Paper - Kajian Karbonasi Pada Beton Mutu Tinggi Memadat Mandiri
Paper - Kajian Karbonasi Pada Beton Mutu Tinggi Memadat Mandiri
Paper - Kajian Karbonasi Pada Beton Mutu Tinggi Memadat Mandiri
net/publication/345140572
CITATIONS READS
0 352
2 authors, including:
Wibowo Wibowo
Universitas Sebelas Maret
16 PUBLICATIONS 2 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Applied fiber reinforced self-compacting concrete as rigid pavement material View project
All content following this page was uploaded by Wibowo Wibowo on 01 November 2020.
ABSTRACT
The construction industry is an important thing to support the development of a country. In concrete
construction, quality, strength, and durability of concrete are the main requirements of all. In urban
tropical countries, carbonation is one of the essential factors that affect the durability of concrete, and
it may cause corrosion of reinforced steel in concrete. Therefore, high strength self-compacting
concrete may be expected as the solution, improved by pozzolanic additions, metakaolin with
substitution dosage at 10%; 12,5%; 15%; 17,5%; and 20%. This study purposed to determine the
effect of metakaolin and its optimum dosage to improve high strength self-compacting concrete
quality on its carbonation rates. This study was done by using experimental methods. It needs a plain
cylindrical concrete with 75 mm diameter and 150 mm height, and testing by SNI 03-6468-2000,
EFNARC 2002, and SEM-PUPR 25-2015. The carbonation test is done using accelerated laboratory
carbonation in Structures and Materials Laboratory, Faculty of Engineering, Universitas Sebelas
Maret by soaking the specimens in a 4% carbonate solution for 15 days, 37 days, and 51 days,
proceeded by splitting using CTM, and spray it using a 1% phenolphthalein indicator to determine its
carbonation depth. Based on the results, metakaolin might improve concrete quality by reducing its
carbonation rates by 15% substitution dosage of cement content, with a nominal atmospheric
carbonation coefficient 3,71 mm/year½, reduced 44,41% from HSSCC without metakaolin
substitution. Metakaolin addition might reduce fresh concrete's workability and fulfill self-compacting
concrete requirements specified by EFNARC 2002.
Keywords: high strength self-compacting concrete, metakaolin, carbonation, carbonation coefficient
ABSTRAK
Industri konstruksi merupakan hal yang sangat penting untuk menunjang berkembangnya suatu
negara. Dalam konstruksi beton, mutu, kekuatan, dan durabilitas beton merupakan syarat yang utama.
Pada negara beriklim tropis, karbonasi merupakan faktor penting yang mempengaruhi durabilitas
beton karena dapat menyebabkan korosi pada tulangan beton. Oleh karena itu, beton mutu tinggi
memadat mandiri diharapkan dapat menjadi solusi, dengan penambahan pozzolan sebagai perbaikan,
yaitu metakaolin dengan kadar substitusi 10%; 12,5%; 15%; 17,5 %; dan 20%. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan metakaolin dan kadar optimumnya untuk
meningkatkan kualitas beton terhadap laju karbonasi beton. Metode yang digunakan adalah
eksperimental. Benda uji yang digunakan adalah beton silinder dengan diameter 75 mm dan tinggi
150 mm. Pengujian beton didasarkan pada SNI 03-6468-2000, EFNARC 2002, dan SEM-PUPR No.
25 Tahun 2015. Pengujian karbonasi dilakukan dengan cara uji karbonasi laboratorium dipercepat di
Laboratorium Struktur dan Bahan, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret dengan merendam
benda uji ke dalam larutan karbonat 4% selama 15 hari, 37 hari, dan 51 hari untuk selanjutnya dibelah
menggunakan CTM dan disemprot menggunakan indikator phenolphthalein 1%. Berdasarkan hasil
penelitian, metakaolin dapat meningkatkan kualitas beton dengan menurunkan laju karbonasi beton
dengan kadar substitusi 15% dari kadar semen, dengan koefisien karbonasi pada kondisi atmosfer
normal 3,71 mm/tahun½ dan penurunan laju 44,41% dari beton normal. Penambahan metakaolin akan
menurunkan workabilitas beton segar, tetapi masih memenuhi syarat beton memadat mandiri yang
ditetapkan oleh EFNARC 2002.
