Analisis Formulasi Kebijakan Penanggulangan Pandemi Covid-19 Di Indonesia Sesuai Uu Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 35

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni

2021 Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi


Banten
ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN PANDEMI COVID-19 DI
INDONESIA SESUAI UU NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG KEKARANTINAAN
KESEHATAN

Agus Widiarto, Suhud Alynudin


Akademisi STIA Banten, Direktur Eksekutif Nusantara Policy Research (NALAR) Institute

Corresponden Author Email: [email protected]

Abstract
This article analyzes the policy formulation of Law Number 6 of 2020 concerning Health
Quarantine and its implementation strategy in overcoming the Covid-19 outbreak in
Indonesia. As we know that this law was passed by President Joko Widodo on August 7 2018,
and the day after, namely August 8, 2018 it was promulgated by the Ministry of Law and
Human Rights in the Republic of Indonesia State Gazette 2018. The birth of this law cannot be
separated from the emergence of the International Helath Regulation (IHR) in 2005, which
obliges Indonesia to increase its capacity in conducting health surveillance and response as
well as Health Quarantine in areas and entrances, both ports, airports, and national land
border posts. In general, the aim of implementing health quarantine as referred to in Article 3
of this Law is Article 3 to protect the public from diseases and / or Public Health Risk Factors
that have the potential to cause a Public Health Emergency, prevent and ward off disease and
/ or Public Health Risk Factors that have the potential to cause Public Health Emergency,
increase national resilience in the field of public health and provide protection and legal
certainty for the public and health workers. This study is a study of public policy analysis by
emphasizing the policy formulation in the Health Quarantine Law and its implementation, as
well as the government's strategy to achieve the objectives referred to in this law.

Keywords: policy analysis, policy formulation, policy implementation, health quarantine,


PSBB, PPKM

Abstrak
Artikel ini menganalisis formulasi kebijakan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020
tentang Kekarantinaan Kesehatan dan strategi implementasinya dalam menanggulangi
wabah covid- 19 di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bahwa UU ini disahkan oleh Presiden
Joko Widodo pada tanggal 7 Agustus 2018, dan sehari setelahnya, yaitu tanggal 8 Agustus
2018 diundangkan oleh Kementrian Hukum dan HAM dalam Lembaran Negara RI Tahun
2018. Lahirnya UU ini tidak bisa dilepaskan dari munculnya Internasional Helath Regulation
(IHR) tahun 2005, yang mewajibkan Indonesia meningkatkan kapasitasnya dalam melakukan
surveilans kesehatan dan respon serta Kekarantinaan Kesehatan di wilayah dan Pintu Masuk,
baik Pelabuhan, Bandar Udara, maupun Pos Lintas Batas Darat Negara. Secara umum,
tujuan penyelenggaraan
1
kekarantinaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU ini adalah untuk
melindungi masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang
berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, mencegah dan menangkal
penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan
masyarakat dan memberikan pelindungan serta kepastian hukum bagi masyarakat dan
petugas kesehatan. Studi ini merupakan kajian analisis kebijakan publik dengan menekankan
pada formulasi kebijakan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan dan implementasinya, sebagai
strategi pemerintah guna mencapai tujuan sebagaimana dimaksud UU ini.

Kata kunci: analisis kebijakan, formulasi kebijakan, implementasai kebijakan, kekarantinaan


kesehatan, PSBB, PPKM.

PENDAHULUAN untuk

Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah


No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) oleh Pemerintah Pusat
(Jokowi) pada tanggal 31 Maret 2020
menandai fase baru penanganan pandemik
Covid-19 di Indonesia. Sebelumnya, sejak
diumumkannya kasus positif pertama covid-19
pada tanggal 2 Maret 2020, belum ada
kebijakan resmi terkait penanganan
penyebaran covid-19 ini. Dalam rentang waktu
antara tanggal 2 Maret sampai
31 Maret itulah, kebijakan yang diterapkan
masih berupa himbauan untuk Bekerja dari
Rumah, Belajar dari Rumah, dan Beribadah di
Rumah. Meski berkali-kali himbauan itu
dikemukakan, berkali-kali pula sebagian besar
masyarakat mengabaikan himbauan tersebut.
Akibatnya, kasus positif dan jumlah yang
meninggal semakin meningkat.

Berbagai pendapat yang dikemukakan


pejabat pemerintah terkesan menganggap
tidak serius pandemic covid-19 ini. Di sisi lain,
sejak awal pandemi, ada sejumlah inisiatif
yang dilakukan oleh pemimpin di daerah
mengantisipasi penyebaran covid-19
ini, mulai dari lock down (karantina
wilayah) sampai social distancing dan
Physical distancing. Namun, kerap kali
pula pemerintah pusat, dalam hal ini
Jokowi, mengatakan bahwa
kewenangan terkait Karantina wilayah
ada pada pemerintah pusat.

Sampai dikeluarkannya kebijakan


PSBB tersebut per tanggal 31 Maret
2020, jumlah pasien positif mencapai
1.528 pasien, dengan rasio kematian
8,9% (136 kasus), dan yang sembuh
berjumlah 81 orang. (Kompas.com,
Rabu 1 April 2020). Sampai akhirnya,
Jokowi lebih memilih kebijakan PSBB
daripada Karantina Wilayah. Kebijakan
PSBB berakhir pada tanggal 10 Januari
2021 dan berlaku sebuah kebijakan
dengan istilah baru bernama
Pelaksanaan Pembatasan
Kegiatan
Masyarakat (PPKM) untuk Jawa dan
Bali mulai tanggal 11 Januari 2021.
Dalam rentang waktu pelaksanaan
PSBB, kasus covid 19 di Indonesia
sampai 10 Januari 2021 telah
mencapai
828.026 positif, 681.024 dinyatakan
sembuh, dan meninggal dunia 24.129
orang. (Liputan6.com, Minggu 10
Januari 2021).
Sebagai pengganti PSBB, Kebijakan sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 16
PPKM Jawa Bali ini berlangsung selama dua
tahap, yaitu tahap pertama mulai tanggal 11
Januari-25 Januari 2020, dan tahap kedua yang
diberlakukan dari tanggal 26 Januari sampai 8
Februari 2021. Pasca PPKM Jawa Bali,
Pemerintah memberlakukan kebijakan PPKM
Mikro yang mulai berlaku sejak 9 Februari
2021 sampai sekarang.

Dalam kurun waktu penerapan PPKM,


sampai 6 Juni 2021, data dari Satuan Tugas
(Satgas) Penanganan Covid-19 menunjukkan,
ada penambahan 5.832 kasus baru.
Penambahan itu menyebabkan total kasus
Covid-19 di Indonesia saat ini mencapai
1.856.038 orang, Data yang sama
menunjukkan bahwa ada penambahan pasien
sembuh akibat Covid-19. Dalam sehari,
jumlahnya bertambah
4.187 orang. Dengan demikian, jumlah pasien
Covid-19 yang sembuh di Indonesia hingga
tanggal 6 Juni 2021 mencapai 1.705.971 orang.
Akan tetapi, jumlah pasien yang meninggal
setelah terpapar Covid-19 juga terus
bertambah. Pada periode 5-6 Juni 2021, ada
163 pasien Covid-19 yang tutup usia. Total
angka kematian akibat Covid-19 mencapai
51.612 orang sejak awal pandemi terhitung
sejak kasus pertama diumumkan Presiden
Joko Widodo pada 2 Maret 2020. Dari data
tersebut, tercatat hingga tanggal 6 Juni
2021, tercatat
98.455 kasus aktif Covid-19. (Kompas.com, 6
Juni 2021)

Dari rangkaian pelaksanaan kebijakan


penanggulangan pandemi covid-19 tersebut,
muncul pertanyaan mengapa Jokowi tidak
memilih kebijakan Karantina Wilayah
Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Penelitian ini berangkat dari beberapa
Kesehatan dan banyak diusulkan oleh pertanyaan yang dijadikan sebagai
berbagai kalangan, seperti Dewan Guru permasalahan yang akan dijawab dalam
Besar FKUI dan Pemprov DKI Jakarta bagian pembahasan penulisan ini, antara lain
serta beberapa kepala daerah lainnya. sebagai berikut.
Mengapa Jokowi lebih memilih
penerapan PSBB, PPKM Jawa Bali, dan
PPKM Mikro dalam menangani
pandemic covid-19 ini?

