Neuromarketing Pada Strategi Pemasaran: Etika Bisnis Islam Dalam Implementasi Teknologi

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 18

J E S

JURNAL EKONOMI SYARIAH


ISSN 2528-5610 (Print) ISSN 2541-0431 (Online)
hlm. 69-86

ETIKA BISNIS ISLAM DALAM IMPLEMENTASI TEKNOLOGI


NEUROMARKETING PADA STRATEGI PEMASARAN

Kisti Nur Aliyah


Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
e-mail: [email protected]

Abstract: Over time, marketing activities are also developing very rapidly. The
latest theory that currently carried out by the concept of neuromarketing
biometrics, which can influence consumer psychology, so consumers are
interested in buying the products, goods, or services offered. Brain imaging
techniques are used in biometrics neuromarketing research using fMRI, EEG, eye
tracking, and others. The purpose of this research is to find and describe the
urgency of using neuromarketing biometrics technology in marketing strategies.
Biometric neuromarketing implementation analyzes marketing strategies and also
analyze perspective of basic principles of Islamic business ethics towards using
technology and biometrics neuromarketing implementation. This research is a
type of qualitative research with a library research approach. Data obtained from
journals that discuss the use of these technologies, then analyzed using interactive
analysis techniques. The results show that neuromarketing biometrics is a useful
technology in helping marketers determine marketing strategies because by using
this technology, marketers get valuable internal data in the unconscious consumer
brain. But in its implementation, there are deviations from the basic principles of
Islamic business ethics, including the use of psychological discounts, sense of
urgency, and fraud in advertising. While in the use of technology, three things that
are highlighted, including the issue of conquering the mind and using it in
advertising interests, the problem of violating the free will of consumers, and the
problem of violating federal guidelines using human subjects. It hopes that future
researchers will be a focus on the study of Islamic business ethics on the use of
neuromarketing biometrics technology.

Keywords: neuromarketing; Islamic business ethics

Pendahuluan
Kebutuhan manusia yang bersifat tak terbatas dan keinginannya yang berkembang
secara terus menerus membuat kegiatan bisnis semakin lama semakin menjamur di sekitar
masyarakat. Baik heterogenitas maupun homogenitas kegiatan-kegiatan bisnis yang ada saat
ini, membuat persaingan di antara para pelaku usaha untuk menarik perhatian konsumen
semakin tinggi. Persaingan bisnis merupakan aktivitas ekonomi yang penting sebagai acuan
untuk meningkatkan kualitas produksi. Persaingan bisnis harus dilakukan secara sportif dan
sesuai tuntunan agama. Karena jika kegiatan bisnis merugikan banyak pihak disebabkan
ketidakjujuran pelaku usaha, maka bisnis tersebut tidak boleh dijalankan.
Allah swt melarang manusia untuk berlaku curang dan menganjurkan untuk bertransaksi
dengan jalan suka sama suka, seperti yang dijelaskan dalam al-Quran:

J E S Volume 5, Nomor 2, September 2020


70 Etika Bisnis Islam dalam Implementasi Teknologi

ُّ‫يما‬ ‫ا ا‬ َُّّ ُّ‫اض اُّمنْ ُك ُّْمجُّ أولأتأ ْقتُلُؤاُّْأأنْ ُف أس ُك ُّْمجُّإا َّن‬


ٍ ‫ذينُّءأ أامنُوأُّ ُّلأأَتْ ُكلُو ْأم أولأ ُك ْمُّبأْي نأ ُك ْمُّ اِبلبأ اط الُّإالَُّّأتأ أر‬َّ
ً ‫ّللأ ُُُّّّ أكا أنُّب ُك ْم أُّرح‬ ‫أَيًيُّ أهاُّال أ‬
1

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.”

Di antara strategi usaha yang melayani secara langsung keinginan konsumen adalah
strategi pemasaran (marketing). Pemasaran lebih dari sekedar fungsi bisnis yang terisolasi.2
Pemasaran merupakan sebuah filosofi yang memandu seluruh organisasi. Departemen
pemasaran tidak dapat berdiri sendiri dalam menciptakan nilai pelanggan dan membangun
hubungan pelanggan yang menguntungkan. Proses ini memerlukan peran serta seluruh bagian
perusahaan yang meliputi keputusan yang luas tentang siapa yang diinginkan perusahaan
untuk menjadi pelanggannya, kebutuhan yang harus dipuaskan, produk dan jasa apa yang
ditawarkan, penetapan harga, komunikasi yang dikirimkan, dan hubungan kemitraan yang
dikembangkan. Bagian pemasaran harus bekerja sama dengan departemen lainnya dalam
perusahaan dan dengan organisasi lain untuk memuaskan pelanggan dengan menciptakan
nilai unggul bagi pelanggan.3
Para pemasar semakin lama semakin menyadari bahwa mengelompokkan konsumen
dari segi demografis, seperti penghasilan, umur, sudah tidak memadai lagi. Oleh karena itu,
para pemasar mulai mencoba mengadakan pendekatan dari sisi kejiwaan. Maka muncullah
pendekatan psikologi dalam pemasaran. Pendekatan psikologi pemasaran selanjutnya
berkembang tidak hanya menyangkut masalah segmentasi pasar saja, tetapi juga digunakan
dalam seluruh aspek kegiatan pemasaran. Psikologi pemasaran pada hakekatnya adalah
integrasi ilmu psikologi dan perilaku manusia ke dalam kegiatan pemasaran untuk
mensukseskan tujuan pemasaran, yaitu penjualan yang maksimal. Orang membeli sesuatu
adalah untuk memenuhi kebutuhan dan memuaskan keinginannya.
Seiring berjalannya waktu, kegiatan pemasaran (marketing) juga berkembang sangat
pesat. Teori mutakhir yang kini tengah diusung adalah konsep biometrika neuromarketing
yang faktanya dapat mempengaruhi psikologi konsumen sehingga konsumen tertarik untuk
membeli produk, barang atau jasa yang ditawarkan.
Teknik-teknik memanipulasi perilaku konsumen sudah dikembangkan sejak lama.
Namun demikian, seiring dengan semakin kompleksnya perilaku konsumen itu sendiri,
metode yang ada dinilai masih kurang efisien. Oleh karena itu, konsep neuromarketing yang
telah dikembangkan pada awal tahun 2002 diusung di mana keterlibatan ilmu psikologi
menjadi sangat dominan.4 Premisnya adalah keputusan membeli dibuat oleh konsumen dalam
waktu yang sangat singkat pada bagian otak yang menangani emosi yang tidak sepenuhnya
disadari. Kemudian, dengan memahami apa yang kita sukai, tidak sukai, inginkan, takutkan,
bosankan dan lain-lain seperti yang diindikasikan melalui reaksi otak kita terhadap berbagai
stimulus merek, pemasar dapat mendesain produk dan komunikasi yang lebih memenuhi

1
al-Quran, 4: 29.
2
Philip Kotler dan Garry Amstrong, Prinsip-Prinsip Pemasaran, edisi 12 (Jakarta: Erlangga, 2008), 133.
3
Ibid., 134.
4
Christoper Morin, “Neuromarketing: The New Sciene of Consumer Behavior”, dalam
www.researchgate.net/publication/226228201, diakses pada 31 Oktober 2017.

