Contoh Penerapan Poskolonial
Contoh Penerapan Poskolonial
Contoh Penerapan Poskolonial
Abstra
Abstrak: This article discusses an Egypt modern novel of Najib al-Kylani,
Mawakib al-Ahrar, which tells about the struggle of Egyptians to get their
independence from French colonization. One interesting point of this novel
is the idea of critical and progressive nationalism. In contrast, postcolonial
theory is focused on the aspects of nationalism using deconstruction
methods. This theory is based on Edward Said argument on ‘East’ discourse
through its orientalism as a product of science that has ideological basis
and colonial interests. Their political and economic colonialism is
accompanied by cultural colonialism through representing the East as ‘The
Other’. Said developed his theory by using Foucault’s power concept and
developed Derrida’s binary opposition. The progressive idea of this novel
has a closed relationship with the universal values of Islam, characterized
by inclusivity, egalitarianism, and democracy. Theologically and
historically, Islam has taught the unity of human being and the need of
plurality and differences of human beings, cultures, and nations to compete
in good manner. Dialogical and mutual understanding of cultures is really
important, not the exception between the West and the East cultures.
Abstrak: Tulisan ini membahas novel modern Mesir yang berjudul Mawa>kib
Abstra
al-Ah}ra>r karya Najib al-Kylani. Novel ini mengisahkan tentang perjuangan
rakyat Mesir untuk mendapatkan kemerdekaan selama dalam penjajahan
Perancis. Yang menarik dari novel ini adalah gagasan nasionalisme yang
sangat kritis dan progresif. Sementara itu, teori poskolonial yang difo-
kuskan pada aspek nasionalisme dengan memakai metode dekonstuksi.
Teori ini didasarkan pada gugatan Edward Said tentang wacana ‘Timur’
melalui orientalismenya sebagai produksi ilmu pengetahuan yang memiliki
landasan-landasan ideologis dan kepentingan-kepentingan kolonial.
Penjajahan politik dan ekonomi mereka disertai pula penjajahan kultural
A. PENDAHULUAN
Sastra Arab memiliki kekayaan intelektual penting hingga saat ini
dikarenakan ia merupakan salah satu sastra yang mendunia. Berbagai karya
sastra Arab telah menjadi karya masterpiece, baik klasik maupun modern yang
di antaranya adalah: Kalilah wa Dimnah, Alf Laylah wa Laylah, Hayy Bin
Yaqdza>n, Awla>d Haranina, an-Nabiyy, Usfu>r min As-Syarq, dan lain-lain. Begitu
pula dalam bidang puisi dan drama. Di antara sastra poskolonial yang memotret
tajam pengalaman kolonialisme adalah karya yang dihasilkan seorang sas-
trawan muslim Mesir, Mawa>kib al-A}hra>r karya Najib Kylani. Novel yang diter-
bitkan tahun 2001 ini menceritakan tentang perjuangan masyarakat Mesir
melawan penjajah Perancis. Novel ini menarik karena memiliki kekuatan ber-
bicara dan bersuara tentang posisi poskolonialisme yang demikian kompleks:
hubungan Barat-Timur yang tidak sederhana, perlawanan Timur yang penuh
ambiguitas, kritik tajam nasionalisme yang sempit dan cenderung tirani, dan
gugatan nasionalisme yang lebih menyuarakan gagasan post-nasionalisme.
Progresivitas pemikiran yang ditawarkan Najib Kylani melalui karya
novelnya tersebut dapat dimaklumi karena pengarang adalah salah satu dari
sekian banyak novelis muslim dari Mesir yang terkenal. Ia adalah seorang dokter
sekaligus novelis produktif yang dibesarkan tatkala Mesir berada di bawah pen-
jajahan Inggris. Karyanya tidak kurang dari 59 buku (fiksi dan non-fiksi) dan
sering mendapatkan penghargaan dari berbagai kalangan. Karya-karyanya telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Italia, Turki, Rusia, dan Inggris (Shalih, TT: 18-
19). Gagasan dekonstruktif novel berkaitan dengan konsep nasionalisme
negara dunia ketiga yang seperti inilah yang justru memiliki relevansi kuat
novelis, filosof, teoritikus politik, ekonom dan para administratur negara mene-
rima perbedaan dasar antara Timur dan Barat ini sebagai titik tolak untuk
menyusun teori-teori, epik-epik, novel-novel, deskripsi-deskripsi sosial, dan
perhitungan-perhitungan politik yang cermat mengenai dunia Timur: rakyatnya,
adat-istiadatnya, ‘pikiran-pikirannya’, nasib yang ditakdirkan baginya, dan lain
sebagainya (Said, 2001: 3).