Dari sisi pemerintah, tentu


berbagai alasan bisa dikemukakan,
mulai dari alasan ekonomi sampai ke
alasan sosial budaya masyarakat. Tentu
Pemerintah Pusat punya data statistik
penurunan pertumbuhan ekonomi,
defisit neraca berjalan, penurunan
IHSG, turunnya nilai kurs, dan lain
sebagainya. Pemerintah pun dapat
berapologi bahwa secara sosio kultural,
masyarakat kita berbeda dengan
beberapa Negara yang menerapkan
kebijakan lockdown atau Karantina
Wilayah. Akan tetapi, kenyataannya
tanpa adanya kasus covid-19 ini pun
statistik ekonomi Indonesia telah
menunjukkan trend penurunan.
Sementara, apologi bahwa sosial
budaya masyarakat Indonesia yang
beragam pun seperti menjadi
pembenaran bagi masyarakat untuk tak
peduli terhadap himbauan pemerintah.
Karakter sebagaian masyarakat kita
yang ignorant dan tidak responsif serta
kurang antisipatifnya pemerintah
menangani covid-19 ini membuat
angka-angka penularan semakin
meningkat.

Perumusan Masalah
1. Bagaimana formulasi kebijakan untuk 4. Memberikan masukan kepada para
mengatasi wabah pandemi covid-19 pemangku kepentingan kebijakan,
sesuai dengan Undang-Undang Nomor khususnya mereka yang berkecimpung
6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan dalam kebijakan kekarantinaan
Kesehatan? kesehatan.
2. Bagaimana implementasi kebijakan
pemerintah sebagai strategi dalam
menangani wabah pandemic covid-
19?
3. Mengapa pada akhirnya Pemerintah Metode Penelitian
memilih kebijakan PSBB dan kemudian
diganti menjadi PPKM, baik PPKM Se- Penelitian ini merupakan analisis
Jawa dan Bali dan PPKM Mikro? kebijakan publik yang menitikberatkan pada
4. Mengapa Pemerintah tidak memilih analisis formulasi kebijakan Kekarantinaan
kebijakan Karantina di Wilayah Kesehatan sebagaimana tertera dalam UU
(Lockdown) sebagaimana Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
diamanatkan dalam UU Nomor 6 Kesehatan dan membandingkannya dengan
Tahun 2018 tentang Kekarantinaan pilihan strategi kebijakan yang dibuat oleh
Kesehatan? pemerintah guna menanggulangi wabah
pandemi covid-19 di tanah air.
Tujuan Penelitian
Secara teoritis, formulasi (perumusan)
Tujuan dari Penelitian ini adalah sebagai kebijakan adalah salah satu dan termasuk
berikut. tahapan awal dalam analisis kebijakan publik.
Sebagai suatu sistem siklus, secara umum
1. Untuk memberikan gambaran desain analisis kebijakan publik meliputi tahapan-
kebijakan penanggulangan wabah tahapan mulai dari identifikasi masalah,
pandemi covid-19 di Indonesia sesuai formulasi kebijakan, proses pembuatan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 keputusan, implementasi, dan evaluasi.
tentang Kekarantinaan Kesehatan
2. Menggambarkan Pilihan Kebijakan Menurut Dunn (2003:132), policy
pemerintah sebagai strategi formulation (formulasi kebijakan) adalah
implementasi untuk menangani wabah pengembangan dan sintesis terhadap
pandemi covid-19 alternatif-alternatif pemecahan masalah.
3. Menganalisis alasan pemerintah Sementara, Tjokroamidjojo dalam Islamy
memilih kebijakan PSBB dan kemudian (2000:24) menyebutkan perumusan kebijakan
diganti menjadi PPKM, baik PPKM sebagai alternatif yang terus menerus
Jawa-Bali, maupun PPKM Mikro dilakukan dan tidak pernah selesai, dalam
daripada memilih kebijakan Karantina memahami proses perumusan kebijakan kita
di Wilayah. perlu memahami aktor-aktor yang terlibat
dalam proses perumusan kebijakan. Pendapat akademisi, politisi, dan bahkan pemerhati
lain tentang formulasi kebijakan dikemukakan
oleh Anderson. Menurutnya, perumusan
kebijakan publik menyangkut upaya menjawab
pertanyaan bagaimana berbagai alternatif
disepakati untuk masalahmasalah yang
dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi.
(Winarno, 2002).

Dengan demikian, formulasi kebijakan


dapat diartikan sebagai cara untuk
memecahkan suatu masalah yang dibentuk
oleh para aktor pembuat kebijakan dalam
menyelesaikan masalah yang ada dan dari
sekian banyak alternatif pemecahan yang ada
maka dipilih alternatif kebijakan yang terbaik.
Dalam tulisan ini, analisis formulasi kebijakan
ditekankan pada beberapa alternatif kebijakan
yang disediakan dalam Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantitaan
kesehatan dan alternative kebijakan lain yang
dibuat dan dirumuskan oleh pemerintah di
luar formula yang termaktub dalam Undang-
Undang tersebut.

Sementara, metode pengumpulan data


yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kepustakaan dengan menelusuri
artikel, dokumen, dan literature yang relevan
dengan kajian ini. Sumber-sumber yang
dikumpulkan kemudian diseleksi,
diinterpretasi bagian-bagian yang relevan
sebagai bagian dari rekonstruksi penulisan
penelitian ini.

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian tentang penanganan dan


penanggulangan wabah pandemic covid-19 di
Indonesia telah dilakukan oleh sejumlah
kebijakan public. Beberapa tulisan itu, untuk mengendalikan dan mencegah pandemi
ada yang berbentuk jurnal ilmiah, covid-
artikel di media massa, dan buku yang 19. Artikel ini bertujuan menganalisis langkah-
diterbitkan, di antaranya adalah langkah yang dilakukan oleh pemerintah
sebagai berikut. Indonesia dalam mengatasi pandemi covid-19.

1. Pandemi Covid-19 Dan 3. Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Dunia


Tantangan Kebijakan Pendidikan
Kesehatan Mental Di
Indonesia

Artikel ini ditulis oleh Ilham


Akhsanu Ridlo dalam Jurnal Insan, yaitu
sebuah jurnal Psikologi dan Kesehatan
Mental, vol.5 nomor edisi 2 (2020).
Artikel ini membahas seputar
kesehatan mental sebagai komponen
integral dari penanggulangan COVID-19
dan perlunya sebuah kebijakan
kesehatan mental pada masa pandemik
covid-19 di Indonesia. Penulis
menggarisbawahi

pentingnya mengintegrasikan layanan


kesehatan mental ke dalam layanan
berbasis masyarakat sebagai cara untuk
memastikan cakupan universal
pelayanan kesehatan mental. Model
pemberdayaan partisipatif dan
bottom- up menjadi pilihan yang
rasional, untuk mengatasi masalah
sumber daya dan stigma sebagai
penghalang keberhasilan program
kesehatan mental di Indonesia.

2. Indonesia dalam Menghadapi


Pandemi Covid-19
Artikel ini ditulis oleh Ririn Noviyanti
Putri dan diterbitkan dalam Jurnal
Ilmiah Universitas Batanghari, Jambi,
LPPM Universitas Batanghari Jambi
vol.20 nomor 2 (2020). Artikel ini
mengupas seputar perlunya prosedur
Artikel ini ditulis oleh Matdio Siahaan dan ada maka dipilih alternatif kebijakan yang terbaik.
diterbitkan dalam Jurnal Kajian Ilmiah (JKI)
Edisi Khusus No. 1 (Juli 2020). Artikel ini berisi
tentang dampak pandemic covid-19 terhadap
aktivitas masyarakat, terutama kegiatan
belajar mengajar. Dampaknya yang sangat
terasa adalah kegiatan proses belajar
mengajar dilaksanakan dari rumah, bahkan
bekerja pun dilakukan dari rumah dengan
tujuan agar bisa mengurangi penularan Covid-
19.

