Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali Dalam Pendidikan Islam: Rina Rosia
Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali Dalam Pendidikan Islam: Rina Rosia
Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali Dalam Pendidikan Islam: Rina Rosia
Rina Rosia
Dosen STAI PTDII Jakarta
e-mail: [email protected]
Abstract
Imam al-Ghazali is very popular among Muslims. Muslims are very rare who do not know this
character. A number of books by Imam al-Ghazali became the object of study in various Islamic
educational institutions, ranging from pesantren to Islamic universities, both at home and abroad.
This research is qualitative research including character research. The purpose of this research is
to know the thoughts of Sufism of Imam al-Ghazali about Islamic education. The findings of this
research are that Imam al-Ghazali was born in a small village of Ghazalah, Kota Thus Province
Khurasan Persi region (Iran) in 450 AH / 1058 AD His features are including Sunni tasawuf based
on the doctrine ahlu sunnah wal jama'ah. According to him, repentance is the first thing that must
be passed by a salik, in other words, no salik is not through this maqam repentance. This is what is
called the takhalli phase. It empties itself of both sins to God and to others who are potentially
polluting the heart of a salik. After undergoing takhalli phase, after that, the salik enters tahalli
phase, which adorns itself with good morals, not just morals good to man but also to God. Salik
must undergo the next maqam-maqam like maqam zuhud, patience, syukr, tawakkal, and ridha
to arrive at the phase of tajalli. Some of the main doctrines of Sufism of Imam al-Ghazali, namely
tawheed, makhafah, mahabbah, and ma'rifat. From these principal teachings was born the
concept of taubah, shabr, zuhud, tawakkal, and ridla.
Imam al-Ghazali sangat populer di lingkungan umat Islam. Umat Islam amat jarang yang tidak
mengenal tokoh ini. Sejumlah kitab karya Imam al-Ghazali menjadi obyek kajian di berbagai
lembaga pendidikan Islam, mulai dari pesantren hingga perguruan tinggi Islam, baik di dalam
maupun di luar negeri. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif termasuk penelitian tokoh.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemikiran tasawuf Imam al-Ghazali tentang
pendidikan Islam. Temuan penelitian ini adalah Imam al-Ghazali dilahirkan di suatu kampung
kecil Ghazalah, Kota Thus Propinsi Khurasan wilayah Persi (Iran) pada tahun 450 H/1058 M.
Corak pemikirannya adalah termasuk tasawuf sunni yang berdasarkan doktrin ahlu sunnah wal
jama’ah. Menurutnya, taubat adalah hal pertama yang harus dilalui oleh seorang salik, dengan
perkataan lain, tak ada salik yang tak melalui maqam taubat ini. Inilah yang disebut sebagai fase
takhalli.Yaitu mengosongkan diri dari dosa-dosa baik kepada Allah maupun kepada sesama yang
potensial mengotori hati seorang salik. Selesai menjalani fase takhalli, setelah itu, salik memasuki
fase tahalli, yaitu menghiasi diri dengan akhlak yang baik, bukan hanya berakhlak baik kepada
manusia melainkan juga kepada Allah. Salik harus menjalani maqam-maqam berikutnya seperti
maqam zuhud, sabar, syukr, tawakkal, dan ridha untuk sampai pada fase tajalli. Beberapa doktrin
pokok tasawuf Imam al-Ghazali, yaitu tauhid, makhafah, mahabbah, dan ma’rifat. Dari ajaran-
ajaran pokok ini lahir konsep taubah, shabr, zuhud, tawakkal, dan ridla.
Kata Kunci:
A. Pendahuluan
Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M) dalam sejarah ilmu
pengetahuan Islam, adalah seorang tokoh pemikir muslim yang hidup pada bagian
akhir dari zaman keemasan, di bawah khilafah Abbasiah yang berpusat di
Baghdad. Ia dikenal sebagai faqih, mutakallim, filsuf, sufi, dan sekaligus juga
tokoh reformasi keagamaan dan kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh dan
akar kuat dalam sejarah Islam (Ghirbal, 1965: 125). Selain itu, Imam al-Ghazali
juga memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam. Ia menguasai berbagai
pengetahuan pada masanya dan mampu mengemukakannya secara menarik,
seperti yang tercermin dalam karya-karyanya (al-Taftazani, 1914: 155).
Sejumlah kitab karya Imam al-Ghazali menjadi obyek kajian diberbagai
lembaga pendidikan Islam. Hampir semua pondok pesantren di Indonesia
terutama di jawa dan Madura juga mengajarkan kitab-kitab tasawuf karya Imam
al-Ghazali seperti Bidayat al-Hidayah, Minhaj al-Abidin, hingga kitab Ihya’ Ulum
al-Diin. Menurut (Badawi, 1977: 9) Imam al-Ghazali menempati kedudukan
istimewa di hadapan umat Islam.
Imam al-Ghazali sebagaimana umumnya para sufi lain, meletakkan tasawuf
tetap dalam koridor syariat. Baginya, tasawuf tak boleh dipisahkan dari syariat.
Namun, syariat yang dijalankan oleh Imam al-Ghazali bukan syariat yang bersifat
legal formal semata, melainkan syariat yang penuh dengan spirit moral dan etika.
