Pertanahan Jurnal
Pertanahan Jurnal
Pertanahan Jurnal
JURNAL
Disusun oleh:
EKA PUJI SETIYARINI
126010200111003
Abstract
This journal aims to identify and analyze due to the transfer of land rights laws
because of heredity that are not registered at the land office under Article 42 of
Government Regulation No. 24 Th 1997 and a form of legal protection for the
heirs of the transfer of rights in land as perwarisannya not registered with the
land office. This type of research is a normative juridical studies (Normative
Legal Research) by using the approach of legislation that are conceptual. Then
assisted with legal materials that will be outlined, described, and analyzed in
relation to one another. Transitional land rights because heredity is not registered
in the land office legal consequences: - heir as holders of land rights are not
guaranteed legal certainty. Transition heirs land rights because perwarisannya
not registered at the land office, basically because of the legal protection of
material rights and obligations of the heir to skip ahead to the heirs as holders of
rights to land and to this day still control the land. However, a form of legal
protection given to different heirs have the registration of transfers of land rights
because perwarisannya. This is because the heirs as holders of land rights has
gotten stronger legal protection in the form of a certificate as proof of rights
letter.
Key words:transfer of land rights, inheritance, registration of land rights
1
Mahasiswi, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya Malang.
2
Pembimbing Utama, Dosen Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya Malang.
3
Pembimbing Pendamping, Dosen Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya Malang.
3
Abstrak
Jurnal ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum peralihan hak atas
tanah karena perwarisan yang tidak didaftarkan pada kantor pertanahan menurut Pasal 42
PeraturanPemerintah No 24 Th 1997 dan wujud perlindungan hukum bagi ahli waris yang
peralihan hak atas tanah karena perwarisannya tidak didaftarkan pada kantor pertanahan.
Jenis penelitian ini merupakan penelitian Yuridis Normatif (Normatif Legal Research)
dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan yang bersifat konseptual.
Kemudian dibantu dengan bahan-bahan hukum yang akan diuraikan, dideskripsikan, dan
dianalisis keterkaitan satu sama lain. Peralihan hak atas tanah karena perwarisan yang
tidak didaftarkan pada kantor pertanahan berakibat hukum :- ahli waris sebagai pemegang
hak atas tanah tidak mendapat jaminan kepastian hukum. Ahli waris yang peralihan hak
atas tanah karena perwarisannya tidak didaftarkan pada kantor pertanahan, pada dasarnya
mendapat perlindungan hukum karena secara materiil hak dan kewajiban pewaris
langsung beralih kepada ahli waris sebagai pemegang hak atas tanah dan sampai saat ini
masih menguasai tanahnya. Akan tetapi, wujud perlindungan hukum yang diberikan
berbeda kepada ahli waris yang sudah mendaftarkan peralihan hak atas tanah karena
perwarisannya. Hal ini disebabkan karena ahli waris sebagai pemegang hak atas tanah
telah mendapat perlindungan hukum yang lebih kuat berupa sertifikat sebagai surat tanda
bukti hak.
Kata kunci : peralihan hak atas tanah, perwarisan, pendaftaran hak atas tanah
Latar Belakang
Tanah mempunyai ciri khusus yang bersegi dua, yaitu sebagai benda dan
sumber daya alam. Seperti halnya air dan udara, yang merupakan sumber daya
alam karena tidak dapat diciptakan oleh manusia. Tanah menjadi benda bila telah
diusahakan oleh manusia, misalnya menjadi tanah pertanian atau dapat pula
dikembangkan menjadi tanah perkotaan. Pengembangannya dilakukan oleh
pemerintah melalui penyediaan prasarana yang akan meningkatkan nilai tanah.
Tanah adalah benda yang dimiliki oleh masyarakat kerena diciptakan melalui
investasi dan keputusan masyarakat melalui pemerintah.
Kenyataan ini telah menunjukkan bahwa kedudukan dan peranan tanah
sering menimbulkan masalah. Hal ini disebabkan keadaan tanah yang terbatas
dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah dan harga tanah yang
meningkat dengan cepat. Seperti halnya pemilikan tanah secara absente, adanya
sertifikat ganda dan perebutan tanah warisan oleh para ahli waris. Upaya dalam
mengatasi permasalahan di bidang pertanahan yaitu dengan jalan memberikan
jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bidang pertanahan dan
agraria.
