan electron
f : Faktor hamburan atom
N : Jumlah atom dalam sel satuan
p : Faktor multiplisitas
μ : Koefisien absorpsi
re-kalsinasi : kalsinasi ulang dengan suhu kalsinasi lebih
tinggi
xxii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Sifat dasar dari neutron (T. Chatterji 2006) ........................................ 20
Tabel 3.1. Pengurangan massa sampel NdBa2Cu3O7-δ dan GdBa2Cu3O7-δ dari
hasil karakterisasi TGA ....................................................................... 33
Tabel 3.2. Nilai prosentase fraksi berat fasa NdBa2Cu3O7-δ dan fasa impuritas
pada suhu re-kalsinasi 650-900oC …………………………………. 41
Tabel 3.3. Nilai prosentase fraksi berat fasa NdBa2Cu3O7-δ dan fasa impuritas
BaCuO2 pada suhu re-kalsinasi 920-970oC ………………………… 48
Tabel 3.4. Nilai prosentase fraksi berat fasa NY-123 dan fasa impuritas pada
suhu re-kalsinasi 970oC …………………………………………….. 52
Tabel 3.5. Nilai prosentase fraksi berat fasa RE-123 dengan variasi unsur tanah
jarang dan fasa impuritas pada suhu re-kalsinasi 970oC …………… 55
Tabel 4.1. H arga parameter kisi a, b dan c, faktor reliability (Rp, Rwp, Re, RB,
RF) dan goodness-of-fit (S) untuk sampel Nd-123 dengan suhu re-
kalsinasi 970oC selama 10 jam yang merupakan hasil karakterisasi
XRD, SRD dan HRPD menggunakan software FullProf (Rodriguez
2001) ………………………………………………………………... 78
Tabel 4.2. Harga parameter kisi hasil refinement untuk sampel Nd-123
(Trc=650-970oC), Nd0,5Gd0,5-123 (Trc=920-970oC),
Nd0,33Eu0,33Gd0,33-123 (Trc=920-970oC), NdxY1-x-123 (Trc=970oC),
RE-123 (kombinasi RE) (Trc=970oC) ……………………………… 80
Tabel 4.3. Data kristalografi hasil karakterisasi HRPD untuk
Nd0,25Y0,75Ba2Cu3O7-δ ……………………………………………… 89
Tabel 4.4. Harga faktor hunian (occupancy) hasil karakterisasi HRPD untuk
sampel NdxY1-xBa2Cu3O7-δ setelah penghalusan puncak difraksi
dengan analisis Rietveld menggunakan program FullProf
(Rodriguez 2001) …………………………………………………… 90
Table 4.5. Kandungan oksigen sampel superkonduktor NdxY1-xBa2Cu3O7-δ … 93
Tabel 4.6. Harga jarak antar atom sampel NdxY1-xBa2Cu3O7-∂ (x= 0, 0,25, 0,5,
0,75, 1) ……………………………………………………………… 95
xix
Tabel 4.7. Harga sudut antar atom sampel NdxY1-xBa2Cu3O7-∂ (x=0, 0,25, 0,5,
0,75, 1) ……………………………………………………………… 96
Tabel 5.1. Harga suhu kritis intergrain and intragrain superconductivity untuk
FC dan ZFC dari sampel Nd0,5Gd0,5Ba2Cu3O7-δ dan
Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ ………………………………………. 104
Tabel 5.2. Harga suhu kritis intergrain and intragrain superconductivity untuk
FC dan Z FC dari sampel Nd0,5Gd0,5Ba2Cu3O7-δ dan
Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ ………………………………………. 105
Tabel 5.3. Hasil pengukuran suhu kritis (Tc) menggunakan SQUID untuk
sampel REBa2Cu3O7-δ (RE= Nd, Eu, Gd) dengan satu, dua dan tiga
kombinasi unsur tanah jarang (rare earth) ………………………… 112
Tabel 5.4. Harga Ms, Mr dan Hc untuk sampel Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ
dengan mixing selama 24 jam dan suhu re-kalsinasi pada 750, 800,
850 dan 900oC ………………………………………………………. 115
xx
BAB 1
PENDAHULUAN
1
(C. Cui 1990; Y.L. Jiao 2003; N. Sakai 2005; N. Mori 2006) dan Ce (M.I. Petrov
2007). Substitusi Ag maupun Ce akan mengisi porositas, mengurangi batas butiran,
resistivitas keadaan normal dan pengaruh sambungan lemah (weak-link).
Berbagai metode dalam proses sintesis superkonduktor Y-123 dan RE-123 juga
telah dilakukan untuk meningkatkan harga Tc, Jc dan Hc2, seperti metode reaksi padatan
(solid state reaction) (S. Suasmoro 2012), metode top-seeded melt growth (TSMG) (S.
Haindl 2005; N. Hari Babu 2006; Y. Shi 2006), metode pelelehan (melt-textured) (N.
Sakai 2007; Y. Nakamura 2007) dan metode oxygen-controlled melt growth (OCMG)
(M. R. Koblischka 2000; J.Q. Dai 2004).
Penelitian mengenai sifat magnetik superkonduktor REBa2Cu3O7-δ (RE = Nd,
Eu, Gd) dilakukan oleh Koblischka dan kawan-kawan (M. R. Koblischka 2003),
penelitian untuk menghasilkan ukuran butiran yang besar dilaporkan oleh K.
Ogasawara dan kawan-kawan (K. Ogasawara 2000), sedangkan penelitian flux pinning
dilakukan oleh M. Muralidhar (M. Muralidhar 2003) dan A. K. Pradhan (A. K. Pradhan
2000).
Penelitian superkonduktor RE-Y-123 dan 123 tidak hanya terbatas pada upaya
menghasilkan sampel dengan ukuran partikel besar (skala mikrometer) yang berkaitan
dengan peningkatan rapat arus kritis dan medan magnetik kritis, akan tetapi peneliti
juga berupaya untuk menghasilkan superkonduktor Y-123 dan RE-123 dengan ukuran
partikel dalam skala nanometer. Dalam aplikasinya, magnetik partikel nano digunakan
sebagai komponen aktif dari fluida magnetik (ferrofluids), pembuatan tape, dan dalam
aplikasi biomedical (R.W. Chantrell 1994; H. Gu 2003). Rao dan kawan-kawan (A.
Shipra 2007) telah melaporkan bahwa bahan superkonduktor Y-123 dengan Tc sekitar
91 K dan ukuran partikel dalam skala nano memperlihatkan sifat feromagnetik pada
suhu ruang, sedangkan superkonduktor Y-123 dalam bentuk padatan (bulk) dengan
ukuran partikel dalam skala mikro memperlihatkan sifat paramagnetik. Superkonduktor
Y-123 dalam bentuk padatan diperoleh dengan pemanasan pada suhu 940oC.
Penelitian REBa2Cu3O7-δ (RE = Nd, Eu, Gd) yang sudah diuraikan di atas
umumnya masih berkisar pada pengamatan struktur mikro (micro-structure), magnetic
trapped dan analisis flux pinning. Sedangkan penelitian mengenai pengaruh substitusi
RE pada superkonduktor Y-123 terhadap migrasi oksigen, faktor hunian (occupancy),
pergeseran sudut fasa dan perubahan konstanta kisi, khususnya kombinasi dua dan
2
tiga rare earth dengan komposisi molar yang sama masih perlu diteliti. Penelitian
partikel nano RE-123 masih sangat jarang dilakukan dan dari pengetahuan penulis,
sintesis nano-partikel RE-123 dengan pengamatan sifat magnetik pada suhu ruang
sampai saat ini belum pernah dilaporkan oleh peneliti lain.
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian dititikberatkan pada pengamatan
pengaruh substitusi dan penggantian RE pada superkonduktor Y-123, terutama
terhadap perubahan struktur kristal, sifat listrik dan magnetik bahan. Oleh karena itu
disertasi ini mencakup tiga sub-tema kegiatan penelitian. Pertama, sintesis
superkonduktor NdBa2Cu3O7-δ dengan variasi suhu re-kalsinasi dari 650 sampai 970oC,
sintesis substitusi Nd pada superkonduktor NdxY1-xBa2Cu3O7-δ dengan variasi x dari 0
sampai 1, dan sintesis superkonduktor RE-123 dengan kombinasi satu, dua dan tiga RE
(rare earth). Sampel yang sudah berhasil disintesis, dikarakterisasi dengan x-ray
diffraction (XRD) untuk mengetahui fasa-fasa yang terbentuk, karakterisasi
transmission electron microscopy (TEM) dan scanning electron microscopy (SEM)
untuk mengetahui morfologi sampel. Kedua, analisis Rietveld hasil karakterisasi x-ray
diffraction (XRD), high resolution powder diffraction (HRPD) dan synchrotron-ray
diffraction (SRD) untuk mengetahui struktur kristal (parameter kisi, ortorombisitas,
faktor hunian/occupancy, dan kandungan oksigen). Ketiga, karakterisasi vibrating
sample magnetometer (VSM) dan superconducting quantum interference device
(SQUID) untuk mengetahui sifat listrik dan magnetik NdxY1-xBa2Cu3O7-δ dan
REBa2Cu3O7-δ.
Sampel disintesis dengan wet-mixing method dan HNO3 sebagai digest agent.
Wet-mixing method bertujuan untuk menghasilkan bahan dengan homogenitas tinggi
dan biaya operasi yang rendah.
3
dan sifat mekanik bahan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perubahan atau distorsi lokal struktur kristal superkonduktor REBa2Cu3O7-δ akibat
penambahan satu, dua dan tiga kombinasi unsur-unsur Nd, Eu dan Gd dengan
komposisi molar sama, serta mengetahui sifat magnetik pada bahan nano-partikel
REBCO.
Berdasarkan uraian pada sub bab latar belakang, maka permasalahan pada
penelitian ini adalah
- bagaimana cara memperoleh fasa tunggal superkonduktor NdBa2Cu3O7-δ
- bagaimana pengaruh substitusi ion Nd3+ pada ion Y3+ terhadap struktur kristal
(parameter kisi, volume sel, pergeseran sudut, ortorombisitas, occupancy), sifat
listrik dan magnetik superkonduktor NdxY1-xBa2Cu3O7-δ
- bagaimana perbedaan struktur kristal (parameter kisi, volume sel, pergeseran
sudut), sifat listrik dan magnetik superkonduktor REBa2Cu3O7-δ pada kombinasi
satu, dua dan tiga RE dengan komposisi molar sama
- bagaimana cara memperoleh bahan NEG-123 dengan ukuran partikel dalam
skala nano, dan bagaimana hubungan ukuran partikel dengan sifat magnetik
pada suhu ruang
4
1.4. Kontribusi Penelitian
Kontribusi penelitian terhadap perkembangan sains dan teknologi, khususnya
dalam bidang material superkonduktor meliputi
- memberikan pengetahuan mengenai pengaruh substitusi maupun penggantian
ion Y3+ dengan Nd3+ terhadap struktur kristal, sifat listrik dan magnetik
superkonduktor NdxY1-xBa2Cu3O7-δ dengan karakterisasi X-ray diffraction
(XRD), high resolution powder diffraction (HRPD), scanning electron
microscopy (SEM), dan superconducting quantum interferrence device
(SQUID)
- memberikan pengetahuan mengenai struktur kristal, sifat listrik dan magnetik
superkonduktor REBa2Cu3O7-δ (RE = Nd, Eu, Gd) dengan satu, dua dan tiga
kombinasi unsur tanah jarang pada komposisi molar sama dengan karakterisasi
XRD, synchrotron-ray diffraction (SRD), SEM dan SQUID
- memberikan pengetahuan mengenai sifat magnetik bahan nano-partikel
REBa2Cu3O7-δ pada suhu ruang dengan karakterisasi XRD, transmission
electron microscopy (TEM) dan vibrating sample magnetometer (VSM).
5
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Superkonduktivitas
Pada kajian teori ini (dari sub bab 2.1.1 sampai sub bab 2.1.4) akan dibahas
mengenai resistivitas nol, teori BCS, Efek Meissner, superkonduktor tipe I dan tipe II
dengan mengacu pada beberapa referensi (M. A. Omar 1974; A. Bourdillon 1994; B.R.
Lehndorff 2001; A. K. Saxena 2010).
Gambar 2.1. Kurva hubungan resistivitas terhadap suhu dari bahan konduktor (Cu) dan
superkonduktor (Hg) (A. K. Saxena 2010)
6
2.1.2. Teori BCS
Pemahaman secara teoritis mengenai fenomena superkonduktivitas muncul
sekitar lebih dari 50 tahun setelah penemuan bahan superkonduktor. Teori tersebut
pertama kali dikemukakan oleh J. Bardeen, L.N. Cooper dan J.R. Schrieffer yang
dikenal dengan teori BCS. Teori mikroskopik BCS didasarkan pada beberapa hipotesa
- interaksi elektron-kisi mengarah ke interaksi elektron-elektron dan elektron
membentuk pasangan yang saling mengikat pada keadaan superkonduktor
- interaksi elektron-elektron dimediasi oleh pertukaran fonon antara dua elektron
yang berpasangan
- pasangan tersebut adalah elektron dengan spin-up yang mempunyai momentum
k dipasangkan dengan spin-down yang mempunyai momentum - k, dan
momentum sudut dari pasangan adalah nol
- panjang koherensi adalah sama dengan jarak dari pasangan, dan celah energi
yang teramati sesuai dengan energi ikat dari pasangan.
Gambaran elektron konduksi dalam permukaan Fermi sebuah logam diperlihatkan pada
Gambar 2.2. Dua elektron (berlabel 1 dan 2) terletak persis di permukaan Fermi. Jika
mereka membentuk pasangan yang saling mengikat, gerakannya akan berkorelasi,
asalkan tetap berada dekat dengan permukaan Fermi. Karena elektron 1 dekat dengan
permukaan Fermi, maka kecepatannya sangat besar (sama dengan kecepatan Fermi).
Pada saat elektron melewati ion positif, ion akan merespon dengan bergerak mendekati
elektron (Gambar 2.2.a). Dalam teori medan, karena distorsi kisi (yang disebabkan oleh
hamburan elektron), sebuah fonon terciptakan, dimana masing-masing elektron
dikelilingi oleh awan fonon. Elektron 1 da n 2 b erinteraksi melalui pertukaran fonon
(Gambar 2.2.b). Momentum fonon q yang dipancarkan oleh elektron 1 diserap oleh
elektron 2, sehingga elektron 1 dan 2 masing-masing mendapatkan momentum (k1 - q)
dan (k2 + q). Interaksi ini kuat, ketika elektron 1 dan 2 memiliki arah momentum dan
spin yang berlawanan, yaitu (k1 ,−q ↑ ) dan (k 2 ,−q ↓ ) .
7
(a) (b)
Energi pasangan ( ω D ) lebih rendah dibandingkan energi total elektron bebas. Sebagai
hasilnya, sebuah gap terbentuk dekat energi Fermi, yang mana pendekatannya
diberikan oleh 2∆ = 3.52k B Tc pada T=0 K, dengan kB adalah konstanta Boltzmann dan
Tc adalah suhu kritis. Di bawah Tc, parameter energi gap 2∆ naik secara tajam dari nol,
mengikuti rumusan
1
T
2
8
bahan berada di bawah suhu kritis, maka bahan superkonduktor akan melayang.
Peristiwa melayangnya superkonduktor dalam medan magnetik disebut efek Meissner.
Peristiwa efek Meissner hanya bisa diterangkan bila dimisalkan ada fluks
magnetik yang keluar dari bahan superkonduktor atau dengan perkataan lain sebuah
superkonduktor berkelakuan seperti sebuah diamagnetik sempurna. Penolakan fluks
medan magnetik tersebut dapat diinterpretasikan sebagai pembangkitan arus pusar pada
permukaan superkonduktor dengan konduktivitas tak berhingga atau resistivitas sama
dengan nol. Rumusan elektrodinamika untuk medan magnetik induksi yaitu
B = µ o (H + M ) (2-3)
Fluks Fluks
magnetik magnetik
Bahan Bahan
Gambar 2.3. a. Fluks magnetik menembus bahan superkonduktor berbentuk bola pada
T > Tc
b. Fluks magnetik ditolak bahan superkonduktor berbentuk bola pada T <
Tc
9
2.1.4. Superkonduktor tipe I dan tipe II
Apabila pada bahan superkonduktor diberi medan magnetik luar yang
diperbesar, maka pada suatu harga medan magnetik tertentu sifat superkonduktor bahan
tersebut akan hilang. Harga atau besar medan magnetik pada saat bahan kehilangan
sifat superkonduktornya disebut medan magnetik kritis (Hc).
Bahan-bahan superkonduktor umumnya diklasifikasikan ke dalam dua tipe
yaitu tipe I dan tipe II. Klasifikasi tersebut muncul karena terdapat perbedaan kelakuan
medan magnetik pada tiap-tiap jenis bahan superkonduktor. Parameter Ginzburg-
Landau umumnya digunakan untuk membedakan superkonduktor tipe I dan tipe II.
Perbandingan dua panjang karakteristik yaitu perbandingan antara panjang
penetrasi magnetik dengan panjang koherensi disebut dengan koefisien Ginzburg-
λ
Landau (κ) : κ = ≅ konstan di sekitar Tc. Parameter panjang penetrasi magnetik (λ)
ξ
merupakan kedalaman permukaan bahan superkonduktor yang dapat ditembus oleh
medan magnetik luar H. Selain itu, λ didefinisikan sebagai ketebalan daerah di sekitar
teras tabung vorteks yang dialiri arus super dalam superkonduktor. Panjang koherensi
(ξ) adalah jarak antar elektron dalam pasangan cooper atau diameter fluksoid (vorteks)
seperti terlihat pada Gambar 2.4.
(a)
Gambar 2.4. Panjang koherensi ξ pada pasangan cooper (A. K. Saxena 2010)
10
1
Dari hasil perhitungan Ginzburg-Landau diperoleh harga κ < untuk
2
1
superkonduktor tipe I, sedangkan κ > untuk superkonduktor tipe II.
2
Apabila pada bahan tipe I diberikan medan magnetik yang diperbesar sampai
mencapai nilai medan kritis Hc, maka superkonduktor secara mendadak dan tajam akan
menjadi normal (kehilangan sifat superkonduktor). Hubungan tersebut diperlihatkan
dalam gambar 2.5.a, sebagai hubungan medan magnet luar (H) terhadap magnetisasi
(M). Daerah di dalam segitiga merupakan keadaan superkonduktor dengan resistivitas
nol (ρ = 0) dan medan magnetik di dalam bahan sama dengan nol (B = 0). Sedangkan
daerah di luar segitiga merupakan keadaan normal dimana medan magnetik dan
resistivitas bahan tidak sama dengan nol (B ≠ 0 dan ρ ≠ 0). Kurva pada gambar 2.6
dapat didekati dengan fungsi parabolik, dan dapat diekspresikan dengan sebuah rumus,
yaitu
T
2
H c (T ) = H c (0)1 − (2-5)
Tc
dengan Hc(T) adalah medan kritis pada suhu T, Hc(0) adalah medan kritis pada suhu nol
absolut, Tc adalah suhu kritis. Superkonduktor tipe I hanya sanggup mengalirkan arus
dengan rapat arus kritis (Jc) lebih kecil dari 103A/cm2, dan hanya dapat
mempertahankan superkonduktivitas dalam medan magnetik (Hc) maksimum 103
Gauss.
Hubungan antara medan magnetik luar dengan magnetisasi untuk
superkonduktor tipe II diperlihatkan pada gambar 2.5.b. Superkonduktor tipe II
mempunyai medan magnetik kritis terbawah (Hc1) dan medan magnetik kritis teratas
(Hc2). Bila medan magnetik H yang lebih kecil dari Hc1 diberikan pada bahan
superkonduktor tipe II maka bahan akan bersifat diamagnetik sempurna
(superkonduktor). Apabila medan magnetik diperbesar melebihi Hc1, maka bahan akan
ditembus fluks magnetik. Fluks magnetik yang menembus selanjutnya akan
menghasilkan arus sirkulasi di sekelilingnya. Arus sirkulasi ini akan menghasilkan
vorteks atau fluksoid. Apabila medan makin diperbesar, maka makin banyak fluks
yang menembus bahan. Ketika rapat vorteks cukup besar maka superkonduktor akan
11
masuk ke keadaan normal. Nilai medan pada saat superkonduktor masuk ke dalam
keadaan normal disebut sebagai Hc2. Hilangnya superkonduktivitas pada
superkonduktor tipe II karena pengaruh medan magnetik diperlihatkan pada gambar
2.6.b.
Gambar 2.6. a. Kurva medan magnetik kritis terhadap suhu kritis pada superkonduktor
tipe I
b. Kurva hubungan magnetik kritis terhadap suhu kritis pada
superkonduktor tipe II (A. K. Saxena 2010)
Vorteks pertama kali ditemukan oleh Abrikosov pada tahun 1957 de ngan
menggunakan teori Ginzburg-Landau. Diketahui bahwa medan magnetik B dalam
12
bahan superkonduktor adalah nol, oleh karena itu rapat arus µ o J = ∇xB juga harus nol.