Menurut Budianta (1998: 2), Said dengan teori orientalismenya tersebut
telah meletakkan dua dasar penting yang dikembangkan dalam teori-teori
poskolonial. Pertama, dikotomi oposisi biner antara Barat-Timur sebagai pusat
perhatian. Kedua, sifat anggitan (constructedness) dari dikotomi tersebut,
bahwa identitas budaya menurutnya bukanlah suatu kenyataan baku, akan
tetapi gambaran yang diciptakan dan dibangun oleh berbagai narasi, teks, dan
dikuatkan oleh lembaga, tradisi, dan praksis.
Konsep atau wacana yang dikembangkan oleh Said di atas bila dire-
presentasikan dengan sebuah bagan, tercakup dalam bagan berikut yang
ditawarkan Slemon (dalam Ashcroft dkk., 1995:46-47 ).
Institutional regulators
(colonialist educational apparatuses)
dalam lapangan kritik sastra tahun 1990, ketika Gayatri Spivak mengguna-
kannya dalam The Post Colonial Critics (Ashcroft dkk., 1998:186).
Menurut Lo dan Gilbert (1998: 1-2), poskolonial dapat dipahami dalam
tiga pendekatan, yaitu secara historis (bagaimana elit pribumi melestarikan
pola-pola dominasi kolonialisme pada produk budaya pascapenjajahan), counter
diskursif (bagaimana bentuk-bentuk representasi dan resistensi pribumi
terhadap kolonialisme yang terrefleksi melalui aspek-aspek kebudayaan), dan
ekonomis (pengertian masyarakat terjajah didasarkan pada konsepsi kebuda-
yaan Dunia Ketiga dan kelompok yang direndahkan dalam masyarakat
kapitalis). Ada enam aspek wilayah analisa dalam studi literer poskolonial,
yaitu: bahasa, sejarah atau kesejarahan, nasionalisme, kanonisitas, body
politics, dan tempat (space/place) (Lo dan Gilbert, 1998: 1-2).
Sementara itu, Ashcroft dkk. (1998) memasukkan juga representasi dan
resistensi, etnisitas, feminitas, pendidikan dan produksi. Sedang beberapa
kemungkinan keagenan studi post-kolonial adalah hibriditas, mimikri, dan
ambivalensi.
Menurut Bhabha (Ashcroft dkk., 1998:12-13), salah satu ciri dalam setiap
kajian poskolonial adalah adanya ambivalensi, sikap yang mendua. Kalau ‘anti
kolonial’ mengacu pada perlawanan kaum terjajah yang menentang institusi
politik, ekonomi dan budaya kolonial, sedang poskolonial lebih memperhatikan
sifat-sifat dari alam kolonial dan warisannya di alam poskolonial yang ditandai
oleh perebutan, ambivalensi, dan ketidakmapanan makna.
Terkait dengan nasionalisme, Frantz Fanon dalam tulisannya “National
Culture ” (Ashcroft dkk., 1995:155) menegaskan bahwa nasionalisme post-
kolonial adalah keseluruhan bentuk dari upaya-upaya yang dilakukan masya-
rakat dalam ruang pemikiran untuk menggambarkan, menjustifikasi, dan
memuji suatu tindakan melalui apa yang dibuat oleh masyarakat dan dijaga
keberadaannya.