Pentingnya jaminan kepastian hukum mengenai penguasaan atau peralihan
hak atas tanah oleh seseorang yang diperoleh dari warisan merupakan
perpindahan suatu hak atas tanah dari pewaris kepada ahli waris. Perpindahan hak
atas tanah berarti subyek hak yaitu pewaris dan ahli waris, sehingga perlu
dilaksanakan pendaftaran peralihan hak untuk mendapatkan jaminan kepastian
hukum kepemilikan hak atas tanah.
Menurut Vollmar, bahwa pewarisan merupakan perpindahan harta
kekayaan secara utuh, yang berarti peralihan seluruh hak dan kewajiban orang
yang memberikan warisan atau yang mewariskan kepada orang yang menerima
warisan atau ahli waris.
Secara umum dapat dikatakan pewarisan mengandung arti yaitu
pemindahan hak pemilikan atas harta peninggalan pewaris kemudian menentukan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan menentukan berapa bagian
masing-masing.
Peralihan hak atas tanah karena pewarisan terjadi demi hukum yang
artinya dengan meninggalnya pewaris maka ahli warisnya memperoleh hak
5
pemilikan atas harta dan kekayaan pewaris. Peralihan atas hak waris yang berupa
tanah dibuktikan melalui surat keterangan waris yang dibuat oleh para ahli waris
dan diketahui atau disahkan oleh pejabat yang bewenang. Dengan surat
keterangan waris tersebut, kemudian dilakukan pendaftaran pada Kantor
Pertanahan setempat agar dicatat dalam buku tanah tentang pemegang hak yang
baru yaitu atas nama ahli waris, hal ini sangat penting dilakukan agar ahli
warisnya mempunyai kekuatan hukum.
Masalah yang berhubungan dengan tanah harus mendapat perhatian dan
penanganan yang khusus dari pemerintah sebagai penyelenggara administrasi
pertanahan agar dapat memberikan jaminan kepastian hukum atas tanah. Agar
jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan terwujud, maka sangat diperlukan :
1. Tersedianya perangkat hukum tertulis, yang lengkap dan jelas serta
dilaksanakan secara konsisten;
2. Penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif. 4
Sejak berlakunya UUPA, maka telah terjadi perubahan yang fundamental
pada hukum agraria di Indonesia, terutama hukum di bidang pertanahan, yang
disebut Hukum Tanah, yang dikalangan pemerintahan dan umum juga dikenal
sebagai Hukum Agraria. Sehingga dapat dikatakan perubahan fundamental karena
baik mengenai struktur perangkat hukumnya, mengenai konsepsinya yang
mendasarinya, maupun isinya, yang dinyatakan dalam bagian ”Berpendapat”
UUPA harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula
keperluannya menurut permintaan zaman.5
Peraturan pelaksanaan dari UUPA sangat diperlukan, dalam rangka
menghadapi kasus-kasus yang konkret di masyarakat dan demi terselenggaranya
pendaftaran tanah di Indonesia. Keberadaan peraturan pelaksanaan ini akan sangat
berguna bagi para pemegang hak atas tanah untuk membuktikan hak atas tanah
yang dikuasainya. Selain itu juga berguna bagi pemerintah untuk pelaksanaan
kebijakan pertanahan secara nasional serta berguna bagi para pihak yang
berkepentingan untuk memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah
yang menjadi objek perbuatan hukum yang akan dilakukan.
4
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanaan, Djambatan, Jakarta, 2005, Hal 69.
5
Ibid, hal. 1
6
Sebagai alat bukti yang kuat, sertifikat mempunyai arti yang sangat
penting bagi perlindungan kepastian hukum pemegang hak atas tanah.
Pendaftaran hak atas tanah karena pewarisan wajib dilakukan oleh pemegang hak
atas tanah yang memperoleh warisan.
Peristiwa hukum terjadi seperti meninggalnya seseorang yang
mengakibatkan beralihnya hak atas tanah kepada ahli warisnya. Hal ini diatur
dalam Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, disebutkan bahwa:
(1) Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah
yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun sebagai yang
diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, wajib
diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun yang bersangkutan sebagai warisan kepada kantor pertanahan,
sertifikat hak yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat
sebagai pemegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris.
(2) Jika bidang tanah yang merupakan warisan belum didaftar, wajib diserahkan
juga dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1)
huruf b.
