SCRIPTA SCORE Scientific Medical Journal Vol 2 No 1 Online
SCRIPTA SCORE Scientific Medical Journal Vol 2 No 1 Online
SCRIPTA SCORE Scientific Medical Journal Vol 2 No 1 Online
lama
nIniDibi
arka
nKos
ong
denga
nSe nga
ja
Thi
sPa
geI
nte
nti
ona
ll
yLe
ftBl
ank
SCRIPTA SCORE Scientific Medical Journal, Vol. 2, No. 1, Agustus 2020 pISSN: 2088-8686
https://doi.org/10.32734/scripta.v2i1.3369 eISSN: 2686-0864
SCRIPTA SCORE
Research
Scientific Medical Journal
ABSTRACT
Background: Obesity is a major risk factor for osteoarthritis. Objectives: The aim of this study is to
determine the correlation between body mass index with Kellgren-Lawrence degree in genu
osteoarthritis patients. Methods: This study used cross-sectional design on 97 participants diagnosed
with genu osteoarthritis in Siloam Hospital Kupang in the period January-December 2017.
Measurement of height and weight was carried out for the calculation of Body Mass Index. Kellgren-
Lawrence degrees were obtained with x-ray photos. Results: Most patients were women (69 patients,
71.7%), 50-59 years old (34 patients, 35.1%), with obesity (61 patients, 62.9%). Conclusion: There
was a significant correlation between BMI and Kellgren-Lawrence degree in genu osteoarthritis (p =
0.000).
Keywords: BMI, Kellgren-Lawrence, obesity, osteoarthritis genu
ABSTRAK
Latar Belakang: Obesitas merupakan faktor risiko terjadinya osteoartritis pada lutut. Tujuan:
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan korelasi indeks massa tubuh (IMT) dengan
derajat Kellgren-Lawrence pada pasien penderita osteoartritis genu. Metode: Penelitian ini
menggunakan metode cross-sectional yang dilakukan pada 97 responden yang didiagnosis dengan
osteoartritis lutut di Rumah Sakit Siloam Kupang pada periode Januari-Desember 2017. Derajat
Kellgren-Lawrence ditentukan berdasarkan foto x-ray konvensional. Hasil: Penderita osteoartritis
terbanyak adalah perempuan (69 pasien, 71,7%), berusia antara 50-59 tahun (34 pasien, 35,1%), dan
dengan IMT kategori obesitas (61 pasien, 62,9%). Kesimpulan: Terdapat korelasi signifikan antara
IMT dan derajat Kellgren-Lawrence pada penderita osteoartritis genu. (p = 0,000).
Kata kunci: IMT, Kellgren-Lawrence, obesitas, osteoartritis genu
Received [31 Dec 2019] | Revised [6 Apr 2020] | Accepted [9 Apr 2020]
2
Correlation of Body Mass Index and Kellgren-Lawrence Degrees in Genu Osteoarthritis
This study was on 97 participants, 69 and participants with obesity majority had
were female (71.1%), mostly 50-59 years KL 3 degree (30.9%). Somers’d was run to
old (34 patients; 35.1%). Most participants determine the association BMI and degree
have KL3 degree (42-43.3%). Only 8 of joint damage in osteoarthritis amongst
people (8.2%) were in KL 1 degree (Table 97 participants. There was a moderate,
1). positive correlation between BMI and
Participants with normal BMI mostly degree of joint damage, which was
experiencing KL 2 degree (8.2%) as seen statistically significant. (r=0.435, p
in Table 2, participants with overweight value=0.0000) (Table 2)
were majority had KL 2 degree (9.3%),
Table 2. Relationship Between BMI and Kellgren Lawrence Grading Scale of Osteoarthritis of Knee
BMI Kellgren Lawrence Grading, n (%)
Total r p
KL1 KL2 KL3 KL4
Normal 5 8 5 0 18 0.435 0.000
5.2% 8.2% 5.2% .0% 18.6%
Overweight 1 9 7 1 18
1.0% 9.3% 7.2% 1.0% 18.6%
Obese 2 11 30 18 61
2.1% 11.3% 30.9% 18.6% 62.9%
8 28 42 19 97
Total
8.2% 28.9% 43.3% 19.6% 100.0%
Abbreviations: KL, Kellgren Lawrence; BMI, Body Mass Index
3
Correlation of Body Mass Index and Kellgren-Lawrence Degrees in Genu Osteoarthritis
4
Correlation of Body Mass Index and Kellgren-Lawrence Degrees in Genu Osteoarthritis
5
SCRIPTA SCORE Scientific Medical Journal, Vol. 2, No. 1, Agustus 2020 pISSN: 2088-8686
https://doi.org/10.32734/scripta.v2i1.3372 eISSN: 2686-0864
SCRIPTA SCORE
Penelitian
Scientific Medical Journal
ABSTRAK
Latar Belakang: Kesepian menjadi salah satu masalah psikologis yang sering muncul pada remaja.
Salah satu penyebab timbulnya kesepian pada remaja adalah tidak terpenuhinya kebutuhan emosi dan
sosial. Intensitas kesepian bisa berbeda-beda, ada yang dapat segera melalui perasaan kesepian,
namun ada juga yang terus-menerus merasakan kesepian. Hal ini dapat mempengaruhi remaja secara
mental, sehingga sering dikaitkan dengan masalah psikologis dan kesehatan somatis. Tujuan:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kesepian dengan masalah psikologis dan gejala
gangguan somatis pada remaja. Metode: Penelitian ini merupakan studi penelitian analitik dengan
desain penelitian cross sectional menggunakan data primer yang berasal dari kuisioner. Sampel
penelitian dipilih dengan metode stratified random sampling dari seluruh data kuisioner yang
memenuhi kriteria penelitian. Hasil: Pada analisis korelasi Spearman didapatkan nilai p sebesar 0,001
(p<0,05) yang menunjukkan terdapat hubungan antara kesepian dengan masalah psikologis dan gejala
gangguan somatis pada remaja. Analisis bivariat kesepian dengan depresi didapatkan nilai koefisien
korelasi r=0,548, kesepian dengan kecemasan r= 0,515, kesepian dengan stres r=0,472 dan kesepian
dengan gejala gangguan somatis r=0,528. Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara
kesepian dengan masalah psikologis dan gejala gangguan somatis pada remaja.
Kata kunci: gejala gangguan somatis, kesepian, masalah psikologis
ABSTRACT
Background: Loneliness is a psychological problem that often arises in adolescents. One of the
causes is unfulfilled emotional and social needs. The intensity of loneliness can vary, there can be
immediately through a feeling of loneliness, but there are also those who constantly feel lonely. It can
affect adolescents mentally, so it is often associated with psychological problems and somatic health.
Objectives: This study aimed to know the relationship of loneliness with psychological problems and
symptoms of somatic disorders in adolescents. Methods: This study is an analytical study with a
cross-sectional design, data that used is primary data from questionnaires. The sample was selected
by using the stratified random sampling method from all questionnaire data. Results: In the
Spearman correlation analysis, the p-value was 0.001 (p<0.005) which showed that there was a
relationship between loneliness and psychological problems and symptoms of somatic disorders in
adolescents. Bivariate analysis between loneliness and depression obtained correlation coefficient
r=0.548, loneliness and anxiety r=0.515, loneliness and stress r=0.472 and loneliness and symptoms
of somatic disorders r=0.528. Conclusion: There was a significant relationship between loneliness
and psychological problems and symptoms of somatic disorders in adolescents.
Keywords: loneliness, psychological problems, symptoms of somatic disorders
Received [31 Dec 2019] | Revised [1 Jun 2020] | Accepted [3 Jun 2020]
7
Hubungan Kesepian dengan Masalah Psikologis dan Gejala Gangguan Somatis pada Remaja
8
Hubungan Kesepian dengan Masalah Psikologis dan Gejala Gangguan Somatis pada Remaja
9
Hubungan Kesepian dengan Masalah Psikologis dan Gejala Gangguan Somatis pada Remaja
sangat relevan dengan kesepian. Gangguan berbeda oleh setiap orang, bagi sebagian
kecemasan sosial adalah gangguan orang kesepian merupakan yang bisa
psikologis yang ditandai oleh ketakutan diterima secara normal, namun bagi
akan evaluasi negatif oleh orang lain.[16] sebagian orang kesepian bisa menjadi
Individu dengan kecemasan ini memiliki sebuah kesedihan yang mendalam.[18]
keyakinan negatif tentang diri mereka Hasil dari penelitian ini
sendiri dan dunia dan terlibat dalam mengindikasikan adanya hubungan antara
perilaku penghindaran, yang membatasi kesepian dengan masalah psikologis pada
peluang mereka untuk terlibat dalam remaja, dimana semakin tinggi tingkat
hubungan sosial yang bermakna. kesepian seseorang maka akan semakin
Tabel 2 menunjukkan bahwa dari uji tinggi masalah psikologisnya. Kesepian
korelasi didapatkan nilai p sebesar 0,001 dapat terjadi karena hubungan yang
(<0,05) yang berarti ada hubungan antara diharapkan individu mengalami
kesepian dengan stres pada remaja. Koefisien perubahan, namun pada kenyataannya
korelasi (r) didapatkan sebesar 0,472. hubungan tersebut tidak terjadi perubahan.
Penyebab stres pada remaja dapat dipicu Seperti dengan bertambahnya usia tentu
dari kematian orang yang dicintai atau ada keinginan akan perubahan dalam
menyaksikan peristiwa yang traumatis, hubungan, ketika hal tersebut tidak terjadi
penyebab yang paling umum berhubungan maka dapat menyebabkan kesepian.
dengan sekolah seperti intimidasi dari Seseorang yang mengalami kesepian
teman-teman, masalah dengan guru, dan cenderung memiliki self-esteem yang
kesulitan akademis dan hubungan rendah, memiliki sikap yang negatif
interpersonal seperti konflik dengan orang kepada orang lain dan kurang dalam
tua, saudara, dan teman sebaya.[11] kemampuan sosial. Perilaku interpersonal
Setiap orang yang mengalami ataupun yang pasif dan tidak responsif dapat
terpapar stresor yang cukup besar belum menganggu dan menjengkelkan bagi orang
tentu merasakan efek stres dalam bentuk lain sehingga munculkan penolakan sosial
gangguan psikologis yang sama. Hal yang dapat membuat kesepian semakin
tersebut dapat terjadi oleh karena bertambah buruk sehingga menyebabkan
berbedanya sumber-sumber kesehatan fisik dan mental mengalami
penanggulangan stres setiap individu, penekanan. Dimana pada penelitian lain
seperti dukungan dari lingkungan sosial menunjukkan bahwa kuantitas dan kualitas
(dukungan keluarga, teman, masyarakat kontak jaringan sosial berimbas pada
dan lingkungan komunitas) individu kesehatan.[19]
tersebut.[17] Dari tabel 2 didapatkan bahwa ada
Berdasarkan hasil kuisioner UCLA, hubungan antara kesepian dengan gejala
terdapat hasil yang bervariasi pada tingkat gangguan somatis pada remaja. Koefisien
kesepian pada remaja. Kesepian muncul korelasi (r) didapatkan sebesar 0,528.
karena ada kesenjangan antara apa yang Koefisien korelasi tersebut menunjukkan
diinginkan dan yang diperoleh dari suatu terdapat korelasi sedang antara kesepian
hubungan tertentu. Tingkat kesepian yang dengan gejala gangguan somatis pada
dirasakan seseorang dipengaruhi oleh remaja.
jaringan sosial (misalnya kualitas Penelitian lain menunjukkan bahwa
hubungan dengan teman, keluarga ataupun kelelahan merupakan gejala psikosomatik
tetangga), standar hubungan (tujuan yang yang paling sering dialami oleh remaja di
ingin dicapai dalam suatu hubungan), serta Hungaria, selain itu juga diikuti dengan
karakteristik pribadi (misalnya masalah tidur dan sakit punggung (bagian
keterampilan sosial, percaya diri, ataupun bawah). Selain itu terdapat masalah
kecemasan). Kesepian merupakan hal yang dengan hubungan sosial seperti kebutuhan
bersifat pribadi dan akan ditanggapi interaksi sosial yang belum terpenuhi,
10
Hubungan Kesepian dengan Masalah Psikologis dan Gejala Gangguan Somatis pada Remaja
daya saing antar individu dan rasa malu peristiwa yang menekan atau mendapati
sehingga menyebabkan keluhan suatu stresor, meskipun sering muncul di
psikosomatis.[20] kesehariannya dapat dimaknai sebagai
Stresor kehidupan merupakan sebuah tantangan atau sebuah hambatan
pengalaman yang dialami dalam keseharian yang bisa diyakini akan bisa diatasinya.
individu. Stres dapat menjadi konstruktif Oleh karena itu, stresor kehidupan tidak
jika didukung oleh kualitas kepribadian selalu memunculkan gejala patologis
yang optimal. Sebaliknya stresor kehidupan berupa gangguan somatisasi.
dapat memunculkan gangguan somatisasi Penelitian ini dilakukan dengan
jika individu memiliki kualitas kepribadian pengisian angket instrumen yang
yang tidak optimal. Jika kualitas dari aspek- dilakukan oleh peneliti dan bersama-sama
aspek kepribadiannya kurang optimal maka dengan responden sehingga diperoleh data
individu tersebut akan rentan mengalami yang lebih akurat. Namun, penelitian ini
gangguan somatis dan begitu juga memiliki keterbatasan yang bisa
sebaliknya apabila individu tersebut mempengaruhi hasil penelitian. Pertama,
mempunyai kualitas yang optimal dari penelitian ini tidak meneliti variabel selain
aspek-aspek tersebut maka peristiwa- kesepian yang juga berperan dalam
peristiwa yang menekan atau mendapati menimbulkan masalah psikologis dan
suatu stresor, meskipun sering muncul di gejala gangguan somatis. Kedua, terdapat
kesehariannya dapat dimaknai sebagai kemungkinan responden menandai begitu
sebuah tantangan atau sebuah hambatan saja salah satu pilihan sekadar memenuhi
yang bisa diyakini akan bisa diatasinya. permintaan peneliti untuk mengisi
Oleh karena itu stresor kehidupan tidak kuesioner tersebut tanpa memikirkan
selalu memunculkan gejala patologis berupa benar-benar apakah jawaban itu sesuai
gangguan somatisasi.[21] atau tidak dengan pendiriannya.