J E S Volume 5, Nomor 2, September 2020


Kisti Nur Aliyah 71

kebutuhan pasar “yang belum terpenuhi”, yang menghubungkan dan menggerakkan “aktivitas
membeli”.5
Selama beberapa dekade, metode riset pemasaran (marketing) telah bertujuan untuk
menjelaskan dan memprediksi efektivitas kampanye iklan. Tetapi, sebagian besar teknik
konvensional mengalami kegagalan, karena emosi yang kuat menjadi mediator bagaimana
pandangan dan pemahaman konsumen melalui sebuah pesan iklan itu terbentuk. Misalnya,
para peneliti telah mengandalkan kemampuan konsumen untuk melaporkan bagaimana
pandangan mereka pada suatu iklan. Metode pengambilan data dapat berupa wawancara
perorangan yang bersifat rahasia atau tertutup. Sayangnya, metode ini memiliki cukup
keterbatasan. Pertama, pemasar menganggap bahwa orang-orang yang benar-benar mampu
menjelaskan proses kognitif mereka sendiri sebenarnya memiliki komponen bawah sadar.
Kedua, banyak faktor yang dapat memotivasi peserta penelitian untuk mendistorsi pelaporan
perasaan mereka, termasuk insentif, kendala waktu, maupun tekanan teman sebaya.
Penelitian Asela A. Burgos Campero dengan judul “Analytical Approach to Neuro
Marketing As a Bussines Strategy”6 mengatakan bahwa dalam proses pengambilan keputusan
manusia, termasuk emosi, komponen terbesarnya terjadi secara tak sadar yang diatur oleh
sistem limbik di otak. Dia menyebutkan aktivitas otak tak sadar memiliki kekuatan yang
besar, cepat, dapat mengatasi perintah atau tugas yang banyak dalam waktu yang bersamaan,
juga dilengkapi pola kemampuan pengenalan stimulus yang unik. Sebaliknya aktivitas otak
sadar bekerja lebih lambat, hanya bisa fokus pada satu perintah atau tugas dalam satu waktu,
dan tidak dapat mengatasi hal-hal yang kompleks. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan
bahwa aktivitas otak tak sadar memiliki andil lebih besar untuk pengambilan keputusan
pembelian konsumen.
Permasalahan yang tengah dihadapi para pelaku marketing saat ini adalah mereka tidak
tahu apa yang terjadi di bagian otak tak sadar manusia. Aktivitas otak sadar dan tak sadar
manusia bekerja secara paralel. Otak sadar manusia tidak tahu apa yang sedang terjadi dalam
otak tak sadarnya. Hal tersebut dapat terlihat, karena konsumen tidak tahu secara pasti
mangenai perilaku, nilai-nilai, motivasi, kepercayaan, tujuan dan faktor-faktor lainnya yang
mempengaruhi perilaku mereka. Salah satu cara paling efektif untuk memperoleh informasi
mengenai aktivitas otak tak sadar konsumen adalah dengan menggunakan bantuan peralatan
diagnosis medis, dibanding dengan mereka menjelaskannya. Konsumen cenderung tidak
memikirkan apa yang mereka rasakan, tidak menyebutkan apa yang betul-betul mereka
pikirkan, dan tidak melakukan apa yang mereka katakan sehingga dapat menghasilkan bias-
bias yang begitu besar dalam riset pasar yang dilakukan secara konvensional.
Isu utama dalam penelitian neuromarketing adalah masalah etika dalam meningkatkan
keuntungan komersial. Dalam sudut pandang ilmiah, neuromarketing merupakan suatu
keadaan di mana memungkinkan peneliti untuk merancang sebuah kampanye pemasaran
sangat adiktif yang mengabaikan kehendak bebas individu.7 Bidang neuromarketing ditinjau

5
Joel J. Davis, Penelitian Periklanan, Teori dan Praktik, Edisi Kedua (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 318.
6
LCI. Asela A. Burgos Campero dan Jose G. Vargas Hernandes, “Analytical Approach to Neuro Marketing As
a Bussines Strategy”, Journal of Research in International Business and Management Volume 2, Nomor 12
(December 2012), 1-7.
7
Madan, C. R. “Neuromarketing: The Next Step in Market Research?”, Jurnal Eureka, Volume 1, Nomor 1
(Januari 2010), 34-42.

J E S Volume 5, Nomor 2, September 2020


72 Etika Bisnis Islam dalam Implementasi Teknologi

dengan hati-hati oleh kelompok perlindungan konsumen serta banyak akademisi karena
implikasi etis dalam merancang iklan untuk sengaja menyebabkan efek neurologis tertentu.8
Teori AIDA (Attention, Interest, Desire, Action), yang selama ini menjadi tujuan
beriklan nampaknya tidak berlaku lagi sejak kehadiran neuromarketing. Dengan
neuromarketing, seorang pemasar tidak lagi mengharapkan perhatian (attention) dan
ketertarikan (interest) seorang konsumen terhadap suatu iklan, tapi langsung menyentuh pada
desire atau hasrat seseorang untuk memiliki apa yang ada di dalam iklan tersebut.
Dari beberapa percobaan yang telah dilakukan oleh para ahli Neuroscience dan pemasar
ada sebuah ketakutan bahwa ilmu ini akan dipergunakan untuk mengintai pikiran konsumen.
Bahkan, sebuah organisasi di Amerika Serikat yang bernama Commercial Allert,
mengkhawatirkan praktik neuromarketing merupakan tindakan menaklukkan pikiran dan
menggunakannya untuk kepentingan iklan.

Pengertian dan Sejarah Neuromarketing


Berdasarkan istilahnya, neuromarketing terdiri dari dua kata, yaitu neuro atau
neuroscience yang merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang pikiran
atau fisiologis otak, dan marketing (pemasaran).
Joel J. Davis berpendapat bahwa neuromarketing atau neuropemasaran adalah label
yang diberikan pada penggunaan observasi otak untuk alasan pemasaran. 9 Lindstorm
mengatakan bahwa neuromarketing adalah perpaduan yang menarik antara ilmu pemasaran
dan neuroscience yang menggali pikiran bawah sadar, perasaan, dan keinginan terutama
dalam proses keputusan konsumen terhadap produk atau layanan.10
Christhoper Madan mengatakan bahwa “Neuromarketing is an emerging
interdisciplinary field that combines psychology, neuroscience, and economics”.11 Jadi, tidak
hanya ekonomi dan neuroscience saja yang terlibat di dalamnya, neuromarketing juga
melibatkan ilmu psikologi dalam penggunaanya. Tujuan dari neuromarketing adalah untuk
mempelajari bagaimana otak secara psikologi dipengaruhi oleh iklan dan strategi pemasaran
lainnya.
Penelitian Asela A. Burgos-Campero and José G. Vargas-Hernández yang berjudul
“Analytical Approach To Neuromarketing as a Business Strategy” mengatakan bahwa
neuromarketing mengizinkan kita untuk mengetahui bagaimana reaksi otak kita melihat
sebuah produk tanpa harus menjelaskan bagaimana dan apa yang mereka rasakan. 12 Dengan
demikian, seorang marketer bisa merancang strategi bisnis dengan cara mengembangkan
produk tersebut, baik itu dari kemasan, iklan, harga maupun variabel pemasaran lainnya.
Penelitian neuromarketing menghilangkan subjektivitas dengan melakukan pengukuran
perilaku otak yang dapat diamati. Pemikiran neuromarketing mudah dipahami, yakni
premisnya adalah keputusan membeli dibuat oleh konsumen dalam waktu yang sangat singkat
8
Ibid.
9
Joel J. Davis, Penelitian Periklanan, 318.
10
M. Lindstrom, Buy-Ology Rahasia di Balik Keputusan Membeli (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011), 6.
11
Christoper R. Madan, “Neuromarketing: The Next Step In Market Research?”, Journal of Eureka, Volume 1,
Nomor 1 (2010), 34.
12
LCI. Asela A. Burgos Campero dan Jose G. Vargas Hernandes, “Analytical Approach to Neuro Marketing As
a Bussines Strategy”, Journal of Research in International Business and Management, Volume 2, Nomor 12
(Desember 2012), 1-7.