(3) Jika penerima warisan terdiri dari satu orang, maka pendaftaran peralihan
hak tersebut dilakukan kepada orang tersebut berdasarkan surat tanda bukti
sebagai ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Jika penerima warisan lebih dari satu orang dan waktu peralihan hak tersebut
didaftarkan disertai dengan akta pembagian waris yang memuat keterangan
bahwa hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun tertentu jatuh
kepada seorang penerima warisan tertentu, pendaftaran peralihan hak atas
tanah atau hak milik atas satuan rumah susun itu dilakukan kepada penerima
warisan yang bersangkutan berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris
dan akta pembagian waris tersebut.”
(5) Warisan berupa hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang
menurut akta pembagian waris harus dibagi bersama antara beberapa
penerima warisan atau waktu didaftarkan belum ada akta pembagian
8
warisnya, didaftar peralihan haknya kepada para penerima waris yang berhak
sebagai ahli waris dan/atau akta pembagian waris tersebut.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka untuk peralihan hak atas tanah
karena pewarisan yang sudah didaftarkan mengacu pada Pasal 36 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan
pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar.
(2) Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kantor Pertanahan.
Sedangkan untuk peralihan hak atas tanah karena pewarisan yang belum
didaftarkan wajib diserahkan dokumen-dokumen yang diatur dalam Pasal 39 ayat
(1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yaitu :
1. Surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat
keterangan kepala desa/kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan
menguasai bidang tanah itu sebagaimana dimaksud Pasal 24 ayat (2), dan
2. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan
belum bersertifikat dari kantor pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di
daerah yang jauh dari kedudukan kantor pertanahan, dari pemegang hak yang
bersangkutan dengan dikuatkan oleh kepala desa/kelurahan.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut tidak mengatur
tentang denda dan sanksi atas keterlambatan dalam pendaftaran peralihan hak
atas tanah karena pewarisan, bahkan dalam Pasal 61 ayat (3) dinyatakan bahwa :
“Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan yang diajukan dalam waktu 6
(enam) bulan sejak tanggal meninggalnya pewaris, tidak dipungut biaya
pendaftaran”.
Saat ini masih ada ditemukan masyarakat yang tidak mendaftarkan tanah
warisannya. Setelah orang tuanya meninggal dunia, para ahli waris tidak segera
melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah dalam waktu 6 bulan setelah
orang tuanya meninggal dunia, bahkan tanah tersebut dibiarkan bertahun-tahun
masih atas nama orang yang sudah meninggal dunia sampai kepada beberapa
generasi penerusnya. Padahal pendaftaran peralihan hak atas tanah karena
pewarisan sangat penting. Hal ini disebabkan bahwa tanah yang telah didaftarkan
9
akan mendapatkan Surat Tanda Bukti Pemilikan Tanah yang disebut sertifikat.
Sertifikat ini merupakan surat tanda bukti hak atas tanah yang mempunyai
kekuatan dan kepastian hukum yang tetap. Sertifikat tanah yang diberikan itu akan
memberikan arti dan peranan penting bagi pemegang hak yang bersangkutan yang
berfungsi sebagai alat bukti atas tanah, terutama jika terjadi persengketaan
terhadap tanah.
Dengan demikian maka dapat dilihat beberapa hal yang menyebabkan
tidak dilakukannya pendaftaran, antara lain:
1. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap peralihan hak atas tanah karena
pewarisan, sehingga tidak melakukan pendaftaran pada kantor pertanahan. Hal
ini disebabkan karena kurangnya sosialisasi tentang peralihan hak atas tanah
karena pewarisan kepada masyarakat;
2. Kurangnya dana atau biaya yang dimiliki masyarakat untuk membiayai segala
pengurusan pendaftaran peralihan hak atas tanah karena pewarisan. Hal ini
disebabkan karena biaya yang diperlukan terlalu tinggi untuk melakukan
pengurusan pendaftaran peralihan hak atas tanah karena pewarisan pada
kantor pertanahan.
Padahal salah satu tujuan dari pendaftaran tanah menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah untuk memberikan kepastian hukum
dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah.