Bila dikaitkan dengan gerakan dan pemikiran sastra, menurut Foulcher
(1995: 5), gagasan nasionalisme adalah pembangunan sebuah dunia atau
wilayah sastra yang di dalamnya para sastrawan dapat merealisasi dirinya
sebagai subjek yang mandiri dan bebas, dan dianggap memiliki kemampuan
sama dengan orang-orang lain yang dianggap sudah bebas dan mandiri. Sastra
menjadi sarana penyebaran gagasan mengenai dunia baru (ideal) yang men-
cerminkan aktualisasi diri yang penuh kebebasan tersebut.
Dalam usahanya untuk mewujudkan gagasan nasionalisme sebagai cermin
kehendak bebas tersebut, menurut Lo dan Gilbert (1998: 8), para sastrawan
Dua kutipan di atas adalah ucapan haji Musthafa. Rakyat Mesir tidak kehi-
langan harapan atau menyerah kalah begitu saja. Mereka masih membicarakan
Kutipan di atas adalah ucapan Husen pada ayahnya, bahwa dia telah
banyak membaca sejarah dan sering mendengar ceramah, selalu menghayalkan
masa-masa kejayaan sejarah bangsa Mesir dan amat mendambakan masa-masa
kejayaan tersebut meskipun harus melalui jalan terjal dan pengorbanan.
d. Mengagumi sejarah dan meneladani tokoh-tokoh sejarah/pahlawan
mereka
memihak pada budaya tertentu, Barat atau Timur. Bagaimanapun juga, tradisi
dan pembangunan/ masa lalu dan masa depan sama-sama penting untuk mengisi
dan memperbaiki kondisi sekarang demi kebaikan dan kemajuan bangsa tuk
masa depan.
a. Hilda adalah tokoh yang secara genetis paduan dari keturunan Barat
(ayahnya berasal dari Armenia) dan Timur (ibu dan kakeknya keturunan Mesir).
Simbolisme ini merupakan penegasan novel akan pentingnya pengakuan
identitas budaya campuran yang dapat mengarah pada perwujudan solidaritas
ekstra yang bercirikan sinkritisme dan sinergi budaya.
b. Nama ‘Hilda’ sebenarnya merupakan nama yang diambil dari bahasa
Arab yaitu “khalid ” yang berarti abadi. Hal ini menjadi pemaknaan simbolik
untuk hibriditas budaya yang diangankan novel, bahwa hibriditas tersebut
adalah abadi, artinya sesuatu yang diangankan kesempurnaannya, atau sangat
diharapkan untuk dapat terwujud. Hibriditas tersebut dimaknai abadi/kekal
karena identik dengan gagasan post-nasional yang tercerahkan, membebaskan
dari berbagai tirani yang menindas dan membelenggu sebagaimana yang
terpraktik dalam solidaritas nasional yang ada selama ini.
c. Hilda mempraktikkan sinkritis yang bercorak budaya campuran. Ketika
kecil, Ia dulu sering masuk ke rumah orang Kristen maupun orang Islam. Di
sana ia makan, minum dan bermain. Selama menjalani masa kecil dan masa
remajanya, Hilda tak pernah sedikit pun disakiti oleh penduduk kotanya yang
tercinta. Ia mencintai segala sesuatu di negerinya: tanah, air, langit, bangunan-
bangunan, jalan-jalan, dan orang-orangnya. Ia hafal Surat al-Fa>tih}ah, al-Falaq
dan an-Nasr seperti anak-anak kaum Muslimin.
Tiga gagasan pokok di atas menjadi dasar dalam membangun pemahaman
bahwa hibriditas budaya adalah corak post nasional yang ditawarkan novel.
Nasionalisme yang dibangun bukanlah nasionalisme sempit yang hanya
bercirikan satu identitas budaya yang isolatif. Akan tetapi, nasionalisme ideal
yang diangankan novel dan diusulkan adalah nasionalisme yang lintas budaya,
dapat mengkritisi dan sportif terhadap kekurangan diri yang dimiliki dunia
Timur dan dapat mengapresiasi, mengadopsi, mengejawantahkan apa-apa yang
dimiliki dunia Barat yang dapat mendewasakan nasionalisme itu sendiri.