13
kritis 80 K dengan dua lapisan CuO2 dan fase 2223 mempunyai suhu kritis 110 K
dengan tiga lapisan CuO2 (A. K. Saxena 2010).
Sifat-sifat superkonduktor keramik sistem YBa2Cu3O6+x sangat dipengaruhi
oleh kandungan oksigen yang terdapat dalam senyawa tersebut. Kandungan oksigen
ditentukan oleh perlakuan pada proses pembuatannya. Superkonduktor sistem
YBa2Cu3O6+x mempunyai dua struktur yaitu struktur tetragonal (0 ≤ x ≤ 0.5) yang
bersifat semikonduktor dan struktur ortorombik (1 ≥ x ≥ 0.5) yang bersifat
superkonduktor. Secara mikroskopik, struktur kristal YBa2Cu3O6+x adalah tri-
perovskite non-stoikiometrik dengan struktur idealnya adalah YBa2Cu3O7 (T. Chatterji
2006).
Struktur Perovskite ABX3 diperlihatkan pada Gambar 2.7, di mana simbol A
adalah atom Y, Nd atau Ba, simbol B adalah atom Cu dan simbol X adalah atom
oksigen.
A X
Struktur kristal YBa2Cu3O6+x terdiri dari lapisan CuOx, BaO, CuO2, Y, CuO2,
BaO, dan CuOx seperti diperlihatkan pada Gambar 2.8. Lapisan CuOx disebut lapisan
basal dimana terdapat oksigen nonstoikiometri. Untuk x = 0 bidang basal hanya terdiri
dari atom Cu. Posisi oksigen (yang disebut O4) kosong. Untuk x = 1, oksigen pada
posisi O4 penuh dan mengubah lapisan menjadi bidang Cu-O sepanjang sumbu b.
Proses doping sangat berpengaruh dalam lapisan CuOx. Valensi atom Cu (posisi Cu1)
14
dalam bidang basal untuk x = 0 a dalah Cu1+ sedangkan valensi ion Cu (posisi Cu2)
dalam lapisan ganda CuO2 adalah Cu2+. Dengan penambahan jumlah oksigen, akan
terjadi perubahan terbesar dalam keadaan oksidasi pada atom Cu dalam bidang basal
CuOx dan keadaan oksidasi dari ion Cu ini berkisar antara +2 dan +3.
15
1/2, 0) dan momen magnetik adalah sepanjang sumbu a, mengimplikasikan anisotropik
ortorombik yang kecil dalam penggambaran sistem magnetik spin Hamiltonian. Pada
suhu rendah, momen magnetik untuk ion Cu diperoleh sebesar 0.64μB, yang
mengasumsikan faktor bentuk isotropik. Jadi disana terjadi reduksi yang kuat dari
momen magnetik yang diakibatkan fluktuasi quantum dan pengaruh kovalensi.
Cu1
O1
O3
Ba Cu2
O2
Y O3
Cu2
O2
Ba
O1
Cu1
16
(RE-123) lebih baik dibandingkan superkonduktor YBa2Cu3O7-δ, dan bahkan diprediksi
sebagai bahan paling berpeluang untuk dapat diaplikasikan dewasa ini. Keunggulan
superkonduktor RE-123 dibandingkan superkonduktor suhu tinggi lain karena
mempunyai suhu kritis, rapat arus kritis, medan magnetik kritis yang lebih besar, serta
ketahanan terhadap lingkungan lebih baik.
Atom Y dapat disubstitusi oleh semua elemen magnetik unsur tanah jarang
kecuali Pr, tanpa menimbulkan perubahan yang berarti terhadap harga Tc. Awalnya
dipercaya bahwa PrBa2Cu3O6+x merupakan anomali dalam REBa2Cu3O6+x karena tidak
menunjukkan sifat superkonduktor. Akan tetapi anggapan tersebut hilang setelah Zou
dan kawan-kawan (Z. Zou 1998) berhasil membuat superkonduktor PrBa2Cu3O6+x
dengan suhu kritis (Tc) sekitar 85 K.
Ion Cu2+ dalam REBa2Cu3O6+x memunculkan sifat antiferomagnetik pada suhu
relatif tinggi. Sedangkan magnetic ordering atom-atom unsur tanah jarang muncul pada
suhu yang sangat rendah. Magnetic ordering ion Cu2+ dalam REBa2Cu3O6+x sama
dengan YBa2Cu3O6+x dengan vektor propagasi k = (1/2, 1/2, 0) (T. Chatterji 2006).
Magnetic ordering Dy dalam DyBa2Cu3O7 telah diamati oleh Goldman dan
kawan-kawan (A.I. Goldman 1987) dengan menggunakan difraksi neutron. Struktur
antiferomagnetik ion Dy muncul pada TN ≈ 1 K dengan vektor propagasi k = (1/2, 1/2,
1/2). Gambar 2.10 memperlihatkan variasi suhu dari puncak magnetik (1/2, 1/2, 1/2)
atau (111) dalam indeks sel. Intensitas puncak magnetik menurun secara kontinyu
dengan penambahan suhu dan menjadi nol pada TN ≈ 14 K.
17
Gambar 2.10. Variasi suhu puncak magnetik (1/2, 1/2, 1/2) atau (111) dalam indeks sel
(T. Chatterji 2006)
18
dengan d(hkl) adalah jarak antar bidang Miller, λ adalah panjang gelombang berkas
sinar dan θ adalah sudut antara sinar datang dan bidang hamburan.
Perhitungan intensitas untuk hamburan sinar-X dan sinkrotron adalah sama,
sehingga dapat mengacu pada satu kasus sumber saja yaitu sinar-X. Hamburan
dσ s
Thomson untuk satu elektron dinyatakan dengan differential cross section ( ), yang
dΩ
merepresentasikan probabilitas sinar-X terhambur dalam detektor yang dinyatakan
sebagai
dσ s I e R 2 1 + cos 2 θ
= = re2 (2-8)
dΩ Io 2
dengan Ie menyatakan intensitas sinar-X yang dihamburkan, Io intensitas sinar-X
datang, re adalah jari-jari elektron, (1+cos2θ) adalah faktor polarisasi (B.K. Agarwal
1991).
Berkas sinar-X yang dihamburkan oleh cuplikan bergantung pada resultan
gelombang yang dihamburkan oleh seluruh atom di dalam sel satuan yang disebut
sebagai faktor struktur geometri F(k). Sehingga differential cross section dapat ditulis
sebagai
dσ c 1 + cos 2 θ 2
= re2 F (k ) (2-9)
dΩ 2
dan faktor struktur geometri F(k) dinyatakan dengan
N
F (k ) = ∑ f e 2πi (hu + kv +lw ) (2-10)
1
dengan f adalah faktor hamburan atom, N jumlah atom dalam sel satuan dan (uvw)
menyatakan koordinat atom dalam sel satuan.
Selain itu ada beberapa faktor yang berperan dalam menentukan intensitas
sinar-X yang dihamburkan, antara lain faktor multiplisitas, absorpsi, suhu dan faktor
polarisasi Lorentz. Dengan memperhitungkan seluruh faktor-faktor tersebut, secara
umum intensitas pola difraksi yang dihasilkan oleh pantulan Bragg dapat dituliskan
sebagai (B.D. Cullity 1978) :
I o e 4 λ3 A 1 2 1 + cos 2 2θ e −2 M
I = 2 4 2 F p 2 (2-11)
m c 32πr v sin θ cos θ 2 µ
19
dengan e adalah muatan elektron, m massa elektron, c kecepatan cahaya, λ panjang
gelombang sinar-X, A penampang lintang terhadap sinar datang, r jari-jari
difraktometer, p faktor multiplisitas, v volume sel satuan, F faktor struktur, e-2M faktor
suhu dengan M = B sin2θ/λ2, B faktor Debye-Waller, μ koefisien absorpsi linier, θ sudut
hamburan Bragg.
Dalam proses refinement, parameter-parameter yang di refine adalah faktor
multiplisitas (p), faktor struktur (F), faktor suhu (e-2M) dan sudut hamburan Bragg (θ).
5 Spin ½
6 Magnetic moment, μn -1.9130427 μN
20
Neutron mempunyai momen magnetik, sehingga dapat berinteraksi dengan
elektron yang tidak berpasangan dari atom magnetik. Hamburan neutron dapat
memberikan informasi tentang struktur magnetik, distribusi magnetik dan arah spin dari
bahan magnetik.
Dalam pengukuran menggunakan teknik hamburan neutron, berkas neutron
dilewatkan pada monokromator agar radiasi yang jatuh pada sampel mempunyai satu
panjang gelombang neutron (monokromatik) dengan vektor gelombang ko. Sebagian
radiasi neutron akan ditransmisikan oleh sampel, sisanya akan diserap serta
dihamburkan oleh sampel. Hamburan yang terjadi akan ditangkap oleh detektor dalam
arah k1, seperti diperlihatkan pada Gambar 2.11 (K. Skold 1986).
Radiasi neutron yang dihamburkan oleh sampel dan interaksinya digambarkan dengan
differential cross section
dσ C
= (2-12)
dΩ ΦN (∆Ω)η
dengan Φ jumlah neutron yang melewati luasan persatuan waktu (fluks neutron
datang), N jumlah atom, ∆Ω sudut padatan detektor, η efisiensi detektor, C kecepatan
cacah detektor. Differential cross section adalah fungsi dari besar dan arah ko dan k1
dan merupakan sifat dari sampel yang terukur.
Interaksi antara neutron dengan sebuah atom dapat terjadi melalui dua interaksi,
yaitu karena pengaruh gaya inti, dan pengaruh medan magnetik dalam atom, yang
digambarkan dalam bentuk amplitudo hamburan.
21
Hamburan neutron oleh inti disebabkan oleh gaya inti yang mempunyai kisaran
panjang gelombang antara 10-12-10-13 cm. Panjang gelombang neutron termal sekitar
10-8 cm yang mana lebih besar dibandingkan panjang gelombang gaya inti. Interaksi
antara neutron dengan sebuah atom melalui gaya inti dapat digambarkan dalam bentuk
yang sederhana dan dari definisi cross section maka diperoleh
dσ
= b2 (2-13)
dΩ
dengan b adalah panjang hamburan dan besarnya hanya dipengaruhi oleh atomic
number Z dan atomic weight A.
Sedangkan cross section hamburan magnetik yang disebabkan oleh elektron
yang tidak berpasangan diberikan oleh persamaan
dσ
= (γro ) [ f (k1 − k o )] S ( S + 1)
2 2
(2-14)
dΩ
dengan γro ≈ 0.54 x 10-12 cm, S adalah bilangan kuantum spin untuk ion, dan
f (Q) = f (k1 − k o ) adalah faktor bentuk magnetik yang merupakan transformasi
Fourier rapat distribusi elektron yang tidak berpasangan dari pusat ion.
Intensitas hamburan neutron diperoleh dari double differential cross section
yang diberikan oleh persamaan
( )
∞
dσ 2 1 k 1
I Q, E = = 1
dΩdE N k o
2π
∑ bi j ∫
b e − iQ .ri ( 0 ) iQ .r j ( t )
e e1− ( E / )t dt (2-15)
i, j −∞
()
∞
1
F Q = ∑ bi b j ∫ e −iQ.ri ( 0 ) e j dt
iQ . r ( t )
(2-16)
N i, j −∞
dengan h konstanta Planck, Q vektor hamburan dengan Q = k o − k1 , E energi neutron,
ri(0) posisi atom pada saat 0, rj(t) posisi atom pada saat t (K. Skold 1986).
Salah satu aplikasi neutron diterapkan pada HRPD (High Resolution Powder
Diffraction). HRPD merupakan difraktometer dengan sumber radiasi neutron dan
memiliki resolusi relatif tinggi, yang umumnya digunakan untuk mengamati struktur
kristal dan struktur magnetik suatu bahan. Neutron juga digunakan untuk meneliti atom
ringan dengan kehadiran atom berat, misalnya dalam paduan logam yang mengandung
atom ringan dan atom berat.
22
2.5. Pengukuran Rapat Arus Kritis (Jc)
Rapat arus kritis bahan superkonduktor dapat diketahui dengan pengukuran
medan magnetik. Pengukuran medan magnetik berbeda dengan pengukuran resistivitas.
Perbedaan tersebut terdapat dalam beberapa hal. Pertama : sampel tidak memerlukan
kontak listrik dan diperlukan sampel dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, bahkan
dapat digunakan sampel dalam bentuk serbuk. Kedua, sinyal magnetik diberikan pada
suhu di bawah Tc pada saat nilai resistivitas berubah menjadi nol dan sinyal magnetik
dapat digunakan untuk mengukur bahan pada suhu rendah. Ketiga, fraksi volume
superkonduktor (superconducting volume fraction) dapat diestimasi. Keempat, sinyal
dapat diberikan walaupun ada bagian dari bahan padatan yang terputus (terjadi crack)
atau tidak dipengaruhi oleh kontak antar butiran (M. I. Youssif 2000).
Salah satu peralatan yang digunakan untuk mengamati sifat magnetik (momen
magnetik) adalah dengan superconducting quantum interference device (SQUID).
Keluaran dari peralatan SQUID dapat berupa data momen magnetik (m) sebagai fungsi
suhu (T) atau data momen magnetik sebagai fungsi kuat medan (H).
Momen magnetik biasanya dihubungkan dengan gerakan orbital atau gerakan
spin dari pertikel bermuatan dalam bahan. Ketika membandingkan bahan yang berbeda
atau bahan dengan ukuran berbeda, hal yang perlu diketahui adalah kuantitas
makroskopis dari magnetisasi atau momen magnetik total per satuan volume atau per
satuan massa :
m
M= (2-17)
V
Sedangkan suseptibilitas magnetik (χ) didefinisikan sebagai intensitas magnetik yang
diperoleh dari penghalang kecil yang ditempatkan dalam medan magnetik. Kondisi
medan dari satuan gaya medan atau suseptibilitas didefinisikan sebagai perbandingan
magnetisasi (M) dengan kuat medan magnetik (H) :
M
χ= (2-18)
H
Rapat arus kritis dari bahan superkonduktor dihitung berdasarkan model Bean
(C.P. Bean 1964). Teori ini berawal dari sebuah arus yang diinduksi oleh perubahan
medan magnetik yang ditempatkan tegak lurus dengan sampel superkonduktor dengan
mengikuti hukum Faraday. Arus tersebut mengalir mengikuti hukum Lenz untuk
23
melawan fluks muatan dalam kaitannya dengan pemberian medan magnetik. Bean
membuat dua asumsi pengertian histeresis secara teori dalam superkonduktor tipe II.
Asumsi pertama model Bean, bahwa magnetisasi M akan berubah secara linier melalui
bahan superkonduktor dengan jari-jari r dan seluruh perubahan dalam distribusi fluks
diinduksi pada permukaan bahan. Asumsi kedua, kehadiran gaya elektromotif terkecil
akan menghasilkan satu rapat arus kritis.
Perhitungan harga rapat arus kritis menggunakan model Bean untuk sampel
berbentuk serbuk dapat dilakukan dengan menggunakan data hasil karakterisasi SQUID
(grafik M-H) (A. Ehmann 1993; T. Rentschler 1994) yaitu
3M r
Jc = (2-19)
2rV
Fraksi volume superkonduktor dihitung dari hasil karakterisasi suseptibilitas
terhadap suhu pada zero field cooling (ZFC) dengan menggunakan hubungan
M 1
χ= dimana H eff = H o dan nM ≈ 1/3 (2-20)
H eff V 1 − nM
dan dibandingkan dengan diamagnetik sempurna
χ = - 1/4π (2-21)
24
kristal dilakukan dengan menggunakan metode pelelehan sebagian (partial melting)
pada suhu 990oC. Pengukuran rapat arus kritis pada suhu 77 K dengan aplikasi medan
magnetik 6 T, telah menghasilkan Jc sebesar 105 A/cm2. Penambahan doping Zr juga
dilakukan oleh Caixuan Xu dan kawan-kawan (C. Xu 2007) pada superkonduktor
GdBa2-xCu3O7-δ. Proses sintesis dilakukan dengan metode pelelehan pada suhu 1030oC
yang dimodifikasi dengan proses top-seed dan pada tahap akhir dilakukan proses anil
menggunakan gas oksigen dan argon. Penambahan 0.4 mol % ZrO2 telah menghasilkan
Jc sebesar 105 A/cm2 pada suhu 77 K. Selain itu, penelitian untuk meningkatkan rapat
arus kritis juga telah dilakukan oleh E. Ban dan kawan-kawan dengan doping ZnO dan
ZrO2 secara bersamaan. Penambahan doping sebesar 0,1 persen Zn dan 0,1 pe rsen Zr
secara bersamaan pada superkonduktor Eu-Ba-Cu-O melalui proses partial melting
serta penambahan 0,1 p ersen oksigen dan 0,1 persen argon telah menghasilkan Jc
sebesar 1,8 × 104 A/cm2 pada suhu 77 K (E. Ban 2007). Peningkatan rapat arus kritis
juga ditentukan oleh homogenitas fasa 211 dalam sampel seperti yang dilaporkan oleh
Diko dan kawan-kawan (P. Diko 2006) dengan melakukan sintesis superkonduktor
(RE)1+xBa2-xCu3O7-δ menggunakan metode Top Seeded Melt Growth (TSMG).
Pada bab pendahuluan telah disinggung bahwa penelitian mengenai doping Ag
pada superkonduktor Gd-123 dan Y-123 telah dilakukan oleh N. Sakai dan N. Mori (N.
Sakai 2005; N. Mori 2006). Penambahan Ag telah mengisi porositas, mengurangi batas
butiran, mengurangi resistivitas keadaan normal dan mengurangi efek weak-link.
Metode pelelehan digunakan oleh N. Sakai dan kawan-kawan untuk pertumbuhan
kristal Gd1+xBa2-xCu3O7-δ, sedangkan metode infiltration growth digunakan oleh N.
Mori dan kawan-kawan untuk pertumbuhan kristal Y1+xBa2-xCu3O7-δ.
Ukuran butiran bahan superkonduktor sangat penting untuk mekanisme aliran
arus dalam bahan. Penelitian untuk memperoleh ukuran butiran yang besar telah
dilakukan oleh S. Nariki dan kawan-kawan, dengan penambahan BaCeO3 (barium
cerate) pada superkonduktor sistem Gd123. Sampel dengan komposisi Gd123 :
BaCeO3 : Gd211 = 100 : 40-x : x (x = 0-40) ditambah dengan 20 persen Ag2O dan 0,5
persen Pt serta dialiri 1 persen oksigen telah disintesis dan menghasilkan sampel
dengan ukuran butiran berkisar antara 25 dan 33 mm (S. Nariki 2006). Penelitian
dengan penambahan campuran logam Bi-Sn-Cd pada superkonduktor Gd-123 untuk
25
memperoleh ukuran butiran yang besar telah dilaporkan oleh Y. Kimura dan kawan-
kawan (Y. Kimura 2006).
Penelitian mengenai flux pinning dan magnetic trapped diantaranya dilakukan
oleh M.R. Koblischka (M. R. Koblischka 2000) dan A. Hu (A. Hu 2004). M.R.
Koblischka dan kawan-kawan mensintesis superkonduktor NEG-123 dengan metode
Oxygen Controlled Melt Growth (OCMG), sedangkan A. Hu mensintesis SEG-123
dengan metode pelelehan.
Ketepatan dan ketelitian menentukan komposisi molar bahan awal merupakan
salah satu keberhasilan dalam sintesis superkonduktor REBCO. Hal tersebut telah
dibuktikan oleh Yang Li (Y. Li 2004) dengan melakukan sintesis superkonduktor Eu-
Ba-Cu-O dengan variasi x pa da senyawa superkonduktor Eu1+xBa2-xCu3O7-δ. Dengan
menambah Eu dari komposisi molar x = 1 menjadi x = 1,02, dapat menurunkan harga
suhu kritis dari 92 K menjadi 55 K.
Beberapa penelitian untuk menghasilkan sampel dengan ukuran partikel dalam
skala nanometer telah dilakukan, diantaranya oleh Sundaresan dan kawan-kawan dari
India (A. Sundaresan 2009), yang memperlihatkan sifat feromagnetik non-magnetik
oksida CeO2 dan Al2O3 pada suhu ruang. Histeresis feromagnetik juga telah diamati
dalam graphite yang diiradiasi proton (P. Esquinazi 2002) dan feromagnetik suhu
tinggi ditemukan dalam alkaline-earth hexaboride (D.P. Young 1999).