J E S Volume 5, Nomor 2, September 2020


Kisti Nur Aliyah 73

pada bagian otak yang menangani emosi yang tidak sepenuhnya disadari. Kemudian, dengan
memahami apa yang kita sukai, tidak sukai, inginkan, takutkan, bosankan dan lain-lain seperti
yang diindikasikan melalui reaksi otak kita terhadap berbagai stimulus merek, pemasar dapat
mendesain produk dan komunikasi yang lebih memenuhi kebutuhan pasar “yang belum
terpenuhi”, yang menghubungkan dan menggerakkan “aktivitas membeli”.13 Dalam penelitian
Harit Kumar dan Priyanka Singh dengan judul “Neuromarketing: An Emerging Tool of
Market Research” menyebutkan bahwa kecepatan pengambilan keputusan membeli yang
dilakukan oleh otak yang menangani emosi terjadi selama 2,6 detik saja.14
Tujuan dari neuromarketing adalah untuk mempelajari bagaimana otak secara fisiologis
dipengaruhi oleh iklan dan strategi pemasaran.15 Neuromarketing penting dipelajari, karena
neuromarketing dapat menemukan proses implisit dan otomatis yang dapat membuat proses
pengambilan keputusan, dan dapat mengungkapkan informasi tentang perilaku konsumen
yang tidak dapat diperoleh dari metode pemasaran konvensional.16 Hal ini dapat membuat
segmentasi pelanggan lebih efektif dilakukan, yang akhirnya akan mengarah pada
peningkatan pemasaran produk dan peningkatan volume penjualan.
Dua teknik utama pengukuran pola dan keaktifan gelombang otak dalam
neuromarketing adalah fMRI dan EEG.17 fMRI dapat mengidentifikasi area spesifik otak yang
aktif pada waktu yang spesifik, dengan cara mengukur perubahan aliran darah dan suplai
oksigen oksigen dalam otak. Area otak yang aktif akan lebih membutuhkan banyak oksigen
untuk bereaksi. Sedangkan EEG mengukur dan mencatat aktivitas aliran listrik dalam otak,
yang hasilnya memberikan wawasan tentang tingkat keaktifan otak, tetapi tidak dapat
menjelaskan area spesifik otak yang aktif.

The Pepsi Paradox; Salah Satu Penerapan Biometrika Neuromarketing


Contoh penggunaan teknologi neuromarketing yang paling familiar adalah kasus “The
Pepsi Paradox”18 yang melibatkan minuman bersoda Coca-cola. Penelitian ini melibatkan
responden sebanyak 67 individu. Pada awalnya, dilakukan “blind taste test”. Responden tidak
diberitahukan merek minuman bersoda apa yang mereka minum. Hasilnya, semua responden
menunjukkan level keaktifan yang kuat dan hampir sama pada area otak yang menangani
kepuasan. Tetapi, ketika percobaan kedua dilakukan dan responden diberitahukan merek
minuman apa yang mereka minum, tiga dari empat responden lebih “memilih” Coca-cola
dengan area otak yang aktif adalah bagian ingatan yang kuat dan menyenangkan. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa iklan Coca-cola mendapat tempat yang baik dari pada Pepsi dan itu
membuat marketing di perusahaan Pepsi untuk membuat iklan ataupun tampilan Pepsi lebih
disukai oleh konsumen.

13
Joel J. Davis, Penelitian Periklanan, 318.
14
Harit Kumar dan Priyanka Singh, “Neuromarketing: An Emerging Tool of Market Research”, International
Journal of Engineering and Management Research, Volume 5, Nomor 6 (December 2015), 530-535.
15
Joel J. Davis, Penelitian Periklanan, 304.
16
Venkatraman, V. et al, “New Scanner Data for Brand Marketers: How Neuroscience Can Help Better
Understand Differences in Brand Preferences”, Journal of Consumer Psychology, Volume 22, Nomor 1 (2012),
143-153.
17
Ibid., 320.
18
S. M. McClure et al, “Neural Correlates of Behavioral Preference for Culturally Familiar Drinks”, Neuron,
Volume 44, Nomor 2 (2004), 379-387.

J E S Volume 5, Nomor 2, September 2020


74 Etika Bisnis Islam dalam Implementasi Teknologi

Gambar 1.1.19 Scanning Otak pada fMRI dalam Eksperiman Pepsi vs Coke

Prinsip Dasar Etika Bisnis Islam


Aplikasi etika bisnis Islam pada dasarnya mengacu pada prinsip dasar etika bisnis
Islam, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Prinsip unity (kesatuan)
Merupakan refleksi konsep tauhid yang memadukan seluruh aspek kehidupan baik
ekonomi, sosial, politik budaya menjadi keseluruhan yang homogen, konsisten dan
teratur. Adanya dimensi vertikal (manusia dengan penciptanya) dan horizontal (sesama
manusia). Prakteknya dalam bisnis:
a. Tidak ada diskriminasi baik terhadap pekerja, penjual, pembeli, serta mitra kerja
lainnya.
b. Meninggalkan perbuatan yang tidak beretika dan mendorong setiap individu untuk
bersikap amanah karena kekayaan yang ada merupakan amanah Allah.
2. Prinsip equilibrium (keseimbangan)
Berkaitan dengan konsep adil. Merupakan suasana keseimbangan di antara berbagai
aspek kehidupan manusia (sosial, politik, ekonomi, agama, dan lain-lain), yang
membentuk tatanan sosial yang harmonis. Keseimbangan, kebersamaan, dan
kemoderatan merupakan prinsip etis yang harus diterapkan dalam aktivitas maupun
entitas bisnis.

‫اما‬
ًُّ ‫كُّقأو‬ ‫والَّ اذينُّإاذأآُّأّنْ أف ُقواُّْ أَلُّيس ارفُوُّاُّْوأَلُّي ْقت روُّاُّْوُّب ا‬
‫ْيُّذأال أ‬
‫أ ْ أ ُ أ أْأ‬
20
‫أ‬ ُ ُْْ ‫أ أ‬
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan,
dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian”.
3. Prinsip free will (kehendak bebas)
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis Islam, tetapi
kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar.
Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif

19
Samuel Mc.Clure, “The Pioneer of Neuromarketing”, dalam http://passioncomm.com/articles/in-a-battle-to-
the-death-emotional-marketing-wins/, diakses pada 13 Juli 2019.
20
al-Quran, 18: 67.