Syariat adalah wadahnya, sedangkan tasawuf adalah isinya. Dalam konteks itu,
Imam al-Ghazali melakukan interpretasi esoterik terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Inilah salah satu jasa intelektual Imam al-Ghazali yang dicatat sejumlah akademisi
muslim kontemporer. Imam al-Ghazali adalah tokoh Islam yang bisa memadukan
antara fikih yang bergerak di wilayah eksoterik dan tasawuf yang berjuang di
domain esoterik. Dengan kehadiran Imam al-Ghazali, polemik panjang antara ahli
fikih dan ahli tasawwuf saat itu bisa ditangani. Bahkan, tak hanya durasi
ketegangan antara fuqaha dan ulama sufi yang bisa dikurangi, melainkan juga
volume penyerangan dan penghukuman mati terhadap para sufi, sekurangnya
pada zaman Imam al-Ghazali bisa terus ditekan.1
1
Sebelum Imam al-Ghazali tidak sedikit ulama sufi yang dibunuh. Yang paling fenomenal
di antaranya yaitu: (1) hukuman mati yang menimpa Dhu al-Nuun Al-Misri (W.859 M) oleh
Abdullah ibn Abd al-Hakam, seorang ulama fiqih bermadzhab Maliki di Mesir. (2) al-Husayn ibn
Mansur yang dihukum mati pada 309 H, setelah sebelumnya dikeluarkan fatwa tentang sesatnya
al-Hallaj oleh seorang hakim bermadzhab Maliki bernama Abu Amr. Selanjutnya kurang lebih dari
satu abad dari kematian Imam al-Ghazali, hukuman mati terhadap para sufi kembali terjadi.
Korbannya di antaranya yaitu ‘Ayn al-Qudat al-Hamdhani (W. 1131 M) dan Suhrawardi al-Maqtul
(W. 1191 M). Dua tokoh ini dianggap mengembangkan ajaran ayng menyimpang dari al-Qur’an
dan hadis.
B. Pembahasan
1. Biografi Sosial Intelektual Imam al-Ghazali
Nama lengkap Imam al-Ghazali2 (Amalia, 2010: 163), adalah Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad ibnu Muhammad at-Thusi al-Ghazali (al-Ghazali,
t.th: 7). Sebutan Imam al-Ghazali bukanlah merupakan nama aslinya. Zainal
Abidin Ahmad mengungkapkan dalam bukunya, bahwa sejak kecil beliau
memiliki nama Muhammad bin Muhammad ibnu Muhammad, kemudian sesudah
2
Penulisan “Imam al-Ghazali”, para ulama berbeda pendapat mengenai asal dan cara
membacanya. Ada yang mengatakan bahwa kata ini ditulis dengan satu huruf “z”, yaitu
dinisbahkan kepada nama desa atau tempat lahirnya di Ghazalah. Ada juga yang berpendapat
ditulis dengan dua huruf “zz”, dinisbahkan kepada Ghazzal, yaitu pekerjaan ayahnya sebagai
penenun dan penjual kain tenun.
berumah tangga dan memiliki putra bernama Hamid, maka dipanggil dengan Abu
Hamid (Ahmad, 1975: 27).
Imam al-Ghazali dilahirkan di suatu kampung kecil Ghazalah, Kota Thus
Propinsi Khurasan wilayah Persi (Iran) pada tahun 450 H/1058 M (Ahmad, 1975:
29). Ayahnya bekerja sebagai pemintal benang dan pedagang kain wol. Walaupun
keluarga Imam al-Ghazali hidup dalam keadaan serba kekurangan, tetapi sang
ayah memiliki semangat keilmuan dan cita-cita yang tinggi. Dalam waktu
senggangnya setelah selesai bekerja ia selalu mengunjungi para fuqaha, duduk
bersama untuk mendengarkan nasihat-nasihat mereka. Apabila ia mendengar
nasehat para ulama tersebut, ia terkadang menangis dan selalu memohon kepada
Allah SWT agar dikaruniai anak yang pintar dan memiliki ilmu yang luas seperti
para fuqaha tersebut, dan pada akhirnya Allah SWT mengabulkan do’anya (Aziz,
2011: 25).
Namun, kebahagiaan yang dialami sang ayah tidak berlangsung lama. Saat
Imam al-Ghazali masih kecil, beliau sudah wafat. Menjelang beliau wafat, beliau
berwasiat kepada salah seorang sahabatnya Ahmad bin Muhammad ar-Razikani
at-Thusi, yang merupakan seorang ahli tasawuf dan fikih. Agar anaknya
dibimbing dan dididik sesuai dengan harapannya, yaitu kelak menjadi seorang
Faqih dan Ulama besar (Ahmad, 1975: 30).
Sejak muda, Imam al-Ghazali sangat antusias terhadap ilmu pengetahuan.
Imam al-Ghazali belajar agama pertama kali di kota Thus (Hanafi, 1996: 135). Di
madrasah tersebut Imam al-Ghazali mulai belajar ilmu fiqih Syafi’i dan tauhid
‘Asy’ari dari seorang guru bernama Ahmad Ibn Muhammad az-Zarkani at-Thusi.