Seperti telah disebutkan pada bab pendahuluan, magnetik partikel nano
digunakan sebagai komponen aktif dari ferrofluids, pembuatan tape, dan dalam aplikasi
biomedical (R.W. Chantrell 1994; H. Gu 2003). Aplikasi partikel nano begitu luas,
sehingga mendorong peneliti untuk mensintesis partikel nano pada bahan
superkonduktor seperti yang telah dilaporkan oleh Rao dan kawan-kawan (A. Shipra
2007). Rao dan kawan-kawan mensintesis partikel nano YBCO dengan metode citrate-
gel, dan diperoleh ukuran partkel (butiran) sekitar 0,1 μm. Dari hasil karakterisasi
XRD, partikel nano YBCO memperlihatkan struktur ortorombik dengan parameter kisi
a (3,829 ), b ( 3,874 ) dan c (11,670 ). Partkel nano YBCO memperlihatkan sifat
diamagnetik dengan suhu kritis 91 K dan sifat feromagnetik pada suhu ruang dengan
koersivitas sekitar 200 Oe.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa fenomena feromagnetik pada suhu ruang dan
sifat superkonduktor adalah berlawanan (antagonistic). Rao dan kawan-kawan
26
memprediksi bahwa munculnya sifat feromagnetik dalam partikel nano disebabkan
oleh momen magnetik yang muncul dari kekosongan oksigen pada permukaan partikel
nano (C.D. Pemmaraju 2005). Sifat feromagnetik dalam bahan padatan seperti Fe3O4
dan CeO2 muncul dari interaksi kolektif dari momen magnetik atom atau ion. Magnetik
atom atau ion dalam bahan diatur dalam kisi periodik dan momennya berinteraksi
melalui perubahan medan molekul. Dan telah diketahui pula bahwa partikel nano dari
bahan magnetik mempunyai sifat berbeda dengan bahan padatan (bulk) yang
dipengaruhi oleh finite size (R.H. Kodama 1997).
Dari uraian yang telah disampaikan di atas, penelitian superkonduktor RE-123
tersebut lebih banyak difokuskan pada RE tunggal (Nd-123, Eu-123, Gd-123) dan
kombinasi tiga RE (Nd0,33E0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ), sedangkan kombinasi dua RE masih
jarang dilakukan. Oleh karena itu, pada penelitian ini dibuat sampel superkonduktor
RE-123 dengan semua kombinasi yang mungkin, yaitu kombinasi satu, dua dan tiga
RE. Jadi ada tambahan pada kombinasi dua RE dengan komposisi molar yang sama
yaitu Nd0,5Eu0,5-123, Nd0,5Gd0,5-123, Eu0,5Gd0,5-123). Pada kasus nano partikel,
pengamatan sifat feromagnetik bahan superkonduktor yang telah dilakukan masih
terbatas pada bahan non magnetik, sedangkan pada penelitian ini digunakan bahan-
bahan magnetik (RE).
27
BAB 3
SINTESIS SUPERKONDUKTOR REBa2Cu3O7-∂
28
3.1. Proses Sintesis
Semua sampel pada penelitian ini disintesis dengan wet-mixing method dan
asam nitrat (HNO3) sebagai digest agent. Proses sintesis semua sampel sama dan yang
membedakan adalah variasi suhu re-kalsinasi (Trc). Proses sintesis secara lengkap,
mulai dari penimbangan bahan, proses wet-mixing method, dan proses pemanasan
diperlihatkan pada Gambar 3.1.
Karakterisasi
XRD, HRPD, SRD, SEM, TEM, VSM, SQUID
Gambar 3.1. Diagram alir proses sintesis superkonduktor REBa2Cu3O7-δ (RE = Nd, Eu,
Gd)
29
3.1.1. Pemilihan bahan
Secara garis besar penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bahan dengan
homogenitas, suhu kritis, rapat arus, dan medan magnetik bahan yang tinggi. Oleh
karena itu pada penelitian ini dipilih unsur tanah jarang (rare earth) seperti Nd, Eu dan
Gd yang digunakan untuk substitusi Y pada superkonduktor sistem YBa2Cu3O7-δ
(YBCO atau Y-123). Unsur-unsur tersebut dipilih karena merupakan bahan yang
bersifat magnetik. Jari-jari ion Nd3+ (112,3 pm), Eu3+ (108,7 pm) dan Gd3+ (107,8 pm)
dapat mensubstitusi ion Y3+ (104 pm) karena memiliki perbedaan jari-jari ion yang
tidak terlalu signifikan. Sintesis bahan REBa2Cu3O7-δ (RE = Nd, Eu, Gd), dilakukan
dengan wet-mixing method, menggunakan bahan-bahan Nd2O3 (99,9 %), Gd2O3 (99,9
%), Eu2O3 (99,9 %), BaCO3 (99,9 %), CuO(99,9 %) dan HNO3 (asam nitrat) sebagai
digest agent. Pemilihan asam nitrat sebagai pelarut, karena solubilitas bahan rare earth
dalam HNO3 sangat tinggi. Dengan solubilitas yang tinggi diharapkan bahan-bahan
awal tersebut dapat larut dengan baik, sehingga ikatan yang terjadi bukan lagi ikatan
antar atom, akan tetapi ikatan antar ion. Hal tersebut memungkinkan untuk
menghasilkan sampel dengan homogenitas tinggi.
30
suhu setinggi 50oC diharapkan dapat mempercepat proses pelarutan untuk
memperoleh larutan homogen. Pada penelitian ini, untuk memperoleh larutan
homogen diperlukan waktu sekitar 30 menit.
b. Larutan RE(NO3)3, Ba(NO3)2 dan Cu(NO3)2 tersebut diaduk dengan magnetic stirrer
dan dipanaskan secara perlahan hingga mencapai suhu di bawah 100oC sampai
mengerak.
c. Senyawa dalam bentuk kerak dipanaskan pada suhu 100oC selama satu jam untuk
menghilangkan kandungan air yang masih terdapat dalam senyawa, sehingga
diperoleh senyawa kering.
31
40
20
30
a
DTA-signal [µV]
20
Delta-M [mg]
15
10
b
c
d
0 10
e
-10
-20 5
200 400 600 800
Temperature (oC)
20
50
40 a
15
30 b
DTA-signal [µV]
Delta-M [mg]
20
c
10 d 10
0
e
-10
5
200 400 600 800
Temperature (oC)
32
Tabel 3.1. Pengurangan massa sampel NdBa2Cu3O7-δ dan GdBa2Cu3O7-δ dari hasil
karakterisasi TGA
33
c. pada interval suhu 220-600oC berat sampel berkurang sekitar 26,12 % yang
mengindikasikan adanya proses dekomposisi molekul-molekul nitrat menjadi NO
dan NO2.
d. pada interval suhu di atas 600oC tidak terdeteksi penurunan berat sampel.
Secara keseluruhan penurunan berat sampel NdBa2Cu3O7-δ yang diakibatkan
pemanasan dari suhu ruang sampai suhu 900oC terjadi sekitar 58,94 %, yaitu dari 18,75
gr (berat awal) menjadi 9,95 gr (berat akhir).
Karakterisasi DTA/TGA juga dilakukan pada sampel GdBa2Cu3O7-δ yang telah
disintesis dengan proses yang sama dengan sampel NdBa2Cu3O7-δ. Penurunan berat
sampel GdBa2Cu3O7-δ selama pemanasan dapat diuraikan sebagai berikut :
a. pada interval suhu dari suhu ruang sampai suhu 110oC terjadi penurunan berat
sampel sebesar 5,6 % yang merupakan ciri dari penguapan air fisis
b. pada interval suhu 110-200oC terjadi penurunan berat sampel sebesar 26,3 %; yang
merupakan pelepasan gas hidrogen (H2) dan karbondioksida (CO2)
c. pada interval suhu 200-650oC terjadi penurunan berat sampel sebesar 28,87 %,
yang merupakan proses dekomposisi molekul-molekul nitrat menjadi NO dan NO2.
d. di atas suhu 650oC tidak terdeteksi adanya penurunan berat sampel.
Secara keseluruhan penurunan berat sampel GdBa2Cu3O7-δ yang diakibatkan
pemanasan dari suhu ruang sampai suhu 900oC terjadi sekitar 60,7 %, yaitu dari 18,02
gr (berat awal ) menjadi 9,22 gr (berat akhir).
Dari hasil analisis DTA/TGA yang telah diuraikan di atas, proses pengurangan
berat sampel yang diakibatkan pemanasan dari suhu ruang sampai suhu 900oC untuk
sampel NdBa2Cu3O7-δ hampir sama dengan yang terjadi pada sampel GdBa2Cu3O7-δ,
akan tetapi terdapat perbedaan pada suhu pembentukan dari kedua senyawa tersebut.
Penurunan berat pada sampel NdBa2Cu3O7-δ sudah tidak terdeteksi di atas suhu 600oC,
sedangkan pada sampel GdBa2Cu3O7-δ tidak terdeteksi penurunan berat sampel pada
suhu di atas 650oC.
34
dengan harapan fasa impuritas dapat diminimalisir. Karena terdapat perbedaan suhu
pembentukan fasa NdBa2Cu3O7-δ (600oC) dan fasa GdBa2Cu3O7-δ (650oC), maka pada
penelitian ini dilakukan re-kalsinasi (Trc) dengan suhu yang bervariasi untuk
memperoleh suhu optimal dalam menghasilkan sampel dengan kemurnian tinggi.
Proses re-kalsinasi dilakukan pada suhu yang berbeda untuk masing-masing
sampel yaitu :
a. sampel NdBa2Cu3O7-δ dikalsinasi pada suhu 600oC selama tiga jam dan re-kalsinasi
pada suhu 650, 700, 750, 800, 850, 900, 920, 940, 960 dan 970oC selama satu jam.
b. sampel NdxY1-xBa2Cu3O7-δ (x=0-1) dikalsinasi pada suhu 600oC selama tiga jam
dan re-kalsinasi pada suhu 970oC selama sepuluh jam.
c. sampel REBa2Cu3O7-δ (RE= Nd, Eu, Gd) dengan satu, dua dan tiga kombinasi RE
dikalsinasi pada suhu 600oC selama tiga jam dan re-kalsinasi pada suhu 970oC
selama sepuluh jam.
3.4. Karakterisasi
Sampel yang telah berhasil dibuat, diuji dan dilakukan karakterisasi XRD, SEM
dan TEM.
a. Karakterisasi X-ray diffraction (XRD) untuk mengetahui tingkat keberhasilan
terbentuknya fasa kristal yang diharapkan dan mengetahui perubahan pola
difraktogramnya. Peralatan X-ray diffractometer menggunakan Philips Type Expert,
CuKα, dengan panjang gelombang 1,54056 (K-α1) dan 1,54439 (K-α2), diukur
pada sudut 2θ dari 10 sampai 90o dengan peningkatan sudut 0,02o.
b. Karakterisasi scanning electron microscopy (SEM) untuk mengetahui morfologi
(bentuk, posisi dan ukuran butiran grain) sampel dalam skala mikrometer.
c. Karakterisasi transmission electron microscopy (TEM) untuk mengetahui morfologi
(bentuk, posisi dan ukuran butiran grain) sampel dalam skala nanometer.
35
memastikan fasa yang terbentuk, maka dilakukan analisis difraktogram, yaitu proses
pencocokan puncak difraksi dengan mengacu pada referensi database puncak, PDF
(powder diffraction file) menggunakan program Match. Proses pencocokan puncak
difraksi fasa Nd-123 untuk sampel dengan suhu kalsinasi 600oC ditunjukkan pada
Gambar 3.4.
600
500
400
Intensitas (a.u.)
300
200
100
10 20 30 40 50 60
2θ (derajat)
Gambar 3.4. P ola difraksi sinar-X (CuKα radiation) senyawa Nd-123 dengan proses
mixing selama 30 menit dan suhu kalsinasi 600oC selama 3 jam. Ket :
(a.u.) = arbitrary unit. Simbol : ▲ ( Ba(NO3)2), ■ (CuO), ● (Nd2CuO4),
♥ (BaCO3), □ (BaNd2O4), ∆ (BaCuO2), ☺ (Nd2O3),
* ((Nd0,925Ba0,075)2CuO4-x)
36
(Barium Copper Neodymium Oxide), struktur kristal ortorombik dan PDF nomor 046-
0229 (E. Antipov 1994) dengan komposisi kimia NdBa2Cu3O6.88, struktur kristal
ortorombik dan grup ruang Pmmm.
Dari hasil pencocokan pola difraksi, juga terdeteksi fasa impuritas berupa
BaCO3, BaNd2O4, Nd2BaCuO5, Nd2CuO4 dan BaCuO2 untuk sampel Nd-123 pada
sudut 2θ dari 22 sampai 31o, seperti terlihat pada Gambar 3.6. Sedangkan pada sudut 2θ
dari 32 sampai 60o, terdeteksi fasa impuritas berupa BaCO3, Nd2CuO4 dan CuO yang
diperlihatkan pada Gambar 3.7.
Pencocokan puncak difraksi untuk puncak impuritas BaCO3 (Barium Carbonat)
(Gambar 3.5, 3.6, 3.7) mengacu pada referensi PDF 045-1471 (A. Kern 1993) yang
mempunyai sistem ortorombik. grup ruang Pnma (62) dan parameter kisi a (6,433 ), b
(5,315 ), c (8,904 ). Pencocokan puncak difraksi untuk puncak impuritas CuNd2O4
mengacu pada referensi PDF 039-1390 (N. Wong 1988) yang mempunyai sistem
tetragonal, grup ruang I4/mmm (139) dan parameter kisi a (3,944 ), c (12,169 ).
Untuk puncak impuritas BaCuO2 mengacu pada PDF 038-1402 (N. Wong 1987) yang
mempunyai sistem kubik, grup ruang Im3m (229) dan parameter kisi 18.2932 .
Pencocokan impuritas BaNd2O4 mengacu pada PDF 042-1499 (N. Wong 1991), sistem
ortorombik, grup ruang Pnam(62) dan parameter kisi a (10,585 ), b ( 12.45 ), c
(3,6039 ). Sedangkan pencocokan impuritas Nd2BaCuO5 mengacu pada PDF 042-
0497 dengan sistem tetragonal, grup ruang P4/mbm (127) dan parameter kisi a (6,6977
), b (5,8209 ).
37
οο
ο
ο ο ο ο ο ο ο
ο
o
900 C
850oC
Intensitas (a.u.)
800oC
750oC
700oC
650oC
10 20 30 40 50 60 70 80 90
2θ (derajat)
Gambar 3.5. Pola difraksi sinar-X (CuKα radiation) sampel Nd-123 yang disintesis
melalui proses mixing selama 30 menit dan variasi suhu re-kalsinasi
selama 1 jam. Ket: (a..u.) = arbitrary unit. Simbol : ο (Nd-123)
38
900oC
850oC
Intensitas (a.u.)
800oC
750oC
700oC
ο
650oC
22 24 26 28 30
2θ (derajat)
Gambar 3.6. Fasa impuritas pada sampel Nd-123 yang disintesis melalui proses mixing
selama 30 menit dan variasi suhu re-kalsinasi selama 1 jam pada sudut 2θ
dari 22 sampai 31o. Ket: (a.u.) = arbitrary unit. Simbol : ο (Nd-123), ♥
(BaCO3), ∆ (BaCuO2), □ (BaNd2O4), ◊ (Nd2BaCuO5), ● (Nd2CuO4)
900oC
Intensitas (a.u.)
850oC
800oC
750oC
ο ο 700oC
ο ο ο
650oC
35 40 45 50 55 60
2θ (derajat)
Gambar 3.7. Fasa impuritas pada sampel Nd-123 yang disintesis melalui proses mixing
selama 30 menit dan variasi suhu re-kalsinasi selama 1 jam pada sudut 2θ
dari 32 sampai 60o. Ket: (a.u.) = arbitrary unit. Simbol : ο (Nd-123), ♥
(BaCO3), ■ (CuO), ● (Nd2CuO4)
39
Secara umum pola difraksi sinar-X yang dihasilkan oleh masing-masing sampel
dengan suhu re-kalsinasi dari 650 sampai 900oC hampir sama, yang mengindikasikan
bahwa pembentukan kristal Nd-123 mulai terjadi pada Trc di atas 650oC. Pengamatan
lebih lanjut memperlihatkan bahwa intensitas puncak fasa Nd-123 semakin besar
dengan penambahan suhu re-kalsinasi (Gambar 3.5), dimana intensitas puncak terendah
sekitar 953 cps terdeteksi pada sampel Nd-123 dengan suhu re-kalsinasi 650oC,
sedangkan intensitas puncak tertinggi sekitar 980 cps terdeteksi pada sampel Nd-123
dengan suhu re-kalsinasi 900oC. Penambahan suhu re-kalsinasi dari 650 sampai 900oC
dapat meningkatkan intensitas fasa Nd-123 dan sekaligus menurunkan intensitas fasa
impuritas BaCO3, Nd2CuO4, Nd2BaO4, serta meningkatkan intensitas fasa impuritas
BaCuO2, seperti terlihat pada Gambar 3.5, 3.6 dan 3,7. Fasa impuritas Nd2BaCuO5
tidak muncul pada suhu 650 sampai 750oC, tetapi terdeteksi pada suhu 800oC dengan
intensitas cukup tinggi, kemudian menurun sejalan dengan peningkatan suhu re-
kalsinasi.
Untuk mengetahui prosentase fasa Nd-123 yang terdapat dalam sampel, maka
dilakukan perhitungan harga fraksi berat. Fraksi berat (FB) Nd-123 dan fasa-fasa
impuritas diperoleh dari hasil refinement menggunakan program Rietica. Proses
refinement dilakukan pada background, sample displacement, faktor skala, parameter
pelebaran puncak dan ukuran kristal. Sedangkan untuk parameter kisi, tidak semua
sampel di refine karena beberapa refinement akan menjadi unstable. Dengan
pertimbangan bahwa tujuan refinement ini adalah untuk menghitung prosentase berat
(bukan menghitung parameter kisi), maka parameter-parameter yang mengakibatkan
unstable tidak di refine. Hasil perhitungan fraksi berat diperlihatkan pada Tabel 3.2.
Dari tabel terlihat bahwa penambahan suhu re-kalsinasi dari 650 sampai 900oC mampu
meningkatkan harga fraksi berat fasa Nd-123 dari 84,3 sampai 92,4 % dan fasa BaCuO2
dari 0.4 s ampai 4,2 %. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan kristal Nd-
123 dan impuritas BaCuO2 semakin meningkat dengan bertambahnya energi panas
yang diberikan. Penambahan suhu re-kalsinasi juga dapat menurunkan harga fraksi
berat fasa impuritas BaCO3, CuO, Nd2CuO4 seperti diperlihatkan pada Tabel 3.2.
40
Tabel 3.2. Nilai prosentase fraksi berat fasa NdBa2Cu3O7-δ dan fasa impuritas pada
suhu re-kalsinasi 650-900oC
41
memperbesar nilai rapat arus kritis bahan. Fasa Y-211 yang merupakan fasa kedua
mempunyai struktur kristal yang sama dengan fasa mayor Y-123 yaitu struktur
ortorombik dengan valensi Cu berkisar antara Cu2+ dan Cu3+, oleh karena itu fasa Y-
211 tidak bersifat superkonduktor, melainkan isolator. Fasa Y-211 yang juga disebut
sebagai fasa hijau tidak hanya berfungsi sebagai pusat flux pinning dan meningkatkan
nilai rapat arus kritis (Jc), akan tetapi interaksi antara fasa Y-211 dan Y-123 mampu
menghasilkan rerata ukuran kristal yang lebih homogen (M.R. Koblischka 2003).
Begitu pentingnya kehadiran fasa Y-211 dalam meningkatkan nilai rapat arus kritis dan
homogenitas, maka beberapa peneliti telah melakukan sintesis superkonduktor sistem
Y-123 dengan penambahan senyawa Y-211 (M.R. Koblischka 2003; S. Y. Chen 2008).
Fasa Y-211 harus mempunyai ukuran partikel yang homogen dan terdistribusi
secara merata dalam sampel, agar dapat berfungsi sebagai pusat pinning. Secara teori,
sebenarnya fasa Y-211 terbentuk melalui reaksi peritektik. Kalau dilihat dari diagram
fasa pembentukan superkonduktor Y-123, fasa Y-211 muncul pada proses sintesis
melalui proses pelelehan pada suhu di atas 1010oC, dengan reaksi kimia :
Y2O3 + L (BaO + CuO) Y2BaCuO5 (3-2)
Kemudian pada saat pendinginan sekitar suhu 1010oC, fasa Y-211 bereaksi dengan fasa
liquid (cairan) untuk membentuk fasa Y-123 dengan reaksi kimia :
Y2BaCuO5 + L (3BaCuO2 + 2CuO) YBa2Cu3O7-∂. (3-3)
Diagram fasa pembentukan superkonduktor Y-123 diperlihatkan pada Gambar 3.8.