J E S Volume 5, Nomor 2, September 2020


Kisti Nur Aliyah 75

berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya. Sampai pada tingkat
tertentu, manusia dianugerahi kehendak bebas untuk memberi arahan dan membimbing
kehidupannya sendiri sebagai khalifah di muka bumi.
Berdasarkan prinsip kehendak bebas ini, manusia mempunyai kebebasan untuk
membuat suatu perjanjian termasuk menepati janji atau mengingkarinya. Tentu saja
seorang muslim yang percaya kepada kehendak Allah akan memuliakan semua janji yang
dibuatnya.
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis Islam. Kebebasan
bagi individu dibuka lebar, tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif.
Tidak ada pula batasan pendapatan bagi seseorang untuk aktif bekerja dan berkarya
dengan segala potensi yang dimilikinya. Dalam ekonomi Islam, kebebasan ialah tetap
menggabungkan antra nilainilai moral dan spiritual. Karena apabila tidak ada filter moral,
maka kegiatan ekonomi akan rawan kepada perilaku destruktif yang dapat merugikan
masyarakat luas. Telah terjadi tradisi di masyarakat sekarang ini bahwa dalam kegiatan
ekonominya cenderung mengedepankan materialisme tanpa memperdulikan moralitas.
Seharusnya kebebasan manusia yang ada adalah kebebasan yang bertanggung
jawab, yaitu kebebasan yang didasari oleh ‘ilm (ilmu) dan kesadaran penuh. Manusia
bebas bertindak, yaitu manusia bebas berbuat sesuatu dengan tujuan dan disengaja yang
dipengaruhi faktor internal dan eksternal dirinya. Bisa jadi hal itu disebabkan oleh
pengaruh ajaran, agama, bacaan, lingkungan dan lain sebagainya. Kebebasan dengan
kewajiban moral yaitu bahwa seseorang yang melakukan sesuatu kewajiban karena ia
setuju, walau itu membutuhkan pengorbanan, karena didapati tindakan tersebut ternyata
dapat membuat ia merasa bebas. Kebebasan bertanggung jawab yaitu sesungguhnya sikap
moral yang mature atau dewasa adalah sikap yang bertangung jawab dan tidak mungkin
ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan.
4. Prinsip responsibility (tanggung jawab)
Secara logis prinsip ini berhubungan erat dengan prinisp kehendak bebas. Ia
menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan
bertanggung jawab atas semua yang dilakukannya. Kebebasan yang tak terbatas adalah
sebuah absurditas, ia mengimplikasikan tidak adanya sikap tanggung jawab. Untuk
memenuhi konsep keadilan dan kesatuan seperti yang kita lihat dalam ciptaan Allah,
manusia harus bertanggung jawab terhadap segalan tindakan yang dilakukan.
5. Prinsip benevolence (kebenaran)
Kebenaran di sini juga meliputi kebajikan dan kejujuran. Maksud dari kebenaran
adalah niat, sikap dan perilaku benar dalam melakukan berbagai proses baik itu proses
transaksi, proses memperoleh komoditas, proses pengembangan produk maupun proses
perolehan keuntungan.
Kebajikan artinya melaksanakan perbuatan baik yang dapat memberikan
kemanfaatan kepada orang lain, tanpa adanya kewajiban tertentu yang mengharuskan
perbuatan tersebut atau dengan kata lain beribadah dan berbuat baik seakan melihat
Allah, jika tidak mampu maka yakinlah bahwa Allah melihat. Dalam al-Quran prinsip
kebenaran yang mengandung kebajikan dan kejujuran dapat diambil dari penegasan
keharusan menunaikan atau memenuhi perjanjian atau transaksi bisnis.

J E S Volume 5, Nomor 2, September 2020


76 Etika Bisnis Islam dalam Implementasi Teknologi

Neuromarketing dalam Etika Bisnis Islam


Neuromarketing adalah sebuah perkawinan menarik antara ilmu pemasaran dan
neuroscience yang menggali pikiran bawah sadar, perasaan, dan keinginan terutama dalam
proses pengambilan keputusan konsumen terhadap produk atau layanan.21
Secara fungsinya, otak kita dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian yang menangani
rasional dan bagian yang menangani emosional. Berdasarkan penelitian dalam bidang
neuroscience, diketahui bagian otak yang menangani masalah emosional disebut limbic22
mempunyai andil yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan konsumen, dari pada
otak yang menangani rasional. Karena emosi adalah cara kerja otak kita dalam
menerjemahkan nilai-nilai dan merek. Ritty Francis dalam penelitiannya bahkan mengatakan
“It’s estimated that 95 percent of all thought occurs in our subconscious minds—which
traditional research methods can’t measure”.23 Yang berarti bahwa 95% pengambilan
keputusan membeli konsumen dilakukan oleh bagian otak yang menangani emosional.

Gambar 1.2. Sistem Otak Manusia24

Isu utama dalam penelitian neuromarketing adalah masalah etika dalam meningkatkan
keuntungan komersial. Dalam sudut pandang ilmiah, neuromarketing merupakan suatu
keadaan di mana memungkinkan peneliti untuk merancang sebuah kampanye pemasaran
sangat adiktif, yang mengabaikan kehendak bebas individu.25 Bidang neuromarketing ditinjau
dengan hati-hati oleh kelompok perlindungan konsumen serta banyak akademisi karena
implikasi etis dalam merancang iklan untuk sengaja menyebabkan efek neurologis tertentu.26
Tampak jelas bahwa neuromarketing secara mutakhir menginformasikan pengambilan
keputusan periklanan dan berpotensi menyediakan wawasan yang bahkan lebih banyak lagi
pada masa mendatang. Meskipun demikian, banyak keprihatinan yang muncul dari
pendekatan ini. Keprihatiann tersebut muncul dari isu penggunaan teknik pencitraan otak

21
M. Lindstrom, Buy-Ology Rahasia di Balik Keputusan Membeli (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011), 22-
23.
22
Sistem limbic adalah himpunan struktur otak yang terletak pada kedua sisi talamus, tepat di bawah serebrum.
Sistem limbik juga mengacu pada korteks paleomamalia. Sistem limbic mendukung berbagai fungsi, seperti
emosi, perilaku, motivasi, memori jangka panjang, dan penciuman.
23
Ritty Francis dan Reena R, “A Study on Neuromarketing: A Unique Bond between Consumer’s Cognizance
and Marketing”, International Journal of Commerce and Management Research, Volume 2, Nomor 11
(November 2016), 54.
24
Bram Ardianto, “Otak Reptile, Sistem Limbik dan Neokorteks”, dalam https://bramardianto.com/otak-reptil-
sistem-limbik-dan-neokorteks.html, diakses pada 13 Juli 2019.
25
Madan, C. R. “Neuromarketing: The Next Step in Market Research?”, Jurnal Eureka, Volume 1, Nomor 1
(Januari, 2010), 34-42.
26
Ibid.

J E S Volume 5, Nomor 2, September 2020


Kisti Nur Aliyah 77

pada pengambilan keputusan periklanan. Wilson dan para koleganya merangkum


ketidaksetujuan etis tersebut.

“Pendapat kami adalah bahwa berbagai temuan dan metode neuroscience mengandung
potensi praktik pemasaran yang mengancam kemampuan konsumen untuk mengikuti
preferensi dan determinasi konsumen yang berkehendak bebas. Konteks ini
menunjukkan bahwa berbagai batasan eksternal pengambilan keputusan yang tertanam
melalui aplikasi manipulasi saraf merupakan kemungkinan pelanggaran. Pelanggaran
sangat problematik ketika manipulasi terjadi tanpa pengetahuan, persetujuan dan
pemahaman eksplisit.”27

Lowry berpandangan lebih ekstrim lagi, bahwa fokus pada neuromarketing ini
mengalihkan pada tujuan awal mereka, yakni beriklan, pada tujuan yang diyakini adalah
tujuan sesungguhnya mereka menciptakan iklan yang membedakan mereknya dan
menargetkan perasaan konsumen.

“Saya mendapati bahwa praktik neuromarketing tidak sopan dan bertentangan dengan
segala prinsip pengalaman konsumen. Ketimbang mengacaukan pikiran mereka,
berfokuslah pada perasaannya, mengembangkan pengalaman yang menarik dan secara
finansial dapat dibenarkan. Pelanggan sekarang jauh lebih cerdas dan berdaya
dibandingkan dengan dulu. Sudah waktunya untuk berhenti menghina mereka. Dalam
sebuah hubungan resiprokal, perlakukanlah mereka sebagai mitra yang jujur.
Perlakukanlah mereka sebagai individu, bukan mesin, dan doronglah kemampuan
mereka untuk mengambil keputusan. Jika anda ingin mengambil keputusan yang tepat,
berikanlah kepada mereka alasan yang tepat, bukan sebuah hasil pemindaian otak.”28

Dari beberapa percobaan yang telah dilakukan oleh para ahli Neuroscience dan
pemasar, ada sebuah ketakutan bahwa ilmu ini akan dipergunakan untuk mengintai pikiran
konsumen. Bahkan, sebuah organisasi di Amerika Serikat yang bernama Commercial Allert,
mengkhawatirkan praktik neuromarketing merupakan tindakan menaklukkan pikiran dan
menggunakannya untuk kepentingan iklan.29 Mereka juga mengatakan bahwa kegiatan
neuromarketing tidak etis dilakukan karena pelaku neuromarketing dapat menembus privasi
dari konsumen dengan menggunakan alat kesehatan, yang dapat menyebabkan
neurocapitalism. Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa kegiatan neuromarketing
melanggar pedoman federal untuk penelitian dengan subjek manusia.
Adapun analisis etika bisnis Islam terkait beberapa isu dalam penggunaan teknologi
biometrika neuromarketing antara lain adalah sebagai berikut:
1. Isu menaklukkan pikiran dan menggunakannya untuk kepentingan iklan
Teknologi biometrika neuromarketing memungkinkan pemasar untuk mengetahui
apa yang ada di dalam otak konsumen, bahkan tanpa disadari oleh konsumen itu sendiri.
Hal ini diakibatkan karena yang diteliti dan diambil data adalah bagian otak tak sadarnya.