PEMBAHASAN

Formulasi Kebijakan Dalam UU


Kekarantinaan Kesehatan

Untuk menghadirkan jawaban yang lebih


obyektif terhadap pertanyaan alasan Jokowi
lebih memilih PSBB dan PPKM daripada yang
lainnya, kita bisa menelaahnya dari formulasi
kebijakan tersebut seperti yang dirumuskan
dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 sebagai
landasan pemberlakuan sebuah kebijakan.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam


bagian pendahuluan, dalam siklus kebijakan
publik, formulasi adalah salah satu fase atau
rangkaian antara identifikasi masalah,
implementasi, dan evaluasi kebijakan. Artinya,
sebelum sebuah kebijakan dirumuskan,
basisnya adalah identifikasi masalah, dan
setelah dirumuskan, perlu ada strategi
implementasi kebijakan untuk mencapai
tujuan kebijakan. Oleh karena itu, formulasi
kebijakan dapat didefinisikan sebagai cara
untuk memecahkan suatu masalah yang
dibentuk oleh para aktor pembuat kebijakan
dalam menyelesaikan masalah yang ada dan
dari sekian banyak alternatif pemecahan yang
Latar belakang pembentukkan UU tindakan kekarantinaan pada pintu-pintu
Nomor 6 Tahun 2018 tentang masuk (pelabuhan/ bandar udara/ Pos Lintas
kekarantinaan Kesehatan Batas Darat) dan tindakan kekarantinaan di
wilayah. Untuk itu diperlukan perangkat
UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang
peraturan perundangundangan yang memadai
Kekarantinaan Kesehatan lahir sebagai
berkaitan dengan karantina (Firdaus Syam,
respon terhadap perkembangan
2013).
teknologi di bidang transportasi dan
meningkatnya keterkaitan hubungan
antarbangsa melalui berbagai aktivitas,
seperti perdagangan, perjalanan
wisata, dan migrasi penduduk
antarnegara. Di samping itu, seiring
dengan proses globalisasi yang semakin
meningkat, muncul pula kekhawatiran
akan bahaya penyakit menular yang
berpotensi membahayakan
kedaruratan kesehatan masyarakat.
Dengan demikian, pemerintah perlu
membuat formulasi kebijakan yang
tepat untuk menangkal bahaya
penyakit menular dan
mempertimbangkan faktor resiko yang
dihadapi guna mencegah terjadinya
kedaruratan kesehatan masyarakat
yang membahayakan dan meresahkan
seluruh masyarakat. Sebagai bagian
dari masyarakat internasional,
Indonesia juga memiliki kewajiban
untuk melakukan upaya pencegahan
terjadinya Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat yang Meresahkan Dunia
(Public Health Emergency of
International Concern/PHEIC)
sebagaimana yang diamanatkan dalam
International Health Regulations (IHR)
2005, dimana mengharuskan
Indonesia meningkatkan
kapasitas berupa kemampuan dalam
surveilans dan respon cepat serta
Regulasi yang ada sebelumnya, terkait mencegah dan menangkal penyakit dan/atau
dengan kekarantinaan yaitu Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut;
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Karantina Udara; dan Undang-undang Nomor
16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan,
dan Tumbuhan. Sementara, regulasi yang
terkait wabah penyakit dan kesehatan antara
lain Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984
tentang Wabah Penyakit Menular; dan
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan. Regulasi yang ada ini
dipandang memiliki kelemahan berupa
tumpang tindih kebijakan dan saling
bertentangan. Ditambah pula mumculnya
perkembangan dalam pelaksanaan
pemerintahan daerah yang mengubah dan
membagi kewenangan antara pusat dan
daerah.

Oleh karena alasan-alasan tersebutlah, UU


Nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan
kesehatan lahir untuk menjawab dan
mengantisipasi berbagai persoalan terkait
wabah penyakit menular yang berpotensi
menimbulkan kedaruratan kesehatan
masyarakat agar regulasi ini menjadi aturan
yang terintegrasi dan komprehensif.

Tujuan Penyelenggaraan
Kekarantinaan Kesehatan

Lalu, apa saja tujuan penyelenggaraan


Kekarantinaan Kesehatan yang termaktub
dalam Undang-undang ini? Tujuannya adalah
melindungi masyarakat dari penyakit dan/atau
factor resiko kesehatan masyarakat yang
berpotensi menimbulkan kedaruratan
kesehatan masyarakat. Di samping itu,
kekarantinaan kesehatan bertujuan untuk
factor resiko kesehatan masyarakat, Wuhan, berbagai desakan datang dari
meningkatkan ketahanan nasional di beberapa kelompok masyarakat kepada
bidang kesehatan masyarakat, dan pemerintah untuk segera memberlakukan
memberikan perlindungan dan kebijakan kekarantinaan kesehatan. Salah satu
kepastian hukum bagi masyarakat dan opsi yang sempat mengemuka ke publik
petugas kesehatan. adalah Karantina Wilayah atau masyarakat
lebih banyak mengenalnya sebagai lockdown.
Dari Wacana Lockdown (Karantina Mulai dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI),
Wilayah) sampai keluarnya kebijakan anggota DPR, dan
PSBB

Munculnya wabah pandemi covid-


19 yang bermula dari kota Wuhan,
China pada Desember 2019,
sebagaimana laporan China kepada
organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
menjadi ujian bagi pemerintah
Indonesia untuk mengimplementasikan
UU
tentang
Kekarantinaan Kesehatan ini. UU yang
disahkan tanggal 7 Agustus 2018 dan
diundangkan sehari setelah itu, sampai
munculnya kasus positif pertama di
Indonesia belum bisa dilaksanakan
karena belum ditetapkannya peraturan
pemerintah sebagai amanat yang
tertera dalam UU tersebut. Dalam
kurun waktu antara Desember 2019
sampai 30 Maret 2020, belum ada
kebijakan definitif untuk menangkal
wabah virus covid-19 ini. Pemerintah
baru sebatas memberikan himbauan
agar masyarakat belajar dari rumah,
bekerja dari rumah, dan beribadah di
rumah. Bahkan, sejumlah pejabat
Pemerintah dinilai terkesan tidak serius
mengantisipasi penyebaran virus
tersebut.

Sejak kasus tersebut mewabah di


pakar epidemiologi mendesak kepada Maret 2020).
Pemerintah untuk segera memberlakukan
lockdown. IDI, melalui satgas Covid-19 nya,
Zubairi Djoerban sangat setuju jika lockdown
diterapkan. IDI menyoroti imbauan social
distancing yang ternyata tak disiplin
diterapkan masyarakat. Jika terus dibiarkan,
upaya pencegahan corona bisa gagal.
(Kunparan.com, 22 Maret 2020). Dari kalangan
anggota DPR, Mardani Ali Sera, anggota DPR
Fraksi PKS mendesak pemerintah
menggunakan opsi lockdown untuk mencegah
korban yang semakin banyak. Ia melihat
bahwa kurangnya kesadaran physical
distancing dari masyarakat karena minimnya
sosialisasi dan komunikasi bencana yang tidak
baik. Lebih lanjut, menurutnya ketidaktegasan
pemerintah memilih opsi Lockdown berimbas
masih banyak perusahaan yang tidak
membuat kebijakan Work From Home (WFH)
kepada pegawainya, menjadikan Indonesia
memiliki angka kematian tertinggi dari pada
rata-rata negara ASEAN. (RMOL.id, Rabu, 25
Maret 2020). Dari kalangan epidemiolog pun
menyampaikan permintaan yang sama. Dokter
Tifauzia Tyassuma, seorang Ahli Clinical
Epidemiology dan secara khusus pernah
meneliti Virus, melalui surat terbuka kepada
Presiden RI yang ditulis di akun FaceBook
miliknya mendesak Presiden Joko Widodo
segera memerintahkan lockdown. Ia
menyampaikan kritiknya terhadap pemerintah
yang dinilai tidak serius menangani persoalan
besar ini. Bahkan, ia menilai pemerintah
tampak kebingungan dan tiap siap, malah
menggunakan buzzer yang menganggap
sepele persoalan ini. Di antara para menteri
terkesan tidak kompak, saling bertentangan
mengeluarkan pernyataan. (zonautara.com, 15
Opsi Kebijakan Dalam UU Nomor 6 terlaksana, maka diperlukan peraturan
Tahun 2018 tentang Kekarantinaan pemerintah sebagai instrumen implementasi
Kesehatan UU Kekarantinaan Kesehatan. Apa saja
ketentuan yang perlu dibuat dalam sebuah
Dalam UU Nomor 6 Tahun 2018
peraturan pemerintah?
tentang Kekarantinaan Kesehatan pasal
15 ayat (2) dinyatakan bahwa tindakan
kekarantinaan kesehatan berupa
sebagai berikut.

a. Karantina, isolasi, vaksinasi, dekontaminasi,

b. PSBB,

c. disinfeksi,

d. penyehatan, pengamanan, dan


pengendalian terhadap media
lingkungan.