Karena keberadaan fasa impuritas masih terdeteksi dalam sampel dengan suhu
re-kalsinasi 900oC, seperti diperlihatkan pada Tabel 3.2 yaitu fasa BaCO3 dengan fraksi
berat (FB) 2,0 %, BaCuO2 dengan FB 4,2 %, CuO dengan FB 0,1 %, fasa Nd2BaCuO5
dengan FB 0,2 % dan fasa Nd2BaO4 dengan FB 1,1 % , maka penambahan suhu re-
kalsinasi masih perlu dilakukan untuk menurunkan intensitas fasa impuritas tersebut
(sub bab 3.5.2).
42
Y200 + L L
T = 1035oC
Y-211 + L
Tp = 1010oC
Y-123 + L
Y-123 + Y-211
43
dengan unsur RE tunggal. Pencocokan puncak difraksi dilakukan dengan menggunakan
PDF nomor 039-1419 (N. Wong 1987) dengan komposisi kimia EuBa2Cu3O7-δ, grup
ruang Pmmm (47), struktur kristal ortorombik dengan parameter kisi a = 3,844 , b =
3,906 dan c = 11,722 . Fasa Gd-123 mengacu pada PDF nomor 039-1417 (N. Wong
1988) dengan komposisi kimia GdBa2Cu3O7-δ, grup ruang Pmmm (47), struktur kristal
ortorombik dengan parameter kisi a (3,844 ), b (3,906 ) dan c (11,722 ). Sedangkan
fasa Nd-123 mengacu pada PDF nomor 046-0229 (E. Antipov 1994) dengan komposisi
kimia NdBa2Cu3O7-δ, grup ruang Pmmm (47), struktur kristal ortorombik dengan
parameter kisi a (3,879 ) b (3,916 ) dan c (11,765 ).
ο
ο
ο
ο ο ο
970 Co
ο ο ο ο οο ο
ο
Intensitas (a.u.)
960oC
940oC
920oC
10 20 30 40 50 60 70 80 90
2θ (derajat)
Gambar 3.9. Pola difraksi sinar-X (CuKα radiation) sampel NdBa2Cu3O7-δ dengan
variasi suhu re-kalsinasi. Ket: (a.u.) = arbitrary unit. Simbol : ο
(NdBa2Cu3O7-δ)
44
Hasil pencocokan menggunakan program Match, diperoleh bahwa kesesuaian
sudut 2θ antara model dengan data hasil eksperimen sudah baik, akan tetapi terdapat
perbedaan tinggi intensitas pada beberapa puncak. Secara umum intensitas puncak yang
diperoleh dari hasil eksperimen lebih tinggi dibandingkan intensitas puncak model.
ο
ο
ο
o
οο ο ο
ο οο ο ο ο οο ο ο
970 C
ο
960oC
Intensitas (a.u.)
940oC
920oC
10 20 30 40 50 60 70 80 90
2θ (derajat)
45
ο
ο
970oC ο
ο ο οο ο οο ο
ο ο ο
960oC
Intensitas (a.u.)
940oC
920oC
10 20 30 40 50 60 70 80 90
2θ (derajat)
Sama seperti hasil yang diperoleh pada sampel Nd-123 dengan Trc pada 900oC,
maka pada sampel REBa2Cu3O7-δ (RE = Nd, Eu, Gd) dengan Trc dari 920 sampai
970oC juga terdeteksi adanya fasa impuritas dengan intensitas yang kecil, terutama
pada daerah sudut 2θ antara 22 dan 30o. Fasa impuritas yang terdeteksi adalah BaCuO2
(PDF nomor 038-1402) dan BaNd2O4 (PDF nomor 042-1499).
Pola penurunan fasa impuritas BaCuO2 dan BaNd2O4 untuk sampel Nd-123,
Nd0,5Gd0,5-123 dan Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ masing-masing diperlihatkan pada
Gambar 3.12, 3.13 dan 3.14.
46
970oC
Intensitas (a.u.)
960oC
940oC
920oC
22 24 26 28 30
2θ (derajat)
Gambar 3.12. Fasa impuritas pada sampel Nd-123 pada sudut 2θ dari 20 sampai 32o.
Ket: (a.u.) = arbitrary unit. Simbol : ο (Nd-123), ∆ (BaCuO2), □
(BaNd2O4)
970oC
Intensitas (a.u.)
960oC
940oC
920oC
22 24 26 28 30
2θ (derajat)
Gambar 3.13. F asa impuritas pada sampel Nd0,5Gd0,5-123 pada sudut 2θ dari 20
sampai 32o. Ket: (a.u.) = arbitrary unit. Simbol : ο (Nd0,5Gd0,5-123), ∆
(BaCuO2), □ (BaNd2O4)
47
970oC
Intensitas (a.u.)
960oC
940oC
920oC
22 24 26 28 30
2θ (derajat)
Hasil perhitungan fraksi berat untuk sampel NdBa2Cu3O7-δ dengan suhu re-
kalsinasi dari 920 sampai 970oC diperlihatkan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Nilai prosentase fraksi berat fasa NdBa2Cu3O7-δ dan fasa impuritas BaCuO2
pada suhu re-kalsinasi dari 920 sampai 970oC
48
Dari pola difraksi sinar-X pada masing-masing gambar terlihat bahwa fasa
impuritas dengan intensitas paling tinggi muncul pada semua sampel dengan suhu re-
kalsinasi 920oC. Semakin tinggi suhu re-kalsinasi, intensitas fasa impuritas semakin
kecil, dan hampir tidak terlihat pada suhu 970oC. Penurunan intensitas fasa impuritas
diikuti dengan pertumbuhan fasa (100) sekitar sudut 22,5o. Seperti yang telah dibahas
pada sub bab sebelumnya, kemunculan fasa impuritas berupa senyawa BaCO3 dan CuO
masih cukup tinggi. Seperti diketahui bahwa senyawa BaCO3 sangat sulit untuk
terdekomposisi, dan pada suhu tinggi senyawa tersebut mudah untuk memadat sebelum
terjadinya proses sinter (T. Nevriva 1989). Akan tetapi pada eksperimen ini BaCO3
mampu terdekomposisi dengan cepat dengan penambahan suhu sinter dari 650 sampai
970oC. Hal tersebut dimungkinkan karena proses sintesis dengan wet-mixing method
mampu membentuk senyawa BaCO3 dalam ukuran kecil, sehingga apabila diberi
perlakuan pemanasan dengan cepat mampu terdekomposisi. Hilangnya impuritas
BaCO3 dan CuO pada suhu antara 920 sampai 970oC dibarengi dengan pertumbuhan
fasa BaCuO2. Reaksi kimia BaCO3 menjadi BaCuO2 diperlihatkan pada persamaan
reaksi (A. Bourdillon 1994)
BaCO3(s) + CuO(s) CO2(g) + BaCuO2(s) (3-4)
Tabel 3.3 masih memperlihatkan fasa impuritas berupa BaCuO2 dan BaNd2O4
dengan prosentase fraksi berat semakin menurun dengan meningkatnya suhu re-
kalsinasi dari 920 s ampai 970oC. Sampel Nd-123 pada suhu 900oC (sub bab 3.5.2)
mempunyai fraksi berat sebesar 92,4 % (Tabel 3.2), bertambah menjadi 94,2 % pada
suhu 920oC. Harga fraksi berat tersebut semakin bertambah dengan penambahan re-
kalsinasi sampai suhu 970oC seperti terlihat pada Tabel 3.3. Sisa impuritas yang
terdeteksi mempunyai fraksi berat yang sangat kecil yaitu 2,5 % untuk senyawa
BaCuO2 dan 1,6 % untuk senyawa BaNdO4. Senyawa-senyawa tersebut akan
membentuk NdBa2Cu3O7-δ pada suhu yang lebih tinggi melalui proses pelelehan
sebagian (partial melting) atau pelelehan (melting) sehingga diperoleh sampel dengan
fasa tunggal. Akan tetapi pada penelitian ini tidak dilakukan proses sintesis
menggunakan metode pelelehan, karena sampel dengan fraksi berat di atas 95 % sudah
cukup untuk dilakukan analisis struktur.
49
3.5.3. Pola difraksi sinar-X superkonduktor NdxY1-xBa2Cu3O7-δ
Mengacu dari hasil yang diperoleh pada sintesis Nd-123 (sub bab 3.5.2),
dimana fraksi berat terbesar diperoleh pada suhu re-kalsinasi 970oC, maka proses
sintesis untuk sampel NdxY1-xBa2Cu3O7-δ dilakukan pada suhu tersebut selama sepuluh
jam. Gambar 3.15 memperlihatkan hasil karakterisasi XRD semua sampel YBCO yang
disubstitusi dengan unsur Nd pada komposisi kimia NdxY1-xBa2Cu3O7-δ dengan variasi
x dari 0 sampai 1 (x = 0, 0,25, 0,5, 0,75, 1).
ο
ο
ο
Nd-123 ο ο ο ο οο ο
ο ο ο ο
Nd0.75Y0.25-123
Intensitas (a.u.)
Nd0.5Y0.5-123
Nd0.25Y0.75-123
Y-123
10 20 30 40 50 60 70 80 90
2θ (derajat)
Gambar 3.15. Pola difraksi sinar-X (CuKα radiation) sampel NdxY1-x-123 (x=0, 0,25,
0,5, 0,75, 1). Ket: (a.u.) = arbitrary unit. Simbol : ο (NdxY1-x-123)
50
Secara umum setiap sampel memperlihatkan puncak tajam yang
mengindikasikan bahwa sampel sudah mengkristal dengan baik, walaupun di beberapa
sudut masih memperlihatkan adanya penumpukan (overlapping) maupun puncak yang
belum terpisah secara sempurna. Pola difraksi sinar-X hampir sama untuk semua
sampel, baik posisi sudut 2θ, maupun intensitasnya. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa komposisi kimia dari campuran senyawa awal sudah sesuai dengan komposisi
kimia yang diharapkan.
Untuk mengamati fasa-fasa yang terkandung dalam sampel superkonduktor
dilakukan proses pencocokan puncak difraksi dengan mengacu pada referensi database
puncak menggunakan program Match dan perhitungan fraksi berat menggunakan
program Rietica. Kasus yang sama pada sub bab 3.5.2, ba hwa pencocokan agak sulit
dilakukan karena belum tersedianya referensi PDF untuk sampel yang sesuai dengan
komposisi awal bahan yang disintesis pada penelitian ini. Oleh karena itu proses
pencocokan dilakukan dengan mengacu pada dua PDF, yaitu untuk sistem Nd-123 dan
Y-123. Untuk sistem Y-123 pencocokan mengacu pada PDF dengan nomor 039-0486
(N. Wong 1987) yang mempunyai struktur kristal ortorombik, grup ruang Pmmm (47),
dengan parameter kisi a (3,8214 ), b ( 3,8877 ) dan c (11,693 ), sedangkan PDF
nomor 046-0229 (E. Antipov 1994) diacu untuk sistem Nd-123. Difraktogram yang
diperoleh memperlihatkan puncak-puncak yang sesuai dengan karakteristik
superkonduktor NdxY1-xBa2Cu3O7-δ, yang ditandai dengan munculnya puncak dengan
indeks Miller (003), (013), (110), (103), (005), (113), (006), (201), (116), (213), (018),
(224), (131) dan (305). Intensitas tertinggi muncul pada puncak dengan indeks Miller
(110) dan (103), de ngan intensitas 2115 c ps pada sampel YBa2Cu3O7-δ. Secara
keseluruhan fasa NdY-123 dengan struktur ortorombik dan grup ruang Pmmm telah
mendominasi puncak-puncak difraktogram. Pada daerah 2θ antara 21 – 31o masih
terdeteksi kemunculan fasa impuritas berupa fasa BaCuO2 dan fasa BaNd2O4 dengan
intensitas kecil.
51
Nd-123
Nd0.5Y0.5-123
Nd0.25Y0.75-123
Y-123
22 24 26 28 30
2θ (derajat)
Gambar 3.16. Fasa impuritas pada sampel NdxY1-x-123 pada sudut 2θ dari 22 sampai
31o. Ket: (a.u.) = arbitrary unit. Simbol : ο (NdxY1-x-123), ∆ (BaCuO2),
□ (BaNd2O4)
Tabel 3.4. Nilai prosentase fraksi berat fasa NdxY1-x-123 dan fasa impuritas pada suhu
re-kalsinasi 970oC
52
Pola difraksi sinar-X untuk sampel NdxY1-x-123 pada sudut 2θ dari 21 sampai
31o diperlihatkan pada Gambar 3.16 sedangkan harga fraksi berat fasa NdxY1-x-123
serta fasa impuritas diperlihatkan pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4 memperlihatkan hasil yang hampir sama dengan penelitian pada sub
bab 3.5, di mana sintesis sampel dengan suhu re-kalsinasi 970oC ternyata masih
menyisakan fasa impuritas berupa BaCuO2 dengan fraksi berat dari 1,9 sampai 2,2 %
dan BaNd2O4 atau BaY2O4 dengan fraksi berat dari 0,8 sampai 1,3 %.
53
Nd0.33Eu0.33Gd0.33 - 123 οο ο
ο οο ο οο ο
ο ο ο ο
Eu0.5Gd0.5 - 123
Nd0.5Gd0.5 - 123
Intensitas (a.u.)
Nd0.5Eu0.5 - 123
Gd - 123
Eu - 123
Nd-123
10 20 30 40 50 60 70 80 90
2 θ (derajat)
Gambar 3.17. Pola difraksi sinar-X (CuKα radiation) sampel RE-123 dengan satu, dua
dan tiga kombinasi RE. Ket: (a.u.) = arbitrary unit. Simbol : ο (RE-123)
Pola difraksi sinar-X untuk sampel RE-123 dengan variasi unsur tanah jarang
pada sudut 2θ dari 21 sampai 31o diperlihatkan pada Gambar 3.18 dan harga fraksi
berat fasa RE-123 serta fasa impuritas diperlihatkan pada Tabel 3.5.
54
Nd0.33Eu0.33Gd0.33-123
Eu0.5Gd0.5-123
Nd0.5Gd0.5-123
Intensitas (a.u.)
Nd0.5Eu0.5-123
Gd-123
Eu-123
Nd-123
22 24 26 28 30
2θ (derajat)
Gambar 3.18. Fasa impuritas pada sampel RE-123 di daerah sudut antara 22 dan 31o.
Ket: (a.u.) = arbitrary unit. Simbol : ο (RE-123), ∆ (BaCuO2), □
(BaNd2O4)
Tabel 3.5. Nilai prosentase fraksi berat fasa RE-123 dengan variasi unsur tanah jarang
dan fasa impuritas pada suhu re-kalsinasi 970oC
(RE=Nd,Eu,Gd)
55
Secara umum, perhitungan hasil fraksi berat untuk sampel RE-123 (RE=Nd, Eu,
Gd) dengan suhu re-kalsinasi 970oC adalah sangat tinggi, yaitu antara 97,5 dan 99,1 %.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa suhu 970oC merupakan suhu optimal
pembentukan kristal RE-123 dengan wet-mixing method dan asam nitrat (HNO3)
sebagai digest agent. Kalau dibandingkan dengan proses sintesis menggunakan metode
solid state reaction untuk bahan yang sama dan dengan suhu pemanasan pada 1050oC
selama 20 jam yang dianil dengan aliran O2 (W.G. Suharta 2007), maka proses sintesis
dengan wet-mixing method menghasilkan sampel RE-123 yang lebih baik. Hal tersebut
dapat dilihat dari fraksi berat yang dihasilkan dengan metode solid state reaction
sebesar 88 %, sedangkan dengan wet-mixing method mempunyai harga fraksi berat di
atas 97 %.
56
indeks Miller (110) dengan posisi 2θ sekitar 32.6o dan puncak (116) dengan posisi 2 θ
sekitar 57,8 o. Intensitas yang terdeteksi pada puncak (110) adalah 1399, 1568, 1650
dan 1820 cps, masing-masing pada suhu 750, 800, 850, dan 900oC. Sedangkan
intensitas yang terdeteksi pada puncak (116) adalah 529, 571, 640 dan 690 cps, masing-
masing pada suhu 750, 800, 850 dan 900oC.
ο
ο
ο
900oC
ο ο ο ο ο
ο
Intensitas (a.u.)
850oC
800oC
750oC
10 20 30 40 50 60 70 80 90
2θ (derajat)
57
900oC
Intensitas (a.u.)
850oC
800oC
750oC
22 24 26 28 30
2θ (derajat)
Peningkatan intensitas puncak, baik pada puncak dengan indeks Miller (110),
(103), (123), (116) dan (213) dipengaruhi oleh tingkat kristalisasi bahan. Dalam
kristalografi, peningkatan intensitas puncak berhubungan dengan peningkatan
kristalisasi atau jumlah kristalit yang terbentuk. Semakin banyak kristalit yang
terbentuk, maka intensitas puncak semakin tinggi.
Hasil pencocokan puncak difraksi untuk sampel Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ
dengan perlakuan mixing selama 24 jam dan suhu re-kalsinasi 750, 800, 850 dan 900oC
selama 30 menit memperlihatkan struktur ortorombik. Perbandingan dengan sampel
sebelumnya, memperlihatkan perbedaan dimana pembentukan struktur ortorombik pada
sampel Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ dengan perlakuan mixing selama 24 jam sudah
memperlihatkan intensitas cukup tinggi pada suhu 750oC, sedangkan pada sampel Nd-
123 dengan perlakuan mixing selama 30 menit, struktur ortorombik mulai terbentuk
pada suhu di atas 750oC. Hal tersebut mengindikasikan bahwa perlakuan mixing akan
menentukan ukuran butiran awal, dimana semakin kecil ukuran butiran awal maka akan
mempermudah terjadinya ikatan antar ion dalam membentuk senyawa yang diinginkan.
58
Sama seperti hasil yang diperoleh pada sampel Nd-123, sampel
Nd0,33Eu0,33Gd0,33-123 juga memperlihatkan adanya fasa impuritas, terutama pada
daerah sudut 2θ antara 22 dan 31o. Fasa-fasa impuritas yang terdeteksi adalah BaCO3,
BaNd2O4 dan BaCuO2.
Peningkatan suhu re-kalsinasi mengakibatkan intensitas fasa impuritas BaCO3
menurun, sejalan dengan peningkatan intensitas fasa BaCuO2. Hal tersebut
dimungkinkan karena perlakuan mixing selama 24 j am mampu membentuk senyawa
BaCO3 dalam ukuran kecil, sehingga apabila diberi perlakuan pemanasan dengan cepat
mampu terdekomposisi.
3.6. Morfologi
3.6.1. Morfologi sampel NdBa2Cu3O7-δ
Pengamatan morfologi dengan transmission electron microscopy (TEM) dari
sampel Nd-123 dengan perlakuan mixing selama 30 menit dan Trc pada 700, 750, 800
dan 900oC selama satu jam diperlihatkan pada Gambar 3.21. Dari Gambar terlihat
bahwa ukuran partikel pada sampel dengan suhu re-kalsinasi 700 dan 750oC berada
dalam skala 100 nm, sedangkan ukuran partikel pada sampel dengan suhu re-kalsinasi
800 dan 900oC berada dalam skala 500 nm. Dari hasil perhitungan diperoleh ukuran
partikel untuk sampel dengan suhu re-kalsinasi 700 dan 750oC berkisar antara 100-160
nm. Secara umum bentuk partikel Nd-123 pada suhu sinter 700-900oC berbentuk
batangan (rod shape). Hasil perhitungan ukuran partikel menggunakan persamaan
Scherrer umumnya lebih kecil dibandingkan perhitungan ukuran partikel hasil
karakterisasi TEM. Hal tersebut dapat dipahami, karena perhitungan Scherrer
mengambil rata-rata ukuran partikel dari semua partikel dalam sampel, sedangkan hasil
TEM hanya mengambil bagian kecil dari keseluruhan sampel. Ukuran partikel menjadi
semakin besar dengan peningkatan suhu re-kalsinasi. Membesarnya ukuran partikel
terjadi akibat energi panas yang diterima atom digunakan untuk melakukan gerak
vibrasi, rotasi dan dilatasi. Gerakan atom tersebut memungkinkan untuk terjadinya
regangan (strain), yang menyebabkan parameter kisi bertambah panjang dengan
volume sel semakin meningkat dan ukuran partikel juga bertambah besar, yang
mengindikasikan bahwa sudah mulai terjadi aglomerasi partikel.
59
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 3.21. Morfologi TEM sampel Nd-123 dengan suhu re-kalsinasi : (a) 700oC,
(b) 750oC, (c) 800oC dan (d) 900oC
60
3.6.2. Morfologi sampel RE-123 pada Trc = 920-970oC
Morfologi hasil karakterisasi SEM untuk sampel NdBa2Cu3O7-δ dengan suhu re-
kalsinasi 920, 940 dan 970oC selama satu jam diperlihatkan pada Gambar 3.22 dalam
skala 1 μm. Gambar SEM memperlihatkan ukuran partikel yang homogen dan
terdistribusi dalam sampel dengan bentuk yang menggambarkan karakteristik fasa Nd-
123 yaitu berbentuk batangan.
a b
1μm 1μm
1μm
Gambar 3.22. Morfologi SEM sampel NdBa2Cu3O7-δ dengan suhu re-kalsinasi : (a)
920oC, (b) 940oC, (c) 970oC
61
Kalau dibandingkan dengan hasil penelitian Caixuan Xu (C. Xu 2005) yang
menggunakan ball-milling dalam proses pencampurannya, homogenitas ukuran partikel
sampel NdBa2Cu3O7-δ dengan suhu re-kalsinasi pada 920, 940 dan 970oC pada
penelitian ini lebih baik. Sehingga dapat dikatakan bahwa proses sintesis dengan
menggunakan wet-mixing method sangat efektif untuk menghasilkan ukuran partikel
yang homogen.