Alasan mendasar permasalahan ini mengakibatkan adanya kekaburan
norma pada pasal 42 ayat 1 dan ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 yang intinya
menyebutkan bahwa pemegang hak wajib mendaftarkan peralihan hak karena
pewarisan. Sedangkan didalam PP Nomor 24 Tahun 1997 tidak mengatur tentang
denda dan sanksi atas keterlambatan dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah
karena pewarisan sehingga masyarakat menjadi acuh. Kekaburan norma tersebut
menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan baik oleh Legislatif
maupun Eksekutif pada kenyataannya memerlukan waktu yang lama, sehingga
pada saat peraturan perundang-undangan itu dinyatakan berlaku maka hal-hal atau
keadaan yang hendak diatur oleh peraturan tersebut sudah berubah. Selain itu
kekaburan norma dapat terjadi karena hal-hal atau keadaan yang terjadi telah
10
diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan namun tidak jelas atau bahkan
tidak lengkap.
Akibat yang ditimbulkan dengan adanya kekaburan norma terhadap hal-
hal atau keadaan yang telah atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian
hukum (rechtsonzekerheid) atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di
masyarakat yang lebih jauh lagi akan berakibat pada kekacauan hukum
(rechtsverwarring), dalam arti bahwa selama tidak diatur berarti boleh, selama
belum ada tata cara yang jelas dan diatur berarti bukan tidak boleh. Hal inilah
yang menyebabkan kebingungan (kekacauan) dalam masyarakat mengenai aturan
apa yang harus dipakai atau diterapkan. Dalam masyarakat menjadi tidak ada
kepastian aturan yang diterapkan untuk mengatur hal-hal atau keadaan yang
terjadi.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka permasalahan yang diangkat
dalam penulisan jurnal ini adalah sebagai berikut: 1) Apa akibat hukum peralihan
hak atas tanah karena pewarisan yang tidak didaftarkan pada kantor pertanahan
menurut Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan 2) Bagaimana
wujud perlindungan hukum bagi ahli waris yang peralihan hak atas tanah karena
pewarisannya tidak didaftarkan pada kantor pertanahan. Dengan tujuan untuk
mengetahui dan menganalisis akibat hukum peralihan hak atas tanah karena
pewarisan yang tidak didaftarkan pada kantor pertanahan menurut Pasal 42
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan untuk menemukan serta
mengetahui wujud perlindungan hukum bagi ahli waris yang peralihan hak atas
tanah karena pewarisannya tidak didaftarkan pada kantor pertanahan.
Jenis penelitian ini merupakan penelitian Yuridis Normatif (Normatif
Legal Research) yang mempunyai suatu pendekatan dengan mengkaji
implementasi keterangan hukum positif (peraturan perundang-undangan) antara
Pasal yang satu dengan Pasal yang lain. “Penelitian hukum normatif ialah
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, penelitian
hukum normatif mencakup asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik
hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal,
perbandingan hukum dan sejarah hukum.6”
6
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali, Jakarta, 1985, Hlm 17.
11
7
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, Hal.301.
13
1. Beralih adalah berpindahnya hak atas tanah atau hak milik dari pemegang
haknya kepada pihak lain karena pemegang haknya meninggal dunia atau
melalui pewarisan. Peralihan hak atas tanah atau hak milik ini terjadi
karena hukum, artinya dengan meninggalnya pemegang hak (subyek),
maka ahli warisnya memperoleh hak atas tanah atau hak milik tersebut.
Dimana subyek dalam beralihnya hak atas tanah atau hak milik harus
memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah atau hak milik.
2. Dialihkan/pemindahan hak adalah berpindahnya hak atas tanah atau hak
milik dari pemegang (subyek) haknya kepada pihak lain karena suatu
perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain
tersebut memperoleh hak tersebut. Dalam dialihkan/pemindahan hak disini,
pihak yang mengalihkan/memindahkan hak harus berhak dan berwenang
memindahkan hak, sedangkan bagi pihak yang memperoleh hak harus
memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah atau hak milik.
Bentuk-bentuk perbuatan hukum yang melahirkan hak atas tanah yaitu
dengan cara beralih dan dialihkan sebagaimana diuraikan diatas antara lain
dapat berupa jual beli, hibah, tukar menukar, pemasukan dalam perusahaan
dan lelang.