Dari sinilah bermulanya perkembangan intelektual dan spiritual Imam al-Ghazali
yang penuh arti (Isa, 2014: 184). Setelah di kota Thus, kemudian Imam al-Ghazali
pergi ke kota Jurjan untuk belajar dasar-dasar ushul fiqih. Setelah itu, selama
beberapa waktu, Imam al-Ghazali pergi ke Naysabur untuk melanjutkan rihlah
ilmiahnya. Di kota ini, Imam al-Ghazali belajar kepada al-Haramain Abu al-
Ma’ali al-Juwaini, sampai al-Juwaini wafat pada tahun 478 H/1085 M (Karim,
2012: 314-315).
seperti Raymon Martin, Thomas Aquinas, dan Pascal, banyak dipengaruhi oleh
pemikiran Imam al-Ghazali (Karim, 2012: 316).
Sebagai pemikir besar dalam dunia Islam, Imam al-Ghazali sangat produktif
dalam menulis, hal ini dapat dilihat sebagaimana yang tertuang dalam karya-
karyanya, yang merupakan respon langsung terhadap sejumlah problem krusial di
masanya. Karya-karya yang ditulis Imam al-Ghazali sangat bervariasi sesuai
dengan perkembangan ilmu pada zamannya. Diantaranya yaitu (Dahlan, 1996:
404).
Pertama, kitab tentang akhlaq dan tasawuf, yaitu Ihya 'Ulumuddin
(menghidupkan ilmu-ilmu agama), Minhajul 'Abidin (jalan orang-orang yang
beribadah), Kimiya' as-Sa'adah (kimia kebahagiaan), al-Munqiz min ad-Dalal
(penyelamat dari kesesatan), Akhlak al-Abrar wa Najah min al-Asyrar (akhlak
orang-orang yang baik dan keselamatan dari kejahatan), Misykatu al-Anwar
(sumber cahaya), Ad-Darul Fakhirah fi Kasyfi 'Ulum al-Akhirah (mutiara-mutiara
yang megah dalam menyingkap ilmu-ilmu akhirat), dan Al-Qurbah Ilallah 'Azza
wa Jalla (mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Mulai dan Maha Agung).
Kedua, kitab tentang fikih, yaitu: Al-Basit (yang sederhana), Al-Wasit (yang
pertengahan), Al-Wajiz (yang ringkas), Az-Zari'ah Ila Makarim Asy-Syari'ah
(jalan menuju syariat yang mulia), dan At-Tibrul Masbuk fi Nasihah al-Muluk
(batang logam mulia: uraian tentang nasihat kepada para raja).
Ketiga, kitab tentang Ushul Fikih, ialah: Al-Mankul min Ta'liqat al-Usul
(pilihan yang tersaring dari noda-noda ushul fikih), Syifa' al-Ghalil fi Bayan asy-
Syabah wal Mukhil wa Masalik at-Ta'lil (obat orang yang dengki: penjelasan
tentang hal-hal yang samar serta cara-cara pengilatan), Tahzib al-Usul (eleborasi
terhadap ilmu ushul fikih), dan Al-Mutafa min 'Ilmul Usul (pilihan dari ilmu ushul
fikih).
Keempat, kitab tentang filsafat, ialah: Maqasid al-Falasifah (tujuan dari
filsuf), Tahafut al-Falasifah (kekacauan para filsuf), dan Mizan al-'Amal
(timbangan amal).
Kelima, kitab tentang ilmu kalam, ialah: Al-Iqtisad fil I'tiqad (kesederhanaan
dalam beriktikad), Faisal at-Tafriqah bainal Islam wa az-Zandaqah (garis
pemisah antara Islam dan kezindikan), dan Al-Qistas al-Mustaqim (timbangan
yang lurus).
Keenam, kitab tentang ilmu al-Qur'an, ialah: Jawahirul Qur'an (mutiara-
mutiara al-Qur'an), dan Yaqut at-Ta'wil fi Tafsirut Tanzil (permata takwil dalam
menafsirkan al-Qur'an).
Selain kitab-kitab tersebut di atas, masih banyak lagi kitab karangan Imam al-
Ghazali yang musnah, hilang, ataupun yang belum ditemukan. Dengan demikian,
sebagai seorang tokoh fikih, tasawuf, ushul fiqh, dan filusuf, ternyata Imam al-
Ghazali juga seorang tokoh penulis yang produktif dalam menulis kitab-kitab
yang mencakup berbagai persoalan umat.
Setelah sekian lama perjalanan hidup Imam al-Ghazali dalam mengabdikan
diri untuk ilmu pengetahuan dan memperoleh kebenaran pada akhir hayatnya,
akhirnya pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/1111 M, beliau
meninggal dunia dalam usia 55 tahun (Amalia, 2010: 164). Tentang kematiannya,
saudara Imam al-Ghazali bernama Ahmad bercerita bahwa suatu waktu, Imam al-
Ghazali berwudhu dan berdo’a, kemudian berkata, “bawakan kain kafanku”,
kemudian ia mengambil dan menciumnya, dan meletakkan di hadapan mukanya
seraya berkata, “dengan senang hati saya memasuki kehadirat kerajaan”.