Barat harus memiliki pandangan sama sebagaimana Timur. Barat (pen-
jajah) yang mengklaim dirinya sebagai aktor peradaban dan superior dengan
ideologinya merupakan kebenaran yang sepihak, sebab praktik-praktik pen-
jajahannya terhadap pribumi seringkali tidak memiliki sandaran etis yang
humanis. Seperti dikatakan Said (1996: 28), jati diri seperti penjajah adalah
masyarakat penampung imigran yang tercipta atas lapisan-lapisan reruntuhan
berbagai kehadiran pribumi dari segala penjuru.
Dengan demikian, semua kebudayaan tidak ada yang tunggal dan murni,
semuanya cangkokan dan heterogin. Oleh karenanya, gagasan post-nasional
Novel ini juga mengakui bahwa rakyatlah yang abadi, bukan politik/partai/
penguasa. Nasionalisme harus berpihak kepada rakyat (h. 247).
Dengan hibriditas budaya dalam usulan post-nasional di atas telah mem-
perjelas dekonstruksi novel terhadap paham nasionalisme sempit yang hingga
kini terpraktikkan oleh dunia Timur. Bagaimanapun juga, tuntutan solidaritas
yang lebih besar dan ekspansif ini, pada akhirnya, lebih dibutuhkan daripada
solidaritas budaya nasional. Kesadaran nasional sudah seharusnya membuka
jalan bagi timbulnya komunitas global yang tercerahkan secara politis dan etis.
Gagasan ini penting karena kesadaran nasionalisme Mesir –sebagaimana
negara Dunia Ketiga yang lain- adalah kesadaran yang masih terjebak pada
batas-batas teritorial yang sempit. Hal ini tercermin dari gerakan aliran sastra
Mesir yang dikenal dengan istilah Adab Qawmi (kesusastraan nasional).
Menurut Ahmad Dayf, adab qawmi adalah sastra yang khas Mesir; menggam-
barkan kondisi sosial dan kultural Mesir, persoalan-persoalan Mesir, meng-
gunakan bahasa Arab dalam stilistika dan metode-metode. Muncul selanjutnya
kesusastraan pharaonism yang menyerang sastra nasional. Ia bentuk nasio-
nalisme yang menyatakan Mesir sebagai kesatuan nasional, terpisah dari dunia
Arab dan Islam, dan secara esensial tidak berubah sejak masa Fir’aun (Brugman,
1984: 250-251).
Setelah kolonialisme berlalu, perlu segera direalisasikan sebuah trans-
formasi baru kesadaran sosial yang lebih makro yang dapat memunculkan
sebuah post-nasional yang tercerahkan. Usulan budaya dalam novel tersebut
membenarkan apa yang telah ditekankan oleh Bhabha, bahwa pertemuan Barat
dan Timur perlu dijembatani dengan sebuah ‘ruang ketiga,’ komunikasi, nego-
siasi, dan translasi (Gandhi, 2001: 175).
Hal ini dapat dibuktikan, misalnya, dengan semakin disadari akan penting-
nya dialog yang akan memediasi pertemuan Barat dan Timur tersebut. Lewat
dialog kita berusaha membuka hidup kita terhadap kegembiraan dan kepri-
hatinan hidup sesama kita, lewat dialog aksi kita diajak bekerjasama mengatasi
pembatasan-pembatasan yang menghalangi kita untuk hidup secara bebas dan
manusiawi (Th. Sumartana, 2004:xviii). Dialog perlu ditempatkan pada
tantangan-tantangan dan kesempatan yg dihadapi bangsa manusia pada
milenium ketiga. Beberapa karakteristik dialog: mengandung unsur keter-
bukaan untuk mencari pemahaman bersama, dilakukan secara kritis, dan kese-
diaan untuk saling mendengar dan mengemukakan pendapat secara seimbang
(Th.Sumartana dkk, 2004: xxiii-xxv)
Gagasan ini juga memperkuat pendapat yang telah disampaikan oleh Mary
Louise Pratt (Gandhi, 2001: 175) yang secara produktif memperluas analisis
Hall dan Bhabha untuk menanggapi bahwa penjajah (begitu juga terjajah)
terlibat dalam pertemuan kolonial transkultural. Bagi Pratt, pertemuan ini
dipandang sebagai “kontak” yang memerlukan bentuk cross-komunikasi baru
antara pembicara-pembicara dari bahasa kultural dan ideologis yang berbeda
kebutuhan untuk berinteraksi.