A.P. Parlindungan mengatakan bahwa peralihan hak-hak tanah
seluruhnya, dapat terjadi karena penyerahan, pewarisan, pewarisan-legaat,
penggabungan budel, pencabutan hak, lelang. Penyerahan ini dapat berwujud
jual beli, hibah ataupun tukar menukar dan pewakafan. Pewarisan suatu hak
terjadi jika yang mempunyai hak meninggal dunia. Peralihan karena wasiat
legaat, suatu lembaga yang berlaku di kalangan masyarakat yang tunduk
kepada Hukum Perdata. Penggabungan Budel dapat terjadi jikalau hak atas
suami isteri dan salah satu meninggal dunia maka jika salah satu daripadanya
adalah ahli waris dapat mengajukan permohonan pencatatan hak atas namanya
dengan melampirkan Surat Keterangan Kewarisan. Pencabutan hak dapat
terjadi karena pembebasan. 8
Pewarisan hak milik atas tanah tetap harus berlandaskan pada
ketentuan Undang – Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pelaksanaannya.
8
A.P. Parlindungan, 1990, Pedoman Pelaksanaan UUPA Dan Tata Cara Pejabat
Pembuat Akta Tanah, Cet.VI, Alumni, Bandung, Hal.23-24.
14
Penerima peralihan hak milik atas tanah atau pemegang hak milik atas tanah
yang baru haruslah berkewarganegaraan Indonesia sesuai dengan ketentuan
pasal 9 Undang-undang Pokok Agraria dan pasal 21 ayat (1) UUPA bahwa
warga Negara Indonesia tunggal saja yang dapat mempunyai hak milik,
dengan tidak membedakan kesempatan antara laki – laki dan wanita yang
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah
serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun
keluarganya.
Simbol untuk hukum modern adalah kepastian hukum setiap orang akan
melihat fungsi hukum modern sebagai yang menghasilkan kepastian hukum.
Dalam masyarakat yang awam dan masyarakat modern sangat membutuhkan
adanya kepastian dalam berbagai interaksi antara para anggotanya. Kepastian
hukum atau Rechtssicherkeit Security, Rechtssicherkeit adalah sesuatu yang
baru, yaitu sejak hukum itu dituliskan, dipositifkan dan menjadi publik.
Kepastian hukum itu adalah Sircherkeit des Rechts Selbst ( kepastian tentang
hukum itu sendiri), ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian
hukum :
a. Bahwa hukum itu positif artinya bahwa ia adalah peraturan perundang
b. Bahwa hukum ini didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan
tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti “kemauan
baik”, “kesopanan”
c. Bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga
menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping itu juga mudah
dijalankan.
d. Hukum positif itu boleh sering berubah-ubah.
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab
secara normatif, bukan pada real action atau das sein nya. Kepastian hukum
secara normatif merupakan suatu peraturan yang dibuat dan diundangkan
secara pasti karena mengatur jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak
menimbulkan keraguan-raguan (multitafsir) dan logis dalam artian ia menjadi
suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak menimbulkan
kekaburan norma.
15
c) Pemberian surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat.
Sebagai implementasi dari pasal 19 ayat (1) dan (2) ini maka
dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah di bidang Pendaftaran Tanah yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 mengenai Pendaftaran Tanah.
Dan pendaftaran tanah dimaksud dijejaskan oleh Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 pada pasal 2 ayat (1) nya yaitu harus dilakukann
desa demi desa atau daerah-daerah yang setingkat dengan itu.
d) Dengan melihat konsepsi pasal 19 ayat (1 dan 2 ) UUPA serta pasal 2 ayat
(1) PP Nomor 10 tahun 1961 tersebut di atas, maka kita dapat mengetahui
bahwa pendaftaran tanah adalah perlu demi terciptanya kepastian hukum
dan kepastian hak atas tanah. Dalam pelaksanaan pendaftaran ini,
pemerintah akan melaksanakan secara sederhana dan mudah dimengerti
dan secara berangsur-angsur. Konsepsi logis dari semua itu adalah ayat 2 c
pasal 19 UUPA yaitu “akan diberikan tanda bukti hak/surat bukti hak, di
mana surat-surat bukti hak tersebut akan berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat. Inilah fungsi pokok sebenarnya dari pendaftaran tanah.