Kemudian ia meluruskan kakinya dan berlalu menemui sang Khaliq (Madjid,
1995: 27).
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa Imam al-Ghazali tergolong ulama
yang taat berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunnah, taat menjalankan agama,
dan menghiasi dirinya dengan tasawuf hingga akhir hayatnya. Selain itu, Imam al-
Ghazali juga banyak menguasai berbagai ilmu pengetahuan, seperti ilmu kalam,
filsafat, fiqih, hukum, tasawuf, dan ilmu-ilmu lainnya.
2. Corak Tasawuf Imam al-Ghazali
Imam al-Ghazali bukan orang pertama yang disebut sufi (al-Syahbi, t.th:
256). Ia juga bukan perintis dan peletak dasar ilmu tasawuf. Jauh sebelum Imam
Dalam fase tajalli, ada maqam zuhud. Imam al-Ghazali berkata bahwa zuhud
adalah meninggalkan perkara-perkara mubah yang dikehendaki hawa nafsu (tarku
al-mubahat allati hiya hadd al-nafs). Bagi Imam al- Ghazali, orang yang hanya
mencukupkan diri dengan meninggalkan hal-hal yang diharamkan tak disebut
sebagai orang zuhud (zaahid). Orang zuhud adalah mereka yang di hatinya tak
terlintas keindahan dan kenikmatan harta dunia (‘alaiq al-dunya) (al-Ghazali, t.th
IV: 70). Untuk mengontrol diri agar tidak mencintai kenikmatan dunia, Imam al-
Ghazali pun memilih hidup miskin. Ketika keluar dari Baghdad sebagai Rektor,
Imam al-Ghazali meninggalkan harta kekayaannya kecuali yang dibutuhkan untuk
kebutuhan pokok buat diri dan keluarganya”(al-Ghazali, t.th I: 9). Mengutip
pendapat Ibrahim ibn Adham, Imam al-Ghazali menegaskan bahwa hati manusia
tertutup karena tiga hal: yaitu bahagia terhadap apa yang dimiliki (al-farah bi al-
maujudi), menderita terhadap apa yang hilang darinya (al-huzn bi al-mafqud), dan
senang terhadap pujian orang lain (al-suruur bi al-maadi).
Menurut Imam al-Ghazali, orang kaya adalah orang yang memiliki sedikit
angan-angan dan menerima semua pemberian (al-Ghazali, t.th I: 198). Gemerlap
kenikmatan dunia bisa menipu banyak orang. Kekayaan dunia, menurutnya
potensial menghambat perjumpaan seseorang dengan Tuhannya. Dengan itu, di
ujung usianya, Imam al-Ghazali memilih hidup zuhud sederhana di kampung
halamannya, Thus. Ia terus memperbaiki hatinya agar tak tertipu dengan aksesorik
simbolik yang dikenakan badannya. Dengan jeli Imam al-Ghazali menegaskan
bahwa tak sedikit para sufi yang tak mendapat perlindungan dari Allah bisa tertipu
dengan baju yang dikenakannya. Mereka menyangka bahwa dengan mengenakan
baju, simbol-simbol dan aksesoris seperti yang dipakai para sufi, maka dengan
sendirinya mereka akan menjadi sufi. Secara konsisten, Imamal-Ghazali menjaga
diri dari memakan makanan yang shubhat apalagi yang haram. Ia pun makan
hanya seperlunya (bi qadr al-hajah).
Imam al-Ghazali pun menganjurkan agar manusia menyerahkan segala
urusan hanya kepada Allah (tawakkal). Metode muhasabah, yaitu senantiasa
mencermati hati nurani dan keadaan psikologis diri sendiri agar tak lepas dari
Allah lalu berpaling pada dunia. Ia mengutip al-Sirr al-Saqati, bahwa, “tak akan
bahagia orang yang zuhud selama ia masih sibuk tentang dirinya”(al-Ghazali, t.th
IV: 237). Seluruh hidupnya hanya untuk Allah bukan yang lain. Imam al-Ghazali
mengutip perkataan Abu Sulayman al-Darani, “Allah memiliki hamba yang tak
takut pada neraka dan tak berharap pada surga, maka bagaimana ia bisa
disibukkan oleh urusan dunia”. Abu Sulayman al-Darani juga berkata, “Barang
siapa yang hari ini sibuk dengan dirinya, maka besok ia akan sibuk dengan
dirinya. Sebaliknya, barang siapa yang hari ini sibuk dengan Tuhannya, maka
besok ia akan sibuk dengan Tuhannya”(al-Ghazali, t.th IV: 302).
Mengenai hal ini, Imam al-Ghazali membuat tiga indikator kezuhudan
seseorang. Pertama, orang zuhud adalah orang yang tidak senang dengan apa
yang ada pada diriya dan tidak menyesal dengan apa yang telah tiada pada dirinya
(an laa yafrah bi mawjud wa laa yahzan ‘alaa mafqud). Inilah yang dimaksud
dengan zuhud dalam soal harta benda. Kedua, yang memuji dan mencaci memiliki
kedudukan sama bagi orang zuhud (al-zuhd fii al-jah). Inilah zuhud dalam soal
kedudukan. Ketiga, kesenangan dan kecintaan seseorang hanya kepada Allah.