Kata kunci: beton mutu tinggi memadat mandiri, metakaolin, karbonasi, koefisien karbonasi
Corresponding Author
E-mail Address : [email protected]
Jurnal Riset Rekayasa Sipil Universitas Sebelas Maret
ISSN: 2579-7999
Vol. 4 No. 1, September 2020 2/11
1. PENDAHULUAN
Dewasa ini, pembangunan infrastruktur terus mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini pun berdampak pada
pesatnya perkembangan industri konstruksi sebagai penunjang, dikarenakan adanya tuntutan hasil konstruksi yang
lebih baik, lebih efisien, memiliki kinerja yang tinggi, dan dapat mengatasi segala kendala yang terjadi. Syarat
utama dalam konstruksi bangunan pada dasarnya adalah mengenai kekuatan beton, keawetan, dan harga yang
ekonomis. Oleh karena itu, dikembangkan beton mutu tinggi memadat mandiri dengan penggunaan bahan pozzolan
sebagai solusi. Beton memadat mandiri atau biasa dikenal dengan self-compacting concrete (SCC) merupakan beton
yang bersifat plastis, dapat mengalir dengan berat sendiri tanpa bantuan alat pemadat, sehingga akan mengurangi
biaya penggunaan alat pemadat, mempersingkat waktu kerja, dan mengurangi jumlah tenaga kerja. Selain itu, beton
mutu tinggi bersifat homogen, kohesif, dan tidak mengalami bleeding maupun segregasi. Mutu beton yang tinggi
akan meningkatkan performa kinerja beton sehingga dapat bekerja dengan baik dan memiliki durabilitas yang lebih
tinggi daripada beton konvensional.
Lingkungan yang agresif membawa dampak pada kerusakan beton karena di lingkungan ini banyak zat-zat kimia
reaktif yang menyebabkan kerusakan pada beton. Contoh dari lingkungan yang memungkinkan adalah lingkungan
beriklim tropis yang dapat meningkatkan agresivitas CO 2 yang apabila bereaksi dengan air dapat membentuk asam
karbonik cair yang akan menurunkan pH beton, menyebabkan terjadinya karbonasi, dan mengakibatkan korosi pada
beton. Untuk mengatasi hal ini, dapat dilakukan dengan mengganti sebagian semen dengan zat pozzolonik seperti
metakaolin. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sanjay N. Patil, Anil K. Gupta, dan Subhash S. D. (2011),
sebagai bahan pozzolan pengganti semen, metakaolin memiliki berbagai kelebihan yang dapat meningkatkan
kualitas dan durabilitas beton dalam menghadapi lingkungan yang agresif. Selain itu, metakaolin merupakan
material yang ramah lingkungan dan sustainable, karena pada proses produksinya metakaolin menghasilkan emisi
gas CO2 yang sangat kecil, jauh lebih kecil daripada emisi yang dikeluarkan pada produksi semen, sehingga dapat
berkontribusi dalam mengurangi efek pemanasan global.
2. LANDASAN TEORI
Berdasarkan SNI 03-6468-2000, beton mutu tinggi didefinisikan sebagai beton yang memiliki kuat tekan yang
disyaratkan pada benda uji 28 hari atau 56 hari adalah lebih besar sama dengan 41,4 MPa.
Self-Compacting Concrete (SCC) adalah beton yang dapat memadat sendiri dengan slump yang cukup tinggi. Dalam
proses penempatan pada volume bekisting (placing) dan proses pemadatannya (compaction), SCC tidak
memerlukan penggetaran seperti beton pada umumnya. SCC memiliki flowability yang tinggi sehingga mampu
mengali karena beratnya sendiri, memenuhi bekisting, dan mencapai kepadatan tertingginya sendiri (EFNARC,
2005).
Metakaolin merupakan pozzolan yang terbentuk dari hasil pembakaran (kalsinasi) dari kaolin pada suhu 4500C-
9000C yang mempunyai ukuran partikel lebih kecil dari silica fume dan banyak mengandung SiO2 dan Al2O3
(pozzolan) yang merupakan unsur utama penyusun semen. Sehingga, metakaolin dapat digunakan sebagai bahan
pengganti semen. Metakaolin dapat mengurangi tingkat porositas beton, mempercepat proses hidrasi semen, lebih
tahan terhadap serangan asam dan sulfat, serta meningkatkan kepadatan dan mengurangi permeabilitas beton
(Sambowo, 2002).