Dari hasil penelitian ini walaupun
terdapat korelasi yang bermakna antara KESIMPULAN
kesepian dengan gejala gangguan somatis
pada remaja namun hanya sedikit yang Pada penelitian ini terdapat hubungan
melaporkan mengalami gangguan somatis. yang bermakna antara kesepian dengan
Hal ini bisa saja terjadi karena ada faktor- masalah psikologis dan gejala gangguan
faktor lain yang bisa mempengaruhi somatis pada remaja.
seseorang merasakan gangguan somatis
atau tidak. Salah satunya adalah SARAN
kepribadian. Kepribadian memengaruhi
timbulnya gangguan somatis pada Berdasarkan penelitian yang telah
seseorang karena bisa berperan sebagai dilakukan, saran yang dapat disampaikan
tameng atau pelindung terhadap gangguan adalah:
somatis. Beberapa aspek kepribadian yang 1. Peneliti menyarankan kepada para
dinilai adalah harga diri, kemandirian dan siswa terutama yang terdeteksi
kepribadian tahan banting (hardness mengalami kesepian untuk
personality) yang mana berperan dalam memperhatikan kualitas dari
menghadapi suatu stresor.[19] kesehatan mental sehingga dapat
Jika kualitas dari aspek-aspek meningkatkan kesejahteraan
kepribadiannya kurang optimal maka psikologis terutama dalam aspek
individu tersebut akan rentan mengalami hubungan yang positif dengan
gangguan somatis dan begitu juga orang lain dan aspek
sebaliknya apabila individu tersebut perkembangan pribadi.
mempunyai kualitas yang optimal dari 2. Peneliti menyarankan kepada pihak
aspek-aspek tersebut maka peristiwa- sekolah untuk melengkapi sarana
11
Hubungan Kesepian dengan Masalah Psikologis dan Gejala Gangguan Somatis pada Remaja
dan prasarana bimbingan konseling [7] Hawkley LC, Masi CM, Berry JD,
dan selalu memberikan motivasi Cacioppo JT. Loneliness is a unique
kepada peserta didik. predictor of age-related differences
3. Penelitian lebih lanjut dengan in systolic blood pressure. Psychol
kuisioner yang lebih spesifik Aging. 2006;21(1):152-64. doi:
diperlukan untuk menghubungkan 10.1037/0882-7974.21.1.152
kesepian dengan masalah [8] Cole SW, Hawkley LC, Arevalo JM,
psikologis dan gejala gangguan Sung CY, Rose RM, Cacioppo JT.
somatis. Social regulation of gene expression
in human leukocytes. Genome Biol.
DAFTAR PUSTAKA 2007;8(9):R189. doi: 10.1186/gb-
2007-8-9-r189
[1] Palinoan EL. Pengaruh konformitas [9] Pressman SD, Cohen S, Miller GE,
dengan agresivitas pada kelompok Barkin A, Rabin BS, Treanor JJ.
geng motor di Samarinda. eJournal Loneliness, social network size, and
Psikologi. 2015;4(1):79–94. immune response to influenza
[2] Batubara JR. Adolescent vaccination in college freshmen.
Development (Perkembangan Health Psychol. 2005;24(3):297-306.
Remaja). Sari Pediatri. doi: 10.1037/0278-6133.24.3.297
2010;12(1):21–29. [10] Gainau MB. Keterbukaan diri (self
[3] Stickley A, Koyanagi A, Koposov R, disclosure) siswa dalam perspektif
Blatný M, Hrdlička M, Schwab- budaya dan implikasinya bagi
Stone M dan Ruchkin V. Loneliness konseling. Jurnal Penelitian Ilmiah
and its association with Widya Warta. 2009;33(1):95-112.
psychological and somatic health [11] Masdar H, Saputri PA, Rosdiana D,
problems among Czech, Russian and Chandra F, Darmawi. Depresi,
U.S. adolescents. BMC Psychiatry. ansietas, dan stres serta
2016;16:128. doi: 10.1186/s12888- hubungannya dengan obesitas pada
016-0829-2 remaja. Jurnal Gizi Klinik Indonesia.
[4] Cacioppo JT, Hughes ME, Waite LJ, 2016;12(4):138.
Hawkley LC, Thisted RA. [12] Ibeziako P, Bujoreanu S. Approach
Loneliness as a specific risk factor to psychosomatic illness in
for depressive symptoms: cross- adolescents. Curr Opin Pediatr.
sectional and longitudinal analyses. 2011;23(4):384-9. doi:
Psychol Aging. 2006;21(1):140-51. 10.1097/MOP.0b013e3283483f1c
doi: 10.1037/0882-7974.21.1.140 [13] Andresen JM, Woolfolk RL, Allen
[5] Cacioppo JT, Hawkley LC, LA, Fragoso MA, Youngerman NL,
Crawford LE, Ernst JM, Burleson Patrick-Miller TJ, Gara MA.
MH, Kowalewski RB, Malarkey Physical symptoms and psychosocial
WB, Van Cauter E, Berntson GG. correlates of somatization in
Loneliness and health: potential pediatric primary care. Clin Pediatr.
mechanisms. Psychosom Med. 2011;50(10):904-9. doi:
2002;64(3):407-17. doi: 10.1177/0009922811406717
10.1097/00006842-200205000- [14] Dirgayunita A. Depresi: Ciri,
00005 Penyebab dan Penangannya. An-
[6] Wilson RS, Krueger KR, Arnold SE, Nafs. 2016;1(1):1-14.
Schneider JA, Kelly JF, Barnes LL, [15] American Psychiatric Association.
Tang Y, Bennett DA. Loneliness and Diagnostic and statistical manual of
risk of Alzheimer disease. Arch Gen mental disorders: DSM-5. Virginia:
Psychiatry. 2007;64(2):234-40. doi: American Psychiatric Association;
10.1001/archpsyc.64.2.234
12
Hubungan Kesepian dengan Masalah Psikologis dan Gejala Gangguan Somatis pada Remaja
2013.
[16] Tirta M., Wirasto RT, Huriyati E.
Status stres psikososial dan
hubungannya dengan status gizi
siswa SMP Stella Duce 1
Yogyakarta. Jurnal Gizi Klinik
Indonesia. 2010;6(3):138-44.
[17] Zimmer-Gembeck MJ, Skinner EA.
Adolescents coping with stress:
development and diversity. School
Nurse News. 2010;27(2):23-8.
[18] Piko BF, Varga S, Mellor D. Are
adolescents with high self-esteem
protected from psychosomatic
symptomatology? Eur J Pediatr.
2016;175(6):785-92. doi:
10.1007/s00431-016-2709-7
[19] Hadjam MN. Peranan kepribadian
dan stres kehidupan terhadap
gangguan somatisasi. Jurnal
Psikologi. 2003;30(1):36-56.
[20] Croezen S. Social relationship and
healty ageing, epidemiological
evidence for development of a local
intervention programme.
Wageningen: Wageningen
University & Research. 2010.
[21] Aji SS. Stress minor dan gangguan
psikosomatis pada ibu rumah tangga
tidak bekerja. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi Universitas Wangsa
Manggala. 2001.
13
SCRIPTA SCORE Scientific Medical Journal, Vol. 2, No. 1, Agustus 2020 pISSN: 2088-8686
https://doi.org/10.32734/scripta.v2i1.3392 eISSN: 2686-0864
SCRIPTA SCORE
Penelitian
Scientific Medical Journal
ABSTRAK
Latar Belakang: Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi
lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih sering (biasanya tiga kali atau
lebih) dalam satu hari. Kebiasaan kurang higienis berupa tidak mencuci tangan sebelum makan atau
tidak mencuci tangan setelah melakukan aktivitas yang berhubungan dengan lingkungan dapat
menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan masyarakat, terutama munculnya penyakit yang
berkaitan dengan perilaku hidup bersih dan sehat yang rendah salah satunya yaitu diare. Prevalensi
diare lebih banyak di pedesaan dibandingkan perkotaan, yaitu sebesar 10% di pedesaan dan 7,4 % di
perkotaan. Diare cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan rendah dan bekerja sebagai
petani, nelayan dan buruh. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan
anak tentang cuci tangan dengan kejadian diare. Metode: Penelitian ini merupakan studi penelitian
analitik dengan desain penelitian cross sectional, metode pengumpulan data penelitian ini adalah data
primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sampel menggunakan kuesioner. Sampel dalam
penelitian ini diperoleh dengan menggunakan cara stratified random sampling. Hasil: Dari 135
responden, hubungan pengetahuan anak tentang cuci tangan dengan kejadian diare didapatkan hasil
dengan nilai p = 0,005 (p < 0,05), dan nilai PR = 0,364 (0,177 – 0,749). Kesimpulan: Terdapat
hubungan yang signifikan antara pengetahauan anak tentang cuci tangan dengan kejadian diare di
desa Panobasan.
Kata kunci: cuci tangan, diare, pengetahuan anak
ABSTRACT
Background: Diarrhea is a condition in which feces are discharged from the bowel in loose
consistency or even liquid form, and the frequency is usually more often ( usually three times or more)
in one day. Non-hygienic lifestyles, such as not washing hands before consuming food and after doing
activities can cause negative impact to health, particularly the occurrence of diseases that related to
poor sanitation, such as diarrhea. The prevalence are more common by 10 % in rural areas
compared to 7.4% in urban areas. Incidence rate in diarrhea tends to be higher in group with lower
education whom work as farmer, fisherman, or labor. Objectives: This study aims to analyze the
relationship of childrend`s knowledge about hand washing and diarrhea occurence. Methods: This
study is an analytic study with a cross sectional design. The data is primary data that were collected
directly from respondents through questionnaire. The respondents were chosen by stratified random
sampling method. Results: From data of 35 respondents, the p-value 0.005 ( p <0.05), PR value 0.364
( 0.177 – 0.749). Conclusion: There is a significant relationship between childrend`s knowledge
about hand washing with diarrhea in Panobasan village.