Dengan itu, Imam al-Ghazali menyimpulkan bahwa indikator kezuhudan adalah
tak ada bedanya antara fakir dan kaya, mulia dan hina, pujian dan cacian, karena
orang zuhud berada dalam cinta penuh kepada Tuhan(al-Ghazali, t.th IV: 336-
337).
3. Pokok Tasawuf ImamAl-Ghazali
Jika dilakukan penelaahan secara sistematis dan terstruktur terhadap kitab
Ihya‘ ‘Ulum al-Diin, maka akan ditemukan beberapa doktrin pokok tasawuf Imam
al-Ghazali, yaitu tauhid, makhafah, mahabbah, dan ma’rifat (al-Ghazali, t.th IV:
340). Dari ajaran-ajaran pokok ini lahir konsep taubah, shabr, zuhud, tawakkal,
dan ridla. Tak bisa seseorang mengaku bertauhid sekiranya seseorang masih
menduakan Allah dengan yang lain. Misalnya tidak bertawakkal kepada Allah,
tidak rela terhadap keputusan Allah, tidak sabar atas ujian yang diberikan Allah,
tidak bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah, tidak menjauhkan diri dari apa
yang dilarang oleh Allah. Tidak bisa seseorang mengaku takut kepada Allah, jika
yang bersangkutan masih takut kepada selain Allah.
Pertama, tauhid. Dalam Ilmu Kalam disebutkan bahwa tauhid berarti ikrar
tentang tidak ada tuhan selain Allah. Dalam tasawuf, tauhid tak hanya merupakan
ungkapan verbal tentang tidak adanya tuhan selain Allah, melainkan juga
ungkapan hati tentang hakekat Tuhan Yang Satu. Dalam kitab al-Rasa’il, al-
Junayd menegaskan, “ketahuilah bahwa permulaan ibadah kepada Allah adalah
dengan mengenal-Nya (ma’rifat), sementara pokok dari ma’rifatullah adalah
bertauhid kepada-Nya.” (al-Junayd, T.th: 38)
Imam al-Ghazali menegaskan bahwa tanda bertumbuhnya tauhid di dalam
hati adalah munculnya sikap tawakkal kepada Allah, yaitu menyerahkan segala
urusan diri sendiri hanya kepada Allah. Imam al-Ghazali membagi tawakkal ke
dalam tiga tingkatan:
a) Menyerahkan segala urusan kepada Allah, seperti penyerahan seseorang
yang mewakilkan kepada pihak yang mewakili.
b) Menyerahkan segala urusan kepada Allah, seperti kepasrahan seorang
anak kecil kepada ibunya. Si anak kecil hanya mengenal dan
menyandarkan segala keadaan dirinya hanya pada ibundanya. Ia hanya
meminta pada ibundanya. Bahkan, seorang ibu kerap memberikan susu
sekalipun si kecil tak memintanya.
c) Menyerahkan segala gerak dan diam kepada Allah seperti gerak dan diam
seorang jenazah di depan orang yang memandikan. Orang yang berada
pada peringkat yang terakhir ini memandang dirinya sudah mati dan yang
menggerakkan adalah Allah. Menurut Imam al-Ghazali, tawakkal
peringkat pertama sangat mungkin terjadi, sementara peringkat kedua dan
ketiga amat jarang terjadi (al-Ghazali, t.th IV: 225).
Imam al-Ghazali berpendirian bahwa tauhid adalah pangkal atau dasar dari
seluruh doktrin dan ajaran tasawuf. Bagi Imam al-Ghazali, bahasan tauhid adalah
lautan yang tak bertepi (bahrla sahila lahu). Untuk memudahkan, Imam al-
Ghazali membagi tauhid ke dalam empat peringkat. Yaitu, (1) Orang yang
lisannya mengucapkan laa ilaaha illa Allah, tapi hatinya melupakannya bahkan
mengingkarinya. Iman yang seperti ini adalah keimanan yang pura-pura karena
tak tembus ke dalam hati. Imam al-Ghazali menyebut ini sebagai tauhid orang
orang munafik. 2) Kalimat tauhid yang diucapkan lisannya dan dibenarkan oleh
hatinya. Pembenaran di hati ini menyelamatkan yang bersangkutan dari siksa di
Akhirat. Inilah tauhid dan keyakinan orang awam. 3) Melihat Tuhan Yang Satu
pada segala sesuatu. Dengan perkataan lain, ia menyaksikan Allah ketika
menyaksikan sesuatu. Inilah maqamal-muqarrabin (kedudukan orang-orang yang
dekatkepada Allah). 4) Bahwa wujud ini hanya satu, yaitu Allah (la yarafi al-
wujud illa wahidan). Dalam peringkat ini, seseorang sudah takmelihat dirinya,
karena yang terlihat hanya Allah. Menurut Imam al-Ghazali, tauhid keempat ini
sebagai tauhid puncak (al-Ghazali, t.th IV: 240).