Jadi jelaslah sebenarnya bahwa tujuan pendaftaran tanah untuk
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap hak atas
tanah. Pendaftaran Tanah adalah tugas dan beban pemerintah akan tetapi untuk
mensukseskannya/keberhasilannya sangat tergantung pada partisipasi
aktif/peranan masyarakat terutama pemegang hak. Sistem pendaftaran tanah
yang dianut oleh PP. No. 10 tahun 1961 adalah Sistem Negatif. Sistem ini
disempurnakan atau dikembangkan oleh PP. No. 24 Tahun 1997 adalah asas
negatif mengandung unsur positif, menghasilkan surat tanda bukti hak yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Pendaftaran peralihan hak karena pewarisan diwajibkan dalam rangka
memberikan perlindungan hukum kepada para ahli waris dan demi ketertiban
tata usaha pendaftaran tanah, agar data yang tersimpan dan disajikan selalu
menunjukkan keadaan yang mutakhir. Sehubungan dengan pemberian
kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah, baik mengenai subjek maupun
objeknya, maka pemerintah mengharuskan dilakukan pengumuman mengenai
hak –hak atas tanah, yang meliputi:
18
efektif agar tujuan hakiki dari pendaftaran tanah terutama bagi tanah yang
akan didaftar secara sistematis dan sporadik dapat tercapai.
Sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh PP. No. 10 tahun 1961
adalah Sistem Negatif. Sistem ini disempurnakan atau dikembangkan oleh PP.
No. 24 Tahun 1997 adalah asas negatif mengandung unsur positif,
menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat.
Pemerintah harus terus mencari cara dan sistem dalam rangka
optimalisasi tujuan pendaftaran tanah terutama mengenai asas sederhana,
aman dan terjangkau, sehingga golongan ekonomi lemahpun dapat termotifasi
untuk mendaftarkan tanahnya terutama secara sistematis dan sporadik,
walaupun saat ini sudah ada program Larasita yang lebih mendekatkan pada
pelayanan dan bantuan biaya.
Apabila dilihat dari tujuan pendaftaran tanah baik melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 maupun Nomor 24 tahun 1997 maka status
kepemilikan hak atas tanah bagi warga Negara Indonesia akan terjamin dan
akan tercipta suatu kepastian baik mengenai, subjeknya, objeknya maupun hak
yang melekat diatasnya termasuk dalam hal ini peralihan hak atas tanah.
Hanya saja Kantor Pertanahan harus lebih aktif lagi mensosialisasikan
kegiatan pendaftaran tanah baik mengenai tata cara, prosedur maupun
biayanya serta pentingnya pendaftaran tanah ini bagi pemegang hak. Dan yang
lebih penting lagi kantor Pertanahan harus senantiasa melakukan
pemutakhiran data tanah agar tidak terjadi overlapping dalam pemberian
haknya atau pendaftaran haknya yang dapat menimbulkan masalah hukum
yaitu sengketa/perkara yang disebabkan oleh adanya sertifikat ganda atau
sertifikat palsu. Kantor Pertanahan haruslah senantiasa memutakhirkan
datanya terutama pembuktian sertifikat sebagai tanda bukti hak dimuat dalam
pasal 32 PP no. 24 tahun 1997, yaitu:
1. Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat
di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan
data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
20
2. Dalam atas hak suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah
atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut
dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang
merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut
pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 tahun sejak
diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis
kepada pemegang sertifikat dan kepala kantor pertanahan yang
bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai
penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat.
Ketentuan pasal ayat (1) Peraturan pemerintah no.24 tahun 1997
merupakan penjabaran dari ketentuan pasal 19 ayat (2) huruf c, pasal 23 ayat
(2), Pasal 32 ayat (2), dan Pasal 38 ayat (2) UUPA, yang berisikan bahwa
pendaftaran tanah menghasilkan surat tanda bukti yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat. Berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (1) Peraturan
Pemerintah no.24 Tahun 1997, maka sistem publikasi pendaftaran tanah yang
dianut adalah sistem publikasi negatif, yaitu sertifikat hanya merupakan surat
tanda bukti yang mutlak. Hal ini berarti bahwa data fisik dan data yuridis yang
tercantum dalam sertifikat mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima
hakim sebagai keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat
bukti lain yang membuktikan sebaliknya.
Dengan demikian, pengadilan yang berwenang memutuskan alat bukti
mana yang benar dan apabila terbukti sertifikat tersebut tidak benar, maka
diadakan perubahan dan pembetulan sebagaimana mestinya. Ketentuan Pasal
32 ayat (1) peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 mempunyai kelemahan,
yaitu Negara tidak menjamin kebenaran data fisik dan data yuridis yang
disajikan dan tidak adanya jaminan bagi pemilik sertifikat dikarenakan
sewaktu-sewaktu akan mendapatkan gugatan dari pihak lain yang merasa
dirugikan atas diterbitkannya sertifikat.