Silviana Valentin (2019) dalam penelitiannya melakukan penambahan metakaolin pada campuran beton dengan
variasi persentase 0%; 12,5%; 15%; 17,5%; 20%; dan 22,5% dari berat semen dan menghasilkan kuat tekan
berturut-turut 46,798 MPa; 50,094 MPa; 51,601 MPa; 59,699 MPa; 51,977 MPa; dan 45,198 MPa dengan faktor air
semen yang digunakan adalah sebesar 0,31 dari berat binder dan superplasticizer BASF MasterEase 3029 sebesar
1,9% dari berat binder. Dari penelitian tersebut, substitusi kadar metakaolin yang paling optimum untuk digunakan
adalah sebesar 17,5% dari berat semen untuk menaikkan kuat tekannya.
Berdasarkan EFNARC 2002, persyaratan standar untuk beton memadat mandiri adalah memenuhi parameter
fillingability yang dilakukan dengan uji slump flow menggunakan abrams cone dengan diameter rata-rata 650 – 800
mm, uji T500 slump flow dengan waktu alir 2 – 5 detik, dan uji V-funnel dengan waktu alir 6 – 12 detik. Pengujian
parameter passingability dilakukan dengan uji L-box dengan nilai h2/h1 berkisar antara 0,8 – 1.
baja terekspos dan terjadi korosi. Korosi pada tulangan baja tersebut dapat menyebabkan berkurangnya ikatan antara
baja dengan beton dan menurunkan kualitas beton (B. Barry et al, 2004).
Dalam satu dekade terakhir, pengujian karbonasi pada beton menggunakan metode uji karbonasi laboratorium
dipercepat distandarkan menggunakan CO2 dengan konsentrasi 4%. Selain itu, beberapa pengujian dilakukan
menggunakan konsentrasi CO2 yang bervariasi antara 4-10%. Konsentrasi CO2 yang rendah akan menghasilkan
kedalaman karbonasi yang cukup tinggi, dan sebaliknya konsentrasi CO 2 yang terlalu tinggi akan menghasilkan
kedalaman karbonasi yang rendah. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, beton bertulang
menunjukkan laju karbonasi yang signifikan pada umur layan beton 20 tahun (Castro et al, 1999, Moreno et al,
2002). Laju karbonasi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tipe dan faktor air semen, tingkat porositas beton,
serta tipe dan kadar zat pozzolan yang ditambahkan (Moreno et al, 1999). Selain itu, pada suatu area beriklim tropis,
kondisi atmosfer dapat meningkatkan agresivitas CO2 karena kelembaban udara dan temperatur yang tinggi (Veleva
et al, 1998).
Proses transportasi CO2 ke dalam beton melalui media air yang mengandung CO2 adalah melalui difusi. Difusi
adalah peristiwa mengalirnya suatu zat dalam pelarut dari bagian berkonsentrasi tinggi ke bagian yang
berkonsentrasi rendah. CO2 dalam larutan karbonat m% akan bereaksi dengan air dan membentuk asam karbonik
cair yang menurunkan pH beton dan menyebabkan terjadinya karbonasi, sehingga durabilitas atau masa layan beton
akan menurun (Warda Ashraf, 2016). Oleh karena itu, diperlukan suatu pendekatan untuk mengetahui nilai koefisien
karbonasi yang dapat dihitung dengan persamaan (1) sebagai berikut :
x
k= 1
(1)
t 2
dengan :
k = koefisien karbonasi (mm/tahun½); x = kedalaman karbonasi (mm); t = waktu (tahun½).
Persamaan (1) menghasilkan koefisien karbonasi sebagai hasil dari uji karbonasi laboratorium dipercepat, yaitu pada
konsentrasi CO2 x%. Selanjutnya, koefisien karbonasi pada kondisi atmosfer normal (400 ppm atau 0,04% CO 2)
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (2).
0,04%
ka = k (2)
m%
dengan :
ka = koefisien karbonasi pada kondisi atmosfer normal (mm/tahun½); ka = koefisien karbonasi hasil pengujian
(mm/tahun½); 0,04% = konsentrasi CO2 pada kondisi atmosfer normal (m%) = konsentrasi CO2 yang digunakan
pada pengujian.