Kedua, makhafah (ketakutan). Takut kepada Allah bisa dialami oleh setiap
manusia. Ketakutan itu terjadi, menurut Imam al-Ghazali, bisa karena melihat dan
menyaksikan keagungan Allah SWT, dan bisa juga karena banyaknya dosa yang
dilakukan seorang hamba pada Tuhannya. Rasulullah Saw. pernah bersabda, “aku
adalah orang di antara kalian yang paling takut kepada Allah” (ana akhwafukum
lillah). Rasulullah juga bersabda, “pangkal kebijaksanaan itu adalah takut kepada
Allah” (ra’s al-hikmah makhafat ilaa Allah). Dhu al-Nun al-Misri pernah ditanya,
“kapan seorang hamba dikatakan takut kepada Allah?” Ia menjawab, ketika
hamba merasa seperti orang sakit yang takut akan berlangsung terusnya penyakit
yang dideritaoleh yang bersangkutan. Imam al-Ghazali menegaskan bahwa
orangyang dilanda ketakutan akut pada Allah akan terlihat pada kondisi tubuh,
aktivitas fisik, dan gerak hatinya. Tubuh orang yang hatinya terbakar (ihtiraq al-
qalb) karena takut pada Allah akan panas dan matanya menitikkan air mata.
Bersamaan dengan itu, seluruh aktivitas fisik yang bersangkutan akan terhindar
dari perbuatan dosa. Dosa-dosa yang suka dilakukan serta merta ia benci(al-
Ghazali, t.th IV: 151-152). Berbeda lagi dengan orang yang mengaku takut
kepada Allah tetapi anggota badannya bergelimang maksiat, maka tak bisa disebut
khawf (laa yastahiqq an yusamma khawfan) (al-Ghazali, t.th IV: 154-155).
Ketiga, ma’rifah. Secara etimologis, ma’rifah kata benda berasal dari kata
kerja ‘arafa-ya’rifu yang berarti mengetahui. Dengan demikian, ma’rifah berarti
pengetahuan. Dalam ilmu tasawuf, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan yang
tak mengenal keraguan, sebab yang menjadi obyeknya adalah Allah. Jika disebut
ma’rifatullah, maka itu berarti pengetahuan tentang Allah. Sedangkan orang yang
sudah mencapai ma’rifah disebut ‘arif. Kaum genostik dalam tasawuf kerap
disebut “al-‘arif billah” (orang yang mengetahui karena Allah). Menurut para
sufi, alat untuk memperoleh ma’rifat disebut sirr. Al-Junayd, sebagaimana dikutip
Ibrahim Madhkur, membedakan antara ma’rifah dan ‘ilm. Menurut al-Junayd,
jika‘ilm diperoleh melalui eksplorasi akal, maka ma’rifah dicapai melalui
penyucian hati (qalb) (Madkhur, 1976: 72).
Imam al-Ghazali berkata bahwa ma’rifah adalah mengetahui rahasia Allah
dan mengetahui soal-soal ketuhanan yang mencakup segala yang ada. Menurut
Imam al-Ghazali, setiap ilmu adalah lezat dan kelezatan ilmu yang paling puncak
adalah mengetahui Allah. Baginya, kelezatan ma’rifatullah (mengetahui Allah)
jauh lebih kuat ketimbang jenis kelezatan lain (al-Ghazali, t.th IV: 300). Menurut
Imam al-Ghazali, ciri orang yang ma’rifatullah, di antaranya adalah keinginan
untuk terus berjumpa dengan-Nya, bukan dengan yang lain. Ia mengenal secara
lebih dekat dengan membangun komunikasi yang intens dengan-Nya.
Keempat, mahabbah. Di samping menggunakan kata “mahabbah”, Imam al-
Ghazali juga menggunakan kata “’ishq” yang berarticinta dan rindu. Allah pun
juga disebut sebagai “al-wadud”(Yang Mencinta dan Yang Dicinta). Imam al-
Ghazali mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi dasar metafisikal mahabbah.
Misalnya dalam firman Allah:
ُُ ﺑِﻘ َۡﻮ ٖم ﯾُﺤِ ﱡﺒﮭُﻢۡ وَ ﯾُﺤِ ﺒﱡﻮﻧَ ۥﮫlٱ
ﺴ ۡﻮفَ ﯾَ ۡﺄﺗِﻲ ﱠ
َ َﻓ
“Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang
mencintai-Nya” (QS. al-Ma’idah: 54)
Cinta adalah benih yang bisa tumbuh pada tanah yang subur. Imam al-
Ghazali menyitir pernyataan al-Junayd, “Allah mengharamkan cinta bagi orang
yang hatinya terkait erat dengan dunia.”(al-Ghazali, t.th IV: 349). Orang yang
mencintai sesuatu akan khawatir akan hilangnya sesuatu itu. Karena itu, demikian
menurut Imam al-Ghazali, para pecinta selalu dilanda kekhawatiran perihal
hilangnya yang dicintai (al-Ghazali, t.th IV: 326).Tetapi mencintai Allah beda.