Tindakan Kekarantinaan Kesehatan


ini adalah bagian dari Kekarantinaan
Kesehatan di Pintu Masuk dan di
Wilayah. Sementara, dalam definisi
Karantina Wilayah pada pasal 1 ayat 10
UU ini dinyatakan bahwa karantina
wilayah adalah pembatasan penduduk
dalam suatu wilayah termasuk wilayah
Pintu Masuk beserta isinya yang diduga
terinfeksi penyakit dan/atau
terkontaminasi sedemikian rupa untuk
mencegah kemungkinan penyebaran
penyakit atau kontaminasi. Dalam ayat
11 dinyatakan bahwa PSBB adalah
pembatasan kegiatan tertentu
penduduk dalam suatu wilayah yang
diduga terinfeksi penyakit dan/atau
terkontaminasi sedemikian rupa untuk
mencegah penyebaran penyakit atau
kontaminasi.

Agar tujuan tersebut dapat


1. Tata cara penetapan dan pencabutan 2. Tata laksana Pengawasan
kedaruratan kesehatan masyarakat Kekarantinaan Kesehatan di
(Pasal 10 ayat 4) Pelabuhan (Pasal 19 ayat 6)
2. Penanggulangan Kedaruratan 3. Kekarantinaan Kesehatan terhadap
Kesehatan Masyarakat (Pasal 11 ayat kapal perang, kapal Negara dan kapal
3) tamu negara (Pasal 24)
3. Tata cara pelaksanaan Karantina 4. Tata laksana Pengawasan
Wilayah di Pintu Masuk (Pasal 14 ayat Kekarantinaan Kesehatan di Bandar
2) Udara (Pasal 30 ayat 4)
4. Tata cara pengenaan sanksi 5. Tindakan Kekarantinaan Kesehatan di
administrative (Pasal 48 ayat 6) Pos Lintas Batas Darat Negara (Pasal
5. Kriteria dan pelaksanaan Karantina 35 ayat 5)
Rumah, Karantina Wilayah, Karantina 6. Pengawasan Barang dalam alat angkut
Rumah Sakit, dan PSBB (Pasal 60) (Pasal 47)
7. Bentuk, isi, tata cara pengajuan dan
Peraturan pelaksana tersebut harus sudah penerbitan, dan pembatalan Dokumen
ditetapkan paling lambat 3 tahun terhitung Karantina Kesehatan (Pasal 70)
sejak Undang-Undang ini diundangkan. Jika UU 8. Tata cara pelaksanaan kewenangan
ini ditetapkan pada tanggal 7 Agustus dan pejabat karantina kesehatan (Pasal 75
diundangkan tanggal 8 Agustus, maka ayat 4)
selambat-lambatnya sudah ditetapkan pada 9. Penelitian dan pengembangan (Pasal
tanggal 8 Agustus 2021. 77 ayat 3)
Dari lima ketentuan yang menjadi amanat 10. Pembinaan Kekarantinaan Kesehatan
untuk dibuat peraturan pemerintah, kita bisa (Pasal 82 ayat 4)
klasifikasi ke dalam kluster berikut. 11. Pengawasan penyelenggaraan
1. Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Kekarantinaan Kesehatan (Pasal 83
2. Karantina (Wilayah, Rumah, dan ayat 3)
Rumah Sakit)
3. Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) Satu hal yang menjadi catatan khusus di
di samping ketentuan yang perlu dibuat dalam sini adalah bahwa terlihat adanya ketentuan
peraturan pemerintah, terdapat beberapa yang diamanatkan untuk ditetapkan dengan
ketentuan lain yang diamanatkan untuk dibuat peraturan pemerintah dan juga dengan
dalam peraturan menteri, yaitu sebagai peraturan menteri. Misalnya terlihat antara
berikut. ketentuan Pembatasan Sosial Skala Besar dan
Karantina Wilayah yang dimasukkan ke dalam
1. Tindakan kekarantinaan kesehatan peraturan pemerintah (Pasal 60) dan juga
(Pasal 15 ayat 4) menjadi bagian dari tindakan kekarantinaan
yang juga dimasukkan dalam peraturan karantina menjadi tanggung jawab
menteri (Pasal 15 ayat 4) Pemerintah Pusat, dengan melibatkan
Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait
Kewenangan dan Tanggung Jawab (ayat 2).
Pemerintah Dalam UU Kekarantinaan
Kesehatan Dengan demikian, tanggung jawab pemerintah
pusat bersifat mandatory dalam kebijakan
Seperti dinyatakan di atas bahwa
Karantina di Wilayah yang meliputi tanggung
setidaknya terdapat 3 ketentuan yang menjadi
jawab seluruh penyelenggaraan Kekarantinaan
amanat untuk dibuat dalam peraturan
Kesehatan dan tanggung jawab atas
pemerintah, yaitu ketentuan tentang
ketersediaan sumber daya yang diperlukan.
kedaruratan kesehatan masyarakat, Karantina
Esensi dari formulasi kebijakan Karantina di
di Pintu Masuk dan di Wilayah, dan PSBB.
Wilayah adalah pembatasan penduduk dalam
Merebaknya penyebaran Covid-19 ini,
suatu wilayah termasuk wilayah Pintu masuk
memaksa Pemerintah harus membuat
beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit
peraturan pemerintah sesuai amanat UU.
dan/atau terkontaminasi untuk mencegah
Wacana yang menguat adalah perlunya
kemungkinan penyebaran penyakit atau
kebijakan Karantina Wilayah. Bahkan, di
kontaminasi.
beberapa daerah, para kepala daerah sudah
berinisiatif menerapkan Karantina Wilayah di Sama halnya dengan Karantina Kesehatan
daerahnya masing-masing. Akan tetapi, di Wilayah, Pemerintah Pusat pun
beberapa kali pula Jokowi menyatakan bahwa bertanggung jawab atas penyelenggaraan
kebijakan Karantina Wilayah adalah Kekarantinaan Kesehatan pada kedaruratan
kewenangan pemerintah pusat. Dalam UU No. kesehatan masyarakat secara tepat dan cepat
6 Tahun 2018 pasal 5 ayat (1) dinyatakan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 11 ayat
bahwa Pemerintah Pusat bertanggung jawab 1. Formulasi dari Kedaruratan Kesehatan
menyelenggarakan Kekarantinaan Kesehatan masyarakat adalah kejadian kesehatan
di Pintu Masuk dan di wilayah secara terpadu. masyarakat yang bersifat luar biasa dengan
Pemerintah Pusat dapat melibatkan tindai penyebaran penyakit menular dan
Pemerintah Daerah, sebagaimana dinyatakan seterusnya…yang menimbulkan bahaya
dalam ayat (2) nya. Pemerintah Pusat pun kesehatan dan berpotensi menyebar lintas
bertanggung jawab terhadap ketersediaan wilayah atau lintas Negara sebagaimana
sumber daya yang diperlukan dalam dinyatakan dalam pasal 1 ayat 2 UU Nomor 6
penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan Tahu 2018. Kewenangan Pemerintah pun
bersama-sama dengan pemerintah daerah. sangat besar yang meliputi kewenangan
Selanjutnya, di dalam pasal 55 ayat 1 menetapkan dan mencabut Kedaruratan
dinyatakan bahwa selama Karantina Wilayah, Kesehatan Masyarakat, menetapkan dan
kebutuhan hidup dasar orang dan makanan mencabut penetapan pintu masuk dan/atau
hewan ternak yang berada di wilayah di dalam negeri yang terjangkit
wilayah
kedaruratan kesehatan masyarakat,
dan
menetapkan jenis penyakit serta factor resikonya. Tabel: Kewenangan dan Tanggung Jawab
Sementara, sebagaimana Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam UU No.
dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 11, dalam PSBB adalah 6/2018
pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu
wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau N Kebijakan Pemerintah Pemerinta
terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah o Pusat h Daerah
1 Kekaranti Bertanggung idem
kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
naan jawab
Selain itu, istilah PSBB ditemukan dalam pasl 15 ayat 2 Kesehata melindungi
huruf b meskipun bukan berupa rumusan. PSBB juga n kesehatan
disebutkan dalam pasal 49 ayat 2 sebagai bagian dari masyarakat
Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di dan /atau
Wilayah yang meliputi Karantina Rumah, Karantina factor resiko
Wilayah, Karantina Rumah Sakit, dan PSBB. kesehatan
masyarakat
Kewenangan menetapkan PSBB ada di tangan Menteri
Bertanggung
Kesehatan (Pasal 49 ayat 3).
jawab
menyelengg
Lalu, bagaimana tanggung jawab
arakan
Pemeritah Pusat dalam PSBB? Dalam pasal 59 Kekarantina
terkait ketentuan PSBB, tidak disebutkan an
adanya tanggung jawab Pemerintah Pusat Kesehatan di
sebagaimana halnya terdapat dalam Pintu Masuk
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan dan di
Karantina Wilayah. Hanya saja, dalam pasal 59 wilayah
secara
ayat 3 dinyatakan bahwa PSBB paling sedikit
terpadu
meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, Bertanggung idem
pembatasan kegiatan keagamaan, dan /atau jawab
pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas terhadap
umum. ketersedaan
sumber daya
yang
diperlukan
2 Kedarura Menyelengg
tan arakan
Kesehata Kekarantina
n an
Masyarak Kesehatan
at pada
kedaruratan
kesehatan
masyarakat
secara cepat Wilayah di
dan tepat Pintu Masuk
Menetapkan Melakukan
dan tindakan
mencabut Kekarantina
kedaruratan an
kesehatan Kesehatan
masyarakat berupa
Menetapkan Karantina,
dan PSBB,
mencabut disinfeksi,
penetapan dekontamin
Pintu Masuk asi,
dan/atau penyehatan,
wilayah di pengamanan
dalam negeri , dan
yang pengendalia
terjangkit n terhadap
Menetapkan media
jenis lingkungan
penyakit dan 4 Karantina Melakukan Terlibat
faktor resiko di Karantina dalam
Berkordinasi Wilayah Rumah, pemenuha
dan bekerja Wilayah, n
sama Rumah Sakit, kebutuhan
dengan atau PSBB di hidup dasar
dunia wilayah orang dan
Internasiona pada situasi makanan
l (Negara kedaruratan hewan
lain atau kesehatan ternak yang
organisasi masyarakat berada
internasional Bertanggung dalam
3 Karantina Menetapkan jawab Karantina
di Pintu Peraturan memenuhi Rumah
Masuk Pemerintah kebutuhan Terlibat
mengenai hidup dasar dalam
tata cara orang dan penyelengg
pelaksanaan makanan araan
Karantina hewan karantina
Wilayah di ternak yang wilayah
Pintu Masuk berada Bersama-
dalam sama
Menetapkan Karantina pemerintah
Karantina Rumah pusat,
Melibatkan Bertanggun
Pemerintah g jawab
daerah atas
dalam pemenuha
pemenuhan n penyelengga
kebutuhan kebutuhan raan
hidup orang hidup dasar Karantina
dan seluruh Wilayah
makanan orang yang Bertanggung
hewan berada di jawab atas
ternak rumah sakit pemenuhan
Bertanggung kebutuhan
jawab hidup dasar
memenuhi seluruh
kebutuhan orang yang
hidup dasar berada di
orang dan rumah sakit
makanan 5 PSBB Lihat di
hewan bagian
ternak yang Karantina di
berada di Pintu Masuk
wilayah dan
Karantina Karantina di
Melibatkan Wilayah
Pemerintah Menetapkan
daerah PSBB (oleh
dalam Menteri)
Dari Tabel di atas dapat disimpulkan bahwa, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan dan tanggung jawab
yang besar dalam hal kebijakan Kekarantinaan Kesehatan, terutama terkait Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat, Karantina di Pintu Masuk, dan Karantina di Wilayah. Tanggung Jawab Pemerintah Pusat dalam
hal pemenuhan kebutuhan hidup dasar terlihat dalam opsi kebijakan Karantina di Wilayah. Sementara dalam
kebijakan PSBB, UU ini sama sekali tidak mencantumkan tanggung jawab Pemerintah Pusat. Namun, sesuai
dengan pasal 60 UU ini, Pemerintah Pusat diberikan kewenangan menetapkan kriteria dan pelaksanaan PSBB
dengan Peraturan Pemerintah.