Keywords: children`s knowledge, diarrhea, hand washing
Received [31 Dec 2019] | Revised [07 May 2020] | Accepted [16 Jun 2020]
15
Hubungan Pengetahuan Anak Tentang Cuci Tangan dengan Kejadian Diare di Desa Panobasan
16
Hubungan Pengetahuan Anak Tentang Cuci Tangan dengan Kejadian Diare di Desa Panobasan
17
Hubungan Pengetahuan Anak Tentang Cuci Tangan dengan Kejadian Diare di Desa Panobasan
anak (9,7%). Anak SD yang menderita pengetahuan dan praktek tentang menjaga
diare dalam 6 bulan terakhir sebanyak 9 kesehatan seperti mencuci tangan yang
anak (29%) sedangkan anak yang tidak benar agar dapat menjadi perilaku atau
menderita diare 22 anak (71%) dengan kebiasaan yang baik dalam menjaga
nilai p sebesar 0,03 (p < 0,05).[12] kesehatan pribadi.[14]
Penelitian dengan judul tingkat
pengetahuan siswa tentang teknik mencuci KESIMPULAN
tangan yang benar dengan kejadian diare
di SDN 01 Pontianak Utara yang Berdasarkan hasil analisis data dan
menggunakan uji korelasi Spearman rank pembahasan yang telah dilakukan pada
menunjukkan bahwa nilai rho spearman penelitian ini, maka dapat diambil
yaitu -0.310** dengan p value = 0,007, kesimpulan bahwa pada penelitian ini
artinya ada hubungan yang signifikan jumlah anak yang mengalami diare lebih
(bermakna) dengan korelasi yang lemah banyak terjadi pada anak dengan jenis
dan negatif, yakni hubungan yang kelamin laki-laki, yakni sebanyak 40 anak
berlawanan arah antara tingkat (51,9%), berusia 11 tahun, yakni sebanyak
pengetahuan siswa tentang teknik mencuci 23 anak (29,9 %), dan tidak memiliki
tangan yang benar dengan kejadian diare pengetahuan baik tentang cuci tangan yaitu
di SDN 01 Pontianak Utara. Artinya, sebanyak 41 anak (53.2%), Pada distribusi
semakin kurang tingkat pengetahuan siswa frekuensi berdasarkan kejadian diare anak,
tentang teknik mencuci tangan yang benar, ditemukan bahwa anak yang mengalami
maka kejadian diare semakin tinggi dan kejadian diare lebih banyak dibandingkan
sebaliknya semakin baik tingkat dengan anak yang tidak mengalami diare,
pengetahuan siswa tentang teknik mencuci yaitu sebanyak 77 anak (57,0%). Terdapat
tangan yang benar, maka kejadian diare hubungan yang signifikan antara
semakin rendah. [13] pengetahauan anak tentang cuci tangan
Hasil penelitian ini berbeda dengan dengan kejadian diare di desa Panobasan
Afany, dkk yang melakukan penelitian berdasarkan hasil uji chi-square dengan p
mengenai hubungan pengetahuan mencuci = 0,005 (p < 0.05) dengan nilai PR = 0,346
tangan dengan kejadian diare pada siswa (CI : 0,177 – 0,749) < 1. Penelitian ini
kelas IV-VI SDN 11 Lubuk Buaya Padang menunjukkan bahwa memiliki
didapatkan bahwa 93% siswa yang pengetahuan yang baik tentang cuci tangan
memiliki pengetahuan baik mengenai dapat mencegah anak dari kejadian diare.
mencuci tangan dengan cara baik dan
benar ternyata 50,4% siswa diantaranya SARAN
tidak pernah mengalami diare dalam enam
bulan terakhir dan 49,6% siswa pernah Diharapkan kepada masyarakat secara
mengalami diare dalam enam bulan umum dan sekolah pada khususnya untuk
terakhir. Berdasarkan uji statistik menghimbau anak agar bisa melakukan
didapatkan nilai p > 0,05 sehingga tidak tindakan sesuai dengan pengetahuan yang
terdapat hubungan yang bermakna antara telah dimiliki agar dapat mencegah dari
pengetahuan mencuci tangan dengan kejadian diare secara optimal dan juga
kejadian diare pada siswa kelas IV-VI diharapkan kepada sekolah dapat
SDN 11 Lubuk Buaya Padang.[5] menyediakan fasiltas kebersihan yang
Dalam sebuah penelitian, dinyatakan memadai seperti kamar mandi dan juga
bahwa kebersihan pribadi dan sanitasi wastafel untuk cuci tangan.
yang buruk tetap menjadi perhatian dalam
kesehatan masyarakat di sebagian besar
negara. Untuk mengatasi masalah tersebut,
perlu adanya pemahaman tentang
18
Hubungan Pengetahuan Anak Tentang Cuci Tangan dengan Kejadian Diare di Desa Panobasan
19
SCRIPTA SCORE Scientific Medical Journal, Vol. 2, No. 1, Agustus 2020 pISSN: 2088-8686
https://doi.org/10.32734/scripta.v2i1.3373 eISSN: 2686-0864
SCRIPTA SCORE
Penelitian
Scientific Medical Journal
ABSTRAK
Latar Belakang: Stroke merupakan masalah kesehatan utama di dunia terutama di Benua Asia
dengan penduduk lebih dari 60% populasi dunia. Selain menimbulkan masalah kesehatan stroke juga
menjadi beban ekonomi dan sosial di negara yang berpendapatan rendah dan menengah. Stroke dapat
menyebabkan gangguan fungsi kognitif sehingga pemeriksaan fungsi kognitif pada pasien stroke
merupakan hal yang penting untuk dapat menentukan penanganan selanjutnya yang bertujuan
memperbaiki fungsi kognitif. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan jenis
kelamin, usia dan lama pendidikan dengan gangguan fungsi kognitif pada pasien pasca stroke iskemik
di Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik
menggunakan desain penelitian potong lintang dengan sampel penelitian pasien pasca stroke iskemik
di poliklinik saraf di Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara dipilih dengan metode consecutive
sampling sebanyak 24 responden. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan rekam medik
serta wawancara menggunakan kuisioner MoCA-Ina kepada responden. Hasil: Pada analisis uji chi
square didapatkan jenis kelamin (p = 0,673) tidak berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif pada
pasien pasca stroke, sedangkan usia (p = 0,035) dan lama pendidikan (p = 0,013) menunjukkan
hubungan dengan gangguan fungsi kognitif pada pasien pasca stroke iskemik. Kesimpulan: Terdapat
hubungan antara usia dan lama pendidikan dengan gangguan fungsi kognitif, sedangkan jenis kelamin
tidak menunjukkan adanya hubungan dengan gangguan fungsi kognitif pada pasien pasca stroke
iskemik.
Kata kunci: fungsi kognitif, MoCA-Ina, pasca stroke iskemik, stroke iskemik
ABSTRACT
Background: Stroke is a major health problem worldwide, especially in Asia, which has more than
60% of the world’s population. Besides causing a health problem, stroke is also an economic and
social burden in low and middle-income countries. Stroke may cause cognitive impairment, thus
cognitive assessment in stroke survivors is important in addition to determine the treatment aimed at
improving cognitive function following a stroke. Objectives: This study aims to determine the
association between gender, age, and duration of education and cognitive impairment of post-stroke
patients at Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara. Methods: This study is an analytical research
study using a cross-sectional design with a total of 24 respondents selected by consecutive sampling.
Data collection was done by using medical records and interviewing the MoCA-Ina questionnaire to
respondents. Results: On the analysis of chi-square obtained, gender value p = 0.673 indicating there
is no association between gender and cognitive impairment, age (p = 0.035) and duration of
education (p = 0.013) indicating there is an association between age as well as the duration of
education and cognitive impairment of post-ischemic stroke patients. Conclusion: There is an
association between age as well as the duration of education and cognitive impairment, whereas
gender does not show association with cognitive impairment in post-ischemic stroke patients.
Keywords: cognitive function, ischemic stroke, MoCA-Ina, post ischemic stroke
Received [31 Dec 2019] | Revised [18 Aug 2020] | Accepted [27 Aug 2020]
21
Hubungan Stroke Iskemik dengan Gangguan Fungsi Kognitif di RS Universitas Sumatera Utara
fungsi kognitif, penamaan, atensi dan scan yang berada di poli saraf Rumah
orientasi. Salah satu tes yang dapat Sakit Universitas Sumatera Utara. Sampel
digunakan pada penderita stroke untuk dalam penelitian ini diambil dengan
mengukur fungsi kognitif adalah Montreal metode consecutive sampling. Jumlah
Cognitive Assesstment (MoCA).[9,10] sampel berdasarkan rumus perhitungan
MoCA dapat dikerjakan dalam waktu 10 perkiraan besar sampel didapati hasil
menit dengan total skor 30 poin dan sebanyak 24 responden. Kriteria inklusi
mencakup delapan macam domain fungsi pada penelitian ini adalah pasien pasca
kognitif yaitu memori, fungsi eksekutif, stroke iskemik poli saraf RS USU yang
visuospasial, bahasa, atensi, konsentrasi, bersedia menjadi subjek penelitian,
orientasi, kemampuan abstrak dan sedangkan kriteria ekslusi yaitu pasien
penamaan. Total skor MoCA berjumlah dengan gangguan kesadaran, afasia, tuna
kurang dari 26 dianggap terdapat aksara, demensia vaskular dan pasien
gangguan kognitif.[11] Pada 90% kasus dengan stroke batang otak.
stroke, MoCA dapat diselesaikan dalam Jenis data yang digunakan dalam
kurun waktu kurang dari 10 menit.[12] penelitian adalah data primer, yaitu data
Penurunan fungsi kognitif meningkat yang diperoleh langsung dari subjek
pada pasien stroke dengan umur di atas 65 penelitian melalui wawancara
tahun.[13] Sebanyak 47,3% penderita stroke menggunakan kuisioner MoCA-Ina dan
mengalami gangguan kognitif setelah 3 data sekunder berupa data yang diperoleh
bulan dari mulai terserang stroke secara tidak langsung yaitu jumlah pasien
pertamanya dan terdapat beberapa faktor pasca stroke iskemik yang dirawat jalan di
risiko yang berhubungan dengan poli saraf Rumah Sakit Universitas
terjadinya gangguan kognitif tersebut Sumatera Utara. Sensitivitas MMSE (Mini
antara lain usia tua, tingkat pendidikan Mental State Examination) dalam
yang rendah, riwayat diabetes mellitus dan mendeteksi gangguan fungsi kognitif
silent infarcts.[14] setelah terserang stroke berada di bawah
Gangguan kognitif berupa penurunan kuesioner MoCA.[16] Kuisioner MoCA-Ina
daya ingat atau disfungsi eksekutif dapat adalah kuisioner MoCA dalam versi
mengakibatkan seseorang kesulitan dalam bahasa Indonesia yang sudah diuji
melakukan aktivitas sehari-hari sehingga validitas dan realibilitasnya di
menurunkan kualitas hidup penderita.[15] Indonesia.[17]
Penelitian ini dilakukan untuk Data yang terkumpul dianalisis dalam
menganalisis hubungan jenis kelamin, usia bentuk univariat untuk melihat distribusi
dan lama pendidikan pada pasien pasca frekuensi pasien pasca stroke iskemik
stroke iskemik dengan gangguan fungsi berdasarkan jenis kelamin, usia dan lama
kognitif. pendidikan dan dianalisis dalam bentuk
bivariat menggunakan uji chi square untuk
METODE melihat hubungan jenis kelamin, usia dan
lama pendidikan dengan gangguan fungsi
Penelitian ini merupakan penelitian kognitif pada pasien pasca stroke iskemik
observasional analitik dengan desain di poli saraf Rumah Sakit Universitas
cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sumatera Utara.
Sakit Universitas Sumatera Utara dimulai
antara bulan Juli 2019 sampai dengan
bulan November 2019. HASIL
Populasi dalam penelitian ini adalah Penelitian dilakukan pada 24 orang
pasien pasca stroke iskemik yang pasien pasca stroke iskemik yang
didiagnosis melalui anamnesis, memenuhi kriteria penelitian.