27
R. Mark Wilson, et al, “Neuromarketing and Consumer Fre Will”, The Journal of Consumer Affairs, Volume
42, Nomor 1 (Maret 2008), 389.
28
Lior Arrusy, “Neuromarketing Isn’t Marketing”, Costumer Relationship Management (Januari 2009), 12.
29
Commercial Alert, “Commercial Alert Asks Emory University to Halt Neuromarketing Experiments”, dalam
http://www.commercialalert.org/PDFs/neuromarketin grel. pdf, diakses pada 15 Mei 2019.

J E S Volume 5, Nomor 2, September 2020


78 Etika Bisnis Islam dalam Implementasi Teknologi

Tindakan tersebut pada dasarnya merupakan tindakan yang tidak etis karena dengan
berbekal data internal dari dalam otak konsumen, pemasar bisa saja merancang iklan
yang tanpa disadari konsumen membuat konsumen merasa kecanduan. Apabila seorang
pemasar telah menemukan dan menyentuh “buy botton”30 dari konsumen, maka
konsumen tidak akan menolak apa yang ditawarkan iklan tersebut.
Dalam memahami konsumen untuk membangun sebuah komunikasi periklanan,
maka seorang pemasar harus dapat menangkap gelombang pemancar dari konsumen
tersebut. Gelombang tersebut berupa insight atau pikiran terdalam, yang tidak
sepenuhnya disadari oleh konsumen, yang tidak terlihat namun sebenarnya bisa
dirasakan.
Tujuan beriklan yang sebelumnya dirancang secara sistematis dalam teori AIDA
(Attention, Interest, Desire, Action) sepertinya tak berlaku sejak munculnya
neuromarketing. Dengan menggunakan teknologi neuromarketing, seorang pemasar
dapat merancang sebuah iklan dan bauran pemasaran seperti yang “dikehendaki” oleh
konsumen. Pemasar dapat langsung menyentuh hasrat (desire) konsumen untuk membeli
produknya tanpa harus kesulitan memikirkan bagaimana menarik perhatian (attention)
konsumen dari produk yang ditawarkannya. Desain memberikan peran yang penting
dalam proses percepatan ini, yaitu menghadirkan percepatan dalam pemahaman terhadap
sebuah pesan dalam bentuk visual, sehingga dapat menghadirkan kesan yang sangat
emosional.
Dengan demikian, secara tidak langsung terdapat indikasi “pemaksaan” dalam
proses keputusan membeli. Jika tujuan dari penggunaan teknologi biometrika
neuromarketing adalah untuk meracuni pikiran konsumen dalam pembuatan iklan yang
adiktif, maka hal tersebut tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Islam dalam berbisnis yang
salah satunya tersurat dalam hadis riwayat Ibnu Majah:

‫ىُّاّلل ا‬ ‫ول َّا‬


ُّ‫اض‬ ‫ُّعلأْيه أُّو أسلَّ أمُّإاََّّنأاالْبأ ْي ُع أ‬
ٍ ‫ُّع ْنُّتأ أر‬ ‫ُّصلَّ َُّ أ‬
‫ُّاّلل أ‬ ُ ‫ال أُّر ُس‬
‫قأ أ‬
“Nabi bersabda: Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika berdasar suka sama
suka.”

Berdasarkan hal tersebut, maka banyak peneliti dalam bidang neuromarketing yang
menginginkan adanya menyarankan penciptaan kode etik yang akan diadopsi oleh
industri neuromarketing. Tujuan keseluruhan dari kode etik tersebut adalah untuk
mendorong penelitian dan pengembangan, kewirausahaan dan profitabilitas perusahaan
dengan menerapkan teknologi neuromarketing dengan cara yang bermanfaat dan tidak
berbahaya dalam semua tahap pengembangan, implementasi dan penyebaran. Kode
tersebut harus, antara lain mengatasi masalah yang berkaitan dengan keselamatan
responden (kesehatan, efek pemindaian, penanganan gambar), serta perlindungan yang
terancam oleh eksploitasi pemasaran.
Terlepas dari kontroversi penggunaan teknologi biometrik neuromarketing yang
seakan-akan memaksa konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan, ternyata

30
Buy Botton adalah salah satu area otak yang bertanggung jawab terhadap keputusan pembelian. Area ini dapat
ditemukan apabila otak dieksplor secara terus menerus.

J E S Volume 5, Nomor 2, September 2020


Kisti Nur Aliyah 79

penggunaan teknologi ini efektif untuk “kampanye pemasaran”. Misalkan, selama


bertahun-tahun, penggunaan slogan peringatan “merokok membunuhmu” disertai dengan
gambar penyakit yang diakibatkan rokok, diharapkan efektif untuk membuat seseorang
berhenti merokok karena adanya peringatan ini dalam iklan maupun setiap bungkus
rokok. Tetapi, dengan neuromarketing penggunaan anggaran yang besar untuk membuat
iklan dan kampanye pemasaran anti merokok sadar bahwa penggunaan slogan disertai
gambar tersebut hanyalah sia-sia. Hasil penelitian menyebutkan bahwa ketika seorang
perokok aktif diperlihatkan desain kemasan rokok dengan tulisan “merokok
membunuhmu” atau yang sejenisnya disertai gambar, ternyata malah membuat area otak
yang menangani “kenangan indah” diaktifkan. Ini berarti bahwa kampanye anti merokok
dalam kemasan maupun iklan sangat tidak efektif untuk menghentikan seorang perokok
untuk tidak merokok lagi.
Penggunaan teknologi biometrika neuromarketing di bidang kampanye anti
merokok ini terdapat nilai-nilai kebaikan di dalammya, sesuai dengan prinsip etika bisnis
Islam. Karena dengan adanya temuan ini, biaya untuk kampanye anti merokok dapat
ditekan dan dapat dicari metode yang lebih efektif dalam penggunaan biaya kampanye
anti merokok ini.
2. Isu melanggar kehendak bebas konsumen (free will)
Teori perilaku konsumen menyebutkan ada beberapa faktor yang mendasari
seorang konsumen dalam membuat keputusan membeli. Konsumen berhak mendapatkan
produk dan jasa dengan kualitas yang sesuai dengan harga yang mereka bayar. Tetapi,
dengan adanya neuromarketing, seolah-olah konsumen hanya dibatasi oleh beberapa
pilihan produk.
Seperti dijelaskan di atas, bahwa dalam penelitian biometrika neuromarketing
mampu mengumpulkan data internal dari konsumen dengan objektif. Terutama di era
digital marketing saat ini, privasi informasi tentang preferensi konsumen menjadi hal
yang sangat berharga bagi perusahaan. Melalui neuromarketing, informasi tersebut dapat
didapatkan. Seperti alamat email, riwayat pembelian, riwayat pencarian, dan lain
sebagainya. Dan informasi tersebut bisa diperjua-belikan oleh perusahaan-perusahaan
yang menginginkannya. Dengan berbekal data tersebut, perusahaan dapat dengan mudah
berinteraksi dengan konsumen secara bebas dengan menawarkan produk maupun jasa
yang mereka jual. Neuromarketing menyediakan kemungkinan mendeteksi data tentang
pengambilan keputusan pembelian dan preferensi pembeli yang belum diketahui sampai
sekarang. Untuk mengubah data menjadi informasi, neuromarketing harus “belajar”
bagaimana menghubungkan data yang dikumpulkan dengan preferensi, seleksi dan
perilaku konsumen, untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, yang tentunya merupakan
salah satu area penelitian neuromarketing di masa depan.
Dalam membuat keputusan pemasaran, terutama periklanan, neuromarketing bisa
merongrong otonomi dan kebebasan manusia. Artinya, iklan membuat manusia tidak lagi
dihargai kebebasannya dalam menentukan pilihannya untuk memperoleh produk tertentu.
Banyak pilihan dan pola konsumsi manusia modern sesungguhnya adalah pilihan iklan.
Manusia didekte oleh iklan dan tunduk kepada kemauan iklan, khususnya iklan
manipulatif dan persuasif non rasional.