Pos-nasional menghendaki nondeterminasi dalam pertemuan kolonial
untuk menjembatani pemisah antara orang Barat dengan penduduk asli sebagai
usaha kooperatif. Sebagaimana ditegaskan oleh Gandhi (2001: 166-167) bahwa
tujuannya adalah untuk menunjukkan bagaimana pertemuan kolonial mem-
berikan sumbangan pada transformasi yang saling menguntungkan antara
penjajah-terjajah. Hal ini senada dengan apa yang ditulis Harish Trivedi, bahwa
penting untuk melihat fenomena sebagai sebuah transaksi, suatu proses yang
interaktif, dialogis, proses dua arah ketimbang proses sederhana aktif-pasif;
proses yang melibatkan negosiasi dan pertukaran yang kompleks.
Dengan demikian, sebagai karya yang menyampaikan perlawanan kepa-
da politik sastra kolonial, maka novel ini dapat membangun dekolonisasi dalam
nalar teks-teks negara poskolonial. Hal ini dikarenakan poskolonialisme
merupakan ‘ruang antara’ atau kondisi liminalitas antara pra-kemerdekaan
menuju merdeka sepenuhnya.
kemudian Kami menjadikanmu beberapa bangsa dan beberapa suku agar kamu
saling mnengenal” (QS. 49:13). Piagam Madinah juga menjadi bukti historis.
Ketika itu Rasul mendirikan tatanan masyarakat (negara) di Madinah yang plu-
ral karena masyarakatnya terdiri dari beragam latar belakang historis, budaya,
etnis, warna kulit, dan agama yang berbeda. Tetapi mereka hidup dengan damai,
bersatu, dan saling tolong menolong dengan supremasi hukum kuat tanpa ada
diskriminasi.
Gagasan nasionalisme yang bercorak dekonstruktif di atas menunjukkan
betapa kritis dan progresifnya sumbangan pemikiran yang telah ditawarkan
oleh sang pengarang untuk kemajuan negara Dunia Ketiga yang mayoritas
adalah negara Islam, setelah mereka memerdekakan diri dari penjajahan. Novel
ini berlatar Mesir, negara Islam terpadat kedua di Afrika dan memiliki lebih dari
90% penduduk yang beragama Islam, 8% beragama Kristen, dan sekelompok
kecil orang Katolik Romna, Ortodoks Yunani, Ortodoks Armenia dan Protestan,
serta sejumlah kecil orang Yahudi (el-Ayouty, 1988: 97,102).
Pemikiran sintesis ‘tradisi dan pembangunan’ (Barat dan Timur) dan
‘hibriditas budaya’ adalah pemikiran kosmopolit novel yang merefleksikan
ajaran inti Islam tersebut. Dengan jelas, al-Qur'an menegaskan bahwa pluralitas
etnis, jenis kelamin, bahasa, agama, dan budaya adalah kehendak Tuhan
karenanya ia sunnatullah. Hikmah dan Tujuan perbedaan tersebut adalah agar
manusia berlomba-lomba dalam kebaikan, karena penentu kemuliaan manusia
yang beaneka ragam tersebut adalah taqwanya (QS. Al Hujurat: 13), sehingga
perbedaan/pluralitas menjadi aset bagi tumbuhnya sebuah sinergi sosial dalam
rangka menciptakan kehidupan yang lebih dinamis, beradab dan penuh rahmat.