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan CT
22
Hubungan Stroke Iskemik dengan Gangguan Fungsi Kognitif di RS Universitas Sumatera Utara
Tabel 4. Hubungan Jenis Kelamin dengan Gangguan Fungsi Kognitif pada Pasien Pasca Stroke
Iskemik
Fungsi Kognitif
Jenis PR
Normal Gangguan Jumlah p
Kelamin (95% CI)
N % N % N %
Laki-laki 8 66,7 7 58,3 15 62,5
1,429
Perempuan 4 33,3 5 41,7 9 37,5 0,673
(0,271 – 7,518)
Jumlah 12 100 12 100 24 100
23
Hubungan Stroke Iskemik dengan Gangguan Fungsi Kognitif di RS Universitas Sumatera Utara
Tabel 6. Hubungan Lama Pendidikan dengan Gangguan Fungsi Kognitif pada Pasien Pasca Stroke
Iskemik
Fungsi Kognitif
Lama PR
Normal Gangguan Jumlah P Value
Pendidikan (95% CI)
N % N % N %
≤ 12 tahun 4 33,3 10 83,3 14 58,3
0,1
> 12 tahun 8 66,7 2 16,7 10 41,7 0,013
(0,014 – 0,693)
Jumlah 12 100 12 100 24 100
24
Hubungan Stroke Iskemik dengan Gangguan Fungsi Kognitif di RS Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian ini sesuai dengan bahwa terdapat hubungan antara lama
penelitian yang dilakukan oleh Tumiwa et pendidikan dengan gangguan fungsi
al. di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta kognitif pada pasien pasca stroke
diperoleh hasil nilai p = 0,007 (p < 0,05) iskemik.[22]
yang menandakan bahwa terdapat Penelitian yang dilakukan oleh Saeed
hubungan usia dengan gangguan fungsi et al. didapatkan hasil bahwa semakin
kognitif pada pasien pasca stroke tingginya tingkat pendidikan seseorang
iskemik.[18] maka semakin menurunnya risiko untuk
Vascular cognitive impairment (VCI) terjadinya penurunan fungsi kognitif
merupakan terminologi yang mencakup setelah stroke atau TIA yang didukung
defisit kognitif yang luas mulai dari oleh adanya peranan cognitive reserve atau
gangguan kognitif ringan sampai demensia cadangan kognitif yang merupakan
yang dihubungkan dengan faktor risiko kemampuan seseorang dalam mentoleransi
vaskular.[20] VCI cenderung lebih umum perubahan patologi di otak terkait usia.
terjadi seiring bertambahnya usia. Semakin Subjek dengan tingkat pendidikan yang
bertambahnya usia akan diiringi dengan lebih tinggi menunjukkan bahwa pengaruh
perubahan yang terjadi pada pembuluh stroke atau TIA menunujukkan hanya
darah, salah satunya peningkatan kolagen sedikit perubahan terhadap fungsi
dan penurunan elastin yang terjadi di eksekutif dan daya ingat dan dapat
antara usia 20 – 90 tahun akan beradaptasi lebih baik terhadap kerusakan
menyebabkan meningkatnya penebalan serebrovaskular yang mengindikasikan
tunika intima-media sebanyak 3 kali lipat. adanya peranan cadangan kognitif.
Penebalan pembuluh darah arteri akan Cadangan kognitif ini dapat dikembangkan
menyebabkan penurunan fungsi kognitif. dengan aktivitas yang menstimulasi secara
Hampir semua penyakit pembuluh darah kognitif seperti menjalani pendidikan dan
yang dapat menyebabkan meningkatnya pekerjaan. Cadangan kognitif yang tinggi
penebalan pembuluh darah akan tersebut memungkinkan seorang individu
memengaruhi fungsi kognitif seseorang.[21] untuk dapat meminimalkan dampak
Penelitian yang dilakukan oleh Dong et al. kerusakan yang disebabkan oleh stroke
untuk mendeteksi VCI pasca stroke akut atau TIA karena adanya efisiensi yang
pada 100 penderita stroke menunjukkan lebih baik atau kapasitas neuron yang lebih
bahwa 18 dari 57 penderita stroke dengan besar sebelum terjadinya kerusakan atau
skor MMSE dalam rentang normal kompensasi yang lebih baik setelah
mengalami gangguan kognitif yang diukur terjadinya kerusakan. Selain itu, aktivitas
dengan MoCA, sedangkan hanya 2 dari 41 yang menstimulasi secara kognitif seperti
penderita stroke dengan skor MoCA dalam mengikuti pendidikan tidak hanya dapat
rentang normal yang memiliki skor rendah menyebabkan neurogenesis tetapi juga
pada pemeriksaan MMSE.[16] bisa menstimulasi brain-derived
Hasil uji chi square antara lama neurotrophic factor (BDNF) yang
pendidikan dengan gangguan fungsi berhubungan dengan peningkatan
kognitif pada pasien pasca stroke iskemik plastisitas otak.[23]
didapatkan nilai p = 0,013 (p < 0,05) maka Individu dengan lama pendidikan atau
H0 ditolak dan Ha diterima yang tingkat pendidikan yang tinggi biasanya
menunjukkan ada hubungan yang memiliki lingkungan atau perilaku yang
signifikan antara lama pendidikan dengan lebih baik seperti gaya hidup yang lebih
gangguan fungsi kognitif pada pasien sehat, akses yang lebih baik ke pelayanan
pasca stroke iskemik. Hasil penelitian ini kesehatan dan kepatuhan terhadap
sesuai dengan penelitian yang dilakukan di pengobatan yang lebih baik juga. Perilaku
RSUDZA Banda Aceh diperoleh hasil tersebut bisa menyebabkan tingkat
nilai p = 0,000 (p < 0,05) menunjukkan keparahan stroke yang tidak terlalu buruk,
25
Hubungan Stroke Iskemik dengan Gangguan Fungsi Kognitif di RS Universitas Sumatera Utara
26
Hubungan Stroke Iskemik dengan Gangguan Fungsi Kognitif di RS Universitas Sumatera Utara
27
SCRIPTA SCORE Scientific Medical Journal, Vol. 2, No. 1, Agustus 2020 pISSN: 2088-8686
https://doi.org/10.32734/scripta.v2i1.3364 eISSN: 2686-0864
SCRIPTA SCORE
Research
Scientific Medical Journal
ABSTRACT
Background: Breast cancer symptoms are often not felt clearly by patients, as a result many patients who come
in an advanced stage. This will affect the prognosis and cure rate of the patient. There are several factors that
influence the prognosis of breast cancer, including histopathological grade, and classic immunohistochemical
markers such as estrogen receptors, progesterone receptors, and HER2. In addition, breast cancer can be 4 main
molecular subtypes, namely Luminal A, Luminal B, HER2-Overexpression, and Triple Negative / Basal-Like.
Objectives: This study aims to determine the relationship between histopathological grade with the molecular
subtypes of breast cancer patients in Haji Adam Malik General Hospital in 2016-2018. Methods: This is analytical
cross-sectional research using a consecutive-sampling technique. Data were obtained secondary from the medical
records of breast cancer patients at Haji Adam Malik General Hospital in 2016-2018 and then analyzed with the
chi-square test. From 1005 cases of breast cancer during the 2016-2018 period, 131 samples were taken in this
study. Results: Of the 131 samples, the highest histopathological grade was grade 2 with 53 people (40.5%),
followed by 41 people (31.3%) with grade 3, and 37 people (28.2%) with grade 1. The most molecular subtypes
were Luminal A with 38 people (29%), followed by 33 people (25.2%) with Luminal B, 31 people (23.7%) with
HER-2 Overexpression, and 29 people (22.1%) with Triple Negative / Basal-like. From the analysis of the chi-
square test obtained p value of 0.045. Conclusion: There is a relationship between histopathological grade with
molecular subtypes of breast cancer patients.
Keywords: breast cancer, histopathological grade, immunohistochemistry, molecular subtypes
ABSTRAK
Latar Belakang: Gejala-gejala kanker payudara sering tidak dirasakan dengan jelas oleh pasien, akibatnya
banyak pasien yang datang dalam keadaan stadium lanjut. Hal ini akan mempengaruhi prognosis dan tingkat
kesembuhan pasien. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari kanker payudara, antara lain
grading histopatologi, dan marker imunohistokimia klasik seperti reseptor estrogen, reseptor progesteron, dan
HER2. Selain itu, kanker payudara dapat diklasifikasikan menjadi 4 subtipe molekuler utama, yaitu Luminal A,
Luminal B, HER2-Overexpression, dan Triple Negative/Basal-Like. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara grading histopatologi dengan subtipe molekuler pasien kanker payudara di RSUP
Haji Adam Malik Tahun 2016-2018. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik menggunakan desain
cross-sectional dengan teknik pengambilan sampel consecutive-sampling. Data diperoleh secara sekunder dari
rekam medis pasien kanker payudara di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2016-2018 dan kemudian dianalisis
dengan uji chi-square. Dari 1005 kasus kanker payudara selama periode 2016-2018, diambil sampel pada
penelitian ini sebanyak 131 buah rekam medis. Hasil: Dari 131 sampel, grading histopatologi terbanyak terdapat
pada grade 2 dengan 53 orang (40,5%) , diikuti 41 orang (31,3%) dengan grade 3, dan 37 orang (28,2%) dengan
grade 1. Subtipe molekuler terbanyak yaitu Luminal A dengan 38 orang (29%), diikuti 33 orang (25,2%) dengan
Luminal B, 31 orang (23,7%) dengan HER-2 Overexpression, dan 29 orang (22,1%) dengan Triple
Negative/Basal-like. Dari hasil uji chi-square diperoleh nilai p sebesar 0,045. Kesimpulan: Terdapat hubungan
antara grading histopatologi dengan subtipe molekuler pasien kanker payudara.
Kata kunci: grading histopatologi, imunohistokimia, kanker payudara, subtipe molekuler
Received [30 Dec 2019] | Revised [29 May 2020] | Accepted [1 Jun 2020]
Breast cancer is a type of cancer with the Ellis. Grading is associated with a life
highest incidence along with lung cancer in expectancy of 10 years, namely grade I
2.09 million cases followed by colorectal (85%), grade II (60%), and grade III (45%).
cancer (1.8 million), prostate (1.28 Grade I shows the best prognosis, grade II
million), skin (1.04 million), and stomach shows a moderate prognosis, while grade
(1.03 million). Breast cancer is the most III shows the worst prognosis.[10,11]
common type of cancer among women in Breast cancer has different
the world with a mortality rate reaching histopathological features and biological
627,000 women in 2018.[3] In Indonesia, the characteristics so that it shows a different
incidence of breast cancer in 2019 reached treatment response and different
42.1 per 100,000 population with an therapeutic strategies must be given as
average death rate of 17 per 100.000 well.[12,13] Therefore, breast cancer
population.[4] Meanwhile, North Sumatra grouping into molecular subtypes is carried
ranks seventh in Indonesia with an out to determine the type of treatment that
incidence rate of 0.4 per 100,000 is more accurate.[8] According to the St.
population.[5] Gallen consensus in 2011, breast cancer can
Breast cancer symptoms are often not be classified into 4 main molecular
felt clearly by the patient and, as a result, subtypes based on the molecular expression
many patients seek treatment when the of estrogen receptors (ER), progesterone
disease is already in an advanced stage receptors (PR), human epidermal receptor 2
(stage III and IV). This is according to data (HER2), and proliferative index (Ki-67),
from Dharmais Cancer Hospital medical namely Luminal A (ER +, PR +, HER2-,
records in 2010 showed that around 85% of and Ki-67 ≤14%), Luminal B (ER +, PR +,
breast cancer patients were already at an HER2-, and Ki-67> 14%; ER + and/or PR
advanced stage when they came to the +, HER2 +), HER2 + Type (ER-, PR- , and
hospital. This will affect the prognosis and HER2 +), and Triple Negative / Basal-Like
cure rate of the patient.[6,7] Factors that (ER-, PR-, and HER2). [14,15]
influence the prognosis of breast cancer are Based on research conducted by
divided into two groups, major and minor Kadivar et al. in 2012, there was a
prognostic factors. Major prognostic relationship between molecular subtypes
factors include: invasive or in situ cancer, and tumor characteristics, such as size,
lymph node metastases, distant metastases, grading, and lymphovascular infiltration.
tumor size, advanced local disease, and Luminal A is the most frequent molecular
inflammatory cancer. While minor subtype, next luminal B, then basal-like and
prognostic factors consist of: histologic finally, type HER2. Basal-like types and
subtypes, tumor grading, proliferation rate, HER2 generally have grade III, whereas
DNA content and classical luminal A has grade I.[16] According to
immunohistochemical (IHC) markers such Shomaf et al. in 2013, in HER2 and basal-
as estrogen receptors (ER), progesterone like types, the majority of cases were grade
receptors (PR), and human epidermal III tumors, and none of the cases were grade
growth factor receptor-2 (HER2).[8,9] I tumors.[17]
Tumor histology grading is a tumor According to research at RSUP Dr. M.
based on tumor cell abnormalities and Djamil Padang, molecular subtypes of
tumor tissue seen under a microscope. This Triple-Negative were more common in
grading is determined based on the grade III which was 52.6%, HER2 occurred
assessment of tubule/gland formation, more in grade I which was 33.3%, Luminal
nucleus pleomorphism and the number of B was more common in grade II which was
mitoses. Determination of tumor histology 36.6% and Luminal A was more common
grading using the Patey & Sarff, Blood & in grade I, 33.3%. This proves that
Richardson method modified by Elston & histopathological grading will affect the
29
Relationship of Histopathology Grading with Molecular Subtypes of Breast Cancer Patients
in Haji Adam Malik General Hospital 2016-2018
30
Relationship of Histopathology Grading with Molecular Subtypes of Breast Cancer Patients
in Haji Adam Malik General Hospital 2016-2018
Table 3. Frequency distribution of molecular (23.7%), and TNBC / Basal-like was the
subtypes molecular subtype with the smallest
Molecular Amount Percentage occurrence rate of 29 people (22.1%).