J E S Volume 5, Nomor 2, September 2020


80 Etika Bisnis Islam dalam Implementasi Teknologi

Salah satu prinsip dasar etika bisnis Islam adalah adanya landasan kehendak bebas
(free will) yakni potensi untuk menentukan pilihan yang beragam. Kebebasan manusia
tidak dibatasi, maka manusia memiliki kebebasan pula untuk menentukan pilihan yang
salah ataupun yang benar. Oleh karena itu kebebasan manusia untuk melakukan kegiatan
ekonomi haruslah dilakukan dengan cara-cara yang benar, adil, dan mendatangkan
manfaat bagi masyarakat luas menurut al-Quran dan Sunah Rasul.
Selain itu, dalam transaksi jual beli, seorang penjual maupun pembeli memiliki hak
yang sama untuk meneruskan atau membatalkan proses jual beli tersebut, berdasarkan
Hadis dari Hakim ibn Hizam bahwa Rasulullah bersabda “penjual dan pembeli masih
boleh memilih (untuk meneruskan transaksi atau membatalkannya) selama mereka belum
berpisah. Jika keduanya jujur dan menjelaskan apa adanya, maka keduanya diberkahi
dalam jual belinya. Jika keduanya menyembunyikan (cacat) dan berdusta, maka akan
dihapuslah berkah pada keduanya”.31
3. Isu pelanggaran pedoman federal untuk penelitian dengan subjek manusia
Menurut Milton, ada empat aspek utama yang perlu dipahami oleh seorang peneliti,
32
yaitu:
a. Respect for human dignity (menghormati harkat dan martabat manusia).
b. Respect for privacy and confidentiality (menghormati privasi dan kerahasiaan subyek
penelitian).
c. Respect for justice and inclusiveness (keadilan dan inklusivitas).
d. Balancing harms and benefits (memperhitungkan manfaat dan kerugian yang
ditimbulkan).
Berbicara mengenai manusia sebagai subyek penelitian, setidaknya ada dua hal yang
harus diperhatikan seorang peneliti dalam hal ini adalah neuromarketer (peneliti
neuromarketing), yakni:
1. Perlindungan partisipan
Dalam melakukan penelitian, seorang peneliti harus bisa melindungi partisipan dari
aspek material, fisik dan psikologi. Artinya, seorang peneliti harus menjamin
partisipannya merasa aman, nyaman, sadar, dan tidak mengalami kerugian psikologis
seperti trauma.
Data neuroimaging jauh lebih kompleks daripada data perilaku umum atau
informasi yang diperoleh dari kuesioner karena otak itu sendiri secara alami sangat
kompleks. Selain itu, semua subjek harus mengendalikan gerakan tubuh mereka; subjek
diharuskan untuk diam, bahkan dilarang mnggerakkan kepala karena mempengaruhi
kualitas pemindaian gambar, oleh karena itu subjek harus diam selama setidaknya 45
menit hingga satu setengah jam tergantung pada kompleksitas penelitian. Hal tersebut
mungkin membuat partisipan menjadi kurang nyaman.
2. Informed cosent
Yakni kesediaan seorang partisipan untuk menjadi subjek penelitian yang disadari.
Etika penelitian mensyaratkan adanya kesediaan subjek penelitian untuk diteliti. Subjek
peneliti memiliki hak untuk menolak dilakukan riset padanya atas berbagai hal. Etika

31
HR. Bukhari No. 1973 dan Muslim No. 1532.
32
Milton, C.L, Ethical Issues from Nursing Theoretical Perspectives, 22.

J E S Volume 5, Nomor 2, September 2020


Kisti Nur Aliyah 81

penelitian mengatakan bahwa subjek peneliti akan memberikan informasi secara sadar
tentang apa yang diketahuinya untuk mendukung penelitian yang sedang berlangsung.
Tetapi, dalam penggunaan teknologi biometrika neuromarketing yang
menggunakan manusia sebagai subyek penelitian, terutama dengan teknik fMRI, peneliti
mengambil data dan informasi internal yang bahkan subjek penelitipun tidak
menyadarinya. Karena dalam penelitian biometrika, data yang diambil berasal dari otak
tak sadar.
Hal tersebut sebenarnya tidak menjadi masalah ketika responden menyatakan
bersedia untuk diteliti. Karena sebelum melakukan penelitian neuromarketing, ada
banyak tahap yang harus dilalui oleh seseorang untuk menjadi subjek penelitian. Di
antaranya adalah pernyataan kesediaan untuk diteliti, melakukan observasi kesehatan
dengan dokter untuk memastikan tubuhnya cukup sehat untuk dilakukan penelitian dan
lain sebagainya.

Analisis Prinsip Dasar Etika Bisnis Islam terhadap Implementasi Neuromarketing


(Neuromarketing Terapan)
Penggunaan teknologi biometrika neuromarketing sangat berpengaruh terhadap
keputusan pembuatan alat pemasaran, yang pada akhirnya akan meningkatkan volume
penjualan suatu produk. Berikut akan disampaikan analisis etika bisnis Islam terkait
implementasi neuromarketing dalam strategi pemasaran atau biasa disebut neuromarketing
terapan.

Analisis Prinsip Dasar Etika Bisnis Islam terhadap Implementasi Neuromarketing pada
Promosi (Iklan)
Iklan adalah salah satu bentuk promosi yang sering digunakan untuk menarik minat
pembeli. Sebagaimana diketahui bahwa pada zaman sekarang, untuk mempromosikan
komoditi dagangan, seseorang banyak menggunakan sarana iklan yang memikat, baik yang
disampaikan dalam bentuk tulisan, lisan, maupun gambar. Tidaklah mengherankan jika
dijumpai banyak konsumen yang dikelabui dengan model iklan atau promosi barang lainnya,
lantaran promosi tersebut hanya bohong semata dan tidak terbukti dalam realita.
Pemasar harus mampu menunjukkan bahwa mereka jujur, berniat menepati janji,
memiliki janji yang realistis dan menawarkan produk yang sesuai syariah. Islam tidak
mentolerir perilaku promosi menipu, pernyataan palsu, tidak berdasar, tuduhan dan kesaksian
palsu.
Dengan memanfaatkan alat neuromarketing, mereka menemukan bahwa iklan yang
lebih menarik mengaktifkan bagian otak yang bernama korteks prefrontal ventromedial dan
ventral striatum yang bertanggung jawab untuk emosi dalam proses pengambilan keputusan
dan kognisi penghargaan. Wilayah otak ini tidak diaktifkan ketika iklan yang disajikan kurang
menarik. Ini menunjukkan bahwa dengan memanfaatkan teknik neuromarketing
dimungkinkan untuk mengetahui apakah suatu iklan dianggap menarik atau tidak.
Seharusnya, pembuatan iklan untuk menarik minat pembeli harus dilakukan dengan jujur.
Tidak melebih-lebihkan produk yang ditawarkan.