Jika seorang mencintai Allah, maka Allah abadi. Dan jika mencintai harta dunia,
maka itu semua akan sirna. Imam al-Ghazali menjelaskan sebab-sebab terjadinya
cinta. Yaitu: 1) Kecintaan seseorang pada dirinya atas kesempurnaannya. Artinya,
jika seseorang tak mencintai Allah atau sesamanya, maka ia pasti akan mencintai
dirinya sendiri, 2) Kecintaan seseorang pada orang lain yang berbuat baik pada
dirinya, 3) Kecintaan seseorang pada orang lain yang berbuat baik pada seluruh
manusia sekalipun tak berbuat baik untuk dirinya, 4) Kecintaan seseorang pada
segala sesuatuyang indah, baik keindahan itu secara lahir maupun secara bathin,
5) Cinta yang melanda dua orang yang memiliki hubungan dan keterkaitanbatin.
Dari semuanya itu, menurut Imam al-Ghazali, yangpaling pantas dan berhak
untuk dicintai adalah Allah Swt (al-Ghazali, t.th IV: 292).
Persoalannya, bagaimana mengubah cinta ego pada diri sendiri menjadi cinta
kepada Allah? Tak ada mekanisme dan tata cara tunggal. Imam al-Ghazali hanya
mengutip dialog Sufyan al-Thawri dengan Rabi‘ah al-Adawiyah. Al-Thawri
berkata kepada Rabi‘ah,“apa hakekat imanmu?” Ia menjawab, “saya tak
menyembah kepadaAllah karena takut pada neraka dan senang pada surga. Sebab,
kalau begitu, maka saya akan seperti seorang buruh yang hanya menunggu upah
dari majikan. Aku menyembah Allah atas dasar cinta dan rindu kepada-Nya”(al-
Ghazali, T.th IV: 302).
Selanjutnya, menurut Imam al-Ghazali, cinta kepada Allah itu bisa terjadi
dengan dua sebab, yaitu: 1) Memutus diri dari seluruh urusan duniawi dan
membuang segala jenis cinta di dalam hati, kecuali cinta kepada Allah. Hati
manusia, demikian kata Imam al-Ghazali, ibarat wadah yang tak bisa diisi cuka
selama di dalamnya masih penuh air. Ia lalu mengutip firman Allah tentang tak
mungkinnya ada dua cinta dalam satu hati. 2) Kekuatan ma’rifat kepada Allah
bisa menimbulkan cinta yang membara kepada-Nya(al-Ghazali, T.th IV: 328).
Selain itu, Imam al-Ghazali juga membagi manusia menjadi tiga tingkatan
yaitu:
Pertama, kaum awwam, yang cara berfikirnya sederhana sekali. Kaum
awwam dengan daya akalnya yang sederhana sekali, tidak dapat menangkap
hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan nurut. Golongan ini
harus dihadapi dengan sikap memberi nasihat dan petubjuk (al-mauziah). Kedua,
kaum pilihan (khawas; elect) yang akalnya tajam dan berfikir secara mendalam.
Kaum ini mempunyai daya akal yang kuat dan mendalam. Harus dihadapi dengan
sikap menjelaskan dengan hikmah-hikmah. Sedangkan Ketiga, kaum ahli debat
(ahl al-jadl). Yaitu kaum yag mempunyai daya akal yang tajam dan mendalam.
Kaum ahli debat ini dipenuhi dengan sikap mematahkan argumen-argumen (al-
mujadalah) (Maftukin, 2012: 137).
4. Pengaruh Tasawuf Imam Al-Ghazali
Imam al-Ghazali memiliki pengetahuan yang luas dan dalam. Ia menguasai
berbagai pengetahuan pada masanya, dan ia mampu mengungkapkannya secara
menarik. Seperti, yang tercermin dalam karya-karyanya. Mengenai tasawuf,
pilihan Imam al-Ghazali jatuh pada tasawuf sunni yang berdasarkan doktrin ahlu
sunnah wal jama’ah. Dari paham tasawufnya itu ia menjauhkan semua
kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filosuf Islam, sekte isma’iliyyah
dan aliran Syiah, Ikhwanus Safa, dan lainnya. Ia juga menjauhkan tasawufnya dari
teori-teori ke-Tuhan-an menurut Aristoteles, antara lain dari teori emanasi dan
penyatuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Imam al-Ghazali benar-
benar bercorak Islam (al-Taftazini, 2003: 156).
Menurut analisa Duncan B. MacDonald seperti yang dikutip oleh Amin
Syukur dan Masyharuddin, bahwa luas dan kuatnya pengaruh tasawuf Imam al-
Ghazali di dunia Islam disebabkan karena beberapa hal. Pertama, Imam al-
Ghazali dapat membawa orang (Islam) kembali dari kegiatan-kegiatan skolastik
mengenai dogma-dogma teologisnya kepada pengkajian, penafsiran, dan
penghayatan Allah dan sunah Nabi. Kedua, dalam nasihat-nasihat dan pengajaran
moralnya, ia memperkenalkan lagi elemen-elemen al-khauf (takut) terutama pada
api neraka. Ketiga, karena ketakutan dan pengaruhnyalah tasawuf memperoleh
kedudukan kuat dan terhormat serta terjamin dalam Islam. Keempat, ia membawa
filsafat dan teologi flosofs yang semula bersifat elitis ke dalam daratan pemikiran
orang awam yang pada mulanya hanya bisa dipahami orang-orang tertentu,
mengingat istilah dan bahasa yang dipakai bukan bahasa awam, sehingga
merupakan misteri bagi mereka (Syukur dan Masharuddin, 2002: 214).