Subtype (n) (%) Table 4 shows that based on
Luminal A 38 29 histopathological grading, Luminal B
Luminal B 33 25.2
molecular subtypes were more often found
HER-2 31 23.7
Overexpression
in grade 1 in 15 cases (11.5%), while grade
TNBC/Basal-like 29 22.1 2 was often found in Luminal A molecular
Total 131 100 subtypes in 16 cases (12.2%), HER -2 as
many as 15 cases (11.5%), and TNBC as
Based on table 3, it can be seen that many as 14 cases (10.7%). The results in
from 131 cases of breast cancer in Haji Table 4 are then performed a chi-square test
Adam Malik General Hospital in 2016- with a significance level of 0.05 (α = 5%),
2018, the highest molecular subtypes were the p value obtained is 0.045 (p <0.05)
Luminal A with 38 people (29%), then the which means there is a relationship between
second was 33 Luminal B subtypes (25 histopathological grading with molecular
people), 2%), the third was the HER-2 subtypes of breast cancer patients.
Overexpression subtype of 31 people
31
Relationship of Histopathology Grading with Molecular Subtypes of Breast Cancer Patients
in Haji Adam Malik General Hospital 2016-2018
of hormone replacement therapy, and outside and in Indonesia which stated the
lifestyle (smoking, alcohol consumption, same thing.[16,28-30] In contrast, the results of
rarely exercising). [24] the 2012 El-Fatemi et al. study in North
In this study, most samples had grade 2 Africa found that the Luminal B subtype
(40.5%) from the results of the was more dominant than the other subtypes
histopathological examination on medical with a percentage of 41.8%.[31] Meanwhile,
records. The results of this study are different results were obtained in the 2012
consistent with the 2016 study of Firdaus et Ly et al. study in Mali which found that the
al. in RSUP M. Djamil Padang who found TNBC / Basal-like subtype was the most
that the majority of breast cancer sufferers frequent molecular subtype with a
had histopathological grading at grade 2 of percentage of 51.5%.[32] Ethnics and genes
62.1%, followed by grade 3 at 26.8%, and of breast cancer sufferers play a role in
grade 1 at 9.1%.[18] This is also supported differences in the number of cases of each
by the results of 2016 Syukri et al's study of these molecular subtypes. In Asia, the
which also found grade 2 was the most type A luminal is more common than other
common histopathological grading of types, whereas in Africa the type B luminal
53.8%, followed by grade 3 of 44% and and TNBC / Basal-like type are more often
grade 1 of 1.8%.[25] Tumor grading is a found, this type has a worse prognosis than
tumor based on the abnormality of tumor luminal A. In addition, different
cells and tumor tissue seen under a proportions of subtypes in the population is
microscope. Grading is determined based associated with several risk factors for
on how different tumor cells look from breast cancer such as age, BMI, menopause
normal breast cells, and how fast they grow. status, family history, parity and duration of
Grading is assessed using a scoring system breastfeeding, [31,33] while this study only
for 3 tumor characteristics (tubule/gland looked at histopathological grading and the
formation, nucleus pleomorphism, number patient's lymph node status. The most
of mitoses) and will reflect the common Luminal A molecular subtypes
aggressiveness of tumor cells ie. the higher found in this study may be due to several
the grade, the more aggressive the tumor. risk factors such as high BMI, not
Grading is the main prognostic factor that breastfeeding, and early menarche.[29] In
must be reported in the results of addition, the study of Devi et al. in 2012
histopathological examination of breast also mentioned that influence of multi
cancer. Grading is associated with a life factors (westernization) namely sedentary
expectancy of 10 years, namely grade 1 lifestyle and obesity can increase the
(85%), grade 2 (60%), and grade 3 (45%). incidence of Luminal A molecular
Grade 1 shows the best prognosis, grade 2 subtypes.[33]
shows a moderate prognosis, while grade 3 Based on the results of this study, it
shows the worst prognosis.[10,11,26] was found that the Luminal B molecular
From the results of the study, it was subtypes were more often found in grade 1,
found that the majority of the samples had while the Luminal A, HER-2, and TNBC
Luminal A molecular subtypes (29%). The molecular subtypes were more often found
results of this study are in line with the in grade 2. Chi-square test results obtained
study of Su et al. in 2011 in China which p value = 0.045 which means there is a
found that the most frequent molecular relationship between histopathological
subtypes were Luminal A at 48.6%, grading with molecular subtypes in breast
followed by Luminal B at 16.7%, HER-2 cancer patients. These results are consistent
Overexpression at 13.7%, and TNBC- with the study of Salhia et al. in 2011 in
Basal-like 12.9%.[27] Luminal A is the most Egypt and Kadivar et al. in 2012 in Iran
abundant molecular subtype in this study. which stated that there was a relationship
This result is supported by several studies between histopathological grading and
32
Relationship of Histopathology Grading with Molecular Subtypes of Breast Cancer Patients
in Haji Adam Malik General Hospital 2016-2018
33
Relationship of Histopathology Grading with Molecular Subtypes of Breast Cancer Patients
in Haji Adam Malik General Hospital 2016-2018
34
Relationship of Histopathology Grading with Molecular Subtypes of Breast Cancer Patients
in Haji Adam Malik General Hospital 2016-2018
35
Relationship of Histopathology Grading with Molecular Subtypes of Breast Cancer Patients
in Haji Adam Malik General Hospital 2016-2018
36
Relationship of Histopathology Grading with Molecular Subtypes of Breast Cancer Patients
in Haji Adam Malik General Hospital 2016-2018
37
SCRIPTA SCORE Scientific Medical Journal, Vol. 2, No. 1, Agustus 2020 pISSN: 2088-8686
https://doi.org/10.32734/scripta.v2i1.3424 eISSN: 2686-0864
SCRIPTA SCORE
Penelitian
Scientific Medical Journal
ABSTRAK
Latar Belakang: Kesehatan reproduksi merupakan salah satu hal yang sangat penting bagi kehidupan
manusia yaitu mencakup keadaan sejahtera baik fisik, mental, sosial yang utuh dalam segala hal yang
berkaitan dengan fungsi, peran dari sistem reproduksi. Pendidikan kesehatan reproduksi sebaiknya
diberikan sejak remaja, karena remaja merupakan fase menuju reproduksi yang lebih matang.
Permasalahan remaja yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, sering kali berakar dari kurangnya
informasi, pemahaman dan kesadaran untuk mencapai keadaan sehat secara reproduksi. Tujuan:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku remaja tentang
kesehatan reproduksi di SMK Negeri 8 Medan. Metode: Penelitian ini adalah studi deskriptif dengan
desain cross sectional. Data penelitian adalah data primer yaitu dengan pengisian kuesioner. Sampel
penelitian ini berjumlah 96 orang. Teknik sampel adalah stratified random sampling. Data dianalisis
menggunakan program komputer SPSS menggunakan uji statistik deskriptif dan menampilkan hasil
dalam tabel distribusi dan frekuensi. Hasil: Tingkat pengetahuan remaja SMK Negeri 8 Medan
tergolong baik (59,4%), tingkat sikap tergolong baik (80,2%), dan tingkat perilaku tergolong baik
(99%). Kesimpulan: Tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku remaja tentang kesehatan reproduksi di
SMK Negeri 8 tergolong baik.
Kata Kunci: kesehatan reproduksi, pengetahuan, perilaku, remaja, sikap
ABSTRACT
Background: Reproductive health is one of the most important things for human life, which includes a
complete physical, mental, social welfare condition in all matters relating to the function and role of
the reproductive system. Reproductive health education should be given since adolescence, because
adolescence is a phase towards more mature reproduction. Adolescent problems related to
reproductive health, often stem from a lack of information, understanding and awareness to achieve
reproductive health. Objectives: This study aims to determine the level of knowledge, attitudes and
behavior of adolescents about reproductive health at SMK Negeri 8 Medan. Methods: This study was
a descriptive study with a cross sectional design. The research data is primary data, namely by filling
out a questionnaire. The sample of this research is 96 people. The sample technique is stratified random
sampling. Data were analyzed using the SPSS computer program using descriptive statistical tests and
displaying the results in distribution and frequency tables. Results: Knowledge level of adolescents in
SMK Negeri 8 Medan is good (59.4%), attitude level is good (80.2%) and behavior level is good (99%).
Conclusion: The level of knowledge, attitudes and behavior of adolescents about health reproduction
at SMK Negeri 8 is classified as good.
Keywords: adolescent, attitude, behavior, knowledge, reproductive health
Received [6 Jan 2020] | Revised [14 Aug 2020] | Accepted [15 Aug 2020]
39
Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Remaja tentang Kesehatan Reproduksi di SMK Negeri 8 Medan
salah (0). Kuesioner sikap dan perilaku (Tabel 2), paling dominan dari guru yaitu
memiliki 2 jenis pertanyaan yaitu 75 respon (35,5%) dan diikuti dari internet
pertanyaan positif, yaitu sangat setuju (4), yaitu 40 respon (19 %). Informasi dari
setuju (3), tidak setuju (2), dan sangat tidak orang tua dan tenaga kesehatan berada di
setuju (1). Nilai kuesioner terdiri dari urutan selanjutnya yaitu 26 respon (12,3%).
kategori baik (>75%), sedang (74-50%) dan
kurang (<50%). Begitu sebaliknya untuk Tabel 2. Distribusi frekuensi berdasarkan
pertanyaan negatif. Selain itu, diperoleh sumber informasi kesehatan reproduksi
juga data sekunder didapatkan dari SMK Sumber Informasi N %
Negeri 8 Medan serta studi kepustakaan Guru 75 35,5
dan studi literatur yang terkait. Setelah hasil Internet 40 19
didapatkan, data akan dianalisis dengan Orang Tua 26 12,3
Tenaga Kesehatan 26 12,3
program komputer SPSS menggunakan uji
Teman Sebaya 20 9,5
statistik deskriptif dan ditampilkan dalam Tokoh Agama 12 5,7
bentuk tabel distribusi dan frekuensi. Buku/Majalah/Surat
11 5,2
Kabar/Radio/Televisi
HASIL Tidak ada 1 0,5
Total Respon 211 100
Pada penelitian ini menunjukkan
bahwa distribusi usia responden paling Responden dengan umur 19 tahun
banyak adalah pada usia 16 tahun, dengan yaitu 1 orang (100%) dan 18 tahun yaitu 5
jumlah 32 orang (33,3%). Jenis kelamin orang (100%) memiliki pengetahuan paling
perempuan merupakan responden paling baik. Selanjutnya, responden dengan jenis
banyak dengan jumlah 74 orang (77,1%). kelamin perempuan memiliki tingkat
Distribusi jurusan responden paling pengetahuan yang paling baik yaitu 39
banyak adalah jurusan tata boga yaitu orang (68,4%). Jurusan tata boga memiliki
berjumlah 26 orang (27,1%) dengan sosial pengetahuan yang paling baik yaitu 17
ekonomi sedang merupakan sosial ekonomi orang (29.8%). Responden dengan sosial
paling banyak berjumlah 32 orang (33,3%). ekonomi tinggi memiliki tingkat
Hasil penelitian ini mengenai tingkat pengetahuan yang paling baik yaitu 19
pengetahuan responden yang terbanyak orang (33,3%). (Tabel 3)
adalah tingkat pengetahuan kategori baik
dengan jumlah 57 orang (59,4%), sikap
dengan kategori baik dengan jumlah 77 PEMBAHASAN
orang (80,2%) dan perilaku dengan Pada penelitian ini menunjukkan
kategori baik 95 orang (99%). (Tabel 1) bahwa tingkat pengetahuan responden
tegolong baik dengan jumlah 57 orang
Tabel 1. Distribusi tingkat pengetahuan, sikap (59,4%), sesuai dengan hasil penelitian
dan perilaku remaja tentang kesehatan Sirupa dalam pengetahuan, sikap, dan
reproduksi perilaku remaja tentang kesehatan
Baik Cukup Rendah
reproduksi pengetahuan remaja yang
(%) (%) (%)
dilakukan di SMK Negeri 1 Manado dan
57 30 9
Pengetahuan SMK Kristen Getsemani Manado, yaitu
(59,4) (31,3) (9,4)
77 19 0 tingkat pengetahuan di kedua sekolah
Sikap tersebut tentang kesehatan reproduksi
(80,2) (19,8) (0)
95 1 0 tergolong baik, yaitu sebanyak 182
Perilaku
(99) (1) (0) responden (91%).[7] Hasil Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017
Hampir semua responden pada
(SDKI 2017) tentang Kesehatan
penelitian ini sudah pernah mendapatkan
Reproduksi Remaja yang dilaksanakan oleh
informasi tentang kesehatan reproduksi
40
Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Remaja tentang Kesehatan Reproduksi di SMK Negeri 8 Medan
Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dan Kementerian Kesehatan menunjukkan
dengan Badan Kependudukan dan bahwa pengetahuan remaja tentang
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) kesehatan reproduksi belum memadai.[3]
Tabel 3. Distribusi tingkat pengetahuan berdasarkan umur, jenis kelamin, jurusan dan sosial ekonomi
Total (%) Baik (%) Cukup (%) Rendah (%)
n=96 (100%)
Umur
14 3 (3.1) 2 (66.7) 1 (33.3) 0 (0)
15 31 (32.3) 15 (48.4) 12 (38.7) 4 (12.9)
16 32 (33.3) 18 (56.3) 10 (31.3) 4 (12.5)
17 24 (25.0) 16 (66.7) 7 (29.2) 1 (4.2)
18 5 (5.2) 5 (100) 0 (0) 0 (0)
19 1 (1.0) 1 (100) 0 (0) 0 (0)
Jenis Kelamin
Laki-laki 22 (22.9) 18 (31.6) 4 (13.3) 0 (0)
Perempuan 74 (77.1) 39 (68.4) 26 (87.6) 9 (100)
Jurusan
Perhotelan 22 (22.9) 14 (24.6) 6 (20) 2 (22.2)
Tata Boga 26 (27.1) 17 (29.8) 8 (26.7) 1 (11.1)
Tata Rias 23 (24) 11 (19.3) 10 (33.3) 2 (22.2)
Tata Busana 25 (26) 15 (26.3) 6 (20) 4 (44.4)
Sosial Ekonomi
Sangat Tinggi 23 (24) 16 (28.1) 5 (16.7) 2 (22.2)
Tinggi 26 (27.1) 19 (33.3) 7 (23.3) 0 (0)
Sedang 32 (32.3) 14 (24.6) 15 (50) 3 (33.3)
Rendah 15 (17.6) 8 (14) 3 (10) 4 (44.4)
41
Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Remaja tentang Kesehatan Reproduksi di SMK Negeri 8 Medan
42
Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Remaja tentang Kesehatan Reproduksi di SMK Negeri 8 Medan
43
SCRIPTA SCORE Scientific Medical Journal, Vol. 2, No. 1, Agustus 2020 pISSN: 2088-8686
https://doi.org/10.32734/scripta.v2i1.1246 eISSN: 2686-0864
ABSTRACT
Background: One of the biggest challenges in the world of health is the problem of smoking. In 2018,
there was an increase in smokers at the age of 10-18 years by 9.1% compared to 2013, which was 7.2%.