Gagasan posnasional yang mengarah pada kerjasama yang kooperatif ter-
sebut juga selaras dengan etika al-Qur'an. Dalam realitas budaya yang memang
plural tersebut, al-Qur'an mengajarkan pentingnya kerjasama dan sikap serta
perilaku yang kooperatif selama hal tersebut untuk tujuan kebaikan dan ketaq-
waaan (QS. Al Maidah: 2), karena -meskipun beragam- umat manusia
hakekatnya adalah umat yang satu (QS. Al Mu’minun: 52, al Anbiya: 92, al
Baqarah: 213, Yunus: 19). Dalam kebersamaan hidup, al-Qur'an menegaskan
agar budaya/umat yang berbeda-beda tersebut dapat saling menghormati dan
dilarang suatu umat/budaya merendahkan umat/budaya yang lain, karena amat
mungkin yang direndahkan tersebut ternyata justru lebih baik dari yang
merendahkannya (QS. Al Hujurat: 11).
Bila perbedaan Barat-Timur selama ini didasarkan pada perbedaan agama,
al-Qur'an justru mempertahankan perbedaan agama tersebut, menekankan
F. SIMPULAN
Najib Kylani telah memberikan kontribusi pemikiran yang kritis dan
progresif dalam mencari format relasi Barat-Timur untuk memahami dan
membangun budaya dalam relasi antara dua kebudayaan besar tersebut.
Progresivitas pemikiran sang pengarang adalah: 1) Novel telah mengekspresikan
gagasan nasionalisme sebagai cara estetis yang disuarakan pengarang dalam
bentuk sintesis antara dua retorika, yaitu retorika tradisi dan pembangunan.
Sintetis dari dua retorika ini menunjukkan dekonstruksi novel terhadap cara
pandang yang selama ini oposisional antara Barat-Timur. 2) Novel meng-
usulkan gagasan post-nasional berupa gagasan hibriditas budaya. Hibriditas ini
ditemukan dalam tokoh ‘Hilda’ sebagai simbol dari pos-nasionalisme/
nasionalisme ideal. Ada tiga dasar yang membangun kesimpulan ini, yaitu: a)
Hilda adalah tokoh yang secara genetis paduan dari keturunan Barat (ayahnya
berasal dari Armenia) dan Timur (ibu dan kakeknya keturunan Mesir). b) Nama
‘Hilda’ tersebut sebenarnya adalah nama yang diambil dari bahasa Arab yaitu
‘khalid’ yang berarti abadi. c) Hilda mempraktikkan langsung budaya Barat dan
Timur, jadi dia memiliki identitas budaya ganda, bercorak campuran, hibrid, dan
sinkretis. Gagasan tentang hibriditas budaya ini menyebar dalam novel.
Kemudian, Hilda -representasi paduan dan sintesis Barat dan Timur/simbol
nasionalisem ideal- didukung oleh banyak gagasan dalam novel tersebut. 3)
Gagasan novel tentang sintesis dan hibriditas budaya terkait Barat-Timur
memiliki relevansi kuat dengan nilai keislaman universal yang bercorak inklusif,
demokratis, dan kooperatif. Secara teologis, historis, dan sosiologis, Islam
mendukung kesatuan umat manusia, merestui eksistensi realitas (budaya/
bangsa) yang plural, dan mempertahankan pentingnya perbedaan tersebut agar
umat manusia dan budaya-budaaya yang ada dapat saling berdialog dengan
sehat dan bekerjasama secara kooperatif.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’a>n al-Kari>m
Alhumami, Amich. 2000. “Gerakan Modernisme Islam di Indonesia Me-
nimbang Nurchalish Madjid” dalam Islam di Tengah Arus Transisi, Abdul
Mun’im (edt). Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Anderson, Benedict. 2001. Komunitas-komunitas Terbayang (terj. Omi Intan
Naomi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ashcroft, Bill., Griffiths, Gareth, and Tiffin, Helen (eds.). 1995. The Post-
Colonial Studies Reader. London and New York: Routledge.
Ashcroft, Bill., Griffiths, Gareth, and Tiffin, Helen. 1998. Key Concepts in
Post-Colonial Studies. London and New York: Routledge.