Struktur Kekarantinaan Kesehatan

Dalam struktur Undang-Undang, ketentuan terkait Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan


Karantina Kesehatan di Pintu Masuk dan di Wilayah di tempatkan dalam bab tersendiri, yaitu pada
bab IV dan bab VI, sehingga menjadi bagian yang terpenting dalam struktur Undang-Undang ini.
Khusus ketentuan Karantina di wilayah, penjabarannya di tempatkan pada bab VII. Sementara, PSBB
ditempatkan sebagai bagian dari Karantina Kesehatan di Wilayah.
Struktur Kekarantinaan Kesehatan dalam UU Nomor 6 Tahun 2018

Penyehatan,pengamanan, pengendalian media lingkungan Perlu dibentuk PP sesuai


Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
amanat pasal 10 ayat 4

Disinfeksi, dekontaminasi Kekarantinaan Kesehatan di Pintu Masuk dan di Wilayah

Karantina, isolasi, vaksinasi, dll

Karantina di Pintu Masuk Karantina di Wilayah


PSBB
Kriteria dan
pelaksanaannya perlu
dibentuk PP, sesuai
Pelabuhan, Bandar Udara, Batas darat Negara, amanat pasal 60
Perlu dibentuk PP berdasarkan Pengawasan awak, personel, penumpang, barang
amanat Pasal 14
ayat 2
Karantina Rumah, Wilayah, Rumah Sakit, PSBB

Pandemi Covid-19 dan Opsi Kebijakan PSBB

Mewabahnya Covid-19 di tanah air Kesehatan Masyarakat, dan PSBB. PSBB lah
mengharuskan Pemerintah mengambil opsi yang dikehendaki lahir lebih dahulu dengan
kebijakan untuk mencegah penularan dan keluarnya PP 21 Tahun 2020 tentang PSBB
penyebaran penyakit menular ini. Dari banyak Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-
opsi kebijakan tersebut, pada akhirnya 19. Sementara, sosok
Pemerintah lebih memilih kebijakan
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Karantina Wilayah yang di dalamnya
sebagai instrumen pelaksanaan UU penuh dengan tanggung jawab yang harus
kekarantinaan Kesehatan daripada memilih diemban oleh ibu tersebut, harus bersabar
kebijakan lainnya, seperti Karantina Wilayah. untuk tidak lahir terlebih dahulu. Saudara
kembar yang lainnya berupa Kedaruratan
Jika diibaratkan seorang Ibu, UU Kesehatan Masyarakat justru dipaksa untuk
Kekarantinaan Kesehatan ini mengandung tiga menjadi seorang cucu dengan diterbitkannya
calon bayi bernama Karantina Wilayah, Kepres Nomor 11 tahun 2020 tentang
Kedaruratan
Penetapan Kedaruratan Kesehatan Atas dasar “identifikasi
Masyarakat pada tanggal 31 Maret 2020.
Padahal, sesuai dengan pasal 10 dan 11 UU
Nomor 6 tahun 2020, ketentuan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah. Penerbitan Keppres ini
bersamaan dengan keluarnya PP 21 tahun
2020 tentang PSBB. Dengan demikian, dalam
waktu yang sama, lahir seorang anak dan cucu.