62
a b
3 μm 3 μm
c d
3 μm 3 μm
3 μm
63
3.6.4. Morfologi sampel Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ
Sampel Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ telah disintesis dengan perlakuan mixing
selama 24 jam dan suhu re-kalsinasi pada 700, 750, 800 dan 900oC. Untuk mengamati
morfologi (bentuk, posisi dan ukuran partikel) sampel dalam skala nano dilakukan
karakterisasi transmission electron microscopy (TEM). Hasil karakterisasi TEM sampel
Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ (750, 800 dan 900oC) diperlihatkan pada Gambar 3.24.
Morfologi sampel Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ memperlihatkan distribusi partikel
yang homogen dengan rerata ukuran partikel antara 20-30 nm. Sedangkan morfologi
sampel Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ mempunyai ukuran partikel antara 30-350 nm
dengan distribusi yang kurang homogen, yang mengindikasikan bahwa sudah mulai
terjadi aglomerasi partikel dengan penambahan suhu re-kalsinasi pada 900oC. Dari
hasil ukuran partikel yang diperoleh pada sampel Nd-123 dan
Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ pada suhu pemanasan yang sama, maka dapat dikatakan
bahwa parameter mixing sangat menentukan dalam menghasilkan partikel dalam skala
nanometer.
64
(a) (b)
(c)
65
BAB 4
STRUKTUR KRISTAL
66
4.1. Pola Difraksi XRD, HRPD dan SRD
Seperti telah dijelaskan pada BAB 2, bahwa neutron dihamburkan oleh inti dan
momen magnetik atom, sedangkan sinar-X dihamburkan oleh elektron. Intensitas sinar-
X umumnya lebih besar dibandingkan intensitas neutron, sehingga karakterisasi XRD
lebih tepat digunakan untuk identifikasi fasa dan perhitungan komposisi fasa.
Sinar-X berinteraksi dengan elektron, dan karena luas awan elektron yang
mengelilingi inti sebanding dengan jarak antar atom, maka faktor bentuk f(Q) menurun
cukup cepat dengan meningkatnya Q. Hal tersebut dapat menimbulkan masalah dalam
eksperimen sinar-X, ketika ada hamburan background seperti hamburan Compton, baik
dari sampel maupun dari lingkungan, karena rasio sinyal terhadap background sangat
berkurang pada sudut tinggi. Sedangkan interaksi neutron dengan inti mempunyai
rentang yang sangat pendek (10-15 m), jauh lebih pendek dibandingkan jarak antar atom
(10-10 m) sehingga panjang hamburan b t idak bergantung pada vektor hamburan Q.
Dengan demikian hasil karakterisasi neutron lebih akurat digunakan untuk analisis
struktur dibandingkan hasil karakterisasi XRD (K. Skold 1986).
Pada penelitian ini dilakukan karakterisasi neutron dengan high resolution
powder diffractometer (HRPD) dan synchrotron-ray diffraction (SRD) untuk analisis
struktur. Sampel yang mengandung unsur Nd dan Y dapat dikarakterisasi dengan
HRPD yaitu sampel NdxY1-xBa2Cu3O7-δ (x = 0, 0,25, 0,50, 0,75, 1). Sedangkan sampel
yang mengandung unsur Eu dan Gd yaitu sampel REBa2Cu3O7-δ dengan satu, dua dan
tiga kombinasi RE (kecuali Nd-123) tidak bisa dikarakterisasi dengan HRPD karena
faktor penyerapan unsur Eu dan Gd terlalu besar, sehingga hanya sebagian kecil
neutron yang dapat dihamburkan. Oleh karena itu, khusus untuk sampel REBa2Cu3O7-δ
(RE = Nd, Eu, Gd) dikarakterisasi dengan SRD yang dilakukan di KEK (Kō Enerugī
Kasokuki Kenkyū Kikō) atau The High Energy Accelerator Research Organization,
Jepang.
67
Pola difraksi sinar-X semua sampel YBCO yang disubstitusi unsur Nd pada
komposisi kimia NdxY1-xBa2Cu3O7-δ (x = 0, 0,25, 0,50, 0,75, 1) pada suhu re-kalsinasi
(Trc) 970oC selama 10 jam diperlihatkan pada Gambar 4.1.
ο
ο
ο
Nd-123 ο ο ο ο οο ο
ο ο ο ο
Nd0.75Y0.25-123
Intensitas (a.u.)
Nd0.5Y0.5-123
Nd0.25Y0.75-123
Y-123
10 20 30 40 50 60 70 80 90
2θ (derajat)
68
Pola difraksi neutron (HRPD) semua sampel YBCO yang disubstitusi dengan
unsur Nd pada komposisi kimia NdxY1-xBa2Cu3O7-δ (x = 0, 0,25, 0,50, 0,75, 1) dengan
Trc 970oC selama 10 jam diperlihatkan pada Gambar 4.2.
Nd-123
Nd0.75Y0.25-123
Intensitas (a.u.)
Nd0.5Y0.5-123
Nd0.25Y0.75-123
Y-123
Gambar 4.2. Pola difraksi neutron (HRPD) dengan panjang gelombang λ = 1,819479
untuk sampel superkonduktor NdxY1-xBa2Cu3O7-δ (x=0, 0,25, 0,5, 0,75, 1)
dengan Trc 970oC selama 10 jam. Ket: (a.u.) = arbitrary unit.
69
Secara umum, puncak-puncak yang dihasilkan dari karakterisasi XRD dan
HRPD memperlihatkan puncak tajam yang menandakan bahwa kristalisasi sudah
terjadi dengan baik. Pola difraksi neutron (HRPD) hampir sama untuk semua sampel,
baik posisi sudut 2θ maupun intensitasnya dan di beberapa sudut masih
memperlihatkan adanya overlapping (puncak yang belum terpisah secara sempurna).
Penambahan unsur Nd pada superkonduktor YBCO menghasilkan pergeseran
sudut puncak difraksi sinar-X dan neutron. Pergeseran sudut puncak difraksi sinar-X
pada sudut 2θ antara 30 dan 35o yang berhubungan dengan substitusi ion Y3+ oleh Nd3+
diperlihatkan pada Gambar 4.3, s edangkan pergeseran sudut puncak difraksi neutron
(HRPD) diperlihatkan pada Gambar 4.4. Pergeseran sudut puncak difraksi sinar-X
maupun neutron bergerak menuju 2θ lebih kecil dengan penambahan jumlah Nd. Hal
ini diakibatkan oleh perbedaan jari-jari ion, dimana jari-jari ion Nd3+ (112,3 pm) lebih
besar dibandingkan jari-jari ion Y3+ (104 pm) (R.D. Shannon 1976). S ecara teori,
diketahui hubungan rumusan Bragg
nλ = 2d sin θ (4-1)
1 h2 k 2 l 2
dan = + + (4-2)
d hkl a2 b2 c2
dengan λ adalah panjang gelombang sinar datang, d adalah jarak antar bidang, θ adalah
sudut antara sinar datang dan bidang hamburan, (hkl) adalah indeks Miller dan (a, b, c)
adalah besaran sel satuan ke arah sumbu x, y dan z. Jari-jari ion atau atom yang
membentuk satu sel satuan akan mempengaruhi besaran sel satuan a, b dan c. Semakin
kecil jari-jari atom maka besaran sel satuan juga semakin kecil dan dari hubungan
rumusan Bragg mengakibatkan nilai θ menjadi semakin besar. Urutan pergeseran
puncak difraksi dari 2θ paling kecil menuju 2θ paling besar yaitu Nd-123, Nd0,25Y0,75-
123, Nd0,5Y0,5-123, Nd0,75Y0,25-123, Y-123. Hal yang sama terjadi pada urutan
pergeseran puncak difraksi neutron. Dari Gambar 4.3 da n 4.4 t erlihat bahwa puncak
difraksi sinar-X lebih halus (smooth) dibandingkan puncak difraksi neutron. Difraksi
sinar-X sudah memperlihatkan pemisahan antara puncak dengan indeks Miller (013)
dan (103) yang terletak pada sudut 2θ antara 30 dan 35o, sedangkan untuk difraksi
neutron, puncak dengan indeks Miller (013) dan (103) yang terletak pada sudut 2θ
antara 37 dan 42o masih terlihat tumpang tindih (overlapping).
70
(103)
(013)
Nd-123
Nd0.75Y0.25-123
Intensitas (a.u.)
Nd0.5Y0.5-123
Nd0.25Y0.75-123
Y-123
30 31 32 33 34 35
2θ (derajat)
Gambar 4.3. Pergeseran sudut puncak difraksi sinar-X dengan indeks Miller (013) dan
(103) hasil krakterisasi XRD (Gambar 4.1). Ket: (a.u.) = arbitrary unit.
(103)
(013)
Nd-123
Intensitas (a.u.)
Nd0.75Y0.25-123
Nd0.5Y0.5-123
Nd0.25Y0.75-123
Y-123
37 38 39 40 41 42
2θ (derajat)
Gambar 4.4. Pergeseran sudut puncak difraksi neutron dengan indeks Miller (013) dan
(103) hasil karakterisasi HRPD (Gambar 4.2). Ket: (a.u.) = arbitrary unit.
71
Pola difraksi sinar-X (XRD) dan sinkroton (SRD) untuk semua sampel
REBa2Cu3O7-δ (RE-123) dengan satu, dua, tiga kombinasi RE, masing-masing
diperlihatkan pada Gambar 4.5 d an 4.6. Pola difraktogram XRD maupun SRD
memperlihatkan puncak tajam yang menandakan sampel sudah mengkristal dengan
baik. Khusus untuk SRD, intensitas puncak yang dihasilkan masing-masing sampel
beragam pada sudut yang sama, beberapa puncak mempunyai intensitas sama pada
posisi sudut 2θ tertentu, di sisi lain beberapa puncak pada posisi sudut 2θ yang sama
mempunyai intensitas berbeda. Perbedaan intensitas yang cukup signifikan terlihat pada
puncak untuk bidang refleksi Bragg (010) pada sudut 2θ sekitar 17,7o dengan intensitas
paling kecil sebesar 83,6 cps pada sampel Nd0,5Gd0,5-123 dan intensitas tertinggi
sebesar 993,5 cps diperoleh pada sampel Nd0,5Eu0,5-123.
Sama dengan kasus yang terjadi pada sampel NdxY1-x-123, kombinasi satu, dua
dan tiga RE pada sampel RE-123 juga menghasilkan pergeseran sudut puncak difraksi
seperti diperlihatkan pada Gambar 4.7 (XRD) dan 4.8 (SRD). Pergeseran sudut puncak
difraksi diakibatkan oleh perbedaan jari-jari ion, dimana jari-jari ion Nd3+ (112.3 pm)
lebih besar dibandingkan jari-jari ion Eu3+ (104 pm) dan Gd3+ (R.D. Shannon 1976).
Dari gambar terlihat pergeseran sudut puncak difraksi bergerak ke posisi 2θ lebih besar
dengan urutan pergeseran sudut dari yang terkecil sampai terbesar yaitu Nd-123,
Nd0,5Eu0,5-123, Nd0,5Gd0,5-123, Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ, Eu-123, Eu0,5Gd0,5-123
and Gd-123. Interpretasi yang sama dengan sampel NxY1-x-123 juga berlaku pada
sampel RE-123 yang mengindikasikan bahwa semakin kecil jari-jari ion, maka
pergeseran sudutnya semakin besar.
Seperti telah dijelaskan pada BAB 3, hasil karakterisasi XRD untuk sampel
NdxY1-xBa2Cu3O7-δ (x = 0, 0,25, 0,5, 0,75, 1) dan sampel REBa2Cu3O7-δ (satu, dua, tiga
kombinasi RE), sudah dimanfaatkan untuk identifikasi fasa dan perhitungan komposisi
fasa. Pada sub bab ini, hasil karakterisasi XRD, HRPD dan SRD dimanfaatkan untuk
analisis kualitatif pada bahan serbuk dengan metode Rietveld menggunakan program
Rietica (B. A. Hunter 1997) dan FullProf (C.J. Rodriguez 2001).
72
Nd0.33Eu0.33Gd0.33 - 123 οο ο
ο οο ο οο
ο ο ο ο ο
Eu0.5Gd0.5 - 123
Nd0.5Gd0.5 - 123
Intensitas (a.u.)
Nd0.5Eu0.5 - 123
Gd - 123
Eu - 123
Nd-123
10 20 30 40 50 60 70 80 90
2 θ (derajat)
Gambar 4.5. Pola XRD (CuKα radiation) sampel R E-123 dengan satu, dua dan tiga
kombinasi RE. Ket: (a.u.) = arbitrary unit.
73
Nd0.33Eu0.33Gd0.33-123
Eu0.5Gd0.5-123
Nd0.5Gd0.5-123
Intensitas (a.u.)
Nd0.5Eu0.5-123
Gd-123
Eu-123
Nd-123
74
(116)
(123)
(213)
Gd-123
Eu0.5Gd0.5-123
Eu-123
Intensitas (a.u.)
Nd0.33Eu0.33Gd0.33-123
Nd0.5Gd0.5-123
Nd0.5Eu0.5-123
Nd-123
56 57 58 59 60 61
2θ (derajat)
Gambar 4.7. Pergeseran puncak dengan indeks Miller (116), (123) dan (213) hasil
karakterisasi XRD untuk sampel R E-123 dengan satu, dua dan tiga
kombinasi RE. Ket: (a.u.) = arbitrary unit.
(116)
(123)
(213)
Gd-123
Eu0.5Gd0.5-123
Intensitas (a.u.)
Eu-123
Nd0.33Eu0.33Gd0.33-123
Nd0.5Gd0.5-123
Nd0.5Eu0.5-123
Nd-123
Gambar 4.8. Pergeseran puncak dengan indeks Miller (116), (123) dan (213) hasil
karakterisasi SRD untuk sampel RE-123 dengan satu, dua dan tiga
kombinasi RE. Ket: (a.u.) = arbitrary unit.
75
4.2. Analisis Rietveld
Analisis Rietveld adalah sebuah metode pencocokan tak linier kurva pola
difraksi terhitung (model) dengan pola difraksi teramati yang didasarkan pada data
struktur kristal dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (least squares) (S.
Pratapa 2002).
Analisa Rietveld tidak lain adalah problema optimasi fungsi non-linier dengan
pembatas (constrains) atau dalam bahasa matematik dinyatakan sebagai
f (x) = ∑ wi [ yi (o) – yi (c)]2 (4-2)
dengan ∑ menunjukkan penjumlahan yang dilakukan terhadap semua titik pada pola
difraksi mulai dari titik ke-i hingga ke-N. Sedangkan wi = 1/yi (o) adalah faktor bobot
(weighting factor), yi (o) adalah intensitas terukur dan yi (c) adalah intensitas terhitung
pada titik data ke-i.
Ukuran yang menunjukkan derajat persesuaian antara profil difraksi hasil
perhitungan dan profil difraksi hasil pengamatan dinyatakan dengan Rwp (weighted
profil factor), Rp (profil factor), Re (expected weighted profil factor), S (goodness-of-
fit), RB (Bragg factor), yang didefinisikan sebagai
Rwp =
{Σw [y (o) − y (c)] }
i i i
2 1/ 2
,
Re =
N−P
{Σw [y (o)] }
i i
2 1/ 2
∑
i
wi y i2
{Σ y (o) − y (c) }
i i
∑ I −I i ic
Rp = , RB = i
{Σyi (o)} ∑I i
i
Rwp
GoF = S = , (4-3)
Re
dengan N adalah jumlah titik data, P adalah jumlah parameter yang terlibat dalam
sebuah penghalusan, Ii dan Iic adalah intensitas-intensitas terpadu terukur dan terhitung
untuk sebuah refleksi Bragg. Harga faktor R yang kecil menunjukkan baiknya
persesuaian antara pola difraksi hasil pengamatan dan pola difraksi hasil perhitungan.
Analisis data difraksi sampel Nd-123 dilakukan dengan asumsi bahwa cuplikan
atau sampel mempunyai sistem kristal ortorombik dengan grup ruang Pmmm No. 47.
76
Proses penghalusan parameter-parameter puncak difraksi telah dilakukan pada
background dengan mode 6-coefficients polynomial function, pendekatan bentuk
puncak Voigt (How. Asym), parameter full width at half maximum (FWHM), faktor
skala, parameter kisi (a, b, c), posisi atom ke arah sumbu z untuk atom Ba, Cu(2), O(1),
O(2) dan O(3). Pada proses penghalusan parameter termal dan semua faktor hunian
(occupancy) pada semua posisi atom dibuat konstan (S. Pratapa 2002).
77
Tabel 4.1. Nilai parameter kisi a, b dan c, faktor reliability (Rp, Rwp, Re, RB, RF) dan
kuadrat goodness-of-fit (S2) untuk sampel Nd-123 dengan suhu re-kalsinasi
970oC selama 10 jam yang merupakan hasil karakterisasi XRD, SRD dan
HRPD menggunakan software FullProf (C.J. Rodriguez 2001)
78
XRD
SRD
HRPD
Gambar 4.9. Pola difrakasi hasil refinement sampel Nd-123 dari hasil karakterisasi
XRD, SRD dan HRPD. Hasil pengamatan, hasil perhitungan, selisih
harga intensitas hasil pengamatan dan hasil perhitungan, posisi sudut
puncak Bragg, masing-masing ditunjukkan warna hitam, warna merah,
warna hijau, warna biru.
79
80
81
82
83
4.4. Parameter Kisi
4.4.1. Sampel NdBa2Cu3O7-δ
Dari hasil penghalusan parameter-parameter pola difraksi pada Tabel 4.2 dapat
dibuat kurva hubungan nilai parameter kisi (a, b, c) terhadap suhu re-kalsinasi (Trc)
untuk sampel NdBa2Cu3O7-δ seperti diperlihatkan pada Gambar 4.10. Kurva
memperlihatkan bahwa nilai parameter kisi ke arah sumbu a menurun, sedangkan nilai
parameter kisi ke arah sumbu b dan c m eningkat dengan penambahan Trc. Apabila
dibandingkan dengan harga parameter kisi pada PDF nomor 046-0229, dimana
konstanta kisi ke arah sumbu a seb esar 3,8799 , b s ebesar 3,9161 dan c seb esar
11,7645 , maka nilai a pada Gambar 4.10 berkurang dari 3,935 pada suhu 650oC
menuju 3,873 pada suhu 970oC. Dan akan semakin berkurang pada Trc lebih tinggi
sampai diperoleh nilai jenuh pada Trc tertentu. Hal yang sama diperoleh pada parameter
kisi ke arah sumbu b dan c. Nilai parameter kisi b bertambah besar dari 3,868 pada
suhu 650oC menuju 3,917 pada suhu 970oC, sedangkan parameter kisi c bertambah
besar dari 11,685 pada suhu 650oC menuju 11,773 pada suhu 970oC. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa pola perubahan parameter kisi terhadap perubahan Trc
mencerminkan evolusi pertumbuhan kristal NdBa2Cu3O7-δ sehingga pada suhu tertentu
(suhu yang lebih tinggi) parameter kisi tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Harga faktor reliability (Rwp, Rp, Re) untuk sampel NdBa2Cu3O7-δ terlihat
bervariasi (Tabel 4.2) sehingga tidak bisa dibuat pola perubahan suhu re-kalsinasi
terhadap harga R. Akan tetapi secara keseluruhan, semua sampel memperlihatkan harga
Rwp, Rp, Re lebih kecil atau sama dengan 20 %. Sedangkan harga kuadrat goodness-of-
fit (S2) menurun dari 3,4 sampai 1,4 dengan penambahan suhu re-kalsinasi dari 650oC
sampai 970oC. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kecocokan antara intensitas
hamburan hasil pengamatan dan intensitas hamburan hasil perhitungan semakin baik
dengan penambahan suhu re-kalsinasi. Harga S2 paling kecil diperoleh pada sampel
Nd-123 yang diberi perlakuan suhu re-kalsinasi pada 970oC yang mengindikasikan
bahwa suhu tersebut merupakan suhu optimal pembentukan kristal Nd-123.
84
3.94
3.93
3.92
3.91
Parameter kisi (Ao)
3.90
3.89
3.88
a
3.87 b
c/3
3.86
650 700 750 800 850 900 950
o
Suhu sinter ( C)
Gambar 4.10. Pola perubahan parameter kisi terhadap penambahan suhu re-kalsinasi
dari 650-970oC untuk sampel Nd-123.