It is feared that the increasing number of smokers at a young age will increase the number of non-
communicable diseases (NCD) at a young age. Methods: Writing this article uses the method of
literature searching from various sources of information including e-books, websites and search
engines. The e-books used contain cigarette information and its effects on health, the websites used are
the website of the government and WHO to search for prevalence data and other information, and the
search engines used are Google Scholar and Pubmed to search information on cigarette content research
and its effects on health. Discussion: The content of cigarettes can cause various side effects in almost
all organs of the body. Various studies have found that smoking is a risk factor for NCD. Conclusion:
Cessation of smoking can save sufferers and also save people around smokers. When a smoker starts
quitting smoking, the body will undergo the process of cleaning up toxic substances of cigarettes that
have entered the body.
Keywords: cigarette, literature searching, NCD
ABSTRAK
Latar Belakang: Salah satu tantangan terbesar dalam dunia kesehatan ialah masalah rokok. Pada
tahun 2018, terjadi peningkatan perokok pada usia 10-18 tahun sebesar 9,1% dibandingkan pada tahun
2013 sebesar 7,2%. Peningkatan jumlah perokok di usia muda ini dikhawatirkan akan meningkatkan
jumlah Penyakit Tidak Menular (PTM) di usia muda. Metode: Penulisan artikel ini menggunakan
metode pencarian literatur dari berbagai sumber informasi berupa e-book, website dan search engine.
E-book yang dipakai memuat informasi rokok dan pengaruhnya kekesehatan, website yang dipakai
adalah website pemerintah dan WHO untuk pencarian data prevalensi dan informasi lainnya, dan
search engine yang dipakai adalah Google Scholar dan Pubmed untuk pencarian informasi penelitian
kandungan rokok dan pengaruhnya kepada kesehatan. Pembahasan: Dari hasil pencarian, kandungan
pada rokok dapat menimbulkan berbagai efek samping hampir di seluruh organ tubuh. Berbagai
penelitian mendapatkan bahwa kebiasaan merokok merupakan faktor risiko terjadinya PTM.
Kesimpulan: Penghentian kebiasaan merokok ini dapat menyelamatkan penderitanya dan juga
menyelamatkan orang di sekitar perokok. Ketika seorang perokok mulai berhenti untuk merokok, maka
tubuh akan melakukan proses pembersihan dari zat racun pada rokok yang sudah masuk ke dalam
tubuh.
Kata kunci: rokok, PTM, pencarian literatur
Received [24 Aug 2019] | Revised [8 May 2020] | Accepted [12 May 2020]
45
Cigarettes and Its Effects on Health
46
Cigarettes and Its Effects on Health
Table 2. The main chemical component of smoke that passes through the Cambridge filter[12]
Compound Concentration/cigarette
Nitrogen 120-280 mg
Oxygen 50-70 mg
Carbon dioxide 45-65 mg
Carbon monoxide 14-23 mg
Water 7-12 mg
Argon 5 mg
Methane 1,0-2,0 mg
Hydrogen 0,5-1,0 mg
Acetaldehyde 400-1400 µg
Nitrogen Oxide 100-680 µg
Acetone 100-650 µg
Formic acid 200-600 µg
Hydrogen cyanide 400-500 µg
Propionic acid 100-300 µg
Acetonitrile 100-150 µg
Pyridine 20-200 µg
Acrolein 60-140 µg
Ammonia 10-130 µg
Formaldehyde 20-100 µg
Methanol 80-100 µg
47
Cigarettes and Its Effects on Health
Table 4. Total death caused by smoking and exposure to secondhand smoke (1965-2014)[6]
Cause of death Total
Cancer 6.587.000
Metabolic and cardiovascular diseases 7.787.000
Pulmonary diseases 3.804.000
Perinatal conditions 108.000
Lung cancer in secondhand smoke 263.000
Coronary heart disease in secondhand smoke 2.194.000
nasal epithelial cells, which will activity. This process makes smokers
increase the production of Reactive become more easily infected. This
Oxygen Species (ROS), Toll-like immunological disorder will recover
Receptor-4 (TLR-4), within six weeks when smokers stop
lipopolysaccharides and IL-17A smoking.[3]
synthesis. Moreover, cigarette smoke Smoking and cardiovascular
causes mucous hypersecretion so that Cigarettes have the property to
the mucus cleaning process will be cause inflammation. Smoking is
disrupted.[17] Smoking decreases associated with an increased risk of
immunoglobulin levels in the atherosclerotic plaque. This plaque
circulation, decreases CD4+ formation is characterized by an
lymphocytes, and decreases phagocyte inflammatory reaction and an increase
48
Cigarettes and Its Effects on Health
49
Cigarettes and Its Effects on Health
50
Cigarettes and Its Effects on Health
51
Cigarettes and Its Effects on Health
tips-cara-berhenti-merokok-yang-
efektif-
[21] Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Tidak
Menular. Manfaat berhenti merokok
[Internet]. Jakarta: Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Tidak Menular; 2017 May
[cited 2020 Jan 12]. Available from:
https://www.p2ptm.kemkes.go.id/ke
giatan-p2ptm/subdit-penyakit-paru-
kronik-dan-gangguan-
imunologi/manfaat-berhenti-
merokok-faq
52
SCRIPTA SCORE Scientific Medical Journal, Vol. 2, No. 1, Agustus 2020 pISSN: 2088-8686
https://doi.org/10.32734/scripta.v2i1.3530 eISSN: 2686-0864
ABSTRACT
Aortic disease is a collection of diseases of the aorta, which includes aortic aneurysms; acute aortic
infections consisting of aortic dissection, intramular hematoma, penetration of atherosclerotic ulcers
(PAU) and traumatic injury to the aorta; pseudoaneurysm; aortic rupture; Marfan syndrome; and
congenital abnormalities such as coarctation of the aorta. One of the aortic diseases that cause the
death rate to increase according to the 2010 Global Burden Disease is aortic aneurysm. Abdominal
aortic aneurysm (AAA) is a focal dilatation of the aortic segment. The diagnosis of AAA is done by
history taking, physical examination and supporting examination. Management at AAA aims to
prevent aortic wall rupture. An alternative procedure without open surgery is endovascular aortic
repair (EVAR) using prostheses. It is expected that through the EVAR method, mortality and
morbidity due to AAA can be reduced.
Keywords: abdominal aortic aneursym, EVAR, prostheses
ABSTRAK
Penyakit aorta merupakan kumpulan penyakit pada aorta yang meliputi aneurisma aorta; sindrom
aorta akut berupa diseksi aorta, hematoma intramular, penetrating atherosclerosis ulcer (PAU) dan
cedera akibat trauma pada aorta; pseudoaneurysm; ruptur aorta; sindrom Marfan; serta penyakit
kongenital seperti koarktasio aorta. Salah satu penyakit aorta yang menyebabkan angka kematian
meningkat menurut Global Burden Disease 2010 adalah aneurisma aorta. Aneurisma aorta
abdominalis (AAA) merupakan dilatasi fokal pada segmen aorta. Penegakan diagnosis AAA
dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan pada
AAA bertujuan untuk mencegah pecahnya dinding aorta. Prosedur alternatif tanpa pembedahan
terbuka yang dijadikan pilihan adalah endovascular aortic repair (EVAR) menggunakan protesa.
Diharapkan melalui metode EVAR angka mortalitas dan morbiditas akibat AAA dapat diturunkan.
Kata kunci: aneurisma aorta abdominalis, EVAR, protesa
Received [17 Jan 2020] | Revised [26 Apr 2020] | Accepted [3 May 2020]
54
Endovascular Aortic Repair (EVAR) Method in the Management of Abdominal Aortic Aneurysm
AAA are: relatively younger age and rupture occurs, it will increase morbidity
higher tendency for rupture of familial and mortality rates that are quite severe.
AAA than those of sporadic AAA. The Therefore, treatment at AAA must be
relative risk to families with familial AAA based on the risk of action taken, the risk
is 18 times higher than that of sporadic of aneurysm rupture, patient life
AAA. The ratio of sporadic AAA events expectancy, and patient preference.[1,4]
between men and women is 5: 1, while Before the 1990s, the management of
familial AAA ratio is 2: 1.[2,3] AAA was carried out conventionally
The diagnosis of AAA is done by through open surgical procedures (Figure
taking patient’s history to look for risk 1). Technically, the aneurysm is freed
factors that can be found in patients who through a long laparotomy and frees the
are at high risk for the occurrence of AAA proximal portion distally to iliac with
and then conduct a supplementary resection after systemic heparinisation (50-
examination. The investigation used is 100 IU / kgBB) and replaces it with a
ultrasound scanning, which is the first line Dacron, Teflon or PTFE graft, either
method for AAA screening. This straight or Y-prosthesis.[2,4] This open
examination is a fast and safe examination surgical procedure is quite difficult
and has nearly 100% sensitivity and because it requires preparation in terms of
specificity. Abdominal aortic diameter heart physiology which must be free from
examination is carried out directly on the coronary heart disease and examination of
bedside using Vivid 6 portable kidney physiology that is within normal
echocardiography from General Electrics limits. If abnormalities are found in the
with a 2.5 MHz cardiac probe.[3,4] coronary artery stenosis, the surgical
Management of AAA aims to prevent procedure is postponed until myocardial
rupture of the aortic wall. If aneurysm revascularization is performed first.[5,6]
55
Endovascular Aortic Repair (EVAR) Method in the Management of Abdominal Aortic Aneurysm
56
Endovascular Aortic Repair (EVAR) Method in the Management of Abdominal Aortic Aneurysm
REFERENCES
[1] Tseng E, Bush ER. Thoracic aortic
aneurysm [Internet]; 2018 Sep 05
[cited 2018]; Available from:
https://emedicine.medscape.com/articl
e/424904-overview
[2] Kuivaniemi H, Platsoucas CD, and
Tilson MD 3rd. Aortic aneurysms: an
immune disease with a strong genetic
component. Circulation.