Padahal, sesuai dengan rumusan


kebijakan yang tertera dalam UU ini,
semestinya PSBB,dan juga Karantina Wilayah,
lahir sebagai respon atas situasi Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat. Artinya, Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat adalah sebuah situasi
yang kemudian mendorong lahirnya Karantina
Wilayah dan PSBB. Dengan keluarnya PP 21
Tahun 2020 tentang PSBB, Pemerintah Pusat
mengesampingkan kebijakan Karantina
Wilayah, yang secara yuridis terlalu banyak
membebankan tanggung jawab kepada
Pemerintah Pusat.

PSBB dan Identifikasi Masalah Covid-19

Bagaimana pemerintah mengidentifikasi


masalah penyebaran covid-19 ini? Dalam PP
21 tahun 2020 dinyatakan dalam
konsiderannya bahwa penyebaran covid-19
telah meningkat dan meluas lintas wilayah dan
lintas Negara dan berdampak pada
aspek poleksosbudhankam, serta
kesejahteraan masyarakat. Lalu, identifikasi
masalah yang dijadikan konsideran adalah
dampak penyebaran Covid-19 telah
mengakibatkan terjadi keadaan tertentu
sehingga perlu dilakukan upaya
penanggulangan, salah satunya dengan
tindakan pembatasan social berskala besar.
masalah” itulah dipilih kebijakan PSBB. dalam PSBB
Definisi PSBB menurut PP ini ialah
Dalam Pasal 2 PP 21/2020 dinyatakan
pembatasan kegiatan tertentu
bahwa dengan persetujuan menteri yang
penduduk dalam suatu wilayah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
diduga terinfeksi covid-19 sedemikian
bidang kesehatan, Pemerintah Daerah dapat
rupa untuk mencegah kemungkinan
penyebaran covid-19.

Dalam teori analisis kebijakan,


kegiatan identifikasi masalah adalah hal
yang juga krusial untuk memastikan
formulasi kebijakan yang tepat. Jika
identifikasi masalahnya tidak akurat,
maka formulasi kebijakannya pun
berpotensi tidak dapat memecahkan
masalah yang sedang dihadapi.
Pertanyaannya, apakah masalah yang
diidentifikasi dalam PP 21/2020 sudah
tepat? Apakah penyebaran covid-19
yang meningkat dan meluas adalah
sebuah masalah? Sebagai sebuah
masalah, jawabannya iya. Tetapi,
apakah hal itu yang menjadi sumber
masalah? Ini yang tidak dirumuskan
dalam PP tersebut. Penyebaran covid-
19 yang meningkat dan meluas adalah
dampak dari suatu masalah. Apa yang
menyebabkan penyebarannya
meningkat dan meluas? Mengapa
penyebarannya meningkat dan meluas?
Itulah yang perlu diidentikasi secara
akurat, sehingga rumusan kebijakan
yang akan diterapkan kemudian
menjadi tepat, guna memecahkan
masalah yang dihadapi. Lalu, apa saja
strategi yang dilakukan guna mencegah
penyebaran covid-19 yang dituangkan
dalam PP tersebut?

Kewenangan dan Tanggung Jawab


melakukan PSBB atau pembatasan terhadap Dari rumusan yang terbaca dalam PP tersebut
pergerakan orang dan barang untuk suatu mengindikasikan adanya pelimpahan tanggung
provinsi atau kabupaten/kota. Sementara, jawab yang dibebankan kepada Pemerintah
dalam ayat 3 dinyatakan bahwa PSBB harus Daerah dalam pelaksanaan PSBB di
didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, wilayahnya.
besarnya ancaman, efektifitas, dukungan
sumber daya, teknis operasional, Permenkes No. 9 Tahun 2020 tentang
pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, Pedoman PSBB
pertahanan dan keamanan.
Meski telah diterbitkan PP No. 21 Tahun
Ini bisa diartikan bahwa Pemerintah Daerah 2020, pemberlakuan PSBB masih memerlukan
baru bisa melaksanakan PSBB jika telah terbitnya Peraturan Meteri Kesehatan sebagai
memenuhi syarat dan setelah itu Menteri pengejawantahan kebijakan PSBB. Tanggal 3
(Kesehatan) memberikan persetujuannya. April 2020, barulah Peraturan Menteri
Kepala Daerah yang daerahnya mendapatkan Kesehatan No.9 Tahun 2020 dikeluarkan
persetujuan melaksanakan PSBB, harus sebagai Pedoman PSBB dalam rangka
memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar Percepatan Penanganan Covid-19.
penduduk (Pasal 4 ayat 3). Kewajiban bagi
Jika Permenkes ini dijadikan sebagai
kepala daerah itu dipertegas lagi dalam pasal 5
pedoman penyelenggaraan PSBB,
ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam hal
pertanyaannya adalah bagaimana Permenkes
PSBB telah ditetapkan oleh menteri yang
ini membumikan PP 21/2020 agar tujuan dari
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
penyelenggaraan PSBB bisa tercapai? Dilihat
bidang kesehatan, Pemerintah Daerah wajib
dari strukturnya, Permenkes ini memuat
melaksanakan dan memperhatikan ketentuan
beberapa ketentuan yang sebagian besar
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 6 Tahun
ketentuan ini berisi tentang hal-hal yang
2020 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Ini
bersifat teknis-administratif mulai dari
yang menimbulkan pertanyaan. Kewajiban
prosedur permohonan, tata cara penetapan,
melaksanakan dan memperhatikan ketentuan
dan pencatatan serta pelaporan. Muatan
yang mana yang diatur dalam UU tersebut?
ketentuan implementasi PSBB sendiri hanya
Bukankah UU tersebut sebagian besar
terdiri dari satu bagian. Hal lainnya memuat
mengatur tentang tanggung jawab Pemerintah
ketentuan soal monitoring dan evaluasi serta
Pusat, dalam hal kebijakan Kedaruratan
kriteria dan ruang lingkup.
Kesehatan Masyarakat, Karantina di Wilayah
yang meliputi Karantina Rumah, Karantina Pertanyaan yang bisa kita ajukan ialah,
Wilayah, dan Karantina Rumah Sakit? Ataukah dalam situasi krisis dan kedaruratan kesehatan
ada pelimpahan tanggung jawab dari masyarakat, bagaimana Permenkes ini bisa
Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah merespon secara cepat dan tepat jika sebagian
karena telah mendapatkan persetujuan dari besar muatan ketentuannya berupa hal-hal
Pemerintah Pusat untuk melaksanakan PSBB? yang bersifat teknis procedural? Bagaimana
Permenkes ini memberikan ruang
gerak yang
lebih leluasa bagi pelaksana PSBB untuk PSBB pada tanggal 31 Maret 2020 sampai
menanggulangi penyebaran Covid-19 yang
sangat cepat? Bagaimana Permenkes ini
memiliki daya lentur dan fleksibilitas terhadap
daerah yang tidak mampu memenuhi syarat
pengajuan PSBB, misalnya kecukupan
kebutuhan hidup dasar, sementara di sisi lain,
wabah Covid-19 sudah sangat
mengkhawatirkan? Pasal 10 Permenkes ini
menunjukkan gambaran sebaliknya.