85
terlihat bahwa harga parameter kisi dan volume sel satuan bertambah besar dengan
penambahan unsur Nd pada superkonduktor sistem YBCO, baik untuk hasil
karakterisasi XRD maupun HRPD. Terdapat perbedaan kecil antara harga parameter
kisi yang dihasilkan oleh karakterisasi XRD dan HRPD, yaitu antara 0,0001 dan 0,0069
untuk parameter kisi a, antara 0,0005 dan 0,0065 untuk parameter kisi b dan antara
0,001 dan 0,006 untuk parameter kisi c. Peningkatan harga parameter kisi dan
volume sel satuan dengan penambahan jumlah Nd, disebabkan oleh perbedaan jari-jari
ion antara Y3+ dan Nd3+, dimana jari-jari ion Nd3+ yang lebih besar dari jari-jari ion Y3+
mengakibatkan terjadinya pelebaran struktur kristal ke semua arah sumbu (a, b dan c),
sehingga mengakibatkan perbedaan parameter kisi dan volume sel satuan. Dari data
yang diperlihatkan pada tabel 4.2, dapat dibuat urutan parameter kisi dari yang terkecil
sampai yang terbesar yaitu Y-123, Nd0,25Y0,75-123, Nd0,5Y0,5-123, Nd0,75Y0,25-123 dan
Nd-123 seperti terlihat pada Gambar 4.11.
3.92
3.91
3.90
3.89
Parameter kisi (Ao)
3.88
3.87
3.86
3.85
3.84 a
b
3.83 c/3
3.82
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
x pada NdxY1-xBa2Cu3O7-δ
Gambar 4.11. Pola perubahan parameter kisi terhadap variasi jumlah substitusi Nd pada
superkonduktor NdxY1-xBa2Cu3O7-δ
86
Perubahan parameter kisi juga diamati oleh Masahiko Inagaki (M. Inagaki
2006) pada sampel NdY-123 yang disintesis pada suhu sinter 1213 K (15 jam) dalam
aliran gas argon, dilanjutkan dengan sinter pada suhu 1193 K (15 jam) dalam udara dan
perlakuan anil pada 823 K (15 jam) dalam aliran oksigen. Hasil penelitian Inagaki
memperlihatkan bahwa penambahan komposisi Nd pada senyawa NdY-123
mengakibatkan penambahan harga parameter kisi. Inagaki menduga bahwa ukuran ion
RE mempengaruhi energi aktivasi oksigen antara posisi O(4) dan O(5) yang
mengakibatkan terjadinya distorsi lokal dan merubah jarak antar atom.
Hasil yang sama diperoleh oleh Zhenping Chen (Z. Chen 2006) dimana
substitusi RE3+ dalam senyawa YBCO menyebabkan perubahan struktur parameter kisi
(a, b, c) tetapi tidak mengubah struktur ortorombik sistem YBCO, walaupun ion unsur
tanah jarang mempunyai jari-jari ion dan momen magnetik lokal yang berbeda. Pada
sisi lain, perubahan rapat elektron lokal dengan RE yang berbeda mengindikasikan
bahwa perubahan struktur parameter dengan substitusi RE mengakibatkan perubahan
rapat elektron tidak hanya di sekitar Y tetapi juga di sekitar Cu dan O. Karena substitusi
RE3+ terjadi pada posisi Y antar bidang CuO2, maka perubahan energi ikat pertama kali
terjadi pada atom Cu(2) dan O(2). Sedangkan perubahan rapat elektron pada atom
Cu(1) adalah akibat dari substitusi RE3+. Beberapa percobaan telah membuktikan
bahwa semakin kecil ion RE3+ maka akan memperpendek ikatan Cu-O dalam arah a, b
dan menambah rapat elektron pada atom Cu (Y. Zhao 1990; Q.R. Zhang 1993).
Harga faktor reliability (Rwp, Rp, Re) untuk sampel NdxY1-xBa2Cu3O7-δ (x=0,
0,25, 0,5, 0,75, 1) (Tabel 4.2) hasil harakterisasi XRD dan HRPD lebih kecil dari 20%,
sedangkan harga S2 hasil karakterisasi XRD adalah 1,4 da n 1,5, hasil karakterisasi
HRPD berkisar antara 1,1 da n 1,7. H asil tersebut mendukung hipotesa yang
dikemukakan pada sub bab 3.5.2, ba hwa suhu re-kalsinasi 970oC merupakan suhu
optimal yang menghasilkan fasa impuritas paling sedikit dalam pembentukan struktur
kristal NdBa2Cu3O7-δ maupun NdxY1-xBa2Cu3O7-δ.
87
terlihat bahwa pola perubahan harga parameter kisi dan volume sel satuan yang sama
untuk karakterisasi XRD dan SRD, dimana semakin kecil jari-jari ion RE maka nilai
parameter kisi (a, b, c) juga semakin kecil. Urutan sampel dengan parameter kisi
terbesar sampai yang terkecil, yaitu Nd-123, Nd0,5Eu0,5-123, Nd0,5Gd0,5-123,
Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ, Eu-123, Eu0,5Gd0,5-123 dan Gd-123. Hasil tersebut
merupakan kebalikan dari hasil pergeseran sudut, dimana semakin besar jari-jari ion
mengakibatkan pergeseran sudut semakin kecil, sedangkan parameter kisinya semakin
besar.
Pola perubahan harga parameter kisi (a, b, c) t erhadap satu, dua dan tiga
kombinasi unsur tanah jarang untuk karakterisasi XRD diperlihatkan pada Gambar
4.12.
3.94
a
b
3.92 c/3
3.90
Parameter kisi (Ao)
3.88
3.86
3.84
3.82
3.80
Nd Nd-Eu Nd-Gd Nd-Eu-Gd Eu Eu-Gd Gd
Kombinasi satu, dua dan tiga rare earth
Gambar 4.12. Pola perubahan parameter kisi a, b, dan c terhadap sampel R E-123
dengan satu, dua dan tiga kombinasi RE
Terdapat perbedaan kecil antara harga parameter kisi yang dihasilkan oleh
karakterisasi XRD dan SRD, berkisar antara 0,0036 dan 0,0323 untuk parameter kisi
88
a, antara 0,0012 dan 0,0082 untuk parameter kisi b dan antara 0,0106 dan 0,0246
untuk parameter kisi c.
Harga faktor reliability (Rwp, Rp, Re) untuk sampel REBa2Cu3O7-δ (Tabel 4.2)
hasil harakterisasi XRD lebih kecil dari 20 % dan harga S2 berkisar antara 1,2 dan 1,5.
Sedangkan harga faktor reliability (Rwp, Rp, Re) sampel REBa2Cu3O7-δ (Tabel 4.2) hasil
harakterisasi SRD lebih besar dari 20% dan harga S berkisar antara 1,6 da n 2,6.
Perbedaan harga parameter kisi, reliability (Rwp, Rp, Re) dan S untuk sampel hasil
karakterisasi XRD dan SRD disebabkan oleh kesalahan teknis dalam mempersiapkan
sampel yang akan dikarakterisasi. Beberapa kemungkinan yang menyebabkan
perbedaan harga R dan S, yaitu tempat penyimpanan sampel REBa2Cu3O7-δ kurang
mendukung (seharusnya disimpan dalam ruang vakum), rentang waktu antara sintesis
dan karakterisasi SRD sangat panjang (sekitar 2 tahun), sampel sudah melalui
karakterisasi XRD dan HRPD.
4.5. Ortorombisitas
Dari hasil penghalusan pola difraksi juga dapat diperlihatkan bahwa terjadi
transisi fasa tetragonal-ortorombik untuk semua sampel dengan suhu re-kalsinasi dari
650 sampai 970oC. Untuk kasus sampel yang diberi perlakuan variasi suhu re-kalsinasi
seperti pada sampel Nd-123, Nd0,5Gd0,5-123 dan Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ,
perhitungan ortorombisitas dilakukan dengan menggunakan rumusan
a
η= (4-4)
b
dengan a dan b adalah parameter kisi ke arah sumbu x dan y.
Hasil perhitungan ortorombisitas sampel Nd-123, Nd0,5Gd0,5-123 dan
Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ menghasilkan kurva ortorombisitas seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 4.13 dan 4.14. Hasil perhitungan ortorombisitas
memperlihatkan bahwa struktur kristalografi sampel Nd-123 mengalami transisi
ortorombik-tetragonal dari suhu 650-970oC. Nilai ortorombisitas berkurang dengan
penambahan suhu re-kalsinasi (thermal strain). Pada sisi lain, nilai ortorombisitas juga
berbeda pada suhu yang sama untuk jenis unsur tanah jarang (rare-earth elements)
yang berbeda (doping strain) dalam sistem-123.
89
Penurunan ortorombisitas yang cukup tajam dari suhu 650 sampai 970oC
kemungkinan disebabkan oleh substitusi oksigen yang berbeda pada masing-masing
sampel. Pada suhu tinggi akan terjadi penguapan oksigen, khususnya oksigen O(4)
yang mempunyai ikatan paling lemah diantara ikatan oksigen yang lain, sehingga pada
suhu tersebut mengakibatkan sampel membentuk struktur tetragonal. Penangkapan
oksigen akan terjadi pada suhu rendah pada saat pendinginan sampel dalam furnace
yang mengakibatkan terjadinya perubahan struktur dari tetragonal ke ortorombik.
Jumlah penguapan dan penangkapan oksigen tersebut yang mengakibatkan perbedaan
harga ortorombisitas untuk suhu re-kalsinasi yang berbeda. Hasil penelitian yang
diperoleh oleh Chung dan Drozd (K.C. Chung 2003; V.A. Drozd 2004)
memperlihatkan bahwa besar parameter kisi ke arah sumbu a dan b hampir sama pada
suhu tinggi (di atas 680oC) dengan struktur kristal berbentuk tetragonal. Sedangkan
pada suhu rendah (400-680oC) besar parameter kisi ke arah sumbu a dan b adalah
berbeda dengan struktur kristal berbentuk ortorombik. Perbedaan hasil tersebut
disebabkan oleh perbedaan metode pendinginan. P ada penelitian ini pendinginan
sampel setelah melalui proses pemanasan dilakukan di dalam furnace (dibiarkan
mendingin secara alami), sedangkan Chung dan Drozd menggunakan metode quench.
1.020
1.015
1.010
Ortorombisitas
1.005
1.000
0.995
0.990
0.985
600 650 700 750 800 850 900 950 1000
o
Suhu re-kalsinasi ( C)
Gambar 4.13. Ortorombisitas terhadap penambahan suhu re-kalsinasi dari 650 sampai
970oC untuk sampel Nd-123
90
NG-123
NEG-123
0.988
Ortorombisitas
0.987
0.986
920 930 940 950 960 970
o
Suhu re-kalsinasi ( C)
91
0.9870
0.9865
NdxY1-xBa2Cu3O7-δ
Ortorombisitas 0.9860
0.9855
0.9850
0.9845
XRD
0.9840 HRPD
0.9835
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
x
92
Substitusi unsur Nd pada sampel YBa2Cu3O7-δ juga diprediksi menghasilkan
migrasi oksigen, yang berakibat pada cacat kristal yang disebabkan oleh perbedaan jari-
jari ion dan faktor termal seperti yang telah dilaporkan oleh Inagaki (M. Inagaki 2006).
Cacat kristal tersebut dapat diamati dengan melakukan penghalusan parameter puncak
difraksi faktor hunian oksigen pada posisi O(4). Apabila faktor hunian untuk posisi
O(4) penuh, maka akan mempunyai harga occupancy sebesar 0,125. Sedangkan hasil
penghalusan parameter-parameter puncak difraksi pada Tabel 4.3 menunjukkan harga
yang lebih kecil yaitu sebesar 0,1226. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa ada
kekosongan oksigen pada posisi O(4), yang dapat dikatakan sebagai cacat kristal. Akan
tetapi dalam teori superkonduktor, justru cacat kristal ini yang dibutuhkan agar suatu
bahan dapat berfungsi sebagai bahan superkonduktor.
93
6,5 dan 7. Jadi dalam sampel NdxY1-xBa2Cu3O7-δ harga δ harus berada dalam kisaran
nilai 0<δ<0,5. Dengan penambahan jumlah Nd pada sampel NdxY1-xBa2Cu3O7-δ, harga
faktor hunian dari oksigen O(4) berkurang (Tabel 4.4 dan Gambar 4.16). Hal tersebut
mengindikasikan bahwa dengan penambahan unsur Nd, maka semakin besar
kemungkinan oksigen terlepas dari ikatan dengan atom-atom yang berada pada
tetangga terdekat, khususnya oksigen O(4).
Tabel 4.4. Harga faktor hunian (occupancy) hasil karakterisasi HRPD untuk sampel
NdxY1-xBa2Cu3O7-δ setelah penghalusan pola difraksi dengan analisis
Rietveld menggunakan program FullProf (C.J. Rodriguez 2001)
94
0.123
Faktor hunian O(4)
0.122
0.121
0.120
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
x in NdxY1-xBa2Cu3O7-δ
Gambar 4.16. Faktor hunian (Occupancy) oksigen pada posisi O (4) dengan
penambahan x dalam sampel NdxY1-xBa2Cu3O7-δ setelah penghalussan
pola difraksi menggunakan analisis Rietveld untuk data HRPD
Ada beberapa cara yang digunakan untuk menentukan kandungan oksigen suatu
senyawa, diantaranya adalah dengan iodine titration dan TGA. Dalam eksperimen ini
penentuan kandungan oksigen tidak dilakukan dengan iodine titration dan TGA, akan
tetapi dengan menghitung faktor hunian masing-masing posisi oksigen. Pada
eksperimen ini dilakukan pendekatan, dimana faktor hunian untuk O(1), O(2) dan O(3)
dianggap terisi penuh, yang menggambarkan bahwa tidak ada oksigen yang mengalami
migrasi pada posisi O(1), O(2) dan O(3). Oleh karena itu total k andungan oksigen
yang terdapat dalam ketiga posisi oksigen tersebut berjumlah 6. S edangkan faktor
hunian yang di refine adalah faktor hunian pada posisi oksigen O(4). Dari hasil
penghalusan parameter-parameter pola difraksi pada Tabel 4.4 di atas, kemudian
dilakukan perbandingan antara faktor hunian penuh (δ=0) dengan hasil penghalusan
parameter-parameter pola difraksi. Untuk kasus faktor hunian penuh, maka jumlah
oksigen adalah 7 de ngan struktur tetragonal. Satu contoh perhitungan untuk sampel
Nd0,25Y0,75Ba2Cu3O7-δ, dimana diperoleh harga faktor hunian dari hasil refinement
sebesar 0,1226, sedangkan faktor hunian penuh yang harus dimiliki oleh oksigen pada
95
posisi O(4) adalah 0,125. Hasil perbandingan faktor hunian hasil refinement dengan
faktor hunian penuh adalah 0,9616. Sebelumnya telah dihitung jumlah kandungan
oksigen pada posisi O(1), O(2) dan O(3) yaitu berjumlah 6 a tom, sehingga jumlah
kandungan oksigen keseluruhan untuk sampel Nd0,25Y0,75Ba2Cu3O7-δ adalah 6,9616.
Kurva perubahan kandungan oksigen untuk semua sampel diperlihatkan pada Gambar
4.17, sedangkan komposisi kimia masing-masing senyawa diperlihatkan pada Tabel
4.5. Dari gambar tersebut terlihat bahwa semakin besar penambahan unsur Nd,
kandungan oksigen pada senyawa tersebut semakin kecil.
Berdasarkan hasil sintesis, karakterisasi dan analisis Rietveld untuk sampel
NdxY(1-x)Ba2Cu3O7-δ, dapat dikatakan bahwa sintesis dengan menggunakan dissolved
method telah berhasil membuat kristal NdxY(1-x)Ba2Cu3O7-δ dengan fraksi berat yang
tinggi sekitar 97 % pada suhu re-kalsinasi 970oC. Penambahan unsur Nd dari 0 sampai
1 pada superkonduktor NdxY(1-x)Ba2Cu3O7-δ mengakibatkan kenaikan harga parameter
kisi, menurunkan harga ortorombisitas dan menurunkan harga faktor hunian pada posisi
O(4) sehingga menurunkan jumlah kandungan oksigen. Inilah fakta yang menunjukkan
adanya distorsi kristal pada bahan NdxY(1-x)Ba2Cu3O7-δ.
6.97
6.96
Kandungan oksigen
6.95
6.94
6.93
96
Table 4.5. Kandungan oksigen sampel superkonduktor NdxY1-xBa2Cu3O7-δ
NdxY1-xBa2Cu3O7-δ (x = 0) YBa2Cu3O6,97
NdxY1-xBa2Cu3O7-δ (x = 0,25) Nd0,25Y0,75Ba2Cu3O6,96
NdxY1-xBa2Cu3O7-δ (x = 0,5) Nd0,5Y0,5Ba2Cu3O6,95
NdxY1-xBa2Cu3O7-δ (x = 0,75) Nd0,75Y0,25Ba2Cu3O6,94
NdxY1-xBa2Cu3O7-δ (x = 1) NdBa2Cu3O6,93
97
Kosong
c
b
98
Tabel 4.6. Harga jarak antar atom sampel NdxY1-xBa2Cu3O7-∂ (x=0, 0,25, 0,5, 0,75, 1)
Tabel 4.7. Harga sudut antar atom sampel NdxY1-xBa2Cu3O7-∂ (x=0, 0,25, 0,5, 0,75, 1)
Sudut (derajat)
Atom sampel NdxY1-xBa2Cu3O7-∂
99
struktur kristal ke segala arah, sehingga posisi masing-masing atom berubah.
Perubahan posisi atau pergeseran atom-atom dari sampel YBa2Cu3O7-∂ menjadi sampel
Nd0,5Y0,5Ba2Cu3O7-∂ diperlihatkan pada Gambar 4.19.
b
c
Gambar 4.19. Pergeseran atom-atom dari sampel YBa2Cu3O7-∂ menjadi sampel
Nd0,5Y0,5Ba2Cu3O7-∂
100
BAB 5
SIFAT LISTRIK DAN MAGNETIK
2008) seperti terlihat pada Gambar 5.2 dan 5.4. Harga suhu kritis antar butir Tcint
− 0 dan
er
101
0.0
-0.2
Suseptibilitas magnetik (emu/gr)
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
20 40 60 80 100 120
Suhu (K)
0.010
Tinter
C-0
0.005
0.000
FC
χ(emu/gr)
-0.005 Tintra
C-0
-0.010
ZFC
-0.015
-0.020
85 86 87 88 89 90 91 92 93
Suhu (K)
Gambar 5.2. Kurva suseptibilitas terhadap suhu antara 85-95 K untuk sampel
Nd0,5Gd0,5-123
102
0.0
-0.2
-0.6
-0.8
-1.0
20 40 60 80 100 120
Suhu (K)
0.02
Tinter
C-0
0.00
-0.02
Tintra
C-0
χ(emu/gr)
FC
-0.04
-0.06
ZFC
-0.08
88 89 90 91 92 93 94
o
Suhu ( C)
Gambar 5.4. Kurva suseptibilitas terhadap suhu antara 85-95 K untuk sampel
Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ
103
Tabel 5.1. Harga suhu kritis intergrain and intragrain superconductivity untuk FC dan
ZFC dari sampel Nd0,5Gd0,5-123 dan Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ
Sampel FC ZFC
Tcint
−0
er
(K) Tcint
−0
ra
(K) Tcint
−0
er
(K) Tcint
−0
ra
(K)
( Tcint
− 0 ) untuk FC dan ZFC, diperlihatkan pa da Tabel 5.2. Dari tabel dapat dilihat
ra
104
0.0
FC
-0.2
-0.4
χ(T)/χ(10 K)
-0.6
-0.8
Nd0.25Y0.75-123
ZFC
Nd0.5Y0.5-123
-1.0
20 40 60 80 100
T (K)
Tabel 5.2. Harga suhu kritis intergrain and intragrain superconductivity untuk FC dan
ZFC dari sampel Nd0,25Y0,75Ba2Cu3O7-δ dan Nd0,5Y0,5Ba2Cu3O7-δ
Sampel FC ZFC
Tcint
−0
er
(K) Tcint
−0
ra
(K) Tcint
−0
er
(K) Tcint
−0
ra
(K)
Dari Tabel 5.2 terlihat bahwa semakin besar jumlah substitusi unsur Nd pada
superkonduktor NdxY(1-x)Ba2Cu3O7-δ maka suhu kritis yang dihasilkan juga semakin
tinggi. Suhu kritis untuki x=0,25 adalah 91 K, sedangkan untuk x=0,5 adalah 92 K.