El-Ayouty Yassin. 1988. “Mesir” dalam ensiklopedi Negara dan Bangsa, Jilid
I. jakarta: PT. Widyadara.
Bhabha, Homi K., 1995. “Dissemination Time, Narrative, and the Margins of
the Modern Nation” dalam The Post-Colonial Studies Reader. (Ashcroft,
Bill at. Al. [Ed.]). London and New York: Routledge.
Bhabha, Homi K. 1994. The Location of Culture. London and New York:
Routledge.
Budianta, Melani. 1998. “Oposisi Biner dalam Wacana Kritik Pascakolonial”.
Makalah pada kolosium Mempersoalkan Pascakolonialisme , Balai
Seminar Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur.
Brugman, J. 1984. An Introduction to the History of Modern Arabic Literature
in Egypt. Leiden: E.J. Brill.
Coyle M dan Peck J.1993. Literary Terms and Criticism. London: Macmillan.
Culler, Jonathan. 1994. On Deconstruction, Theory and Practicism after
Structuralism . Eight Printing. Ithaca, New York : Cornell University
Press.
Engineer, Asghar Ali. “Problem Hind-Muslim di India Suatu Titik Pandang
Islam” dalam Wahid, Abdurrahman dkk. Dialog: Kritik & Identitas
Agama. 2004. Yogyakarta: Interfidei.
Foulcher, Keith. 1994. “Mimikri Siti Nurbaya Catatan untuk Faruk”. Jurnal
Kebudayaan Kalam. Edisi ke 14. Jakarta.
Gandhi, Leela. 2001. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat.
(terj. Yuwan Wahyutri dan Nur Hamidah). Yogyakarta: Qalam.
Hidayat, Kommaruddin. 2000. “Islam Mengecam Rasialisme” dalam Islam di
Tengah Arus Transisi, Abdul Mun’im (edt). Jakarta: Kompas Media
Nusantara.
Kylani, Najib. 2001. Mawa>kib al-A}hra>r. Lebanon: Muassasah ar-Risalah
Lo, Jacqueline and Helen Gilbert. 1998. “Poscolonial Theory: Possibilities
and Limitation”. Makalah pada An International Research Workshop
University of Sidney
Said, Edward. W. 2001. Orientalisme (terj. Asep Hikmat). Bandung: Pustaka.
Said, Imam Ghazali. 2000. “Islam dan Pluralitas Masyarakat Bangsa”, dalam
Islam di Tengah Arus Transisi, Abdul Mun’im (edt). Jakarta: Kompas
Media Nusantara.
Sarup, Madan. 1993. An Introductory Guide to Postructuralism and Posmoder-
nism. Second edition. Athens: University of Georgia Press.
Salih, al-‘Arini, Abdullah. Tt. Al-Ittijah al-Islami fi A’mal Najib Kylani al-
Qasasiyah. Ttp. Tnp.
Slemon, Stephen. 1995. “The Scramble for Post-Colonialism” dalam The Post-
Colonial Studies Reader. (Aschroft, Bill et. Al [ed.]). London and New
York: Routledge.
Sukidi. 2000. “Citra Muslim di Barat Refleksi Fenomenal Presiden Gus Dur”
dalam Islam di Tengah Arus Transisi, Abdul Mun’im (edt). Jakarta:
Kompas Media Nusantara.
Syeirazi, M. Kholid. 2003. “the Death of Nationalism? Problem dan Tantangan
bagi Paham Kebangsaan Indonesia”. Majalah Tradem . Edisi ke-5.
Yogyakarta.
Sumartana, Th. dkk. “Pengantar: Menuju Dialog Antar Iman” dalam Wahid,
Abdurrahman dkk. Dialog: Kritik & Identitas Agama. 2004. Yogyakarta:
Interfidei.
Thung Julan dan M. Azzam Manan (penyunting). 2011. Nasionalisme dan
Ketahanan Budaya di Indonesia. Jakarta: LIPI bekerjasama dengan
Yayasan Obor Indonesia.
Wahid, Abdurrahman. “Bercermin dari Para Pemimpin” dalam Islam di Tengah
Arus Transisi , Abdul Mun’im (edt). 2000. Jakarta: Kompas Media
Nusantara.