Sertifikat hak atas tanah pada dasarnya mencerminkan Pendaftaran
Tanah secara hukum (rechtkadaster atau legal cadastre) dalam hal ini
pemberian tanda bukti hak kepada pemegang hak. Dalam konteks ini, maka
21
fungsi sertifikat hak atas tanah adalah sebagai tanda bukti hak, yang diatur
dalam ketentuan UUPA yaitu:
1. Pasal 19 ayat (2) huruf c, bahwa “sertifikat hak atas tanah adalah alat
pembuktian yang kuat”;
2. Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2).
Wujud konkret dari tujuan pendaftaran tanah dalam hal menjamin
kepastian hukum dan kepastian hak adalah penerbitan sertifikat hak atas tanah.
Sertifikat mempermudah pemegang hak untuk dapat membuktikan dirinya
sebagai pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Berdasarkan ketentuan
Pasal 19 ayat (2) UUPA, maka akibat hukum dari pendaftaran hak atas tanah
berupa penerbitan surat tanda bukti (sertifikat) yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat terhadap pemegang hak atas tanah.
Sertifikat hak atas tanah memberikan arti dan peranan penting bagi
pemegang hak yang bersangkutan yaitu sebagai:
1. Alat bukti kepemilikan atas tanah apabila ada sengketa terhadap tanah
yang bersangkutan;
2. Jaminan pelunasan suatu hutang pada Bank, Pemerintah atau swasta.
Sertifikat merupakan alat bukti hak, maka yang harus dibuktikan
antara lain:
1. Jenis hak atas tanah
Dapat diketahui pada sampul dalam sertifikat dan kolom, pertama
bagian atas atas dari Buku Tanah, jenis hak yang dicntumkan antara lain
yang disebutkan dalam Pasal 16 UUPA, yaitu:
a. Hak Milik;
b. Hal Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan;
d. Hak Pakai
Diharapkan dengan adanya hak atas tanah dapat dilakukan
perbuatan hukum oleh yang mempunyai hak atas tanah tersebut kepada
pihak lain, misalnya jual beli.
2. Pemegang hak.
22
atas tanah. Tetapi karena pada umumnya orang tidak mempunyai bukti
lain hak atas tanah yang dimilikinya maka kohir atau girik ini diterima
sebagai bukti pengganti kepemilikan tanah tersebut.
Di dalam perbuatan hukum hak atas tanah, asas Nemo Plus Juris
dikenal disamping asas itikad baik, yaitu asas yang melindungi pemegang
hak yang sebenarnya. Asas ini dalam hukum pertanahan mempunyai daya
kerja untuk memberikan kekuatan pembuktian bagi peta dan daftar umum
yang ada di Kantor Pertanahan. Penerapan asas ini berarti memberikan
perlindungan kepada pemegang hak yang sebenarnya sehingga selalu
terbuka kemungkinan untuk mengadakan gugatan bagi pihak yang merasa
memiliki dan dapat membuktikan kepemilikannya kepada pihak lain yang
meskipun namanya telah terdaftar dalam daftar umum yang terdapat di
Kantor Pertanahan.
Tetapi asas Nemo Plus Juris merupakan asas dimana seseorang
tidak dapat melakukan tindakan hukum yang melampaui hak yang
dimilikinya dan akibat dari pelanggaran tersebut adalah batal demi hukum
(van rechtswegenietig). Batal demi hukum berakibat perbuatan hukum
tersebut dianggap tidak pernah ada dan karenanya tidak mempunyai akibat
hukum dan apabila tindakan hukum tersebut menimbulkan kerugian, maka
pihak yang dirugikan dapat meminta ganti rugi kepada pihak-pihak yang
melakukan perbuatan hukum tersebut.
Masyarakat khususnya bagi ahli waris yang peralihan hak atas
tanah karena pewarisannya tidak didaftarkan pada kantor pertanahan
hendaknya harus mendapatkan perlindungan hukum terlebih dahulu,
idealnya wujud Perlindungan Hukum Preventif karena hukum ini
merupakan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan
untuk mencegah sebelum terjadi pelanggaran. Hal ini terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dengan maksud mencegah suatu
pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam
melakukan suatu kewajiban. Perlindungan hukum preventif itu hendaknya
harus mempunyai kejelasan, kesesuaian antara jenis dan materi muatan,
keseimbangan, keserasian dan keselarasan.