105
Hasil karakterisasi SQUID untuk kurva magnetisasi terhadap medan (M-H)
atau kurva histeresis yang diukur pada 5 K diperlihatkan pada Gambar 5.6. D aerah
medan tersebut nerupakan daerah medan irreversible (Mirr) dan karena medan yang
diberikan turun dan naik mengakibatkan magnetisasi yang dihasilkan berbeda. Rapat
arus kritis (Jc) adalah sebanding dengan perbedaan magnetisasi (∆M), yang diukur pada
saat penambahan dan pengurangan medan magnetik.
Besaran fraksi volume superkonduktor (superconducting volume fraction)
dihitung dari data kurva suseptibilitas M-T, baik pada FC maupun ZFC. Dengan
pengetahuan kerapatan sampel Nd0,5Y0,5Ba2Cu3O7-δ (ρ) sekitar 6,964 gr/cm3 dan berat
sampel yang diukur dengan menggunakan SQUID adalah 0,152 gr , maka dapat
dihitung volumenya adalah 0,021823 cm3. Dengan menggunakan harga momen
magnetik (ZFC) pada suhu 5 K, maka suseptibilitas dapat dihitung sebagai berikut :
m 0,09122
χV = − =− = 0,0278666
1 1
H o V 10 0,021823
1 − nm 1 −1 3
Harga n = 1 /3 adalah faktor demagnetisasi dengan asumsi partikel berbentuk
bola (spherical). Perhitungan menghasilkan χ o = - 0,0278666 emu/cm3, kemudian
106
3∆m 3 x7,03 x10 −2
Jc = = −6
= 1x10 5 A / cm 2
2rV 2 x0,5 x10 x0,021823
Perhitungan rapat arus kritis di atas adalah untuk sampel berbentuk serbuk,
diasumsikan terjadi aglomerasi partikel berbentuk bola (spherical). Dari hasil
perhitungan diperoleh harga rapat arus kritis pada suhu 5 K yaitu 4 × 104 Acm-2 untuk
sampel Nd0,25Y0,75Ba2Cu3O7-δ dan 1 × 105 Acm-2 untuk sampel Nd0,5Y0,5Ba2Cu3O7-δ.
Harga Jc sampel Nd0,5Y0,5Ba2Cu3O7-δ lebih besar dibandingkan harga Jc sampel
Nd0,25Y0,75Ba2Cu3O7-δ, yang mengindikasikan bahwa penambahan Nd dalam sampel
NdxY1-xBa2Cu3O7-δ dapat meningkatkan suhu kritis, sifat ketahanan superkonduktor
terhadap medan magnet dan rapat arus kritis.
3.5
3.0 Nd0.25Y0.75-123 Jc ~ ∆M
2.5 Nd0.5Y0.5-123
2.0
1.5
1.0
0.5
χ(emu/cm3)
0.0
-0.5
-1.0
-1.5
-2.0
-2.5
-3.0
-3.5
-60000 -40000 -20000 0 20000 40000 60000
H (Oe)
Pola penurunan rapat arus kritis dengan penambahan kuat medan magnetik luar
diperlihatkan pada Gambar 5.7 da n 5.8. K urva pada Gambar 5.7 merupakan hasil
perhitungan rapat arus kritis (Jc) pada daerah medan positif untuk sampel
Nd0,25Y0,75Ba2Cu3O7-δ dan Nd0,5Y0,5Ba2Cu3O7-δ, sedangkan kurva pada Gambar 5.8
107
adalah hasil perhitungan rapat arus kritis pada daerah medan negatif untuk sampel
Nd0,25Y0,75-123 dan Nd0,5Y0,5-123. Secara umum terlihat bahwa harga rapat arus kritis
sampel Nd0,5Y0,5-123 lebih besar dibandingkan sampel Nd0,25Y0,75-123 untuk semua
harga kuat medan magnetik luar yang diaplikasikan.
Kedua sampel memperlihatkan kesamaan pola perubahan rapat arus kritis
terhadap kuat medan magnetik luar. Rapat arus kritis tertinggi diperoleh pada kuat
medan magnetik luar sekitar 2000 Oe dan penambahan kuat medan magnetik luar
mengakibatkan harga rapat arus kritis menurun. Hasil yang sama mengenai pola
penurunan rapat arus kritis terhadap kuat medan magnetik luar diperlihatkan oleh S.
Nariki dan kawan-kawan (S. Nariki 2006), dimana penurunannya terjadi secara
eksponensial.
1050
1000
950
900
850
800
750
700
Jc (x102 A/cm2)
650
600
550
500
450
400
350 Nd0,5Y0,5-123
300
250
200 Nd0.25Y0.75-123
150
100
0 1 2 3 4
B (T)
Gambar 5.7. Kurva rapat arus kritis (Jc) terhadap kuat medan magnetik (H) untuk
sampel superkonduktor NdxY1-x-123 (x = 0,25, 0,5) pada medan positif
108
900
800
700
600
Jc (x102 A/cm2)
500
400
Nd0,5Y0,5-123
300
200
Nd0.25Y0.75-123
100
0 1 2 3 4
B (T)
Gambar 5.8. Kurva rapat arus kritis (Jc) terhadap kuat medan magnetik (H) untuk
sampel superkonduktor NdxY1-x-123 (x = 0,25, 0,5) : pada medan negatif
109
5.1.2. Superkonduktor RE-123
Hasil pengukuran suseptibilitas terhadap suhu untuk sampel RE-123 dengan
kombinasi satu RE diperlihatkan pada Gambar 5.9 dan untuk sampel dengan kombinasi
dua dan tiga kombinasi RE diperlihatkan pada Gambar 5.10. Pengukuran magnetisasi
(M) sebagai fungsi suhu (T) dilakukan dengan menggunakan SQUID. Untuk dapat
melihat perbedaan sifat magnetik masing-masing bahan, maka dibuat kurva
ternormalisasi. G ambar 5.9 memperlihatkan perbedaan suseptibilitas relatif
(χ(T)/χ(10K) yang signifikan dari kurva FC dan ZFC sampel Eu-123 dan Gd-123.
Terlihat bahwa ketahanan sifat superkonduktor dalam medan magnetik yang diberikan
pada sampel Gd-123 lebih besar dibandingkan sampel Eu-123. Sedangkan perbedaan
suseptibilitas relatif (χ(T)/χ(10K) dari kurva FC dan ZFC untuk sampel Eu0,5Gd0,5-123,
Nd0,5Gd0,5-123 dan Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ yang diperlihatkan pada Gambar 5.10
mengindikasikan bahwa ketahanan sifat superkonduktor dalam medan magnetik yang
diberikan pada sampel Eu0,5Gd0,5-123 lebih besar dibandingkan sampel Nd0,5Gd0,5-123
dan Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ. Hal tersebut didukung oleh nilai suhu kritis (Tc) dari
masing-masing sampel, dimana suhu kritis sampel Gd-123 lebih besar dibandingkan
sampel Eu-123 dan suhu kritis sampel Eu0,5Gd0,5-123 lebih besar dibandingkan sampel
Nd0,5Gd0,5-123 dan Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ seperti terlihat pada Tabel 5.3.
110
0.0
-0.2
M(T)/M(10 K)
-0.4
-0.6
-0.8
Eu
-1.0
Gd
20 40 60 80 100 120
T (K)
Gambar 5.9. Kurva suseptibilitas terhadap suhu sampel RE-123 dengan satu kombinasi
RE
0.0
-0.2
M(T)/M(10 K)
-0.4
-0.6
-0.8
NdGd
GdEu
-1.0
NdEuGd
20 40 60 80 100 120
T (K)
Gambar 5.10. Kurva suseptibilitas terhadap suhu sampel RE-123 dengan dua dan tiga
kombinasi RE
111
Tabel 5.3. H asil pengukuran suhu kritis (Tc) menggunakan SQUID untuk sampel
REBa2Cu3O7-δ (RE= Nd, Eu, Gd) dengan satu, dua dan tiga kombinasi
unsur tanah jarang (rare earth)
Sampel FC ZFC
Tcint
−0
er
(K) Tcint
−0
ra
(K) Tcint
−0
er
(K) Tcint
−0
ra
(K)
112
menit dengan Trc pada 800 da n 900oC selama satu jam berada dalam skala ratusan
nanometer. Sedangkan hasil karakterisasi TEM pada BAB 3 (Gambar 3.24) diperoleh
ukuran partikel Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ dalam skala puluhan nanometer. Jadi
sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh oleh A. Sundaresan (A. Sundaresan 2009)
yang menyatakan bahwa bahan non magnetik yang berukuran nanometer akan
memperlihatkan sifat ferromagnetik pada suhu ruang. Hasil tersebut juga sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Rao dan kawan-kawan (A. Shipra 2007), bahwa
superkonduktor YBCO (Tc ≈ 91 K) dengan ukuran partikel pada skala nanometer
memperlihatkan sifat feromagnetik pada suhu ruang, sedangkan superkonduktor YBCO
dalam bentuk padatan (pelet) dengan ukuran partikel pada skala mikrometer
memperlihatkan sifat paramagnetik.
Partikel nano memperlihatkan gejala feromagnetik lemah karena ada
kekosongan oksigen pada permukaan yang menyebabkan terbentuknya momen
magnetik (A. Sundaresan 2009). Sedangkan untuk membuktikan bahwa ada hubungan
sifat magnetik dengan luas permukaan bahan, Sundaresan dan kawan-kawan (A.
Sundaresan 2009) membandingkan partikel nano CeO2 dalam bentuk serbuk (powder)
dan bentuk padatan (pelet). Dari hasil Field Emission Scanning Electron (FESEM)
terlihat bahwa pada sampel pelet terjadi aglomerasi partikel, yang berakibat semakin
kecilnya jumlah kekosongan pada permukaan bahan. Dengan membandingkan hasil
pengukuran histeresis kedua sampel, terlihat bahwa momen saturasi pada sampel yang
sudah terjadi aglomerasi lebih rendah dibandingkan dengan sampel serbuk. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa hubungan antara ukuran partikel, kekosongan dan permukaan
bahan dapat menghasilkan sifat magnetik yang berbeda.
Pengukuran VSM dilakukan untuk memperoleh informasi tentang magnetisasi
saturasi (Ms), magnetisasi remanen (Mr) dan koersivitas magnetik (Hc) yang merupakan
sifat kemagnetan bahan. H arga magnetisasi saturasi (Ms), magnetisasi remanen (Mr)
dan koersivitas magnetik (Hc) ditunjukkan pada Tabel 5.4.
113
0.06
0.04
Magnetisasi (emu/gr)
0.02
0.00
900oC
-0.02
-0.04 800oC
750oC
-0.06
-1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5
Medan magnetik (T)
Gambar 5.11. Hasil karakterisasi VSM dari sampel Nd-123 pada suhu re-kalsinasi 750,
800 dan 900oC
0.3
0.2
Magnetisasi (emu/gr)
0.1
0.0
-0.1
-0.2
900ooC
850 C
-0.3 800oC
114
1.5
1.0
Magnetisasi (emu/gr)
0.5
0.0
-0.5
-1.0 750oC
-1.5
-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0
Medan magnetik (T)
115
Dari kurva magnetisasi sebagai fungsi medan magnetik luar dan dari data yang
ditampilkan pada Tabel 5.4, terlihat ada perubahan kurva magnetisasi dengan
penambahan suhu pemanasan dari 750oC sampai 900oC. Nilai Ms semakin kecil dengan
penambahan suhu re-kalsinasi, yang mengindikasikan bahwa semakin besar Trc maka
nilai magnetisasi bahan jenuh dimana tidak mengalami perubahan dengan penambahan
medan aplikasi menjadi semakin kecil. Mr yang merupakan magnetisasi sisa ketika
medan aplikasi magnetik ditiadakan, nilainya semakin naik dengan penambahan Trc.
Besar kuat medan magnetik yang diaplikasikan untuk mengembalikan magnetisasi
bahan menjadi nol dari keadaan termagnetisasi saturasi (Hc), nilainya menurun dengan
penambahan Trc.
Hasil tersebut sesuai dengan hasil karakterisasi TEM, dimana penambahan Trc
menyebabkan ukuran partikel semakin besar, dan berakibat koersif dan saturasi
menurun karena partikel membentuk multidomain. Hasil yang sama diperoleh oleh
Sundaresan dan kawan-kawan (A. Sundaresan 2009), dimana momen magnetik saturasi
partikel nano berkurang dengan penambahan ukuran partikel.
116
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Laporan disertasi secara keseluruhan merangkum tiga kelompok besar
berdasarkan perbedaan perlakuan suhu pemanasan dan substitusi unsur yang diberikan
pada proses sintesis. Kelompok pertama, sintesis sampel NdBa2Cu3O7-δ dengan suhu
re-kalsinasi antara 650-970oC (karakterisasi XRD, SEM, TEM). Kedua, sintesis sampel
NdxY1-xBa2Cu3O7-δ dengan x = 0, 0,25, 0,5, 0,75 da n 1 dengan suhu re-kalsinasi 970oC
(karakterisasi XRD, HRPD, SEM, SQUID). Ketiga, sintesis sampel REBa2Cu3O7-δ
dengan variasi unsur tanah jarang, masing-masing dengan suhu re-kalsinasi 970oC
(karakterisasi XRD, SRD, SEM, SQUID). Proses pencocokan puncak difraksi (search
match) menggunakan program Match! Sedangkan proses penghalusan parameter-
parameter pola difraksi (refinement) dilakukan dengan analisis Rietveld menggunakan
program Rietica dan FullProf.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di atas, maka dapat
disimpulkan beberapa hal, yaitu
1. Proses sintesis superkonduktor REBa2Cu3O7-δ (RE=Y, Nd, Eu, Gd) dengan wet-
mixing method dan HNO3 sebagai pelarut telah berhasil memperoleh kristal
REBa2Cu3O7-δ dengan prosentase berat tertinggi sekitar 99,1 % (mendekati fasa
tunggal).
2. Penambahan unsur Nd pada superkonduktor NdxY(1-x)Ba2Cu3O7-δ dengan x = 0,
0,25, 0,5, 0,75 da n 1 menunjukkan bertambahnya nilai parameter kisi, volume
sel satuan dan ortorombisitas. Urutan nilai parameter kisi, volume sel satuan
dan ortorombisitas dari yang terkecil sampai terbesar adalah Y-123, Nd0,25Y0,75-
123, Nd0,5Y0,5-123, Nd0,75Y0,25-123 dan Nd-123. Urutan tersebut merupakan
kebalikan dari pergeseran sudut 2θ. Penambahan unsur Nd juga mengakibatkan
migrasi oksigen yang diperlihatkan dengan berkurangnya faktor hunian oksigen
(occupancy) pada posisi O(4). Penambahan unsur Nd pada superkonduktor
NdxY(1-x)-123 dapat meningkatkan nilai suhu kritis, rapat arus kritis dan sifat
117
ketahanan superkonduktor terhadap medan magnet. Suhu kritis dan rapat arus
kritis sampel Nd0,25Y0,75-123 masing-masing adalah 90,5 K dan 4 × 104 A/cm2,
sedangkan suhu kritis dan rapat arus kritis sampel Nd0,5Y0,5-123 masing-masing
adalah adalah 91,5 K dan 1 × 105 A/cm2.
3. Kombinasi satu, dua dan tiga unsur RE (Nd, Eu, Gd) pada superkonduktor
REBa2Cu3O7-δ menghasilkan perubahan nilai parameter kisi serta volume sel
satuan, dengan urutan dari terbesar sampai terkecil, yaitu Nd-123, Nd0,5Eu0,5-
123, Nd0,5Gd0,5-123, Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ, Eu-123, Eu0,5Gd0,5-123 dan
Gd-123. Urutan tersebut merupakan kebalikan dari pergeseran sudut 2θ yang
diakibatkan oleh perubahan nilai parameter kisi. Suhu kritis dan sifat ketahanan
superkonduktor terhadap medan magnet superkonduktor Gd-123 (93,6 K) lebih
besar dibandingkan superkonduktor Eu-123 (92,5 K). Penggantian Nd dengan
kombinasi dua dan tiga RE dapat meningkatkan baik suhu kritis maupun sifat
ketahanan superkonduktor terhadap medan magnet dengan urutan dari terkecil
sampai terbesar adalah Nd0,5Gd0,5-123 (88,5 K), Nd0,33Eu0,33Gd0,33Ba2Cu3O7-δ
(92 K) dan Eu0,5Gd0,5-123 (93,1 K).
4. Proses sintesis dengan wet-mixing method dan HNO3 sebagai pelarut, serta
perlakuan mixing selama 24 jam pada suhu re-kalsinasi 700, 750, 800 dan
900oC telah menghasilkan sampel REBa2Cu3O7-δ dengan ukuran partikel dalam
skala nanometer. Sampel REBa2Cu3O7-δ dengan ukuran partikel dalam skala
nanometer (lebih kecil dari 50 nm ) memperlihatkan sifat feromagnetik pada
suhu ruang, sedangkan sampel dengan ukuran partikel lebih besar dari 100 nm
memperlihatkan sifat paramagnetik.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, beberapa hal dianggap
penting untuk dilakukan penelitian lanjut, khususnya untuk sampel REBa2Cu3O7-δ.
1. Dilakukan karakterisasi HRPD untuk sampel REBa2Cu3O7-δ dengan satu, dua
dan tiga kombinasi RE, sehingga diperoleh kandungan oksigen dan selanjutnya
dapat dibandingkan dengan harga suhu kritis.
2. Pada proses sintesis perlu dilakukan penambahan waktu pengadukan, sehingga
sampel yang dire-kalsinasi pada suhu tinggi (970oC) sampel mampu
118
memperlihatkan dua sifat magnetik yang berbeda, yaitu diamagnetik pada suhu
rendah (≤ 77 K) dan feromagnetik pada suhu ruang.
119
DAFTAR PUSTAKA
120
B.A. Hunter (1997), Rietica for Windows versi 1.7.7.
B.D. Cullity (1978), Element of x-ray Diffraction, Addison Wesley Publishing Company,
Inc, Second Edition, England.
B. Dwir, M. Affronte, D. Pavuna (1989), Evidence for enhancement of critical current by
intergrain Ag in YBaCuO-Ag ceramics, Applied Physics Letters 55 : 399 - 401.
B.K. Agarwal (1991), X-Ray Spectroscopy, Second Edition, Springer Verlag, Berlin.
B.R. Lehndorff (2001), High-Tc Superconductors for Magnet and E nergy Technology,
Springer Verlag, Berlin.
C. Cui, H. Mou, T. Wang, S. Li, J. Li, L. Hongyue, L. Zhou, X. Wu (1990), Critical
currents in melt textured YBa2Cu3Oy superconductors, Cryogenics 30 : 603–605.
C.D. Pemmaraju, S. Sanvito (2005), Phys. Rev. Lett. 94 : 217205.
C.J. Rodriguez (Version 2001), An Introduction To The Program FullProf, Laboratoire
Leon Brillouin (CEA-CNRS), France.
C.P. Bean, (1964), Rev. Mod. Phys. 36, 31.
C. Xu, A.H., M. Ichihara, N. Sakai, I. Hirabayashi, M. Izumi (2007), Enhanced flux
pinning of air-processed Gd-123 by doping ZrO2 nanoparticles, Physica C 460-462
: 1341-1342.
C. Xu, A.H., M. Ichihara, N. Sakai, M. Izumi, I. Hirabayashi (2005), Enhanced Jc in air-
processed GdBa2Cu3O7-d superconductors, Physica C : Superconductivity 426-431
: p. 613-617.
D. Dube, B. Champagne, Y. Le Page (1989), Materials Letters 8 : 283.
D. Hughes (2001), The critical current of superconductors : an historical review, Low
Temperature Physics 27 : 9-10.
D.K. Fork, D.B. Fenner, R.W. Barton, Phillips, M. Julia, G.A.N. Connell, J.B. Boyce,
T.H. Geballe (1990), High critical currents in strained epitaxial YBa2Cu3O7-d on Si,
Applied Physics Letters 57 : 1161 - 1163.
D.P. Young, D.Hall, M.E. Torelli, Z. Fisk, J.L. Sarrao, J.D. Thompson, H.R. Ott, S.B.
Oseroff, R.G. Goodrich, R. Zysler (1999), Nature 397 : 412.
E. Antipov, A. Abakumov (1994), ICDD Grant-in-Aid, Moscow State Univ., Russia.
121
E. Ban, Y.I., Y. Matsuoka, G. Nishijima, K. Watanabe (2007), Microstructures and critical
density of filamentary Eu-Ba-Cu-O with Zr and Z n additions, Physica C :
Superconductivity 463-465 : p. 554-558.
H. Gu, P.L.Ho, K.W.T. Tsang, L. Wang, B, Xu, J. Am (2003), Chem. Soc. 125 : 15702.
H. Putz, K. Brandenburg GbR (2012), Molecular Structure Visualization Version 3.2
(crystal impact).
H. Salamati, P.Kameli (2003), Effect of deoxygenation on the weak-link behavior of
YBa2Cu3O7−δ superconductors, Solid State Communications 125 : 407–411.
H. Salamati, P.Kameli (2004), The effect of Bi-2212 phase on the weaklink behavior of Bi-
2223 superconductors, Physica C : Superconductivity 403 : 60–66.