J E S Volume 5, Nomor 2, September 2020


82 Etika Bisnis Islam dalam Implementasi Teknologi

Iklan juga tidak boleh mengandung faktor sense of urgency. Dalam berbagai penelitian
yang dilakukan oleh Lindstorm, berkesimpulan bahwa penghargaan dan hukuman adalah
perasaan yang paling menekan pikiran manusia, hal ini sering dimanfaatkan oleh iklan dalam
menyampaikan pesan persuasi produk.33 Misalnya, ketakutan seorang ibu apabila anaknya
akan tumbuh pendek jika tidak mengonsumsi merek susu tertentu, iklan properti yang
berbunyi “hari Senin harga naik”, dan lain sebagainya.
Sense of urgency menciptakan perasaan tidak sempurna (imperfection) atau perasaan
kurang (lack) pada setiap diri individu, sehingga mendorong mereka untuk mengkonsumsi
produk yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Hal-hal semacam ini akan mengakibatkan
perilaku konsumtif bagi konsumen.
Yusuf al-Qardhawi memaparkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam iklan, di
antaranya adalah:34
1. Iklan tidak boleh menyampaikan informasi yang palsu dengan maksud untuk
memperdaya konsumen.
2. Iklan wajib menyampaikan semua informasi tentang produk tertentu, khususnya
menyangkut keamanan dan keselamatan manusia.
3. Iklan tidak boleh mengarah pada pemaksaan, khususnya secara kasar dan terang-
terangan.
4. Iklan tidak boleh mengarah pada tindakan yang bertentangan dengan moralitas, semisal
tindak kekerasan, penipuan, pelecehan seksual, diskriminasi, perendahan martabat
manusia dan sebagainya.

Analisis Prinsip Dasar Etika Bisnis Islam terhadap Implementasi Neuromarketing pada
Harga
Instrumen terpenting dalam jual beli adalah harga. Sehingga harga menjadi tolak ukur
keadilan dalam jual beli. Allah menetapkan bahwa setiap orang berhak menjual produknya
dengan harga yang disukainya. Namun, terdapat rukun dan syarat yang harus dipatuhi dalam
hal penentuan harga pada jual beli agar transaksi bernilai. Harga yang adil adalah dambaan
bagi penjual maupun pembeli. Harga yang adil tersebut terbentuk atas kekuatan demand and
supply antara pembeli dan penjual tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Bahkan
Rasulullah sendiripun tidak berani dalam menetapkan harga.
Harga harus mencerminkan manfaat yang di dapatkan oleh penjual dan pembeli secara
adil. Maksudnya, pembeli harus memperoleh manfaat yang setara dengan harga yang
dibayarkannya dan penjual harus mendapatkan keuntungan yang normal atas apa yang telah
dijualnya:

35
‫ويلُّللمطففْيُّالذينُّإذاُّاكتالواُّعلىُّالناسُّيستوفونُّوإذاُّكالوهمُّأوُّوزنوهمُّخيسرون‬
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar
atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”

33
M. Lindstrom, Buy-Ology Rahasia di Balik Keputusan Membeli, 142.
34
Yusuf al-Qaradhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 157.
35
al-Quran, 83: 1-3

J E S Volume 5, Nomor 2, September 2020


Kisti Nur Aliyah 83

Yang dimaksud dengan orang-orang yang curang di sini ialah orang-orang yang curang
dalam menakar dan menimbang. Pelanggaran terhadap harga pasar, misalnya penetapan harga
dengan cara dan karena alasan yang tidak tepat, merupakan suatu ketidakadilan yang akan
dituntut pertanggungjawabannya di hadapan Allah. Sebaliknya, dinyatakan bahwa penjual
yang menjual dagangannya dengan harga pasar adalah laksana orang yang berjuang di jalan
Allah, sementara yang menetapkan sendiri termasuk sebuah perbuatan ingkar kepada Allah.36
Tujuan neuromarketing adalah untuk mengetahui bagaimana otak secara psikologis
dipengaruhi oleh alat pemasaran. Dalam hal penggunaan teknologi neuromarketing pada
harga, pemasar dapat memperoleh data informasi internal yang akurat terhadap persepsi
konsumen atas harga yang diinginkan. Perlu diingat bahwa neuromarketing bukanlah proses
instan, ketika melihat produk dengan harga tertentu langsung dibeli. Tetapi teknologi
neuromarketing merupakan langkah dasar untuk menetapkan strategi-strategi bisnis
berikutnya. Salah satu strategi penetapan harga adalah penggunaan sistem diskon. Diskon
merupakan kata yang sering didengar pada waktu-waktu tertentu. Misalnya ketika menjelang
hari raya, tahun baru dan lain sebagainya. Penelitian membuktikan bahwa bagian otak yang
menangani rasa kebahagiaan akan aktif jika mendengar kata diskon.
Ada hipotesa yang mengatakan bahwa penjual telah menaikkan harga pasar sebesar
nilai yang telah didiskon itu terlebih dahulu, baru kemudian mematok diskon. Konsep seperti
itu disebut diskon psikologikal. Ada juga fakta yang mengatakan bahwa pembeli lebih senang
mengunjungi stand penjualan dengan tulisan “Sale 15.000,- dapat 3” daripada barang yang
ditulis dengan “harga Rp. 5000,-”. Padahal ternyata produk yang harganya 15.000,- dapat 3
itu tidak lebih berkualitas daripada produk yang harganya Rp. 5000,-/ pcs.
Rasulullah telah melarang berbagai transaksi yang terjadi dalam ketidaksempurnaan
informasi, misalnya menghalangi transaksi pada harga pasar (talaqqi> rukba>n), mengambil
keuntungan tinggi dengan memanfaatkan psikologi konsumen (ghabn fakhi>sh). Berdasarkan
hadis riwayat Muslim:

“Dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah pernah melalui satu timbunan dari (biji-biji)
makanan, lalu ia masukkan padanya tangannya lalu tangannya kena basah, sabdanya:
“Apa ini, hai penjual makanan?” Ia jawab: “Kena hujan ya Rasulullah.” Ia bersabda:
“Mengapa engkau tidak taruh dia di sebelah atas supaya orang-orang lihat dia?
Barangsiapa menipu, bukanlah ia dari (golongan) kita.” (HR. Muslim).

Analisis Prinsip Dasar Etika Bisnis Islam terhadap Implementasi Neuromarketing pada
Pengembangan Produk Baru
Studi Calvert dan Brammer dengan judul “Predicting Consumer Behavior: Using Novel
Mind-Reading Approaches”37 menghasilkan fakta bahwa fMRI dapat menyaring informasi
secara efektif. Oleh karena metode ini dapat diterapkan dalam proses pretest dan
pengembangan produk baru, maka akan mengungkapkan informasi internal yang membuat
pemasar dapat menentukan pengembangan produk baru mereka. Implementasinya,

36
P3EI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Ekonomi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), 332.
37
Calvert, G. A., dan Brammer, M. J. “Predicting Consumer Behavior: Using Novel Mind-Reading
Approaches”, Pulse IEEE, Volume 3, Nomor 3 (2012), 38-41.

J E S Volume 5, Nomor 2, September 2020


84 Etika Bisnis Islam dalam Implementasi Teknologi

perusahaan dapat mendesain produk baru mereka dengan “harapan” konsumen, baik itu pada
strategi penetapan harga untuk produk baru maupun dari segi desain produk mereka.
Dalam hal penetapan harga untuk produk baru, ada strategi penetapan harga yang
disebut sebagai skimming price, yakni menetapkan harga awal setinggi-tingginya dengan
harapan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Praktik tersebut pada dasarnya
menyalahi prinsip etika bisnis Islam, yaitu prinsip keseimbangan. Sedangkan dalam kaitannya
dengan pembuatan desain produk baru, desain produk harus memiliki keunikan tersendiri
yang membedakan dengan produk lainnya. Tidak boleh ada praktek plagiasi dalam
pembuatan desain produk.
Seperti dalam praktek yang dilakukan oleh perusahaan Hyundai Motor, bahwasanya
mereka membutuhkan persepsi konsumen sebelum memutuskan memproduksi ribuan mobil
baru. Dalam penelitian tidak ada pemaksaan oleh peneliti kepada responden menggunakan
metode EEG. Dan hasil penalitian tersebut digunakan oleh perusahaan sebagai acuan untuk
membuat mobil baru dengan hasil penjualan yang memuaskan.