24
Wujud perlindungan hukum bagi ahli waris yang peralihan hak atas
tanah karena pewarisannya tidak didaftarkan pada kantor pertanahan, pada
dasarnya tetap mendapat perlindungan hukum karena secara materiil hak
dan kewajiban pewaris langsung beralih pada ahli waris sebagai pemegang
hak atas tanah.
Keadilan berasal dari kata dasar “adil” yang berarti tidak memihak.
Keadilan berarti perbuatan tidak memihak dan memperlakukan setiap
orang pada kedudukan yang sama. Keadilan juga diartikan sebagai
tindakan yang tidak sewenang-wenang, tindakan berdasarkan norma dan
aturan. Sebagai sikap atau perbuatan tidak berat sebelah, keadilan dapat
dilaksanakan dalam kehidupan masyrakat, bernegara, dan kerja sama
internasional. Oleh karena itu, keadilan menjadi satu keharusan yang
diciptakan atau diwujudkan masyarakat di mana pun berada.
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai
sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar
teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. Suatu perbuatan
dikatakan adil apabila telah mampu memberikan hak-hak atau jaminan
keadilan kepada orang lain sebagaimana mestinya.
Namun, dalam pelaksanaannya masih banyak orang yang belum
mendapatkan keadilan. Bahkan, keadilan semakin jarang atau sulit
dirasakan oleh golongan masyarakat miskin atau rendah. Keadilan sering
menjadi alat bagi golongan penguasa atau kaya untuk bertindak sewenang-
wenang atau memaksakan kehendak. Untuk itulah, diperlukan upaya
peningkatan jaminan keadilan yang merata bagi semua golongan.
Gagasan negara berdasar atas hukum muncul dari para pendiri
bangsa ini dengan dilandasi oleh prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan
sosial, artinya hukum dan segala wujud nilai-nilai yang kemudian
diimplementasikan kedalam peraturan perundang-undangan tidak boleh
menyimpang, baik secara nyata maupun tersamar dari prinsip-prinsip
demokrasi maupun keadilan sosial. Hukum dalam gagasan para pendiri
tersebut justru seyogyanya menjadi dasar pertama dan utama bagi nilai-
nilai demokrasi dan keadilan sosial. Dalam negara hukum maka negara
25
Simpulan
1. Akibat Hukum dari peralihan hak atas tanah karena perwarisan yang
tidak didaftarkan pada kantor pertanahan menurut Pasal 42 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang dikaitkan dengan teori
kepastian hukum, yaitu: 1) ahli waris sebagai pemegang hak atas tanah
tidak mendapat jaminan kepastian hukum karena ahli waris tersebut
tidak mempunyai sertipikat sebagai surat tanda bukti hak yang tertulis
atas nama ahli waris; 2) ahli waris tidak dapat melakukan perbuatan
hukum, misalnya seperti : Jual Beli, Hibah, Tukar Menukar,
Pembagian Hak Bersama dan Pemasukan dalam perusahaan.
2. Wujud perlindungan hukum bagi ahli waris yang peralihan hak atas
tanah karena perwarisannya tidak didaftarkan pada kantor pertanahan
berupa perlindungan hukum represif. Sedangkan perlindungan hukun
preventif dalam permasalahan ini tidak ada karena dalam sistem
hukum pertanahan di Indonesia mengamanatkan adanya kepastian
hukum atas tanah dengan adanya pendaftaran tanah.
26
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali Afandi, 1981, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Bina
Aksara, Jakarta.
A.P. Parlindungan, 1990, Pedoman Pelaksanaan UUPA Dan Tata Cara Pejabat
Pembuat Akta Tanah, Cet.VI, Alumni, Bandung.
Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi
dan Pelaksanaan, Djambatan.
Effendy Perangin, 1986, 401 Pertanyaan dan Jawaban Hukum Agraria, Rajawali,
Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta.
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya.
Plorianus SP Sangun, 2007, Tata cara mengurus sertifikat Tanah, Visimedia, Cet.1,
Jakarta.
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali,
Jakarta.
Drs. H. Suparman Usman, 1998, Ikhtisar Hukum Waris Menurut KUH Perdata BW,
(Jakarta, darul ulum press)
Tahuneo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, Yogyakarta:
kanisius.
Tamakiran S. Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, Pionir Jaya,
Bandung.
27
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran Dan Peralihan Hak atas tanah, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945