H. Walter, M.P.D., B. Bringmann, A. Leenders and H.C. Freyhardt (2000), Melt-textured
YBaCuO with High Trapped Fields up t o 1.3 T at 77 K , Journal of Materials
Research 15 : 1231-1234.
J.G. Bednorz, K.A. Muller (1987), Phys. B 64 : 189.
J. Halbritter (1992), On extrinsic effects in the surface impedance of cuprate
superconductors by weak links, Journal of Applied Physics 71 : 339 - 343.
J. Kaduk, Y.M. Chen (1994), Amoco Corporation, Naperville, IL, USA.
J. Maguire, D.F., J. Yuan, D. Lindsay, D. Knoll, S. Bratt, Z. Wolff, S. Kurtz (2009),
Development and D emonstration of a F ault Current Limiting HTS Cable to be
Installed in the Con Edison Grid, IEEE Trans. Appl. Supercond. 19 : 1740.
J. Thompson, Fitz Gerald, J., Withers, R., Barlow, P., Anderson, J. (1989), Mater. Res.
Bull. 24 : 505.
J.Q. Dai, Z.X. Zhao., A. Hu (2004), Melt processing and superconducting properties of
single- domain GdBa2Cu3Oy, (Sm0.5Gd0.5)Ba2Cu3Oy and
(Sm0.33Eu0.33Gd0.33)Ba2Cu3Oy s uperconductors fabricated in air, Physica C 406 :
63-71.
K.C. Chung, S.C. Choi., H.S. Kim, B.S. Lee, S.M. Ihm, D. Youm (2003), Growth
properties and critical current measurements of Sm1+xBa2-xCu3O7-∂ films on
biaxially textured Ni tapes, Physica C 384 : 291-296.
122
K. Ogasawara, N.Sakai, M. Murakami (2000), Structure of subgrains in large single-grain
RE-Ba-Cu-O (RE=Y, Sm, Nd) bulk superconductors, J. Cryst. Growth (Proceedings
of the first Asian Conference on Crystal Growth and Crystal Technology, Sendai,
Japan Vol. 229, No. 1-4 : 358-364.
K. Skold, D.L. Price (1986), Neutron Scattering, Academic Press, Inc 23.
L.C. Pathak, S.K. Mishra, S.K. Das, D. Bhattacharya, K.L. Chopra (2001), Effect of
sintering atmosphere on t he weak-link behaviour of YBCO superconductors,
Physica C: Superconductivity 351 : 295–300.
L.J. Sun, C.Y. Tang, X. Yao, Y. Jiang (2007), Melt-textured growth of NdBCO bulk seeded
by NdBCO thin film, Physics C 460-462 : 1339-1340.
L. Rostila, J. Lehtonen, M. Masti, N. Lallouet, J.M. Saugrain, A. Allais, K. Schippl,, G. B.
F. Schmidt, G. Marot, A. Ravex, A. Usoskin, F. Gomory, B. Klincˇok, J., et al.
(2006), Design of a 30 m long 1 kA 10 kV YBCO cable, Supercond. Sci. Technol.
19 : 418.
M.A. Omar (1974), Elementary Solid State Physics, World Student Series Edition
Addison-Wesley Publishing Company.
M. Inagaki, M. O. ( 2006), Internal friction and oxygen migration in NdxY1-xBa2Cu3Oy
(x=0.0-1.0) superconductors at low frequencies, Journal of Alloys and Compounds
408-412 : p. 223-225.
M.I. Petrov, D.A. Balaev, Y.S. Gokhfeld, A.A. Dubrovskiy, K.A. Shaykhutdinov (2007),
Enhancement of pinning in cerium doped Y(1-x)CexBa2Cu3O7 HTSC, Physica C 460-
462 : 1192-1193.
M. I. Youssif, A.A. Bahgat, I.A. Ali (2000), AC Magnetic Susceptibility Technique for the
Characterization of High Temperature Superconductors, Egypt. J. Sol. Vol. 23 No.
2 : 231-250.
M.J. Kramer, A. Karion, K.W. Dennis, M. Park, and R.W. Mccallum (1994), Enhanced
Superconductivity in Nd1+xBa2-xCu3O7+δ by Low Oxygen Partial Pressure
Annealing, Journal of Electronic Materials 23 : 11.
M.K. Wu, J.R. Ashburn, C.J. Torny, P.H. Hor, R.L. Meng, L. Gao, Z.J. Huang, Y.Q. Wang
and C.W. Chu (1987), Phys. Rev. Lett. 58 : 908.
123
M. Machida, K. Yasuoka, K. Eguchi, H. Arai (1991), Solid State Chem. 91 : 176.
M. Murakami, M.R. Koblischka (2003), Magnetic Properties of Superconducting and
Nonsuperconducting (Nd0.33Eu0.33Gd0.33)Ba2Cu3Oy, Journal of Superconductivity :
415-419.
M. Muralidhar, N.S., M. Jirsa, M. Murakami, N. Koshizuka, I. Hirabayashi (2005),
Analysis of mixed ternary LREBa2Cu3Oy nano-structures by STM and TEM,
Physica C 426-431 : 196-201.
M. Muralidhar, N.Sakai, M. Nishiyama, M. Jirsa, T. Mahi, M. Murakami (2003), Pinning
characteristics in chemically modified (Nd,Eu,Gd)-Ba-Cu-O superconductors,
Appl.Phys. Letters 82, No. 6 : 943-945.
M.R. Koblischka, A. Koblischka-Veneva, E.S. Reddy, G.J. Schmitz, K. Ogasawara, M.
Murakami (2003), Orientations of Y2BaCuO5 and YBCO within melt-textured and
directional solidified samples studied by EBSD, Physica C 392–396 : 589–595.
M.R. Koblischka, M.M., Masato Murakami (2000), Flux pinning sites in melt-processed
(Nd0.33Eu0.33Gd0.33)Ba2Cu3Oy superconductors, Physica C: Superconductivity 337 :
p. 31-38.
M.R. Koblischka, M. Winter, P. Das, U. Hartmann, A. Koblischka-Veneva, F. Mucklich
(2008), Nanostripes in GdBa2Cu3Ox high-Tc superconductors, Materials Science
and Engineering B.
M. Tomita, M. Murakami (2003), Nature 421 : 517.
N. Hari Babu, K. Iida, Y. Shi, D.A. Cardwell (2006), Processing of high performance
(LRE)-Ba-Cu-O large, single-grain bulk superconductors in air, Physica C 445-
448 : 286-290.
N. Ogawa, I. Hirabayashi, S. Tanaka (1991), Preparation of a hi gh-Jc YBCO bulk
superconductor by the platinum doped melt growth method, Physica C :
Superconductivity 177 : 101–105.
N. Mori, K. Dateki, T. Hirao, K. Ogi (2006), Growth of faceted 123 c rystals in
superconductive YBCO/Ag composites fabricated by infiltration-growth method,
Physica C 445-448 : 308-311.
124
N. Sakai, K. Inoue, S. Nariki, A. Hu, M. Murakami, I. Hirabayashi (2005), Experiment for
growing large Gd-Ba-Cu-O-Ag bulk superconductor, Physica C 426-431 : 515-519.
N. Sakai, S. Nariki, K. Nagashima, M. Miryala, M. Murakami, I. Hirabayashi (2007),
Magnetic properties of melt-processed large single domain Gd-Ba-Cu-O bulk
superconductor 140 mm in diameter, Physica C 460-462 : 304-309.
N. Wong, H. McMurdie, B. Paretzkin, C. Hubbard, A. Dragoo (1987), ICDD Grant-in-Aid,
NBS (USA).
N. Wong, H. McMurdie, B. Paretzkin, C. Hubbard, A. Dragoo (1988), ICDD Grant-in-Aid,
NIST (USA).
N. Wong, B. Paretzkin (1991), Private Communication.
P. Benzi, E. Bottizzo, N. Rizzi (2004), Oxygen determination from cell dimensions in
YBCO superconductors, Journal of Crystal Growth 269 : 625-629.
P. Diko (2006), Microstructural limits of TSMG REBCO bulk superconductors, Physica C
445-448 : 323-329.
P. Esquinazi, A. Setzer, R. H¨ohne, C. Semmelhack, Y. Kopelevich, D. Spemann, T. Butz,
B. Kohlstrunk, M. L¨osche (2002), Phys. Rev. B 66 : 024429.
P. McGinn, W. Chen, N. Zhu, M. Lanagan, U. Balachandran (1990), Microstructure and
critical current density of zone melt textured YBa2Cu3O6+x, Applied Physics Letters
57 : 1455 - 1457.
P. Schätzle, W. Bieger, U. Wiesner, P. Verges and G. Krabbes (1996), Melt processing of
(Nd,Y)BaCuO and ( Sm,Y)BaCuO composites, Superconductor Science and
Technology 9 : 869.
P. Tixador, (2010), Development of superconducting power devices in Europe, Physica C
470 : 971-979.
Q.R. Zhang, Z.A. Xu, J.S. Wang, M.Q. Tan, M.H. Fang, H. Zhang, Z.H. He (1993), Chin.
Sci. A23 : 409.
R.D. Shannon (1976), Revised effective ionic radii and systematic studies of interatomic
distances in Halides and Chalcogenides, Acta Cryst A32 : 751-767.
R.H. Kodama, S.A. Makhlouf, A.E. Berkowitz (1997), Phys. Rev. Lett. 79 : 1393.
125
R. Shpanchenko, E. Antipov, A. Abakumov, L. Lykova, L. Kovba (1988), Vestn. Mosk.
Uni., Ser. 2 : Khim. 29, 589.
R.W. Chantrell, K. O`Geady, in:R.Gerber, C.D. Wright, G. Asti (Eds.) (1994), Applied
Magnetism, Kluwer Academic Publishers, Dordrecht : p.113.
S. Elschner, S. Gauss (1992), Supercond. Sci. Technol 5 : 300.
S. Eriksson, L.G. Johansson, L. Borjesson, M. Kakihana (1989), Physica C :
Superconductivity 162, 59.
S. Haindl, M. Eisterer, N. Horhager, H.W. Weber, H. Walter, L. Shlyk, G. Krabbes, N.
Hari Babu, D.A. Cardwell (2005), Novel methods to characterize bulk RE-BCO
superconductors, Physica C 426-431 : 625-631.
S. Haindl, M. Kidszun, A. Kauffmann, K. Nenkov, N. Kozlova, J. Freudenberger, T.
Thersleff, J. Hänisch, J. Werner, E. Reich,L. Schultz, and B. Holzapfel (2010),
High Upper Critical Fields and Evidence of Weak-Link Behavior in
Superconducting LaFeAsO1-xFx Thin Films, Phys. Rev. Lett. 104.
S.I. Yoo, N. Sakai, H. Takaichi, T. Higuchi, and M. Murakami (1994), Melt processing for
obtaining NdBa2Cu3Oy superconductors with high Tc and l arge Jc, Appl. Phys.
Lett. 65 : 633.
S. Mukoyama, M.Y., N. Hirano, N. Amemiya, N. Kashima, S. Nagaya, T. Izumi, Y.
Shiohara (2007), Study of an YBCO HTS transmission cable system, Physica C:
Superconductivity 463-465 : p. 1150-1153.
S. Nariki, N. Sakai, M. Murakami (2005), Supercond. Sci. Technol. 18 : S126.
S. Nariki, N. Sakai, M. Murakami, I. Hirabayashi (2006), Fabrication and
superconducting properties of Gd-Ba-Cu-O single-grain bulk with barium cerate
addition, Physica C 445-448 : 291-294.
S. Pratapa, B.O. Connor, B. Hunter (2002), A comparative study of single-line and Rietveld
strain-size evaluation procedures using MgO ceramics, Appl. Cryst. 01 35 : 35.
S. Suzuki, M. Suzuki, J. Walter (2001), Superconductivity and m agnetism in tantalum-
graphite multilayers based on natural graphite, Solid State Communications 118 :
523-527.
126
S. Suasmoro, M.F.K., A. Khafi, G. Trolliard, D.S. Smith, J.P. Bonnet (2012),
Microstructural and electrical characterization of bulk YBa2Cu3O7-d ceramics,
Ceramics International 38 : p. 29-38.
S.Y. Chen, Y.S. Hsiao, C.L. Chen, D.C. Yan, I.G. Chen, M.K. Wu (2008), Remarkable
peak effect in Jc(H, T) of Y–Ba–Cu–O bulk by using infiltration growth (IG)
method, Materials Science and Engineering B 151 : 31-35.
T. Chatterji (2006), Neutron Scattering fron Magnetic Materials, Institut Laue-Langevin,
France.
T.Goto, E. Sato, K. Watanabe, G. Nishijima, Y. Matsui, T. Nagai, C. Tsuruta (2005), High
critical-current density and ultra high-voltage TEM study of filamentary 0,1 at %
Zr-doped (Nd0.33Eu0.38Gd0.28)Ba2Cu3Ox superconductors, Physica C 425 : 166-170.
T. Nevriva, P. Holba, S.Durcok, D.Zemanova, E.Pollert and A.Trisk (1989), Physica C 157
: 334.
T. Rentschler, S.K.S., P. Kessler and H. Lichte (1994), Superconducting properties of Pb-
free and Pb-substituted bulk ceramics of Bi-2212 cuprates, Physica C 219 : p. 167-
175.
T. Sekitani, N.M., S. Ikeda, Y.H. Matsuda, Y. Shiohara (2004), Upper critical field for
optimally-doped YBa2Cu3O7−δ, Physica B: Condensed Matter 346-347 : 319-324.
V.A. Drozd, I.I. Baginski, S.A. Nedilko, V.S. Mel'nikov (2004), Oxygen stoichiometry and
structural parameters of Sm1+xBa2-xCu3Oy solid solutions versus composition and
temperature, Journal of Alloys and Compounds 384 : 44-50.
W. Bieger, U. Wiesner, G. Krabbes, P. Schätzle, A. Bauer, P. Verges and L. Zelenina
(1996), Melt texturing and properties control of Nd1+yBa2-yCu3Ox bulk materials,
Journal of Low Temperature Physics 105 : 1445-1450.
W.G. Suharta, D. Darminto, S. Suasmoro (2007), Optimasi doping Pt dan Ce pada sintesis
superkonduktor ( NEG)1+XBa2-xCu3O7-d dengan inklusi fase (NEG)2BaCuO5-d
menggunakan metode OCMTG, Laporan Hibah Pekerti 2007.
W.M. Woch, R. Zalecki, A. Kolodziejczyk, H. Sudra, G. Gritzner (2008), Magnetic
susceptibility and critical currents of (Tl0.5Pb0.5)Sr2(Ca0.9Gd0.1)Cu2Oy
superconductor, Materials Science-Poland 26 : 4.
127
W. Schreiner (1994), ICDD Grant-in-Aid, IC Laboratories, Katonah, NY, USA.
X. Chen, W. Eysel (1995), ICDD Grant-in-Aid, Mineral-Petrograph Inst., Univ.
Heidelberg, Germany.
X.D. Wu, S.R. Foltyn, P. Arendt, J. Townsend, C. Adams, I.H. Campbell, P. Tiwari, Y.
Coulter, D.E. Peterson (1994), High current YBa2Cu3O7-δ thick films on flexible
nickel substrates with textured buffer layers, Applied Physics Letters 65 : 1961 -
1963
X.D. Wu, R.E. Muenchausen, S. Foltyn, R.C. Estler, R.C. Dye, A.R. Garcia, N.S. Nogar,
P. England, R. Ramesh, D.M. Hwang, T.S. Ravi, C.C. Chang, T. Venkatesan, X.X.
Xi, Q. Li, A. Inam (1990), Large critical current densities in YBa2Cu3O7-x thin
films made at high deposition rates, Applied Physics Letters 57 : 523 - 525.
Y. Kimura, H. Matsumoto, H. Fukai, N.Sakai, I. Hirabayashi, M. Izumi, M. Murakami
(2006), Pulsed field magnetization for Gd-Ba-Cu-O superconductors impregnated
with Bi-Sn-Cd alloy, Physica C 445-448 : 408-411.
Y. Li, R. Duan, X. Xiong, B. Wang, G. Cao, L. Wei, D.N. Zheng, Z.X. Zhao, J.H. Ross
(2004), Positron annihilation study of the O-T phase transition for Eu1+xBa2-
xCu3O7-d superconductors, Physica C 402 p. 179-187.
Y.L. Jiao, L. Xiao, H.T. Ren, M.H. Zheng, Y.X. Chen (2003), Jc–B characteristics for
bulk single domain YBCO superconductors, Physica C 386 : 266–270.
Y. Nakamura, A. Shibusawa, H. Kobayashi, R. Inada, A. Oota (2007), Evaluation of
defects in RE123 superconductors from magnetic field mapping by transport
current, Physica C 463-465 : 707-711.
Y. Shi, N. Hari Babu, K. Iida, D.A. Cardwell (2006), The influence of Nd-Ba-Cu-Ma-O
generic seed crystal composition on Tc of seeded, bulk (RE)-Ba-Cu-O grains,
Physica C 445-448 : 295-298.
Y.Y. Chen, S.J. Jang, C.R. Wang, H.D. Yang (2005), Superconductivity in CeCo2
nanoparticles, Physica B : Condensed Matter 359-361 : 497-499.
Y. Zhao, Q. R. Zhang (1990), Prog. Phys. 10 : 421.
128
Lampiran 1
Contoh hasil pencocokan (search match) XRD, HRPD, SRD
129
Hasil pencocokan karakterisasi spektrum SRD sampel Eu0,5Gd0,5Ba2Cu3O7 dengan
menggunakan program Match.
130
Lampiran 2
Contoh hasil refinement untuk fraksi berat
131
Lampiran 3
Contoh hasil refinement untuk parameter kisi (XRD)
Atomic
x y z Posisi Faktor
Atom displacement
Wyckoff hunian (g)
parameter B (°A3)
132
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
133
11. Riwayat Pendidikan : S1-Fisika, FMIPA Universitas Airlangga
(UNAIR) Surabaya 1991
S2-Fisika, FMIPA Institut Teknologi Bandung
(ITB) 1997
S3-Fisika, FMIPA Institut Teknologi Sepuluh
Nopember (ITS) 2007-sekarang
Dari kontribusi penelitian yang telah diuraikan di atas, beberapa hal telah
diimplementasikan dalam penulisan jurnal nasional maupun internasional, proceeding,
poster dan seminar internasional yaitu :
Jurnal Internasional
1. W.G. Suharta, H. Mugirahardjo, S. Pratapa, D. Darminto, S. Suasmoro, X-ray
and high-resolution neutron diffraction studies on NdxY1-xBa2Cu3O7-δ
superconductors, J. Supercond. Nov. Magn., Vol. 26, Issue 11 (2013), p. 3209-
3214.
2. W.G. Suharta, S. Pratapa, D. Darminto, S. Suasmoro, Structural and
superconducting aspects in REBa2Cu3O7-δ (RE = Nd, Gd, Eu) superconductors
prepared by wet-mixing method and varying sintering temperature, The 2nd
International Conference on T heoretical and Applied Physics (ICTAP-2012),
19-20 2012.
Jurnal Nasional
1. I Made Hardiyasa, W.G. Suharta, Andika Fajar, D. Darminto, Studi difraksi
sinar-X dan neutron pada superkonduktor NdBa2Cu3O7-δ,, Jurnal Sains Materi
Indonesia, Indonesian Journal of Materials Science, Edisi khusus Desember
2009, hal. 94-99.
Seminar Nasional/Internasional
1. W.G. Suharta, S. Pratapa, D. Darminto, S. Suasmoro, Synthesis of
NdBa2Cu3O7-δ superconductors using wet chemical method and v arying
134
sintering temperature, Presenter pada International Symposium on A dvanced
Materials and Apllications (ISAMA 2010), 6 Oktober 2010, ITS Surabaya.
2. W. G. Suharta, S. Pratapa, D. Darminto, S. Suasmoro, Synthesis of
Nd1-xYxBa2Cu3O7-δ oxide by wet-chemical method, Presenter pada International
conference on physics and its applications (ICTAP 2011), 10-11 November
2011, ITB Bandung.
3. Eri Sri Palupi, W.G. Suharta, Andika Fajar, D. Darminto, Crystal diffraction
of GdBa2Cu3O7-δ, YBa2Cu3O7-δ, and (Eu0.5Gd0.5)Ba2Cu3O7-δ superconductors,
Poster pada International Symposium on Advanced Materials and Apllications
(ISAMA 2010), 6 Oktober 2010, ITS Surabaya.
4. I Made Hardiyasa, W.G. Suharta, Andika Fajar, Darminto, Crystal diffraction
of NdBa2Cu3O7-δ, YBa2Cu3O7-δ, and (Nd0.5Gd0.5)Ba2Cu3O7-δ superconductors,
Poster pada International Symposium on Advanced Materials and Apllications
(ISAMA 2010), 6 Oktober 2010, ITS Surabaya.
135