2008;117(2):242-52. doi:
10.1161/CIRCULATIONAHA.107.69
0982
[3] Rahimi SA. Abdominal aortic
aneurysm; 2018 Nov 05 [cited 2018];
Available from:
https://emedicine.medscape.com/articl
e/1979501-overview#a5
57
SCRIPTA SCORE Scientific Medical Journal, Vol. 2, No. 1, Agustus 2020 pISSN: 2088-8686
https://doi.org/10.32734/scripta.v2i1.3527 eISSN: 2686-0864
ABSTRAK
Latar Belakang: Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Prevalensi TB paru di Indonesia diperkirakan 420.000 setiap tahun.
Tuberkulosis paru ditularkan dari orang ke orang melalui droplet. Komplikasi yang dapat terjadi pada
tuberkulosis paru adalah empyema, efusi pleura, hidropneumotoraks, dan bahkan fibrotoraks. Ilustrasi
Kasus: Seorang anak laki-laki berusia 17 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan dyspnea. Pasien
datang dengan indikasi seperti: denyut nadi 104 / menit, tekanan darah 119/70 mmHg, suhu 37 0C, laju
pernapasan 28 / menit, SpO2 90%. Pemeriksaan fisik menunjukkan takipnea, gerakan dinding dada
asimetris, suara vesikular lemah di paru kanan, pemeriksaan radiografi menunjukkan
hidropneumotoraks dextra. Pembahasan: Tuberkulosis paru adalah penyakit granulomatosa menular
kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini biasanya menyerang paru-paru.
Dalam kasus ini ditemukan tuberkulosis paru dengan hidropneumotoraks. Penatalaksanaan yang
diberikan adalah pemasangan drainase seal air, oral 4-FDC, asetil sistein, dan selama perawatan pasien
diberikan saran untuk meniup balon setiap hari. Perawatan dilakukan selama delapan hari dan
menunjukkan respons yang baik. Kesimpulan: Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi paru-paru
yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Dalam kasus ini, ditemukan tuberkulosis paru
dengan hidropneumotoraks. Manajemen yang tepat diperlukan untuk mengurangi tingkat morbiditas
pada pasien ini.
Kata kunci: dyspnea, hidropneumotoraks, tuberkulosis
ABSTRACT
Background: Pulmonary tuberculosis is an infectious disease of the lungs caused by Mycobacterium
Tuberculosis. The prevalence of pulmonary tuberculosis in Indonesia is estimated at 420,000 every
year. Pulmonary tuberculosis is transmitted from person to person through droplet infection.
Complications that can occur in pulmonary tuberculosis are empyema, pleural effusion,
hydropneumothorax and even fibrothorax. Case Illustration: A 17 years old boy was entered the
hospital with the complaint of dyspnea. The patient appeared such indications as: pulse is 104/minute,
blood pressure 119/70 mmHg, temperature 37 0C, respiratory rate is 28/minute, SpO2 is 90%. Physical
examination showed tachypnea, asymmetrical chest wall movement, weak vesicular sound in the right
lung, radiography examination showed right hydropneumothorax. Discussion: Pulmonary tuberculosis
is a chronic infectious granulomatous disease caused by Mycobacterium Tuberculosis. This disease
usually attacks the lungs. In this case pulmonary tuberculosis with hydropneumothorax was found. The
given treatment was water seal drainage installation, oral 4-FDC, oral acetyl cysteine and during
treatment the patient is given advice to blow balloons every day. Treatment is carried out for eight days
and showed a good response. Conclusion: Pulmonary tuberculosis is an infectious disease of the lungs
caused by Mycobacterium tuberculosis. In this case, pulmonary tuberculosis with hydropneumothorax
was found. Appropriate management is needed to reduce the level of morbidity in these patients.
Keywords: dyspnea, hydropneumothorax, tuberculosis
Received [17 Jan 2020] | Revised [4 Jun 2020] | Accepted [5 Jun 2020]
59
Perawatan Diagnostik dan Konservatif Hidropneumotoraks karena Tuberkulosis pada
Anak Laki-Laki Berusia 17 Tahun: Laporan Kasus
dan segmen superior lobus bawah, kaviti, Keadaan umum pasien tampak sakit
terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh sedang-berat, suhu tubuh 36,7 0C, tekanan
bayangan opak berawan atau nodular, darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi
bayangan bercak milier, efusi pleura 80x/menit, frekuensi nafas 24 x/menit,
unilateral (umumnya) atau bilateral berat badan 45 kg, tinggi badan 153 cm,
(jarang). Pemeriksaan penunjang lainnya status gizi normal (indeks masa tubuh 20,9
yang dapat dilakukan adalah biakan, kg/m2). Kepala, telinga, hidung, mulut,
tuberkulin, PCR, pemeriksaan darah rutin, leher, jantung, abdomen, dan ekstremitas
maupun biopsi.[2,3] semua dalam batas normal. Didapatkan
Tuberkulosis paru apabila tidak perabaan taktil fremitus pada pulmo dekstra
ditangani dengan baik dapat menimbulkan lebih menurun dibandingkan pulmo
terjadinya komplikasi. Pada tuberkulosis sinistra, pada perkusi didapatkan
paru, terdapat dua komplikasi yakni hipersonor pada pulmo dekstra sebelah atas
komplikasi dini dan komplikasi stadium dan sonor melemah pada pulmo dekstra
lanjut. Komplikasi dini yang dapat timbul sebelah bawah, dan pada auskultasi
meliputi pleuritis, efusi pleura, empiema ditemukan adanya bunyi ronkhi basah halus
dan laringitis TB.[1,3,4] Sedangkan, pada bagian apeks dan basal pulmo dekstra.
komplikasi stadium lanjut yang dapat Pemeriksaan penunjang yang
timbul meliputi hemoptisis masif, kolaps dilakukan adalah pemeriksaan sputum
lobus akibat sumbatan duktus, Sewaktu Pagi (SP) ditemukan BTA negatif,
bronkiektasis, pneumotoraks spontan, foto toraks posisi AP ditemukan infiltrat di
fibrotoraks dan hidropneumotoraks.[2,5,6] lapang tengah paru kanan, perselubungan
opak homogen di hemitoraks tengah
ILUSTRASI KASUS sampai bawah pada pulmo kanan, tampak
bayangan lusen avaskular di hemitoraks
Anak laki-laki usia 17 tahun, seorang lateral atas sampai tengah pada pulmo
pelajar datang bersama orang tuanya ke kanan (Gambar 1). Kesan pada foto toraks
Instalasi Gawat Darurat (IGD) dengan adalah hidropneumotoraks dextra dan
keluhan utama sesak nafas. Sesak nafas fibrotoraks dextra serta ditemukannya
sudah dirasakan pasien selama dua minggu. proses spesifik paru aktif. Pada
Sesak nafas disertai batuk berdahak yang pemeriksaan laboratorium ditemukan
sudah dirasakan selama 3 minggu. Dahak peningkatan leukosit: 19,70 103/μL,
berwarna putih tanpa disertai bercak darah. penurunan limfosit: 7,8 % dan penurunan
Keluhan ini dirasakan semakin lama albumin: 1,8 g/dl. Pasien kemudian dirawat
semakin memberat sejak 1 minggu sebelum di rumah sakit selama delapan hari.
pasien datang ke rumah sakit.
Pasien juga mengeluh sering
berkeringat dingin terutama malam hari.
Selain itu, pasien juga mengeluh berat
badan turun akibat penurunan nafsu makan.
Pasien mengaku mengalami penurunan
berat badan sebesar 6 kilogram dalam
kurun waktu ± 3 bulan terakhir. Keluhan
lain yang dirasakan pasien adalah nyeri
pada dada sebelah kanan. Nyeri dirasakan
saat pasien menarik nafas. Pasien
merupakan seorang pelajar di salah satu
Gambar 1. Foto toraks pasien posisi AP
sekolah menengah pertama di Medan dan di
kelas, pasien memiliki teman yang sedang Pasien mendapatkan Obat Anti
dalam pengobatan tuberkulosis paru. Tuberkulosis (OAT) yakni Kombinasi
60
Perawatan Diagnostik dan Konservatif Hidropneumotoraks karena Tuberkulosis pada
Anak Laki-Laki Berusia 17 Tahun: Laporan Kasus
Dosis Tetap (4KDT) 1x3 tablet, acetyl tuberkulosis paru usia tua berhubungan
cysteine 200 mg 3x1 tablet, injeksi dengan penurunan kekebalan tubuh yang
omeprazole 40 mg/12 jam. disebabkan penyakit kronik dan pada usia
Penanganan hidropneumotoraks yang tua juga sering menimbulkan efek samping.
dilakukan adalah pemasangan water seal HIV juga cukup memberikan peran penting
drainage (WSD) setinggi interkostalis 6-7 dalam meningkatkan risiko terjadinya
posterior kanan bawah. Setelah dilakukan reaktivasi infeksi tuberkulosis laten yang
pemasangan WSD tampak volume cairan mengakibatkan timbulnya infeksi paru
pada pleura sudah mulai berkurang yang progresif dan reinfeksi.[2,7,8]
(Gambar 2). Pasien juga dianjurkan untuk Gejala klinis tuberkulosis paru
meniup balon setiap hari untuk diklasifikasikan menjadi dua golongan,
meningkatkan daya recoil paru dan yaitu gejala lokal dan gejala sistemik. Bila
mencegah terjadinya kolaps paru. organ yang terkena adalah paru, maka
gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala
lokal sesuai dengan organ yang
terlibat).[2,7,8] Gejala respiratori ini sangat
bervariasi, dari mulai tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung
luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada
saat medical check up. Bila bronkus belum
terlibat dalam proses penyakit, maka pasien
mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang
pertama terjadi karena iritasi bronkus dan
selanjutnya batuk diperlukan untuk
Gambar 2. Foto toraks pasien posisi AP membuang dahak ke luar.[2,5,6,9]
setelah terpasang WSD Gejala sistemik terdiri dari demam,
malaise keringat malam, anoreksia dan
berat badan menurun. Gejala sistemik ini
PEMBAHASAN sebagian besar dialami oleh pasien.
Tuberkulosis paru merupakan masalah Sedangkan gejala TB ekstra paru
utama kesehatan masyarakat Indonesia. tergantung dari organ yang terlibat,
Jumlah pasien tuberkulosis di Indonesia misalnya pada limfadenitis TB akan terjadi
merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah pembesaran yang lambat dan tidak nyeri
India dan Cina. Insidens TB diperkirakan dari kelenjar getah bening, kaku kuduk
meningkat.[4,5 Penyebab paling penting pada meningitis TB, nyeri dada pada TB
peningkatan TB di seluruh dunia adalah pleura (pleuritis), deformitas tulang
sosio ekonomi yang rendah, higienitas yang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan
rendah, ketidak patuhan terhadap program, lain-lain.[8,9,10]
diagnosis dan pengobatan tidak adekuat, Kelainan yang didapat pada TB paru
migrasi, Human Immunodeficiency Virus tergantung luas kelainan struktur paru.
(HIV), dan Multi Drug Resistance TB Perkembangan awal penyakit umumnya
(MDR-TB).[1,2,4,7] tidak (atau sulit sekali) ditemukan kelainan.