Tidak hanya itu, kita juga bisa mengajukan


pertanyaan terkait dengan wewenang dan
tanggung jawab. Pihak mana yang memiliki
kewenangan dan tanggung jawab dalam
pelaksanaan PSBB ini? Kita sudah bisa
menduga bahwa jika melihat desain kebijakan
PSBB, maka pihak yang diberi tanggung jawab
pelaksanaan PSBB ini ialah Pemerintah
Daerah. Rumusannya jelas termaktub
beberapa ketentuan dalam PP 21/2020 dan
Permenkes No. 9/2020. Pasal 4 ayat 3 dan
Pasal 5 ayat 1 PP 21/2020. Lalu, dalam
Permenkes No. 9/2020, Pemerintah Daerah
bertanggung jawab atas ketersediaan
kebutuhan hidup dasar rakyat. Sarana dan
prasarana kesehatan, anggaran dan
operasionalisasi jaring pengaman social (Pasal
6 ayat 5). Lalu, dimana tanggung jawab
Pemerintah Pusat dalam PSBB ini? Apakah
Pemerintah Pusat bertanggung jawab atas
pemenuhan kebutuhan hidup dasar rakyat
juga? Tidak ada pasal dalam Permenkes ini
yang menyebut tanggung jawab Pusat atas
pemenuhan kebutuhan hidup dasar rakyat.

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan


Masyarakat (PPKM)

Sejak Pemerintah mengeluarkan kebijakan


dinyatakan berakhir pada tanggal 10 penerapan ini yang berdampak tidak
Januari 2021, kasus Covid 19 di efektifnya penanganan wabah
Indonesia telah mencapai 828.026 pandemi covid-19. Dalam PPKM,
positif, 681.024 dinyatakan sembuh,
inisiatif berasal dari pemerintah pusat
dan meninggal dunia 24.129 orang.
berupa pemberian kriteria awal
Sampai tanggal 10 Januari 2021 ini juga,
terdapat penambahan kasus positif
sebanyak 9.640 kasus. Ini berarti, masih
terdapat kasus aktif sebanyak 122.873
kasus. (Kompas.com, 10
Januari 2021).

Sejak tanggal 11 Januari 2021, berlaku


kebijakan baru dengan menggunakan
istilah yang baru, yaitu Pembatasan
Kegiatan Masyarakat (PPKM). Ada
beberapa alasan dikeluarkannya
kebijakan PPKM yang dikemukakan
oleh Pemerintah, yaitu sebagai berikut.

1. Mencermati perkembangan
kasus covid-19 yang juga belum
menunjukkan tanda-tanda
penurunan. Sampai tanggal 10
Januari 2021, terdapat kasus
rata-rata harian sebanyak 8954,
dengan angka tertinggi pada
tanggal 8 Januari yang
mencapai 10.617 kasus positif.
(Center for Systems Science
and Engineering (CSSE) at Johns
Hopkins University)

2. Agar terjadi keseragaman


penerapan PPKM. Selama ini,
pemberlakuan PSBB berasal
dari inisiatif Pemerintah Daerah
yang mengajukan kepada
Pemerintah Pusat melalui
Menteri Kesehatan.
Ketidakseragaman waktu
terhadap daerah-daerah untuk 2. Tahap kedua dari tanggal 26 Januari-9
dilakukan pembatasan. Daerah yang Februari 2021, meliputi 7 provinsi
masuk dalam kriteria itu, harus
Setelah dilaksanakan selama dua tahap
menerapkan PPKM. Oleh karena itu,
dan hasilnya tidak efektif, PPKM Jawa-Bali
penerapan kebijakan PPKM
diubah menjadi PPKM berbasis mikro sejak
diharapkan bisa menjadi seragam.
tanggal 9 Februari 2021. PPKM Mikro ini
berdasarkan Instruksi Mendagri Nomor 3
Terlepas dari argumentasi yang
Tahun 2021. Sesuai dengan Instruksi Mendagri
dikemukakan oleh pihak pemerintah,
tersebut, selain penanganan, posko COVID-
penggunaan terminologi ‘Pemberlakuan
19 PPKM Mikro juga bertugas mencegah,
Pembatasan Kegiatan Masyarakat” patut
membina, dan mendukung upaya mengatasi
untuk dipertanyakan landasan peraturan
penyebaran penyakit. PPKM Mikro
perundang- undangan-nya. Karena, istilah
dilaksanakan bersamaan dengan pembatasan
tersebut dikenal dalam UU Nomor 6 Tahun
di wilayah kabupaten/kota. Ayat pertama
2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dasar
Inmendagri 3/2021 menyatakan PPKM
kebijakan tersebut mengacu pada Instruksi
Mikro ditujukan pada beberapa provinsi di
Mendagri. Dengan demikian, rejim
Indonesia. Provinsi tersebut berada di Pulau
pengaturannya berubah dari rejim pengaturan
Jawa dan Bali yang memiliki jumlah kasus
kedaruratan kesehatan menjadi rejim
COVID-19 tinggi. Pada PPKM mikro ada
pengaturan pembatasan kegiatan masyarakat
pengaturan tentang pembentukan posko
berbasis kewilayahan. Tidak salah jika ada
penanganan COVID-19 di tingkat desa dan
pandangan yang mengatakan bahwa
kelurahan, jam operasional pusat
Pemerintah berusaha menghindari opsi
perbelanjaan/mall diatur dengan lebih longgar
kebijakan lain yang disediakan dalam UU
yaitu hingga pukul 21.00 WIB, serta
Kekarantinaan Kesehatant ersebut, seperti
pembatasan perkantoran yang lebih longgar
kebijakan Karantina di Wilayah atau lockdown.
yaitu 50% kerja dari kantor dan 50% kerja dari
Penggunaan istilah Karantina di Wilayah sudah
rumah. (Kompas. 9 Februari 2021).
pasti akan berimplikasi kewajiban atau
tanggung jawab yang besar di tangan Sampai dengan tanggal 7 Juni 2020,
pemerintah pusat. kebijakan ini telah berlangsung selama 9
Kebijakan PPKM pertama kali diberlakukan tahap. PPKM Mikro tahap 9 diberlakukan sejak
untuk wilayah Jawa dan Bali. Oleh karenanya tanggal 1-14 Juni 2021. Jika tahap pertama
disebut PPKM Jawa-Bali, yang dilaksanakan PPKM Mikro meliputi 7 provinsi, kini
dalam dua tahap, yaitu sebagai berikut. pemberlakuannya meliputi 30 provinsi. Sampai
1.Tahap pertama dari tanggal 11 Januari-25 dengan tanggal 6 Juni 2021, kasus covid
Januari 2021, meliputi 7 provinsi bertambah 5.832 Orang, sehingga total kasus
(DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa
Covid-19 di Indonesia Capai 1.856.038 kasus
Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali)
positif.
Sejak diberlakukannya PPKM Jawa-Bali KESIMPULAN DAN SARAN
dari tanggal 11-25 Januari 2021, tercatat grafik
kasus harian sebagai berikut. 1. Adanya ketentuan yang semestinya
diamanatkan untuk ditetapkan dengan
peraturan pemerintah, ternyata justru
Grafik Kasus Harian Positif covid-19 dalam dijadikan sebagai Keputusan Presiden.
rentang waktu 11-25 Januari 2021 (PPKM Ketentuan tentang Kedaruratan
Jawa-Bali Tahap 1)
Kesehatan Masyarakat yang
diamanatkan untuk ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah, hanya
15000Jumlah kasus dijadikan sebagai Keputusan Presiden
10000 Nomor 11 tahun 2020 tentang
Penetapan Kedaruratan Kesehatan
5000
Jumlah Masyarakat.
0
kasus