Imam al-Ghazali telah mengubah atau paling tidak telah berusaha merubah
istilah-istilah yang sulit menjadi mudah bagi pemahaman orang awam. Melalui
pendekatan sufistik, Imam al-Ghazali berupaya mengembalikan Islam kepada
sumber fundamental dan historis serta memberikan suatu tempat kehidupan
emosional keagamaan (esoterik) dalam sistemnya. Atau lebih konkritnya Imam al-
Ghazali berusaha merumuskan ajaran-ajaran Islam yang dipenuhi muatan-muatan
sufistik dengan bahasa yang mudah diterima oleh orang awam. Hal ini sangat
menetukan, mengapa ajaran-ajaran tawasuf yang merupakan upaya spiritualisasi
lslam banyak tersebar di berbagai wilayah dunia Islam hingga sekarang (Syukur
dan Masharuddin, 2002: 215).
C. PENUTUP
Imam al-Ghazali tak hanya menjalankan tindakan-tindakan sufi, melainkan
juga menulis buku-buku tasawuf. Karyanya yang paling gemilang di bidang ini
adalah Ihya’ ‘Ulum al-Diin. Sejauh yangbisa dilihat dari karyanya ini, diketahui
bahwa corak tasawuf al-Ghazali lebih dekat kepada tasawwuf khuluqi-‘amali
ketimbang tasawwuf falsafi. Tak hanya bersandar kepada al-Qur’an dan Hadits
yang menjadi ciri kuat tasawuf khuluqi-‘amali (kerap juga disebut tasawwuf
sunni), melainkan juga al-Ghazali menuliskan pengalaman spiritual individualnya
dalam buku ini. Dengan demikian, para pembaca kitab Ihya’ ‘Ulum al-Diin tak
hanya dibuka wawasan sufistiknya dengan sejumlah perujukan kepada al-Qur’an
dan Hadits, melainkan juga akan diperkaya dengan penjelasan-penjelasan spiritual
yang bertumpu pada pengalaman batin Imam al-Ghazali. Inilah yang
menyebabkan kitab Ihya’ ‘Ulum al-Diin menjadi bedadari yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
------------. Ihya’ Ulumuddin, jil. IV, T.th. Daar al-Kitaab al-Mu’allimah: Beirut
Libanon.
Abidin Ahmad, Zainal. 1975.Riwayat hidup Imam al-Ghazali, Surabaya: Bulan
Bintang.
Al-Junayd, T.th.Rasail al-Junayd, Beirut: Daar al-Ilm.
Al-Rahman Badawi, Abd. 1977.Muallafat al-Ghazali, Kuwait: wakalah al-
Matbu’at.
Al-Wafa al-Ghanimi Al-Taftazani, Abu. 2003. Sufi dari Zaman ke Zaman: Suatu
Pengantar tentang Tasawuf. Diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’ Utsmani dari
Madkhal ilaa al-Tashawwuf al-Islam. Bandung: Pustaka.
Amalia, Euis. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Depok: Gramata
Publishing.
Aziz Dahlan (ed), Abdul. 1996.Ensiklopedi Hukum Islam, jil. 2Jakarta: Ikhtiar
Baru Van Hoeve.
Aziz, Abdul. 2011. Ekonomi Sufistik Model Imam Al Ghazali Telaah Analitik
Terhadap Pemikiran al-Ghazali Tentang Moneter dan Bisnis, Bandung:
Penerbit Alfabeta.
Azra, Azyumardi. 1995.Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan.
Azwar Karim, Adiwarman. 2012. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Bashuni, Ibrahim. T.th.Nash’at al-Tasawwuf al-Islami, Mesir: Daar al-Maarif.
Halim Mahmud, Abdul. 1973. Ustadh al-Saairin al-Harith ibn Asad al-Muhasibi,
Kairo: Daar al-Kutub al-Hadithat.
Hanafi, Ahmad. 1996.Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Isa, Ahmad. 2008. Tokoh-Tokoh Sufi Tauladan Kehidupan yang Saleh. Jakarta:
Pustaka.
Madjid, Nurcholis. 1997.Kaki Langit Perbedaan Islam, Jakarta: Paramadina.
--------------Nurcholish. 1995. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi
dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina.
Madkhur, Ibrahim. 1976. Fii al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj Wa Tatbiquh,
Mesir: Daar al-Maa’arif.
Maftukin, 2012. Filsafat Islam, Jogjakarta: Teras
Musthafa al-Shaybi, Kamil. T.th.Al-Silah bayn al-Tasawuf wa al-Tashayyu’,
Mesir: Daar al-Maarif.
Rahman, Fazlur. 2000.Islam, Bandung: Penerbit Pustaka.