Berdasarkan penelitian Ho dan Lewis (1987), pada kondisi atmosfer normal, dimana konsentrasi udara adalah
0,04% atau 400 ppm, kualitas beton dapat dikategorikan berdasarkan koefisien karbonasinya yang dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kategori Kualitas Beton Berdasarkan Koefisien Karbonasi Atmosfer Normal (Ho and Lewis, 1987)
Koefisien Karbonasi (mm/tahun½) Kategori Kualitas Beton
<3 Baik
3–6 Sedang
>6 Buruk
3. METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini, digunakan metode penelitian eksperimental untuk melakukan kajian terhadap karbonasi dan
workabilitas (fillingability dan passingability) beton mutu tinggi memadat mandiri dengan variasi komposisi
metakaolin sebagai bahan pozzolan pengganti semen. Uji karbonasi dilakukan pada beton umur 28 hari. Benda uji
yang digunakan adalah beton silinder dengan diameter 75 mm dan tinggi 150 mm sebanyak 18 buah. Pengujian
dilakukan di Laboratorium Bahan dan Struktur Teknik Sipil Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Jurnal Riset Rekayasa Sipil Universitas Sebelas Maret
ISSN: 2579-7999
Vol. 4 No. 1, September 2020 4/11
Berdasarkan Tabel 3. di atas, hasil penelitian menunjukkan seluruh hasil pengujian beton segar pada uji slump flow
dan L-box telah memenuhi persyaratan EFNARC 2002. Pada pengujian slump flow, seluruh diameter rata-rata
berada pada nilai antara 650 – 800 mm dengan waktu alir diameter sebaran 500 mm berada di antara 2 – 5 detik.
Pada pengujian L-box, perbandingan antara h2 dan h1 pada seluruh kadar substitusi metakaolin berada di antara 0,8 –
1. Akan tetapi, pada pengujian V-funnel dimana persyaratan waktu alir adalah 6 – 12 detik, kadar substitusi
metakaolin 20% tidak memenuhi persyaratan waktu alir untuk beton mutu tinggi memadat mandiri menurut
EFNARC 2002, dengan nilai waktu alir 12,24 detik.
Dari penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kadar substitusi metakaolin maka semakin kental
pula campuran beton segar yang dihasilkan sehingga workabilitas beton semakin menurun. Hal tersebut dikarenakan
sifat metakaolin yang seperti lempung, dimana metakaolin tersebut lebih mudah menyerap air daripada semen.
Jurnal Riset Rekayasa Sipil Universitas Sebelas Maret
ISSN: 2579-7999
Vol. 4 No. 1, September 2020 6/11
terkarbonasi kedalaman
karbonasi
tidak
terkarbonasi
Hasil pengujian karbonasi pada konsentrasi karbondioksida 4% dengan variasi waktu 15 hari, 37 hari, dan 51 hari
pada beton HSSCC dengan variasi komposisi metakaolin dapat dilihat pada Tabel 4. dan Gambar 4. di bawah ini.
Tabel 4. Hasil Pengujian Kedalaman Karbonasi Beton
Berdasarkan Tabel 4. dan Gambar 4., dapat dilihat bahwa semakin lama waktu paparan beton terhadap CO 2 maka
semakin tinggi kedalaman karbonasi beton. Pada ketiga variasi waktu tersebut, terjadi pola hasil penelitian yang
sama, yaitu kedalaman karbonasi beton tertinggi terjadi pada beton normal tanpa subtitusi metakaolin, kemudian
terus mengalami penurunan berturut-turut pada kadar substitusi 10%; 12,5%; dan 15% dan mengalami peningkatan
pada kadar substitusi 17,5% dan 20%.