Penderita tuberkulosis paru paling Kelainan paru pada umumnya terletak di
banyak terjadi pada usia produktif 15-29 daerah lobus superior terutama daerah
tahun. Hal ini terjadi akibat usia produktif apeks dan segmen posterior (S1 dan S2)
lebih banyak beraktivitas di luar rumah dan serta daerah apeks lobus inferior (S6).[2,3,5]
waktu istirahat yang tidak cukup sehingga Kelainan pemeriksaan fisik yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya penularan ditemukan antara lain suara napas bronkial,
tuberkulosis paru.[3,4,7] Penderita amforik, suara napas melemah, ronkhi
basah, tanda- tanda penarikan paru,
61
Perawatan Diagnostik dan Konservatif Hidropneumotoraks karena Tuberkulosis pada
Anak Laki-Laki Berusia 17 Tahun: Laporan Kasus
diafragma, dan mediastinum. Selain itu yang dibutuhkan petugas yang terkait,
dapat juga ditemukan hipersonor maupun pencatatan, pelaporan, evaluasi kegiatan
sonor memendek yang menunjukkan dan rencana tindak lanjutnya.[3,6,7,8]
adanya suatu perjalanan kronik dari Manajemen hidropneumotoraks adalah
tuberkulosis paru yang sudah pemasangan water seal drainage (WSD)
berkomplikasi menjadi pneumotoraks, dengan tujuan untuk mengurangi jumlah
empiema maupun hidropneumotoraks. cairan di rongga pleura pasien. Kemudian
[10,11]
pasien akan dilakukan sebuah prosedur
Didapatkan perabaan taktil fremitus pleurodesis yaitu sebuah teknik untuk
pada pulmo dekstra lebih menurun mencegah terjadinya efusi pleura dengan
dibandingkan pulmo sinistra, pada perkusi cara merekatkan pleura parietal dan pleura
didapatkan hipersonor pada pulmo dekstra visceral yang dikenal efektif sebagai terapi
sebelah atas dan sonor melemah pada paliatif pada efusi pleura berulang akibat
pulmo dekstra sebelah bawah yang keganasan.[3,5,6]
menunjukkan adanya hidropneumotoraks Pada pasien, dilakukan pemasangan
yang merupakan komplikasi dari WSD setinggi interkostalis 6-7 posterior
tuberkulosis paru dan pada auskultasi kanan bawah. Pasien juga dianjurkan untuk
ditemukan adanya bunyi ronkhi basah halus meniup balon setiap hari untuk
pada bagian apeks dan basal pulmo meningkatkan daya kembang paru
dekstra.[5,7,9] (compliance) dan mencegah terjadinya
Suara tambahan berupa ronkhi basah kolaps paru. Tindakan pembedahan berupa
halus yang ditemukan pada pasien, cirinya pleurodesis tidak dilakukan pada pasien ini
tidak mempunyai sifat gelembung, dikarenakan penanganan dengan cara WSD
terdengar seperti gesekan rambut atau sudah efektif dan tidak terjadi efusi pleura
seperti suara yang disebabkan oleh yang berulang.
permukan dua jari yang basah dan Terapi medikamentosa yang diberikan
menempel kemudian dipisahkan dengan pada pasien ini adalah Obat Anti
mendadak. Hal ini muncul pada infeksi Tuberkulosis (OAT) yakni Kombinasi
jaringan parenkim paru seperti pneumonia Dosis Tetap (4KDT) 1x3 tablet, acetyl
dan TB paru. Ronkhi basah terdapat pada cysteine 200 mg 3x1 tablet.
dinding yang meradang atau penumpukan
sekret atau dihasilkan oleh inspirasi paksa KESIMPULAN
yang panjang.[4,5,6]
Penatalaksanaan tuberkulosis paru Berdasarkan pembahasan di atas, kunci
dengan komplikasi hidropneumotoraks penanganan tuberkulosis paru dengan
dilakukan dengan menangani tuberkulosis komplikasinya hidropneumotoraks adalah
paru dan komplikasinya secara bersamaan. diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat.
Penatalaksanaan TB meliputi penemuan Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis,
pasien dan pengobatan yang dikelola pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
dengan menggunakan strategi Directly penunjang. Penatalaksanaan pada
Observed Treatment Short Course tuberkulosis paru bertujuan menurunkan
(DOTS).[6,7,8] Tujuan utama pengobatan angka kematian dan kesakitan serta
pasien TB adalah menurunkan angka mencegah penularan dengan cara
kematian dan kesakitan serta mencegah menyembuhkan pasien sedangkan
penularan dengan cara menyembuhkan penatalaksanaan hidropneumotoraks
pasien.[3,4] Penatalaksanaan penyakit TB bertujuan untuk mengurangi jumlah udara
merupakan bagian dari surveilans penyakit, dan cairan di rongga pleura serta
tidak sekedar memastikan pasien menelan meningkatkan daya compliance paru dan
obat sampai dinyatakan sembuh tetapi juga mencegah terjadinya kolaps paru.
berkaitan dengan pengelolaan sarana bantu
62
Perawatan Diagnostik dan Konservatif Hidropneumotoraks karena Tuberkulosis pada
Anak Laki-Laki Berusia 17 Tahun: Laporan Kasus
63
SCRIPTA SCORE Scientific Medical Journal, Vol. 2, No. 1, Agustus 2020 pISSN: 2088-8686
https://doi.org/10.32734/scripta.v2i1.3956 eISSN: 2686-0864
Refluks Laringofaring
Wita Aulia1
1
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung, Bandar Lampung
ABSTRAK
Refluks laringofaring adalah penyakit dimana terjadi aliran retrograde dari isi lambung ke laring dan
faring kemudian cairan ini bersentuhan dengan saluran esofagus bagian atas. Penyakit ini berbeda
dengan gastroesophageal reflux disease (GERD). Seorang laki-laki, usia 58 tahun seorang buruh
datang dengan keluhan suara serak sejak 3 bulan yang lalu. Keluhan disertai dengan nyeri menelan
dan nyeri tenggorokan yang memberat sejak 1 bulan ini. Pasien juga mengeluhkan suara sempat
hilang timbul dalam 1 bulan ini. Pasien memiliki riwayat merokok dan mengaku bahwa menderita
sakit maag sejak lama. Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 102 x/menit,
pernapasan 20 x/menit, suhu 37,9ºC. Pada pemeriksaan penunjang Fiber Optic Laryngoscope (LFO),
didapatkan epiglotis yang kaku serta aritenoid hiperemis bilateral dan edema minimal. Pada
perhitungan skor RSI didapatkan hasil 18 dan skor RFS didapatkan hasil 9. Diagnosis pada pasien ini
adalah refluks laringofaring. Penatalaksanaan pada pasien berupa medikamentosa yaitu Omeprazole
tablet 40 mg 2x1 tablet, Sukralfat syrup 3x1 sendok teh, dan N-asetilsistein 3x1 tablet. Non-
medikamentosa dengan memberitahukan kepada pasien untuk jarak makan dan berbaring kurang lebih
2 jam, mengurangi konsumsi makanan berlemak, kopi, soda, alkohol, dan diet rendah asam, serta
memberitahukan kepada pasien untuk memposisikan kepala sedikit lebih tinggi saat berbaring
Kata kunci: Fiber Optic Laryngoscope, refluks laringofaring, Reflux Finding Score, Reflux
Symptom Index
ABSTRACT
Laryngopharyngeal reflux (LPR) is a disease in which retrograde flow occurs from the contents of the
stomach to the larynx and pharynx and then this material is in contact with the upper esophagus. This
disease is different from gastroesophageal reflux disease (GERD). A man, 58 years old laborer, came
with complaints of hoarseness since 3 months ago. Complaints are accompanied by swallowing pain
and throat pain that has worsened since 1 month. The patient also complained that the sound had
disappeared within 1 month. The patient has a history of smoking and claims that he has had a long-
standing heartburn. Physical examination found blood pressure of 150/90 mmHg, pulse 102 x/minute,
breathing 20 x/minute, temperature 37.9ºC. Investigations were done using the Fiber Optic
Laryngoscope (LFO) and revealed a rigid epiglottis and bilateral hyperemic arytenoids and minimal
edema. RSI score calculation results have been 18 and RFS score results have been 9. This pateint’s
diagnosis is Laryngopharyngeal reflux (LPR). Pharmacological management for this patient is
Omeprazole 40 mg 2x1 tablet, Sucralfate syrup 3x1 teaspoon, and N-acetylcysteine 3x1 tablet. Non-
pharmacological management is by telling the patient to give 2 hours time between eating and lying
down. The patient is also told to reduce the consumption of fatty foods, coffee, soda, alcohol, and low-
acid diets, and position the head slightly higher when lying down.
Keywords: Fiber Optic Laryngoscope, laryngopharyngeal reflux, Reflux Finding Score, Reflux
Symptom Index
Received [14 Jan 2020] | Revised [16 Jun 2020] | Accepted [18 Jun 2020]
65
Refluks Laringofaring
suara ringan (1), edema laring difus sedang mendehem, penumpukan dahak di
(2), dan mukus endolaring (2). tenggorok atau postnasal drip, sukar
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan menelan, batuk setelah makan, sulit
fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka bernafas atau tersedak, batuk yang sangat
diagnosis pada pasien ini adalah refluks mengganggu, rasa mengganjal serta rasa
laringofaring. Penatalaksaan panas di tenggorok, nyeri dada atau rasa
medikamentosa yang diberikan pada asam naik ke tenggorok. Gejala tersering
pasien berupa Omeprazole tablet 40 mg pada refluks laringofaring yaitu suara
2x1, Sukralfat syrup 3x1 sendok teh, dan serak sekitar 71%, batuk sekitar 51% dan
N-asetilsistein tablet 3x1. Penatalaksanaan rasa mengganjal di tenggorok
non-medikamentosa yang dilakukan (globusfaringeus) sekitar 47%. Skor RSI
adalah memberitahukan kepada pasien adalah 0-45. Jika didapatkan skor ≥ 13,
untuk berhenti makan 2 jam sebelum tidur, maka curiga refluks laringofaring. Setelah
mengurangi konsumsi makanan yang dianamnesis untuk memastikan bahwa
berlemak, kopi, soda, alkohol, serta diet benar adanya penyakit, perlu dilakukan
rendah asam, serta memberitahukan pemeriksaan penunjang berupa
kepada pasien untuk memposisikan kepala laringoskop fleksibel dan di masukkan ke
sedikit lebih tinggi dari dada saat dalam skor yaitu Reflux Finding Score
berbaring. (RFS). Skor dimulai dari 0 (tidak ada
kelainan) dengan nilai maksimal 26. Jika
PEMBAHASAN nilai RFS ≥ 7 dengan tingkat keyakinan
95%, dapat didiagnosis sebagai penyakit
Pasien dengan refluks laringofaring refluks laringofaring. Nilai ini juga dapat
akan mengalami keluhan pada daerah dengan baik memperkirakan efektifitas
kepala dan leher, sedangkan pada GERD pengobatan pada pasien.[4]
biasanya terdapat keluhan klasik seperti Setelah dijelaskan skor pada
esophagitis dan rasa panas di dada.[1] ilustrasi kasus diatas pada pasien ini
Penyebab refluks laringofaring adalah didapatkan bahwa skor RSI 18 terdapat
adanya refluks secara retrograde dari asam kecurigaan penyakit refluks laringofaring.
lambung atau isinya seperti pepsin, ke Kemudian dilakukan pemeriksaan berupa
saluran esofagus atas dan menimbulkan LFO untuk menghitung skor pada RFS
cedera mukosa karena trauma langsung. didapatkan hasil skor 9 sehingga kesannya
Oleh karena hal tersebut, terjadi kerusakan adalah refluks laringofaring. Penatalaksaan
silia yang menimbulkan tertumpuknya yang diberikan pada pasien yaitu golongan
mukus, dan batuk kronis sehingga dapat obat proton pump inhibitor (PPI) yang
menyebabkan iritasi dan inflamasi.[3] menjadi pilihan utama jika terdiagnosis
Penyakit ini ditegakkan berdasarkan dengan penyakit refluks laringofaring.[5]
gejala klinis (Reflux Symptoms Index/RSI)
dan pemeriksaan laring (Reflux Finding
KESIMPULAN
Score/RFS). Hal yang penting ditanyakan
kepada pasien apakah ada perubahan suara Refluks laringofaring adalah penyakit
terutama perubahan suara yang intermitten di mana adanya refluks pada asam
di siang hari. Jika ada keluhan ini, perlu lambung yang naik ke atas, sehingga
ada kecurigaan ke arah penyakit refluks mengiritasi saluran pada esofagus atas.
laringofaring.[1] Terdapat 9 gejala refluks Laki-laki usia di atas 44 tahun banyak
(Reflux Symptom Index/RSI) yang dapat yang menderita penyakit ini dengan faktor
digunakan untuk memperkirakan apakah risiko meningkat pada orang dengan
ada gejala refluks laringofaring dan derajat riwayat dispepsia/maag sebelumnya,
sebelum dan sesudah terapi. Gejala yang merokok, dan alkoholik.
sering muncul seperti suara serak,
66
Refluks Laringofaring
DAFTAR PUSTAKA
[1] Diamond L. Laryngopharyngeal
reflux-It’s not GERD. J Am Acad
PAs. 2005;18(8):50-53.
[2] Hermani B, Abdurrachman H,
Cahyono A. Kelainan laring. In:
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin
J, Restuti RD, editors. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok
kepala & leher. 7th ed. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2012. p. 237-
42.
[3] Koufman JA, Aviv JE, Casiano RR,
Shaw GY. Laryngopharyngeal reflux:
position statement of the committee
on speech, voice and swallowing
disorders of the American Academy
of Otolaryngology-Head And Neck
Surgery. Otolaryngol Head Neck
Surg. 2002;127(1):32-35. doi:
10.1067/mhn.2002.125760
[4] Belafsky PC, Postma GN, Koufman
JA. The validity and reliability of the
reflux finding score (RFS).
Laryngoscope. 2001;111(8):1313-7.
doi: 10.1097/00005537-200108000-
00001
[5] Karkos PD, Wilson JA. Empiric
treatment of laryngopharyngeal reflux
with proton pump inhibitors: a
systematic review. Laryngoscope.
2006;116(1):144-8. doi:
10.1097/01.mlg.0000191463.67692.3
6
67