Sumber: the Center for Systems Science and 2. Adanya upaya mengalihkan tanggung
Engineering (CSSE) at Johns Hopkins University
jawab dari Pemerintah Pusat kepada
Dari grafik di atas dapat terbaca bahwa kasus Pemerintah Daerah dengan memilih
harian tertinggi terjadi pada tanggal 16 Januari opsi kebijakan PSBB daripada memilih
2021, yaitu sebanyak 14.224 kasus. Fakta ini kebijakan Karantina Wilayah.
menunjukkan bahwa angka tersebut masih Pengalihan tanggung jawab tersebut
lebih tinggi dari kasus harian tertinggi PSBB
terbaca dari formulasi Permenkes
tanggal 8 Januari 2021 sebelum penerapan
PPKM, yaitu sebanyak 10.617 kasus positif. Nomor 9/2020. Mestinya, tanggung
Angka ini bisa menjadi gambaran bahwa saat jawab pemerintah pusat juga
diterapkannya kebijakan PPKM, masih terjadi dicantumkan dalam Permenkes ini
kasus harian tertinggi positif covid-19, sebagai bentuk akuntabilitas Negara
meskipun kita juga melihat adanya trend terhadap rakyat.
penurunan angka kasus harian positif.
Data statistik menunjukkan, sejak 3. Patut diduga bahwa Pemerintah Pusat
diberlakukannya PPKM Mikro yang telah
tidak secara cermat mengidentifikasi
diberlakukan sampai 9 jilid, terdapat trend
masalah dengan merumuskan dampak
sedikit penurunan angka kasus harian positif
covid-19, yaitu pada tanggal 19 Mei mencatat dari masalah sebagai masalah. Hal itu
kasus terendah yaitu mencapai 4871 kasus, terlihat dalam konsideran PP 21/2020.
dan yang tertinggi tercatat pada tanggal 5 Juni Ketidakcermatan mengidentifikasi
2021 yang mencapai 6594 kasus. masalah berpotensi tidak tepatnya
formulasi kebijakan sehingga tujuan
kebijakan tersebut tidak tercapai.
Belum adanya
tanda-tanda menurunnya kasus
covid-19 di Indonesia, bahkan
menunjukkan
statistic yang fluktuatif menunjukkan daerah, tetapi sudah menjadi
bahwa opsi kebijakan yang dipilih oleh persoalan nasional dan global.
pemerintah, baik PSBB, maupun PPKM Sehingga, tanggung jawab terbesar
perlu untuk dievaluasi lebih lanjut. ada pada pemerintah pusat.
Semestinya, Pemerintah Pusat
4. Dilihat dari strukturnya, Permenkes mengambil alih tanggung jawab penuh
No. 9 Tahun 2020 lebih bersifat teknis persoalan ini, bukan semata-mata
administratif yang tidak sensitif membebankan kepada pemerintah
terhadap situasi kedaruratan daerah serta melakukan evaluasi dan
kesehatan masyarakat yang menilai kinerja pemerintah daerah.
membutuhkan tindakan cepat dan Keberhasilan penanganan pandemi ini
fleksibel. Semestinya, desain atau adalah tanggung jawab seluruh
formulasi kebijakan yang dimuat komponen bangsa, dengan komponen
dalam Permenkes ini memenuhi utamanya adalah pemerintah pusat
prinsip- prinsip responsivitas dan sebagai penyelenggara pemerintahan
fleksibilitas dengan mengedapankan tertinggi yang dibantu oleh
azas kepentingan umum. pemerintah daerah.

5. Upaya menghindari implikasi DAFTAR PUSTAKA


tanggung jawab pemerintah pusat pun
terlihat dari dikeluarkannya kebijakan Buku
PPKM, baik PPKM Jawa-Bali dan PPKM
Dunn, W. (2003). Analisis Kebijakan Publik.
Mikro. Penggunaan istilah PPKM yang
Yogyakarta: Gajah Mada University
tidak diatur dalam Undang-Undang
Press
Kekarantinaan Kesehatan ini hanya
berdasarkan Instruksi Mendagri.

6. Dalam paradigm pelaksanaan Good Firdaus Syam. 2013. Analisis Dan Evaluasi
Governance, transparansi, Peraturan Perundang-Undangan
akuntabilitas, dan , non diskriminatif, Tentang Kekarantinaan. Pusat
dan responsibilitas dan rule of law Perencanaan Pembangunan Hukum
menjadi prinsip yang penting dan Nasional Badan Pembinaan Hukum
utama. Oleh karena itu, setiap Nasional Kementerian Hukum Dan
pelaksanaan kebijakan, termasuk Hak Asasi Manusia R.I.
dalam penanggulangan pandemic
Islamy, M. Irfan. 2000. Prinsip-prinsip
covid-19 harus mengedepankan
Perumusan Kebijakan Negara.
prinsip-prinsip tersebut. Pandemi ini
Jakarta. Sinar Grafika
bukanlah persoalan lokal semata yang
dibebankan kepada pemerintah Prasetiyani, Netty dan Tim Covid-19 FPKS DPR
RI.2020. Buku Putih
Penanganan
Pandemi Covid-19 Lockdown". Diakses di
di
Indonesia.Jakarta, Buku Republika.

Wahab, Solihin. Abdul. 2003. Analisis


Kebijakan dari Formulasi ke
Implementasi Kebijakan Negara.
Jakarta. Bumi Aksara

Winarno Budi, 2008. Kebijakan Publik Teori &


Proses. Yogyakarta: MedPress
(Anggota IKAPI)

Artikel

Data Terkini Korban Virus Corona di Indonesia


per Mei 2021, Merdeka.com, Senin,
31 Mei 2021. Diakses di
https://www.merdeka.com/peristiw
a /data-terkini-korban-virus-corona-
di indonesia-per-mei-2021 pada
tanggal 6 Juni 2021

“Dokter Tifauzia Tyassuma minta Jokowi


segera lockdown”. Diakses di
https://zonautara.com/2020/03/15/
dokter-tifauzia-tyassuma-minta-
jokowi-segera-lockdown/ pada
tanggal 7 Juni 2021.

“IDI Desak Jokowi Segera Putuskan Lockdown


untuk Tekan Penyebaran Corona”.
Diakses di
https://kumparan.com/kumparanne
ws/idi-desak-jokowi-segera-
putuskan-lockdown-untuk-tekan-
penyebaran-corona-1t4kXYWt1XQ
pada tanggal 7 Juni 2021

“Pasien Covid-19 Terus Naik Tajam, PKS Desak


Jokowi Pertimbangkan Opsi
https://politik.rmol.id/read/2020/03 Diakses di
/25/426991/pasien-covid-19- https://nasional.kompas.com/rea
terus- naik-tajam-pks-desak- d/2021/01/10/17342671/update-10-
jokowi- pertimbangkan-opsi- januari-kasus-aktif-covid-19-kini-ada-
lockdown pada tanggal 7 Juni 122873. pada tanggal 7 Juni 2021
2021

"PPKM Mikro Berlaku, Apa Bedanya


dengan PPKM?"Diakses di
https://www.kompas.com/tren/read
/
2021/02/09/060200565/ppk
m- mikro-berlaku-apa-
bedanya-dengan- ppkm-
pada tanggal 7 Juni 2021

“Update per 31 Maret: 1.528 Kasus


Covid-19, Masyarakat
Diajak Saling
Beri Edukasi”, Kompas.com,
Rabu 1 April 2020. Diakses
di
https://amp.kompas.com/nasi
onal/r
ead/2020/04/01/06293531/u
pdate- per-31-maret-1528-
kasus-covid-19- masyarakat-
diajak-saling-beri pada
tanggal 6 Juni 2021

Update Minggu 10 Januari 2021:


828.026 Positif Covid-19,
Sembuh 681.024, Meninggal 24.129.
Diakses di
https://www.liputan6.com/ne
ws/rea d/4453587/update-
minggu-10- januari-2021 pada
tanggal 6 Juni 2021

"UPDATE 10 Januari: Kasus Aktif Covid-


19 Kini Ada 122.873",
Dokumen Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020
tentang Penetapan Kedaruatan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kesehatan Masyarakat Corona Virus
Kekarantinaan Kesehatan
Disease 2019 (Covid- 19)
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun
2020 tentang PSBB Dalam Rangka
Instruksi Mendagri Nomor 1-9 Tahun 2021
Percepatan Penanganan Covid-19 tentang Pemberlakuan
Pembatasan Kegiatan Masyarakat
Permenkes No. 9 Tahun 2020 tentang (PPKM)
Pedoman PSBB

You might also like