Hasil pengujian tersebut kemudian dibandingkan dengan penelitian Eric I. Moreno, Romel Solis Carcano, dan Jorge
Varela Rivera (2011), yang melakukan pengujian karbonasi terhadap beton dengan agregat batu kapur berdaya serap
tinggi menggunakan 4 variasi faktor air semen yaitu 0,55; 0,62; 0,70; dan 0,80 dengan cara memaparkan benda uji
ke dalam bilik karbonasi dengan konsentrasi CO2 4% dan kelembaban udara 60%. Data pengujian Eric I. Moreno
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Data Pengujian Karbonasi Beton Agregat Kapur (Eric I. Moreno, Carcano, Rivera, 2011)
Dari hasil pengujian kedalaman karbonasi dan data pengujian karbonasi Eric I. Moreno, Romel Solis Carcano, dan
Jorge Varela Rivera (2011), dapat dibuat grafik perbandingan kedalaman karbonasi beton yang disajikan pada
Gambar 5.
karbonasi yang lebih rendah dibandingkan dengan beton normal maupun beton dengan agregat batu kapur, dimana
beton dengan kadar substitusi metakaolin 15% menghasilkan kedalaman karbonasi paling rendah. Hal tersebut
dikarenakan metakaolin merupakan pozzolan yang dapat meningkatkan daya rekat antar agregat yang terkandung
dalam beton melalui reaksi kimia dan partikelnya yang kecil dapat mengisi rongga antar agregat, yang akan
mengurangi tingkat porositas dan permeabilitas beton, sehingga dapat mengurangi kedalaman karbonasi yang terjadi
pada beton (Edna Possan, 2017).
Laju karbonasi beton dapat ditentukan dari koefisien karbonasinya, yang diperoleh dari data kedalaman karbonasi
dan waktu paparan. Dari data kedalaman karbonasi, ditentukan koefisien karbonasi beton menggunakan Persamaan
1 dan kemudian dikonversi menjadi koefisien karbonasi nominal, yaitu koefisien karbonasi pada kondisi atmosfer
normal menggunakan Persamaan 2 yang dapat dilihat pada Tabel 6. dan Tabel 7. untuk selanjutnya disajikan grafik
hubungan antara koefisien karbonasi dan variasi komposisi metakaolin pada Gambar 6.
Tabel 6. Hasil Perhitungan Koefisien Karbonasi Beton (Accelerated Laboratory Carbonation)
Gambar 6. Grafik Hubungan Koefisien Karbonasi Nominal dengan Variasi Komposisi Metakaolin
Jurnal Riset Rekayasa Sipil Universitas Sebelas Maret
ISSN: 2579-7999
Vol. 4 No. 1, September 2020 9/11
Berdasarkan Tabel 7. di atas, menunjukkan semua nilai koefisien karbonasi nominal pada kadar substitusi 10%;
12,5%; 15%; 17,5%; dan 20% berkisar antara 3 mm/tahun ½ - 6 mm/tahun½ yang berdasarkan Tabel 1 dikategorikan
sebagai beton dengan kualitas sedang. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh nilai kadar substitusi metakaolin
terbaik untuk menurunkan kedalaman karbonasi beton adalah 15%. Pada beton normal tanpa substitusi metakaolin,
diperoleh koefisien karbonasi nominal sebesar 6,67 mm/tahun ½ yang berdasarkan kategori termasuk dalam beton
berkualitas buruk. Kemudian, pada substitusi kadar 10% koefisien karbonasi nominal turun menjadi 4,97
mm/tahun½. Pada substitusi kadar 12,5% koefisien karbonasi nominal kembali turun menjadi 4,47 mm/tahun ½. Pada
substitusi kadar 15% koefisien karbonasi nominal turun menjadi 3,71 mm/tahun½, yang merupakan nilai terendah
dari seluruh kadar substitusi. Pada substitusi kadar 17,5% koefisien karbonasi nominal mengalami sedikit
peningkatan menjadi 4,08 mm/tahun½. Pada substitusi kadar 20% koefisien karbonasi nominal kembali meningkat
menjadi 4,29 mm/tahun½. Substitusi metakaolin dengan kadar 10%; 12,5%; 15%; 17,5%; dan 20% berturut-turut
menurunkan koefisien karbonasi sebesar 25,46%; 32,98%; 44,41%; 38,83% dan 35,65% dari beton normal.
Berdasarkan perhitungan dengan persamaan regresi linier pada Gambar 6. diperoleh kadar substitusi metakaolin
optimum yang dapat digunakan untuk menurunkan laju karbonasi beton, yaitu sebsar 16,18%.