Analisis Prinsip Dasar Etika Bisnis Islam terhadap Implementasi Neuromarketing pada
Brand/Merek
Branding dan loyalitas konsumen terhadap merek pilihan mereka saling berhubungan
dengan emosi yang kuat dalam proses pengambilan keputusan dibandingkan dengan merek
lain. Pelanggan cenderung bertindak loyal terhadap merek pilihan mereka. Dalam kegiatan
pemasaran, merek atau brand adalah aset tak berwujud (intangible asset) yang semakin mahal
saja harganya.38 Brand merupakan pelabelan yang memiliki kekuatan untuk mendongkrak
produk, selain itu brand juga dihubungkan dengan kepercayaan konsumen untuk memberikan
jaminan kepuasan yang lebih baik.
Brand dianggap sebagai salah satu strategy marketing yang sangat efektif. Selain
sebagai identitas, brand juaga akan membuat konsumen percaya dan setia terhadap merek
tertentu. Ada ikatan emosi yang membuat konsumen tidak mempertimbangkan merek lain,
walaupun harganya lebih murah. Ada perasaan nyaman jika tidak menggunkan merek
tersebut.
Brand juga diasosiasikan dengan identitas merek. Kunci dalam membangun identitas
merek yang kuat terletak pada bagaimana manajemen merumuskan identitas merek yang
sejalan dengan visi perusahaan dan dapat terwujud dalam kultur dan sistem nilai yang ada.
Adapun kunci dalam menjaga identitas yang terbentuk adalah selalu menjaga konsistensi
kualitas dalam di setiap titik kontak merek dengan konsumen.39
Slogan dalam suatu brand harus menampilkan kualitas dan keunggulan dari brand itu
sendiri tanpa menjelekkan brand lain. Akhlak Islam mengharuskan agar suatu golongan tidak
menganggap golongan itu yang paling benar, juga tidak mudah menuduh kalangan lain
melakukan suatu kesesatan. Menyampaikan keunggulan diri atau golongan boleh saja, tetapi
tidak mengaitkannya dengan kekurangan orang atau golongan lain.

38
Chairiwaty, “Branding Identity: Sebuah Tinjauan Mengenai Etika Bisnis Islam”, Jurnal Ilmu Komunikasi,
Volume 2, Nomor 2 (Oktober 2012), 152.
39
Ibid., 155.

J E S Volume 5, Nomor 2, September 2020


Kisti Nur Aliyah 85

Kesimpulan
Penggunaan teknologi biometrika neuromarketing mampu mengoptimalkan langkah
untuk menetapkan strategi pemasaran. Penelitian neuromarketing menghilangkan
subjektivitas dengan melakukan pengukuran perilaku otak yang dapat diamati. Hal ini terjadi
karena 95% dari proses keputusan membeli dilakukan di bagian otak yang menangani emosi.
Tujuan neuromarketing adalah untuk mengetahui bagaimana otak secara fisiologis
dipengaruhi oleh iklan dan strategi pemasaran lainnya, menggunakan bantuan alat medis
seperti fMRI, EEG, eye tracking dan lain sebagainya. Neuromarketing dapat memperoleh data
internal yang sangat berharga untuk membantu pemasar menetapkan strategi pemasaran yang
tepat.
Adapun alat pemasaran yang dapat dikenai oleh neuromarketing, antara lain iklan,
harga, pengembangan produk baru dan merek. Hasil yang didapat dapat diimplementasikan ke
dalam strategi pemasaran yang terbukti secara efektif dapat meningkatkan efektivitas
penjualan suatu prooduk.
Walaupun terbukti bahwa neuromarketing mampu meningkatkan efektivitas strategi
pemasaran, namun ada beberapa isu mengenai prinsip dasar etika bisnis Islam yang dilanggar.
Pelanggaran terhadap prinsip dasar etika bisnis Islam pada penggunaan teknologi biometrika
neuromarketing, antara lain penggunaan teknologi tersebut dapat meracuni pikiran konsumen,
melanggar kehendak bebas konsumen serta melanggar pedoman federal penelitian dengan
subyek manusia. Dalam implementasinya, penggunaan neuromarketing juga melanggar
prinsip dasar etika bisnis Islam, seperti penggunaan diskon psikologikal, penipuan terhadap
iklan dan lain sebagainya.

Daftar Rujukan
al-Qaradhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Alma, Buchari. Pengantar Bisnis. Bandung: Alfabeta, 1999.
Ardianto, Bram “Otak reptile, Sistem Limbik dan Neokorteks” dalam
https://bramardianto.com/otak-reptil-sistem-limbik-dan-neokorteks.html.
Campero, LCI. Asela A. Burgos dan Jose G. Vargas Hernandes, “Analytical Approach to
Neuro Marketing As a Bussines Strategy”, Journal of Research in International
Business and Management, Volume 2, Nomor 12 (Desember 2012).
Chairiwaty, “Branding Identity Sebuah Tinjauan Mengenai Etika Bisnis Islam”, Jurnal Ilmu
Komunikasi, Volume 2, Nomor 2 (Oktober 2012).
Davis, Joel J. Penelitian Periklanan Teori dan Praktik, edisi kedua. Jakarta: Rajawali Pers,
2013.
Francis, Ritty dan Reena R, “A study on Neuromarketing: A unique Bond between
Consumer’s Cognizance And Marketing”, International Journal of Commerce and
Management Research, Volume 2, Nomor 11 (November 2016).
Kotler, Philip dan Garry Amstrong. Prinsip-Prinsip Pemasaran. Jakarta: Erlangga, 2008.
Kumar, Harit dan Priyanka Singh, “Neuromarketing: An Emerging Tool of Market
Research”, International Journal of Engineering and Management Research, Volume 5,
Nomor 6 (2015).
Lindstrom, M. Buy-Ology Rahasia di Balik Keputusan Membeli. Jakarta: Elex Media

J E S Volume 5, Nomor 2, September 2020


86 Etika Bisnis Islam dalam Implementasi Teknologi

Komputindo, 2011.
Madan, C. R., “Neuromarketing: The Next Step In Market Research?”, Jurnal Eureka,
Volume 1, Nomor 1 (2010).
McClure, S. M. et al. “Neural Correlates of Behavioral Preference for Culturally Familiar
Drinks.”, Neuron, Volume 44, Nomor 2 (2004).
Milton, C.L. Ethical Issues From Nursing Theoretical Perspectives. t.t: Nursing Science
Quarterly, 1999.
Morin, Christoper, “Neuromarketing: The New Sciene of Consumer Behavior”, dalam
www.researchgate.net/publication/226228201.
P3EI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Ekonomi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2008.
Renvoise, P. dan C. Morin. Neuromarketing: Understanding The Buy Button in Your
Customer Brain. Nashville Tennessee: Thomas Nelson, 2007.
Venkatraman, V. et all. “New Scanner Data for Brand Marketers: How Neuroscience Can
Help Better Understand Differences in Brand Preferences”, Journal of Consumer
Psychology, Volume 22, Nomor 1 (2012).
Wilson, R. Mark Jeannie Gaines, dan Ronald Hill. “Neuromarketing and Consumer Will”,
The Journal of Consumer Affairs, Volume 42, Nomor 1 (Maret 2008).

J E S Volume 5, Nomor 2, September 2020

You might also like