Karbonasi terjadi apabila CO2 terpenetrasi ke dalam beton, larut dalam air dan membentuk asam karbonat,
kemudian bereaksi dengan Ca(OH)2 sebagai hasil dari hidrasi semen dan membentuk CaCO3. Berdasarkan
penelitian ini, metakaolin sebagai pozzolan dapat menurunkan laju karbonasi pada beton karena reaksi pozzolanik
pada metakaolin mengubah Ca(OH)2 menjadi C-S-H tambahan yang dapat meningkatkan kekuatan dan daya rekat
antara agregat yang terkandung dalam beton melalui reaksi kimia, sehingga akan mengurangi tingkat porositas dan
permeabilitas beton. Reaksi pozzolanik metakaolin yang mengubah Ca(OH) 2 hasil hidrasi semen menjadi C-S-H
menghasilkan beton yang lebih tahan terhadap serangan karbon, klorida, dan sulfat karena akan menghambat dan
mengurangi reaksi Ca(OH)2 dengan H2CO3 yang merupakan hasil reaksi antara CO2 dengan air, sehingga dapat
mengurangi laju karbonasi yang terjadi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sanjay N. Patil, Anil K. Gupta, dan Subhash S. D. (2011), pada
penambahan metakaolin terjadi reaksi pozzolanik yang mengubah Ca(OH) 2 yang merupakan produk sampingan
yang tidak diinginkan dari proses hidrasi semen menjadi C-S-H (sementitius) sebagai perekat tambahan yang dapat
meningkatkan kuat tarik, kuat tekan, dan daya rekat antar agregat pada beton melalui reaksi kimia. Metakaolin akan
memperkecil ukuran pori dalam pasta semen dan mengubah banyak partikel halus menjadi pori-pori yang tidak
kontinyu, sehingga dapat mengurangi permeabilitas beton secara substansial. Reaksi pozzolanik metakaolin adalah
sebagai berikut :
C3S, C2S + H2O => C-S-H + Ca (OH)2
semen + air => kalsium silikat hidrat + kalsium hidroksida
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian serta analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan, maka pada kajian
karbonasi pada beton mutu tinggi memadat mandiri dengan variasi komposisi metakaolin dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Penambahan variasi metakaolin sebagai pozzolan pengganti semen yang tidak melebihi batas optimumnya dapat
menurunkan laju karbonasi beton. Pada beton normal tanpa metakaolin koefisien karbonasi nominal mencapai
6,67 mm/tahun½, dimana dengan mensubtitusikan semen dengan metakaolin dengan kadar 10%; 12,5%; 15%;
17,5%; dan 20% berturut- turut akan menurunkan koefisien karbonasi nominal sebesar 25,46%; 32,98%;
Jurnal Riset Rekayasa Sipil Universitas Sebelas Maret
ISSN: 2579-7999
Vol. 4 No. 1, September 2020 10/11
44,41%; 38,83% dan 35,65% dari beton normal. Koefisien karbonasi terendah terjadi pada kadar substitusi
metakaolin 15% dengan koefisien karbonasi nominal sebesar 3,71 mm/tahun ½.
2. Penambahan variasi metakaolin sebagai pozzolan pengganti semen pada campuran beton mutu tinggi memadat
mandiri menyebabkan workabilitas beton menurun pada pengujian slump flow, V-funnel, dan L-box seiring
dengan semakin tingginya kadar metakaolin yang disubstitusikan karena metakaolin yang bersifat seperti
lempung membuat campuran semakin kental. Akan tetapi, dalam penelitian ini, pada semua kadar substitusi
metakaolin masih memenuhi syarat beton memadat mandiri berdasarkan EFNARC 2002.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2000). SNI 03-6468-2000 Tata Cara Perencanaan Campuran Tinggi Dengan Semen Portland Dengan
Abu Terbang. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Anonim. (2002). EFNARC 2002 Spesification and Guidelines for Self-Compacting Concrete.
Anonim. (2005). EFNARC 2005 Specification and Guidelines for Self-Compacting Concrete.
Anonim. (2015). Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.No. 25 Tahun 2015 Pedoman
Metode Uji Pengukuran Kedalaman Karbonasi Beton Keras. Kementerian PUPR, Jakarta.
B. Bary (2004), Coupled moisture—carbon dioxide–calcium transfer model for carbonation of concrete, Cement
and Concrete Research 34, pp 1859–1872.
D.C. Park, (2008), Carbonation of concrete in relation to CO2 permeability and degradation of coatings,
Construction and Building Materials 22, pp. 2260–2268. doi:10.1016/j.conbuildmat.2007.07.032
Edna Possan, (2017), CO2 uptake potential due to concrete carbonation: A case study, Case Studies in Construction
Materials 6, pp. 147–161. http://dx.doi.org/10.1016/j.cscm.2017.01.007
Ekolu, S.O. (2016). A Review on Effects of Curing, Sheltering, and CO 2 Concentration Upon Natural Carbonation
of Concrete. University of Johannesburg, Afrika Selatan.
Ho, D.W., Lewis R.K. (1987). The Water Sorptivity of Concretes: The Influences of Constituents Under Curing.
Durability of Building Materials, 241-252.
Hongzhi Cui (2015), Experimental study on effects of CO2 concentrations on concrete carbonation and diffusion
mechanisms, Constructionand Building Materials 93 pp. 522–527,
https://doi.org/10.1016/j.conbuildmat.2015.06.007
Huet B., (2011), A review of Portland cement carbonation mechanisms in CO2 rich environment, Energy Procedia
4, pp. 5275–5282. doi:10.1016/j.egypro.2011.02.507
In-Seok Yoon, (2007), Effect of global climatic change on carbonation progress of concrete, Atmospheric
Environment 41, pp. 7274–7285. doi:10.1016/j.atmosenv.2007.05.028
Isabel Galan, (2013), Natural and accelerated CO2 binding kinetics in cement paste at different relative humidities,
Cement and Concrete Research 49, pp. 21–28. http://dx.doi.org/10.1016/j.cemconres.2013.03.009
L. A. Indriyanto (2020), Pengaruh Penambahan Air Laut pada Masa Perawatan terhadap Infiltrasi Ion Klorida
pada Beton dengan Penambahan Fly Ash 12.5%, Jurnal Riset Rekayasa Sipil Universitas Sebelas Maret, Vol.
3 No. 2, Maret 2020, pp 61-67
Moreno, E.I., Sagues, A.A. (1998). Carbonation-induced Corrosion on Blended-Cement Concrete Mix Designs for
Highway Structures, CORROSION/1998 Paper No. 636. NACE International, Houston, TX.
Moreno, E.I. (1999). Carbonation of Blended Cement Concretes. Ph.D. Dissertation, University of South Florida.
Moreno, E.I., Castro, P., Leal-Murguia J. (2002). Carbonation-induced Corrosion of Urban Concrete Buildings in
Yucatan, Mexico, CORROSION/2002 Paper No. 220. NACE International, Houston, TX.
Namartha, et al. (2016). Metakaolin – The Best Material for Replacement of Cemenr in Concrete. IOSR-JMCE,
India.
Neville, A.M. (1987). Concrete Technology. Longman Scientific Technical, New York.
Papadakis, (1991), Experimental investigation and Mathematical Modeling of The Concrete Carbonation Problem,
Chemical Engineering Science Vol. 46, No. 5/6, pp. 1333-1338
Jurnal Riset Rekayasa Sipil Universitas Sebelas Maret
ISSN: 2579-7999
Vol. 4 No. 1, September 2020 11/11
Patil, S.N., Gupta, A.K., Deshpande, S. (2016). Metakaolin – Pozzolanic Material for Cement in High Strength
Concrete, IOSR-JMCE, India.
R. Neves (2013), Field assessment of the relationship between natural and accelerated concrete carbonation
resistance, Cement & Concrete Composites 41, pp 9–15, http://dx.doi.org/10.1016/j.cemconcomp.2013.04.006
Shi Hui-sheng, (2009), Influence of mineral admixtures on compressive strength, gas permeability
and carbonation of high performance concrete, Construction and Building Materials 23, pp. 1980–1985.
doi:10.1016/j.conbuildmat.2008.08.021
Valentin, S. (2019). Kajian Serapan dan Penetrasi pada Beton Mutu Tinggi Memadat Mandiri dengan Variasi
Komposisi Metakaolin. Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Warda Ashraf, (2016), Carbonation of cement-based materials: Challenges and opportunities, Construction and
Building Materials 120, pp. 558–570. http://dx.doi.org/10.1016/j.conbuildmat.2016.05.080
Xin Ruan, (2011), Mesoscopic simulation method of concrete carbonation process, Structure and Infrastructure
Engineering, Vol. 8, No. 2, pp. 99–110. http://dx.doi.org/10.1080/15732479.2011.605370